Lelaki itu renta, tubuhnya sudah rapuh dimakan usia, keriput di kulitnya begitu nyata dan kasar,
mencerminkan perjuangan hidupnya yang penuh kesakitan. Tubuhnya sudah tidak tegak lagi,
sedikit bungkuk seolah tulangnya tidak mampu lagi menopang dagingnya. Langkahnya pelan dan
terseret-seret, penyakit stroke yang menyerangnya lima tahun lalu telah mengubah cara
berjalannya.
Tetapi lelaki itu tetap tangguh, dia selalu datang di makam itu setiap sore. Menabur bunga di
makam sederhana itu, lalu duduk lama disana sambil termenung, tidak pernah ada yang tahu apa
yang ada di dalam pikiran lelaki tua itu. Penjaga makam sudah mengenalnya, pun anak-anak kecil
dan wanita-wanita lusuh yang selalu berkeliaran di areal makam, membersihkan makam jika ada
peziarah sambil mengharapkan sekeping dua keping uang untuk sekedar menyambung hidup.
Dan Lelaki tua itu seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan areal pemakaman yang konstan
dari hari ke hari, seperti memang sudah seharusnya lelaki itu ada di sana setiap sore, duduk
termenung seperti larut dalam pemikiran sendiri selama hampir dua jam. Sampai matahari
tenggelam dan meninggalkan semburat kemerahan di langit, barulah lelaki itu melangkah pergi,
dengan langkah yang sama, bungkuk dan terseret-seret.
Tidak ada yang mengganggu keheningan lelaki itu di depan makam tua yang selalu dikunjunginya,
meskipun ada beberapa yang menebak-nebak apa yang ada dalam di pikiran sang lelaki tua.
Sebagian mengira sang lelaki tua sedang mendaraskan doa yang panjang, dan sebagian lagi
mengira lelaki tua itu melamun dan bercakap-cakap dalam hati dengan makam tua itu, sebuah
monolog yang menyedihkan.
Hari ini lelaki tua itu duduk disitu lagi. Terpekur diam, sama seperti hari-hari sebelumnya, yang
menjadikan lelaki itu bagaikan aksesoris patung bisu di samping makam.
Hari ini cuaca tidak bersahabat, gerimis turun rintik-rintik dan angin bertiup kencang, tapi apalah
artinya itu bagi si lelaki tua? Dia sudah pernah duduk di situ bahkan ketika hujan deras
menerpanya, atau bahkan ketika udara yang kering dan panas meniupnya. Membuatnya
terbatuk-batuk.
Lelaki tua itu masih selalu duduk di situ, dalam keheningan misteriusnya, disamping sebuah
makam sederhana, menabur bunga, penuh air mata. Lelaki tua itu selalu ada.
*****
"Selamat datang", sapaan itu terdengar lembut di ruang makan yang bersinar temaram.
Sajian makan malam terpapar di sana, tampak layu dan menyedihkan. Makan malam itu
seharusnya disantap berjam-jam yang lalu, tetapi Norman tidak datang untuk makan malam. Dan
Idha hanya bisa duduk termenung di samping meja makan karena suaminya tidak bisa dihubungi,
suaminya seolah menghilang, tidak ada dimana-mana.
Tetapi seperti selayaknya isteri yang baik, yang dibesarkan dengan pendidikan jawa kuno sejak
kecil, bahwa seorang isteri harus selalu mengabdi dan mengalah kepada suami, bahwa seorang
isteri adalah pelayan yang tunduk, hanya sebagai pelengkap, maka Idha hanya bisa duduk pasrah,
tidak pernah berargumentasi, tidak pernah membantah, padahal sebagai seorang Isteri, dia
mempunyai hak untuk melakukan itu.
Lalu, setelah hampir lima jam duduk di kursi meja makan itu, tidak bisa mengantuk karena cemas,
suara mobil Norman ahkirnya terdengar di halaman, Idha menunggu dengan penuh harap hanya
untuk menemukan suaminya masuk dalam kondisi setengah mabuk, bau alkohol dan parfum
asing menyeruak dari tubuhnya, matanya merah dan Norman tampak acak-acakan.
Idha segera bangkit dan menopang suaminya yang sempoyongan, hanya untuk di dorong dengan
kasar.
