Daftar Blog Saya

Minggu, 09 April 2017

Kiriman Seutai Bunga Anggrek

Cerpen S Prasetyo Utomo (Media Indonesia, 10 Juli 2016)
Kiriman Seuntai Bunga Anggrek ilustrasi Pata Areadi
Kiriman Seuntai Bunga Anggrek ilustrasi Pata Areadi
SEUNTAI bunga anggrek ungu tergeletak di meja teras. Zahra dan Aryo, pengantin baru, tak memperhatikan bunga-bunga segar berembun itu. Kupu-kupu menyingkap kabut tipis pagi di antara bunga-bunga anggrek ungu yang tumbuh di pelataran rumah. Pengantin baru itu duduk berdampingan, termangu-mangu di teras. Mencecap teh. Mereka berdiam diri. Tiba saatnya mereka turun ke kota, meninggalkan Umi, kembali bekerja. Mereka tak menemukan kata-kata untuk berpamitan pada Umi. Tak tega meninggalkan Umi. Tapi mereka juga ingin menempati rumah sendiri. Rumah di pinggir kota, tak jauh dari tempat kerja mereka. Di rumah itu Zahra, sebagai dokter, berketetapan hati membuka praktik sore, menolong orang-orang yang memerlukan pengobatan.
Umi mendekat dengan wajah menahan rasa kehilangan. Tersenyum. Duduk di teras, menghadap meja bundar dengan sekuntum bunga anggrek ungu di atasnya. “Kalau kalian akan menempati rumah sendiri, berangkatlah siang nanti. Biar Umi tetap merawat rumah ini, menjaga toko dan mengolah kebun bunga, sambil menunggu Abah pulang. Suatu saat nanti pasti Abah berhenti mengembara, kembali ke rumah.”
Saling pandang, Zahra dan Aryo mengangguk pelan. Melacak kesunyian di wajah Umi.
“Datanglah sesekali menengok Umi,” pesan perempuan itu, menampakkan kecintaannya pada penantian. “Aku sudah terbiasa menanti pembeli bunga-bunga di toko, memberi mereka bunga-bunga segar yang kurawat dan kucintai. Aku akan menyemainya kembali di ladang, dan merawat bibit-bibit bunga baru. Menanti seseorang tertarik pada bunga-bungaku, dan membelinya. Aku terbiasa menanti Abah pulang. Kalian punya dunia sendiri.Aku tak mau kalian terpasung di rumah ini.”
***
Di meja teras tergeletak seuntai bunga anggrek ungu, segar berembun. Umi mengambilnya dengan tangan gemetar. Masih saja ia menemukan kiriman bunga anggrek pada dini hari. Bunga anggrek ungu ini untuk Zahra, anak perempuan Umi yang baru menikah. Zahra sudah meninggalkan rumah, hidup bersama suaminya. Mereka menempati rumah di perkampungan, dan sebagai dokter muda, Zahra menghendaki berada di dekat orang-orang yang mesti ditolongnya. Tapi kenapa, pikir Umi, kiriman bunga anggrek ungu itu selalu tergeletak di meja teras rumah, masih segar, baru dipetik dari kebun, dan menggoda untuk diambil?
Umi tak tahu, akan berbuat apa pada bunga anggrek ungu yang dikirim untuk anak perempuannya yang sudah menikah itu. Tak mungkin bunga anggrek itu dibuang. Ia meletakkannya dalam vas, dan aneh, bunga anggrek ungu itu tidak pernah layu, sebelum Zahra pulang, melihat, dan mengaguminya. Zahra tak pernah bertanya, dari siapa bunga anggrek ungu itu. Sudah pasti, bunga anggrek ungu itu dikirim Ismail, pemuda seberang jalan, yang berdiam di rumah kayu seorang diri. Lelaki itu teduh sepasang matanya. Memancarkan keteduhan alam pegunungan dan langit pagi yang melingkupinya.
Semula Umi menduga, kiriman bunga anggrek, yang kini kian beraneka warna, akan berhenti, setelah Zahra menikah. Zahra bersahabat dengan Ismail semenjak kecil. Bahkan ayah Ismail pernah datang mengetuk pintu, meminta Umi agar Zahra menikah dengan anak lelakinya. Belum terlaksana pernikahan itu, ayah Ismail meninggal. Tak pernah lagi dilanjutkan perbincangan pernikahan Ismail dengan Zahra. Tapi kiriman bunga anggrek ungu tak pernah berhenti, hampir setiap minggu. Meski Zahra tak lagi di rumah, kiriman bunga anggrek itu masih terus berlangsung.
Kiriman bunga anggrek aneka warna selalu tergeletak di meja teras. Umi yang memungut untaian bunga-bunga anggrek itu, merawatnya, seperti seorang gadis yang sedang jatuh hati. Lama-kelamaan, Umi merasa kiriman-kiriman bunga anggrek itu untuknya. Apalagi ia telah bertahun-tahun, berpuluh tahun, ditinggal Abah. Sejak Zahra berumur sembilan tahun, Abah meninggalkan rumah, berguru pada Kiai Jangkung di Pesantren Lembah Bayang-Bayang.
Sungguh aneh, tiap kali bunga anggrek itu tergeletak di meja teras, degup dada Umi berdetak, seperti gadis yang menanti kedatangan pemuda pujaan. Ia salah tingkah, gugup, gelisah, dengan tangan bergetar, saat jari-jarinya menyentuh tangkai bunga anggrek itu. Ia merasakan aliran darah yang deras. Bila Ismail tak mengirim untaian bunga anggrek, ia terhimpit kekosongan. Tertegun di teras, dalam kesenyapan: tanpa semilir angin, tanpa kabut merapat di bumi, tanpa hangat matahari pagi.
***
Terdengar suara langkah kaki yang sangat dikenali Umi. Itu langkah-langkah ringan kaki Ismail. Lelaki itu datang seperti bayangan, lenyap serupa mimpi. Tak pernah benar-benar hadir di alam nyata. Umi ingin memergoki lelaki itu meletakkan seuntai bunga anggrek di meja teras, diam-diam, tanpa pesan, tanpa suara. Tepat pada saat Ismail meletakkan bunga anggrek merah di meja teras, Umi membuka pintu. Lelaki muda itu mengangguk. Tersenyum. Sepasang matanya yang teduh itu bercahaya.
“Duduklah!” pinta Umi. “Ada hal yang perlu kubicarakan!” Tenang, Ismail duduk di kursi teras. Menanti Umi mengatakan sesuatu. Lelaki muda itu tak lagi bisa mengelak.
“Bukankah kau tahu, Zahra sudah menikah?” kata Umi, “Kau masih mengiriminya bunga.”
“Saya teringat kegemaran masa kecil kami,” balas Ismail. “Hanya dialah, gadis kecil, yang bersahabat denganku. Semua orang tak mau berteman denganku, anak penjahat, yang ditinggal pergi ibunya. Mereka selalu mengolok-olokku. Hanya Zahra yang mau bermain bersamaku. Dulu ia suka mengajakku menyusuri semak belukar waktu pagi, di hari libur sekolah, hanya untuk mencari kembang-kembang liar, dan dibawanya pulang. Pernah kami mencapai tepi kebun anggrek yang luas dan indah. Dia sangat takjub dengan keindahan bunga-bunga anggrek ungu. Ingin memiliki. Tapi takut memetiknya.”
“Karena itu kau mengirimi bunga-bunga anggrek itu untuknya?“ Ismail menunduk. Tak berani menatap Umi. Masih saja Umi menahan diri, merasakan ketakjuban yang dipendamnya diam-diam pada si anak penjahat itu. Umi dulu selalu memendam rasa cemas bila Zahra bermain dengan Ismail, mencari bunga bunga di semak belukar. Tapi kali ini ia merasakan keteduhan batin berada di hadapan lelaki muda yang dulu dicurigainya itu. Seorang wanita, meski berumur setengah baya, berhadap-hadapan dengan pemuda itu, merasa teduh, tentram, dan menemukan kebanggaannya sebagai perempuan.
“Zahra sudah meninggalkan rumah,” kata Umi, pelan, “kau tahu itu.”
“Saya tahu,” kata Ismail. “Saya kirim bunga untuknya untuk mengingat akan dirinya di masa lalu. Saya tak ingin dia lupa diri.”
“Lalu, bagaimana dengan hidupmu? Kau tinggal seorang diri di rumah itu. Ibumu meninggalkanmu semasa kau kecil. Ayahmu meninggal sebelum menikahkanmu.”
“Saya akan segera menikah. Saya mohon Abah dan Umi melamar seorang gadis untuk kunikahi.”
“Kalau begitu, pergilah ke pesantren Lembah Bayang-bayang. Cari Abah. Mintalah dia agar melamar gadis itu untukmu,” kata Umi, bimbang dengan perkataannya sendiri. Ia tak yakin bila Ismail berani mencapai pesantren Lembah Bayang-bayang untuk menemui Abah. Lagi pula, ia juga tak yakin, bila Abah berkenan pulang. Abah pulang hanya mengikuti perasaannya sendiri.
***
Secangkir kopi yang harum, mengepul, biasa dinikmati Abah dan Umi di pagi hari, sebelum lelaki itu pergi ke ladang dan Umi ke toko bunga. Wajah Abah kelihatan tenang setelah minum kopi pagi. Tapi telah bertahun-tahun, berpuluh tahun, Abah meninggalkan rumah, dan Umi selalu menikmati secangkir kopi sendirian. Duduk tanpa teman. Mengenang harum aroma rokok Abah, yang dihisapnya dengan diam-diam. Umi juga tak bisa berharap Zahra pulang menengoknya setiap saat. Ia sadar, Zahra dan Aryo, pasangan suami-istri yang selalu sibuk dengan kegiatan mereka.
Telah berhari-hari Umi tak menemukan kiriman bunga anggrek dari Ismail. Diam-diam ia selalu menanti kiriman itu, yang akan memberinya detak dada yang aneh, seperti seorang gadis merindukan kekasih. Kadang ia malu dengan perasaannya sendiri. Kalau Abah atau Zahra mengetahui perasaannya, tentu ia akan merasa sangat malu. Ia senantiasa sendirian menikmati kopi, di teras rumah yang sunyi, rumah besar yang kosong.
Umi terbiasa dengan kesunyian. Terbiasa dengan harapan-harapan. Terbiasa dengan kekuatan menahan diri. Kali ini ia tak yakin Abah akan pulang, hanya untuk melamar calon istri Ismail. Tapi pagi itu sebuah taksi memasuki pelataran rumahnya, dan turun seorang lelaki, dengan rambut yang memutih, melangkah tenang, duduk di teras, menemaninya, menghisap rokok kesukaannya, Umi tercengang.
Abah benar-benar pulang.
“Aku merasa bertanggung jawab untuk menikahkan Ismail,” kata Abah. “Karena itu, aku pulang sekarang.”
Umi masih terheran-heran memandangi Abah.
“Kita lamar gadis itu untuk Ismail. Aku tak akan meninggalkanmu sebelum mereka nikah,” kata Abah, tenang.
Tiba-tiba Umi merasa sangat sepi. Ia berpikir, tak lama lagi Abah akan kembali ke Lembah Bayang-bayang. Ia akan sendirian menjaga toko bunga dan sendirian di rumah. Tak ada lagi kiriman bunga anggrek setelah ini. Ismail akan menikah. Hari-hari bakal tanpa pengharapan bagi Umi. (*)


