Daftar Blog Saya

Selasa, 31 Oktober 2017

Pohon Randu Wangi


Cerpen Teguh Afandi (Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2017)
Perjalanan ilustrasi Fahrul Satria Nugraha - Pikiran Rakyat.jpg
Perjalanan ilustrasi Fahrul Satria Nugraha/Pikiran Rakyat
“AKU pasti pulang, Ibu.”
Tanpa harus kusampaikan, janji itu kutanam bersama dengan sebiji randu di pekarangan depan. Kuharapkan janji itu akan tumbuh bersama akar-akar randu. Menguat dan kokoh tidak goyah. Lalu pada masanya ketika dia pulang, pohon itu akan tumbang bersama rindu yang sudah lunas terbayar. Semacam dendang gembira Pak Tani mendorong luku di persawahan.
KUDEKAP erat potret sepia terbingkai figura. Beberapa bagian geripis digerus usia. Kuelus sebingkai foto, seperti mengelus pipinya yang gempil dan jerawat ranum yang tumbuh di sekitar hidung. Rindu sudah sedemikian menyerangku. Aku tak lagi bisa mengontrol jatuhnya air rnata. Hingga tanpa harus terisak-isak dan meraung-raung, air mataku menuruni tulang pipi hingga membasahi dagu. Aku benar-benar rindu.
Walaupun rabun, masih bisa kuamati saksama pohon randu yang sedemikian tua itu. Pohon randu alih wujud gundukan rinduku padanya. Akarnya mulai keropos dan berongga. Kadang kala kusaksikan dari rongga di pokok randu itu, muncul hewan melata. Mungkin sanca atau boa yang menyeret hasil buruan berupa tikus dan anak ayam. Kapuk-kapuk yang dahulu biasa kupanen dan kujual sebagai isian kasur bantal, kini sudah lama tidak muncul. Memang masih berbunga, tetapi usia tua seolah tak lagi kuasa menjaga karuk yang merimbuni dahan. Kini pohon randu hanya menyisakan ranting-ranting kering dan lelah menopang sisa daun. Hijau keabu-abuan.
“Lik Pasini, bagaimana boleh ditebang?”
Lamunanku buyar. Kuletakkan figura di meja hati- hati. Tanganku bergetar. Menik berdiri di depan pintu menunggu jawabanku. Tangannya disangkutkan di pinggang. Dia sudah berkali-kali menyampaikan, mau tidak mau, pohon randu itu akan ditebang. Apa gunanya menyimpan sebatang pohon randu yang untuk mempertahankan hidupnya saja sudah kembang kempis? Pohon randu itu juga sudah urung menghasilkan kapuk. Pohon tua tak berbuah tak elok dipertahankan lama-lama. Seperti memelihara babon ayam tanpa pernah menghasilkan telur. Tak menguntungkan. Justru bisa mencelakakan.
Menik berhasrat sekali merubuhkannya. Rumah Menik bersebelahan dengan rumahku. Hanya dibatasi pagar dari perdu beluntas yang menempel di toko kelontong dan gudang gas elpiji miliknya. Setiap hari Selasa, akan ada truk besar datang mengganti tabung kosong dengan tabung hijau-biru baru.
“Menik, anakku belum kembali.” Aku membela.
“Kalau nanti pulang, suruh dia menanam durian saja. Atau jati. Harganya jutaan bila dijual,” tukas Menik.
Kukulurn bibir bawah. Kurasakan kasar keriputnya. Dulu bibir ini biasa kupulas gincu. Banyak lelaki tertarik dengan ranum bibirku. Sekarang, tidak ada yang suka dengan bibir kering dan keriput meski dipulas dengan rona merah merona.
“Menik, kalau kamu butuh untuk kayu bakar, ambil saja. Suruh suamimu memotong dahan-dahan tua.”
“Lik Pasini, sekarang sudah nggak zaman pakai kayu bakar. Gas yang lebih bersih. Anti jelaga.”
“Kalau begitu, tunggu saja sampai anakku kembali. Biar dia yang menebangnya sendiri.”
“Pohon itu sudah tua, Lik Pasini.”
Tetapi kenangan dan sedompol rinduku masih ada di pohon randu itu. Kalimat itu berhenti di langit-langit mulut. Dan yang keluar justru, “lalu untuk apa harus ditebang buru-buru?”
