Daftar Blog Saya

Minggu, 07 Mei 2017

Aku Dan Yang Maha Kuasa



Ini antara aku dan Yang Maha Kuasa
Karena hati tak selamanya tentang cinta
Karena hidup tak selamanya tentang dunia
Karena raga tak akan abadi selamanya
Karena suatu saat, raga akan terpisah oleh ruhnya

Memang cinta didunia sangatlah kuat
Seisi dunia membuat hatiku terpikat
Membuatku lupa tentang akhirat
Padahal jarak antara aku dan akhirat semakin dekat
Namun diri ini terasa sulit untuk bertaubat
Sehingga ku tak tau apa yang harus ku perbuat
Supaya dapat melenyapkan nafsu dunia yang sangat terikat

Saat ku terbangun disepertiga malam
Ku curahkan isi hati yang mendalam
Tentang masa lalu yang sangatlah kelam
Dan kehidupan yang teramat suram
Aku hanya bisa termenung dan terdiam
Menghukum kesalahan yang selalu menikam

Yaa Allah
Segala doa hamba-Mu senantiasa Engkau kabulkan
Terus menerus melipah ruah Engkau curahkan
Kasih sayang yang terus Engkau limpahkan
Serta kenikmatan hidup yang Engkau hadiahkan
Segalanya telah Engkau berikan
Tanpa adanya keraguan
Dan tanpa ada sedikit kekecewaan

Meski diri ini selalu
Melupakan-Mu
Mejauhi-Mu
Namun Engkau tetap selalu mencintaiku
Tanpa henti menyayangiku
Selalu melindungiku setiap waktu
Dan memberikan kesempatan untukku
Kembali mengikuti jalan menuju ridho-Mu


