Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Dengan nama Allah...
sebaik-baik Pemberi Ganjaran.
Namamukah yang tertulis di lauful mahfuz sana?
Engkaukah yang bakal menemaniku jalan menuju syurga?
Dirimukah yang akan melengkapkan separuh dari agamaku?
Adakah kau yang tercipta untukku?
Jawab pertanyaanku ini.
Kau takkan pernah dapat memberi jawaban,
Karena jawabannya bukan di tanganmu,
Tetapi di tangan-Nya.
Di tangan Tuhan kita Allah,
Tuhanku dan Tuhanmu.
Gelisahku memikirkan dirimu,
Dan ketakutanku memikirkan Robbku,
Maafkan aku,
Ketakutanku pada Robbku melebihi kegelisahanku memikirkanmu.
Jemput diriku apabila waktunya tiba,
Sebelum sampai saat itu, biarkan aku sendiri bersama si Dia,
Akan kucipta cinta bersama Dia,
Sebelum kucipta cinta antara kita.
Jadilah dirimu kumbang yang hebat,
Dan doakan aku agar menjadi bunga yang mekar,
Untuk itu, Aku tinggalkan dirimu pada-Nya
Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Robbku dan Robbmu,
Tidak ada suatu binatang melata melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya,
Sesungguhnya Robbku di atas jalan yang lurus.
Usah bersedih atas perpisahan sementara ini,
Jika benar aku tercipta untukmu,
Tiada apa yang dapat menghalangnya,
Sebelum saat itu tiba,
Berdoalah pada Allah moga diberi kekuatan,
Mohonlah padanya dengan penuh mengharap.
Yakinlah pada janji Allah!
Sesungguhnya Allah takkan pernah mensia-siakan pengorbananmu,
Bilamana kita tinggalkan semua ini karena Allah semata,
Yakinlah!
Akan ada sesuatu yang indah untukmu di pengakhiran nanti.
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu,
Daripada yang sekarang (permulaan),
Kamu dan aku adalah intan terpilih,
Berdoalah aku kuat dan tabah untuk menjaga kilauanku,
Berdoalah tiada sang kumbang durjana merosakkannya sebelum yang halal tiba,
Aku juga sentiasa mendoakanmu agar dalam peliharanya,
Senantiasa.
Jika cinta menyakitkanmu, berterimakasihlah. Karna dengan terluka, mereka mengajarkan kita dewasa.
Cinta
tak pernah menutup mata dan hanya memandang orang yang kita cinta. Tapi
sebaliknya, cinta membukanya dan membantu kita untuk melihat indah isi
dunia.
Jika
kau benar mencintai seseorang, kau bisa mengatakan berulang kali
seberapa besar kau cinta padanya. Tapi entah kenapa tak sekalipun kau
bisa katakan alasannya.
Banyak
orang bilang cinta bertemu saat kita bertatap mata. Dan sisanya
berpendapat bahwa cinta adalah cara kita memandang kearah yang sama.
Cinta
adalah ilmu yang diajarkan dimana saja. Apapun agama mu, mereka tetap
mengajarkan cinta. Cinta terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Cinta
bisa datang dengan bermacam wujud. Bisa dalam bentuk canda tawa,
tangis, bahkan kecewa. Tapi percayalah, itu semua adalah bentuk
perjalanan cinta.
Langkah pertama untuk mendapatkan cinta, adalah dengan memberi.
Cinta
bukan untuk mereka yang saling melukai dan kemudian pura-pura
melupakan. Cinta adalah untuk mereka yang terus bertahan dan saling
mengingatkan.
Dalam sebuah hubungan, jangan pernah sesalkan perpisahan. Karna sebuah perpisahan, adalah awal pertemuan yang baru.
Cinta
tidak dapat menjamin sebuah hubungan menjadi damai. Tapi kesadaran akan
tanggung jawab dan komitmen lah yang membuat cinta begitu damai.
Cinta akan indah bukan saja pada waktunya. Tapi pada saat kita sudah bisa saling menjaga
Sebanyak
apapun perbedaan yang ada diantara kalian, dalam cinta itu bukanlah
suatu beban. Karena sesungguhnya, perbedaan ada untuk saling melengkapi.
Jangan pernah mengharap pasanganmu untuk terus bersamamu, jika yang slalu kau berikan adalah alasan untuk meninggalkanmu.
Belajar untuk mencintai dan menghargai jika dicintai adalah cara kita untuk dapat terus menikmati indahnya dunia.
Hal
yang paling disesalkan adalah ketika kita selalu mencari seseorang yang
sempurna untuk kita padahal selama ini dia selalu ada disisi dan selalu
mengisi
Seberapa dalam kau pernah tersakiti gara-gara cinta, jangan pernah mencoba untuk melupakan.. tapi cobalah memaafkan.
Saat
kau jatuh cinta, janganlah berjanji untuk tidak saling menyakiti. Tapi
berjanjilah untuk terus bertahan walaupun salah satu tersakiti.
Cinta adalah ketika kamu memahami apa yg pasanganmu inginkan dan butuhkan walau tak terucapkan olehnya
Tak
peduli sehebat apapun logika, cinta sejati tak pernah lepas dari hati.
Tapi kau harus tahu kapan menggunakan logika, agar hatimu tidak mudah
terluka.
Pejuang
cinta terlahir bukan karna mereka tak tahu apa-apa. Melainkan merekalah
orang yang paling mengerti pahit manisnya terluka.
Dalam cinta, kau takkan tahu bahwa dia memang benar-benar orang yang tepat jika kau tidak pernah menyatakan cinta.