2016
S Prasetyo Utomo, sastrawan kelahiran 1961. Pada 2007, ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa. Buku fiksinya Bidadari Meniti Pelangi (2005).

Perihal Orang Miskin yang Bahagia

Cerpen Agus Noor (Jawa Pos, 31 Januari 2010)

1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa­ja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)


Jakarta-Singapura, 2009
Agus Noor, penulis naskah teater/monolog dan cerpenis. Tinggal di Jogja.

Langkah yang Gemetar

Cerpen Shabrina WS (Republika, 23 Agustus 2015)
Langkah yang Gemetar ilustrasi Rendra Purnama
Langkah yang Gemetar ilustrasi Rendra Purnama
Jika Yaroh dilahirkan kedua kali ke dunia ini, dia pasti tetap memilih untuk dipertemukan dengan Khoz. Seorang lelaki yang mengajarinya membawa lebih sedikit daripada yang ditinggalkan. Mengambil secukupnya daripada yang dia berikan pada alam.
“Karena bumi diciptakan bukan hanya untuk kau dan aku,” begitu selalu ucap Khoz.
Mereka bertemu 44 tahun yang lalu, ketika Khoz ditugaskan menjadi mandor hutan di wilayah hutan pinus Pegunungan Gembes.
Yaroh masih ingat benar, bagaimana tanggapan orang-orang desanya perihal kedatangan Khoz. Waktu itu, pak lurah mengumpulkan semua warga di balai desa dan Khoz untuk pertama kalinya mengenalkan diri.
“Saya mengajak semua yang ada di sini untuk sama-sama menjaga setiap jengkal tanah yang kita pijak.”
Tapi kemudian, sebagian warga menganggap Khoz terlalu banyak aturan. Orang-orang yang sebelumnya menjadi kelompok penebang kayu dan menjualnya kepada pengepul dari daerah lain, merasa sangat terganggu dengan lembaran-lembaran aturan yang ditunjukkan Khoz.
“Tuhan menciptakan bumi ini untuk kita. Kita boleh menebang kayu-kayu hutan itu.
Tapi, yang sudah mencapai usia tertentu. Yang tidak boleh adalah menebang untuk dijual demi kepentingan pribadi. Karena hutan ini milik kita bersama. Kayu-kayunya, sumber airnya diberikan Tuhan untuk kita semua. Silakan kalau mau mengambil untuk membuat rumah. Yang penting, kita mengganti dengan menanam 10 pohon dari satu pohon yang kita ambil.”
Para guluk—sebutan untuk penebang dan pemikul kayu—merasa mata pencaharian mereka terancam. Mereka menganggap semua yang disampaikan Khoz omong kosong, dan masih tetap menebang kayu di malam hari. Tapi, Khoz mencari cara lain. Lelaki itu mendekati para hansip.
“Bapak-bapak adalah orang-orang pilihan, pemegang tugas mulia di desa ini. Tak jauh beda dengan prajurit, polisi, tentara….”
Dan, para hansip yang biasanya hanya dikumpulkan untuk lomba baris berbaris menjelang Agustusan itu terbakar semangatnya. Mereka merasa bahwa keberadaan mereka benar-benar berharga, bukan hanya diakui setahun sekali untuk menghibur warga dalam lomba gerak jalan dan panjat pinang. Tapi, seragam, sepatu, dan tongkat mereka adalah simbol tugas mulia.
Maka, entah bagaimana, ratusan anggota hansip itu bersama penduduk lainnya sepakat untuk kembali mengaktifkan ronda malam. Termasuk salah satunya menghalangi para guluk malam mengangkut kayu dari hutan.
Khoz juga mendekati anak-anak yang gemar menangkap ayam hutan, burung, dan monyet- monyet.
“Mereka juga punya keluarga seperti kita. Bayangkan jika ibumu tak pulang dari pasar. Bagaimana perasaanmu jika bapakmu tak kembali dari ladang?” Begitulah cara Khoz mengambil hati anak-anak.
Tak berhenti sampai di situ, Khoz juga datang ke acara-acara di sekolah-sekolah.
Bahkan setiap malam, Khoz berusaha datang ke mushala yang berbeda untuk lebih dekat dengan warga.
***
Maka, tidak butuh waktu lama, keberadaan Khoz sudah menjadi buah bibir. Lelaki itu memang serba biasa dalam penampilannya. Tapi, semua hal yang memancar dari dalam dirinya, membuat para gadis-gadis desa di jaman itu diam-diam bermimpi untuk menjadi labuhan hati bagi Khoz.
Nyatanya, pada Yarohlah Khoz mempercayakan rumah bagi hatinya. Tak ada kemewahan apa pun yang dijanjikan lelaki itu. Dari awal mereka telah sepakat untuk hidup menyatu dengan alam. Yaroh yang lahir dari keluarga petani tak mempermasalahkan hal itu.
Kadang Yaroh dengan senang hati ikut Khoz patroli hutan sambil membawa benih- benih tanaman.
“Siapa yang memanennya Khoz?” Begitu awalnya tanggapan Yaroh, untuk segala benih tanaman yang ditanam lelaki itu di tepi hutan.
“Burung-burung. Monyet. Orang-orang yang mungkin lewat. Tak ada yang mubazir.
Kalaupun membusuk dan jatuh ke bumi, mereka tetap berguna sebagai penyubur tanah.”
Bagi Khoz, tak perlu memikirkan hal yang besar untuk melakukan sesuatu yang luar biasa. Perlakukan alam tempatmu berdiri dengan baik. Itu saja prinsipnya. Sering kali Yaroh berpikir, terbuat dari apa hati lelaki itu?
***
Bertahun-tahun kemudian Khoz telah menjadi salah satu inspirasi bagi masyarakat di sekitar Pegunungan Gembes. Namun, begitu pensiun, Khoz mengajak Yaroh untuk pulang ke bekas rumah orang tuanya. Karena bagi Khoz, masih ada hal yang harus dia lakukan.
Dan, di sinilah mereka kini berada. Tinggal tak jauh dari bantaran Sungai Grindulu. Satu- satunya sungai yang menjadi denyut jantung warga Pacitan. Setiap hari, Khoz akan mendayung geteknya menyusuri Sungai Grindulu. Mengambil sampah-sampah, membabat eceng gondok, atau menanam bibit-bibit yang di bawanya.
Lelaki itu juga tak segan-segan menegur jika kebetulan memergoki warga yang membuang sampah ke sungai.
“Sia-sia saja….” komentar sebagian orang.
Tapi begitulah Khoz, baginya kebaikan sekecil apa pun tak ada yang sia-sia.
“Saya mendaftarkan bapak menjadi kandidat orang-orang yang peduli lingkungan.”
Suatu hari, seorang pemuda yang sering melihat kegiatan Khoz, mendekatinya.
“Oh!” Lelaki itu kaget. Lalu buru-buru menggeleng. “Jangan! tidak perlu. Aku tidak mencari itu.”
“Tapi, dengan muncul ke publik, bapak akan menjadi inspirasi. Siapa tahu banyak anak muda yang akan mengikuti apa yang bapak lakukan?” Pemuda itu memohon. Dan lelaki tua itu tak bisa menolak.
Ketika pada akhirnya Khoz berdiri di panggung, menerima penghargaan dan berjabat tangan dengan pak bupati, sejak itulah profilnya mulai muncul di koran-koran. Di situs- situs lingkungan hidup, dan suaranya beberapa kali terdengar dari radio.
“Itu semua, buah yang layak kau petik dari apa yang selama ini kau tanam, Khoz.” Yaroh menanggapi dengan bangga.
“Bulan depan aku ikut pelatihan di Centre for Orangutan Protection. Aku akan magang setahun di cabang mereka. Dan tahun depan aku akan daftar sekolah polisi kehutanan.”
Julang, cucu satu-satunya, dari anak lelaki semata wayang mereka, sangat memuja Khoz. “Aku akan mengikuti jejak eyang.” Begitu ucap remaja 18 tahun itu.
“Eyang bangga padamu.”
Yaroh bisa melihat dengan jelas binar dari mata Khoz.
Itu sebelum dua hari kemarin. Ketika Khoz masih bangun dengan wajah berseri- seri. Kerutan-kerutan usia bahkan tak bisa menyembunyikan kebahagiaan lelaki itu.
***
Tapi, semua hilang sejak dua hari kemarin. Baru dua hari, namun seakan merenggut semua yang dimiliki Khoz. Bahkan berjalan saja, Khoz gemetaran. Wajahnya pucat. Matanya layu.
“Itu bukan salahmu, Khoz.” Yaroh memeluk lelaki yang sangat dicintainya itu.
“Tapi aku gagal…,” bahu Khoz melorot. “Aku seperti karung tua tak berharga.”
Sepanjang kebersamaan mereka, baru hari ini Yaroh melihat air mata merembesi pipi Khoz.
“Jangan berkata begitu…,” Yaroh sekuat tenaga menahan agar tak menangis. Tapi nyatanya, kedua pasangan lanjut usia itu tersedu-sedu di beranda.
“Aku malu,” suara Khoz serak. “Aku gagal.”
“Jaya sudah dewasa. Biar hukum yang memproses.”
Kedua manula itu sama-sama berharap semua hanya mimpi dan mereka selekasnya bangun. Tapi tertangkapnya Jaya, anak semata wayang mereka sebagai salah satu tersangka jaringan penjualan satwa langka, menjadi pukulan menyakitkan bagi mereka. Terutama Khoz. Kejadian itu bahkan tak berselang lama dari penghargaan yang diterimanya.
“Ini ujian Khoz. Berat. Sakit.” Yaroh mengelus punggung suaminya. “Tapi, Julang pasti lebih tertekan. Cucu kita pasti merasa lebih sakit lagi. Kita harus kuat untuknya.”
Khoz menarik napas panjang. Lalu berdiri dan meraih topi bambunya. Dia berjalan gemetar, melintasi jalan tanah menuju tepi Sungai Grindulu.
Yaroh mengusap matanya yang berkaca- kaca. Tepat ketika dua orang yang mengaku wartawan memasuki halaman rumahnya.
“Apakah benar ini rumah Pak Khoz, ayah dari Jayadi, alias Jaya?”
Yaroh, wanita dengan rambut bersemburat putih itu menganjur napas dalam. Dia membuang pandangannya ke kejauhan. Di bantaran Sungai Grindulu, Khoz terlihat berdiri, membungkuk, berdiri, membungkuk. Memasukkan bibit-bibit bakau ke dalam perahu kayunya. (*)

Salju di Leuven

Cerpen Bosman Batubara (Kompas, 20 Februari 2011)