Tikus



Tikus ilustrasi I Made Wahyu Friandana - Kompas
Tikus ilustrasi I Made Wahyu Friandana/Kompas
Kalau malam tiba, ia beringsut ke ruang baca, tepatnya sebuah perpustakaan pribadinya yang penuh dengan susunan buku yang sejak dibelinya banyak yang tak terbaca. Setelah berada di dalam ruangan itu, ia memadamkan lampu, menyalakan rokok, lalu duduk di kursi goyangnya. Tentu, tidak lupa mengunci pintu rapat-rapat.
Ia tak ingin ketika gelap menyelimutinya, istri dan anak-anak atau seisi rumah mengetahui bahwa ia tengah ditelan gelap yang diinginkannya sendiri. Dalam ruangan itu hanya tampak setitik api dari ujung rokok di sela jarinya yang keriput. Sesekali, di tengah malam, dari ruangan lain cuma terdengar batuknya yang ringkih dan susah sekali untuk ditahan.
Istri dan anak-anaknya pernah mencemaskan hal itu. Akhirnya, setelah melihat itu sebagai sebuah kebiasaan, ia dianggap laki-laki tua yang menyukai gelap. Mula-mula, istrinya menganggap dirinya stres karena beberapa tahun lalu terbuang dari jabatan ketua partai yang dituduh korupsi, yang dalam persidangan terbebaskan dengan alasan tak terbukti walau para saksi, media massa, dan rakyat diwakilinya meyakini ia melakukan tindakan korupsi. Termasuk istrinya, yang selalu mendampinginya, merasakan bahwa suaminya itu koruptor, dan di masa-masa jaya dulu diam-diam mendukungnya. Tapi, bagi mereka tak menjadi beban karena memang mereka hidup dalam lingkungan yang korup di negara yang prestasi malingnya terbilang tinggi.
Laki-laki itu sudah berusia tujuh puluhan kini. Tapi, sudah bertahun-tahun ia menikmati malam di ruang baca yang gelap tersebut. Jika pagi tiba, ia menyalakan lampu, puntung rokok berserakan di lantai. Pembantunya yang setia selalu menyapu ruang itu sehingga bersih kembali. Begitu setiap pagi.
Tak ada yang tahu, penyakit apa yang diderita si tua tersebut. Istrinya pernah memaksa ke dokter spesialis, tapi ia menolak.
“Ini bukan penyakit, tapi kesukaanku pada gelap,” katanya, lalu mendelik ketika istrinya akan berkata lanjut.
Begitulah ia. Malam tiba, ke ruang baca, memadamkan lampu, ke kursi goyang, menyulut rokok hingga pagi berbatang-batang. Dalam gelap, ia seakan melihat suasana yang tak pernah ia saksikan selama ini selama masih aktifnya dulu. Kadang ia tertawa, terbahak-bahak. Perilaku itu mula-mulanya membuat seisi rumah selain heran dan cemas, jangan-jangan ia telah gila. Kemudian, terdengar ia berbicara sendiri, dan banyak hal lainnya yang tak normal dilakukannya seorang diri. Karena itu selalu terjadi, besok paginya biasa-biasa saja, mendengkur sampai tengah hari, semua menjadi hal yang wajar akhirnya dalam rumah tersebut.
“Sebaiknya kau hentikan bergelap-gelap itu,” kata istrinya suatu kali di meja makan. Ia cuma menyantap lahap roti tawar yang diolesi selai nanas. Ditatapnya sang istri, lalu mendelik.
“Sebaiknya kau akhiri bicara soal aku dan gelap di ruang baca. Itu lebih membahagiakan,” jawabnya.
“Tapi…?”
“Sudahlah. Kau tak pernah merasakan kenikmatan bergelap-gelap yang hakiki,” ia berdiri, masuk kamar, dan sesaat kemudian tertidur. Karena memang, malam ia tak pernah tidur.
***
Kalau siang ruang baca itu terang benderang. Jendelanya dingangakan serta gorden disibakkan sehingga cahaya matahari dapat menembus ke dalam. Di ruang itu, terpajang foto-foto di ruang kerja, saat jadi pejabat, ketika kampanye, saat disalami rekan sejawat ketika ia dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan korupsi. Bahkan, ada foto sedang sujud syukur. Kemudian, terlihat pula ia tengah berada di sebuah ruang sedang berbincang dengan presiden, dengan beberapa tokoh masyarakat, dan utusan anggota parlemen negara asing. Banyak dan banyak lainnya foto-foto masa jayanya dalam dunia politik pada sebuah album yang disimpannya pada sebuah lemari kayu jati.
Kalau ada tamu yang datang ke rumah mewah itu, di siang hari dan sempat melongok ke ruang bacanya, maka akan ketahuan siapa laki-laki ini sesungguhnya. Bahwa, ia ternyata dulunya pejabat penting. Oleh rakyat yang sering diatasnamakannya diyakini sebagai koruptor kakap yang selamat dari tuduhan.
Kini ia bukan siapa-siapa lagi. Kata orang, lalat pun tak mau hinggap pada dirinya. Tapi, ia tak peduli itu sebagaimana ia tak peduli ketika ia mampu mengelabui hukum yang menyeretnya ke pengadilan yang akhirnya membuat ia busung dada merasa tanpa dosa.
Satu yang dibenci si tua ini, malam bulan purnama. Sebab, pada malam itu ternyata cahaya bulan mampu mengintip dan menitipkan sebersit cahaya remang ke ruangnya. Ia kesal dan ingin menembak bulan sebagaimana ia mengancam akan menembak kepala wartawan yang membuka kasusnya dulu. Akhirnya, ia tersenyum karena bisa menipu bulan dengan menutup segala lubang yang bisa menghantarkan cahaya yang lebih terang dari api di ujung rokoknya. Dalam soal mengelabui, ia termasuk tiada tandingan. Bulan pun katanya bisa ia redam cahayanya. Ketika itu, ia terbahak-bahak, “Bulan…. Bulan…. Alangkah dungunya kau! Jangan coba-coba mengantarkan cahaya ya?!”
Hari selalu melangkah, tentu dengan menghidangkan malam. Malam ia sempurnakan di ruang baca menjadi sebuah gelap yang utuh. Ketika itulah, titik api di ujung rokok bergerak mengikuti irama kursi goyang dan gerakan jarinya yang turun naik ke dan dari mulut.
Dalam gelap, ia ternyata menemukan dunia yang benderang. Baik ia pejamkan atau melekkan mata, semua bisa terlihat. Melintas begitu saja di kepalanya. Bahkan, ia bisa melihat hatinya yang berkarat. Barangkali itulah cerminan dosanya. Tapi, ia justru mendustai dirinya bahwa itu adalah candu rokok yang merembes dari paru-paru ke hatinya. Kemudian, ia tertawa, dan gerakan kursi goyangnya seperti mengangguk-angguk kencang terasakan.
Suatu malam, ia mengejutkan seisi rumah. Istri dan anak-anaknya serta menantu ataupun cucu yang kebetulan saat itu berkumpul di rumah mendekat ke arah pintu ruang baca. Tapi, anak-anak dan menantu hendak mendobrak pintu, sang ibu tergopoh mencegah dengan menegakkan telunjuk di depan bibir. Semua terdiam, dan menempelkan telinga ke pintu yang terkunci rapat.
