Daftar Blog Saya

Senin, 15 Mei 2017

Menunggu



Aku tinggalkanmu Karna Allah

Dengan nama Allah...
sebaik-baik Pemberi Ganjaran.

Namamukah yang tertulis di lauful mahfuz sana?
Engkaukah yang bakal menemaniku jalan menuju syurga?
Dirimukah yang akan melengkapkan separuh dari agamaku?

Adakah kau yang tercipta untukku?
Jawab pertanyaanku ini.

Kau takkan pernah dapat memberi jawaban,
Karena jawabannya bukan di tanganmu,
Tetapi di tangan-Nya.
Di tangan Tuhan kita Allah,
Tuhanku dan Tuhanmu.

Gelisahku memikirkan dirimu,
Dan ketakutanku memikirkan Robbku,
Maafkan aku,
Ketakutanku pada Robbku melebihi kegelisahanku memikirkanmu.
Jemput diriku apabila waktunya tiba,

Sebelum sampai saat itu, biarkan aku sendiri bersama si Dia,
Akan kucipta cinta bersama Dia,
Sebelum kucipta cinta antara kita.

Jadilah dirimu kumbang yang hebat,
Dan doakan aku agar menjadi bunga yang mekar,
Untuk itu, Aku tinggalkan dirimu pada-Nya

Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Robbku dan Robbmu,
Tidak ada suatu binatang melata melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya,
Sesungguhnya Robbku di atas jalan yang lurus.
Usah bersedih atas perpisahan sementara ini,

Jika benar aku tercipta untukmu,
Tiada apa yang dapat menghalangnya,
Sebelum saat itu tiba,
Berdoalah pada Allah moga diberi kekuatan,
Mohonlah padanya dengan penuh mengharap.
Yakinlah pada janji Allah!

Sesungguhnya Allah takkan pernah mensia-siakan pengorbananmu,
Bilamana kita tinggalkan semua ini karena Allah semata,

Yakinlah!
Akan ada sesuatu yang indah untukmu di pengakhiran nanti.
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu,
Daripada yang sekarang (permulaan),

Kamu dan aku adalah intan terpilih,
Berdoalah aku kuat dan tabah untuk menjaga kilauanku,
Berdoalah tiada sang kumbang durjana merosakkannya sebelum yang halal tiba,
Aku juga sentiasa mendoakanmu agar dalam peliharanya,
Senantiasa.


Kata Kata Mutiara Cinta

Jika cinta menyakitkanmu, berterimakasihlah. Karna dengan terluka, mereka mengajarkan kita dewasa.

 Cinta tak pernah menutup mata dan hanya memandang orang yang kita cinta. Tapi sebaliknya, cinta membukanya dan membantu kita untuk melihat indah isi dunia.
 Jika kau benar mencintai seseorang, kau bisa mengatakan berulang kali seberapa besar kau cinta padanya. Tapi entah kenapa tak sekalipun kau bisa katakan alasannya.
 Banyak orang bilang cinta bertemu saat kita bertatap mata. Dan sisanya berpendapat bahwa cinta adalah cara kita memandang kearah yang sama.
 Cinta adalah ilmu yang diajarkan dimana saja. Apapun agama mu, mereka tetap mengajarkan cinta. Cinta terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
 Cinta bisa datang dengan bermacam wujud. Bisa dalam bentuk canda tawa, tangis, bahkan kecewa. Tapi percayalah, itu semua adalah bentuk perjalanan cinta.
 Langkah pertama untuk mendapatkan cinta, adalah dengan memberi.
 Cinta bukan untuk mereka yang saling melukai dan kemudian pura-pura melupakan. Cinta adalah untuk mereka yang terus bertahan dan saling mengingatkan.
 Dalam sebuah hubungan, jangan pernah sesalkan perpisahan. Karna sebuah perpisahan, adalah awal pertemuan yang baru.
 Cinta tidak dapat menjamin sebuah hubungan menjadi damai. Tapi kesadaran akan tanggung jawab dan komitmen lah yang membuat cinta begitu damai.
 Cinta akan indah bukan saja pada waktunya. Tapi pada saat kita sudah bisa saling menjaga ❤
 Sebanyak apapun perbedaan yang ada diantara kalian, dalam cinta itu bukanlah suatu beban. Karena sesungguhnya, perbedaan ada untuk saling melengkapi.
 Jangan pernah mengharap pasanganmu untuk terus bersamamu, jika yang slalu kau berikan adalah alasan untuk meninggalkanmu.
 Belajar untuk mencintai dan menghargai jika dicintai adalah cara kita untuk dapat terus menikmati indahnya dunia.
 Hal yang paling disesalkan adalah ketika kita selalu mencari seseorang yang sempurna untuk kita padahal selama ini dia selalu ada disisi dan selalu mengisi
 Seberapa dalam kau pernah tersakiti gara-gara cinta, jangan pernah mencoba untuk melupakan.. tapi cobalah memaafkan.
 Saat kau jatuh cinta, janganlah berjanji untuk tidak saling menyakiti. Tapi berjanjilah untuk terus bertahan walaupun salah satu tersakiti.
 Cinta adalah ketika kamu memahami apa yg pasanganmu inginkan dan butuhkan walau tak terucapkan olehnya
 Tak peduli sehebat apapun logika, cinta sejati tak pernah lepas dari hati. Tapi kau harus tahu kapan menggunakan logika, agar hatimu tidak mudah terluka.
 Pejuang cinta terlahir bukan karna mereka tak tahu apa-apa. Melainkan merekalah orang yang paling mengerti pahit manisnya terluka.
 Dalam cinta, kau takkan tahu bahwa dia memang benar-benar orang yang tepat jika kau tidak pernah menyatakan cinta.