(Kepada Maria Janakova)
TIDAK lama waktu yang kita lalui. Tapi bukan berarti tidak banyak pula yang kita lakukan. Hanya dalam beberapa bulan kita berkenalan. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat kita seperti teman lama yang tiba-tiba bertemu secara tak sengaja di tempat yang tak pernah direncanakan.
Aku masih ingat, kamu menjerit histeria dan memelukku ketika pertama kali tahu bahwa aku dari Indonesia. Ya, Indonesia, kamu sangat mencintai negeri itu. Entah mengapa, banyak orang yang pernah ke Indonesia, akan jatuh cinta dengan negeri itu. Dan bukan cinta sembarang cinta, tetapi cinta mati yang sangat mendalam. “I love Indonesia so much,” katamu.
Aku sendiri, ketika itu sedang berada dalam salah satu fase yang sangat genting dalam hidupku. Boleh kubilang ketika itu hidupku tak punya arah sama sekali. Benar bahwa aku baru saja memulai hidup yang baru di Leuven. Tetapi, bersamaan dengan datangnya hidup yang baru itu, aku juga kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku. Kekasih yang sangat aku cintai pergi begitu saja meninggalkan luka yang mendalam. “I’m in love dengan someone else,” demikian pesannya di Facebook. Singkat sekali, tetapi lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya dari versi dia. Meskipun dari versiku, aku tak pernah dapat mengerti tentang pesan singkat di Facebook itu.
Kepergiannya meninggalkan lubang dalam diriku. Ada ruang kosong, yang mungkin akan kosong untuk selamanya. Apa boleh buat. Aku tahu banyak lelaki berlari membawa luka dalam dirinya. Dan mungkin bagiku, aku harus berlari dengan lubang dalam diriku. Apa pun, hidup harus berjalan.
Masih segar dalam ingatanku pertemuan kita yang pertama di laundry sore itu. Di gedung De Waag, pojok hunian mahasiswa Katholieke Universiteit Leuven, Heverlee. Aku harus berterima kasih kepada detergen yang membuatku bingung. Karena tanpa kebingunganku dengan detergen itu, mungkin kita tidak akan pernah berkenalan. Aku benar-benar takut ketika itu, kalau-kalau aku salah memakai detergen, maka bisa saja semua pakaianku akan luntur dan berwarna putih. Dan, nasiblah yang menentukan hanya ada kita berdua di ruangan itu, hingga aku tak punya tempat bertanya selain kamu. Karena aku tak mungkin menanyakan itu pada kursi-kursi kosong di De Waag ataupun rak pajangan poster dan papan informasi di ruangan itu.
Dan sejak itu kita jadi sering bertemu. Diawali dengan masak tahu isi bersama. Karena beberapa hari sebelumnya kamu pernah berbicara soal tahu isi. Dalam ingatanku kamu sebenarnya seperti mengigau. Karena aku lupa detail obrolan kita pada waktu itu. Yang aku ingat hanyalah kamu bilang kalau kamu suka tahu isi dengan cabai rawit.
Aku tidak pernah memasak tahu isi sebelumnya. Tapi aku pernah melihat bagaimana mbok-mbok tukang gorengan di Jogja melakukannya. Dan tak ada susahnya meniru itu. Yang kita butuhkan hanyalah semangat dan keyakinan bahwa kita akan sanggup memasak tahu isi ini. Sambil berusaha terus sepelan mungkin melubangi tahu dengan pisau, aku masih sempat mengomentari bahwa sepertinya tahu yang kita beli dari Asia Market tidaklah seperti tahu di Indonesia. Kamu kelihatan bengong dan hanya mengangkat bahumu sedikit sambil meneruskan mengiris bawang. I like it. Komentarmu pendek ketika mau pulang sambil membawa beberapa tahu isi dan tempe goreng di dalam boks ke kamarmu.
Sejak itu kita semakin sering bersama. Sekadar minum bir. Nonton film di ZED CINEMA. Main bulu tangkis. Sekadar menyapa di Facebook. Atau saling mendengarkan keluhan masing-masing. Aku takkan pernah lupa ketika suatu malam kamu datang mengetok kamarku dengan wajah yang amburadul seperti lalu lintas Jakarta dan mengajakku keluar.
Sepanjang perjalanan ke Grote Markt, oh ya kita selalu jalan kaki dari Heverlee ke Grote Markt, kecuali pada kali pertama kita nongkrong di Oude Markt ketika aku memboncengmu pakai sepeda dari Oude Markt ke Heverlee pada malam menjelang subuh itu, kamu bercerita tentang tasmu yang hilang. Kartu-kartumu yang ada di dalamnya. Kartu mahasiswa, kartu kredit, kacamata, serta HP-mu dengan stiker gambar yang sangat kamu sayangi.
Beberapa hari kemudian kita mencoba mencarinya. Karena ada orang yang mengirim e-mail padamu dan mengatakan bahwa ia menemukan kacamata dan kartu pelajarmu, somewhere di Leuven. Kita ke sana, sebuah rumah di sekitar Brusselsestrat. Agak kaget pada awalnya. Karena kamu berjanji dengan seorang perempuan, tetapi yang menerima kita malam itu adalah seorang lelaki yang mengaku sebagai pacarnya. “I don’t believe that man,” katamu begitu kita meninggalkan rumah itu. Agak aneh memang karena orang itu tidak menyebutkan di mana dia menemukan kacamata dan kartu pelajarmu. Dia bilang dia lupa karena ketika itu lagi mabuk. Apa boleh buat, kita sama-sama tidak percaya pada orang itu. Tetapi, tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kecurigaan padanya.