“Ya Tuhan, kenapa aku jadi tikus, hewan pengerat yang rakus….. Apa-apaan ini,” kata suara dari ruang baca. Semua di balik pintu tersentak, saling tatap.
“Ayah stres, Ibu….” kata anak sulung yang perempuan.
“Sebaiknya kita hentikan kebiasaan buruknya itu!” jawab yang nomor tiga.
“Itulah akibat buruk dari gelap, karena membawa halusinasi!” si bungsu menekan suara.
“Jangan-jangan ayah tertidur, mimpi jadi tikus!” timpal suami si sulung.
“Coba kamu intip,” ibu memerintah suami si sulung. Kemudian si bungsu mengambil kursi, dan meletakkan di dekat pintu. Suami si sulung mencoba menginjak kursi, melubangi dengan jari kertas yang menutup ventilasi untuk menghindari cahaya masuk.
“Ayah tidak tertidur sebab rokoknya masih menyala dan bergerak,” katanya sambil menatap ke dalam.
Kemudian hening sejenak. Di ruang baca, laki-laki yang meresahkan ini merasakan tubuhnya berkeringat. Panas dingin. Ia melihat sebuah dunia yang penduduknya adalah para tikus. Ia ada di antara warga tikus itu sebagai tikus bongsor. Kali ini, ia merinding. Bangsa tikus tengah melakukan upacara bendera dengan menyanyikan lagu kebangsaan yang belepotan.
“Kita adalah bangsa tikus yang mulia, berdasi dan mengerat apa yang bisa dikerat. Semua yang tak terawasi, segala yang dipercayakan kepada kita, sesuatu yang bukan milik kita, adalah keniscayaan untuk dikerat, dimakan tanpa rasa dosa,” kata raja tikus yang tambun dan berbulu kasar. Ia melihat ke dadanya, berbulu dan berdasi pula.
“Jadi saya seekor tikus, Tuhan?”
Ia menggigil. Lalu memegang mulutnya serta-merta mempertebal keyakinan bahwa telah ada perubahan pada dirinya yang luar biasa. Kemudian, ia mencurigai gelap sebagai sumber malapetaka. Jangan-jangan bermain gelap ini merupakan masa pematangan untuk berubah menjadi seekor tikus, binatang pengerat, dan jorok yang paling dibenci manusia. Terutama petani, paling membenci tikus karena suka merusak tanaman padi mereka, bahkan sampai menjadi beras pun habis digerogoti dari karung.
“Tidak! Ini mimpi buruk, Tuhan!”
Ia berdiri, lalu mencari tombol penyala listrik untuk menyalakan lampu. Tapi, gelap telah membuatnya melupakan sesuatu pada tempatnya. Ia panik. Dan teriak, “Nyalakan lampu…. Nyalakan lampu….. Gelap telah menjadikan aku tikus!”
Tak ada yang berani menyalakan lampu.
***
Pagi-pagi, ketika cahaya matahari telah sempurna menyinari bumi, pintu ruang baca didobrak. Di luar, angin berembus dan bunga-bunga di taman tumbuh dengan mekar. Laki-laki tua tujuh puluhan tergeletak di lantai tak sadarkan diri.
Istrinya menangis tersedu. Para anak dan menantu serta cucu, melingkar di tubuh tergeletak. Sementara lantai penuh dengan puntung rokok. Berabu.
“Telepon ambulan!” perintah ibu.
Ambulan pun membawa ke rumah sakit. Setelah diobati, ia sadar dari pingsannya yang panjang. Laki-laki tua menatap langit-langit berwarna putih, kemudian seluruh anggota keluarga yang melingkarinya.
Ia meraba kulit tangannya, wajah serta seluruh tubuhnya. Kemudian menatap kosong ke sekitar. Terlihat air mata merembes dari puncak hidungnya, meleleh ke pipi yang keriput.
Tiba-tiba ia menutup seluruh tubuh dan wajah dengan selimut. Semua heran dan mencemaskan kejadian itu.
“Aku telah menjadi tikus sejak lama. Aku telah menjadi tikus sejak lama. Gelap itu jahat. Ia datang dengan baik-baik, lalu diajaknya aku menikmati diri sendiri tentang yang indah, tentang sesuatu yang tak baik dan tak bisa dilihat dengan mata terbuka atau alam sebenderang apa pun. Dalam gelap, aku melihat cahaya benderang yang di dalamnya ternyata lambat laun aku telah berada di sebuah negeri bangsa tikus sebagai tikus,” rintih suara dalam selimut putih.
“Itu cuma mimpi, Pak! Sudahlah, lupakan! Makanya jangan suka main gelap!” kata istrinya.
“Tapi kau tak pernah memaksaku dengan keras untuk keluar dari tempat gelap nan hitam itu,” ia mempersalahkan istrinya.
Kemudian dokter memberinya obat. Tak lama matanya terkantuk. Sesaat setelah itu tertidur tanpa mimpi.
“Bapak cuma kelelahan,” kata dokter. Semua mengangguk-angguk. Setelah dianggap pulih, ia pun dibawa pulang.
Sejak itu, suasana rumah terang benderang. Segala yang membuat cahaya tertutup dibuka. Lampu-lampu diperbanyak. Bahkan, dalam sebuah doanya, ia meminta kepada Tuhan kalau bisa tak perlu ada malam.
Ia mulai bisa menenangkan diri, melupakan gelap. Suasana rumah mulai terasa berjalan wajar. Tak ada kehidupan yang aneh.
Suatu siang, ia melepaskan foto-foto tentang ketokohannya yang terpajang di ruang baca yang hampir tak pernah dimanfaatkan untuk membaca itu. Juga di ruang lain. Ia menggantikan dengan foto semasa ia jadi mahasiswa, foto di kampung waktu kecil, serta foto ketika jadi pengantin. Setelah semua foto pajangan rumah diganti, ia lega. Ia mulai menyalakan tape, mendengarkan lagu-lagu klasik. Kadang ia berkaraoke. Sesekali, ia mengajak istrinya berdansa, seisi rumah tersenyum dan sesekali bertepuk tangan.
Hari indah yang membahagiakan.
“Inilah keindahan hidup itu,” kata sang istri. Sang suami yang berpacu tua dengan istrinya tersenyum.
Ketika seorang cucu mereka berulang tahun, rumah itu semakin semarak. Sekeluarga mereka rayakan. Hidup terasa penuh warna. Namun, dalam suasana meriah, ketika lagu happy birthday dilantunkan sambil tepuk tangan, tiba-tiba seekor tikus melintas dari ruang baca ke tengah mereka. Si tua melihat itu terperanjat. Pembantu rumah tangga, Ina, yang dibawa mereka serta merayakan ulang tahun tersebut, langsung mengambil sapu dan memburu tikus.
Tikus bersembunyi di bawah kursi. Si tua menggigil. Ia bagai melihat ribuan tikus, termasuk dirinya di situ. Semua mata tertuju pada tikus. Ketika kursi diangkat, tikus coba melesat, tangan Ina bertangkai sapu langsung memukul keras dan cepat. Trap. Kepala tikus pecah oleh pukulan Ina.
“Ina hebat! Ina hebat!” Mereka bertepuk tangan. Darah tikus meleleh di lantai berkarpet mahal.
Ketika mereka menoleh ke si tua, semua tercekat hebat. Di lantai ia tergeletak. Lalu terdengar tangis dan teriakan, “Telepon ambulan, telepon ambulan, ayo cepatan….”
Sementara itu Ina membuang bangkai tikus ke got depan rumah!