"Perempuan tak berguna!", bentak Norman tak terkendali, "Perempuan yang tidak bisa
menyenangkan suami!", mata Norman tampak nyalang dan tak fokus, dia menatap Idha dengan
marah seolah ingin memukulnya, "Aku menyesal kenapa aku dulu memilih untuk menikahimu,
aku membuang banyak kesempatanku untuk memilih perempuan yang lebih baik! Dan aku tidak
tahan berpikir harus menghabiskan sisa hidupku dengan perempuan seperti kamu!", suara
Norman semakin meninggi seiring dengan makin banyaknya cacian yang diucapkannya.
Idha hanya berdiri di situ, menerima segala cercaan suaminya. Itu sudah menjadi kebiasaan
suaminya ahkir-ahkir ini, mencerca dan menyakitinya dengan kata-kata kasar dan bahkan hatinya
sudah mulai terbiasa menghadapinya.
Dulu pernikahan mereka bahagia. Norman adalah pengusaha sukses yang berkecukupan, dan
dulu dia mencintai Idha. Tetapi semuanya berubah setelah masa lima tahun pernikahan mereka
berlalu dan Idha tak kunjung hamil. Keluarga besar Norman adalah keturunan ningrat dengan
Norman sebagai anak satu-satunya. Mereka sangat ingin Idha bisa melahirkan penerus darah biru
mereka, dan setelah lima tahun berlalu, kesabaran mereka habis, keluarga Norman tak hentihentinya
merongrong
rumah
tangga
Idha
dan
Norman.
Bahkan
sang
ibu
mertua
mulai
melakukan
Intervensi,
mempengaruhi Norman untuk berpikir menceraikan Idha, atau mungkin mengambil
isteri kedua, menjodoh-jodohkan Norman dengan anak-anak teman-temannya dari kalangan
ningrat, karena Idha adalah perempuan mandul yang tidak bisa memberikan keturunan. Lagipula
sang ibu mertua sama sekali tidak pernah menyukai Idha yang dianggapnya hanya mahluk
rendahan dari kalangan biasa, yang menurutnya sama sekali tak sepadan dengan Norman, putra
semata wayangnya.
Selama ini Idha selalu pasrah, dia menyadari kekurangannya yang tak sempurna sebagai
perempuan. Dia rela dimadu, tetapi tidak mau diceraikan, karena bagaimanapun juga dia
mencintai Norman, lagipula Norman memang pantas memperlakukannya seperti itu, karena dia
sudah mengecewakan Norman sebagai seorang isteri. Dia tidak mampu memberikan keturunan
yang selama ini sangat diinginkan Norman, Norman adalah anak tunggal yang selalu kesepian,
Idha sangat paham betapa Norman sangat ingin membangun keluarga besar.
Dulu pada awalnya, Norman masih membela dan mendukungnya. Tetapi tahun-tahun
belakangan ini Norman berubah dan berbalik menyerangnya. Mungkin itu terjadi karena Norman
tidak tahan akan tekanan keluarga besarnya yang tak henti-hentinya mencibir kebodohan
Norman karena dulu memilih Idha sebagai isterinya, mungkin juga karena Norman benar-benar
kecewa kepada Idha, sikap Norman makin lama makin berubah, dia menjadi dingin, kasar dan
jarang pulang ke rumah, Lelaki itu lebih sering menginap di rumah keluarganya, sikapnya penuh
kebencian dan permusuhan.
Norman mengubah rumah mereka menjadi seperti neraka bagi Idha. Tetapi Idha tetap diam, dan
pasrah, menerima semuanya. Bukankah sudah kewajiban seorang isteri, menanggung kemarahan
suaminya? Lamunan Idha terhenti dan dia sadar dia hampir tidak mendengarkan cercaan Norman
kepadanya, dengan takut-takut dia menatap ke arah suaminya, dan melihat Norman sudah
terdiam dan menatap tajam ke arahnya.
Norman tampak jengkel melihat kediaman Idha, napasnya terengah, lalu dia membalikkan badan
sambil menghentakkan kaki, seolah tak tahan menatap isterinya lama-lama. Dengan langkah
sempoyongan dia melangkah ke kamar, dan membanting pintu dengan keras, meninggalkan Idha
sendirian di luar.