Entah berapa bar yang sudah kita singgahi di seputaran Oude Markt, aku sudah tidak ingat. Atau bar Universum di Tiensestrat. Aku suka suasana di sana. Senang karena tidak sepenuh bar-bar di seputaran Oude Markt, bebas merokok sepuasnya, dan tentu saja tertawa. Aku senang kalau kamu senang, katamu suatu ketika. Dan aku pun demikian. Tak masalah, meski aku yakin kalau ada orang yang mendengarkan kita, kadang-kadang pasti akan merasa janggal. Bagaimana tidak janggal, ketika aku tanya kamu bagaimana rasa bir gratis pada gelas besar yang kamu dapat dari bartender di The Rock Cafe sebagai hadiah ulang tahunmu itu, kamu menjawabnya dengan sendawa dan menyambungnya sesaat kemudian, “That’s all my answer”. Ha-ha-ha… orang-orang di Eropa tidak suka dengan sendawa. Mereka menganggap itu tidak sopan. Tetapi, kita tertawa sambil salah satu telapak tangan kita beradu di udara.
Kamu suka sekali musik dan berdansa. Aku, sebenarnya tidak terlalu familiar dengan suasana itu. Tetapi, kamu begitu sabar. Menata gerakanku yang menurutku tidak selaras sama sekali. Atau, persisnya aku mengikuti iramamu saja. Aku bisa bilang begitu karena ketika kamu memegang tanganku, aku hanya membiarkanmu saja menariknya ke sana kemari.
I’m a cow, kataku suatu ketika soal selera musik dan dansaku.
No, do not say that, you are not a cow, balasmu.
Yeah.., following another cow.
What? Ha-ha-ha….
Harus kuakui memang, untuk urusan berdansa dan bernyanyi, aku memang idiot dan hampir-hampir tak punya ide soal gerakan apa yang akan kulakukan. Mungkin aku harus ngambil kursus salsa semester depan. Sementara ini tidak masalah, semuanya berjalan lancar pada malam itu. Kita bergoyang sampai larut. Meskipun sebenarnya beberapa kali aku hanya duduk dengan birku dan merokok sambil tersenyum-senyum melihatmu yang bergoyang lepas mengikuti irama musik.
I’m a girl baby, I’m a girl baby,” katamu salah tingkah ketika aku memergokimu sedang berkaca di dinding bar sambil mengibas-ngibaskan rambutmu. Aha.., aku tambah tersenyum melihatmu begitu. Itu momen belum tentu datang seratus tahun sekali. Sayang sekali aku tak bisa melihat rona wajahmu ketika itu karena lampu bar yang remang-remang. Jadi aku cuma bisa menebak-nebak saja. Dan tentu saja aku takkan menceritakan seperti apa wajahmu dalam tebakanku. Yang jelas, malam itu aura perempuanmu benar-benar keluar. Jauh dari penampilanmu di hari-hari biasa yang sedikit tomboi.
Malam semakin larut. Dan kita merasa lapar. Seperti biasa, titik berikutnya adalah penjual makanan Turki yang buka 24 jam di dekat Grote Markt. Satu porsi kentang goreng dengan saus samurai yang agak pedas itu cukup. Biasanya kita makan lebih banyak diam. Tetapi, malam itu kamu terus mengoceh. Sementara aku tak banyak bicara. Mungkin karena aku lapar, atau juga mungkin karena aku memang serius makan.
Dari sana kita pindah ke kursi di lapangan Oude Markt. Aku pikir waktu itu sudah sekitar pukul 3 pagi. Sebatang rokok di kursi panjang. Begitu rapat kita duduk karena memang pagi semakin dingin. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin. Meski tak kencang, tapi bagiku itu sangat menyiksa. Dinginnya terasa sampai ke tulang.
Perjalanan pulang ke Heverlee penuh dengan tawa. Tidak ada hujan, tidak ada salju turun, tetapi kita berpelukan di bawah payung. Sepanjang jalan kita mengejek orang-orang mengapa mereka tidak pakai payung padahal ini hujan deras. Satu dua orang melihat dan mendengarkan teriakan kita, kemudian sambil tersenyum mereka berlalu. Beberapa orang yang kita teriaki pagi itu sama sekali tidak menoleh, mungkin mereka sudah sering melihat pemandangan seperti kita yang pakai payung di pagi buta tanpa hujan dan tanpa salju itu. Ini Leuven Maria. Ini Leuven Maria. Begitu kataku ketika kita melihat dua orang laki-laki hitam berdansa di tengah jalan mengikuti gerakan cahaya lampu bergerak yang datang dari salah satu puncak bangunan di sekitarnya. Barangkali kata-kata bermakna sama diucapkan diam-diam oleh orang-orang yang kita teriaki pagi itu. Tidak ada urusan. Kita tetap tertawa. Apalagi setelah kamu bilang bahwa kamu hampir percaya bahwa hujan sedang turun.
Mendekati Heverlee, tidak ada lagi orang di jalanan karena memang asrama milik Universitas tempat kita tinggal terpisah dari rumah-rumah warga Leuven. Tidak ada lagi yang bisa diteriaki. Dan kamu mulai bernyanyi, “nananananaa… Come on baby, gimme a tittle of song please, I forget all of them now, ” katamu. Aku tidak menjawabnya, tetapi langsung memulai, “It’s late in the evening; she’s wondering what clothes to wear,” dan di pagi Leuven yang dingin itu, mengalunlah “Wonderful Tonight”.
Dan dari jendela kamarku, ketika aku menulis cerita ini, aku bisa melihat pohon-pohon yang ranting-rantingnya tertutupi salju. Di luar itu pasti dingin sekali. Tidak mungkin berjalan tanpa jaket di sana. Jaket memberikan kehangatan bagi tubuh-tubuh yang berjalan di bawah hujan salju yang turun lembut dari langit.
Aku merasakan dingin itu. Bukan karena salju atau angin di luar sana. Tetapi karena aku tahu kamu akan segera pulang ke Bratislava. Berakhir sudah masa satu semestermu di Leuven. Tidak akan ada lagi masak bersama atau nongkrong di Grote Markt. Tetapi seperti katamu, aku harus memercayaimu. Seperti katamu, kamu akan datang ke Leuven untuk minum bir dan menari bersamaku. Dan seperti katamu, aku harus mengunjungimu di Bratislava pada tanggal yang sudah kamu tentukan agar kita bisa menonton festival musik itu. Aku percaya kepadamu. Bagiku, kata-katamu seperti jaket di musim dingin.
Dari jendela, sekilas kulihat salju turun perlahan di luar sana. (*)

