Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Aku yakin,kau mengerti bahwa aku merindukanmu Aku merindumu untuk meminangku Menyatukan cinta kita yang saat ini tengah kita simpan kerahasiaanya
Duhai pangeranku,anginku Aku akan setia disini menantimu Aku akan sabar atas ujian kisah kita Pun aku akan tetap istiqomah dalam penantianku untukmu Pun aku yakin,kaupun tengah mempersiapkan diri untuk keluarga kecil kita nanti
Dulu, Memang, Aku sempat mencari dan singgah dihati orang orang yang kini aku sebut seorang mantan Maafkan aku ya?
Sebab aku menghianatimu Namun percayalah, Kini aku menyadari kekeliruan itu atas agamaku
Setelah itupula Yakinlah Selama kau belum hadir,aku akan menjaga yang sepatutnya aku jaga
Duhai pangeranku,anginku Sungguh aku akan cemburu bila kini kau menjalin hubungan dengan wanita lain
Sedang akulah yang nanti menjadi tulang rusukmu Maka aku harap, Jagalah izzah dan iffah itu untukku ya ?
Duhai pangeranku,anginku Aku akan setia kepadamu hingga kau hadir dan melantunkan "Qabiltu Nikaha" dengan ketulusan dan kelembutan, Hingga ucapanmu menggetarkan jiwa ini
Dimana ayat ayat cinta Sang Maha menjadi tali jiwa dan raga kita,untuk bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama
Dan kala itu terjadi Pun aku akan menjadi hatimu seutuhnya
Kak kenapa ya kita dibiarkan menyukai seseorang yang bahkan
orang itu gaakan bisa jadi milik kita?
----------------------------------------------- Karena, Allah mau
menunjukkan sama kita bahwa hanya pilihan Allahlah yang terbaik.
Coba
lihat, kamu dibiarkan menyukainya seseorang, tapi akhirnya kamu tidak
bisa memilikinya kan? Itu karena dia bukan pilihan yang Allah inginkan
untuk menyempurnakan hidupmu
Coba lihat, kamu
dibiarkan dekat dengan dia tapi akhirnya kamu tidak berjodoh dengannya?
Itu karena dia bukan pilihan terbaik untukmu
Seandainya
itu pilihan terbaik dari Allah, dia akan menjadi milikmu. Bukan,
tepatnya menjadi seseorang yang akan bersamamu, bukan milikmu. Karena,
aku, kamu, kalian, dan kita semua hanya milik Allah
Kamu
tidak usah bersedih, karena itu merupakan suatu anugerah. Dengan tidak
bersamanya kamu dengan dia, kamu akan mendapatkan banyak pelajaran,
salah satunya adalah, bahwa akan ada orang yang lebih baik dari dia
untuk menyempurnakan hidupmu
Bersabarlah, Percaya saja kepada Allah Dia takkan takdirkan sesuatu kepada kita melainkan kebaikan. Meski kenyataan itu sesuatu yang menyakitkan, pastilah dibalik itu ada hikmah yang sangat luar biasa
Bertemu jodoh itu memang perkara takdir dari Allah, tapi
kita pun harus mengikhtiarkan dan memantaskan diri kita. Karena ikhtiar
dalam hal yang syar'i, insyaAllah itu masuk dalam kategori beribadah
Maka
jangan diam saja ketika kita mengetahui bahwa jodoh itu sudah Allah
atur, tapi berusahalah, misal dengan membuat cv dan terus meminta kepada
Allah agar Allah mendatangkan seseorang pilihan-Nya
Tapi
hati-hati ya Dear jangan sampai ikhtiar kita menggunakan cara yang
salah, hanya karena kita diperintahkan untuk ikhtiar karena ga
dapet-dapet jodoh kalau diam aja eh kita malah deket-deket sama ikhwan
tanpa ada perantara.
Hati memang mudah sekali berubah. Hati mudah sekali jatuh ditempat yang salah.
Allah tidak ingin melihat kita sedih. Allah tidak ingin melihat kita terluka. Allah tidak ingin melihat kita menangis, karena kebodohan kita sendiri. Yang masih selalu berharap pada sosok manusia. Yang mudah sekali tertipu dengan perkataan manisnya.
Ketika kita tidak bisa menjaga hati, maka akhirnya akan patah hati. Jika tidak ingin terlukai perasaannya, maka jagalah hatimu.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga hati adalah : 1. Selalu mengisi hati dengan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT. 2. Melakukan ibadah dengan bersungguh-sungguh kepada Allah SWT. 3. Menjaga hati dengan menjaga jarak interaksi dengan lawan jenis. 4. Menjaga hati dengan menjaga pandangan dengan lawan jenis. 5. Sibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat. 6. Perbanyaklah berdo'a kepada Allah SWT. 7. Sentiasa melakukan muhasabah diri. 8. Memperbanyak dzikir dan memohon ampun kepada Allah SWT. 9. Sentiasa bersyukur dan ridho kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dikurniakan. 10. Menikah.
Rasulullah saw, bersabda : "Sesungguhnya
di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik maka seluruh tubuh
akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah
segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga
Allah SWT mempertemukan kita dengan seseorang yang dapat melindungi dan
menjaga kehormatan kita dalam ikatan yang halal yaitu pernikahan.