Padang 2017 Yusrizal KW, cerpenis kelahiran Padang pada 2 November 1969. Kumpulan cerpennya, Kembali ke Pangkal Jalan, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Saat ini aktif mengelola Ruang Baca Tanah Ombak Padang.

Kaulah Perhiasan Itu ( Wanita )



*KAULAH PERHIASAN ITU...* .
️ Oleh Lucky Juniardi Abu Tholhah al-Ma'muri
.
Wanita difitrahkan senang terhadap perhiasan, kalau dia diberi kebebasan untuk memilih, sudah pasti yang akan dipilih adalah perhiasan yang terbaik, termahal dan terindah diantara perhiasan yang ada.
.
Saudariku…..
Tidakkah engkau sadar bahwa perhiasan yang paling indah, paling berharga dan paling istimewa itu ada dalam dirimu, tidak pernahkah engkau mendengar sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
.
"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah” [HR. Muslim: 1469 dan Ibnu Majah: 1855]
.
Tidakkah engkau ingin dan berharap bahwa perhiasan tersebut adalah engkau❓
.
Jika engkau menginginkan hal tersebut, jadilah wanita yang sholihah, wanita yang benar-benar baik aqidahnya, baik amal ibadahnya, serta baik pula akhlaq dan tutur katanya.
.
Wanita yang sholihah adalah wanita yang taat kepada Allah, kerana ketaatannya kepada Allah maka ia pun taat kepada suaminya, Allah subhanahu wata'ala berfirman:
.
“Dan wanita-wanita yang sholihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)” [An-Nisa': 34].
.
Jika wanita taat kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian taat kepada suaminya maka layaklah baginya surga, dan ia bebas untuk memasukinya dari pintu mana saja yang ia suka,  Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
.
“Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa di bulan Romadhon, menjaga kehormatannya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.” [HR. Ahmad: 1664].
.
Sungguh sangat beruntung orang tua jika memiliki anak yang sholihah, sungguh sangat bahagia seorang suami jika bersanding dengan istri sangat sholihah, dan sungguh sangat tentram seorang anak jika memiliki ibu yang sholihah.