Kutipan Kata Novel Tiga Cara Mencinta

  1. Tidak ada yang tahu siapa jodoh siapa. (hlm. 52)
  2. Mari kita tidak berkomentar terlalu dalam tentang kehidupan dan pilihan masing-masing. (hlm. 53)
  3. Mama adalah wanita yang tak pernah aku bantah. (hlm. 85)
  4. Pernikahan selalu mengubah sepasang manusia. Dari sepasang mahluk asing, berevolusi perlahan menjadi satu tim kuat yang membutuhkan satu sama lain, seperti manusia membutuhkan udara. (hlm. 98)
  5. Sungguh menyenangkan bekerja dengan orang-orang yang satu tujuan. (hlm. 111)
  6. Cobalah banyak berdialog dengan Tuhanmu. (hlm. 137)
  7. Laki-laki juga menangis. Tapi hanya di depan orang yang disayanginya. (hlm. 50)
  8. Semakin lama kamu menunda pernikahan, semakin tinggi kariermu, semakin matang usiamu, pilihanmu terhadap pria semakin mengerucut. (hlm. 59)
  9. Bukti rasa sayang tidak harus disimpan dalam bentuk tulisan, bahkan gambar, karena semua itu telah abadi terekam di hati kalian, bukan? (hlm. 93)
  10. Sesuatu yang disembunyikan biasanya merupakan penyimpangan. (hlm. 94)
  11. Mempertahankan lebih sulit daripada meraih, bukan? (hlm. 121)
  12.  

Kutipan Kata Novel Dua Cinta Negeri Sakura

  1. Tiap keluarga memiliki hak mengatur gaya hidup masing-masing. Parenting itu bukanlah lifestyle? Jadi ya tergantung kita ingin memilih gaya seperti apa. (hlm. 15)
  2. Kalau memang sulit mengubahnya semuanya sekaligus, kita mulai dari yang kecil-kecil dulu. Pelan-pelan. Dan jangan pernah meremehkan hal-hal kecil itu. Karena siapa tahu, justru tindakan-tindakan kecil yang baik itulah yang akan membawa kita ke surga. (hlm. 76)
  3. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (hlm. 161)
  4. Cinta itu hanya ada dua. Satu: cinta yang harus diperangi karena melahirkan perasaan bersalah. Dua: cinta yang hakiki, yang tulus, yang murni, yang membuat kita nyaman bersamanya. (hlm. 174)
  5. Jangan kamu melepaskan gunung permata di tanganmu hanya karena ingin memungut satu batu kecil yang tercecer. (hlm. 130)
  6. Bahkan beberapa orang begitu bebalnya sehingga harus mendapatkan penjelasan yang dibumbui air mata atau kemarahan agar paham. (hlm. 136)
  7. Walaupun atas nama cinta. Aku tidak pernah merasa berhak bahagia di atas kesedihan orang lain. Sekali lagi, itu culas. (hlm. 146)

Kutipan Kata Novel Dangerously Perfect

  1. Cari ilmu langsung di kerjaan, learning by doing, malah lebih tepat di sasaran. (hlm. 21)
  2. Kalau kamu udah kerja keras, kamu berhak untuk bersenang-senang. (hlm. 78)
  3. Kita nggak pernah tahu, orang mana yang kelak bisa membantu kita dan mana yang kelak bisa menghancurkan kita. (hlm. 97)
  4. Bila seorang wanita ditanya ketika mood-nya buruk dan nggak menjawab, mungkin artinya dia butuh ruang untuk sendiri dulu. (hlm. 96)
  5. Rasa benci bisa dengan mudah berbalik menjadi suka. (hlm. 114)
  6. Manusia hanya bisa meneriam sekian cobaan sampai dia memutuskan mencari jalan keluar darurat. (hlm. 201)
  7. Apa yang kamu tabur, itulah yang akan kamu tuai. (hlm. 257)

Kutipan Kata Novel Sunrise at the Sunset

  1. Benarkah cinta pertama tak pernah mati? Bagaimana jika ternyata takdir sudah terpatri? Hidup sudah ditentukan awal dan bagaimana harus diakhiri. Cinta dalam hati pun bisa perlahan mati tanpa kita sadari. (hlm. v)
  2. Dalam hidup ini, bkan kita yang memegang kendali. Ada suatu kekuatan tak kasat mata milik Sang Pencipta yang telah mengatur segalanya dengan sangat sempurna. Ingatlah, apa yang kita inginkan tidak akan selalu tewujud, karena sesuatu yang kita anggap baik, tidak selalu baik pula di mata Tuhan. Adakalanya kita harus berkubang dalam masalah yang tiada habisnya. Pertengkaran, sakit hati, permusuhan bahkan momen indah yang perlahan menghilang dari kehidupan kita. Yang perlu kita lakukan untuk mengatasi semuanya adalah dengan bertanya pada hati kita sendiri. Apa yang sebaiknya kita lakukan? Hanya hati kita sendirilah yang memiliki jawaban. Hati nurani itu tidak pernah berbohong. (hlm. 144)
  3. Hidup ini bisa diibaratkan layaknya kita sedang mengendarai sepeda. Coba kamu hanya duduk di atas sepeda dengan kedua kaki terangkat di sadelnya tanpa sedikit pun bergerak. Apakah kamu bisa tetap bertahan di atas sepeda itu? Kamu pasti akan oleng dan akhirnya akan jatuh. Begitu pula dengan hidup. Jika kamu hanya berdiam diri di satu titik dan tidak mau bergerak, maka lama kelamaan kamu akan oleh dan jatuh juga. Kamu tidak akan bisa meneruskan hidupmu jika kamu berhenti bergerak. (hlm. 233)

Kutipan Kata Buku 99 Perbedaan Cara Bangkit dari Kegagalan: Miliarder vs Orang Biasa

