Daftar Blog Saya

Selasa, 23 Mei 2017

Istikhoroh Cinta Memanggilku

Assalamuallaikum pangeranku,anginku

Aku yakin,kau mengerti bahwa aku merindukanmu
Aku merindumu untuk meminangku
Menyatukan cinta kita yang saat ini tengah kita simpan kerahasiaanya

Duhai pangeranku,anginku
Aku akan setia disini menantimu
Aku akan sabar atas ujian kisah kita
Pun aku akan tetap istiqomah dalam penantianku untukmu
Pun aku yakin,kaupun tengah mempersiapkan diri untuk keluarga kecil kita nanti

Dulu,
Memang,
Aku sempat mencari dan singgah dihati orang orang yang kini aku sebut seorang mantan
Maafkan aku ya?

Sebab aku menghianatimu
Namun percayalah,
Kini aku menyadari kekeliruan itu atas agamaku

Setelah itupula
Yakinlah
Selama kau belum hadir,aku akan menjaga yang sepatutnya aku jaga

Duhai pangeranku,anginku
Sungguh
aku akan cemburu bila kini kau menjalin hubungan dengan wanita lain

Sedang akulah yang nanti menjadi tulang rusukmu
Maka aku harap,
Jagalah izzah dan iffah itu untukku ya ?

Duhai pangeranku,anginku
Aku akan setia kepadamu hingga kau hadir dan melantunkan "Qabiltu Nikaha" dengan ketulusan dan kelembutan,
Hingga ucapanmu menggetarkan jiwa ini

Dimana ayat ayat cinta Sang Maha
menjadi tali jiwa dan raga kita,untuk bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama

Dan kala itu terjadi
Pun aku akan menjadi hatimu seutuhnya

Percayalah.

Dan benar
Istikhoroh Cinta Memanggilku

Pilihan Allah Swt Yang Terbaik

Kak kenapa ya kita dibiarkan menyukai seseorang yang bahkan orang itu gaakan bisa jadi milik kita? ----------------------------------------------- Karena, Allah mau menunjukkan sama kita bahwa hanya pilihan Allahlah yang terbaik.

Coba lihat, kamu dibiarkan menyukainya seseorang, tapi akhirnya kamu tidak bisa memilikinya kan? Itu karena dia bukan pilihan yang Allah inginkan untuk menyempurnakan hidupmu

Coba lihat, kamu dibiarkan dekat dengan dia tapi akhirnya kamu tidak berjodoh dengannya? Itu karena dia bukan pilihan terbaik untukmu

Seandainya itu pilihan terbaik dari Allah, dia akan menjadi milikmu. Bukan, tepatnya menjadi seseorang yang akan bersamamu, bukan milikmu. Karena, aku, kamu, kalian, dan kita semua hanya milik Allah

Kamu tidak usah bersedih, karena itu merupakan suatu anugerah. Dengan tidak bersamanya kamu dengan dia, kamu akan mendapatkan banyak pelajaran, salah satunya adalah, bahwa akan ada orang yang lebih baik dari dia untuk menyempurnakan hidupmu

Bersabarlah,
Percaya saja kepada Allah
Dia takkan takdirkan sesuatu kepada kita melainkan kebaikan.
Meski kenyataan itu sesuatu yang menyakitkan, pastilah dibalik itu ada hikmah yang sangat luar biasa

Bertemu Jodoh

Bertemu jodoh itu memang perkara takdir dari Allah, tapi kita pun harus mengikhtiarkan dan memantaskan diri kita. Karena ikhtiar dalam hal yang syar'i, insyaAllah itu masuk dalam kategori beribadah

Maka jangan diam saja ketika kita mengetahui bahwa jodoh itu sudah Allah atur, tapi berusahalah, misal dengan membuat cv dan terus meminta kepada Allah agar Allah mendatangkan seseorang pilihan-Nya

Tapi hati-hati ya Dear jangan sampai ikhtiar kita menggunakan cara yang salah, hanya karena kita diperintahkan untuk ikhtiar karena ga dapet-dapet jodoh kalau diam aja eh kita malah deket-deket sama ikhwan tanpa ada perantara.

Menjaga Hati

Hati memang mudah sekali berubah.
Hati mudah sekali jatuh ditempat yang salah.

Allah tidak ingin melihat kita sedih.
Allah tidak ingin melihat kita terluka.
Allah tidak ingin melihat kita menangis, karena kebodohan kita sendiri.
Yang masih selalu berharap pada sosok manusia.
Yang mudah sekali tertipu dengan perkataan manisnya.

Ketika kita tidak bisa menjaga hati, maka akhirnya akan patah hati.
Jika tidak ingin terlukai perasaannya, maka jagalah hatimu.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga hati adalah :
1. Selalu mengisi hati dengan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
2. Melakukan ibadah dengan bersungguh-sungguh kepada Allah SWT.
3. Menjaga hati dengan menjaga jarak interaksi dengan lawan jenis.
4. Menjaga hati dengan menjaga pandangan dengan lawan jenis.
5. Sibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat.
6. Perbanyaklah berdo'a kepada Allah SWT.
7. Sentiasa melakukan muhasabah diri.
8. Memperbanyak dzikir dan memohon ampun kepada Allah SWT.
9. Sentiasa bersyukur dan ridho kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dikurniakan.
10. Menikah.