Angkringan





Angkringan ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Angkringan ilustrasi Rendra Purnama/Republika
‘Sebab aku mengagumi dia, dan dia menyukai malam, maka aku bangun angkringan malam ini untuk dia.’
Desau pohon bambu basah yang beradu dengan tirai kelabu langit, diartikan sebagai cinta malam yang mendalam. Semilir malam dirasakannya sebagai pelukan hangat sang kekasih yang meski tidak selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri, tapi membuatnya saling memikirkan dan saling merindukan. Begitulah cara malam menemaninya selama ini.
Beberapa saat sebelum menjelang tengah malam, dia selalu keluar dari gardu, berjalan mengamati bagaimana bias bulan menyembul dari aspal jalanan, sebelum akhirnya dia memukul kentungan dua belas kali tepat ketika jarum jam berada pada angka dua belas.
“Mas, bungkus sego kucing, lauknya sate usus, sate telur puyuh, berapa?”
Lamunanku terhenti. Astaga, Pak Gardu—sapaan akrabku pada lelaki yang ringkih, kurus, dan tua itu.Wajah lesunya memberi tahuku sepertinya dia sudah lama menahan lapar.
“Oiya, sepuluh ribu, Pak.”
Dia merogoh sakunya berkali-kali. Kulihat tangannya menghitung-hitung beberapa lembar uang kertas, kemudian perlahan bergerak dan menyodorkannya kepadaku.
“Kurang dua ribu, Mas.”
“Tidak apa-apa, Pak. Silakan dibawa saja bungkusannya.”
Dia menimang-nimang penawaranku. Kupaksa tangannya menerima bungkusan. Aku tersenyum.
Suwun, Mas.”
Monggo, Pak.”
Dari angkringan sego kucing, kuamati saksama: malamnya mengambang, hambar. Terduduk lunglai di sudut gardu, terkapar. Debu malam, menyesakkan. Sesaknya bersahutan, meruntuhkan. Runtuhnya bersamaan, mematikan.
Aku melihatnya sedikit berbeda. Malam menyapa dengan hujan air mata, isak tangisnya mengguntur bergelegar, menciptakan getaran perpisahan yang merayapi partikel udara hingga denyutannya menggetarkan gardu bambunya.
“Malam, o malam…,” dia mendesah.
Terkadang aku bingung memahami retorika berpikirnya, tapi entah mengapa aku selalu ingin berada dekat dengannya. Meski dia hanya seorang penjaga gardu kamling, dia tetap istimewa. Bukan karena dia kaya harta atau tahta, melainkan cara dia menyikap kejadian, itulah yang membuatku terkesima.
Satu pesan yang kuingat selalu darinya, ‘Tuhan itu seperti guru, Dia akan diam saat ujian berlangsung. Hanya yang berhati tenang yang bisa menyelesaikan ujian dengan sempurna.’
Setelah kupikir, ada benarnya juga perkataannya.
Angkringanku terbilang ramai, walau berada di pojok kampus. Hampir setiap hari sego kucing berbungkus daun pisang itu ludes diborong aktivis malam yang doyan cangkruan, mendiskusikan variasi ujian kehidupan, dari pacar bookingan sampai karut-marut bangsa. Saking seringnya, aku hafal tur obrolan ngalor-ngidul yang selalu selesai tatkala lelaki polos penunggu gardu kamling tadi memukul kentungannya dua belas kali.
Dari pojok kanan angkringan, misalnya, aku akan mendengar orasi ompong mahasiswa dekil berambut kribo. Tanpa peduli dosa, dia pasti akan berkata yang jika kuterjemahkan seperti ini:
“Pemerintah ugal-ugalan, masak tikus dibiarin gerogoti tanaman di ladang, sudah gitu tikusnya sekongkol sama marmut. Namanya juga marmut, ditikung tikus ya plonga-plongo. Semuanya dimalingi, dari kartu identitas pribadi sampai urusan makar dipolitisasi. Rakyat jelata kayak kita ini cuma diamplopi janji untuk kemudian dikebiri setelah mereka terpilih.”
Dari pojok kiri angkringan, aku disuguhi sajak cinta-derita. Permainan diksi katanya mampu membuatku terhuyung dan menghempas di kursi tua.
Cinta.
Cinta dikata derita
Derita dikata cinta
Cinta cinta bilang derita
Derita derita bilang cinta
Mau cinta? Bilang derita
Mau mau bilang cinta
Mau derita? Bilang cinta
Mau mau bilang derita
Ya cinta, ya derita                   
Ya derita, ya cinta
Tak ya cinta, tak ya derita
Ya tak derita, ya tak cinta
O Anisa.
Hanya cintaku, Anisa.
Begitulah kira-kira suasana berisik mengantar malam yang semakin larut.
***
“Permisi.”
Seorang pengamen berambut dreadlock atau gimbal ala Bob Marley tersenyum memperlihatkan gigi-geliginya yang hitam, dekil berantakan. Aku sangat hafal betul lagu reggae apa yang bakal dinyanyikan karena dia sudah dua kali mengamen di angkringan dalam semalam ini.
Sambil menggeleng pelan, aku berucap, “Libur, Kang?”
Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Aku merasa senang jika ada pengamen yang tidak bersikap egois. Dengan muka memelasnya, dia kembali mencari peruntungan siapa tahu seseorang akan memberinya uang receh. Satu. Dua. Tiga. Empat. Semua pengunjung angkringan sego kucing menolaknya.Tinggal seorang lagi, Pak Gardu yang sedang duduk santai di arah jam dua.
Setelah bernyanyi, pengamen berbadan dekil itu masih terpaku di hadapannya. Pak Gardu menumbuk kedua bola matanya ke bungkusan sego kucing, ada sependar kebimbangan di sana meski akhirnya Pak Gardu memadamkannya. Tidak lama kemudian, pengamen tadi pergi setelah sebelumnya mencium punuk tangan Pak Gardu dan menerima bungkusannya.
Kutatap Pak Gardu dengan heran. Memang dia sangat baik dan bijak, tapi apa sahih jika dia memberikan makan malamnya kepada pengamen, sementara dia sangat menahan lapar?
Rasa penasaran ini menuntutku untuk cepat mengambil keputusan. Kudatangi Pak Gardu.
“Bapak tidak lapar?”
“Ya lapar, Mas.”
“Jika Bapak lapar, mengapa bungkusan tadi diberikan kepada pengamen?”
Pak Gardu mengernyit, dahinya berkerut dan kedua alisnya menukik heran dengan intonasi nada bicaraku. Tidak berselang lama, dia kembali tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Saya hanya ingin mempersembahkan amal terbaik selagi ada kesempatan, Mas.”
“Maksudnya, Pak?”
“Di masa sekarang, banyak orang berlomba-lomba mencitrakan diri dengan amal baik agar dianggap yang terbaik oleh manusia. Padahal, tidak semua amal baik adalah yang terbaik. Kita tidak tahu amal manakah yang memang terbaik di sisi Tuhan, saya hanya berusaha untuk selalu beramal baik.”
Oh Tuhan. Aku termenung.
“Umar bin Khattab masuk surga bukan karena ritual ibadah spektakulernya, tapi karena menyingkirkan duri dari tengah jalan. Kau tahu mengapa, Mas?” Tanya Pak Gardu tanpa menatap ke arahku.
Aku membisu.
“Karena Tuhan tertarik, sehingga Dia mengangkat amal baiknya menjadi yang terbaik.”
Penjelasan itu menelisik ke dalam sanubariku. Cukup lama aku terdiam, tapi jiwaku mengalirkan sebuah anggukan pada ragaku.
“Saya balik ke rumah dulu ya, Mas. Tadi lupa tidak membawa pentungan,” ucap Pak Gardu sambil tangannya mengeratkan ikatan sabuknya, mungkin agar perutnya tak berbunyi.
Kupandangi punggung Pak Gardu sampai detik terakhir sebelum akhirnya tenggelam di balik temaram lampu jalanan. Kini, aku menyisihkan dua bungkus sego kucing, dua sate usus, dua sate telur puyuh dan wedang kopi. Rencananya, semua makanan itu akan kuberikan ketika Pak Gardu kembali ke posko bambunya.
Nahas, hujan mulai menunjukkan tanda kedatangannya. Malahan, semakin lama, jarum langit itu semakin deras menghujam. Para aktivis malam terpaksa bubar lebih dini sebelum bunyi kentungan dua belas kali. Diriku menyangkal, meski hujan makin deras. Tetesan air kian menusuk atap angkringan yang hanya ditutupi dengan kain terpal plastik. Aku pun tak bisa mendengar deru jalanan, petir bersahut-sahutan dengan angin kencang, listrik pedesaan padam seiring dengan matinya cahaya lampu teplok berminyak kelentik.
Aku tergopoh-gopoh membereskan dagangan angkringan agar tidak terguyur hujan hingga akhirnya aku berhasil membawanya sampai di rumah dengan aman meski harus dihujat hujan.
***
Di sebuah kamar beratap rumbia, berdinding papan, dengan lampu tempel kuperhatikan jam dinding. Pukul 23.59 WIB. Itu artinya, satu menit lagi harusnya kentungan gardu berbunyi dua belas kali. Tapi, hujannya sangat lebat, angin pun kencang ditambah suara petir yang menakutkan, sepertinya malam ini kentungan itu tidak ber…
Tung… Tung…Tung… Tung…                     
Tung… Tung… Tung…
Tung… Tung…
Tung…                                        
Tung… Tung…
Lamunanku terputus. Aku tersenyum

Kosakata:
Sego kucing: nasi kucing (istilah untuk nasi bungkus kecil seporsi makanan kucing
lengkap dengan sambal dan lauk seadanya)
Monggo: silakan
Suwun: terimakasih

SUDUT AZALI 27 Rajab 1438 H
Arul Chairullah, Aktivis FLP Pasuruan, Juara Internasional Bilik Sastra Award 2013.

Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon


Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
BARU sepuluh tahun hidup saya, tapi saya sudah mengalami banyak kehilangan. Saya bicara soal pohon-pohon di halaman.
Ketika saya sudah bisa menyadari apa-apa dengan jelas, dan ibu atau bapak atau nenek atau kakak sering membawa saya main-main di halaman, pohonlah yang langsung saya sentuh. Saya tidak takut, tidak. Entah kenapa.
Guru mengaji saya, Wak Latte, pernah bilang kalau sebelum kita lahir ke dunia, kita disimpan lama di satu dunia lain, yang beda betul dengan bumi. Barangkali di dunia lain itu saya mempunyai teman-teman dari bangsa pepohonan. Sampai-sampai saat saya lahir, saya langsung punya rasa dekat dengan mereka, nyaman di bawah mereka, seperti waktu mereka jagai dan temani saya di dunia lain itu.
Tapi, banyak dari mereka ini tidak lama hidupnya. Pergi meninggalkan saya. Dulu saya kira mereka pergi mencari anak lain untuk dijadikan teman. Saya pernah membayangkan mereka, misalnya, si pohon mangga, malam-malam jalan jauh ke kota. Di sana dia ketemu teman baru, dan tidak pulang-pulang lagi ke depan rumah saya.
Tapi, seiring badan saya tambah besar, perut saya tambah gendut—sampai-sampai kakak saya, yang paling menjengkelkan sedunia, suka betul mencolek-colek si perut itu—saya kemudian sadar, pohon-pohon ternyata tidak punya kaki, manalah bisa mereka jalan kaki; badan mereka juga terlalu besar, tidak muat di pintu angkot. Daun-daunnya memang mirip sayap, sayap kecil-kecil, tapi tidak bisa berkepak sendiri, selalu angin yang bantu. Tidak mungkin juga mereka, misalnya, pohon jambu air, terbang tinggi ke angkasa seperti burung.
“Kenapa pohon itu, Mak?” tanya saya kepada mamak, melihat pohon jambu mete yang sudah hilang daunnya.
“Dia mati,” jawab mamak.
“Mati? Apa itu mati?” tanya saya lagi.
Eee, tahu-tahu Mamak menggendong saya pergi bobok
***
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
“Siapa yang bikin pohon jambu, Pak?” tanya saya suatu malam, di pangkuan bapak, saat kami duduk-duduk di anak tangga. Tiap melihat bapak keluar malam-malam, saya mengikuti sampai teras. Sering dia mengajak saya duduk di tangga, melihat bintang, bulan, apa saja, apa saja. Tapi dia tidak mengajak saya kalau dia lagi merokok. Kalau bapak mau keluar jauh malam itu, dia akan bilang, “Bapak mau merokok, ndak usah ikut ya.” Saya pun masuk lagi, bobok.
“Tuhan,” jawabnya.
“Kalau pisang, siapa yang bikin?”
“Tuhan.”
“Kedondong?”
“Tuhan juga.”
“Apa-apa Dia yang bikin. Apa Dia juga pekebun kayak Bapak?”
“Hus. Tuhan itu pencipta. Semua diciptakannya. Bapak juga, Dia yang ciptakan. Kamu juga.” Bapak menunjuk perut saya—kok apa-apa larinya ke perut? “Semua… pokoknya semuuuuaa yang kamu lihat, Dia yang ciptakan.”
“Dia yang tanam?”
Bapak diam. Lalu, dia bilang, “Tidak seperti itu… atau ya, seperti itulah. Pertama-tama, Dia bilang ‘Jadilah pohon!’, maka tumbuhlah si pohon. Tapi, setelah itu Dia mengajari kita menanam, dan Dia cukup memberi izin, apa pohon yang kita tanam itu akan tumbuh besar atau kecil saja. Dia juga yang memelihara pohon itu.”
“Hemm,” saya bilang.
“Kenapa hemm?” Bapak mencubit lagi perut saya. Yeee…
“Terus, kenapa kedondong botak? Dan bijinya runcing-runcing kayak rambut Duppi?” Duppi teman saya di sekolah, dia suka diledeki punya rambut landak.
“Memangnya kenapa kalau botak, runcing-runcing? Toh rasanya enak. Apalagi, kalau semua pohon buahnya sama, nanti kamu bosan. Coba makan mangga terus, nanti kamu juga mencret seperti Agil.”
Saya ketawa. “Bapak juga botak,” saya bilang. Saya angkat tangan, menggaruk-garuk kepala bapak.
Dia tertawa.
Tapi sekarang, kedondong juga sudah mati. Ya, mati. Dulu mamak pernah bilang, mati seperti bobok. Pohon kedondong kami sedang bobok. Entah di mana rosbannya, kasurnya, sepreinya, tidak tahulah.
***
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kalau datang musim mangga, dunia berwarna jingga. Di mana-mana ada mangga. Di atas rumah, di kolong rumah, di bale-bale, di tangga, di dapur, bahkan kakak saya Agil sering makan sembunyi-sembunyi di kamarnya.
Pernah saya laporkan dia, “Mak! Agil makan mangga di kamar!” Agil mengancam saya, “Awas, semua mangga aku ambil!” Diancam begitu saya tambah keras teriak, “Mak! Agil makan mangga di atas rosban!” Mamak marah-marah, Agil juga marah-marah sama saya. “Awas, kamu ndak dapat mangga lagi, kalaupun dapat, aku tidak mau lagi kupaskan!”
Tidak apa-apa, pikir saya. Toh, mangga cuma dipungut, tidak perlu Agil capek-capek panjati untuk saya.
Di belakang rumah ada pohon mangga balik. Kalau besar buahnya seperti bola kasti tapi gepeng. Kalau angin kencang, buahnya jatuh semua. Tertumbuk di tanah, lembeklah mereka. Tapi kalau tidak cukup lembek, saya akan banting ke batu, atau ke tiang rumah, lalu pijit-pijit-pijit badannya seperti waktu memijit lengan bapak yang capek dari kebun, sampai mangga itu lembek betul. Dagingnya jadi air. Tinggal gigit saja kepalanya, sobek sedikit kulitnya, air jingganya crot crot keluar. Manis sekali. Kalau airnya habis, kita kupas semua kulitnya, sampai kelihatan dagingnya bergaris-garis. Gigit, gigit, gigit. Manis juga. Gampang, kan? Saya tidak perlu pinjam Agil punya gigi atau tangan.
***
Yang menguasai Hari Pembalasan.
Agil ternyata serius. Pagi-pagi dia bangun lebih dulu. Dikumpulkannya buah mangga yang jatuh. Lalu ditaruhnya di atap lemari, tinggi sekali. Atau dia simpan di tempat tersembunyi, sampai mamak tidak tahu, bapak juga tidak tahu, dan saya menangis.
“Ndak apa-apa. Akilah jangan sedih,” kata bapak. “Besok kita bangun lebih pagi.”
Tapi, besoknya, saya tidak bangun pagi. Untung bapak memungutkan mangga buat saya. Tapi dasar, Agil menyembunyikan semua. Saya nangis lagi.
Besoknya lagi, saya tetap tidak bangun pagi. Tidak kebagian mangga lagi. Nangis lagi.
“Sudah, sudah, cengeng sekali,” kata mamak. “Orang serakah seperti Agil ndak usah diladeni.”
Mamak salah. Saya tidak meladeni Agil, saya mau meladeni perut saya. Saya nangis lama, sampai ketiduran. Saya mimpi mandi di kolam jingga penuh mangga.
Keesokan harinya saya tidak nangis lagi. Agil mencret.
“Itulah,” mamak bilang pada Agil, “Tuhan mau kamu berbagi. Masak sama adik sendiri saja pelit?”
Nah, itulah.
***
Hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan.
Selain mangga, saya juga suka nenek. Tapi saya tidak makan dia. Badannya selalu bau minyak gosok.
Nenek tinggal di rumah kami. Saya sering bobok di kamarnya. Seperti bapak, dia juga suka bercerita. Tapi ceritanya aneh-aneh, meski begitu saya tetap suka.
Seperti bapak, nenek juga suka tanam pohon. Bersama mamak dia juga suka tanam bunga. Dan saya paling malas disuruh menyiram bunga. Buat apa, kan sudah ada hujan?
Saya lebih suka kalau nenek tanam pohon. Suatu hari, dia menanam pohon pisang. Nenek bilang pohon pisang itu pemalu, pakaiannya berlapis-lapis. Pohon ini punya banyak anak. Anak-anak pohon suka meniru induk mereka. Si induk tumbuh lancip ke atas, mereka juga begitu, tapi lebih kecil, hampir seperti pensil… Tapi tidak seperti pensil juga sih, karena di atas mereka ada tangkai-tangkai berdaun. Induk pisang punya daun hijau, anak-anaknya juga punya daun hijau, tapi lebih terang. Mamak suka merobek daun pisang kalau lagi bakar ikan. Saya suka ikan bakar.
“Kenapa digali, Nek?” tanya saya, melihat nenek menggali anak pisang.
“Supaya dia lihat tempat lain. Masak di situ-situ saja?”
“Okkee.’’
Saya bantu nenek mengangkat anak pisang itu. “Taruh di depan jendela, Nek, supaya bisa lihat tiap hari,” saya bilang. Nenek setuju.
Nenek memotong ujung-ujung tangkai daun anak pisang. Saat saya tanya kenapa begitu, nenek bilang supaya nanti tumbuh lagi lebih panjang. Baguslah, nanti kami bisa salaman dari jendela kalau Lebaran. Saya juga suka Lebaran. Saya lebih suka Lebaran daripada menggali. Makanya, saat nenek menyuruh saya menggali lubang, saya bilang, “Saya lebih suka Lebaran.” Nenek pun menggali sendiri.
Saat lubang sudah besar dan dalam, saya dan nenek memasukkan anak pisang ke lubang. Dia mengajari saya.
“Akilah, kalau kau mau pisang ini tumbuh besar, gembungkan pipimu, berdoa dalam hati semoga pisangnya tumbuh segembung pipimu.”
Saya pun menutup mulut dan meniup pipi. Pipi saya gembung seperti balon. Semoga pisang yang saya tanam ini tumbuh besar, buahnya besar-besar kayak balon, saya bilang dalam hati.
Dan begitulah, pohon pisang itu tumbuh tinggi, dan buahnya besar-besar, meski tidak mirip balon. Usia saya enam tahun waktu itu. Mamak menenteng sesisir buah pisang itu bersama beras dan garam, mengantar saya ke rumah Wak Latte.
“Itu saya yang tanam,” kata saya kepada Wak Latte, dia setua nenek.
“O ya?” katanya. “Pintar ya.”
Saya ceritakan semua yang saya tahu tentang pisang. Induk pisang, anak pisang, pakaian pisang, tangkai pisang, lubang pisang, sampai soal balon.
Dia ketawa. “Itu semua karena pertolongan Tuhan, Akilah,” dia bilang. “Kita hanya bisa berusaha dan berdoa.”
Ya, saya sudah berusaha. Pipi saya saksinya.
Dan saya pun mulai belajar mengaji. Saya juga suka mengaji.
***
Tunjukilah kami jalan yang lurus…
Setelah berbuah, pohon pisang mati. Dia dibuat tumbang demi buahnya. Kadang saya sedih, mengapa pohon mesti mati setelah berbuah?
Tapi, ada juga pohon-pohon yang tidak mati setelah berbuah. Dan ada juga yang mati meski belum berbuah. Ada banyak. Contohnya pohon kelapa di belakang rumah. Ia berdiri dekat sekali dari dapur tempat mamak memasak, sampai-sampai mamak sering terlompat kalau pelepah kelapa jatuh menimpa atap seng, sampai piring yang dipegang mamak jatuh berkeping.
Akhirnya, bapak memanggil Om Ibe. Om Ibe datang bawa senso, gergaji besar yang selalu berbunyi seperti kucing baku marah. Om Ibe memotong pohon kelapa. Kelapa tumbang, batangnya membujur lurus-lurus di halaman. Saya teringat Wak Latte.
“Kenapa kita harus ngaji, Wak?” tanya saya.
“Supaya kita ketemu jalan yang lurus ke surga,” jawabnya.
“Lurus kayak batang kelapa?”
Dia tertawa. “Kelapa tidak semua lurus ya,” dia bilang.
Saya beruntung pergi mengaji. Semenjak mengaji, pergi dan pulangnya saya lewat jalan yang lurus.
***
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dulu, saya kira semua orang yang lewat di jalan raya, yang semula saya kira lurus itu, baik. Ternyata tidak. Banyak juga yang gila-gila. Salah satunya yang menabrak nenek ketika nenek mau beli minyak gosok di warung Haji Assam.
Apalagi, ketika jalan itu dilebarkan, halaman kami diambil banyak, banyak pohon yang ditebang, mati. Karena semua itu, untuk beberapa waktu lamanya saya musuhan dengan jalan raya.
Nenek pergi, pohon-pohon pergi. Saya sedih sekali.
Tapi, semua menghibur saya. Bacakan Al-Fatihah untuk nenek supaya dia tenang di alam sana, kata mereka.
Saat itu saya baru tahu semua yang mati perlu dibacakan Al-Fatihah. Saya sudah hafal Al-Fatihah.
Dan, untuk pohon-pohon, saya juga tidak lupa mengirimkan tujuh ayat itu. Saya percaya mereka tumbuh di surga. Di sana mereka berbuah banyak dan besar-besar seperti balon. Barangkali ada anak lain yang lebih dulu makan buah pohon-pohon itu, tapi saya cuek. Saya percaya mereka masih menyisakan buah-buah untuk saya. Saya ini teman pohon-pohon. ***