Cinta kepada manusia hanya sandaran dan bukan sumber kebahagiaan. Tapi cinta kepada allah adalah sumber segala.galanya
Jika
Allah tdk mengizinkan kamu bersatu dgn seseorang yang kamu cintai.
Semoga Allah menyatukan kamu dgn orang yang sangat mencintai kamu
Wanita itu emang baik merias, apalagi merias untuk suaminya. Tapi jangan lupa hiasin akhlaknya dan hatinya
Janganlah
kalian tangisi perpisahan dan kegagalan dalam BERCINTA..
Ketahuilah karena hakikatnya JODOH itu bukan ditangan manusia
Salah
satu ciri pernikahan yg barokah adalah setelah menikah makin dekat
dengan Allah, saling berlomba ibadah dan saling mengingatkan
Ukhti,
bukan Pakaian, sepatu atau perhiasan yang membuatmu cantik, tapi
kebaikan hati dan senyuman, itulah kecantikan dirimu yg sesungguhnya
Orang
yang bertaqwa dan cinta pada Allah akan selalu mendapat jalan keluar
dari kesulitannya, dan mendapat apa yang dihendakinya dari hal yang tak
terduga
Tidak usah patah hati atas putusnya pacar sejati, sebab putus pacar sejati adalah putus satu maksiat sejati
wanita cantik itu bkn yg memiliki tubuh yg indah! wanita yg cantik adalah yg menutupi tubuhnya dan menjaga auratnya
Cinta
tidak mengenal usia dan rupa. Cinta bukannya datang dari kemewahan
hidup seseorang. Cinta lahir dari hati yang jujur dan ikhlas
Jangan lupa sayang sama Allah SWT, sebab cuma Dialah yang menyayangimu disaat tiada seorangpun menyayangimu
Wanita
yang baik tak akan memberikan cintanya tanpa hubungan yang sah. Karena
wanita yang baik akan memberikan cintanya setelah akad nikah
Jangan hanya sibuk jaga kecantikan dan ketampanan wajah kita, tapi jangan lupa untuk jaga kecantikan dan ketampanan hati kita
Tutuplah pintu hatimu untuk cinta seseorang yang belum pasti. Namun jangan engkau tutup pintu hatimu untuk mencintai Allah
Pria
sejati bukan hanya karena tampan, romantis, kaya atau pandai! namun
sejauh mana ia mampu mengasah keimanan dan perilakunya agar lebih
menawan
Jika rindu, berdoalah. Semoga hati selalu terasa dekat walaupun berjauhan. Bukan melepaskan rindu dgn memuaskan nafsu semata
Kecantikan seorang wanita itu bukanlah dari dia berhias.Tapi cantiknya wanita itu kita lihat dari kecantikan ilmu nya, akhlaqnya dan hatinya
Jika
kita ingin jodoh yang baik, kita harus memantaskan diri untuk menjadi
orang baik juga. Karena jodohmu adalah cerminan hatimu
Cintai
dia dalam diammu, cukuplah sekedar menyebut namanya didalam setiap
do’amu. Allah tahu jika kamu mencintainya meski tak ada orang lain yg
tahu.
Aku
memang bukan seseorang yang sempurna. Dan bukan juga orang yang
terbaik. Tapi yang jelas aku adalah orang yang mencintaimu karena
agamamu, dalam namaNya Yang Maha Suci
Pacaran setelah menikah merupakan cinta yang paling indah untuk dijalani
Jika cinta sebab karena-Nya, maka cinta itu abadi di dalam jiwa.
Jadikan sholat sebagai hubungan Cinta kita bersama Allah. Rindu bila kita tinggalkan. Gelisah bila tidak kita laksanakan.
Jika ada seseorang terus mengingatkan kita tentang Allah. Percayalah bahwa cinta mereka untuk kita adalah benar.
Bila mencintai seseorang. Berdoalah, Minta kepada Allah jagakan cinta engkau dan dia. Doakan agar Allah jodohkan
Muhallil ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Di kamar kos-kosan pengap berukuran 3 x 4 meter itu, Muhsin tertidur
lagi setelah sejam sebelumnya bangun menunaikan dua rokaat sholat Subuh.
Komputernya yang jadul masih menyala, sementara kertas dan buku
berhamburan di lantai tidak tertata. Kipas duduk diselimuti debu tebal
berputar menderu membawa angin dingin ke arah Muhsin. Angin kipas itu
bergerak mengipasi tumpukan kertas membuat kertas itu terangkat-angkat
dari tumpukannya yang ditindih buku tebal. Semalaman Muhsin harus
bergumul dengan buku dan bacaan. Semester ini ia menargetkan dirinya
harus merampungkan skripsinya. Teman-temannya sudah banyak yang lulus.
Mereka mendapatkan kerja entah sebagai PNS atau pegawai swata.
Cita-cita melanjutkan S2 membuat bara keinginan untuk menyelesaikan
kuliahnya berkobar-kobar di dadanya. Bara itu semakin menyala-nyala jika
ia mengingat usia ayah-ibunya juga semakin melaju tua. Sementara
adik-adiknya juga membutuhkan biaya sekolah yang terus meroket. Pikirnya
setelah ia lulus, beban orang tuanya akan lebih ringan. Orang tuanya
tinggal fokus membiayai adik-adiknya. Beruntung juga di
semester-semester akhir, ia mendapatkan beasiswa dari kampusnya sambil
ia bekerja di warung internet. Praktis ia tidak terlalu bergantung pada
kiriman orang tua. Bahkan tidak jarang, ia bisa menabung. Jika ia
pulang, ia bagikan tabungannya untuk adik-adik, keponakannya atau
tetangga kanan-kirinya yang dianggapnya kekurangan.