Kata-kata Mutiara Dakwah Cinta Islami

Cinta kepada manusia hanya sandaran dan bukan sumber kebahagiaan. Tapi cinta kepada allah adalah sumber segala.galanya

 Jika Allah tdk mengizinkan kamu bersatu dgn seseorang yang kamu cintai. Semoga Allah menyatukan kamu dgn orang yang sangat mencintai kamu

 Wanita itu emang baik merias, apalagi merias untuk suaminya. Tapi jangan lupa hiasin akhlaknya dan hatinya
 Janganlah kalian tangisi perpisahan dan kegagalan dalam BERCINTA.. Ketahuilah karena hakikatnya JODOH itu bukan ditangan manusia
 Salah satu ciri pernikahan yg barokah adalah setelah menikah makin dekat dengan Allah, saling berlomba ibadah dan saling mengingatkan
 Ukhti, bukan Pakaian, sepatu atau perhiasan yang membuatmu cantik, tapi kebaikan hati dan senyuman, itulah kecantikan dirimu yg sesungguhnya
 Orang yang bertaqwa dan cinta pada Allah akan selalu mendapat jalan keluar dari kesulitannya, dan mendapat apa yang dihendakinya dari hal yang tak terduga
 Tidak usah patah hati atas putusnya pacar sejati, sebab putus pacar sejati adalah putus satu maksiat sejati
 wanita cantik itu bkn yg memiliki tubuh yg indah! wanita yg cantik adalah yg menutupi tubuhnya dan menjaga auratnya
 Cinta tidak mengenal usia dan rupa. Cinta bukannya datang dari kemewahan hidup seseorang. Cinta lahir dari hati yang jujur dan ikhlas
 Jangan lupa sayang sama Allah SWT, sebab cuma Dialah yang menyayangimu disaat tiada seorangpun menyayangimu
 Wanita yang baik tak akan memberikan cintanya tanpa hubungan yang sah. Karena wanita yang baik akan memberikan cintanya setelah akad nikah
 Jangan hanya sibuk jaga kecantikan dan ketampanan wajah kita, tapi jangan lupa untuk jaga kecantikan dan ketampanan hati kita
 Tutuplah pintu hatimu untuk cinta seseorang yang belum pasti. Namun jangan engkau tutup pintu hatimu untuk mencintai Allah
 Pria sejati bukan hanya karena tampan, romantis, kaya atau pandai! namun sejauh mana ia mampu mengasah keimanan dan perilakunya agar lebih menawan
 Jika rindu, berdoalah. Semoga hati selalu terasa dekat walaupun berjauhan. Bukan melepaskan rindu dgn memuaskan nafsu semata
 Kecantikan seorang wanita itu bukanlah dari dia berhias.Tapi cantiknya wanita itu kita lihat dari kecantikan ilmu nya, akhlaqnya dan hatinya
 Jika kita ingin jodoh yang baik, kita harus memantaskan diri untuk menjadi orang baik juga. Karena jodohmu adalah cerminan hatimu
 Cintai dia dalam diammu, cukuplah sekedar menyebut namanya didalam setiap do’amu. Allah tahu jika kamu mencintainya meski tak ada orang lain yg tahu.
 Aku memang bukan seseorang yang sempurna. Dan bukan juga orang yang terbaik. Tapi yang jelas aku adalah orang yang mencintaimu karena agamamu, dalam namaNya Yang Maha Suci
 Pacaran setelah menikah merupakan cinta yang paling indah untuk dijalani
 Jika cinta sebab karena-Nya, maka cinta itu abadi di dalam jiwa.
 Jadikan sholat sebagai hubungan Cinta kita bersama Allah. Rindu bila kita tinggalkan. Gelisah bila tidak kita laksanakan.
Jika ada seseorang terus mengingatkan kita tentang Allah. Percayalah bahwa cinta mereka untuk kita adalah benar.
Bila mencintai seseorang. Berdoalah, Minta kepada Allah jagakan cinta engkau dan dia. Doakan agar Allah jodohkan

Kata Kata Tausiyah Cinta 2

cinta sejatimu adalah cinta yg kehadirannya membawa tetesan cahaya cintaNya
cinta yg membuatmu mencinta-Nya
cinta yg kelak menghantarmu ke surgaNya yg terindah
cinta sejatimu adalah cinta yg kehadirannya membawa tetesan cahaya cintaNya
cinta yg membuatmu mencinta-Nya
cinta yg kelak menghantarmu ke surgaNya yg terindah