  1. Tidak mungkin hidup tanpa mengalami kegagalan, kecuali kita sangat berhati-hati dalam menjalani hidup sehingga bisa diartikan kita belum memiliki kehidupan sama sekali. (hlm. 2)
  2. Kebanggan kita yang terbesar dalam hidup ini bukan tidak pernah gagal, tetapi tetap mampu bengkit ketika kita jatuh. (hlm. 9)
  3. Belajarlah untuk menikmati setiap menit hidupmu. Bahagialah sekarang. Jangan menunggu sesuatu di luar diri kita membantu bahagia di hari depan. (hlm. 27)
  4. Tidak masalah kita dan dari mana kita berasal. Kemampuan untuk bangit dan menang berasal dari diri kita sendiri. (hlm. 59)
  5. Kesuksesan tidaklah permanen dan kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal. (hlm. 76)
  6. Orang yang sukses memiliki banyak uang, tetapi bukan karena memiliki uang ia sukses, melainkan kesuksesannyalah yang membuat datang padanya. (hlm. 80)
  7. Hanya orang-orang yang mau mengambil risiko besar yang dapat mengukur kemampuan terbaiknya. (hlm. 83)
  8. Jika kita hanya mempelajari caranya saja, kita akan terikat dengan cara itu, tetapi jika kita mempelajari prinsipnya, kita dapat menemukan cara kita sendiri. (hlm. 89)
  9. Jangan pernah menyerah. Hari ini memang berat. Besok akan lebih buruk lagi, tapi lusa matahari tetap bersinar. (hlm. 95)
  10. Mungkin orang bisa menjadi sangat cerdas atau memiliki keahlian yang bisa langsung diaplikasikan, tetapi jika tidak percaya dengan apa yang mereka punya, mereka tidak akan bisa bekerja keras. (hlm. 105)
  11. Ketika satu pintu tertutup maka pintu lain akan terbuka. Kadang kita terlalu lama terpaku di depan pintu yang tertutup. (hlm. 115)
  12. Visi bisa jadi adalah kekuatan terbesar kita. Ia selalu membangkitkan daya dan kesinambungan hidup. Ia membuat kita memandang masa depan dan memberi kerangka tentang apa yang belum kita ketahui. (hlm. 121)
  13. Jika tidak berani gagal demi mendapatkan pelajaran dan beradaptasi dari pengalaman, kita tidak mungkin meraih kesuksesan. (hlm. 129)
  14. Jika memiliki tekad yang kuat, kita akan berhasil karena pa yang dipelajari saat kita belum berhasil, akan membuat kita sukses. Yang paling penting adalah tidak menunda pekerjaan dan menghitung kegagalan. (hlm. 143)
  15. Kita dapat memiliki apa pun yang kita inginkan kalau kita benar-benar sangat menginginkannya. Kita dapat menjadi apa pun yang kita inginkan, melakukan apa pun yang bisa kita kerjakan kalau kita bertahan pada keinginan itu dengan satu tujuan. (hlm. 158)

Kutipan Kata Novel Cinta.

  1. Cinta sejati. Walau yang cinta cuma di satu sisi, tetap saja setia. (hlm. 10)
  2. Tuhan menciptakan otak manusia begitu mudah melupakan hal yang indah, tetapi begitu sulit untuk sedikit saja melupakan masalah. (hlm. 15)
  3. Bukankah hal yang indah lebih layak untuk diingat daripada hal yang membuat hati berkarat? (hlm. 15)
  4. Betapa hal kecil yang dilakukan seseorang bisa memberikan dampak yang besar bagi orang lain. (hlm. 67)
  5. Salah satu hal paling percuma yang pernah dilakukan manusia adalah mencoba berlari dari kenangannya sendiri. (hlm. 73)
  6. Haruskah genap untuk menjadi lengkap? Mengapa ganjil tidak bisa memenuhi? (hlm. 98)
  7. Kata-kata yang indah tidak selamanya berasal dari perasaan bahagia. (hlm. 146)
  8. Terkadang, tidak ada pilihan lain untuk menghindar dari rindu yang menyakitkan, selain menjauh dan perlahan melupakan. (hlm. 163)
  9. Tidak semua hal memiliki alasan. Kalaupun ada, tidak semua alasan dapat dijelaskan dengan mudah. Tidak dapat dijelaskan, mungkin karena alasan tersebut terlalu absurd dan tidak masuk akal. Atau memang karena alasan tersebut tidak pernah ada. (hlm. 171)
  10. Hal yang tersulit untuk dilakukan, bahkan mungkin mustahil, adalah mencoba membohongi perasaan sendiri. (hlm. 189)
  11. Betapa beratnya jujur dan mengungkapkan kebenaran. Sebab mereka adalah hal-halyang pahit. Dan tidak semua orang menyukai kepahitan. (hlm. 280)
  12. Jarak tidak selalu buruk, ia memberi waktu dan kesempatan kepada kita untuk berpikir ulang. (hlm. 302)
  13. Terkadang, cemburu menjadi hal yang sangat misterius. Ia datang pada waktu yang salah dan hubungan yang keliru. (hlm. 131)

Kutipan Kata Novel Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

  1. Tak perlu cantik untuk hidup dengan baik. (hlm. 5)
  2. Perkara cinta. Mana bisa aku mengatur hati ini jatuh cinta kepada siapa. (hlm. 19)
  3. Begitulah cinta. Cinta itu terus menunggu. (hlm. 31)
  4. Seburuk apa pun nasih menimpamu, harapan tak pernah lenyap. (hlm. 44)
  5. Jodoh di tangan Tuhan. (hlm. 105)
  6. Rindu tidak selamanya mampu diucapkan. (hlm. 193)
  7. Kau tak akan pernah tahu sebelum mencoba. (hlm. 278)
  8. Kau bisa jatuh cinta kepada orang yang sangat berbeda darimu, bukan? (hlm. 286)
  9. Jatuh cinta bukan perkara memilih, bukan? (hlm. 286)
  10. Kita semua menungggu, dan terus menunggu. Hingga kita mejadi semakin tua dan tak mampu lagi menahan harapan, lalu mati ditebang atau terkubur dalam penantian. (hlm. 30)
  11. Jangankan memahami bahasa pohon-pohon, memahami bahasa perempuan saja mereka tak pernah bisa. Para lelaki itu. (hlm. 30)
  12. Kehidupan rumah tangga itu rumit. (hlm. 36)
  13. Bahwa sebuah kadang tak pernah cukup bagi seorang perempuan. (hlm. 40)
  14. Hukuman tak bisa menahan rasa tak puas. (hlm. 60)
  15. Keadilan macam apa rupanya dengan beramai-ramai menghakimi seorang lelaki tak berdaya tanpa sebuah pembuktian? (hlm. 151)
  16. Tak ada keadilan bagi perbuatan tak senonoh! (hlm. 154)
  17. Hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu. (hlm. 174)
  18. Kau tahu, setelah disisihkan dari orang-orang terkasihmu dan dibuang dari kehidupan, kau tak akan mudah percaya dengan apa pun lagi atau siapa pun. (hlm. 177)
  19. Dunia ini penuh orang-orang aneh. (hlm. 185)
  20. Kapankah cinta tidak membuatmu gila? (hlm. 186)
  21. Jika kau belum gila karena cinta, kau masih memberi hatim dengan setengah-setengah. (hlm. 186)
  22. Negara akan melakukan apa pun untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus dan isu yang lebih penting. (hlm. 203)
  23. Bagaimana rasanya menghabiskan masa tua sendirian? (hlm. 219)
  24. Hidup pada akhirnya akan menyisakan ruang yang hanya muat untuk dirimu sendiri. (hlm. 219)
  25. Pacar lebih merepotkan ketimbang senjata. (hlm. 224)
  26. Kalau hidupmu sudah kelewat rusak dan tak bisa diapa-apakan lagi, kau tidak akan bisa bercanda sekalipun sampai kau mati. (hlm. 242)
  27. Orang-orang tidak memperhatikan apa yang tidak ingin mereka perhatikan. (hlm. 266)
  28.  

Kutipan Kata Novel Prisoner of Ur Heart

  1. “Melihat orang yang kamu sayangi terluka jauh lebih menyakitkan daripada merasakan luka itu sendiri.” (hlm. 148)
  2.  “…seandainya saja takdir mempertemukan kita kembali, izinkan aku memelukmu walau hanya sekali, izinkan aku untuk mengakui bahwa aku mencintaimu.”
  3. Mungkin inilah yang disebut cinta. Sesakit apapun ia menyakitimu, kamu tetap tidak akan bisa begitu saja menghapus perasaan itu dari hatimu. Kamu tidak bisa membencinya meski kamu sangat menginginkannya. Dan meskipun kamu tahu ia akan pergi untuk selamanya, kamu tetap akan mencintainya hari ini, bahkan nanti. Bukankah mencintai berarti saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing? Bukankah mencintai berarti ada saat bahagia dan sulit dalam hidupnya? (hlm. 231)
  4. “Aku percaya, suatu yang datangnya dari hati akan sampai ke hati. Untuk mencintai apa yang tengah kita kerjakan itu sangatlah penting. Sebab kita tidak mungkin bisa melakukan yang terbaik jika kita tidak menyenangi apa yang kita kerjakan.” (hlm. 89)