Air mata Idha mengalir, dan dia tetap duduk terpaku di kursi itu, menatap pintu kamar yang
tertutup rapat, menolak kehadirannya. Dia sudah kehilangan cinta suaminya, apalagi yang
dimilikinya? Dia hanyalah seorang isteri mandul yg tidak bisa memberikan keturunan, yang sudah
tidak dicintai suaminya lagi.
******
"Aku akan menikah lagi", suara Norman terdengar dingin dan tajam. Mereka sedang duduk
bersama, sarapan.
Dada Idha serasa diremas, tapi dia menghela nafas dalam-dalam, menahan nyeri di hatinya yang
bagaikan ditusuk sembilu,
"Kapan?", tanyanya hati-hati.
Norman tersenyum, seolah tidak menyadari betapa terlukanya Idha,
"Minggu depan. Ibu menjodohkanku dengan Anissa, hari ini Anissa pulang dari Belanda setelah
menyelesaikan gelar masternya, kau ingat Anissa?"
Tentu saja Idha ingat. Anissa, keturunan ningrat berdarah biru juga, sama seperti Norman.
Perempuan yang dulunya memang hendak dijodohkan dengan Norman. Tetapi ketika Anissa
bersekolah di Belanda, Norman bertemu Idha dan jatuh cinta kepadanya, lalu memutuskan untuk
menikahinya.
Sekarang nasib membawa kembali Anissa ke dalam kehidupan mereka. Dunia kadang seperti
sebuah lelucon yang penuh ironi, Idha meringis.
Norman mengamati ekspresi Idha dan dahinya berkerut,
"Kau setuju kan Idha? Karena kalau kau tidak setuju, aku terpaksa mengikuti saran ibu untuk
menceraikanmu..."
"Aku setuju mas", jawab Idha cepat-cepat, mencoba tersenyum meskipun suaranya bergetar
menahan isak tangis.
"Bagus, dan cobalah bersikap baik kepada Anissa, sebab dia akan tinggal di sini bersama kita",
Norman bangkit dari duduknya dan meraih kunci mobil, "Aku harus menjemput Anissa di
bandara, mungkin nanti kami akan makan siang di sini, cobalah memasak makan siang yang enak,
Anissa suka sekali masakan Indonesia seperti pecel dan gado-gado, mungkin kau bisa memasak
itu, dia pasti akan sangat senang karena di Belanda dia susah menemui masakan seperti itu",
Norman tersenyum dengan mata menerawang, seperti lelaki yang sedang jatuh cinta.
"Baik mas"
Dan kemudian setelah Norman pergi, Idha berdiri di dapur, menumbuk sambal kacang untuk
gado-gado sambil bercucuran air mata.
******
Makan siang itu berlangsung lancar, terlebih karena Idha memilih diam dan bersikap pasrah.
Anissa cantik seperti biasa, dan sedikit angkuh, seperti sifat bawaan wanita berdarah biru.
Lagipula Anissa memang tidak pernah menyukai Idha. Dia selalu memandang Idha sebagai
perempuan yang pernah merebut calon suaminya, dan sekarang, ketika keadaan berbalik
membuatnya di atas angin, Anissa berpesta pora dengan kemenangannya.
"Enak sekali masakannya", gumam Anissa sambil mengelap mulutnya.
Norman tersenyum dan menggenggam tangan Anissa, tak peduli dia melakukannya di depan
isterinya sendiri.
"Idha yang membuatnya khusus untukmu, benar kan Idha?", mata Norman melirik Idha,
memperingatkannya untuk bersikap manis kepada Anissa.
Dengan lembut Idha mengangguk.
Anissa menatap Idha dengan tatapan merendahkan,
"Wah mbak Idha pandai memasak ya?", lalu Anissa mulai melancarkan mulutnya yang beracun,
"Seharusnya mba Idha buka warung saja, dagang gado-gado dan pecel kecil-kecilan, pasti banyak
yang suka"
Norman tertawa mendengarnya,
"Ah kau ini Anissa, nanti aku yang malu, dikira nggak bisa menghidupi isteri, masa isteri
pengusaha sukses berdagang gado-gado"
"Tapi itu kan bisa membuat mbak Idha belajar mandiri dan mencari uang sendiri, nggak selalu
bergantung pasokan keuangan dari mas Norman ya kan mbak?", senyum Anissa tampak begitu
manis, "Lagipula daripada mbak Idha hanya diam saja di rumah, toh nggak ada anak untuk di
urus"
Kata-kata terahkir itu menghantam Idha sekerasnya, wajahnya pucat pasi. Sedangkan Anissa
tersenyum puas memandang ekspresi Idha. Rupanya itu memang efek yang diinginkannya.