Muhallil


Muhallil ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpeg
Muhallil ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Di kamar kos-kosan pengap berukuran 3 x 4 meter itu, Muhsin tertidur lagi setelah sejam sebelumnya bangun menunaikan dua rokaat sholat Subuh. Komputernya yang jadul masih menyala, sementara kertas dan buku berhamburan di lantai tidak tertata. Kipas duduk diselimuti debu tebal berputar menderu membawa angin dingin ke arah Muhsin. Angin kipas itu bergerak mengipasi tumpukan kertas membuat kertas itu terangkat-angkat dari tumpukannya yang ditindih buku tebal. Semalaman Muhsin harus bergumul dengan buku dan bacaan. Semester ini ia menargetkan dirinya harus merampungkan skripsinya. Teman-temannya sudah banyak yang lulus. Mereka mendapatkan kerja entah sebagai PNS atau pegawai swata.
Cita-cita melanjutkan S2 membuat bara keinginan untuk menyelesaikan kuliahnya berkobar-kobar di dadanya. Bara itu semakin menyala-nyala jika ia mengingat usia ayah-ibunya juga semakin melaju tua. Sementara adik-adiknya juga membutuhkan biaya sekolah yang terus meroket. Pikirnya setelah ia lulus, beban orang tuanya akan lebih ringan. Orang tuanya tinggal fokus membiayai adik-adiknya. Beruntung juga di semester-semester akhir, ia mendapatkan beasiswa dari kampusnya sambil ia bekerja di warung internet. Praktis ia tidak terlalu bergantung pada kiriman orang tua. Bahkan tidak jarang, ia bisa menabung. Jika ia pulang, ia bagikan tabungannya untuk adik-adik, keponakannya atau tetangga kanan-kirinya yang dianggapnya kekurangan.
Gawainya berdenting, ada pesan masuk melalui saluran WhatsApp. Ia menggeliat membuka mata. Ia duduk lalu meraih pesawat gawainya. Ada nomor tanpa nama mengirim pesan. Ingat aku, Muhsin? Aku Toha. Aku mau ke tempatmu, bunyi isi pesan itu.
Bagaimana ia tidak ingat. Bagi Muhsin, Toha adalah seniornya yang sempurna: cerdas, tampan, kariernya melejit dan sekarang telah menjadi orang kaya di Surabaya. Karena kesempurnaan Toha itulah, ia dengan rela mengenalkan teman kuliahnya yang jelita, yaitu Syahida. Si cantik Syahida akan lebih pantas menikah dengan Toha. Andaikata aku sepertinya, akan kuberanikan diri meminangmu, Syahida, ingatannya menggumpal mengenang kejadian setahun lalu saat ia ajak Syahida bermain ke Hotel Guardenia untuk menemui Toha, sang manager SDM di hotel tersebut.
Sejak di madrasah aliyah (MA), Muhsin adalah pengagum Toha. Toha saat itu adalah ketua OSIS, pandai berbahasa Inggris sekaligus bahasa Arab. Ia selalu mendapat peringkat satu dan menjadi lulusan teladan. Lulus MA, bukan main istimewanya Toha. Ia satu-satunya lulusan madrasah itu yang bisa menembus Fakultas Ekonomi UI Jakarta. Mayoritas lulusan madrasah itu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi agama Islam. Bagi mereka yang hebat bahasa Arab dan kuat hafalan Alquran bisa melanjutkan kuliah ke Mesir. Namun Toha adalah pengecualian, ia bisa meraih apa yang tidak bisa dilakukan teman-temannya. Toha, selain pandai bahasa Inggris, pandai pula matematika dan IPA. Kepandaiannya itu membuatnya bisa bersaing dengan lulusan-lulusan terbaik dari SMA- SMA unggulan.
Lulus dari UI, tidak sulit bagi Toha bergabung menjadi management trainee. Selanjutnya ia dengan cepat dipercaya sebagai manager SDM hotel bintang lima di Surabaya. Beberapa kali Muhsin diajak bermain ke tempatnya. Di mata Muhsin, penampilan Toha benar-benar mengesankan telah menjadi sosok eksekutif muda yang maco. Ia mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ya lulusan pesantrenlah, Sin, katanya. Saat Muhsin tunjukkan foto Syahida di gawainya, Toha mengangguk. Padahal sebenarnya Muhsin ingin pamer saja padanya bahwa ia bisa akrab dan memiliki teman perempuan secantik Syahida.
Akan tetapi Muhsin sadar siapa dirinya dan siapa Syahida. Ia hanya anak petani gurem dari sebuah desa di Lamongan. Sementara Syahida adalah anak petambak sukses di Gresik. Selama kuliah di Surabaya, nyaris Syahida tidak pernah naik bus atau angkutan umum untuk pulang ke Gresik dan berangkat ke Surabaya. Ia selalu diantar naik Inova hitam. Hanya sekali ia naik bus saat sopirnya sakit dan ayahnya sedang pameran bandeng di Semarang. Muhsinlah yang diminta mengantarnya naik bus. Sungguh aku rela dan merasa senang bisa mengalah agar ia bisa duduk di kursi bus. Biarkan aku saja yang berdiri. Mendampingi Syahida benar-benar sebuah kemegahan. Aku pun tidak berani menerka: siapa yang ada di hati Syahida, Muhsin melamun.
Ia pun mengenalkan Toha dengan Syahida. Toha sangat antusias dan luwes sekali menerima Syahida. Ia menerima pinangan Toha. Aku pun merasa lega meskipun ada semacam kerikil perasaan cemburu yang mengganjal di hatiku. Lega karena setelah menikah dengan Toha tidak ada lagi alasan bagiku untuk mengharapkan Syahida. Kerikil cemburu itu pasti akan segera musnah.
***
“Mas mengapa harus ke sini. Aku saja yang ke sana,” jawabnya.