Mengapa kita harus memantaskan diri? Apa hanya karena ingin mendapat sesuatu yang baik? Atau karena memang ingin memperbaiki kualitas diri? Lantas, untuk apa kita memperbaiki diri? Menanti jodoh datang? Menunggu tibanya ajal? Atau ingin ingin lebih dekat dengan Allah?
Disini, aku memang tidak pandai dalam hal agama Tidak berarti akhlakku sudah lebih baik dari yang lainnya Tidak juga merasa so suci atau berniat menceramahi Hanya saja, aku ingin menuliskan sedikit dari apa yang banyak terjadi
Terbanyak dari kita mungkin memperbaiki diri hanya untuk menanti jodohnya tiba Tapi bagaimana melakukannya? Hanya menutup auratkah? Memperbaiki akhlak saja? Menjaga hati dan menjauhi zina? Atau ada yang lainnya?
Sebenarnya, memperbaiki diri dalam hal jodoh itu tidak hanya itu saja Bukankah tujuan dari menanti jodoh adalah untuk menikah? Teruntuk
para perempuan, sebagai calon seorang istri kita harus paham betul
tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan pada suaminya Tentang hak dan kewajiban, serta tentang cara menjaga fitrah sebagai seorang istri juga seorang perempuan
Kita harus betul² memantaskan diri dengan sebaik mungkin Karena dalam pernikahan, sewaktu waktu pasti akan menghadapi beragam rintangan Sebagai perempuan, kita pun harus benar² berbakti dan selalu mengutamakan suami Ketika datang rasa bosan, malas, lelah, ataupun kesal, tentu kita harus tetap bersikap bijak dan sabar Jangan sampai manis di awal, tetapi pahit di tengah, hingga akhirnya kandas begitu saja
Untuk itulah kita harus memperbaiki diri Karena menikah, bukanlah perkara yang mudah Dalam berumah tangga, tidak sesingkat seperti apa yang kita duga Marilah kita sama² memantaskan diri dengan seutuhnya Agar kita senantiasa menjadi permata dunia bagi suaminya, dan Menjadi bidadari syurga di akhirat nantinya
Bukan, mengungkapkan rasamu kepada dia yang bukan mahrammu bukan cara yang tepat. Perasaan yang tak seharusnya hadir itu justru akan menjatuhkanmu pada kebinasaan.
Setan justru semakin senang, ia membuat cintamu seakan indah, ia membuatmu mengalihkan hati dan pikiranmu kepada selainNya.
Bukan, mendekati dia yang kamu cintai bukanlah cara yang benar. Kubur perasaanmu dalam dalam, balut cintamu dengan do'a, Semakin kamu mencintainya, maka semakin banyak do'amu untuknya.
Bukan, bukan ini hubungan yang Allah mau. Bukan ini cinta yang Allah berkahi. Tutup, tutuplah hatimu untuk cinta yang halal nanti.
Tak apa, jangan bersedih.. Alihkan cintamu pada Allah, insyaAllah Allah akan mempersatukan hamba yang saling mencintai karenaNya.
Hatimu sedang
digoreskan seseorang? Tenang, Allah sedang memberitahu bahwa lukamu adalah
kasih sayang-Nya yang membuat hatimu semakin menguat.
Hatimu sedang dikecewakan seseorang? Tenang, Allah sedang mengajarkan bahwa
sebaik-baiknya bergantung adalah pada ketetapan-Nya, engkau manusia pilihan
untuk semakin mendekati-Nya.
Hatimu dibuat sedih seseorang? Tenang, Allah mengajakmu bersyukur bahwa hatimu
masih berfungsi dengan baik dan bisa merasakan mana keikhlasan dan ketulusan
yang sesungguhnya.
Hatimu sedang dipermainkan? Tenang, Allah memberitahu bahwa duka ada bersama
suka, luka ada bersama cinta, mereka selalu bersama. Maka biarkan mereka ada
dengan biasa aja, jangan berlebihan.
Allah tidak pernah salah menitipkan luka, Allah sangat mengerti bahwa senyummu
lebih besar dari sakitmu. Keyakinanmu pada-Nya lebih kuat dari kecewamu pada
manusia.
Engkau tak sendiri,
Allah bersamamu,
Allah melihatmu,
Allah mendengarmu.
Cerpen Martin Aleida (Kompas, 21 Mei 2017) Surat Tapol kepada TKW, Cucunya ilustrasi Mahendra Mangku/Kompas
Febri yang baik, Pelupuk mataku hangat. Basah hidungku. Kau bilang
aku tak peka. Engkau juga seperti menimpakan seluruh kesalahan ke
pundakku yang tua ini. Karena dari 12.000 yang diasingkan selama sepuluh
tahun di pulau pembuangan itu, tak ada yang becus untuk menghasilkan
tulisan yang menggugah. Jangankan menggerakkan. Kau katakan, dan terasa
seperti menghukumku: “Kakek, tahu enggak,” begitu kau menyindir, “Anne
Frank cuma 13 tahun, tapi dia begitu menukik dan agung menghayati
kecemasan, ketakutan, yang memenjarakannya di belakang lemari
persembunyian, sampai dia digerebek dan dibinasakan. Sementara catatan
hariannya menjadi warisan dunia dan lambang kekuatan manusia dalam
menghadapi penindasan yang membinasakan.”