Rasulullah saw, bersabda :
"Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah SWT mempertemukan kita dengan seseorang yang dapat melindungi dan menjaga kehormatan kita dalam ikatan yang halal yaitu pernikahan.

Memantaskan Diri

Mengapa kita harus memantaskan diri?
Apa hanya karena ingin mendapat sesuatu yang baik?
Atau karena memang ingin memperbaiki kualitas diri?
Lantas, untuk apa kita memperbaiki diri?
Menanti jodoh datang?
Menunggu tibanya ajal?
Atau ingin ingin lebih dekat dengan Allah?

Disini, aku memang tidak pandai dalam hal agama
Tidak berarti akhlakku sudah lebih baik dari yang lainnya
Tidak juga merasa so suci atau berniat menceramahi
Hanya saja, aku ingin menuliskan sedikit dari apa yang banyak terjadi

Terbanyak dari kita mungkin memperbaiki diri hanya untuk menanti jodohnya tiba
Tapi bagaimana melakukannya?
Hanya menutup auratkah?
Memperbaiki akhlak saja?
Menjaga hati dan menjauhi zina?
Atau ada yang lainnya?

Sebenarnya, memperbaiki diri dalam hal jodoh itu tidak hanya itu saja
Bukankah tujuan dari menanti jodoh adalah untuk menikah?
Teruntuk para perempuan, sebagai calon seorang istri kita harus paham betul tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan pada suaminya
Tentang hak dan kewajiban, serta tentang cara menjaga fitrah sebagai seorang istri juga seorang perempuan

Kita harus betul² memantaskan diri dengan sebaik mungkin
Karena dalam pernikahan, sewaktu waktu pasti akan menghadapi beragam rintangan
Sebagai perempuan, kita pun harus benar² berbakti dan selalu mengutamakan suami
Ketika datang rasa bosan, malas, lelah, ataupun kesal, tentu kita harus tetap bersikap bijak dan sabar
Jangan sampai manis di awal, tetapi pahit di tengah, hingga akhirnya kandas begitu saja

Untuk itulah kita harus memperbaiki diri
Karena menikah, bukanlah perkara yang mudah
Dalam berumah tangga, tidak sesingkat seperti apa yang kita duga
Marilah kita sama² memantaskan diri dengan seutuhnya
Agar kita senantiasa menjadi permata dunia bagi suaminya, dan
Menjadi bidadari syurga di akhirat nantinya

Cinta Yang Halal

Bukan, mengungkapkan rasamu kepada dia yang bukan mahrammu bukan cara yang tepat.
Perasaan yang tak seharusnya hadir itu justru akan menjatuhkanmu pada kebinasaan.

Setan justru semakin senang, ia membuat cintamu seakan indah, ia membuatmu mengalihkan hati dan pikiranmu kepada selainNya.

Bukan, mendekati dia yang kamu cintai bukanlah cara yang benar.
Kubur perasaanmu dalam dalam, balut cintamu dengan do'a,
Semakin kamu mencintainya, maka semakin banyak do'amu untuknya.

Bukan, bukan ini hubungan yang Allah mau. Bukan ini cinta yang Allah berkahi.
Tutup, tutuplah hatimu untuk cinta yang halal nanti.

Tak apa, jangan bersedih..
Alihkan cintamu pada Allah, insyaAllah Allah akan mempersatukan hamba yang saling mencintai karenaNya.

Kesedihan Hati



Hatimu sedang digoreskan seseorang? Tenang, Allah sedang memberitahu bahwa lukamu adalah kasih sayang-Nya yang membuat hatimu semakin menguat.

Hatimu sedang dikecewakan seseorang? Tenang, Allah sedang mengajarkan bahwa sebaik-baiknya bergantung adalah pada ketetapan-Nya, engkau manusia pilihan untuk semakin mendekati-Nya.

Hatimu dibuat sedih seseorang? Tenang, Allah mengajakmu bersyukur bahwa hatimu masih berfungsi dengan baik dan bisa merasakan mana keikhlasan dan ketulusan yang sesungguhnya.

Hatimu sedang dipermainkan? Tenang, Allah memberitahu bahwa duka ada bersama suka, luka ada bersama cinta, mereka selalu bersama. Maka biarkan mereka ada dengan biasa aja, jangan berlebihan.

Allah tidak pernah salah menitipkan luka, Allah sangat mengerti bahwa senyummu lebih besar dari sakitmu. Keyakinanmu pada-Nya lebih kuat dari kecewamu pada manusia.
Engkau tak sendiri,
Allah bersamamu,
Allah melihatmu,
Allah mendengarmu.

Jatuh Cinta



Aku jatuh cinta...
Cinta yg begitu dalam pada Dia yg dengan sempurna memberiku cinta.

Aku jatuh cinta...
Cinta pada Dia yg memberikan cinta tanpa syarat setiap harinya.

Aku jatuh cinta...
Cinta pada Dia Yang Maha Cinta yg selalu menawarkan cinta yg luar biasa saat aku bersandar hanya padaNya.

Aku jatuh cinta...
Cinta pada Dia yg begitu setia meski terkadang pernah ku tinggalkan dan ku lupakan.

Aku jatuh cinta...
Cinta pada Dia yg begitu baiknya selalu memberi segala yg ku pinta tanpa melihat semua dosa yg ku punya.

Aku jatuh cinta...
Cinta pada setiap takdir kebaikan yg sudah Dia rancang dengan begitu sempurna bagi hidupku yg tak sempurna.