“Apa membuat anak tertimpa sempalan batang dan harus dijahit kepalanya, atau jadi sarang sanca, tidak cukup untuk membuatmu rela merubuhkannya? Bisa jadi pohon randumu jadi istana genderuwo dan wewegombel.” Kalimat Menik terdengar sangat keras. Dadaku sesak mendengarnya, seperti ada ketam yang diam-diam mencungkili setiap bagiannya.
Aku mafhum sifat dan tujuan Menik menebang pohon randu. Wataknya tidak jauh berbeda dengan ibunya yang culas. Meskipun aku dan Menik tetangga berimpit, tetap saja aku jadi sasaran perilaku licik Menik. Dia selalu berusaha mengambil untung dariku yang meski lemah tetapi belum pikun ini. Aku memang sudah lemah untuk menjaga tanah dan merawat rumah. Menik memanfaatkan semua itu. Merasa berada di atas, ketika harus melawanku.
Dulu pernah beberapa petugas listrik dan telefon berseragam mendatangiku. Mereka meminta izin untuk menebang pohon nangka dan pakel di pekarangan sisi jalan besar. Akan didirikan tiang listrik dan telepon baru. Aku setuju saja. Kesempatan itu menguntungkan Menik. Kedatangan chain saw, dimanfaatkan Menik untuk menggunduli lima batang pohon jati di halaman belakang. Lalu tanpa meminta izin, menjualnya sebagai modal mendirikan warung. Aku lebih memilih diam. Buat apa beradu mulut dengan Menik yang sudah kupastikan akan menang bila melawanku? Aku lebih ingin legawa dengan tidak membebani perasaanku sendiri.
Maka keinginannya menebang pohon randu tentu memiliki motif yang menguntungkan baginya. Saat pohon randu besar yang tepat di pagar antara rumahku dengan Menik tumbang, dia tentu dengan leluasa menggeser patok tanahnya. Bisa kupastikan setelah pohon randu tua itu menghilang, luas tanah Menik akan bertambah luas.
“Pohon itu sudah membahayakan banyak orang,” Menik menguatkan. Kini nada bicaranya diperhalus. Tapi semakin direndahkan, nadanya menghunjam ke dadaku.
Seminggu lalu seorang tukang tambal panci mengomeliku. Batang randu yang melengkung di jalan tiba-tiba sempal dan jatuh tepat di depannya. Meski batang itu tidak sempat membuat kepalanya robek, tetapi ranting yang mencuat menjatuhkan topi dan membuatnya kaget dan memaki. Dia mengatakan kalau sudah tua dan tidak lagi bisa digunakan, sebaiknya ditebang. Buat apa memelihara pohon randu tua yang aku sendiri tak mampu menjaganya dan justru jadi petaka bagi orang lain. Aku hanya diam. Kalimat-kalimat cadasku sudah habis. Hanya tersisa kalimat maaf yang terus kuulang agar tukang tambal panci itu mengikhlaskan salahku.
“Menik, tunggulah. Sebentar lagi anakku pulang.”
“Kapan?”
Aku bisu.
“Lik Pasini, sebelum musim penghujan pohon itu harus ditebang. Kalau tidak, bisa membahayakan. Pohon tua itu bisa rubuh diterjang angin.”
***
ANAKKU tak ubahnya anak-anak muda di kampung ini. Beranggapan bahwa kota akan membuat mereka kaya. Sawah, ladang, dan kebun tak menjanjikan di mata mereka. Biarlah orang-orang tua, semacam aku, yang mengurus dan bila sudah tak mampu, tanah-tanah itu akan dijual pula oleh mereka yang mencintai kota melebihi kasur tempat darahnya tumpah pertama.
Aku sadar betul, meski dia lahir dari rahimku. Dia sejatinya anak alam dan nalurinya adalah mengembara. Apa yang bisa aku pertahankan, bila kemerdekaan baginya adalah muara kebahagiaan?
Janji untuk sesekali pulang, janji untuk sesekali mengirimi pesan, janji untuk kembali turun ke persawahan. Semua seperti gelembung sabun yang diembus angin. Dia yang kusayang-sayang, bahkan tak tampak membela saat Menik semakin merangsek memaksakan kehendak.