Gawainya berdenting, ada pesan masuk melalui saluran WhatsApp. Ia
menggeliat membuka mata. Ia duduk lalu meraih pesawat gawainya. Ada
nomor tanpa nama mengirim pesan. Ingat aku, Muhsin? Aku Toha. Aku mau ke
tempatmu, bunyi isi pesan itu.
Bagaimana ia tidak ingat. Bagi Muhsin, Toha adalah seniornya yang
sempurna: cerdas, tampan, kariernya melejit dan sekarang telah menjadi
orang kaya di Surabaya. Karena kesempurnaan Toha itulah, ia dengan rela
mengenalkan teman kuliahnya yang jelita, yaitu Syahida. Si cantik
Syahida akan lebih pantas menikah dengan Toha. Andaikata aku sepertinya,
akan kuberanikan diri meminangmu, Syahida, ingatannya menggumpal
mengenang kejadian setahun lalu saat ia ajak Syahida bermain ke Hotel
Guardenia untuk menemui Toha, sang manager SDM di hotel tersebut.
Sejak di madrasah aliyah (MA), Muhsin adalah pengagum Toha. Toha saat
itu adalah ketua OSIS, pandai berbahasa Inggris sekaligus bahasa Arab.
Ia selalu mendapat peringkat satu dan menjadi lulusan teladan. Lulus MA,
bukan main istimewanya Toha. Ia satu-satunya lulusan madrasah itu yang
bisa menembus Fakultas Ekonomi UI Jakarta. Mayoritas lulusan madrasah
itu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi agama Islam. Bagi mereka yang
hebat bahasa Arab dan kuat hafalan Alquran bisa melanjutkan kuliah ke
Mesir. Namun Toha adalah pengecualian, ia bisa meraih apa yang tidak
bisa dilakukan teman-temannya. Toha, selain pandai bahasa Inggris,
pandai pula matematika dan IPA. Kepandaiannya itu membuatnya bisa
bersaing dengan lulusan-lulusan terbaik dari SMA- SMA unggulan.
Lulus dari UI, tidak sulit bagi Toha bergabung menjadi management
trainee. Selanjutnya ia dengan cepat dipercaya sebagai manager SDM hotel
bintang lima di Surabaya. Beberapa kali Muhsin diajak bermain ke
tempatnya. Di mata Muhsin, penampilan Toha benar-benar mengesankan telah
menjadi sosok eksekutif muda yang maco. Ia mengutarakan keinginannya
untuk menikah. Ya lulusan pesantrenlah, Sin, katanya. Saat Muhsin
tunjukkan foto Syahida di gawainya, Toha mengangguk. Padahal sebenarnya
Muhsin ingin pamer saja padanya bahwa ia bisa akrab dan memiliki teman
perempuan secantik Syahida.
Akan tetapi Muhsin sadar siapa dirinya dan siapa Syahida. Ia hanya
anak petani gurem dari sebuah desa di Lamongan. Sementara Syahida adalah
anak petambak sukses di Gresik. Selama kuliah di Surabaya, nyaris
Syahida tidak pernah naik bus atau angkutan umum untuk pulang ke Gresik
dan berangkat ke Surabaya. Ia selalu diantar naik Inova hitam. Hanya
sekali ia naik bus saat sopirnya sakit dan ayahnya sedang pameran
bandeng di Semarang. Muhsinlah yang diminta mengantarnya naik bus.
Sungguh aku rela dan merasa senang bisa mengalah agar ia bisa duduk di
kursi bus. Biarkan aku saja yang berdiri. Mendampingi Syahida
benar-benar sebuah kemegahan. Aku pun tidak berani menerka: siapa yang
ada di hati Syahida, Muhsin melamun.
Ia pun mengenalkan Toha dengan Syahida. Toha sangat antusias dan
luwes sekali menerima Syahida. Ia menerima pinangan Toha. Aku pun merasa
lega meskipun ada semacam kerikil perasaan cemburu yang mengganjal di
hatiku. Lega karena setelah menikah dengan Toha tidak ada lagi alasan
bagiku untuk mengharapkan Syahida. Kerikil cemburu itu pasti akan segera
musnah.
***
“Mas mengapa harus ke sini. Aku saja yang ke sana,” jawabnya.
“Begini saja, kita ketemu di depot nasi bebek Jemursari saja,” balas
Toha. Tentu saja Muhsin menyetujui. Depot itu tidak jauh dari kosnya.
Cukup berjalan lima menit ke arah selatan. Di tempat itu pula dulu ia
menceritakan tentang Toha pada Syahida. Ia menghembuskan napas yang agak
mengganjal akibat pikirannya yang tiba-tiba dipenuhi ingatan pada
Syahida kala itu.
“Gimana kabarnya Mas Toha dan keluarga?” tanya Muhsin.
Toha terdiam menunduk. Tidak seperti biasanya. Toha yang biasanya
adalah seorang anak muda dengan cara pandang yang lurus dan cerah
dilengkapi ucapannya yang selalu menginspirasi, tetapi tidak untuk kali
ini di hadapan Muhsin. Ia lesu dan layu. Nampak sekali ia mengalami
kelelahan rohani (letargi) yang parah. “Justru masalah rumah tanggaku
itu yang ingin aku sampaikan padamu, Sin,” jawabnya dengan nada gundah.