Aku jatuh cinta...
Cinta pada Dia yg kebaikanNya tak akan mampu ku jelaskan melalui kata hanya mampu ku ungkap syukur dalam sujud padaNya.

Aku jatuh cinta padaNya pada Rabb-ku yg Maha Sempurna...

Surat Tapol kepada TKW, Cucunya

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 21 Mei 2017)
Surat Tapol kepada TKW, Cucunya ilustrasi Mahendra Mangku - Kompas
Surat Tapol kepada TKW, Cucunya ilustrasi Mahendra Mangku/Kompas
Febri yang baik, Pelupuk mataku hangat. Basah hidungku. Kau bilang aku tak peka. Engkau juga seperti menimpakan seluruh kesalahan ke pundakku yang tua ini. Karena dari 12.000 yang diasingkan selama sepuluh tahun di pulau pembuangan itu, tak ada yang becus untuk menghasilkan tulisan yang menggugah. Jangankan menggerakkan. Kau katakan, dan terasa seperti menghukumku: “Kakek, tahu enggak,” begitu kau menyindir, “Anne Frank cuma 13 tahun, tapi dia begitu menukik dan agung menghayati kecemasan, ketakutan, yang memenjarakannya di belakang lemari persembunyian, sampai dia digerebek dan dibinasakan. Sementara catatan hariannya menjadi warisan dunia dan lambang kekuatan manusia dalam menghadapi penindasan yang membinasakan.”
10 Tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka.
Dalam surat terakhir, engkau kabarkan belum menonton film dokumenter tentang pulau di mana aku, dan ribuan lainnya, membikin aus otot, tulang, dan otak hanya untuk menghasilkan padi, sementara yang menikmati adalah tentara pengawal. Kau sebutkan ada temanmu yang sudah menyaksikan, namun dia datang membawa sebuah gugatan. Mengapa hanya dua tahanan yang muncul di layar? Di mana yang 12.000 lagi? Dan aku mati kutu ketika kau cecar, kau tekan terus, mengapa judul film yang semula begitu merangsang dan heroik tiba-tiba diganti dengan kata yang hambar, seakan-akan pulau penyiksaan itu sebuah surga lama yang baru ditemukan. Ada apa? Takut…? Menyensor diri sendiri? Hendak bermanis-manis dengan kekuasaan yang telah menistamu? Yang membuat kalian sampai pada kesimpulan bahwa hidup semata-mata untuk memikul siksa.
Aku tak mengerti, Feb. Dan aku cuma bisa bilang itu bukan citra getir pulau pembuangan dari beribu manusia yang dihinakan. Aku bersih dari prasangkamu. Aku tak terlibat. Apa pun yang ingin engkau katakan, ucapkanlah, namun ingat selalu, aku kakekmu.
Kuceritakan dalam catatan yang kutulis setelah aku pulang, bebas, bahwa kami, orang-orang rantai yang hina-dina, itu seperti muatan tak berharga dibongkar, dikeluarkan dari perut perahu, digiring satu-satu menginjakkan kaki di tebing Namlea yang berbau bakau. Penglihatanku menumbuk belantara. Tetapi, dengan lantang aku berteriak di dalam hati bahwa di pulau ini kami pasti akan mampu bertahan. Manusia bisa dikorbankan, tapi takkan mungkin dihancurkan!
Begitu kami menyeruak semak-semak dalam iringan kawalan bersenjata, terlihat sukun. Hatiku memekik. Daun-daunya hijau ramah melambai. Ada sarang lebah. Sarat menggantung penuh madu. Rendah pula. Terbayang, dan aku menelan liur pahit setelah berjalan berjam-jam dengan beban di pundak bahwa kami takkan kekurangan karbohidrat. Ada sukun. Buah yang di kampungku juga disebut roti belanda. Aduhai sedapnya roti yang empur itu dicelupkan atau dioles madu. Pulau pembuangan terasa seperti surga yang sedang hanyut dari langit ketujuh. Kau bayangkan betapa sukacitanya aku yang sudah bertahun-tahun tak mengenal buah segar. Di sepanjang rawa berjejer salak. Daunnya hijau pekat menjulur-julur ke angkasa.
Tetapi…. Ah, dasar tapol. Nasib yang lebih malang yang kami temukan. Pas dengan keinginan kekuasaan yang tak puas-puasnya merendahkan martabat kami. Ternyata yang kulihat itu bukan sukun, tetapi berembang yang kalau disantap bikin mabuk. Yang menggantung menggoda itu bukan sarang tawon, tetapi rayap. Hmm… dikira salak. Padahal, cuma rotan yang menjalar dan tegak berdiri mencari matahari.
Memang tak kasar, Feb. Tetapi, kau menyebutkan aku tak punya imajinasi. Majal…! Hatiku tidak terluka karena label yang kau tancapkan itu. Bagaimanapun, pedih membaca kata-katamu itu. Kau sebutkan tulisan yang kususun dengan berkeringat itu tak lebih dari catatan kerani kelurahan yang terus merengek minta gaji dinaikkan, sementara isi laporannya hanya mengotori halaman.
Engkau harus tahu, sepuluh tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka. Terbang membubung menemukan kekuatan kata. Bagaimana tidak mati kelaparan. Cuma itu isi otakku. Otak kami. Kalau kami berkhayal, itu pastilah tak jauh dari pikiran bagaimana menyelamatkan diri. Kalau kami ikan, maka yang kami renungkan, kerjakan, setiap detik adalah bagaimana air bisa tetap berada di insang, di sirip, kami. Tahukah kau bahwa khayal dan imajinasi, juga ikhtiar untuk itu, bisa berakhir dengan kematian: dibunuh penjaga, dibunuh teman sendiri, atau bunuh diri….