“Lik Pasini!” Menik teriak dari pekarangan.
Aku berjalan perlahan menahan kakiku yang gemetar. Aku berdiri bersandar di pintu.
“Ini lihat. Suamiku menangkap kobra dari rongga pohon randumu.”
Bangkai ular itu digenggamnya. Lalu dilempar persis di depan kakiku. Itu bukanlah ular yang kecil dan bisanya tentu cukup mengakhiri nyawa belasan orang.
“Lusa mereka akan datang. Mau tidak mau pohon randu itu harus ditebang. Aku tidak mau anakku dipatok ular atau kejatuhan cabang pohon.”
“Menik….” Belum rampung kalimatku, Menik sudah menimpali dengan kalimat-kalimat bernada tinggi.
Menik melengos balik, menuju rumahnya. Aku tidak enak hati menjawab semua perkataannya. Mata para tetangga seperti besi berani yang jeli dan teliti menangkap semua berita. Dengan tidak sabar lantas menyebarkannya ke semua penjuru.
Seharian aku duduk menatap pohon randu itu. Semakin lama waktu memaksa semuanya menjadi tua. Hanya sekantung rindu yang kutanam yang akan terus menunggu kapan dia pulang.
***
DI luar, suara mesin mobil berhenti. Itu pasti penebang sewaan dengan chain saw suruhan Menik. Puluhan tahun lalu ketika aku masih segar bugar saja, tidak bisa kutahan anakku pergi jauh. Dan tidak kembali. Apalagi sekarang. Mana mungkin aku bisa menghentikan semua keinginan Menik, ketika kakiku goyah tak mampu menopang badan.
Dengan tenaga yang tak seberapa, aku pergi keluar. Ingin kusaksikan pohon randu itu jatuh. Ingin kulihat bagaimana wujud rindu yang dahulu kutanam bersama biji randu.
Suara mesin gergaji menderu. Tambang-tambang dikaitkan agar pohon randu itu jatuh di pekarangan rumahku yang lapang. Jangan sampai merubuhi warung Menik atau melintang di jalan. Tak butuh berjam-jam, mesin chain saw berhasil membuat pokok randu goyang. Lalu sebentar sudah benar-benar jatuh berdebam di pekarangan. Ranting-ranting dipotong-potong. Menik dan suaminya mengumpulkan potongan-potongan itu dengan rupa bahagia. Dalam hati pasti mereka bahagia, karena semua berjalan sesuai rencana.
Air rnataku jatuh. Rindu itu sekarang sudah rubuh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menanti dia pulang dan menjaga rindu di tunggak randu. Dadaku penuh oleh kesedihan. Dari pokok rindu itu terlihat sayap-sayap kecil beterbangan.
“Kok randu ini beraroma wangi?” Menik sekilas mencium aroma itu. Namun dada Menik sudah kadung dibuncahi bahagia, hingga enggan memedulikan wangi itu terlalu lama menusuk indera penciuman. Bahkan Menik tak lagi mau melirik diriku.***

Catatan:
Luku: alat bajak.
Karuk: nama bunga pohon randu.

Pohon Belum Bersirkus


Oleh Udji Kayang Aditya Supriyanto (Koran Tempo, 07-08 Oktober 2017)
Sirkus Pohon ilustrasi Bentang.jpg
Sirkus Pohon ilustrasi Bentang
Nama Andrea Hirata masih menjanjikan. Novel terbarunya, Sirkus Pohon, sudah laris bahkan sejak novel tersebut belum berjudul. Novel itu diluncurkan pada 15 Agustus lalu dan pada tanggal itu juga judul novel Andrea baru diungkapkan.
Sebelumnya, novel itu sudah ramai dipromosikan meski memakai nama sementara: #KaryaKe10Andrea. Promosi novel Andrea meliputi agenda Berburu Karya Andrea dan Nyanyian untuk Pak Cik. Kendati khalayak sama sekali belum tahu novel seperti apa yang dikarang Andrea, mereka banyak yang tertarik dan memesan (pre-order) novel semata-mata karena “nama besar” pengarangnya!