10 Tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak
tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau
harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka.
Dalam surat terakhir, engkau kabarkan belum menonton film dokumenter
tentang pulau di mana aku, dan ribuan lainnya, membikin aus otot,
tulang, dan otak hanya untuk menghasilkan padi, sementara yang menikmati
adalah tentara pengawal. Kau sebutkan ada temanmu yang sudah
menyaksikan, namun dia datang membawa sebuah gugatan. Mengapa hanya dua
tahanan yang muncul di layar? Di mana yang 12.000 lagi? Dan aku mati
kutu ketika kau cecar, kau tekan terus, mengapa judul film yang semula
begitu merangsang dan heroik tiba-tiba diganti dengan kata yang hambar,
seakan-akan pulau penyiksaan itu sebuah surga lama yang baru ditemukan.
Ada apa? Takut…? Menyensor diri sendiri? Hendak bermanis-manis dengan
kekuasaan yang telah menistamu? Yang membuat kalian sampai pada
kesimpulan bahwa hidup semata-mata untuk memikul siksa.
Aku tak mengerti, Feb. Dan aku cuma bisa bilang itu bukan citra getir
pulau pembuangan dari beribu manusia yang dihinakan. Aku bersih dari
prasangkamu. Aku tak terlibat. Apa pun yang ingin engkau katakan,
ucapkanlah, namun ingat selalu, aku kakekmu.
Kuceritakan dalam catatan yang kutulis setelah aku pulang, bebas,
bahwa kami, orang-orang rantai yang hina-dina, itu seperti muatan tak
berharga dibongkar, dikeluarkan dari perut perahu, digiring satu-satu
menginjakkan kaki di tebing Namlea yang berbau bakau. Penglihatanku
menumbuk belantara. Tetapi, dengan lantang aku berteriak di dalam hati
bahwa di pulau ini kami pasti akan mampu bertahan. Manusia bisa
dikorbankan, tapi takkan mungkin dihancurkan!
Begitu kami menyeruak semak-semak dalam iringan kawalan bersenjata,
terlihat sukun. Hatiku memekik. Daun-daunya hijau ramah melambai. Ada
sarang lebah. Sarat menggantung penuh madu. Rendah pula. Terbayang, dan
aku menelan liur pahit setelah berjalan berjam-jam dengan beban di
pundak bahwa kami takkan kekurangan karbohidrat. Ada sukun. Buah yang di
kampungku juga disebut roti belanda. Aduhai sedapnya roti yang empur
itu dicelupkan atau dioles madu. Pulau pembuangan terasa seperti surga
yang sedang hanyut dari langit ketujuh. Kau bayangkan betapa sukacitanya
aku yang sudah bertahun-tahun tak mengenal buah segar. Di sepanjang
rawa berjejer salak. Daunnya hijau pekat menjulur-julur ke angkasa.
Tetapi…. Ah, dasar tapol. Nasib yang lebih malang yang kami temukan.
Pas dengan keinginan kekuasaan yang tak puas-puasnya merendahkan
martabat kami. Ternyata yang kulihat itu bukan sukun, tetapi berembang
yang kalau disantap bikin mabuk. Yang menggantung menggoda itu bukan
sarang tawon, tetapi rayap. Hmm… dikira salak. Padahal, cuma rotan yang
menjalar dan tegak berdiri mencari matahari.
Memang tak kasar, Feb. Tetapi, kau menyebutkan aku tak punya
imajinasi. Majal…! Hatiku tidak terluka karena label yang kau tancapkan
itu. Bagaimanapun, pedih membaca kata-katamu itu. Kau sebutkan tulisan
yang kususun dengan berkeringat itu tak lebih dari catatan kerani
kelurahan yang terus merengek minta gaji dinaikkan, sementara isi
laporannya hanya mengotori halaman.
Engkau harus tahu, sepuluh tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas,
kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan,
bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang
merdeka. Terbang membubung menemukan kekuatan kata. Bagaimana tidak mati
kelaparan. Cuma itu isi otakku. Otak kami. Kalau kami berkhayal, itu
pastilah tak jauh dari pikiran bagaimana menyelamatkan diri. Kalau kami
ikan, maka yang kami renungkan, kerjakan, setiap detik adalah bagaimana
air bisa tetap berada di insang, di sirip, kami. Tahukah kau bahwa
khayal dan imajinasi, juga ikhtiar untuk itu, bisa berakhir dengan
kematian: dibunuh penjaga, dibunuh teman sendiri, atau bunuh diri….
Tak berarti kami mampus sudah. Tinggal sekadar daging yang mau, dan
bisa bergerak, lantaran siksaan militer yang sedang pesta kekuasaan. Kau
bisa memojokkan tikus dan membunuhnya, tetapi sebelum mati dia masih
punya akal untuk menyelamatkan sehelai nyawa. Dan itulah juga kami. Tak
ada pintu untuk melawan. Tetapi, sudah dari sananya kezaliman mesti
dilawan. Dengan jalan bagaimanapun. Kalah total kakekmu ini tak sudi.
Walau tak mau mati konyol. Dan tak sia-sia aku ini pernah menjadi
sukarelawan dan anggota resimen mahasiswa Jawa Timur untuk membebaskan
Irian Barat tahun 1962 di bawah komando Soekarno.