Tak berarti kami mampus sudah. Tinggal sekadar daging yang mau, dan bisa bergerak, lantaran siksaan militer yang sedang pesta kekuasaan. Kau bisa memojokkan tikus dan membunuhnya, tetapi sebelum mati dia masih punya akal untuk menyelamatkan sehelai nyawa. Dan itulah juga kami. Tak ada pintu untuk melawan. Tetapi, sudah dari sananya kezaliman mesti dilawan. Dengan jalan bagaimanapun. Kalah total kakekmu ini tak sudi. Walau tak mau mati konyol. Dan tak sia-sia aku ini pernah menjadi sukarelawan dan anggota resimen mahasiswa Jawa Timur untuk membebaskan Irian Barat tahun 1962 di bawah komando Soekarno.
Aku pernah dilatih melancarkan sabotase. Kemahiran ini tak kusia-siakan di pulau pembuangan yang jauh terpencil bernama Buru itu. Aku mencuri beberapa gulung seng. Menyurukkannya di persembunyian yang sempurna. Dasar sial, si Heru mengambilnya selembar dan dijadikannya tempat penjemuran kopi. Mati aku…. Kepergok pengawal. Saya melompat ke depan tapol yang bodoh itu. Mengambil alih tanggung jawab yang bisa berarti kematian bagiku.
“Dia tidak bersalah, Sersan. Saya yang mengambil seng dari gudang,” kataku mantap.
Empat bulan aku dikurung. Tak pernah melihat matahari. Ditanya macam-macam. Disiksa dengan rupa-rupa cara yang baru ditemukan tentara yang bengis itu di sini. Aku dituduh mempersiapkan gudang golok untuk memberontak membebaskan seisi pulau. Setrum, kaki meja kursi, gada besi bergerigi mendarat di sekujur tubuhku. Kalau tak sadarkan diri, mereka cemplungkan aku ke dalam perigi. Diseret keluar. Dipaksa makan cabai rawit sepiring penuh. Kedua mataku tenggelam ditelan pipi, dagu, dan jidatku yang bengkak mau meletus. Digebuki sampai gempor. Aku tak percaya bahwa aku bisa berdiri lagi. Tapi, perlu kukatakan, rasa sakit, perih, nyeri, dari siksaan itu hanya terasa di hari pertama. Selebihnya syarafku kayaknya sudah mati.
Dua hari selepas aku dibebaskan dari penyiksaan, diadakan apel di bawah terik matahari.
“Hei, kalian semua, jangan coba-coba seperti Tumiseng ini, ya…!” bentak komandan kamp menghardik tapol yang berjejer, yang dia perlakukan tak lebih dari segerombolan tikus. “Atau kalian mau jadi umpan buaya…!” sambungnya lagi, sengit. Aku sakit hati karena dia menodai nama yang diberikan kedua orangtuaku. “Tumiseng,” katanya. Tumiso pencuri seng. Pedih. Tapi, baiklah, aku tak usah membuat perkara lebih besar. Nasib pesakitan memang untuk memuaskan nafsu yang kuasa.
“Komandan…!” Seruan itu seperti meluncur sendiri dari kerongkonganku. Semua tapol terperangah. “Memang, saya yang mencuri empat gulung seng. Tapi, itu belum cukup,” ucapku gemetar.
“Ha…! Maksudmu apa?” Matanya menelanku.
“Saya perlu enam gulung lagi….” Para tapol yang berjejer kepanasan bergetar dibuat kata-kataku itu. Dagu mereka tergantung. Melongo. Tak percaya pada setengah manusia, kawan senasib mereka, yang baru saja berbicara.
Sersan yang berkuasa atas nyawa kami melangkah mendekati daguku. “Mau kauapakan seng sebanyak itu?” Dia mengucapkannya dengan baik-baik, nada datar. Tidak membentak. Aku menang dalam pertarungan tak seimbang ini, teriakku di dalam hati.
“Komandan ’kan tahu keluarga kami akan menyusul. Seng sebanyak itu kami butuhkan untuk membuat perabot rumah tangga. Ember, panci, anglo, teko, dan cangkir. Juga tetabuhan guna menghibur keluarga yang datang. Supaya mereka betah. Saya dan kawan-kawan akan bekerja lebih keras lagi untuk membuat kamp yang Komandan pimpin ini terbaik dari seluruh kamp yang ada di pulau ini.”
Sersan itu seperti mendapat mukjizat dari ucapanku yang tak pernah dia bayangkan. Lama dia menikam mataku. Lama sekali. Kaki para tapol pada bergeser menunggu peruntunganku. Tiba-tiba dia mengamangkan tangan kanannya. Memberi hormat kepadaku. Aku tegak saja. Diam. Tidak bersorak menyambut kemenangan luar biasa ini.
“Pakai sepedaku. Urus semua kebutuhan.”
“Siap, Komandan! Saya perlu surat jalan dari Komandan.”
Dia melepaskan topi lapangannya. “Ini,” katanya, “tunjukkan ini kalau ada yang bertanya.”
Jumpalitan aku menari-nari di dalam hati. Kutunggang sepeda menuju gudang, 20 kilo jauhnya. Tidak bersiul-siul kegirangan, memang, namun hatiku tak pernah mekar sesemarak hari itu. Aku melewati unit-unit lain. Mampir dan basa-basi di tengah jalan. Dengan Buyung Saleh, Bandaharo, Naibaho, Tom Anwar. Menjenguk Pram yang tidak memedulikan kehadiranku. Apalagi kemenanganku. Dia seperti diburu waktu, kebanjiran kata-kata untuk segera ditumpahkan ke mesin ketik.