“Begini saja, kita ketemu di depot nasi bebek Jemursari saja,” balas Toha. Tentu saja Muhsin menyetujui. Depot itu tidak jauh dari kosnya. Cukup berjalan lima menit ke arah selatan. Di tempat itu pula dulu ia menceritakan tentang Toha pada Syahida. Ia menghembuskan napas yang agak mengganjal akibat pikirannya yang tiba-tiba dipenuhi ingatan pada Syahida kala itu.
“Gimana kabarnya Mas Toha dan keluarga?” tanya Muhsin.
Toha terdiam menunduk. Tidak seperti biasanya. Toha yang biasanya adalah seorang anak muda dengan cara pandang yang lurus dan cerah dilengkapi ucapannya yang selalu menginspirasi, tetapi tidak untuk kali ini di hadapan Muhsin. Ia lesu dan layu. Nampak sekali ia mengalami kelelahan rohani (letargi) yang parah. “Justru masalah rumah tanggaku itu yang ingin aku sampaikan padamu, Sin,” jawabnya dengan nada gundah.
“Aku tidak percaya rumah tangga Mas Toha berantakan. Jika bukan sampeyan sendiri, Mas, yang memberi tahuku, kupastikan itu berita hoax,” kata Muhsin dengan gelengan kepala sementara mulutnya setengah menganga.
Sambil meredupkan tatapan mata pada Toha, ia melanjutkan, “Bagaimana rumah tangga Mas Toha bisa koyak padahal apa yang kurang dari sampeyan dan Syahida, Mas?”
Toha pun mulai bercerita kilas balik tentang takhta rumah tangganya yang runtuh. Setelah ia berhasil menjinakkan sikap dingin Syahida, ia mengira surga dunia telah menjadi miliknya. Ia dan Syahida bisa memerankan peran suami-istri dengan mesra, hangat dan romantis. Jika difilmkan, tidak ubahnya kami memerankan romantisme Ayat-Ayat Cinta,” cerita Toha.
Muhsin tersenyum, tetapi senyum tertahan agak kecut menunggu lanjutan cerita. Romantisme itu akhirnya tergerus oleh waktu juga. Agaknya Syahida ingin segera memiliki anak. Lebih tepatnya orang tuanya, yang tidak sabar ingin segera melihat cucu dari putri semata wayangnya. Sementara bagi Toha, umur pernikahan yang baru setahun tanpa anak adalah lumrah belaka.
Bukankah, sangat banyak pasangan hingga berpuluh tahun belum juga punya anak. “Satu tahun belum punya anak, mengapa harus panik, istriku. Sebagai lulusan pesantren, engkau pasti sangat mafhum akan penantian sabar Nabi Ibrahim sebelum dikaruniai Ismail dan Ishaq. Begitu panjang juga penantian Nabi Zakaria. Bahkan hingga rambut Sang Nabi itu telah memutih dan usia istrinya semakin tua, baru lahirlah Yahya?” jelas Toha suatu kali pada Syahida dengan harapan bisa meredakan hati sang istri.
Sayangnya Syahida selalu panik. Jika mendengar ada teman punya anak, maka itu adalah berita intimidasi. Ia tidak akan mau diajak menjenguk bayi. Kepanikan itu rupanya meledak ketika sepupunya yang lebih muda dan baru menikah tiga bulan lalu diperiksakan dan dinyatakan oleh dokter sudah mengandung. Syahida tidak bisa menahan kesabarannya. “Kali ini pun aku tidak bisa berkutik. Aku pun lama-kelamaan kehilangan pengertian. Kami menjelma menjadi sepasang suami-istri yang mengedepankan watak asli kami masing-masing,” Toha menjelaskan. Sementara tangan kirinya menyambar tusuk gigi di meja hidang itu. Beberapa pengunjung depot pun sudah keluar berganti dengan pengunjung lain.
“Jadi kamu bisa menerka, Sin, pada saat aku kehilangan pengertianku, ego keakuan Syahida menjadi-jadi. Ditambah lagi, gunung hasrat memiliki anak membuat emosinya semakin tidak terkendali. Jika sudah begitu, keluarga kami tak ubahnya adalah neraka. Asal kamu tahu, Sin, ini adalah talak yang ketiga. Tapi aku sungguh masih mencintainya, Sin,” kata Toha sembari tangan kirinya memegangi mulutnya sendiri. Sementara Muhsin menggeleng sembari minum sisa minuman beras kencur di gelasnya.
“Talak tiga? Sangat sulit bagi Mas Toha rujuk lagi,” sela Muhsin. “Aku ikut menyesal dan merasa bersalah mengapa dulu mempertemukan kalian,” lanjut Muhsin.
“Aku ingin rujuk lagi, Sin, jadi tolonglah,” Toha mengutarakan maksudnya dengan penuh kesungguhan pada Muhsin. Ia menjabat tangan Muhsin sembari menatap kuat mata Musin penuh pengharapan.
“Ini ide gila, Mas Toha,” sergah Muhsin, “Aku menikahi Syahida hanya agar menjadi muhallil (faktor penghalal) Mas bisa rujuk kembali?” nada suara Muhsin meninggi agak membentak ke Toha. Sementara matanya nanar mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan depot kalau-kalau suara bentakannya menyedot perhatian pengunjung. Rupanya tidak ada yang mendengar bentakan Muhsin. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Tolonglah aku, Sin, kamu ingin kan keluargaku kembali lagi?” Toha mengiba. “Aku janji aku akan membunuh egoku di hadapan Syahida. Jika kamu mau, aku juga sanggup membiayai semua kebutuhan adik-adikmu sampai mereka kuliah. Aku juga sanggup membantumu S2. Bantu aku, Sin,” Toha menghiba sekali lagi sambil menatap penuh rayuan pada Muhsin. Kali ini Muhsin yang terdiam sambil menghela napas.
“Kamu pikirkan yang matang, Sin, tidak harus sekarang kamu jawab. Jika perlu kamu istikharah. Tapi jangan sekali- kali ada orang lain yang tahu bahwa kamu menjadi muhallil untukku. Rahasiakan dokumen perjanjian kesepakatan kita ini. Katakan pada orang tuamu bahwa kamu telah bekerja dan mampu membiayai semuanya,” Toha melanjutkan bujukannya.