“Aku tidak percaya rumah tangga Mas Toha berantakan. Jika bukan sampeyan sendiri, Mas, yang memberi tahuku, kupastikan itu berita hoax,” kata Muhsin dengan gelengan kepala sementara mulutnya setengah menganga.
Sambil meredupkan tatapan mata pada Toha, ia melanjutkan, “Bagaimana
rumah tangga Mas Toha bisa koyak padahal apa yang kurang dari sampeyan dan Syahida, Mas?”
Toha pun mulai bercerita kilas balik tentang takhta rumah tangganya
yang runtuh. Setelah ia berhasil menjinakkan sikap dingin Syahida, ia
mengira surga dunia telah menjadi miliknya. Ia dan Syahida bisa
memerankan peran suami-istri dengan mesra, hangat dan romantis. Jika
difilmkan, tidak ubahnya kami memerankan romantisme Ayat-Ayat Cinta,” cerita Toha.
Muhsin tersenyum, tetapi senyum tertahan agak kecut menunggu lanjutan
cerita. Romantisme itu akhirnya tergerus oleh waktu juga. Agaknya
Syahida ingin segera memiliki anak. Lebih tepatnya orang tuanya, yang
tidak sabar ingin segera melihat cucu dari putri semata wayangnya.
Sementara bagi Toha, umur pernikahan yang baru setahun tanpa anak adalah
lumrah belaka.
Bukankah, sangat banyak pasangan hingga berpuluh tahun belum juga
punya anak. “Satu tahun belum punya anak, mengapa harus panik, istriku.
Sebagai lulusan pesantren, engkau pasti sangat mafhum akan penantian
sabar Nabi Ibrahim sebelum dikaruniai Ismail dan Ishaq. Begitu panjang
juga penantian Nabi Zakaria. Bahkan hingga rambut Sang Nabi itu telah
memutih dan usia istrinya semakin tua, baru lahirlah Yahya?” jelas Toha
suatu kali pada Syahida dengan harapan bisa meredakan hati sang istri.
Sayangnya Syahida selalu panik. Jika mendengar ada teman punya anak,
maka itu adalah berita intimidasi. Ia tidak akan mau diajak menjenguk
bayi. Kepanikan itu rupanya meledak ketika sepupunya yang lebih muda dan
baru menikah tiga bulan lalu diperiksakan dan dinyatakan oleh dokter
sudah mengandung. Syahida tidak bisa menahan kesabarannya. “Kali ini pun
aku tidak bisa berkutik. Aku pun lama-kelamaan kehilangan pengertian.
Kami menjelma menjadi sepasang suami-istri yang mengedepankan watak asli
kami masing-masing,” Toha menjelaskan. Sementara tangan kirinya
menyambar tusuk gigi di meja hidang itu. Beberapa pengunjung depot pun
sudah keluar berganti dengan pengunjung lain.
“Jadi kamu bisa menerka, Sin, pada saat aku kehilangan pengertianku,
ego keakuan Syahida menjadi-jadi. Ditambah lagi, gunung hasrat memiliki
anak membuat emosinya semakin tidak terkendali. Jika sudah begitu,
keluarga kami tak ubahnya adalah neraka. Asal kamu tahu, Sin, ini adalah
talak yang ketiga. Tapi aku sungguh masih mencintainya, Sin,” kata Toha
sembari tangan kirinya memegangi mulutnya sendiri. Sementara Muhsin
menggeleng sembari minum sisa minuman beras kencur di gelasnya.
“Talak tiga? Sangat sulit bagi Mas Toha rujuk lagi,” sela Muhsin.
“Aku ikut menyesal dan merasa bersalah mengapa dulu mempertemukan
kalian,” lanjut Muhsin.
“Aku ingin rujuk lagi, Sin, jadi tolonglah,” Toha mengutarakan
maksudnya dengan penuh kesungguhan pada Muhsin. Ia menjabat tangan
Muhsin sembari menatap kuat mata Musin penuh pengharapan.
“Ini ide gila, Mas Toha,” sergah Muhsin, “Aku menikahi Syahida hanya agar menjadi muhallil
(faktor penghalal) Mas bisa rujuk kembali?” nada suara Muhsin meninggi
agak membentak ke Toha. Sementara matanya nanar mengedarkan pandang ke
sekeliling ruangan depot kalau-kalau suara bentakannya menyedot
perhatian pengunjung. Rupanya tidak ada yang mendengar bentakan Muhsin.
Semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Tolonglah aku, Sin, kamu ingin kan keluargaku kembali lagi?” Toha
mengiba. “Aku janji aku akan membunuh egoku di hadapan Syahida. Jika
kamu mau, aku juga sanggup membiayai semua kebutuhan adik-adikmu sampai
mereka kuliah. Aku juga sanggup membantumu S2. Bantu aku, Sin,” Toha
menghiba sekali lagi sambil menatap penuh rayuan pada Muhsin. Kali ini
Muhsin yang terdiam sambil menghela napas.
“Kamu pikirkan yang matang, Sin, tidak harus sekarang kamu jawab.
Jika perlu kamu istikharah. Tapi jangan sekali- kali ada orang lain yang
tahu bahwa kamu menjadi muhallil untukku. Rahasiakan dokumen
perjanjian kesepakatan kita ini. Katakan pada orang tuamu bahwa kamu
telah bekerja dan mampu membiayai semuanya,” Toha melanjutkan
bujukannya.