Tema besar dalam surat-suratmu, yang kau desakkan adalah kemampuan berimajinasi. Aku bukan pengarang. Cuma guru yang dituduh memilih jalan terkutuk oleh penguasa. Memang, tanpa daya khayal manusia bukan apa-apa. Dia akan menjadi seperti tikus yang terus-menerus ngibrit ke sarang yang sama. Tak perlu aku berdoa supaya kau menempuh jalan yang kulalui. Ditendang masuk bui, dibuang, supaya mampu memberikan nilai tinggi pada kebebasan. Untuk itu terkadang kita bisa menjadi seorang pendurhaka.
Dengarkanlah baik-baik. Tanpa kebebasan, yang hanya jadi bayang-bayang hampa selama bertahun-tahun dijepit tembok penjara dan hutan belantara, kau menjadi tiada sebelum mati. Agama, di tangan mereka yang tak punya hati dan pikiran, tak menolong. Kau tahu, nenek moyang kita pengikut setia para sunan. Tapi, di pembuangan, oleh orang-orang yang pendek pikiran, fanatik seperti batu yang tak berguna, agama berubah menjadi ajaran yang jahat. Para penganjur yang dikirimkan khusus dari Jakarta memperlakukan kami sebagai calon penghuni yang pasti bagi neraka jahanam. Agama di sini menjadi siksaan. Sungguh. Seorang penyair asal Sumatera, seagama denganku, memberontak dengan cara membangun tonil Kristiani, keliling kampung. Naskah dia tulis sendiri. Penderitaan Kristus selalu menggetarkan, memang. Komandan tertinggi mengenal namanya. Sang Kolonel mengirim kopral menemui, mengancam si penyair kembali ke agama orangtuanya atau …
Namun, tak-bisa-tidak, agama jugalah yang membebaskan. Aku kumpulkan lalang kering, bambu yang tak terpakai, juga dolken. Sendirian, kubangun kuda-kuda. Kutegakkan, dan jadilah apa yang kau sangka sebuah dangau. Beberapa hari kemudian, di ujung kuda-kuda yang memuja langit, kupakukan salib dari dahan kering. Buat komandan jaga, ini kelakuan agamawi. Bukan perlawanan. Dia dianggap sebagai sikap kalah dari mereka yang dirantai. Jadi, gereja itu berdiri dengan damai, kedamaian yang didambakan semua agama.
“Sejauh mana Bung tahu tentang Kristen, kok nekat bikin gereja?” tanya tapol berdarah Tionghoa.
“Bertahun-tahun saya membaca Injil. Sering dengan mengeja huruf dan kata-katanya. Tentu tidak sempurna. Aku yakin gereja membebaskan. Paling tidak membuka celah pintu dunia bagi kita,” jawabku.
Minggu hanya beberapa orang yang hadir beribadah. Kadang aku yang memberikan khotbah singkat. Acap kali, ada pastor yang datang dari Namlea. Gereja yang sederhana itu kemudian berubah jadi pintu menuju surga. Aku bebas berjalan kaki ke Namlea, membantu siapa saja yang memerlukan tenagaku. Ikut memuat dan membongkar muatan kapal. Pulang-pulang terkadang aku mengempit potongan kertas koran di pinggangku. Koran yang usianya sudah berbulan-bulan. Untuk memahami dunia luar, potongan koran bekas itu lebih berharga dari kitab suci. Sembunyi-sembunyi kami bergantian seperti menghafal huruf-hurufnya yang lusuh. Kami menyimaknya huruf-demi-huruf, kata-demi-kata. Titik koma. Mengejanya baik-baik layaknya potongan koran yang kumal itu akan membawa kami ke daratan yang dijanjikan.
Di kemudian hari, gereja itu pula yang menyadarkan dunia bahwa ada seorang penulis, yang bertahun-tahun dikurung, telah berkali-kali dicalonkan untuk menerima Nobel. Sementara Presiden Indonesia malah cuma tercantum dalam urutan teratas di antara koruptor di seluruh dunia. Dan aku tidak mabuk dengan pencapaianku melalui gerejaku itu. Walau aku tahu tanpa tanganku yang menyelundupkan naskah Pram ke Namlea, dunia tak bakalan pernah membacanya.
Cucu semata wayangku,
Ingin kusudahi surat ini dengan permintaan agar kau tidak menuduh aku campur tangan dalam urusanmu yang sangat pribadi selama kau bekerja di Jeddah ini. Engkau bilang, Ben kayaknya kesengsem. Mengejarmu ke mana-mana. Kalau menyentuh tangan lekaki di depan umum akan dihukum, kuanjurkan sambutlah tangannya. Cium diam-diam. Jangan terlalu memilih-milih. Jangan sampai “Takut titik lalu tumpah.”
Aku tahu, orang Timur Tengah itu tak bisa dipegang. Mereka pasir yang mudah berpindah kalau diterpa angin gurun. Tetapi, ingat, ngger. Percayalah kepada korban! Ben keturunan Palestina, korban dari permainan kekuasaan. Kesepakatan dunia, kalau Israel berdiri, Palestina juga harus menjadi keniscayaan, tegak sebagai satu negara. Tapi, pada akhirnya aku serahkan padamu. Engkau sendirilah yang tahu bagaimana menghadapi badai di negeri dataran gurun yang jauh itu. Kalau kau tak percaya pada pasir, kecuali pada seruan hatimu sendiri, maka sebagai pemuja kebebasan, aku akan menghormati pilihanmu.
Salam, Tumiso Danuasmoro.