Aku pernah dilatih melancarkan sabotase. Kemahiran ini tak
kusia-siakan di pulau pembuangan yang jauh terpencil bernama Buru itu.
Aku mencuri beberapa gulung seng. Menyurukkannya di persembunyian yang
sempurna. Dasar sial, si Heru mengambilnya selembar dan dijadikannya
tempat penjemuran kopi. Mati aku…. Kepergok pengawal. Saya melompat ke
depan tapol yang bodoh itu. Mengambil alih tanggung jawab yang bisa
berarti kematian bagiku.
“Dia tidak bersalah, Sersan. Saya yang mengambil seng dari gudang,” kataku mantap.
Empat bulan aku dikurung. Tak pernah melihat matahari. Ditanya
macam-macam. Disiksa dengan rupa-rupa cara yang baru ditemukan tentara
yang bengis itu di sini. Aku dituduh mempersiapkan gudang golok untuk
memberontak membebaskan seisi pulau. Setrum, kaki meja kursi, gada besi
bergerigi mendarat di sekujur tubuhku. Kalau tak sadarkan diri, mereka
cemplungkan aku ke dalam perigi. Diseret keluar. Dipaksa makan cabai
rawit sepiring penuh. Kedua mataku tenggelam ditelan pipi, dagu, dan
jidatku yang bengkak mau meletus. Digebuki sampai gempor. Aku tak
percaya bahwa aku bisa berdiri lagi. Tapi, perlu kukatakan, rasa sakit,
perih, nyeri, dari siksaan itu hanya terasa di hari pertama. Selebihnya
syarafku kayaknya sudah mati.
Dua hari selepas aku dibebaskan dari penyiksaan, diadakan apel di bawah terik matahari.
“Hei, kalian semua, jangan coba-coba seperti Tumiseng ini, ya…!”
bentak komandan kamp menghardik tapol yang berjejer, yang dia perlakukan
tak lebih dari segerombolan tikus. “Atau kalian mau jadi umpan buaya…!”
sambungnya lagi, sengit. Aku sakit hati karena dia menodai nama yang
diberikan kedua orangtuaku. “Tumiseng,” katanya. Tumiso pencuri seng.
Pedih. Tapi, baiklah, aku tak usah membuat perkara lebih besar. Nasib
pesakitan memang untuk memuaskan nafsu yang kuasa.
“Komandan…!” Seruan itu seperti meluncur sendiri dari kerongkonganku.
Semua tapol terperangah. “Memang, saya yang mencuri empat gulung seng.
Tapi, itu belum cukup,” ucapku gemetar.
“Ha…! Maksudmu apa?” Matanya menelanku.
“Saya perlu enam gulung lagi….” Para tapol yang berjejer kepanasan
bergetar dibuat kata-kataku itu. Dagu mereka tergantung. Melongo. Tak
percaya pada setengah manusia, kawan senasib mereka, yang baru saja
berbicara.
Sersan yang berkuasa atas nyawa kami melangkah mendekati daguku. “Mau
kauapakan seng sebanyak itu?” Dia mengucapkannya dengan baik-baik, nada
datar. Tidak membentak. Aku menang dalam pertarungan tak seimbang ini,
teriakku di dalam hati.
“Komandan ’kan tahu keluarga kami akan menyusul. Seng sebanyak itu
kami butuhkan untuk membuat perabot rumah tangga. Ember, panci, anglo,
teko, dan cangkir. Juga tetabuhan guna menghibur keluarga yang datang.
Supaya mereka betah. Saya dan kawan-kawan akan bekerja lebih keras lagi
untuk membuat kamp yang Komandan pimpin ini terbaik dari seluruh kamp
yang ada di pulau ini.”
Sersan itu seperti mendapat mukjizat dari ucapanku yang tak pernah
dia bayangkan. Lama dia menikam mataku. Lama sekali. Kaki para tapol
pada bergeser menunggu peruntunganku. Tiba-tiba dia mengamangkan tangan
kanannya. Memberi hormat kepadaku. Aku tegak saja. Diam. Tidak bersorak
menyambut kemenangan luar biasa ini.
“Pakai sepedaku. Urus semua kebutuhan.”
“Siap, Komandan! Saya perlu surat jalan dari Komandan.”
Dia melepaskan topi lapangannya. “Ini,” katanya, “tunjukkan ini kalau ada yang bertanya.”
Jumpalitan aku menari-nari di dalam hati. Kutunggang sepeda menuju
gudang, 20 kilo jauhnya. Tidak bersiul-siul kegirangan, memang, namun
hatiku tak pernah mekar sesemarak hari itu. Aku melewati unit-unit lain.
Mampir dan basa-basi di tengah jalan. Dengan Buyung Saleh, Bandaharo,
Naibaho, Tom Anwar. Menjenguk Pram yang tidak memedulikan kehadiranku.
Apalagi kemenanganku. Dia seperti diburu waktu, kebanjiran kata-kata
untuk segera ditumpahkan ke mesin ketik.
Tema besar dalam surat-suratmu, yang kau desakkan adalah kemampuan
berimajinasi. Aku bukan pengarang. Cuma guru yang dituduh memilih jalan
terkutuk oleh penguasa. Memang, tanpa daya khayal manusia bukan apa-apa.
