Cerpen Karangan:
Septi Nofia Sari
Lolos moderasi pada: 28 April 2017
Burung kutilang berkicau dengan merdunya di dahan tertinggi pohon
jambu biji yang tumbuh tinggi di samping sebuah rumah berlantai dua.
Tepat di samping burung kutilang bertengger, sebuah jendela berdaun satu
terbuka membuat hangatnya cahaya matahari pagi menerpa seluruh isi
ruangan di kamar itu. Seorang gadis yang berseragam putih abu-abu
memandang langit dari jendela yang terbuka.
“selamat pagi kutilang… selamat pagi mentari… selamat pagi dunia…” ujarnya tersenyum.
Dering ponsel mengagetkannya. Ia segera mengambil ponsel yang ia letakkan di meja belajarnya.
“halo kak?”
“Dara, kakak sudah sampai depan rumah kamu. Kita berangkat sekarang ya,
sudah jam setengah tujuh lebih…” ujar penelepon yang menghubungi gadis
yang dipanggil Dara itu.
“iya, kak.”
Dara segera mengambil tas dan keluar dari kamarnya. Ia menuruni
tangga dan langsung menuju ruang makan menghampiri kakak iparnya yang
sedang menyiapkan sarapan untuk pamit.
“Kak Tania, aku berangkat dulu ya. Kak Alfa sudah menunggu di depan.” Katanya.
“kamu tidak sarapan dulu?” Tanya Tania.
“tidak, aku sudah kesiangan. Tolong pamitkan kepada kak Doni, ya.” jawab Dara yang langsung keluar.
“iya.” jawab Tania sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Di luar, Alfa sudah menunggu Dara. Dara segera menghampirinya. Mereka
segera menuju sekolah mereka. Setiap pagi, Alfa selalu menjemput Dara.
Selain karena mereka satu sekolah, mereka juga sudah berpacaran selama
hampir satu tahun tepatnya sejak Alfa duduk di bangku kelas dua SMA,
sementara saat itu Dara masih kelas satu. Dara sangat mencintai pacarnya
itu bahkan sejak mereka masih kecil. Dulu, saat mereka masih sama-sama
tinggal di Semarang, rumah mereka berdekatan sehingga mereka selalu
bersama. Alfa selalu bersikap baik kepada Dara. Ia selalu melindungi dan
menghibur Dara saat Dara selalu diejek oleh teman-temannya karena ia
tak punya ayah. Ayah Dara pergi meninggalkan Ibu dan Doni, kakaknya saat
Dara masih berada di kandungan. Oleh karena itu Dara sering diejek dan
tak jarang Dara selalu menang. Sejak itu, Alfa jadi sangat berarti
baginya, bahkan lebih berarti dibanding seorang teman. Namun, saat Dara
kelas satu SMP, Alfa tiba-tiba pindah ke Jakarta tanpa memberitahunya
karena orangtuanya dipindah tugaskan kesana. Dara sangat sedih saat itu,
bahkan ia sampai menangis seharian di kamarnya.
Dua tahun setelah itu, Dara kembali mengalami kesedihan karena ibunya
meninggal dalam sebuah kecelakaan bus. Karena itu, kemudian Dara ikut
tinggal bersama Doni, kakaknya dan Tania, istri Doni di Jakarta. Doni,
yang umurnya terpaut sepuluh tahun dengannya, harus membiayai kebutuhan
hidupnya dan adiknya. Untungnya, Doni sudah lulus S2 dan mendapat posisi
yang lumayan baik di sebuah perusahaan swasta.
Setelah beberapa bulan Dara pindah, Dara mendapat kejutan istimewa.
Alfa dan orangtuanya datang ke rumahnya. Ternyata rumah mereka tak jauh
dari rumahnya dan kakaknya. Dara sangat senang bisa bertemu dengan Alfa
lagi. Orangtua Alfa datang untuk membicarakan sebuah kesepakatan yang
dibuat antara mereka dengan ibunya. Sebelum ibu Dara meninggal, mereka
bersepakat untuk menjodohkan Dara dengan Alfa untuk menjaga
silaturrahmi. Apalagi, ibu Dara dan ibu Alfa sudah bersahabat sejak
kecil. Dan lagi, Alfa dan Dara sudah saling mengenal satu sama lain.
Soal pertunangan, akan dilangsungkan saat Alfa dan Dara menyelesaikan
kuliahnya nanti. Yang penting mereka bersama dulu. Meskipun awalnya
sama-sama terkejut, namun baik Alfa maupun Dara akhirnya sama-sama mau
menerima kesepakatan itu.