Muhsin masih terdiam. Kepalan tangannya menyangga dagunya. Ia gigit-gigit punggung tangannya yang mengepal. Ia membaca dokumen yang disodorkan Toha. Pada klausul Toha siap membiayai kebutuhan saudara dan siap membiayai kuliah S2, matanya terhenti. “Yang tidak bisa aku terima, aku menikahi Syahida lalu begitu saja menceraikannya. Apa alasan meceraikannya?” ujar Muhsin dengan suara yang merendah. Toha pun sudah paham sekali jika sudah begini, Muhsin biasanya akan mengiyakan keinginannya.
Pikiran dan batin Muhsin bergolak kencang. Menolak tawaran Toha berarti kesempatan membantu kebutuhan orang tua, mewujudkan mimpinya kuliah S2, hilang. Hatinya terasa berdebar pula mengingat Syahida akan dinikahinya. Akan tetapi menerimanya berarti mencederai kesakralan pernikahan jika menikah hanya untuk bercerai. Bagaimana lagi dengan marwah Syahida: gonta-ganti lelaki. Namun jika itu bisa menyatukan rumah tangga yang pecah lalu mereka bisa rukun kembali, kenapa tidak? Pernyataan dan pertanyaan semacam itu silih berganti mengaduk-aduk pikirannya untuk menimbang tawaran Toha.
“Baik, Mas Toha, aku menerima tawaranmu, tetapi dengan jaminan sampeyan bisa mengalah demi Syahida dan keluargamu,” jawaban Muhsin melalu WhatsApp.
“Jaminanku adalah kesanggupanku memenuhi semua kebutuhanmu, adik-adikmu, dan keluargamu. Bukankah itu bisa menjadi bukti sikapku yang berusaha mengerti, Sin,” Toha membalas dengan kalimat penutup, “Terima kasih, Muhsin.”
***
Dengan berbekal akomodasi dari Toha, Muhsin pun melakukan pendekatan pada Syahida. Tidak sulit untuk merebut hati Syahida yang telah menjanda. Bahasa tubuh dan cara berkomunikasinya ditangkap dengan jelas oleh Muhsin bahwa Syahida tidak menolak. “Mengapa baru sekarang, Sin, ketika aku bukan Syahida yang pernah engkau antar naik bus dulu?” jawab Syahida saat dipinang Muhsin. Ia baru menyadari bahwa sebenarnya sedari dulu Syahida memiliki rasa dengannya. Hanya ia yang tidak punya nyali.
“Ahad besok aku mau ke tempatmu, Sin, ada laptop untukmu. Pasti sangat berguna untuk kuliah S2-mu.” Syahida berkirim pesan pada Muhsin.
“Ya… berarti aku harus bersih-bersih dulu ini,” jawab muhsin sumringah berbunga-bunga. Muhsin merasakan tiba-tiba banyak keberuntungan yang datang melipahi dirinya setelah menerima tawaran Toha. Kali ini Syahida dengan entengnya memberinya hadiah laptop, padahal sepekan sebelumnya Muhsin telah diajak ke Plasa Marina membeli gawai baru. Belum lagi orang tua Syahida yang akan mengirim sepeda motor jika kelak ia sudah tinggal di Yogyakarta atau Jakarta untuk kuliah S2. “Adakah ini yang dinamakan rahmat Ilahi? Benar-benar pintu langit terbuka untukku. Tidak salah keputusanku,” pikirannya berkicau sendiri.
Tiba hari Ahad, Syahida benar-benar datang dengan membawa laptop dilengkapi dengan printer dan modem. Setelah selesai menyambung perangkat laptopnya dengan printer lalu memastikan jaringan internet bekerja dan bisa diakses, Syahida menawari Muhsin jalan-jalan keluar mencari makan. Kali ini Muhsin yang menolak. Ia mengusulkan diri mencarikan jus buah di sebelah kos-kosan. Syahida menerima usulnya.
Saat Muhsin keluar, Syahida tidak bermaksud membaca buku-buku koleksi Muhsin. Ia hanya iseng membuka-buka buku sambil menunggu Muhsin membawakannya jus alpukat. Syahida meraih satu buku secara sembarangan di rak yang paling bawah. Ia buka untuk melihat gambar atau judul-judulnya saja. Begitu ia menyingkap sampul buku itu, halaman yang dibatasi dengan sebuah surat bermaterai terbuka.
Ia meraih dokumen itu. Jantung Syahida berdegup keras. Napasnya tersengal. Ia meremas-remas kertas itu seperti kesetanan lalu memcampakkan remahan kertas di lantai. Sebelum keluar ruangan, ia sempat menendang printer dan menarik laptop terbanting keras di lantai. Ia pergi meninggalkan kos-kosan itu sambil menutupi wajah yang terisak dengan ujung hijabnya.
Berselang lima menit kemudian, Muhsin datang. Begitu masuk kamar kosnya, ia terhenyak. Melihat remahan kertas yang sangat ia kenal berserakan. Sobekan kertas yang masih tertempel meterai tepat berada di mulut pintu kamar. Tidak terasa jus yang terbungkus plastik jatuh dari genggaman tangannya, Syahida sudah tahu.
Muhsin menggeleng-gelengkan kepala. “Rusak-rusak semua… gagal-gagal semua,” deru pedih hatinya.
Gawainya berdenting, “Kalian berdua sungguh lelaki yang keji dan sadis. Tega berkonspirasi menjual diriku atas nama pernikahan. Andai adik perempuanmu diperlakukan seperti aku, atau ibumu, bagaimana, Sin? Relakah kamu? Kelak jika aku punya anak dan ini semua terjadi, bagaimana perasaan anakku tahu ibunya dicampakkan dari satu lelaki ke lelaki lain? Bangsat kalian berdua,” bunyi pesan dari Syahida. Sementara Muhsin terduduk merenung. Ia sempatkan mengirim pesan ke Toha.
Tidak lama, Toha membalas, “Semua sudah berakhir, Muhsin, lupakan kesepakatan yang kita buat. Maafkan aku.” Muhsin bersujud, mulutnya melafalkan istighfar. Ia berusaha menghapuskan khayalan kuliah S2 dan bantuan-bantuan dana untuk keluarga dan adik-adiknya. (*)