Dia akan menjadi seperti tikus yang terus-menerus ngibrit ke sarang
yang sama. Tak perlu aku berdoa supaya kau menempuh jalan yang kulalui.
Ditendang masuk bui, dibuang, supaya mampu memberikan nilai tinggi pada
kebebasan. Untuk itu terkadang kita bisa menjadi seorang pendurhaka.
Dengarkanlah baik-baik. Tanpa kebebasan, yang hanya jadi
bayang-bayang hampa selama bertahun-tahun dijepit tembok penjara dan
hutan belantara, kau menjadi tiada sebelum mati. Agama, di tangan mereka
yang tak punya hati dan pikiran, tak menolong. Kau tahu, nenek moyang
kita pengikut setia para sunan. Tapi, di pembuangan, oleh orang-orang
yang pendek pikiran, fanatik seperti batu yang tak berguna, agama
berubah menjadi ajaran yang jahat. Para penganjur yang dikirimkan khusus
dari Jakarta memperlakukan kami sebagai calon penghuni yang pasti bagi
neraka jahanam. Agama di sini menjadi siksaan. Sungguh. Seorang penyair
asal Sumatera, seagama denganku, memberontak dengan cara membangun tonil
Kristiani, keliling kampung. Naskah dia tulis sendiri. Penderitaan
Kristus selalu menggetarkan, memang. Komandan tertinggi mengenal
namanya. Sang Kolonel mengirim kopral menemui, mengancam si penyair
kembali ke agama orangtuanya atau …
Namun, tak-bisa-tidak, agama jugalah yang membebaskan. Aku kumpulkan
lalang kering, bambu yang tak terpakai, juga dolken. Sendirian, kubangun
kuda-kuda. Kutegakkan, dan jadilah apa yang kau sangka sebuah dangau.
Beberapa hari kemudian, di ujung kuda-kuda yang memuja langit, kupakukan
salib dari dahan kering. Buat komandan jaga, ini kelakuan agamawi.
Bukan perlawanan. Dia dianggap sebagai sikap kalah dari mereka yang
dirantai. Jadi, gereja itu berdiri dengan damai, kedamaian yang
didambakan semua agama.
“Sejauh mana Bung tahu tentang Kristen, kok nekat bikin gereja?” tanya tapol berdarah Tionghoa.
“Bertahun-tahun saya membaca Injil. Sering dengan mengeja huruf dan
kata-katanya. Tentu tidak sempurna. Aku yakin gereja membebaskan. Paling
tidak membuka celah pintu dunia bagi kita,” jawabku.
Minggu hanya beberapa orang yang hadir beribadah. Kadang aku yang
memberikan khotbah singkat. Acap kali, ada pastor yang datang dari
Namlea. Gereja yang sederhana itu kemudian berubah jadi pintu menuju
surga. Aku bebas berjalan kaki ke Namlea, membantu siapa saja yang
memerlukan tenagaku. Ikut memuat dan membongkar muatan kapal.
Pulang-pulang terkadang aku mengempit potongan kertas koran di
pinggangku. Koran yang usianya sudah berbulan-bulan. Untuk memahami
dunia luar, potongan koran bekas itu lebih berharga dari kitab suci.
Sembunyi-sembunyi kami bergantian seperti menghafal huruf-hurufnya yang
lusuh. Kami menyimaknya huruf-demi-huruf, kata-demi-kata. Titik koma.
Mengejanya baik-baik layaknya potongan koran yang kumal itu akan membawa
kami ke daratan yang dijanjikan.
Di kemudian hari, gereja itu pula yang menyadarkan dunia bahwa ada
seorang penulis, yang bertahun-tahun dikurung, telah berkali-kali
dicalonkan untuk menerima Nobel. Sementara Presiden Indonesia malah cuma
tercantum dalam urutan teratas di antara koruptor di seluruh dunia. Dan
aku tidak mabuk dengan pencapaianku melalui gerejaku itu. Walau aku
tahu tanpa tanganku yang menyelundupkan naskah Pram ke Namlea, dunia tak
bakalan pernah membacanya.
Cucu semata wayangku,
Ingin kusudahi surat ini dengan permintaan agar kau tidak menuduh aku
campur tangan dalam urusanmu yang sangat pribadi selama kau bekerja di
Jeddah ini. Engkau bilang, Ben kayaknya kesengsem. Mengejarmu ke
mana-mana. Kalau menyentuh tangan lekaki di depan umum akan dihukum,
kuanjurkan sambutlah tangannya. Cium diam-diam. Jangan terlalu
memilih-milih. Jangan sampai “Takut titik lalu tumpah.”
Aku tahu, orang Timur Tengah itu tak bisa dipegang. Mereka pasir yang
mudah berpindah kalau diterpa angin gurun. Tetapi, ingat, ngger.
Percayalah kepada korban! Ben keturunan Palestina, korban dari permainan
kekuasaan. Kesepakatan dunia, kalau Israel berdiri, Palestina juga
harus menjadi keniscayaan, tegak sebagai satu negara. Tapi, pada
akhirnya aku serahkan padamu. Engkau sendirilah yang tahu bagaimana
menghadapi badai di negeri dataran gurun yang jauh itu. Kalau kau tak
percaya pada pasir, kecuali pada seruan hatimu sendiri, maka sebagai
pemuja kebebasan, aku akan menghormati pilihanmu.
Salam, Tumiso Danuasmoro.