Kesepakatan itu Dara terima bukan tanpa alasan. Namun, karena memang
Dara sangat menyukai Alfa. Saat itu Dara benar-benar merasa paling
beruntung di dunia. Namun ternyata itu tak sepenuhnya benar. Dara kira
sikap Alfa kepadanya akan seperti saat mereka kecil dulu. namun, yang
Dara terima setelah perjodohan itu, malah bertolak belakang dengan apa
yang dia pikirkan. Alfa bersikap acuh tak acuh padanya. Alfa memang tak
pernah marah-marah padanya, namun juga tak pernah memberi prhatian
padanya. Setiap berangkat maupun pulang sekolah, mereka selalu
bersama-sama. Mereka juga sering pergi jalan-jalan bersama, namun juga
tanpa saling berbicara satu sama lain. Begitulah hubungan yang mereka
jalani selama ini. Jika Dara bisa memilih, ia ingin mengakhiri hubungan
aneh ini. Namun itu hanya ada di pikirannya saja sementara bibirnya
tetap mengatup saat Alfa ada di dekatnya. Ia hanya bisa memendam rasa
marah dan kecewanya di dalam dadanya yang semakin panas. Akhirnya Dara
berusaha tak menghiraukan sikap Alfa yang jujur saja menyakiti hatinya
itu. Ia yakin, jika ia bersabar suatu saat nanti Alfa akan berubah. Dara
berusaha meyakinkan hatinya bahwa Alfa pasti punya alasan tersendiri
mengapa sikap Alfa bisa berubah seperti itu.
Saat ini hubungan mereka berjalan hampir satu tahun. Namun bagaikan
dihantam palu besar, Dara harus menyadari kenyataan pahit bahwa Alfa
memang tak pernah sedikitpun mencintainya. Saat itu Dara sedang menunggu
Alfa di pintu gerbang untuk pulang bersama-sama. Hampir satu jam Alfa
tidak keluar juga padahal semua teman Alfa sudah pulang. Akhirnya Dara
memutuskan untuk menghampiri pacarnya itu ke kelasnya. Saat ia sampai di
depan kelas Alfa, tak sengaja ia mendengar percakapan Alfa dan tiga
teman Band-nya.
“Alfa… kau serius pacaran dengan anak kelas dua… siapa namanya… kalau
tak salah Dara. Iya… Dara kan namanya?” Tanya salah seorang dari mereka.
Karena ia mendengar namanya disebut-sebut, akhirnya Dara berhenti dan mendengarkan dari balik pintu.
“Iya.” jawab Alfa singkat.
“Bukankah kau pernah bicara kalau kau tetap akan menunggu Dhea?”
Jantung Dara berdegup. Siapa Dhea? Tanyanya dalam hati.
“Aku memang masih menunggunya sampai sekarang. Aku sudah berjanji akan
tetap mencintai Dhea sampai kapanpun. Kecelakaan pesawat yang membuat
Dhea hilang itu masih tetap terngiang di kepalaku sampai saat ini.” Ujar
Alfa menjawab pertanyaan temannya.
“Lalu kalau kau masih mencintai Dhea, kenapa kau berpacaran dengan Dara? Sebenarnya siapa yang kau cintai?”
“Itu… itu bukan keinginanku. Aku tak pernah mencintai Dara. Aku
berpacaran dengannya semata-mata hanya karena kemauan orangtuaku. Aku
menurutinya karena aku tak mau membuat mereka kecewa, setidaknya sampai
Dhea kembali. setelah Dhea kembali, aku akan bicara kepadaku, aku yakin
orangtuaku akan maklum. Selama ini aku baik kepada Dara juga agar
orangtuaku tak khawatir dan menyangka kami baik-baik saja.” Ujar Alfa
menjelaskan.
“Lalu bagaimana dengan Dara? Kau yakin dia akan menerima saat kau memutuskannya?”
“aku… aku tak peduli. Pokoknya yang aku cintai hanya Dhea, kalian tahu
sendiri kan? Lagipula aku hanya menganggap Dara seperti adikku sendiri…”
Mendengar kata-kata Alfa seperti itu, dada Dara terasa sesak dan panas.
Dua sungai kecil telah mengalir dari kedua bola matanya. Gadis berhati
lembut dan mudah menangis itu langsung berlari keluar dan masuk ke dalam
taksi yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang tepat di depan
sekolahnya. Ia ingin marah, namun tak tahu harus bagaimana. Ia hanya
bisa menangis di sepanjang perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya, bahkan teriakan Tania yang memanggilnya tak ia hiraukan.