Muhsin masih terdiam. Kepalan tangannya menyangga dagunya. Ia
gigit-gigit punggung tangannya yang mengepal. Ia membaca dokumen yang
disodorkan Toha. Pada klausul Toha siap membiayai kebutuhan saudara dan
siap membiayai kuliah S2, matanya terhenti. “Yang tidak bisa aku terima,
aku menikahi Syahida lalu begitu saja menceraikannya. Apa alasan
meceraikannya?” ujar Muhsin dengan suara yang merendah. Toha pun sudah
paham sekali jika sudah begini, Muhsin biasanya akan mengiyakan
keinginannya.
Pikiran dan batin Muhsin bergolak kencang. Menolak tawaran Toha
berarti kesempatan membantu kebutuhan orang tua, mewujudkan mimpinya
kuliah S2, hilang. Hatinya terasa berdebar pula mengingat Syahida akan
dinikahinya. Akan tetapi menerimanya berarti mencederai kesakralan
pernikahan jika menikah hanya untuk bercerai. Bagaimana lagi dengan marwah
Syahida: gonta-ganti lelaki. Namun jika itu bisa menyatukan rumah
tangga yang pecah lalu mereka bisa rukun kembali, kenapa tidak?
Pernyataan dan pertanyaan semacam itu silih berganti mengaduk-aduk
pikirannya untuk menimbang tawaran Toha.
“Baik, Mas Toha, aku menerima tawaranmu, tetapi dengan jaminan sampeyan bisa mengalah demi Syahida dan keluargamu,” jawaban Muhsin melalu WhatsApp.
“Jaminanku adalah kesanggupanku memenuhi semua kebutuhanmu,
adik-adikmu, dan keluargamu. Bukankah itu bisa menjadi bukti sikapku
yang berusaha mengerti, Sin,” Toha membalas dengan kalimat penutup,
“Terima kasih, Muhsin.”
***
Dengan berbekal akomodasi dari Toha, Muhsin pun melakukan pendekatan
pada Syahida. Tidak sulit untuk merebut hati Syahida yang telah
menjanda. Bahasa tubuh dan cara berkomunikasinya ditangkap dengan jelas
oleh Muhsin bahwa Syahida tidak menolak. “Mengapa baru sekarang, Sin,
ketika aku bukan Syahida yang pernah engkau antar naik bus dulu?” jawab
Syahida saat dipinang Muhsin. Ia baru menyadari bahwa sebenarnya sedari
dulu Syahida memiliki rasa dengannya. Hanya ia yang tidak punya nyali.
“Ahad besok aku mau ke tempatmu, Sin, ada laptop untukmu. Pasti
sangat berguna untuk kuliah S2-mu.” Syahida berkirim pesan pada Muhsin.
“Ya… berarti aku harus bersih-bersih dulu ini,” jawab muhsin sumringah
berbunga-bunga. Muhsin merasakan tiba-tiba banyak keberuntungan yang
datang melipahi dirinya setelah menerima tawaran Toha. Kali ini Syahida
dengan entengnya memberinya hadiah laptop, padahal sepekan sebelumnya
Muhsin telah diajak ke Plasa Marina membeli gawai baru. Belum lagi orang
tua Syahida yang akan mengirim sepeda motor jika kelak ia sudah tinggal
di Yogyakarta atau Jakarta untuk kuliah S2. “Adakah ini yang dinamakan
rahmat Ilahi? Benar-benar pintu langit terbuka untukku. Tidak salah
keputusanku,” pikirannya berkicau sendiri.
Tiba hari Ahad, Syahida benar-benar datang dengan membawa laptop
dilengkapi dengan printer dan modem. Setelah selesai menyambung
perangkat laptopnya dengan printer lalu memastikan jaringan internet
bekerja dan bisa diakses, Syahida menawari Muhsin jalan-jalan keluar
mencari makan. Kali ini Muhsin yang menolak. Ia mengusulkan diri
mencarikan jus buah di sebelah kos-kosan. Syahida menerima usulnya.
Saat Muhsin keluar, Syahida tidak bermaksud membaca buku-buku koleksi
Muhsin. Ia hanya iseng membuka-buka buku sambil menunggu Muhsin
membawakannya jus alpukat. Syahida meraih satu buku secara sembarangan
di rak yang paling bawah. Ia buka untuk melihat gambar atau
judul-judulnya saja. Begitu ia menyingkap sampul buku itu, halaman yang
dibatasi dengan sebuah surat bermaterai terbuka.
Ia meraih dokumen itu. Jantung Syahida berdegup keras. Napasnya
tersengal. Ia meremas-remas kertas itu seperti kesetanan lalu
memcampakkan remahan kertas di lantai. Sebelum keluar ruangan, ia sempat
menendang printer dan menarik laptop terbanting keras di lantai. Ia
pergi meninggalkan kos-kosan itu sambil menutupi wajah yang terisak
dengan ujung hijabnya.
Berselang lima menit kemudian, Muhsin datang. Begitu masuk kamar
kosnya, ia terhenyak. Melihat remahan kertas yang sangat ia kenal
berserakan. Sobekan kertas yang masih tertempel meterai tepat berada di
mulut pintu kamar. Tidak terasa jus yang terbungkus plastik jatuh dari
genggaman tangannya, Syahida sudah tahu.
Muhsin menggeleng-gelengkan kepala. “Rusak-rusak semua… gagal-gagal semua,” deru pedih hatinya.
Gawainya berdenting, “Kalian berdua sungguh lelaki yang keji dan
sadis. Tega berkonspirasi menjual diriku atas nama pernikahan. Andai
adik perempuanmu diperlakukan seperti aku, atau ibumu, bagaimana, Sin?