Memang, Andrea mesti diakui sebagai pengarang penting di Indonesia, walau ia cenderung berjarak dari lingkungan sastra kita. Andrea menempuh pendidikan ekonomi, alih-alih sastra, bahasa, apalagi filsafat. Namun ia dianugerahi keberuntungan ilahiah, langsung dari Tuhan, yakni dilahirkan di Gantung, Belitung Timur. Dengan itu, ia tumbuh dalam konteks sosial yang menarik untuk dinarasikan melalui novel. Tak pelak, Laskar Pelangi (2005) yang ditulisnya meraih perhatian luar biasa di dalam dan luar negeri, entah oleh pembaca maupun penonton film yang diadaptasi dari novel itu. Kesuksesan Laskar Pelangi kemudian Andrea jinjing melulu, disematkan sebagai instrumen promosi novel-novel berikutnya, termasuk Sirkus Pohon.
Konon, menurut keterangan Andrea, Sirkus Pohon itu novel terbaik yang pernah dikarangnya. Ia mengakui, “Buku ini memberi saya kesan this is it, memberi saya kesan apa yang ingin saya sampaikan selama ini sebagai seorang penulis, memberi saya kesan sudah lama saya ingin menulis seperti ini.” Novel yang nantinya terbit sebagai trilogi itu dikerjakan dalam tempo relatif panjang. Andrea memerlukan riset selama empat tahun, sampai-sampai mesti berkunjung ke Tahiti untuk belajar tentang pohon delima. Proses penulisan sendiri berlangsung selama dua tahun. Enam tahun waktu pengerjaan itu pun dibayang-bayangi kesuksesan Laskar Pelangi. Novel-novel sebelum Sirkus Pohon terbukti gagal melampaui pencapaian novel perdananya itu.
Sirkus Pohon, sebagai “this is it” Andrea, menanggung beban berat untuk menjaga reputasinya yang bertaraf internasional. Hanya, tak banyak hal baru yang Andrea tawarkan dalam novel itu. Sirkus Pohon masih berlatar tempat di kampung Melayu pedalaman. Andrea lagi-lagi mengisahkan perjalanan menuju sukses dari bocah hingga dewasa. Bedanya, jika Laskar Pelangi bertokoh bocah-bocah yang dapat lanjut sekolah, Sirkus Pohon mengisahkan mereka yang putus sekolah. Dalam hal ini, rasionalitas menjadi tantangan besar Andrea. Sebab, ia telah memilih jalur realisme, yang dalam terminologi Andrea sendiri, “fiksi, cara terbaik menceritakan fakta.” Meski begitu, sekian peristiwa dalam Sirkus Pohon terasa picisan dan sulit diterima sebagai fakta sosial yang mungkin terjadi.
Kebaruan yang ditawarkan Andrea barangkali pretensinya berbicara politik, meski dalam lingkup kampung. Politik bukan semata-mata selipan atau selingan. Politik hadir di sekujur novel, sebagai pangkal peristiwa dalam Sirkus Pohon. Politik dimaknai Andrea secara praktis, yakni pemilihan kepala desa Kampung Ketumbi. Kendati begitu, peristiwa hidup Sobridin (tokoh utama novel) sendiri sebetulnya ditentukan oleh konspirasi politis Taripol Mafia dan Abdul Rapi. Andrea mempertemukan kita pada peristiwa yang mengesankan dan cukup memberikan efek kejut di akhir novel. Sayangnya, humor-humor yang bertaburan di sela-sela peristiwa tak begitu mengundang tawa. Andrea cenderung mengulang beberapa humor yang sama, Debuludin yang “berdebu-debu” misalnya.
Kebaruan lain yang Andrea tawarkan adalah teknik. Ia tidak menggunakan teknik komparasi dan analogi sebagaimana novel-novel sebelumnya, melainkan teknik yang ia sebut “sintesis”. Andrea memberi penjelasan, “Novel ini tidak bisa digambarkan dengan gamblang karena menulisnya dengan teknik ‘sintesis’. Maksud saya adalah, ini sudah membandingkan hal-hal yang tidak berhubungan.” Andrea menyajikan sekian peristiwa yang berlainan ruang dan waktu, masing-masing bertokoh Sobridin, Dinda, Tara beserta ibu dan sirkus keliling, Tegar, Gastori, dan Taripol. Sekian peristiwa bergantian tampil. Memang, dari peristiwa satu ke peristiwa dua dan seterusnya, terasa tidak berhubungan. Namun Andrea justru meruntuhkan ketakterhubungan itu sendiri di akhir novel untuk menunjukkan bahwa setiap peristiwa sebetulnya berhubungan.