Kutipan Kata Novel Happines

  1. Belajar yang rajin ya, Nak. (hlm. 41)
  2. Belajarnya yang sungguh-sungguh, ya. (hlm. 41)
  3. Karena cinta tidak pernah mau menunjukkan wujudnya. (hlm. 79)
  4. Ini hidup kamu, kamu berhak atas hidup kamu sendiri. (hlm. 107)
  5. Selama semuanya dilakukan dengan hati senang, capek itu nggak ada artinya loh. (hlm. 121)
  6. Ternyata di dunia ini buka hanya soal kebisaan, tapi juga kemauan. (hlm. 136)
  7. Masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada status pacaran. (hlm. 177)
  8. Kamu harus berani mengutarakan apa yang kamu inginkan. (hlm. 204)
  9. Yakinkan kalau orangtuamu kalau kamu berani bertanggung jawab atas jalan yang akan kamu pilih untuk menggapai seluruh impianmu. (hlm. 204)

Kutipan Kata Novel Wedding Rush

  1. Makanan adalah obat paling mujarab untuk penyakit patah hati. (hlm. 15)
  2. Karena tak ada namanya bekas sahabat selama apa pun kita meninggalkan mereka. Sahabat tetaplah sahabat. (hlm. 37)
  3. Cinta bisa datang dengan sangat cepat namun sangat lama untuk membuat perasaan itu pergi dari hatinya. (hlm. 41)
  4. Memanglah karena memang hati kamu memilih dia. Bukan hanya karena kamu dicecar sana sini. (hlm. 55)
  5. Tidak ada sahabat yang rela melihat sahabatnya sakit hati. (hlm. 64)
  6. Setiap orang berhak mengekspresikan dirinya. (hlm. 69)
  7. Perasaan nggak bisa dicegah, nggak ada tindakan pencegahannya. (hlm. 83)
  8. Move on emang bukan masalah nemuin penggantinya, tapi mungkin dengan ada penggantinya bisa bikin lo mikirin langkah untuk ke depan, bukan untuk nengok ke belakang. (hlm. 111)
  9. Namanya juga hati, nggak pernah ada alasan logis di balik semua perasaan kan? (hlm. 136)
  10. Cinta itu ada banyak caranya untuk datang. Ada yang tiba-tiba, ada yang karena terbiasa, ada juga yang pas pertama kali lo ngeliat dia lo ngerasa kalau cuma orang itu yang bisa bikin lo bahagia walaupun cuma dengan ada di sampingnya. (hlm. 136)
  11. Jatuh cinta bisa membuat seseorang menjadi berbeda. (hlm. 137)
  12. Belajar untuk membuat laki-laki merasa dibutuhkan. (hlm. 144)
  13. Hatilah yang paling banyak memegang kendali dari orang-orang yang sedang jatuh cinta. (hlm. 145)
  14. Namun Tuhan selalu punya rencananya sendiri untuk setiap orang. (hlm. 146)
  15. Orang di masa lalu, itu hal yang jadi ketakutan seseorang dalam menjalin hubungan. (hlm. 148)
  16. Kenyamanan adalah hal pertama yang dibutuhkan dua orang untuk menjalin hubungan. (hlm. 149)
  17. Sebesar apa pun kepercayaan dua orang dalam satu hubungan, bertemu langsung juga sangat dibutuhkan. (hlm. 161)
  18. Pernikahan memang nggak akan seindah dongeng-dongeng. Ada kalanya dua orang yang terikat nantinya ingin lepas dari satu sama lain. Tapi kamu nggak akan tahu kamu akan jadi seperti apa di pernikahanmu kelak, kalau kamu bahkan nggak mau kenal dengan perempuan lain di hidup kamu. (hlm. 176)
  19. Cinta itu bukan sesuatu yang harus dipahami, tapi diresapi sampai lo benar-benar ngerasain cinta itu sendiri di hati lo. (hlm. 215)
  20. Jangan tanyakan apa yang udah kamu tanya jawabannya. (hlm. 237)
  21. Jatuh cinta itu adalah ketika lo berusaha untuk selalu bisa bareng sama dia. Mencintai itu adalah ketika lo mau lihat dia bahagia. (hlm. 249)
  22. Ketika kita ingin sembuh, jangan jauhi penyebab sakitnya, tapi dekati dan coba berdamai dengannya. (hlm. 264)
  23. Lebih mudah hidup dengan orang yang kita cintai. (hlm. 293)
  24. Ada daya tahan hati seseorang dengan orang lainnya adalah sama? (hlm. 302)
  25. Orang memang bisa berubah, tapi dia juga bisa tetap menjadi yang dulu. Perubahan adalah pilihan, kamu yang memilih mau berubah atau nggak. (hlm. 310)
  26. Seseorang yang kita cintai adalah kekuatan sekaligus kelemahan kita. (hlm. 315)
  27. Ada orang yang bilang, semakin sering merasakan sakit, semakin imun diri kita terhadap rasa sakit itu. Ada juga yang bilang, kita justru harus bertahan dengan penyebab rasa sakit itu. Karena bisa saja rasa sakit itu diberikan sepaket langsung dengan penyembuhnya. (hlm. 302)

Kutipan Kata Novel Dikatakan Atau Tidak itu tetap Cinta

1. Perasaan adalah perasaan. Tidak kita bagikan, dia tetap perasaan. Tidak kita sampaikan,     ceritakan, dia tetap perasaan. Tidak berkurang satu helai pun nilainya. Tidak hilang satu daun pun dari tangkainya. (hlm. 9)
2. Sungguh, jangan habiskan waktu kita untuk seseorang yang tidak pernah tahu bahwa kita menghabiskan waktu demi dia. (hlm. 19)
3. Kenapa kita sakit hati? Agar orang-orang paham dia adalah manusia. Tiap saat kita melalui hidup, lebih sering tidak peduli. (hlm. 27)
4. Menyimpan perasaan itu indah. Karena penuh misteri dan menduga. Sekali dia tersampaikan, tidak ada lagi menyimpan. (hlm. 34)
5. Maka bersyukurlah yang memiliki keluarga. Memiliki teman-teman terbaik. Boleh jadi, kitalah bulan purnama dalam hidup ini. Kitalah gunung kokoh bagi mereka. Dikelilingi orang-orang yang menyayangi kita. (hlm. 43)
6. Maka, besok lusa hormatilah hati orang lain. Jangan sebaliknya, jadi sumber menyakiti hati orang lain. (hlm. 45)
7. Urusan perasaan kadang tak sesederhana kalkulator. (hlm. 51)
8. Bersabar dan diam lebih baik. Jika  memang jodoh akan terbuka sendiri jalan terbaiknya. Jika tidak, akan diganti dengan orang yang lebih baik. (hlm. 21)
9. Tapi sungguh, siapa pun yang sabar dan tekun akan mekar seperti bunga, akan indah seperti purnama dan menakjubkan seperti kupu-kupu. (hlm. 67)
10. Perasaan adalah perasaan. Cinta adalah cinta. Meski tidak kita bilang, tetap saja cinta. Bahkan kalaupun cinta itu ditolak, dihina, dibanting, dia sungguh tetap cinta. Paling disebut dengan cinta tak sampai, cinta terpendam. (hlm. 69)

Kutipan Kata Novel The perfect Husband

  1. Di dunia ini, nggak ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan itu hanya milik Allah. (hlm. 253)
  2. Jangan sepelekan murkanya orang sabar dan kecewanya orang yang sudah menjaga, menyayangi, mencintai kita dengan tulus. Karena perasaan orang yang sudah kecewa, akan sulit diobati. (hlm. 259)
  3. Ada saatnya orang sabar itu meninggalkan apa yang selalu buat dia sabar. (hlm. 315)
  4. Sesorang harus merasa kehilangan dulu baru menyesal, tapi giliran sudah menyesali perbuatannya, mereka justru sulit untuk mendapatkan kesempatan itu kembali. (hlm. 421)
  5. Terkadang ada kalanya orang sabar itu meninggalkan apa yang membuatnya sabar ketika semua pengorbanan, ketulusan kesetiaan, dan cinta tidak pernah dihargai lagi. (hlm. 455)
  6. Harus ada yang berjuang, harus ada yang maju. Kalau dua-duanya mundur, semua akan berakhir begitu saja. Pernikahan itu bukan main-main loh. (hlm. 461)
  7. Sekeras apa pun hati seorang pria, ketika mereka melihat wanita yang dia cintai menangis, pasti hati itu akan berubah menjadi luluh juga. (hlm. 475)
  8. Jika Tuhan memberikanmu cobaan, itu tandanya Tuhan sayang sama kamu. Jika engkau tak mampu menghadapinya sendiri, lihatlah orang-orang disekelilingmu dan sadarlah bahwa kamu masih memiliki keluarga serta teman-teman yang akan membuatmu tersenyum, tertawa dan diam-diam menyemangatimu. (hlm. 567)
  9. Jangan memandang indahnya langit, tapi juga kesakitan tanah yang engkau pijak. Lihat ke bawah, masih banyak orang-orang yang lebih tidak beruntung dari kamu. (hlm. 567)
  10. Jika kamu terjatuh, jangan lupa untuk bangkit kembali. Jika engkau tidak bisa bangkit, merangkaklah! (hlm. 567)
  11. Selalu ada jalan di setiap masalah. Selalu ada secercah harapan di setiap kesulitan. Jangan pernah menyerah selagi kamu masih memiliki Tuhan. Berdoalah, meminta, maka Tuhan akan mengabulkannya. Meski tidak sekarang, namun kebahagiaan akan datang padamu perlahan demi perlahan. (hlm. 568)