Relakah kamu? Kelak jika aku punya anak dan ini semua terjadi, bagaimana
perasaan anakku tahu ibunya dicampakkan dari satu lelaki ke lelaki
lain? Bangsat kalian berdua,” bunyi pesan dari Syahida. Sementara Muhsin
terduduk merenung. Ia sempatkan mengirim pesan ke Toha.
Tidak lama, Toha membalas, “Semua sudah berakhir, Muhsin, lupakan
kesepakatan yang kita buat. Maafkan aku.” Muhsin bersujud, mulutnya
melafalkan istighfar. Ia berusaha menghapuskan khayalan kuliah S2 dan
bantuan-bantuan dana untuk keluarga dan adik-adiknya. (*)
Muhallil: Lelaki yang menyebabkan halalnya wanita dinikahi mantan suami setelah talak ketiga diistilahkan dalam bahasa Arab: muhallil artinya penyela atau penghalal.
FATHURROFIQ, penulis tinggal di Sidoarjo,
belajar sastra di Fakultas Budaya Unair Surabaya. Pendidik di Al Hikmah
Surabaya selain mengajar linguistik dan logika di Sekolah Tinggi Ilmu Al
Quran dan Sains (STIQSI) Al Ishlah, Sendagagung, Paciran, Lamongan.
Karyanya antologi cerpen: Prajurit Bumi, terbit 2010
Burung-Burung Mbah Sinting ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Lelaki yang tak pandai mengurus janggut itu—para pemuda tanggung
menjulukinya Mbah Sinting—konon veteran berpangkat sersan. Namun bukan
sembarang sersan.
Desas-desus yang aku dengar dari warung kopi di ujung perumahan, Mbah
Sinting yang sehari-hari hanya berbicara dengan burung-burung
peliharaannya bukan pensiunan tentara sembarangan. Dia orang suci yang
mendapat pencerahan di bawah pohon kersen suatu malam. Dengan pencerahan
agung itu, para burung menobatkan Mbah Sinting sebagai satu-satunya
wali dari kalangan militer Angkatan Darat. Itulah paling tidak kabar
yang kuterima dari kelakar orang-orang di sekitar perumahan.
Aku awalnya tak begitu peduli pada lelaki veteran bertubuh cungkring itu.
Namun karena aku mengontrak di samping rumahnya, di kompleks perumahan
cacat veteran yang hampir seluruh rumah kini dikontrakkan kepada warga
sipil yang tidak cacat dan bukan veteran, mau tak mau aku sering
berpapasan dengan janggut kusut silvernya, meski sekadar bertukar salam
atau basa-basi saling sapa tentang sembilan burungnya.
Aku tak terlalu paham kesembilan burung itu. Yang aku tahu, semua
burung itu memiliki warna dan kicauan berbeda-beda. Dia memberi sangkar
setiap burung dengan motif dan warna tidak sama. Ya, sembilan burung
dengan sembilan warna di dalam sembilan sangkar dan dengan sembilan
suara begitu runcing dan menjengkelkan. Lebih menjengkelkan dari dengung
kaus kaki Afrizal Malna.
Sembilan hari aku menjadi tetangganya, hidup mendadak menjadi lebih
ingar dari bayanganku. Selalu ada bunyi cericit-cuit. Selalu ada bunyi
petikan jari dan siulan. Selalu ada kedongkolan. Selalu ada suara-suara!
Namun ketika aku mencoba membuka pintu dialog untuk menyelesaikan
permasalahan suara itu, Mbah Sinting mengelak dan berlagak sibuk dengan
burungnya.
“Maaf, orang yang Anda maksud sedang sibuk! Silakan tinggalkan pesan Anda setelah terdengar nada berikut. Klik!”
Semula aku hanya menganggap itu lelucon. Namun ketika kali ketiga dia mengatakan hal serupa, aku pun meladeni kegilaannya.
Ketika jarinya menjentik “klik!”, sebuah pesan pun kutinggalkan. “Anu, Mbah, volume suara burung Mbah bisa dikecilin dikit gak ya, Mbah? Makasih!”
Tut…tut…tut…. Sepi.
Malam hari, setelah aku pulang lembur, tak seperti biasa Mbah Sinting duduk melamun di depan rumah.
“Malam, Mbah!” sapaku sambil memasukkan kaus kaki ke mulut sepatu.
“Setiap waktu adalah sore!” jawab Mbah Sinting ketus.
Sialan! Jika bukan karena pendatang baru, tentu aku tak akan memilih
tersenyum pada Mbah Sinting. Namun sebagai pendatang baru, aku dituntut
mengetahui waktu yang tepat untuk tersenyum.
“Sudah ngopi, Mbah?”
Mbah Sinting hanya melirik.
Setelah melengos ke bilik dapur, memasak air dan menuangkan kopi
sasetan ke dalam gelas, aku pun mengganti seragam pabrik dengan kaus
oblong supaya terlihat lebih manusiawi di mata Mbah sinting.
Ditengahi dua gelas kopi, lima batang rokok, dan sebuah asbak dari
kulit kerang kima, malam itu obrolan dengan Mbah Sinting berlangsung
khidmat, tetapi penuh retorika, asap rokok yang berpilin, dan
kebijaksanaan yang menjelimet.
“Jadi gimana, Mbah? Pesan saya sudah Mbah terima kan?” kataku sambil menyulut sebatang rokok.
Mbah Sinting mengangguk. Setelah menyulut sebatang rokok yang
kugeletakkan di atas meja tanpa permisi, dia pun berkata dengan tenang.