Martin Aleida. Anak Tanjung Balai, Sumatera
Utara; menghabiskan lebih setengah abad usianya di Jakarta, sebagai
mahasiswa, wartawan, dan penulis sejumlah fiksi panjang maupun pendek.
Sedang menunggu terbitnya catatan perjalanannya, “Tanah Air yang
Hilang”, tentang eksil Indonesia yang kelayaban di Eropa.
Cerpen Anggi Nugraha (Republika, 21 Mei 2017) Koran Ahad ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Koswara menatap lekat tulisan itu. Sebuah puisi berpigura, tampak
semakin lusuh dimakan usia. Istri juga keturunannya sering bertanya
ihwal puisi tersebut. “Mengapa harus puisi? Mengapa tidak lukisan saja,
Bah?” tanya anak perempuannya, dulu.
Seperti biasa, ia hanya tersenyum bila mendapati pertanyaan seperti
itu. Alih-alih berpanjang lebar menjelaskan layaknya dosen sastra, ia
hanya berkata, “Puisi kan bahasa jiwa. Ya, Abah mah suka aja.”
Dan pagi itu adalah hari Ahad. Koswara sedang menanti tukang koran
langganannya datang. Sembari menunggu, ia membaca dalam hati puisi yang
telah ia pajang selama tiga puluh tahun di dinding rumahnya itu.
Sungai Yangtze tinggal di tepi Sungai Yangtze, di dekat sumbernya Sementara kau tinggal lebih jauh di tepiannya juga Kau dan aku minum air dari aliran yang sama Aku belum melihatmu meski setiap hari aku memimpikanmu. Bilakah air sungai ini berhenti mengalir? Bilakah aku tak mencintaimu sebagaimana sekarang? Aku hanya berharap dua hati kita berdenyut menjadi satu Dan kau tak akan kecewa terhadap cintaku padamu.
Puisi Dinasti Tang itu sungguh memesona. Bagi Koswara, puisi itu
sangat berarti. Puisi itu selalu mengingatkannya pada seseorang. Dialah
sosok yang pernah ada dalam hidupnya dulu, sosok yang juga mengantarkan
ia menjadi seperti sekarang ini.
***
Di luar, matahari perlahan meninggi. Namun tukang koran belum juga
datang. Hari Ahad memang spesial bagi Koswara. Sedari dulu, bila Ahad
tiba, ia belum mau sarapan sebelum membaca beberapa cerita pendek juga
puisi yang menghiasi kolom-kolom sastra di beberapa harian media cetak,
baik lokal maupun nasional.
Koswara memang pembaca karya sastra. Bahkan lebih dari itu, ia
dikenal baik sebagai seorang sastrawan di Kota Bandung. Kota di mana ia
lahir, besar, dan juga menghabiskan masa tuanya itu.
Tapi, ihwal puisi Sungai Yangtze, hanya Koswara sendirilah yang tahu
kisahnya. Sampai kapan pun ia bertekad menyimpan erat kenangannya itu.
Maka, ritual minum teh hijau sembari memandangi tulisan itu, seiring
waktu tak lagi menjadi hal yang aneh bagi istri, anak, juga
cucu-cucunya.
Seperti di pagi itu, entah sudah yang ke berapa ribu kali ia
teringat, untuk akhirnya kembali mencari jawab atas kalimat terakhir
yang pernah diucapkan Li padanya.
Dulu, saat mereka berdua sedang menyusuri Jalan Braga, Li sempat berucap pada Koswara.
“Sastra itu mempertemukan. Ia selalu tahu kehendak hati. Bukankah
hati dicipta untuk membaca hati yang lain?” tanyanya malam itu pada
Koswara. Koswara hanya diam.
“Dan, sastralah jembatannya.” Li pun menutup pembicaraan malam itu.
Tahun itu 1963. Tahun terakhir sepasang muda-mudi beda etnis itu
bertatap mata. Sebelum akhirnya, di bulan Mei di tahun yang sama, sebuah
konflik rasial terjadi hebat di Bandung. Toko, rumah, dan aset milik
etnis Cina dirusak massa.
Sedari kejadian itu, Li dan keluarganya menghilang. Tak tahu ke mana.
Kepergian Li sungguh meninggalkan lara yang tak tertanggungkan bagi
Koswara.
Li, sebagaimana arti dari nama itu, adalah orang yang pintar menulis
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra dan seni. Tak aneh
bagi Koswara dahulu, kala mendapati Li membaca puisi “Sungai Yangtze”
itu di hadapannya, serasa Koswara benar-benar sedang berada di sana. Di
Sungai Yangtze itu. Dahulu, Koswara pernah bertanya pada Li tentang
puisi itu.
“Mengapa kau begitu suka puisi itu?” Li seperti mafhum. Ia yakin,
cepat atau lambat, pasti terlontar pertanyaan itu dari mulut Koswara.
“Itu puisi kesukaan Pearl S. Buck,” jawab Li.
Koswara bingung. Kala itu, ia memang tak tahu menahu soal sastra. Lantas, ia pun kembali bertanya.
“Siapa dia?”
“Ia perempuan Amerika pertama yang meraih Nobel Sastra.”
“Lantas, apa hubungannya dengan puisi Dinasti Tang itu?” tanya Koswara dengan saksama.