Kutipan Kata Novel Origami Hati

  1. Semuanya rencana Tuhan. Kamu harus menjalaninya. (hlm. 6)
  2. Cinta memang mengubah segalanya. Termasuk kebiasaan yang sudah sangat dibiasakan sekali pun. (hlm. 19)
  3. Cinta selalu butuh waktu untuk menerima dan menyatakan. (hlm. 75)
  4. Cinta adalah cara Tuhan mengisi hati dengan hal-hal yang kadang tak pernah kamu pikirkan. (hlm. 91)
  5. Pacar gampang dicari, tapi menemukan sahabat tidak segampang itu. (hlm. 93)
  6. Karena cinta tak pernah punya jam. (hlm. 139)
  7. Cinta datang begitu saja. (hlm. 164)
  8. Karena lelaki yang jatuh cinta sebenarnya tak akan menyerah untuk mendapatkan seseorang yang membuatnya jatuh cinta. (hlm. 75)
  9. Bukankah cinta tak perlu syarat apa pun untuk tetap merasakannya? Bukankah cinta datang dengan segala bahagianya, juga sakitnya. (hlm. 133)
  10. Melupakan kenangan pahit harus sepenuh hati. (hlm. 153)
  11.  

Kutipan Kata Kata dari Novel Seribu Tahun Mencintaimu

  1. Mata adalah cerminan terdalam perasaan dan jiwamu. (hlm. 21)
  2. Bila kau merasa kesepian, waktu terasa berjalan begitu lama. (hlm. 36)
  3. Kehidupan, sekecil apa pun, bahkan hanya seekor semut, mereka berharga bagi Alam Semesta. (hlm. 37)
  4. Hidup ini akan selalu penuh kejutan, semua serba tidak terduga. (hlm. 39)
  5. Jangan pernah lelah untuk mengingatkan. (hlm. 39)
  6. Sebab cinta sanggup bertahan melebihi hidup dan mati, maka temukanlah cintamu di setiap kehidupan ini. (hlm. 45)
  7. Hidup ini indah, bahkan terlalu indah, dan kita sebenarnya terjebak di dalamnya. Hingga saat kematian tiba, kita tidak rela melepaskan hidup ini. (hlm. 45)
  8. Kita hidup untuk menyadari kekuatan terdalam di diri kita. (hlm. 51)
  9. Cinta hadir untuk dirasakan. Cinta seperti benih, harus disiram dan dijaga, dengan hati yang baik dan rasa percaya. Cinta akan membebaskanmu untuk menjadi sejatinya dirimu. (hlm. 52)
  10. Cinta selalu murni. (hlm. 54)
  11. Begitulah hidup. Kita tidak pernah tahu kado apa yang akan kita terima di setiap momen yang kita jalani. (hlm. 55-56)
  12. Percayakah kau alam semesta kadang berbicara melalui tanda-tanda? (hlm. 70)
  13. Di balik itu, sesuatu sedang bekerja menunjukkan takdirmu. (hlm. 73)
  14. Hidup selalu penuh kejutan yang tidak terduga, bukan? (hlm. 74)
  15. Cintaku seperti udara, kamu membutuhkannya untuk hidup. (hlm. 118)
  16. Kalau kau mau cerita sesuatu, cerita aja. Jangan disimpan di hati. Kadang manusia menyembunyikan luka dengan mencari teman bicara, bukan memendamnya. (hlm. 150)
  17. Hidup kadang terasa sangat melelahkan, nggak ada habisnya segala masalah, segala ujian. Tapi kalau kita mau bersabar dan terus menjalaninya maka semuanya akan baik-baik saja. (hlm. 150)
  18. Hidup nggak selalu sama dengan yang kita impikan. Kadang kita harus bertemu hal yang nggak menyenangkan, atau malah keadaan yang menyeret kita pada penderitaan, putus asa, merasa paling menderita, atau hal seperti itu. (hlm. 150)
  19. Cinta memang memabukkan. (hlm. 22)
  20. Hidup ini terlalu banyak dinilai. Tidak lagi murni, apa adanya. (hlm. 54)
  21. Jangan sia-siakan hidup yang cuma sekali ini dengan tidur. (hlm. 69)
  22. Perempuan selalu rentan terhadap bujukan, bahkan bujukan sederhana sanggup membuat mereka tak berdaya. (hlm. 97)
  23. Buat apa bertahan pada hakikat yang justru mengurangi kebahagiaan kita pada pasangan. (hlm. 129)
  24. Bukan hal mudah menahan isak saat berucap kata terpisah. (hlm. 131)
  25. Kadang perempuan itu mahluk yang paling penuh misteri, rahasia, rumit. (hlm. 152)
  26. Banyak sekali perempuan di dunia ini yang cantik, tapi jarang yang cantik juga hatinya. (hlm. 152)
  27. Semua yang bernama kehilangan selalu tidak pernah disukai dan kupikir seharusnya perasaan itu dihapus saja dari muka bumi. (hlm. 189)
  28. Bunuh cintamu itu. Sebelum cinta itu membunuhmu. (hlm. 222)
  29. Di dunia ini segalanya memang sudah lama direncanakan. Kita tak bisa menggeser seenaknya, bukankah begitu? (hlm. 232)

Anne Ahira Newsletter Think & Succeed!

Dear Hanihyung, insan manusia yang
luar biasa...

Keadaan terpuruk bukanlah buruk, bila
dihadapi dengan tenang, dan bijak
serta berjuang terus pantang mundur,
dan diiringi doa yang tulus!
Setiap tantangan dan rintangan adalah
cambuk untuk memotivasi kita mencapai
kemajuan dan kemenangan.

Pepatah mengatakan:

 "Kehidupan bukanlah jalan yang lurus
dan mudah dilalui di mana kita bisa
bepergian bebas tanpa halangan.
Kehidupan seringkali berupa
jalan-jalan sempit yang menyesatkan,
di mana kita harus mencari jalan,
tersesat dan bingung! Sering rasanya
sampai pada jalan tak berujung.
Namun, jika kita punya keyakinan
Kepada Sang Maha Pemilik Kehidupan,
pintu pasti akan dibukakan untuk
kita. Mungkin bukan pintu yang selalu
kita inginkan, namun pintu yang
akhirnya akan terbukti, terbaik untuk
kita!" - A.J. Cronin
Dear Hanihyung,

Saat kita menjelang dewasa, hidup
memang tidak selalu indah.
Lihatlah, langit pun tak selalu cerah,
suram malam kadang tak berbintang.
Itulah lukisan alam. Itulah aturan
Tuhan.
Hidup adalah belajar. Belajar untuk
menyelesaikan setiap teka-teki yang
sudah disiapkan oleh-Nya untuk kita.
Yang terpenting adalah, dalam kondisi
apapun, lakukanlah selalu yang
terbaik yang kita bisa.
Seberat apapun masalahmu kawan,
sekelam apapun beban dalam hidupmu,
janganlah engkau berlari, apalagi
sembunyi!
Temuilah Dia dengan lapang dada dan
bersihnya hati. Yakinlah, dengan
KESABARAN, kita akan bisa bertahan
dari segala badai cobaan.
Saat engkau mendapati masalah,
yakinlah, sebenarnya engkau tengah
dipersiapkan-NYA tuk menjadi sosok
yang tegar & berani.