Muhallil: Lelaki yang menyebabkan halalnya wanita dinikahi mantan suami setelah talak ketiga diistilahkan dalam bahasa Arab: muhallil artinya penyela atau penghalal.

FATHURROFIQ, penulis tinggal di Sidoarjo, belajar sastra di Fakultas Budaya Unair Surabaya. Pendidik di Al Hikmah Surabaya selain mengajar linguistik dan logika di Sekolah Tinggi Ilmu Al Quran dan Sains (STIQSI) Al Ishlah, Sendagagung, Paciran, Lamongan. Karyanya antologi cerpen: Prajurit Bumi, terbit 2010

Burung-Burung Mbah Sinting

Burung-Burung Mbah Sinting ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Burung-Burung Mbah Sinting ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Lelaki yang tak pandai mengurus janggut itu—para pemuda tanggung menjulukinya Mbah Sinting—konon veteran berpangkat sersan. Namun bukan sembarang sersan.
Desas-desus yang aku dengar dari warung kopi di ujung perumahan, Mbah Sinting yang sehari-hari hanya berbicara dengan burung-burung peliharaannya bukan pensiunan tentara sembarangan. Dia orang suci yang mendapat pencerahan di bawah pohon kersen suatu malam. Dengan pencerahan agung itu, para burung menobatkan Mbah Sinting sebagai satu-satunya wali dari kalangan militer Angkatan Darat. Itulah paling tidak kabar yang kuterima dari kelakar orang-orang di sekitar perumahan.
Aku awalnya tak begitu peduli pada lelaki veteran bertubuh cungkring itu. Namun karena aku mengontrak di samping rumahnya, di kompleks perumahan cacat veteran yang hampir seluruh rumah kini dikontrakkan kepada warga sipil yang tidak cacat dan bukan veteran, mau tak mau aku sering berpapasan dengan janggut kusut silvernya, meski sekadar bertukar salam atau basa-basi saling sapa tentang sembilan burungnya.
Aku tak terlalu paham kesembilan burung itu. Yang aku tahu, semua burung itu memiliki warna dan kicauan berbeda-beda. Dia memberi sangkar setiap burung dengan motif dan warna tidak sama. Ya, sembilan burung dengan sembilan warna di dalam sembilan sangkar dan dengan sembilan suara begitu runcing dan menjengkelkan. Lebih menjengkelkan dari dengung kaus kaki Afrizal Malna.
Sembilan hari aku menjadi tetangganya, hidup mendadak menjadi lebih ingar dari bayanganku. Selalu ada bunyi cericit-cuit. Selalu ada bunyi petikan jari dan siulan. Selalu ada kedongkolan. Selalu ada suara-suara!
Namun ketika aku mencoba membuka pintu dialog untuk menyelesaikan permasalahan suara itu, Mbah Sinting mengelak dan berlagak sibuk dengan burungnya.
“Maaf, orang yang Anda maksud sedang sibuk! Silakan tinggalkan pesan Anda setelah terdengar nada berikut. Klik!”
Semula aku hanya menganggap itu lelucon. Namun ketika kali ketiga dia mengatakan hal serupa, aku pun meladeni kegilaannya.
Ketika jarinya menjentik “klik!”, sebuah pesan pun kutinggalkan. “Anu, Mbah, volume suara burung Mbah bisa dikecilin dikit gak ya, Mbah? Makasih!”
Tut…tut…tut…. Sepi.
Malam hari, setelah aku pulang lembur, tak seperti biasa Mbah Sinting duduk melamun di depan rumah.
“Malam, Mbah!” sapaku sambil memasukkan kaus kaki ke mulut sepatu.
“Setiap waktu adalah sore!” jawab Mbah Sinting ketus.
Sialan! Jika bukan karena pendatang baru, tentu aku tak akan memilih tersenyum pada Mbah Sinting. Namun sebagai pendatang baru, aku dituntut mengetahui waktu yang tepat untuk tersenyum.
“Sudah ngopi, Mbah?”
Mbah Sinting hanya melirik.
Setelah melengos ke bilik dapur, memasak air dan menuangkan kopi sasetan ke dalam gelas, aku pun mengganti seragam pabrik dengan kaus oblong supaya terlihat lebih manusiawi di mata Mbah sinting.
Ditengahi dua gelas kopi, lima batang rokok, dan sebuah asbak dari kulit kerang kima, malam itu obrolan dengan Mbah Sinting berlangsung khidmat, tetapi penuh retorika, asap rokok yang berpilin, dan kebijaksanaan yang menjelimet.
“Jadi gimana, Mbah? Pesan saya sudah Mbah terima kan?” kataku sambil menyulut sebatang rokok.
Mbah Sinting mengangguk. Setelah menyulut sebatang rokok yang kugeletakkan di atas meja tanpa permisi, dia pun berkata dengan tenang. “Aku sudah berbicara pada burung-burungku agar mereka mengecilkan suara.”
“Hasilnya, Mbah?” tanyaku berpura-pura penasaran.
“Mereka menolak!”
Sial!
“Jika kau tak puas, silakan ajukan gugatan. Namun jika kau ingin menyelesaikan secara kekeluargaan, bicaralah langsung dengan burung-burungku. Mereka pendengar yang baik!”
Aku menyeruput kopi dan membetulkan posisi duduk.
“Bagaimana Mbah yakin saya bisa bicara pada burung-burung itu?”
Mbah Sinting membiarkan pertanyaanku melayang-layang beberapa saat.