(Untuk Zalikha Nur Aqilah dan M. Agil Siddiq)
MULIADI G.F., penyuka cerita pendek, tinggal di Barru, Sulawesi Selatan. Menulis cerpen sejak 2009. Karyanya tersiar di berbagai media cetak dan juga terhimpun dalam antologi Surat Cinta untuk Makassar (De Lamacca, 2016) dan Benarkah Menantuku Parakang? (Sampan Institute, 2017)

Kasur Tua Bapak


Kasur Tua Bapak ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka
Kasur Tua Bapak ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Kasur tua itu tergelar di pekarangan saat Bagus pulang sekolah. Bocah itu tersenyum. Dia berlari menghampiri kasur itu, memeriksa bagian yang bolong terkoyak tikus.
Rumah mereka berdinding bambu. Tikus lapar mudah menembus dinding hanya dengan beberapa gigitan. Sudah berkali-kali Bapak menambal dinding, tapi tikus tak hilang akal menciptakan lubang baru. Heran, tikus zaman sekarang tak cukup melahap makanan, tapi juga doyan kayu lemari, gorden, sabun, serbet dapur, juga kasur tua Bapak.
Mengeluarkan kasur seakan jadi tradisi mereka. Tradisi Bapak lebih tepat. Sudah sebulan lebih, Bapak tak mengeluarkan kasur ke pekarangan. Rumah mereka hanya berlampu neon kuning redup. Mana bisa bapak menambal kasur dengan cahaya seperti itu? Makin lama kian kabur saja penglihatan Bapak. Bapak pun menggotong kasur ke luar rumah, menggelar di pekarangan.
Bagus menghambur masuk ke dalam rumah. Mendengar suara guyuran air, Bagus tahu Bapak sedang mandi. Tanpa melepas seragam biru putih, Bagus mengetuk pintu kamar mandi. “Pak, habis ini Bapak mau nambal kasur?”
“Iya,” jawab Bapak dengan suara agak menggema. “Bolong lagi gara-gara si Pitak.”
“Oke,” sahut Bagus senang, lalu berlari masuk ke kamar. Melepas seragam, berganti baju sehari-hari, lantas menunggu Bapak selesai mandi.
Kasur tua Bapak tak lebih dari kasur kapuk yang berbau khas tubuh Bapak. Tanpa jemu menunggu, bocah itu rebah di atas kasur, menatap langit dengan mata menyipit. Sesekali dia memejamkan mata sambil tersenyum, menikmati betul panas yang tak begitu menyengat.
Begitu mencium paduan wangi sabun dan aroma kopi hitam yang dibawa Bapak, dia sontak bangkit. Bapak membawa segelas kopi dan kotak peralatan tambal kasur. Ada gunting, jarum kasur, benang, kain perca. Kotak itu sudah jadi sahabat Bapak sebelum Ibu meninggal dua tahun lalu karena malaria.
Bapak tersenyum, mengusap rambut si tunggal seraya bertanya, “Kamu masih di sini? Panas.”
Bagus balas tersenyum. “Menunggu Bapak. Ingin lihat Bapak menambal kasur.”
“Jangan jadi tukang tambal kasur, Gus. Sia-sia nanti ilmu yang kaudapat selama hampir tujuh tahun.”
Bocah itu menggeleng. “Bagus tetap mau jadi pilot, Pak. Tapi semua orang, termasuk Bagus, harus bisa menambal kasur. Jadi tak butuh teknisi.”
Bapak terkekeh. Dia meletakkan gelas kopi di dekat kasur. “Jangan punya kasur macam Bapak. Tidur di kasur empuk jauh lebih nyaman.”
Sekali lagi dia menggeleng. “Emoh. Nanti tak bisa nggelar kasur di pekarangan lagi kalau kasurnya bagus.”
Lagi-lagi Bapak terkekeh. “Ndung, Ndung, nambal kasur kok kauimpiimpikan!”
Betapa tidak? Menambal kasur seakan jadi titik pertemuan paling asyik antara Bagus dan Bapak. Setiap hari Bapak bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Dia harus berangkat selepas subuh dan pulang saat petang. Tak ada waktu tersisa buat Bagus. Tanpa Bapak tahu Bagus selalu meringkuk di dekat pintu menunggu dia pulang. Atau rindu mencium tangan Bapak sebelum berangkat sekolah.
Bagus bisa bercengkerama dengan Bapak hanya saat makan siang dan sore menjelang magrib. Kalau tidak lelah, Bapak berangkat lagi karena beberapa kios beroleh pasokan sayuran segar selewat pukul 21.00. Bagus tak sendirian memang. Dia biasa main ke rumah Bude di kampung sebelah. Sekadar numpang nonton TV, makan atau tidur siang, juga bermain bersama teman sekolah di sana. Dia bisa bertemu Bapak sejak siang hingga sore hanya ketika kasur tua itu terkoyak moncong si Pitak.
“Bau kasur Bapak enak.”
Sambil membenahi kapuk yang keluar dari kain kasur yang robek, Bapak nyungir menatap Bagus. “Bau apek gitu kok bilang enak.”
Kayak bau badan Bapak.”
“Waduh, berarti bau badan Bapak apek ya, Ndung?”
Bagus terkekeh. “Enggak, Pak. Khas maksudku.”
Bapak mengusap kepala Bagus sambil terkekeh. Dia menyeruput kopi hitam yang masih mengepul, lalu menawari Bagus. “Doyan kopi kamu?”
Nyicip, Pak,” ujar Bagus seraya mengulurkan tangan.
Tersenyum ragu, Bapak membantu memegangi gelas yang masih panas. Satu seruputan Bagus nyungir. “Pahit!” ujar dia.
“Kamu minum susu saja. Jangan kopi, pahit!”
Kalau tidak menggelar kasur, mana bisa percakapan kopi dan susu macam itu berlangsung. Menambal kasur menjadi hari paling Bagus tunggu-tunggu.
***
Sudah lewat pukul 23.00, Bapak belum pulang. Kios Yu Darti pasti baru mendatangkan banyak buah. Bapak pasti lembur. Permukaan air yang Bagus rebus beberapa jam yang lalu pun sudah berlapis debu.
Bagus kangen Bapak. Jalan ke pasar gelap dan lembap. Bapak tak pernah mengizinkan Bagus menyusul, meski masih sore. Kata Bapak, pasar tak cocok bagi Bagus. Bapak tak suka melihat Bagus bermain di pasar. Mending seharian di rumah Bude, belajar dengan Mas Danu, anak pertama Bude, yang sudah tujuh tahun ini jadi guru SD, tempat Bagus sekolah dulu.
Kalau sekadar mengerjakan soal, Bagus memilih ditemani Bapak, biarpun Bapak tak sepandai Mas Danu. Namun Bapak tak pernah punya waktu, bahkan hari Minggu. Sungguh, Bagus kangen Bapak.
Usai menambal kasur dua minggu lalu, dia belum pernah ngobrol lama dengan Bapak lagi. Coba Bapak lanjut sekolah, pasti bisa kerja seperti Pak Dedi di kantor kelurahan atau seperti Mas Danu. Bisa pulang kapan pun kalau pekerjaan sudah terselesaikan. Tak perlu menunggu kantor atau sekolah tutup. Lagipula gaji mereka banyak. Belum apa-apa sudah punya motor baru.
“Itulah kenapa Bapak tak membiarkan kamu nyusul ke pasar. Berawal dari nyusul, terus bantu-bantu Bapak, kesenengen dapat upah, akhirnya ikut kerja serabutan. Bolos sekolah buat kerja, makin seneng, malah putus sekolah, milih cari uang. Sabar, Gus. Selesaikan saja. Biar bisa hidup enak, lebih dari mereka. Bapak sanggup membiayai kamu sampai jadi sarjana!”
***
Malam makin pekat, angin makin riuh mengantarkan dingin. Bocah itu meringkuk di atas kasur Bapak, menciumi bau apek khas yang selalu dia suka. Kalau kelewat kangen, dia selalu menciumi dan memeluk kasur Bapak agar selalu merasa hangat dalam dekapan lelaki itu.
Belum bisa benar-benar memejamkan mata, Bagus bermain-main dengan benang hasil jahitan Bapak sampai timbul niat licik. Tak buang-buang waktu, dia duduk dan menarik kain perca yang usang sampai robek, lalu mendedel-dedel kapuk hingga seperti koyakan. Yes! Besok kasur itu pasti digelar di pekarangan lagi.
***
Bagus tahu, Bapak menyimpan di lemari dekat kasur stoples-stoples bekas jajan dari pasar. Ada lima stoples. Satu stoples bertuliskan “uang sekolah”, satu “uang mingguan”, satu “uang sepatu dan seragam”, satu “uang sepeda”, dan terakhir “uang kasur”. Kalau sudah mencukupi, uang di stoples kasur akan Bapak gunakan membeli kasur baru.
Bagus membuka lemari dan melihat isinya. Baru ada selembar lima ribuan rupiah dan beberapa uang receh lima ratus dan seribuan. Jelas masih sangat lama sampai cukup untuk membeli kasur baru.
Bocah itu kegirangan. Dia berlari ke dapur, mengambil pisau dan duduk di kasur Bapak. Bapak pasti pulang larut seperti minggu kemarin. Mata bocah itu menyusuri kasur dan mencari celah untuk mendedel. Begitu ketemu, pisau pun merobek kasur Bapak. Besok pasti kasur itu digelar di pekarangan. Sambil tersenyum, bocah itu merangkak ke kasurnya dan tidur telentang. Dia bahagia membayangkan esok bisa bercengkerama lagi dengan Bapak.
Keesokan hari, pulang sekolah Bagus tak mendapati kasur Bapak digelar di pekarangan. Terkejut, bocah itu berlari masuk ke dalam rumah, masuk ke kamar. Benar, Bapak cuma menambal dengan blaster. Kesal, tetapi Bagus tak bisa berbuat apa-apa, selain duduk lemas di atas kasur Bapak.
“Kamu nggak berjemur? Mestinya hari ini aku ingin cerita nilai matematikaku tertinggi di kelas,” celetuk Bagus kepada kasur Bapak sambil menahan sesal yang mewujud air mata.
Malam itu, sekali lagi, Bagus mendedel kasur Bapak di bagian berbeda. Semoga kali ini Bapak tak malas mengangkat kasur keluar. Sungguh, Bagus kangen sekali pada Bapak.
***
Bocah itu hampir berlari sepanjang jalan ke rumah. Bibirnya menyungging senyum semringah, membayangkan kasur itu sudah tergelar. Harus! Kali ini tak boleh tidak! Pasalnya robekan kasur Bapak lebar. Mana mungkin tidak ditambal?
Bagus tak peduli Bapak tahu atau tidak Bagus yang merobek kasur itu. Bagus hanya ingin Bapak tahu Bagus rindu, ingin menuntaskan segala suka-duka di atas kasur Bapak.
Begitu sampai di tikungan, Bagus berhenti. Dia mengatur napas yang sengal sambil terus menyungging senyum, lalu mengintip dari balik rumah Pak Lurah. Sial! Tak ada kasur di pekarangan! Sungguh, dia kesal bukan main. Bapak tak bisa mengerti!
Sambil mengumpat dalam hati dan menahan sesak lantaran kecewa, bocah itu berlari masuk ke rumah. Dia jatuhkan tas di dekat pintu dan berjalan ke dapur, mencari pisau paling tajam.
Sambil menangis tanpa suara, dia masuk ke kamar, menunggangi kasur itu, menatap mata pisau dan kasur bergantian. Kemudian dia kalang-kabut mendedel-dedel kasur Bapak sampai setengah hancur.
“Mati kau! Mati kau! Mati kau!” seru Bagus sambil menangis saking rindu. Tangan kecil itu terus menghunjam-hunjamkan pisau ke kasur Bapak. Sadar sudah membuat kasur itu hancur, dia menyembunyikan pisau di kolong, lalu keluar, berlari ke rumah Bude, tanpa ingat menutup pintu.
Sungguh, Bagus kesal. Sebulan tak bisa bersama Bapak. Tahu begitu, Bagus tak perlu sekolah. Biar Bapak tetap di rumah, tidak mati-matian banting tulang mencari uang. Toh bukan itu yang Bagus butuhkan.
Esok hari, setelah berani, Bagus pulang. Kasur Bapak tergeletak. Tidak di tempat biasa menambal, tetapi di dekat tempat sampah. Curiga kasur itu bakal dibuang, Bagus memeriksa dari dekat, lalu berlari masuk rumah. Dia terkejut, kasurnya sudah pindah ke kamar Bapak. Dan kasur baru mentereng, sama seperti kasur Bude yang mental-mental, menggantikan kasur Bagus.
Bagus makin kecewa. Dia berlari ke luar rumah sambil menangis. Dia tidur di kasur tua Bapak yang sudah dibuang. Tidak dia hiraukan kapuk yang menyelimuti tubuhnya, berhamburan ke sana-kemari, menempel di pipi yang basah. Hari itu, kali pertama selama sekolah di SMP, Bagus membolos. (44)