Li pun tersenyum. Bibir tipisnya merekah. Alis bulan sabitnya sedikit
terangkat oleh kernyitan dahi yang putih itu, untuk akhirnya kembali ia
coba jelaskan.
“Pearl S. Buck menghabiskan banyak waktunya di Cina. Ia banyak
menulis tentang Cina. Terlebih masalah kehidupan petani di Cina. Bahkan,
karena kecintaannya pada Cina, ia merasa sudah menjadi orang Cina.
Namun, ia menentang komunisme-nya Mao Tse-Tung. Karenanya, setelah
kembali menetap di Amerika, ia tak lagi diperkenankan masuk ke Cina.
Bahkan, pada saat hendak mengunjungi makam ibunya di Cina sekalipun, ia
ditolak oleh pemerintahan Mao kala itu.”
“Sungguh?” Koswara tampak serius.
“Hm…hm,” Li mengangguk.
Seiring waktu, Koswara paham mengapa Li begitu menyukai sosok Pearl
S. Buck. Karena, pada saat itu, Li begitu berharap orang-orang di
Bandung bisa sepertinya. Seperti Pearl S. Buck yang meski bukan orang
Cina, namun begitu mencintai Cina.
Seperti yang telah dikemas oleh sejarah bahwa kerusuhan rasial,
khususnya terhadap etnis Cina, sangat rentan terjadi kala itu di
Indonesia. Dahulu, dalam doa-doanya, Li selalu bertanya pada Tuhannya,
serendah itukah Tuhan menciptakan warna kulit berbeda-beda hanya untuk
saling menghina? Senista itukah Tuhan mencipta kaum yang berbagai-bagai
hanya untuk saling membenci?
Namun pada kenyataannya,waktu itu sudahlah usai. Meski demikian,
kerinduan Koswara akan Li tak pernah padam. Entah harus seperti apa,
atau bagaimana, ia hanya ingin Li tahu, bahwa kini Koswara adalah
seorang sastrawan. Seorang penulis yang sudah banyak menelurkan karya.
Bagi Koswara, Li sangat berpengaruh dalam usahanya belajar sastra.
Sebagaimana Li yang pernah berkata dulu bahwa sastra adalah jembatan
yang akan kembali mempertemukan keduanya. Ihwal itulah, Koswara
menghabiskan banyak waktunya untuk membaca dan menulis.
***
Angin pagi sepoi-sepoi dari luar masuk melalui jendela. Perlahan membelai mesra tubuh Koswara yang tampak sudah mulai ringkih.
Koswara kembali menghirup teh hijaunya. Setelahnya, ia menatap lagi
pada puisi “Sungai Yangtze” yang tak habis-habisnya memberikan kerinduan
pada sosok Li-nya itu. Lewat pemutar mp3 di smartphone miliknya, ia memutar lagu “Wan-Wan”. Sebuah lagu utama dalam opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu”.
Koswara pun kembali terbawa pada cerita Li tentang “Festival Bulan
Musim Semi”, di mana sebuah rombongan sandiwara memainkan cerita “Romeo
and Juliet” versi Cina.
Kisah itu bercerita tentang perlawanan sepasang kekasih yang dipaksa
berpisah oleh kekuatan feodal. Mereka berdua akhirnya tak kuasa bertahan
dari tekanan itu dan memilih untuk mengakhiri hidup mereka bersama
dengan cara bunuh diri. Namun, di akhir cerita yang penuh tragis, kedua
kekasih yang mati itu akhirnya hidup kembali. Mereka hadir dalam wujud
yang berbeda. Keduanya bereinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu yang
indah. Mereka kembali bersatu dan hidup bahagia selamanya. Tak ayal,
seraya mengepakkan sayapnya, kedua kekasih itu menari dan bernyanyi:
Mimpi menyerbuku Aku berkelana dan akhirnya tiba di tempatmu Kita duduk di beranda Dan kulagukan udara nan manis tetapi tua Lantas kuterjaga Tanpa ditemani siapa-siapa Rembulan bersinar Menerangi kuntum-kuntum bunga yang telah gugur Membuatku merasa kau telah pergi dan tiada lagi di dunia
Koswara sangat menyukai kisah itu. Bahkan, setelah masa yang lalu itu
sudah sangat jauh tertinggal, kini Koswara paham bahwa kisah tersebut
sudah ada sebelum nama Shakespeare tersohor.
Di universitas di mana Koswara mengajar kini, ia sering mengadakan
pertunjukan opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu” itu. Tak hanya dirinya,
para mahasiswanya pun sangat menyukai cerita klasik tersebut.
Seperti itulah Koswara menjalani hidupnya. Begitu banyak Li
berpengaruh, seperti itu pulalah Koswara merasa bahwa Li masih ada,
meski tak tahu di mana rimbanya. Puisi “Sungai Yangtze” juga kisah opera
“Sepasang Kekasih Kupu-Kupu” adalah sedikit dari banyaknya kenangan
yang menjadikannya kini hidup dengan bersastra. Sebuah dunia yang ia tak
pernah ada di dalamnya dulu, sebelum akhirnya ia mengenal Li dan jatuh
cinta padanya.