“Aku sudah berbicara pada burung-burungku agar mereka mengecilkan
suara.”
“Hasilnya, Mbah?” tanyaku berpura-pura penasaran.
“Mereka menolak!”
Sial!
“Jika kau tak puas, silakan ajukan gugatan. Namun jika kau ingin
menyelesaikan secara kekeluargaan, bicaralah langsung dengan
burung-burungku. Mereka pendengar yang baik!”
Aku menyeruput kopi dan membetulkan posisi duduk.
“Bagaimana Mbah yakin saya bisa bicara pada burung-burung itu?”
Mbah Sinting membiarkan pertanyaanku melayang-layang beberapa saat.
“Aku melihatmu dapat berbicara dan mendengar. Begitu pun burung-burungku. Jadi kupikir tak ada masalah!”
“Saya bukan Kanjeng Nabi Sulaiman, Mbah. Jadi bagaimana bisa bicara pada burung-burung?”
“Bicara saja! Apa sulitnya bicara?” Walah!
Begitulah, setelah pembicaraan malam itu, diam-diam ada bagian dalam
diriku yang lain secara memalukan tiba-tiba begitu mengagumi sosok Mbah
Sinting.
***
Sinar matahari masih suam-suam kuku ketika aku terbangun dan
mendapati Mbah Sinting di pekarangan menjemur burung-burungnya. Setelah
menyeduh kopi dan menyiapkan beberapa batang rokok sebagai pancingan,
aku menghampiri Mbah Sinting yang sibuk menggantung sangkar burung di
dahan rambutan cangkokan.
“Saya bantu, Mbah!” ujarku mencari-cari perhatian.
Tanpa menunggu jawaban, aku mengambil sangkar berwarna hijau. Dalam
sangkar itu seekor burung kecil berwarna hijau meloncat-loncat lincah.
“Ini burung apa, Mbah?” tanyaku.
“Burung yang enggan disebutkan namanya!”
“Hm… boleh saya panggil Zamrud, Mbah?”
“Tanya saja pada dia!”
Sebelum menggantungkan sangkar di dahan rambutan, aku bertanya pada
si hijau tentang kesediaannya kupanggil Zamrud. Namun tak ada jawaban.
Selesai menggantungkan sangkar burung, aku dan Mbah Sinting duduk di
sebuah bangku. Kami menikmati kehangatan matahari Minggu. Tentu dengan
rokok dan segelas kopi.
“Kalau saya perhatikan, kadang kehidupan saya sebagai buruh pabrik
tak jauh beda dari burung-burung Mbah. Bisa minum dan makan…, tetapi
terkekang!”
Mbah Sinting mendelik.
“Kenapa tidak Mbah biarkan burung-burung itu bebas? Biar merdeka seperti Indonesia. Hi-hi-hi….”
Mbah Sinting menyulut rokok yang semula terselip di kopiahnya.
Setelah dua isapan panjang, dia berujar. “Karena dunia adalah penjara
dan kebebasan itu tak pernah ada! Lagipula burung-burung itu sangat
menikmati keterpenjaraan. Bukankah kau dengar kicau pembicaraan mereka?”
“Hm… iya, Mbah. Kalau kebebasan nggak ada, Mbah, terus….
Mbah dulu mati-matian perang bukan buat merebut kemerdekaan? Maksud saya
merebut kebebasan dari cengkeraman penjajah.”
“Aku cuma mengisi waktu luang!”
“Maksud, Mbah?”
Mbah Sinting beringsut.
“Ketika seekor burung dilepaskan dari sarang, sesungguhnya hanya
melemparkan diri ke penjara lebih luas. Tidak ada kebebasan bisa
benar-benar disebut kebebasan. Tak terkecuali manusia, tak terkecuali
gugusan pulau yang bernama Indonesia, karena dunia adalah penjara!”
“Hm… dari mana Mbah yakin kebebasan tidak ada?”
“Dari burung-burung itu!”
“Namun burung hijau yang saya gantungkan itu ingin bebas lo, Mbah! Dia yang omong pada saya!” jawabku sekenanya.
Di luar dugaan, Mbah Sinting menatap tajam kepadaku dengan geram.
“Kamu berdusta! Burung yang kaugantungkan itu tidak mengucapkan apa pun, kecuali satu hal!”
“Apa, Mbah?”
“Subhanallah ‘amma yashifuun, subhanallah ‘amma yusrikuun!”
Edan!
***
Begitulah seterusnya. Melewati pembicaraan demi pembicaraan,
kekagumanku pada Mbah Sinting makin minggu kian sampai ke puncak.
Terlebih ketika sekali waktu dia mengatakan, “Bawalah kamus dalam
dirimu. Karena segala sesuatu senantiasa bicara dengan bahasanya dan
setiap tempat memiliki bahasa masing-masing.”
Aku seperti seseorang yang sedang gencar dimabuk asmara.
Sampai-sampai ketika setiap pagi aku melihat Mbah Sinting memandangi
burung-burungnya, rasanya aku ingin sekali mencopot baju seragam
pabrikku dan mengganti dengan sarung dan kaus oblong demi menghabiskan
kebersamaan dengan kekonyolan yang menakjubkan.