“Aku melihatmu dapat berbicara dan mendengar. Begitu pun burung-burungku. Jadi kupikir tak ada masalah!”
“Saya bukan Kanjeng Nabi Sulaiman, Mbah. Jadi bagaimana bisa bicara pada burung-burung?”
“Bicara saja! Apa sulitnya bicara?”
Walah!
Begitulah, setelah pembicaraan malam itu, diam-diam ada bagian dalam diriku yang lain secara memalukan tiba-tiba begitu mengagumi sosok Mbah Sinting.
***
Sinar matahari masih suam-suam kuku ketika aku terbangun dan mendapati Mbah Sinting di pekarangan menjemur burung-burungnya. Setelah menyeduh kopi dan menyiapkan beberapa batang rokok sebagai pancingan, aku menghampiri Mbah Sinting yang sibuk menggantung sangkar burung di dahan rambutan cangkokan.
“Saya bantu, Mbah!” ujarku mencari-cari perhatian.
Tanpa menunggu jawaban, aku mengambil sangkar berwarna hijau. Dalam sangkar itu seekor burung kecil berwarna hijau meloncat-loncat lincah.
“Ini burung apa, Mbah?” tanyaku.
“Burung yang enggan disebutkan namanya!”
“Hm… boleh saya panggil Zamrud, Mbah?”
“Tanya saja pada dia!”
Sebelum menggantungkan sangkar di dahan rambutan, aku bertanya pada si hijau tentang kesediaannya kupanggil Zamrud. Namun tak ada jawaban.
Selesai menggantungkan sangkar burung, aku dan Mbah Sinting duduk di sebuah bangku. Kami menikmati kehangatan matahari Minggu. Tentu dengan rokok dan segelas kopi.
“Kalau saya perhatikan, kadang kehidupan saya sebagai buruh pabrik tak jauh beda dari burung-burung Mbah. Bisa minum dan makan…, tetapi terkekang!”
Mbah Sinting mendelik.
“Kenapa tidak Mbah biarkan burung-burung itu bebas? Biar merdeka seperti Indonesia. Hi-hi-hi….”
Mbah Sinting menyulut rokok yang semula terselip di kopiahnya. Setelah dua isapan panjang, dia berujar. “Karena dunia adalah penjara dan kebebasan itu tak pernah ada! Lagipula burung-burung itu sangat menikmati keterpenjaraan. Bukankah kau dengar kicau pembicaraan mereka?”
“Hm… iya, Mbah. Kalau kebebasan nggak ada, Mbah, terus…. Mbah dulu mati-matian perang bukan buat merebut kemerdekaan? Maksud saya merebut kebebasan dari cengkeraman penjajah.”
“Aku cuma mengisi waktu luang!”
“Maksud, Mbah?”
Mbah Sinting beringsut.
“Ketika seekor burung dilepaskan dari sarang, sesungguhnya hanya melemparkan diri ke penjara lebih luas. Tidak ada kebebasan bisa benar-benar disebut kebebasan. Tak terkecuali manusia, tak terkecuali gugusan pulau yang bernama Indonesia, karena dunia adalah penjara!”
“Hm… dari mana Mbah yakin kebebasan tidak ada?”
“Dari burung-burung itu!”
“Namun burung hijau yang saya gantungkan itu ingin bebas lo, Mbah! Dia yang omong pada saya!” jawabku sekenanya.
Di luar dugaan, Mbah Sinting menatap tajam kepadaku dengan geram.
“Kamu berdusta! Burung yang kaugantungkan itu tidak mengucapkan apa pun, kecuali satu hal!”
“Apa, Mbah?”
Subhanallah ‘amma yashifuun, subhanallah ‘amma yusrikuun!
Edan!
***
Begitulah seterusnya. Melewati pembicaraan demi pembicaraan, kekagumanku pada Mbah Sinting makin minggu kian sampai ke puncak. Terlebih ketika sekali waktu dia mengatakan, “Bawalah kamus dalam dirimu. Karena segala sesuatu senantiasa bicara dengan bahasanya dan setiap tempat memiliki bahasa masing-masing.”
Aku seperti seseorang yang sedang gencar dimabuk asmara. Sampai-sampai ketika setiap pagi aku melihat Mbah Sinting memandangi burung-burungnya, rasanya aku ingin sekali mencopot baju seragam pabrikku dan mengganti dengan sarung dan kaus oblong demi menghabiskan kebersamaan dengan kekonyolan yang menakjubkan.
Aku merasa Mbah Sinting satu-satunya di kompleks ini kawan merokok yang kuharapkan. Dia sahabat yang sanggup menaungi kesunyianku, sehingga aku tak peduli jika seluruh tukang ojek dan pemuda tanggung terus mengolok-olok dia sebagai wali yang mendapat pencerahan di bawah pohon kersen karena hatiku telah diliputi kedahsyatan dan kekaguman. Namun pada sebuah Jumat paling murung, kekagumanku pada Mbah Sinting tercederai oleh wasiatnya yang menggemparkan.
“Dunia ini penjara. Jika telah datang kebebasanku, ambillah burung-burung itu sebagai hadiah waktu luangku atau lepaskanlah!”
Aku tercekat. Aku merasa tak seharusnya Mbah Sinting berkata selancang itu, justru ketika kekagumanku sampai ke puncak! Maka ketika waktu menggenapi wasiatnya itu, tepat pada pukul 09.00, 19 Ramadan,  aku pun benar-benar kehilangan seorang teman. Aku merasa hidup lebih sunyi dari bayanganku. Sementara itu ketinggian pagar pabrik yang mengurungku makin hari kian tak terlampaui. Bahkan oleh sembilannekor burung Mbah Sinting sekalipun. (44)