Sampai matahari tenggelam, Dara masih mengurung dirinya di kamar. Ia tak
mau menangis di depan kakak dan kakak iparnya. Ia tak ingin kakaknya
itu mengetahui masalah yang dihadapinya, padahal setiap berhadapan
dengan kakaknya, ia sulit untuk berbohong. Akhirnya ia hanya bisa
berdiam diri di kamarnya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang di
dengarnya siang itu. Kini ia tahu apa yang terjadi sebenarnya sehingga
sikap Alfa padanya berubah tak seperti saat mereka kecil. Hatinya
benar-benar sakit.
Ponselnya berdering, ternyata Alfa telah menghubunginya berkali-kali. Ia pun mengangkatnya.
“Iya, kak?” Ujarnya pelan.
“Tadi kamu tidak menungguku, ya? Kenapa kamu pulang dulu?” Tanya Alfa.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak enak badan saja. Ya sudah aku mau
belajar dulu, ya. Sampai ketemu besok.” Ujar Dara dan langsung mematikan
telepon Alfa.
Dara merasa malas untuk berbicara dengan Alfa. Ia tak tahu apa yang
harus ia lakukan. Ia marah tapi ia juga cinta terhadap Alfa. Hatinya
benar-benar bimbang.
Keesokan harinya, Dara bersiap-siap berangkat sekolah lebih awal. Ia
berjalan ke halte bus. Disana, ia sudah ditunggu oleh Dania, sahabatnya.
Ia memang sengaja meminta Dania menunggunya untuk berangkat bersama. Ia
ingin ke sekolah dengan naik bus daripada berangkat bersama Alfa. Ia
ingin menghindari pacarnya itu. Ia ingin belajar tak bergantung kepada
Alfa dan berusaha melupakannya. Oleh karena itu, ia berangkat pagi-pagi
sekali agar ia bisa pergi sebelum Alfa menjemputnya.
Saat istirahat sekolah, Alfa menemuinya di kelas. Alfa mengambil kursi dan duduk di dekatnya.
“Tadi pagi kamu berangkat dengan siapa? Aku jemput kamu tapi kata kak Doni kamu sudah berangkat.” Ujar Alfa.
“Aku naik bus bersama Dania.” Jawab Dara singkat.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin merasakan berangkat dan pulang tanpa
bergantung sama kakak saja. Aku ingin seperti teman-teman lain saja.
Lagipula selama ini aku tak pernah bisa bersama sahabatku selain di
sekolah. Jadi mulai saat ini kak Alfa tidak usah jemput aku. Aku bisa
berangkat dan pulang sendiri. Kakak juga bisa lebih banyak waktu untuk
teman-teman band kakak itu.” Ujar Dara bernada menyindir.
“Kok kamu bicara seperti itu?”
“Ya memang begitu, kan? Kakak harusnya senang aku sudah tak merepotkan kakak lagi.” Jawab Dara sambil bangkit.
“Kamu mau kemana?” Tanya Alfa.
“Aku mau ke toilet.”
Dara meninggalkan Alfa yang masih heran dengan sikapnya yang aneh dan tak seperti biasanya itu.
Hingga hampir dua bulan sudah Dara masih tetap menghindar untuk
bertemu Alfa. Meski rasanya berat, tapi ia ingin belajar melupakan dan
bila pada saatnya nanti Alfa meninggalkannya, ia sudah siap. Sejujurnya,
ia sangat rindu tapi ia memaksakan hatinya untuk tak memikirkannya.
Saat di sekolah, ia hanya bisa memandang Alfa dari jauh. Saat Alfa
menghubunginya ataupun mengajaknya jalan-jalan, ia berusaha menghindar
dengan beralasan sedang sibuk atau sedang tak enak badan. Untungnya,
hari-harinya tak sepi karena sampai kenaikan kelas tiga, wali kelas
meminta semua murid untuk belajar kelompok setiap hari dengan teman
sebangku saat pulang sekolah. Begitupun dengan Dara, setiap hari setelah
pulang sekolah ia belajar kelompok dengan Ari, teman sebangkunya.
Setiap hari bersama Ari membuat Dara hampir bisa melupakan Alfa.