Martin Aleida. Anak Tanjung Balai, Sumatera Utara; menghabiskan lebih setengah abad usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, dan penulis sejumlah fiksi panjang maupun pendek. Sedang menunggu terbitnya catatan perjalanannya, “Tanah Air yang Hilang”, tentang eksil Indonesia yang kelayaban di Eropa.

Koran Ahad

Cerpen Anggi Nugraha (Republika, 21 Mei 2017)
Koran Ahad ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Koran Ahad ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Koswara menatap lekat tulisan itu. Sebuah puisi berpigura, tampak semakin lusuh dimakan usia. Istri juga keturunannya sering bertanya ihwal puisi tersebut. “Mengapa harus puisi? Mengapa tidak lukisan saja, Bah?” tanya anak perempuannya, dulu.
Seperti biasa, ia hanya tersenyum bila mendapati pertanyaan seperti itu. Alih-alih berpanjang lebar menjelaskan layaknya dosen sastra, ia hanya berkata, “Puisi kan bahasa jiwa. Ya, Abah mah suka aja.”
Dan pagi itu adalah hari Ahad. Koswara sedang menanti tukang koran langganannya datang. Sembari menunggu, ia membaca dalam hati puisi yang telah ia pajang selama tiga puluh tahun di dinding rumahnya itu.

Sungai Yangtze
tinggal di tepi Sungai Yangtze, di dekat sumbernya
Sementara kau tinggal lebih jauh di tepiannya juga
Kau dan aku minum air dari aliran yang sama
Aku belum melihatmu meski setiap hari aku memimpikanmu.
Bilakah air sungai ini berhenti mengalir?
Bilakah aku tak mencintaimu sebagaimana sekarang?
Aku hanya berharap dua hati kita berdenyut menjadi satu
Dan kau tak akan kecewa terhadap cintaku padamu.