Aku merasa Mbah Sinting satu-satunya di kompleks ini kawan merokok
yang kuharapkan. Dia sahabat yang sanggup menaungi kesunyianku, sehingga
aku tak peduli jika seluruh tukang ojek dan pemuda tanggung terus
mengolok-olok dia sebagai wali yang mendapat pencerahan di bawah pohon
kersen karena hatiku telah diliputi kedahsyatan dan kekaguman. Namun
pada sebuah Jumat paling murung, kekagumanku pada Mbah Sinting
tercederai oleh wasiatnya yang menggemparkan.
“Dunia ini penjara. Jika telah datang kebebasanku, ambillah burung-burung itu sebagai hadiah waktu luangku atau lepaskanlah!”
Aku tercekat. Aku merasa tak seharusnya Mbah Sinting berkata
selancang itu, justru ketika kekagumanku sampai ke puncak! Maka ketika
waktu menggenapi wasiatnya itu, tepat pada pukul 09.00, 19 Ramadan, aku
pun benar-benar kehilangan seorang teman. Aku merasa hidup lebih sunyi
dari bayanganku. Sementara itu ketinggian pagar pabrik yang mengurungku
makin hari kian tak terlampaui. Bahkan oleh sembilannekor burung Mbah
Sinting sekalipun. (44)
Jatipadang, 2017
– Ang Ariandi lahir di
Sukabumi, 1984. Belajar menulis di Akademi Sastra Tangerang. Kini
tinggal di Jakarta. Sehari-hari sebagai creative program sebuah rumah
produksi. Beberapa puisi dan cerpennya termuat dalam beberapa antologi
dan koran lokal.
Buku Tak Berjudul ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Setiap hari buku tak berjudul selalu sendiri. Ia malu karena tak
memiliki judul. Ia juga tak memiliki teman. Ia takut jika nanti mereka
bertanya apa judulnya, tak bisa menjawab. Ia tak seperti buku-buku lain.
Buku lain dengan mudah menyebutkan judulnya. Mereka mudah memanggil
antara satu buku dengan buku yang lain.
Buku itu pun sedih. Ia ingin punya teman, tapi selalu takut. Ia takut
akan menjadi bahan ejekan para buku yang lain. Ia sering mencoba untuk
ikut bermain bersama buku lain, namun gagal karena tak berani. Ia
memilih sendiri lagi.
“Aku ingin punya teman. Tapi, adakah yang mau berteman dengan buku tak berjudul sepertiku?” gumamnya setiap hari.
***
Suatu hari, ia bertemu dengan buku yang sedang menangis. Ia ragu
untuk mendekat. Namun dengan segenap keberanian, ia mendatangi buku itu.
Ia merasa kasihan padanya. Dengan perlahan dia mendekat ke sebelah buku
itu. Meski ragu ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Wahai buku, kamu kenapa menangis?” tanya buku tak berjudul lembut.
Buku yang sedari tadi menangis kaget. Ia tak menyadari ada buku lain
di sebelahnya. Namun ia tak menjawab. Ia kembali menangis. Buku tak
berjudul masih tetap berada di sebelahnya.
“Hari ini aku bertengkar dengan temanku. Aku sangat sedih,” ucapnya sambil menangis.
Lalu, buku yang menangis pun bercerita.
“Aku bertengkar dengan temanku. Saat bermain aku tak sengaja
menabraknya hingga ia terjatuh. Ia marah kepadaku. Aku sudah berusaha
meminta maaf namun ia semakin marah. Ia tak mau memaafkanku. Ia
menganggap aku sengaja menabraknya,” katanya sambil menahan tangis.
“Bersyukurlah kamu memiliki teman. Meski sedang bertengkar, kamu
punya teman yang bisa kamu ajak bermain setiap hari. Dia mungkin masih
kaget saat terjatuh tadi. Aku yakin dia mau memaafkanmu jika memang kamu
tidak bersalah. Aku akan menemanimu untuk menemuinya lagi,” buku tak
berjudul mencoba menghiburnya.
Tanpa sempat berkenalan, mereka berdua mendatangi buku itu. Buku tak
berjudul merasa senang bisa menemani buku lain meski belum menjadi
temannya. Ia pun berhasil mendamaikan kedua buku yang habis bertengkar.
“Terima kasih ya, berkat kamu kami jadi baikan,” ucap kedua buku kompak.
“Oh iya, kita belum berkenalan. Aku Buku Pintar dan temanku Buku Kreatif,” lanjut buku yang menangis.
Buku tak berjudul hanya diam. Ia menunduk tak berani menatap.
“Kenapa kamu diam saja? Kamu tak mau berkenalan dan berteman dengan kami?” tanya Buku Pintar.
“Aku adalah buku tak berjudul. Apakah kalian masih mau berteman denganku?” ucapnya gemetar.
“Tentu saja,” jawab mereka kompak.
“Mulai saat ini kita adalah teman. Kamu adalah buku yang baik, karena
itulah kita akan memanggilmu Buku Baik Hati,” lanjut Buku Kreatif.
Mereka berpelukan erat dan berjanji untuk berteman selamanya.
Buku tak berjudul kini menjadi Buku Baik Hati. Ia kini memiliki
teman. Tak hanya Buku Pintar dan Buku Kreatif, ia juga memiliki banyak
teman. Banyak sekali buku yang ingin berkenalan dan menjadi temannya,
karena dikenal akan kebaikannya. Ia sangat ramah dan peduli pada buku
yang lain.
Ia sekarang sadar bahwa untuk memiliki teman yang terpenting adalah
kebaikan yang diberikan kepada sesamanya. Ia sudah salah sangka dan
berpikir buruk kepada buku-buku yang lain. Ia menyesali sikapnya selama
ini. Ia berjanji akan selalu berbuat baik kepada teman-temannya. (58)