Sifat Ari yang banyak bicara, perhatian, dan humoris membuat hati Dara
terhibur. Dara merasa nyaman saat di dekat Ari. Setidaknya ia merasa
dihargai dan dianggap sebagai seorang perempuan. Mereka sering bercanda
bersama. Pokoknya Dara merasa sesuatu yang beda saat ia bersama Ari
dibandingkan saat ia bersama Alfa. Hingga suatu malam saat Dara dan Ari
belajar bersama di sebuah kafe, Ari berbicara kepada Dara.
“Dara… aku mau bicara…” ujar Ari gugup.
“Ada apa?”
“Emm… a… aku… aku menyukaimu…”
Dara yang saat itu sedang mengerjakan tugas langsung meletakkan bolpoinnya.
“kamu bicara apa, sih? Jangan bercanda…” ujar Dara.
“Aku tidak bercanda. Aku sudah menyukaimu sejak kita duduk sebangku.”
Bibir Dara terkatup tak bisa bergerak mendengar pernyataan Ari.
“Aku terlalu berterus terang, ya?…” Tanya Ari yang melihat reaksi Dara yang hanya diam.
“A…Ari… Aku… maaf aku tidak bisa. Aku…”
“Tak apa-apa, kok. Kau tidak usah menjawabnya. Lagipula aku hanya
mengakui perasaanku saja kok. Aku tak memintamu untuk menjawabnya. Aku
tahu kau sudah punya pacar…”
“Ari… aku…”
Belum selesai Dara bicara, tiba-tiba seseorang mendatangi meja mereka.
Betapa terkejutnya Dara saat tahu bahwa orang itu adalah Alfa.
“Kak Alfa…?! Ke… kenapa kak Alfa bisa ke sini?” ujar Dara terbata-bata.
Alfa mengambil tas Dara dan menarik tangannya.
“Ayo kita pulang…!” ujar Alfa.
Alfa menyeret Dara keluar dari kafe. Dara berusaha melepaskan tangannya yang digenggam Alfa.
“Apa yang kakak lakukan…?! Kenapa kakak menarikku seenaknya seperti
itu? kakak tidak lihat aku dan temanku sedang belajar? Lepaskan
tanganku…!” ujar Dara.
Alfa berhenti dan melepaskan tangan Dara. Wajahnya terlihat marah.
“Belajar? Kamu bilang itu belajar? Kamu kira aku tidak tahu apa yang
kalian lakukan dari tadi? Kalian hanya bercanda dan mengobrol. Kalian
pacaran, kan? Kamu kira aku tidak lihat saat teman kamu itu mengatakan
suka kepadamu…?!”
Dara setengah terkejut dengan kata-kata Alfa. Apa maksud Alfa besikap seperti itu?
“Jadi selama ini kamu menghindariku hanya karena ingin bersama temanmu
itu…? kamu bilang sibuk… sibuk pacaran maksud kamu?!” ujar Alfa lagi.
“Apa yang kakak bicarakan? Aku benar-benar bingung. Kakak cemburu?
Kenapa kakak harus cemburu…? Bukankah kakak tak mencintaiku? Kenapa
harus cemburu?”
“Ma… maksud kamu apa, Dara?”
“Kakak kira aku tak tahu? Aku tahu semuanya, kak! Bukankah kakak tak
mencintaiku? Bukankah kakak masih menunggu Dhea kembali kepada kakak?
Bukankah kakak tidak akan peduli perasaanku jika kakak sudah bersama
Dhea lagi dan kakak akan memutuskanku? Aku tahu, kak! Aku tahu
semuanya…” kini Dara sudah bisa mengeluarkan kata-kata yang selam ini
dipendamnya.
“Dara… bagaimana kamu tahu?…” Tanya Alfa terbata-bata.
“Kakak tak perlu tahu aku tahu darimana. Memang benar selama ini aku
menghindari kakak. Bahkan bersama temanku, aku lebih nyaman dibanding
bersama kakak. Kenapa? Karena aku bisa lebih dihargai. Apa kakak pernah
mengajakku bicara selama setahun ini? Apa kakak pernah tersenyum
kepadaku sekali saja? Apa kakak pernah bercanda, tertawa kepadaku? Aku
merasa hubungan kita ini tidak seperti yang lainnya… dimana kak Alfa
yang dulu aku kenal? Dimana kak Alfa yang selalu menghiburku saat aku
diejek oleh teman-temanku? Dimana kak Alfa… yang dulu berjanji akan
melindungiku…?” ucapan Dara terhenti saat air matanya membanjiri
pipinya. Ia terisak bersama kata-kata yang terus mengalir deras dari
mulutnya.