Jatipadang, 2017
Ang Ariandi lahir di Sukabumi, 1984. Belajar menulis di Akademi Sastra Tangerang. Kini tinggal di Jakarta. Sehari-hari sebagai creative program sebuah rumah produksi. Beberapa puisi dan cerpennya termuat dalam beberapa antologi dan koran lokal.

Buku Tak Berjudul


Buku Tak Berjudul ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Buku Tak Berjudul ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Setiap hari buku tak berjudul selalu sendiri. Ia malu karena tak memiliki judul. Ia juga tak memiliki teman. Ia takut jika nanti mereka bertanya apa judulnya, tak bisa menjawab. Ia tak seperti buku-buku lain. Buku lain dengan mudah menyebutkan judulnya. Mereka mudah memanggil antara satu buku dengan buku yang lain.
Buku itu pun sedih. Ia ingin punya teman, tapi selalu takut. Ia takut akan menjadi bahan ejekan para buku yang lain. Ia sering mencoba untuk ikut bermain bersama buku lain, namun gagal karena tak berani. Ia memilih sendiri lagi.
“Aku ingin punya teman. Tapi, adakah yang mau berteman dengan buku tak berjudul sepertiku?” gumamnya setiap hari.
***
Suatu hari, ia bertemu dengan buku yang sedang menangis. Ia ragu untuk mendekat. Namun dengan segenap keberanian, ia mendatangi buku itu. Ia merasa kasihan padanya. Dengan perlahan dia mendekat ke sebelah buku itu. Meski ragu ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Wahai buku, kamu kenapa menangis?” tanya buku tak berjudul lembut.
Buku yang sedari tadi menangis kaget. Ia tak menyadari ada buku lain di sebelahnya. Namun ia tak menjawab. Ia kembali menangis. Buku tak berjudul masih tetap berada di sebelahnya.
“Hari ini aku bertengkar dengan temanku. Aku sangat sedih,” ucapnya sambil menangis.
Lalu, buku yang menangis pun bercerita.
“Aku bertengkar dengan temanku. Saat bermain aku tak sengaja menabraknya hingga ia terjatuh. Ia marah kepadaku. Aku sudah berusaha meminta maaf namun ia semakin marah. Ia tak mau memaafkanku. Ia menganggap aku sengaja menabraknya,” katanya sambil menahan tangis.
“Bersyukurlah kamu memiliki teman. Meski sedang bertengkar, kamu punya teman yang bisa kamu ajak bermain setiap hari. Dia mungkin masih kaget saat terjatuh tadi. Aku yakin dia mau memaafkanmu jika memang kamu tidak bersalah. Aku akan menemanimu untuk menemuinya lagi,” buku tak berjudul mencoba menghiburnya.
Tanpa sempat berkenalan, mereka berdua mendatangi buku itu. Buku tak berjudul merasa senang bisa menemani buku lain meski belum menjadi temannya. Ia pun berhasil mendamaikan kedua buku yang habis bertengkar.
“Terima kasih ya, berkat kamu kami jadi baikan,” ucap kedua buku kompak.
“Oh iya, kita belum berkenalan. Aku Buku Pintar dan temanku Buku Kreatif,” lanjut buku yang menangis.
Buku tak berjudul hanya diam. Ia menunduk tak berani menatap.
“Kenapa kamu diam saja? Kamu tak mau berkenalan dan berteman dengan kami?” tanya Buku Pintar.
“Aku adalah buku tak berjudul. Apakah kalian masih mau berteman denganku?” ucapnya gemetar.
“Tentu saja,” jawab mereka kompak.
“Mulai saat ini kita adalah teman. Kamu adalah buku yang baik, karena itulah kita akan memanggilmu Buku Baik Hati,” lanjut Buku Kreatif. Mereka berpelukan erat dan berjanji untuk berteman selamanya.
Buku tak berjudul kini menjadi Buku Baik Hati. Ia kini memiliki teman. Tak hanya Buku Pintar dan Buku Kreatif, ia juga memiliki banyak teman. Banyak sekali buku yang ingin berkenalan dan menjadi temannya, karena dikenal akan kebaikannya. Ia sangat ramah dan peduli pada buku yang lain.
Ia sekarang sadar bahwa untuk memiliki teman yang terpenting adalah kebaikan yang diberikan kepada sesamanya. Ia sudah salah sangka dan berpikir buruk kepada buku-buku yang lain. Ia menyesali sikapnya selama ini. Ia berjanji akan selalu berbuat baik kepada teman-temannya. (58)