Puisi Dinasti Tang itu sungguh memesona. Bagi Koswara, puisi itu sangat berarti. Puisi itu selalu mengingatkannya pada seseorang. Dialah sosok yang pernah ada dalam hidupnya dulu, sosok yang juga mengantarkan ia menjadi seperti sekarang ini.
***
Di luar, matahari perlahan meninggi. Namun tukang koran belum juga datang. Hari Ahad memang spesial bagi Koswara. Sedari dulu, bila Ahad tiba, ia belum mau sarapan sebelum membaca beberapa cerita pendek juga puisi yang menghiasi kolom-kolom sastra di beberapa harian media cetak, baik lokal maupun nasional.
Koswara memang pembaca karya sastra. Bahkan lebih dari itu, ia dikenal baik sebagai seorang sastrawan di Kota Bandung. Kota di mana ia lahir, besar, dan juga menghabiskan masa tuanya itu.
Tapi, ihwal puisi Sungai Yangtze, hanya Koswara sendirilah yang tahu kisahnya. Sampai kapan pun ia bertekad menyimpan erat kenangannya itu. Maka, ritual minum teh hijau sembari memandangi tulisan itu, seiring waktu tak lagi menjadi hal yang aneh bagi istri, anak, juga cucu-cucunya.
Seperti di pagi itu, entah sudah yang ke berapa ribu kali ia teringat, untuk akhirnya kembali mencari jawab atas kalimat terakhir yang pernah diucapkan Li padanya.
Dulu, saat mereka berdua sedang menyusuri Jalan Braga, Li sempat berucap pada Koswara.
“Sastra itu mempertemukan. Ia selalu tahu kehendak hati. Bukankah hati dicipta untuk membaca hati yang lain?” tanyanya malam itu pada Koswara. Koswara hanya diam.
“Dan, sastralah jembatannya.” Li pun menutup pembicaraan malam itu.
Tahun itu 1963. Tahun terakhir sepasang muda-mudi beda etnis itu bertatap mata. Sebelum akhirnya, di bulan Mei di tahun yang sama, sebuah konflik rasial terjadi hebat di Bandung. Toko, rumah, dan aset milik etnis Cina dirusak massa.
Sedari kejadian itu, Li dan keluarganya menghilang. Tak tahu ke mana. Kepergian Li sungguh meninggalkan lara yang tak tertanggungkan bagi Koswara.
Li, sebagaimana arti dari nama itu, adalah orang yang pintar menulis atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra dan seni. Tak aneh bagi Koswara dahulu, kala mendapati Li membaca puisi “Sungai Yangtze” itu di hadapannya, serasa Koswara benar-benar sedang berada di sana. Di Sungai Yangtze itu. Dahulu, Koswara pernah bertanya pada Li tentang puisi itu.
“Mengapa kau begitu suka puisi itu?” Li seperti mafhum. Ia yakin, cepat atau lambat, pasti terlontar pertanyaan itu dari mulut Koswara.
“Itu puisi kesukaan Pearl S. Buck,” jawab Li.
Koswara bingung. Kala itu, ia memang tak tahu menahu soal sastra. Lantas, ia pun kembali bertanya.
“Siapa dia?”
“Ia perempuan Amerika pertama yang meraih Nobel Sastra.”
“Lantas, apa hubungannya dengan puisi Dinasti Tang itu?” tanya Koswara dengan saksama.
Li pun tersenyum. Bibir tipisnya merekah. Alis bulan sabitnya sedikit terangkat oleh kernyitan dahi yang putih itu, untuk akhirnya kembali ia coba jelaskan.
“Pearl S. Buck menghabiskan banyak waktunya di Cina. Ia banyak menulis tentang Cina. Terlebih masalah kehidupan petani di Cina. Bahkan, karena kecintaannya pada Cina, ia merasa sudah menjadi orang Cina. Namun, ia menentang komunisme-nya Mao Tse-Tung. Karenanya, setelah kembali menetap di Amerika, ia tak lagi diperkenankan masuk ke Cina. Bahkan, pada saat hendak mengunjungi makam ibunya di Cina sekalipun, ia ditolak oleh pemerintahan Mao kala itu.”
“Sungguh?” Koswara tampak serius.
“Hm…hm,” Li mengangguk.
Seiring waktu, Koswara paham mengapa Li begitu menyukai sosok Pearl S. Buck. Karena, pada saat itu, Li begitu berharap orang-orang di Bandung bisa sepertinya. Seperti Pearl S. Buck yang meski bukan orang Cina, namun begitu mencintai Cina.
Seperti yang telah dikemas oleh sejarah bahwa kerusuhan rasial, khususnya terhadap etnis Cina, sangat rentan terjadi kala itu di Indonesia. Dahulu, dalam doa-doanya, Li selalu bertanya pada Tuhannya, serendah itukah Tuhan menciptakan warna kulit berbeda-beda hanya untuk saling menghina? Senista itukah Tuhan mencipta kaum yang berbagai-bagai hanya untuk saling membenci?
Namun pada kenyataannya,waktu itu sudahlah usai. Meski demikian, kerinduan Koswara akan Li tak pernah padam. Entah harus seperti apa, atau bagaimana, ia hanya ingin Li tahu, bahwa kini Koswara adalah seorang sastrawan. Seorang penulis yang sudah banyak menelurkan karya.
Bagi Koswara, Li sangat berpengaruh dalam usahanya belajar sastra. Sebagaimana Li yang pernah berkata dulu bahwa sastra adalah jembatan yang akan kembali mempertemukan keduanya. Ihwal itulah, Koswara menghabiskan banyak waktunya untuk membaca dan menulis.
***
Angin pagi sepoi-sepoi dari luar masuk melalui jendela. Perlahan membelai mesra tubuh Koswara yang tampak sudah mulai ringkih.
Koswara kembali menghirup teh hijaunya. Setelahnya, ia menatap lagi pada puisi “Sungai Yangtze” yang tak habis-habisnya memberikan kerinduan pada sosok Li-nya itu. Lewat pemutar mp3 di smartphone miliknya, ia memutar lagu “Wan-Wan”. Sebuah lagu utama dalam opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu”.
Koswara pun kembali terbawa pada cerita Li tentang “Festival Bulan Musim Semi”, di mana sebuah rombongan sandiwara memainkan cerita “Romeo and Juliet” versi Cina.
Kisah itu bercerita tentang perlawanan sepasang kekasih yang dipaksa berpisah oleh kekuatan feodal. Mereka berdua akhirnya tak kuasa bertahan dari tekanan itu dan memilih untuk mengakhiri hidup mereka bersama dengan cara bunuh diri. Namun, di akhir cerita yang penuh tragis, kedua kekasih yang mati itu akhirnya hidup kembali. Mereka hadir dalam wujud yang berbeda. Keduanya bereinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu yang indah. Mereka kembali bersatu dan hidup bahagia selamanya. Tak ayal, seraya mengepakkan sayapnya, kedua kekasih itu menari dan bernyanyi:

Mimpi menyerbuku
Aku berkelana dan akhirnya tiba di tempatmu
Kita duduk di beranda
Dan kulagukan udara nan manis tetapi tua
Lantas kuterjaga
Tanpa ditemani siapa-siapa
Rembulan bersinar
Menerangi kuntum-kuntum bunga yang telah gugur
Membuatku merasa kau telah pergi dan tiada lagi di dunia