Banaran, 21 Maret 2017: 13.40
Rahmy Madina, alumnus Jurusa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Menulis cerpen, puisi, dan novel.

Yang Halal ( Jatuh Cinta )




Ya Allah, Aku Jatuh Cinta
.
Duhai Rabb, cinta yang Kau titipkan, hanya ingin kutumpahkan pada yang halal.
.
Wahai Rabb, rasa itu halus, hanya Kau yang sanggup mendengarnya, tolong bisikkan hanya pada yang halal.
.
Rabb, cinta ini masih perawan dan ku mohon, Kau berikan cinta ini kepada yang halal untukku.
.
Duhai Rabb, jika aku memang sedang jatuh cinta, aku hanya ingin cinta itu tak lebih dari aku mencintaimu, ya Rabb.
.
Duh Rabb, aku memohon jika aku jatuh hati, maka jatuhkanlah hati hanya kepada yang terbaik dari sisi-Mu, Rabb.
.
Ya Rabb, Kaulah pelindung hati ini, jika engkau ridha, aku hanya mohon berikan hatiku kepada yang halal bagiku.
.
Rabbku, pintaku berikan yang terbaik yang Kau ridhai agamanya. Bantu aku menjaganya hingga halal.
Aamiin


Kau mungkin tak selalu bisa melihat bagaimana aku merapikan sebuah nama yang sangat ku rindu itu.

Kau juga mungkin tak selalu bisa menatapku disini, bagaimana aku menahan segala tentang rasaku.
Aku ingin benar-benar jatuh pada hati seperti yang ku pinta pada-Nya, semua dariku agar dijaganya baik-baik. Cara hatinya memuliakan cinta di hadapan Sang Maha cinta.

Untuk sebuah anugerah terindah yang Allah ciptakan.. Biarkanlah keikhlasan kita mempercayai janji-Nya. Ketahuilah Allah lah yang nanti memilihmu untuk mencintaiku. Dan Allah jualah memilihku untuk melabuhkan hati ini padamu.

Untuk sebuah nama yang nantinya kan tercipta di secarik kertas hatiku, percayalah bahwa nanti kan menetap satu hati yang sebenarnya begitu rapuh. Maka rawatlah hati itu dengan ketulusanmu, siramilah ia dengan hujanan kasihmu karena-Nya, temani dia selalu dalam pelukan doa, genggam dia erat-erat menuju taat pada-Nya dan bimbinglah dia hingga menjadi teman sehidup sesurgamu kelak. Kuatnya keyakinan hati yang ingin saling mencintai hanya mencari jalan pahala dan ridho-Nya. Sungguh menentramkan, hati yang hanya inginkan kehalalan cinta dan banjiran pahala-Nya. .
Sebab seseorang yang bermakna dalam hidupku adalah dia yang mau bersamaku dan merubahku menjadi lebih baik.
.
Begitulah motivasi meraih cinta hingga Jannah-Nya. Semoga Allah membingkai hati yang kuat dan penuh keimanan. Percayalah, sambil tersenyum sebenarnya Allah selalu menatap rindu pada setiap hati para hamba-Nya ingin saling mencintai karena-Nya. . .