Alfa hanya diam seribu bahasa.
“Kakak tahu?… sejak kecil aku sangat menyukai kakak. Saat aku tahu
kita dijodohkan, aku sangat bahagia sekali. Aku kira karena kakak juga
menyetujui perjodohan ini, itu pertanda bahwa kakak juga menyukaiku.
Ternyata aku salah. Kakak tidak pernah menyukaiku. Selama setahun ini
kakak hanya memperlakukanku sebagai sebuah tugas yang diberikan orangtua
kakak untuk kakak. Mengantar jemputku… jalan-jalan bersama… itu semua
hanya untuk menyenangkan hati orangtua kakak. Sedangkan kepadaku… kakak
tak pernah memikirkan perasaanku. Kakak selalu acuh tak acuh kepadaku.
Selama ini aku selalu sabar dan menahan rasa sakit hatiku karena aku
punya harapan… tepatnya selalu berharap suatu saaat sifat kakak kepadaku
akan berubah. Tapi… waktu aku dengar percakapan kakak dengan
teman-teman kakak, aku baru sadar bahwa aku sudah tak punya harapan
kepada kakak. Karena kakak hanya akan menunggu pacar kakak yang hilang
itu…” kata-kata itu mengalir saja dari mulut Dara tanpa jeda. Air
matanya semakin deras.
“Dara… aku…”
“Kak… selama dua bulan ini aku menghindari kakak, akhirnya aku
memutuskan untuk…” Ucapan Dara terhenti, seakan ada yang menyumbat
tenggorokannya.
“Untuk apa… Dara?”
“Aku memutuskan untuk… menyerah saja. Aku… aku sudah tidak bisa sabar lagi dengan perlakuan kakak kepadaku…”
“Dara… tolong Dara… beri aku waktu buat bicara…” alfa memohon.
Dara diam.
“Dara… aku tahu aku salah. Selama ini aku tak memperlakukanmu sebagai
pacarku. Aku minta maaf. Tapi asal kamu tahu… selama dua bulan ini kamu
menghindariku… aku rindu padamu. Aku merasa kehilangan sesuatu yang
biasanya ada bersamaku. Meski dalam pikiranku hanya Dhea, tapi hatiku
tak mengijinkannya… aku mohon Dara… beri aku kesempatan untuk
memperbaiki hubungan kita…”
Dara semakin terisak.
“Dara…” alfa memohon.
“Kak… aku lelah. Bagaimana aku bisa yakin kakak akan berubah?”
“Dara… percayalah…”
“Kak… lalu bagaimana jika Dhea kembali kepada kakak. Apa… apa kakak akan
tetap bersamaku? Apa kakak tak akan kembali kepada Dhea dan tak akan
meninggalkanku?”
Alfa diam.
“Kakak tidak bisa menjawab, kan? Itu artinya kakak ragu… sudahlah kak.
Lebih baik kita akhiri saja semua ini. Kita memang tak cocok. Aku akan
bicara dengan kak Doni dan… kalau kakak tidak berani bicara dengan
orangtua kakak… aku yang akan bicara…”
Lagi-lagi Dara tak bisa menahan air matanya.
“Dara…”
“Kak… aku mau pulang dulu ya… takut kemalaman…” ujar Dara sambil berlalu.
Alfa memegang tangan Dara, berusaha menahan agar Dara tak pergi.
“Aku antar kamu…”
“Tidak usah… aku bisa pulang sendiri…” sergah Dara.
Dara berlalu pergi menyusuri jalan setapak yang diterangi lampu jalan
yang redup. Bulan yang tadinya menerangi malam tiba-tiba tertutup awan.
Mendung menyelimuti segelap mendung di hati Dara. Sebuah keputusan yang
sangat sulit telah ia ambil. Bukan ia sudah tak lagi mencintai Alfa,
namun ia sudah terlalu lelah dan hatinya terlalu hancur melihat
kenyataan bahwa orang yang dicintainya ternyata mengharapkan orang lain.
Setidaknya ia telah memikirkan masak-masak keputusan ini. Ia akan
menata lagi hatinya dan mulai membuka lembaran baru. Ia yakin cinta
sejati akan menghampirinya jika saatnya tiba nanti. Dimanapun, kapanpun,
dan bagaimanapun caranya… ia yakin cinta itu akan selalu ada untuknya.
Siapa yang tahu?
Cerpen Karangan: Septi Nofia Sari
Cerpen Saat Hati Telah Luka merupakan cerita pendek karangan
Septi Nofia Sari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.