Makan siang itu berlangsung bagai neraka bagi Idha, Norman dan Anissa tak henti-hentinya
bermesraan bagai pasangan dimabuk cinta. Ketika Anissa mengulurkan jemarinya menggoda
untuk mengusap bekas makanan di sudut bibir Norman, idha sudah hampir tak tahan lagi.
Tapi Norman lalu berdiri dan menggandeng Anissa,
"Kami akan ke rumah ibu, menemui keluarga besar untuk membicarakan persiapan pernikahan,
kamu nggak usah menunggu kami, mungkin aku akan menginap di rumah ibu"
Norman tidak pulang hingga empat hari kemudian.
*******
Pernikahan Norman terjadi di hari minggu, dan Idha hadir di sana, duduk dengan hati hancur
ketika suaminya mengikat janji dengan perempuan lain. Tetapi kehancuran ini baru awalnya dari
kehancuran-kehancuran lainnya yang menyusul.
Anissa masuk ke rumah mereka, dan menguasainya. Dia mengusir Idha dari kamar utama - yang
lalu Anissa tempati bersama Norman - dan membuat Idha tergusur ke kamar tamu, sendirian di
sana, melewatkan malam-malamnya dalam sepi, karena sejak saat itu Norman tidak pernah
mengunjunginya di kamar. Sampai kemudian Anissa hamil, dan tingkah jahatnya semakin
menjadi-jadi, memperlakukan Idha seperti pembantu, sedangkan Norman sama sekali tidak
membelanya. Idha hanya berdiri di situ, berusaha bertahan walaupun makin lama semakin
terpinggirkan dari kehidupan Norman, lelaki yang dicintainya, dia seorang isteri yang dipaksa
melihat kebahagiaan sang suami dengan keluarga barunya di depan matanya. Hatinya hancur
sedikit demi sedikit dari dalam, yang kemudian menggerogoti tubuhnya. Dia menjadi makin kurus,
makin lemah.
Pernah suatu hari Idha demam tinggi, dan dia meminta Norman mengantarnya ke dokter,
"Perutku sakit sekali mas, nyerinya tak tertahankan", Idha meringis, kesakitan setelah mencoba
berdiri dan berjalan untuk menemui Norman yang sedang duduk di ruang tamu.
Norman mendongakkan kepalanya dan mengernyit, Isterinya tampak berubah, sangat kurus
hingga hampir seperti tengkorak hidup, kulitnya pucat, tetapi kusam dan tidak sehat,
"Perlu ke dokter?", tanya Norman setengah hati, dalam hati membandingkan Idha dengan Anissa
isteri mudanya yang sedang hamil 7 bulan, semakin bertambah usia kehamilannya, Anissa makin
bertambah cantik, membuat Norman tak henti-hentinya ingin memamerkan isteri dan calon
bayinya kemana-mana. Aku akan malu kalau harus memperkenalkan isteriku yang satu ini,
gumam Norman dalam hati, mengamati penampilan Idha yang lusuh dengan daster yang sudah
pudar warnanya. Seharusnya aku menceraikannya saja, gumam Norman dalam hati lagi.
Idha memegang perut kanannya dan meringis,
"Sepertinya aku harus ke rumah sakit mas, nyerinya tak tertahankan dan aku makin khawatir, di
bagian ini perutku mengeras",
Dengan bersungut-sungut Norman berdiri dan meraih kunci mobil,
"Kita kedokter dulu saja, mungkin cuma masuk angin. Jangan terlalu manja", ketika Norman
berdiri dengan Idha yang melangkah tertatih-tatih di belakangnya, mereka berpapasan dengan
Anissa yang sudah segar, baru selesai mandi. Daster hamilnya tampak modis dan dia berias
lengkap. Kehamilannya membuat kulitnya semakin mulus dan berkilauan, dan tubuhnya jadi
berisi dan menggiurkan.