Penentuan judul Sirkus Pohon sebetulnya problematis. Dalam novel itu memang ada pohon dan ada sirkus, bahkan menjelang akhir novel ditunjukkan pohon untuk berada di tengah-tengah sirkus. Namun penampilan pohon delima dalam novel itu kurang atraktif untuk mendefinisikan Sirkus Pohon. Sebetulnya, Andrea menyatakan, “Novel ini merupakan Laskar Pelangi dalam bentuk lain, bukan dalam karakter utama Ikal, Mahar, dan Lintang. Namun Laskar Pelangi dengan karakter utama sebatang pohon delima.”
Pernyataan Andrea bahwa tokoh utama Sirkus Pohon adalah sebatang pohon kurang bisa diterima. Pohon agak terlambat dihadirkan sebagai entitas penting. Pohon itu pun kurang berperan penting. Kalaupun berperan, pohon itu cuma dijadikan instrumen, bukan tokoh utama sebagaimana yang Andrea nyatakan.
Ada baiknya Andrea agak rendah hati dan mau belajar kepada novelis muda, semisal Faisal Oddang atau Ziggy Zezs yazeoviennazabrizkie, dalam menarasikan pohon. Meski tetap ada cela pada setiap novel mereka: Puya ke Puya (2015) dan Semua Ikan di Langit (2017), toh Faisal dan Ziggy relatif sukses menarasikan pohon sebagai tokoh dengan baik. Ziggy mengizinkan pohon dalam novelnya berdialog dengan tokoh-tokoh lain, sedangkan Faisal sanggup menempatkan pohon pada posisi sentral dalam kisah. Dua penulis muda itu menautkan pohon pada hal-ihwal religius, menarasikan proses kehidupan dan penciptaan. Andrea justru mengaitkan pohon dengan industri hiburan, dan risikonya adalah ketidaksanggupan mengagungkan pohon di semesta Sirkus Pohon. Jika benar nantinya Sirkus Pohon mewujud trilogi, kita doakan saja agar Andrea mampu menambal lubang-lubang Sirkus Pohon di novel berikutnya.

JUDUL: Sirkus Pohon
PENGARANG: Andrea Hirata
PENERBIT: Bentang
CETAKAN: Pertama, Agustus 2017
TEBAL: 410 halaman

Udji Kayang Aditya Supriyanto, pembaca sastra dan pengelola Bukulah!

Bedhol Desa

Cerpen Anton Erlangga Aditama (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2017)
Bedhol Desa ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Bedhol Desa ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
INI hari ‘bedhol desa’ alias pindahan serentak secara bersama-sama satu desa. Aku bukan main senangnya. Pagi-pagi sekali, dengan kecepatan seorang pelari, aku mengepak semua barang-barangku nyaris hanya dalam sekejap mata. Baju, komputer, buku-buku pelajaran, semuanya sudah terbungkus rapi di dalam kardus dan ditata sesuai ukuran.
Kulonprogo akan punya bandara baru. Aku dan keluargaku akan tinggal di rumah baru. Lahan di desa kami “terpaksa” kena gusur, tapi aku bersyukur sekali karenanya. Belum pernah aku sebahagia ini semenjak Ayah membelikanku sebuah kamera Canon Rebel yang sudah lama kuidamkan!
Aku tidak mengerti mengapa orang-orang di desaku begitu sedih dengan hal ini, sama halnya dengan seluruh anggota keluargaku. Baiklah, orang lain mungkin punya rumah yang keren, dengan garasi dan langit-langit. Tapi, siapa sih yang akan merindukan gubuk mereka ini?
Aku tahu Ibu, Ayah, dan kakakku berlama-lama mengepak barang-barang mereka, tapi sekarang sudah jam sepuluh. Acara bedhol desa akan dimulai setengah jam lagi, dan aku bahkan belum melihat satu kardus pun selain milikku di teras rumah. Ini sudah kelewatan.