Koswara sangat menyukai kisah itu. Bahkan, setelah masa yang lalu itu sudah sangat jauh tertinggal, kini Koswara paham bahwa kisah tersebut sudah ada sebelum nama Shakespeare tersohor.
Di universitas di mana Koswara mengajar kini, ia sering mengadakan pertunjukan opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu” itu. Tak hanya dirinya, para mahasiswanya pun sangat menyukai cerita klasik tersebut.
Seperti itulah Koswara menjalani hidupnya. Begitu banyak Li berpengaruh, seperti itu pulalah Koswara merasa bahwa Li masih ada, meski tak tahu di mana rimbanya. Puisi “Sungai Yangtze” juga kisah opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu” adalah sedikit dari banyaknya kenangan yang menjadikannya kini hidup dengan bersastra. Sebuah dunia yang ia tak pernah ada di dalamnya dulu, sebelum akhirnya ia mengenal Li dan jatuh cinta padanya.
***
Tak lama, dari luar suara langkah kaki terdengar makin keras. Istri Koswara baru saja pulang dari pasar.
“Bah ieu koranna. Nembe teh abdi pendak sareng tukang koranna. Saurna punten, koranna rada telat.” Setelah memberikan beberapa koran pada Koswara, lantas istrinya itu menuju dapur.
Ada lima buah koran di pagi itu. Koswara membuka satu per satu kolom sastra yang di dalamnya memuat cerpen juga puisi. Tak tunggu waktu lama, ia pun langsung melahapnya.
Setelah empat kolom sastra di koran Ahad itu selesai ia baca, tiba saat ia mencoba koran yang terakhir. Lantas, lembar demi lembar koran yang terakhir itu pun ia coba buka dengan perlahan. Hingga, sampai juga ia pada halaman itu, di mana cerpen dan beberapa puisi dimuat di satu halaman yang sama. Cerpen dan beberapa puisi di koran Ahad itu berdampingan letaknya.
Namun tak seperti biasanya, di mana Koswara selalu membaca dari prosa terlebih dahulu, tiba-tiba seperti ada yang menggerakkan hatinya untuk melihat beberapa puisi di halaman itu. Tak dinyana, sontak tubuhnya bergetar hebat. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Matanya pun terbelalak pada sebuah puisi di kolom itu. Iya, puisi itu. Puisi yang berjudul sama dengan puisi yang telah ia pajang di dinding rumahnya selama tiga puluh tahun itu.

Sungai Yangtze
Kita bertemu di tepi sungai Yangtze
Kau dan aku terpisah badannya
Karena minum dari aliran air yang sama,
Kau dan aku tak pernah lelah tuk saling memimpikan.

Adakah suatu masa kemarau menghabiskan airnya?
Akankah jarak tak bertepi menipiskan cinta kita?
Aku tak pernah berharap tuk memutus nadi yang telah bersatu
Kau dan aku tak kecewa untuk pernah saling mencinta.

Di bawah puisi itu, tertera nama sang penulis.
Tan Ay Li.
Sekejap, tulisan itu luntur.
Kertasnya basah.

Catatan:
  • Puisi Dinasti Tang (“Sungai Yangtze”) juga nyanyian “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu”, dikutip dari novel Pearl of China karya Anchee Min.
  • Pak, ini korannya. Barusan saya bertemu dengan penjualnya. Katanya maaf, agak telat.

Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2, OKU Sum-Sel. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di media.

Kesempatan



Dulu,
Iya dulu.
Apalah kita yang banyak melakukan kekhilafan.
Mengutamakan apa yang Allah larang.
Kekhilafan yang mungkin sudah melampaui batas.

Ketika diri ingin hijrah,
Tak sedikit yang menertawakan,
Tak sedikit pula yang menghina di khalayak ramai,
Yah... Apalah kita ini,
Hanya manusia biasa yang penuh dengan dosa dan kekhilafan,
Hanya manusia yang sedang berusaha istiqomah di jalan-Nya.

Sometimes... Kita harus mengabaikan mereka.
Dalam artian mengabaikan segala yang menghambat jalan kita menuju kebaikan.
Semua #adakisahsendiri

Soal orang lain paham bagaimana kita dulu, bagaimana orang paling tau segalanya soal kita, biarkanlah.
Buat apa dipermasalahkan?
Semua tugasnya Allah untuk menilai, bukan manusia.

Emang... Yang gampang itu teori, dan pengaplikasiannya dalam kehidupan ga mudah.
Tapi, jika kita terus membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang orang lain pikirkan soal kita, yakin deh ga akan ada habisnya.

Jadi... Apapun kita dulu, jangan minder, jangan sedih.
Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.
Tak perlu pikirkan mereka yang terbiasa mencaci dan menghakimi. Karena... Untuk menghendaki segala sesuatunya, Allah punya cara tersendiri.

Semangat hijrahnya, semoga Allah senantiasa melembutkan hati kita, dan tentunya menguatkan kita dalam balutan keistiqomahan


Cara menyikapi Kebahagiaan



Let say...
Banyak sekali orang yang berada disekitar kita.
Banyak anggapan dan pemikiran yang barangkali tak mengenakan untuk kita.
Tak mengapa, Itu hak mereka.
Tak ada larangan, mau baik mau buruk, semua itu terserah mereka.

Kita hidup di dunia ini saling berdampingan.
Tak bisa kita memaksa setiap orang menilai kita hanya dari segi kebaikan.
Kita manusia biasa yang sering khilaf dalam segala perbuatan.
Jangan pernah jadikan kritikan, cacian, makian, dan hujatan sebagai pemisah tali persahabatan.
Semua ini tak semata-mata soal kebahagiaan.
Insya Allah semua menuju pendewasaan.

Tak perlu emosi, tak perlu membalas dengan hal yang sama.
Ketika mereka mengatakan bahwa kita begini dan begitu, cobalah didengarkan.
Jadikan bahan introspeksi dan perbaikan.
Tak selamanya kita selalu benar.
Tak semua yang kita dapatkan sesuai harapan.
Barangkali memang harus ada ikhtiar untuk memberbaiki segala kesalahan.

Karena sebenarnya semua itu adalah bagian dari tahapan meningkatkan kualitas diri.
Memang.... tak mudah untuk menahan segala emosi diri.
Tapi berusahalah menjadi pribadi yang wisely.
Karena bahagia itu hanya datang dari cara kita menyikapi.