"Mau kemana mas?", Anissa tersenyum manja kepada Norman, lalu mengernyit melihat Idha
yang mengikuti Norman di belakangnya.
"Mau ke dokter, Idha sakit",
Anissa menatap Idha dari ujung kepala ke ujung kaki, lalu mencibir,
"Mbak Idha manja sekali sih, aku saja yang hamil tujuh bulan masih segar dan kuat, mungkin
karena mbak Idha malas, kurang gerak jadinya badannya lemas. Sekali-kali ikutlah aku jalan-jalan
pagi mbak, bukannya tidur saja", dengan manja Anissa merangkul Norman, "Mas, anakmu disini
pingin makan manisan mangga, kita beli yuk?", gumamnya sambil mengelus perutnya yang
membuncit.
Norman berdiri di sana meragu, di satu sisi dia ingin menyenangkan isterinya dan calon bayinya,
di sisi lain Idha tak bisa disangkal lagi tampak begitu pucat.
Anissa menyadari kebimbangan Norman dan mencebik manja,
"Mas kasihan anakmu ini, aku sebenarnya sudah pingin lama tapi aku menahannya karena tidak
ingin merepotkanmu, tapi hari ini aku pingin sekali mas, rasanya badanku sakit semua kalau
belum berhasil mencicipi manisan mangga itu", Anissa menatap ke arah Idha, "Mba Idha paling
cuma masuk angin biasa, tidur sebentar juga sembuh, nanti sambil beli manisan, sekalian deh kita
beli tolak angin buat mbak Idha ya?"
Dan disanalah Idha, berdiri lunglai menahankan kesakitannya, sambil menatap mobil Norman
melaju dengan Anissa di sisinya, meninggalkannya di rumah.
******
Sebulan kemudian, Idha benar-benar terkapar di rumah sakit, livernya sudah mengeras dan
kondisinya kritis. Malam itu, malam ke empat belas Idha dirawat, ketika Idha meregang nyawa,
dia membisikkan nama suaminya. Tetapi suaminya tidak menungguinya di sana, hanya bik Sumi,
pembantunya yang setia menungguinya sambil bercucuran air mata, tak sanggup melihat kondisi
nyonyanya yang mengenaskan.
"Mas Norman nggak datang bik?", Mata Idha sudah tidak fokus, tetapi dia tetap menanyakan
suaminya.
Bik Sumi menggeleng dengan sedih, suaranya tercekat di tenggorokan. Bagaimana mungkin dia
tega mengatakan bahwa pada saat Idha meregang nyawa, Norman dan Anissa sedang tertawatawa
di sana, mereka berdua sedang mempersiapkan kamar bayi, di kamar yang seharusnya
masih menjadi kamar Idha, Tadi boks bayi besar warna biru baru saja di datangkan ke rumah,
sebagai hadiah kejutan Norman untuk Anissa, dan isteri muda tuannya itu memekik bahagia lalu
menciumi suaminya, mereka terkekeh-kekeh tertawa bersama mengagumi keindahan boks itu.
Itulah pemandangan terahkir yang disaksikan bik Sumi sebelum dia naik ke angkot untuk ke
rumah sakit menjenguk nyonya majikannya yang terbaring tak berdaya.
"Bilang sama mas Norman kalau aku nanti tak sempat bertemu ya bik, bilang padanya kalau aku
mencintainya"
Bik Sumi mengangguk, air mata mengalir deras di pipinya.
"Jangan nangis bik, aku tidak apa-apa kok, aku malah lega, sepertinya semua nyeri ini akan segera
berahkir", Idha tersenyum lembut dan memejamkan matanya. Lalu nafasnya pelan-pelan
melemah dan menghilang sama sekali. Pergi dalam damai.
Dan begitulah ternyata ahkir kisah Idha yang menyedihkan, hampir satu tahun setelah dia
dimadu. Idha meninggal dunia dalam kesedihan karena cinta suaminya yang direnggut darinya.
Dokter mendiagnosanya menderita kanker hati yang terlambat diketahui dan terlambat ditangani,
tapi bagi orang yang mengerti, Idha meninggal karena patah hati.