“Kau ngapain sih?” Aku mendamprat kakak perempuanku, Trisna, yang bukannya melipat kaus kaki yang bertebaran di sekitarnya, malah duduk melamun menatap kosong pada jendela. “Kenapa belum selesai?” tuntutku.
“Hampir,” katanya, tapi ia masih bergeming. “Mau kubantu?” Aku mengusulkan, melangkah masuk. “Nggak, pergi sana.” Trisna tidak menatapku ketika mengatakannya. Ia sengaja berlambat-lambat saat memunguti kaus kaki.
“Cepatlah.” kataku tak sabar. Mungkin aku terdengar menyebalkan, tapi selama sepersekian detik aku benar-benar tidak peduli.
Lahan relokasi rumah kami berjarak kira-kira setengah jam perjalanan dari sini. Sementara itu aku menunggu di ruang tamu yang kosong, benar-benar tidak ada apa-apa di sana. Barang-barang lain yang lebih berat telah dipindahkan sehari sebelumnya.
Sepuluh menit berlalu dengan lambat ketika belum ada tanda-tanda bahwa orang tua atau kakakku akan segera selesai. Ada apa sih dengan orang-orang ini?
Aku memandang berkeliling ruangan, dan pandanganku jatuh pada sebuah celah selebar dua inci di bagian dinding yang retak. Dulu aku pernah menyembunyikan surat cinta untuk Trisna yang dititipkan padaku dari seorang pemuda yang tak bisa kuingat namanya. Ia marah besar ketika tahu, tapi sudah terlambat bertahun-tahun hingga tak mungkin untuk membalasnya
Dari dalam ruang tamu aku mengamati teras, di mana ibu biasa menunggu tukang sayur sementara ia menjahit. Satu kali dulu, tepat di keset itu, Trisna pernah menangis di pangkuan Ibu karena dia turun ke peringkat dua di kelas. Jika aku berpikir aku takkan merindukan rumah ini, ternyata aku keliru.
Ayah muncul dari ruang tengah, membawa sebuah kardus besar dan segepok kunci. Dengan menghela napas ia meletakkan kardusnya dan menatap kunci-kunci itu. Bandulnya di koleksi dari berbagai pasar malam yang dihadiri kami.
Sejenak Ayah kelihatan ragu-ragu, apakah mereka perlu mengunci rumah? Dan ekspresi yang tersirat di wajahnya membuatku tidak tahan.
“Kita akan tinggal di rumah yang lebih bagus,” kataku lirih, lebih kepada diri sendiri alih-alih untuk menghibur Ayah.
Ketika keluar lewat pintu depan rumah kami, aku menyadari bahwa itulah terakhir kalinya aku akan pernah melewatinya.
Aku takkan lagi berebut dengan Trisna untuk membukakan pintu ketika Ayah pulang di hari Sabtu membawa martabak. Pintu itu telah menjadi saksi pada banyak kesempatan di mana aku berpamitan dengan Ibu ke sekolah, dan anak cucuku nanti takkan menyadari betapa bersejarahnya bel pintu rumah kami karena besok pagi semua akan roboh, rata dengan tanah.
Aku duduk bersimpuh di antara kardus-kardusku dan menangis. Di teras ini, takkan ada lagi permainan catur satu lawan satu antara aku dan Ayah.
Aku takkan pernah lagi melihat Trisna pura-pura duduk memeluk buku, sementara ia menunggu pemuda anak tetangga sebelah yang ditaksirnya lewat. Ibu dan Ayah muncul dari dalam dan tersenyum penuh pengertian. Trisna ada di belakang mereka. Lalu sebuah pemahaman lain muncul di benakku.
Aku masih punya mereka, pikirku. Tak ada yang perlu disesali, rumah mereka nanti akan sama hangatnya dengan yang ini.
“Ya Tuhan,” Trisna geleng-geleng. Ia kelihatan puas sekali, seringainya benar-benar menyebalkan. “Kupikir kau senang kita akhirnya pindah?” Aku mengingatkan diriku untuk menggeplak kepalanya jika ada kesempatan.
Sambil memunguti harga diriku yang berserakan, aku menyeka airmataku dan mengangguk, “Memang,” kataku kaku. Aku bangkit dan berjalan menenteng kardus dengan angkuh, memimpin rombongan. q-e