***
Tak lama, dari luar suara langkah kaki terdengar makin keras. Istri Koswara baru saja pulang dari pasar. “Bah ieu koranna. Nembe teh abdi pendak sareng tukang koranna. Saurna punten, koranna rada telat.” Setelah memberikan beberapa koran pada Koswara, lantas istrinya itu menuju dapur.
Ada lima buah koran di pagi itu. Koswara membuka satu per satu kolom
sastra yang di dalamnya memuat cerpen juga puisi. Tak tunggu waktu lama,
ia pun langsung melahapnya.
Setelah empat kolom sastra di koran Ahad itu selesai ia baca, tiba
saat ia mencoba koran yang terakhir. Lantas, lembar demi lembar koran
yang terakhir itu pun ia coba buka dengan perlahan. Hingga, sampai juga
ia pada halaman itu, di mana cerpen dan beberapa puisi dimuat di satu
halaman yang sama. Cerpen dan beberapa puisi di koran Ahad itu
berdampingan letaknya.
Namun tak seperti biasanya, di mana Koswara selalu membaca dari prosa
terlebih dahulu, tiba-tiba seperti ada yang menggerakkan hatinya untuk
melihat beberapa puisi di halaman itu. Tak dinyana, sontak tubuhnya
bergetar hebat. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Matanya pun
terbelalak pada sebuah puisi di kolom itu. Iya, puisi itu. Puisi yang
berjudul sama dengan puisi yang telah ia pajang di dinding rumahnya
selama tiga puluh tahun itu.
Sungai Yangtze Kita bertemu di tepi sungai Yangtze Kau dan aku terpisah badannya Karena minum dari aliran air yang sama, Kau dan aku tak pernah lelah tuk saling memimpikan.
Adakah suatu masa kemarau menghabiskan airnya? Akankah jarak tak bertepi menipiskan cinta kita? Aku tak pernah berharap tuk memutus nadi yang telah bersatu Kau dan aku tak kecewa untuk pernah saling mencinta.
Di bawah puisi itu, tertera nama sang penulis.
Tan Ay Li.
Sekejap, tulisan itu luntur.
Kertasnya basah.
Catatan:
Puisi Dinasti Tang (“Sungai Yangtze”) juga nyanyian “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu”, dikutip dari novel Pearl of China karya Anchee Min.
Pak, ini korannya. Barusan saya bertemu dengan penjualnya. Katanya maaf, agak telat.
Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2, OKU
Sum-Sel. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Tulisan-tulisannya dimuat di media.
Dulu,
Iya dulu.
Apalah kita yang banyak melakukan kekhilafan.
Mengutamakan apa yang Allah larang.
Kekhilafan yang mungkin sudah melampaui batas.
Ketika diri ingin hijrah,
Tak sedikit yang menertawakan,
Tak sedikit pula yang menghina di khalayak ramai,
Yah... Apalah kita ini,
Hanya manusia biasa yang penuh dengan dosa dan kekhilafan,
Hanya manusia yang sedang berusaha istiqomah di jalan-Nya.
Sometimes... Kita harus mengabaikan mereka.
Dalam artian mengabaikan segala yang menghambat jalan kita menuju kebaikan.
Semua #adakisahsendiri
Soal orang lain paham bagaimana kita dulu, bagaimana orang paling tau segalanya
soal kita, biarkanlah.
Buat apa dipermasalahkan?
Semua tugasnya Allah untuk menilai, bukan manusia.
Emang... Yang gampang itu teori, dan pengaplikasiannya dalam kehidupan ga
mudah.
Tapi, jika kita terus membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang orang lain
pikirkan soal kita, yakin deh ga akan ada habisnya.
Jadi... Apapun kita dulu, jangan minder, jangan sedih.
Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.
Tak perlu pikirkan mereka yang terbiasa mencaci dan menghakimi. Karena... Untuk
menghendaki segala sesuatunya, Allah punya cara tersendiri.
Semangat hijrahnya, semoga Allah senantiasa melembutkan hati kita, dan tentunya
menguatkan kita dalam balutan keistiqomahan
Let say...
Banyak sekali orang yang berada disekitar kita.
Banyak anggapan dan pemikiran yang barangkali tak mengenakan untuk kita.
Tak mengapa, Itu hak mereka.
Tak ada larangan, mau baik mau buruk, semua itu terserah mereka.
Kita hidup di dunia ini saling berdampingan.
Tak bisa kita memaksa setiap orang menilai kita hanya dari segi kebaikan.
Kita manusia biasa yang sering khilaf dalam segala perbuatan.
Jangan pernah jadikan kritikan, cacian, makian, dan hujatan sebagai pemisah
tali persahabatan.
Semua ini tak semata-mata soal kebahagiaan.
Insya Allah semua menuju pendewasaan.
Tak perlu emosi, tak perlu membalas dengan hal yang sama.
Ketika mereka mengatakan bahwa kita begini dan begitu, cobalah didengarkan.
Jadikan bahan introspeksi dan perbaikan.
Tak selamanya kita selalu benar.
Tak semua yang kita dapatkan sesuai harapan.
Barangkali memang harus ada ikhtiar untuk memberbaiki segala kesalahan.
Karena sebenarnya semua itu adalah bagian dari tahapan meningkatkan kualitas
diri.
Memang.... tak mudah untuk menahan segala emosi diri.
Tapi berusahalah menjadi pribadi yang wisely.
Karena bahagia itu hanya datang dari cara kita menyikapi.