*****
"Aku mencintaimu isteriku", lelaki tua itu mengusap air mata bening yang menetes di sudut
matanya, menatap makam sederhana berusia dua puluh tahun itu, "maafkan aku, maafkan
aku...", Norman menunduk dan menahan serak di tenggorokannya, Tubuhnya sudah begitu renta,
penyakit stroke yang menggerogotinya sejak lima tahun lalu semakin membuatnya lemah dan
menua lebih daripada yang seharusnya.
Hujan rintik-rintik menerpanya, tetapi Norman tidak merasakannya, seakan dia ingin mati saja di
sana, tepat di depan nisan ini. Tetapi entah kenapa Tuhan seolah-olah sengaja
mempertahankannya dalam kesakitan dan kerentaannya, lalu menghukumnya untuk selalu
kembali dan kembali ke sini, ke makam almarhumah isterinya, Idha yang meninggal dua puluh
tahun lalu, untuk memohon ampun di pusaranya.
"Ternyata aku yang mandul", Norman mengulangi kata-kata yang sama, yang diucapkannya
setiap dia mengunjungi makam Idha, "Ternyata akulah yang tidak mampu memberikan
keturunan, dokter memastikannya ketika aku memeriksakan diri karena tak kunjung
mendapatkan anak kedua", tatapan Norman menerawang, melayang ke masa lalunya, "aku
marah besar saat itu, menuntut kebenaran dari Anissa tentang anak yang dilahirkannya" suara
Norman tertahan oleh emosi, "Ternyata Alfi bukan anakku, dia anak kekasih Anissa...",
Tangan Norman mengusap lembut pusara di depannya, yang bertaburkan bunga mawar, "Aku
marah sekali saat itu Idha, marah sekali, tapi aku tidak berdaya, sebelumnya Anissa sudah
berhasil membujukku untuk memindahkan seluruh harta kekayaanku atas nama Alfin, rumah...
mobil... perusahaan... Semua lepas dari tanganku, Anissa menguasai semuanya, Idha...", dengan
sedih Norman menangis, "aku tidak pernah menyesali hilangnya hartaku, tapi aku menyesali
semua yang aku lakukan kepadamu, kau isteriku yang terbaik, mencintaiku apa adanya, tapi lihat
apa yang kulakukan kepadamu, aku menghancurkan hatimu, aku menyakitimu, bahkan mungkin
pada ahkirnya aku yang membunuhmu.... Aku menyesal Idha, aku sungguh-sungguh menyesal,
dosaku kepadamu sungguh tak termaafkan, dan aku terima semua ini terjadi kepadaku sebagai
balasan atas semua kesakitan yang pernah aku timpakan kepadamu", suara Norman tercekat
oleh tangis yang dalam.
Kemudian lelaki tua itu termenung, lama, seperti yang selalu dilakukannya. Mendera dirinya
dengan penyesalan dan rasa bersalah sampai lama, sampai senja mulai tenggelam dan langit
mulai gelap. Setelah puas menyalahkan dirinya sendiri, dengan susah payah lelaki itu
menundukkan tubuhnya dan mengecup nisan sederhana itu sepenuh perasaan,
"Sudah malam, aku harus kembali, mereka akan mencariku, beristirahatlah dengan tenang
isteriku, aku akan datang lagi besok"
Lalu lelaki tua itu bangkit dengan tertatih-tatih. Keriputnya semakin dalam ketika menahan sakit
saat menyeret kakinya yang setengah lumpuh karena stroke, punggungnya bungkuk di terpa usia.
Lima tahun lalu, ketika kehancuran rumah tangganya membawanya kepada penyakit stroke yang
parah. Anissa mengirimnya ke sebuah panti jompo, dengan deposit pembayaran 10 tahun, lalu
tidak pernah menengoknya lagi. Dia sudah membuang Norman. Sekarang Norman tidak punya
keluarga. Orangtuanya sudah meninggal dan seluruh keluarga besarnya meninggalkannya ketika
dia terpuruk di bawah kekuasaan Anissa. Norman sebatang kara, tidak punya siapa-siapa.
Menghabiskan masa tuanya dalam kesepian di panti jompo, hanya menunggu ajal menjemputnya.
Dan lelaki tua yang melangkah bungkuk terseret-seret di makan usia itu pergi dengan satu
pertanyaan yang mengusik hatinya.
"Kalau aku mati nanti.... Siapakah yang akan menabur bunga di pusaraku...?"
Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar