Daftar Blog Saya

Minggu, 17 September 2017

Kasur Tanah

Cerpen Muna Masyari (Kompas, 17 September 2017)
Kasur Tanah ilustrasi Polenk Rediasa - Kompas.jpg
Kasur Tanah ilustrasi Polenk Rediasa/Kompas
Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan.
Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang melati di belakang telinga masih sedikit terlihat.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu.
***
“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar.
Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal, keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga.
“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,” jawab embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.
“Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortananya orang akan teringat pada kita?”
Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda.
“Oh.”
“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana, atau kasur tanah.”
“Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?”
Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil piring dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi.
Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela kamarnya, embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-gara batuk panjang.
Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan sedikit pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh yang dikirim oleh lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.
Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit adalah pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.
“Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ’ngajimu,” lirih, seolah Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian membelukar di matamu.
“Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.”
“Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya makhluk hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau lambat, disebabkan sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa menolak,” dengan nada datar dan senyum tawar.
“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas dari suaramu.
Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar. Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.”
Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam. Katanya, kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada kesetiaannya. Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak pernah tergoda menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran sinis para tetangga yang merasa cemas suaminya larak-lirik.
Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan, embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di warung mengenai dirimu.
“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau menanggung utang budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak menimbulkan prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam, sepulang dari langgar dan gulungan mukena masih terdekap di dada.
Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat. “Kenapa kau bertanya demikian?”
Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu. Setiap ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan, teman-teman kerap meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil kakek.
“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani, kecuali masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’ menyentuh pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak sedang dilap. Saat kau menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang memandangi cangkir itu lekat.
“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak keberatan?”
Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu. “Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik sedikit.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari luar daerahnya.
“Apa kau sudah punya pilihan?”
Kau tak segera menjawab.
“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu. Jangan sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di antara desah napasnya.
“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita akan menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang duda?” selidiknya kemudian.
Kau menggeleng.
Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?”
Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.
“Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?”
“Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah merestui atau tidak?”
Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”
Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu.
“Siapa dia?”
“Beliau…” Kau ragu sejenak, menelan ludah.
Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat.
“Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!”
Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-tiba serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau terpaku heran.
***
Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di lantai ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia menyapu halaman seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup gorden jendela kamarnya setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki, mangkok, tatakan cangkir, tidak utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-puingnya berserak di lantai, dekat kaki pembaringan. Kau sempat histeris mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan wajah mengapas di atas pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.
Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah terkulai di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau baru tersadar ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan lelaki itu yang menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar.
“Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka.
Kubantu kau bangun.
“Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu,” kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari pembaringan.
“Sesuatu apa?”
Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun menatap kami bergantian dengan kening berkerut.
***
Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu dilangsungkan di samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun ikut mengantarkan jenazah embu’.
Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian embu’, sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’ titipkan padaku; menikahkanmu di dekat kerandanya.
Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan.

Rosa yang Berduri

Dongeng Hana Eka Ferayyana (Suara Merdeka, 17 September 2017)
Rosa yang Berduri ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Rosa yang Berduri ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
“Stella, kau jangan ke arah sana. Nanti tubuhmu terkena duri!” teriak Kaila, kakak Stella ketika melihat sang adik menghampiriku. Stella berhenti seketika, tangannya yang hampir menyentuh bungaku hanya sampai mengawang di udara. Ia langsung berbalik arah ketika matanya tertuju pada batangku yang penuh duri.
“Kemarilah gadis kecil, aku punya bunga yang merah merekah dan sangat harum,” ucapku sambil menggoyangkan bungaku mengikuti arah angin agar Stella mencium harumnya dan hampir menghampiriku lagi. Tapi ternyata usahaku sia-sia, karena Stella lebih memilih bunga melati di ujung sana yang tak kalah harum dan tentu saja tak berduri.
***
“Wah, kebetulan sekali kau berbunga banyak Rosa. Hari ini temanku ada yang ulang tahun. Pasti dia akan senang jika kuberi sebuket bunga mawarmu yang indah dan harum ini,” ucap Pak Rossi sambil memetik bungaku dengan hati-hati.
Pak Rossi adalah pemilik kebun tempat aku tumbuh. Ia selalu merawat dan merapikan tanaman yang ada di kebunnya dengan baik, tak terkecuali aku. Ia selalu menyiramiku setiap hari, memberiku pupuk secara berkala, merapikanku jika batangku sudah menjulur ke mana-mana. Pak Rossi juga sayang kepadaku. Hampir setiap hari aku diajaknya berbicara. Membuatku tidak merasa kesepian. Mungkin, itulah alasan kenapa aku bisa tumbuh dengan sehat juga berbunga banyak dan disukai banyak orang.
Namun sayangnya, ketika bungaku jadi favorit oleh hampir semua orang, mereka malah suka menjauhiku. Aku tahu, duri-duriku yang tajam bisa saja melukai mereka. Tapi aku juga ingin diajak berbicara, tersenyum, dan tertawa. Bukan mengaduh ketika tak sengaja duri-duriku menusuk kulit mereka.
“Aduh, lenganku!” ucap Pak Rossi tiba-tiba. Lengannya memerah tergores duriku.
Nah, mengaduh seperti ini yang sering aku dengar. Tapi, jika Pak Rossi yang mengaduh, pasti ia tak akan menjauhiku. Ia seolah abai dan kebal pada rasa sakit akibat terusuk duriku dan tetap merawatku dengan baik, meski lagi-lagi duri-duri tajamku sering melukainya.
***
“Sudahlah Rosa, kau tak perlu meratapi duri-duri yang tumbuh di batangmu. Duri-duri yang diciptakan Tuhan itu pasti ada manfaatnya. Kau ingat, duri-durimu itu bahkan bisa menghalau hewan pemangsa tanaman yang mau memakanmu. Kau juga bisa naik semakin tinggi dengan mengaitkan duri-durimu ke batang pohon yang ada di sebelahmu. Melihat dunia yang lebih luas,” ucap Melati yang mencoba menghiburku.
“Tapi, itu untuk diriku sendiri. Apa manfaatku untuk Pak Rossi? Sejujurnya, aku iri kepadamu Melati, yang selalu memberikan Pak Rossi bunga-bunga cantik dan harum tanpa perlu melukainya,” keluhku.
Melati terdiam beberapa saat mendengar ucapanku.
“Jangan salah Rosa. Aku memang tidak berduri. Tapi aku bisa tumbuh dengan cepat, sehingga aku mudah menjadi rerimbunan dan ular-ular suka bersembunyi di balik rerimbunanku. Dan Stella, sepupu Pak Rossi, bahkan pernah hampir tergigit ular ketika ia sedang asyik mengambil bunga-bungaku. Segala sesuatunya pasti ada baik dan buruknya Rosa,” ucap Melati kemudian.
Aku terdiam mendengar ucapan Melati, membenarkan ucapannya. Untuk beberapa saat lamanya kami berada dalam kesunyian. Sampai akhirnya, terdengar suara gemerisik dari arah belakang kebun. Dari arah pohon jambu terlihat seseorang berjalan mengendap-endap menuju pintu belakang rumah Pak Rossi. Wajahnya tertutup kain, hanya matanya yang terlihat. Tangannya memegang sebuah kayu. Aku dan Melati terkejut. Jangan-jangan itu adalah pencuri!
“Melati ayo kita buat suara berisik agar Pak Rossi terbangun dan keluar,” ucapku sambil menggoyang-goyangkan batangku dengan keras agar daun-daunku saling beradu. Melati mengangguk. Dengan semangat ia mengikutiku.
Pencuri itu masih berjalan mengendap-endap. Tak peduli dengan suara gemerisik yang ia dengar. Ia hampir saja memegang gagang pintu sampai tiba-tiba ia dikejutkan oleh lampu yang menyala dari arah dapur.
“Siapa itu?” suara Pak Rossi terdengar. Pencuri itu terkejut. Tanpa pikir panjang ia kemudian lari dan tak menyadari bahwa ia sedang menujuku. Mataku berbinar. Dengan senang hati kusambut pencuri itu dengan duri-duriku.
“Aduh, aduh aduh!” ucap pencuri itu sambil berusaha keras mencari jalan keluar. Tapi aku masih berusaha memerangkapnya dengan duri-duri tajamku. Aku ingin ia tertangkap oleh Pak Rossi. Namun, ketika Pak Rossi tinggal beberapa langkah lagi untuk bisa menangkapnya, tiba-tiba saja ia menyibak batangku dengan keras. Pencuri itu berhasil kabur.
Meskipun begitu, aku senang karena telah memberinya pelajaran dengan duri-duriku. Ternyata, duriku berguna juga.
***
“Paman, apakah karena duri mawar berguna untuk menjebak pencuri, sehingga Paman dari dulu tidak mau membuangnya?” tanya Kaila keesokan harinya. Dulu, Kaila pernah tertusuk duriku ketika ia mencoba mengambil bungaku. Waktu itu, ia menangis kencang dan meminta pamannya yaitu Pak Rossi untuk membuangku saja dan memilih membeli bunga mawar di toko bunga yang durinya sudah dibersihkan.
Pak Rossi tertawa. “Tentu saja bukan Kaila. Meskipun Rosa ini berduri, ia memberi Paman bunga-bunga mawar yang indah dan harum. Paman sering memetiknya untuk Paman taruh di dalam rumah. Kau tahu, rasa penat Paman langsung hilang ketika mencium bau harumnya setelah seharian bekerja. Selain itu, Paman juga sering merangkainya untuk diberikan kepada saudara atau teman Paman. Kau tahu, mata mereka langsung berbinar ketika melihat buket bunga mawar yang Paman berikan. Sejujurnya, Paman malah merasa bersalah jika harus membuangnya. Karena Rosa telah memberi banyak kebahagiaan. Tidak hanya untuk Paman, tapi juga orang lain. Duri yang terkadang menusuk Paman tidak ada artinya dengan banyaknya kebahagiaan yang Paman dapat,” ucap Pak Rossi panjang lebar. Mataku memanas mendengar ucapannya.
“Jadi, bukan karena bisa untuk menjebak pencuri ya Paman?” tanya Kaila lagi.
“Bukan Kaila. Itu hanya kebetulan pencuri tersebut berlari ke arah Rosa dan terjebak durinya karena kaget ulahnya Paman pergoki,” jawab Pak Rossi. “Lagi pula, kalau hati-hati, duri mawar ini tidak akan melukaimu kok.”
“Benarkah? Kalau begitu aku mau memetik bunganya Paman.”
Mata Kaila berbinar.
“Tapi, jangan menangis ya kalau tiba-tiba tertusuk duri?”
“Hahaha. Tentu saja tidak Paman. Aku kan sudah besar,” ucap Kaila sambil menggapai bungaku.
Aku terharu. Tak pernah kusangka ternyata aku bisa begitu berarti. Sekarang, aku tidak akan menyalahkan duri-duriku lagi. Karena ternyata di balik duriku yang tajam, aku mampu memberikan bunga yang harum dan kebahagiaan bagi semua orang. Ah, melihat segala sesuatu secara positif ternyata sangat menyenangkan. (58)

Tamu Masa Lalu

Cerpen Risda Nur Widia (Suara Merdeka, 17 September 2017)
Tamu Masa Lalu ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Tamu Masa Lalu ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Pria itu seperti datang dari masa lalu. Ia hadir dan berdiri di depan pintu gerbang rumah dengan wajah murung pada suatu sore yang tua. Lastari yang menyadari sempat tergeregap, lalu matanya memanas. Lastari mendadak ingin menyatakan suatu hal yang terus dia pertanyakan sepanjang hidup belasan tahun terakhir kepada pria itu. Namun karena rasa tidak percaya atas apa yang dia bayangkan, Lastari tidak dapat mengatakan seluruh kata yang tersimpan. Lastari hanya mendekat, menjabat tangan pria itu, membawanya masuk ke rumah.
Di mata Lastari, laki-laki itu, Tarno, mengalami kemunduran hidup luar biasa. Lastari sudah tidak lagi menemukan sorot mata cerdas Tarno. Tubuh Tarno kurus. Kering. Lastari bahkan bisa melihat tonjolan tulang-tulang di beberapa bagian tertentu. Wajah Tarno terlihat murung. Di wajah itu seakan menggelayut beban berat. Itu Tarno yang dahulu tak pernah kehilangan kata-kata dalam menyatakan sesuatu, kini hanya setia dalam relung kebisuannya. Semua kebaikan dalam diri Tarno seakan telah direnggut. Mungkin semua itu telah dicuri oleh kekuasaan atau kezaliman zaman yang tak bisa dia lupakan.
Bahkan kini terlihat ada sikap hati-hati yang tertangkap dari setiap gerak dan lirik matanya. Seperti ketika Tarno mengawasi setiap benda di dalam rumah Lastari; mengamati setiap sudutnya. Seolah di rumah itu ada mata-mata atau penguping yang mengutit, kemudian kembali merenggutnya dari dunia bebas. Lastari sadar atas semua itu. Lastari tidak mengusik atau menanyakan. Lastari, ketika melihat semua ketakutan Tarno, hanya dapat mengingat peristiwa jauh pada masa lalu. Kejadian yang berusaha Lastari ikhlaskan dan maafkan. Peristiwa mengerikan yang telah mengubah jalan hidup Lastari dan banyak orang di negeri ini, termasuk Tarno.
Lastari menatap wajah Tarno. Kemudian Lastari meraih tangan pria itu. Lastari ingin menyatakan sesuatu. Namun sekali lagi Lastari masih menahan. Lastari malah menundukkan wajah. Mungkin berusaha mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Ketika kekuatan itu terkumpul, dia menatap wajah Tarno lekat. Lastari berujar, “Sudah lama. Dan aku kira, kau….”
Lastari kembali menekuk wajah ke lantai. Pria itu tidak menjawab. Mereka bagai sedang berusaha memaafkan diri sendiri, memaafkan kelaliman zaman setelah kudeta politik 1965.
***
Pertemuan ini seperti kutukan yang tak pernah Lastari harapkan. Wanita itu tidak pernah menyangka, Tarno, suaminya yang malang: masih hidup. Lastari mengira Tarno telah menjadi korban dan meninggal tanpa diketahui kuburannya. Karena bisa saja, dahulu, Tarno dibunuh secara keji seperti sering dia dengar. Pada 1965-1969, bisa saja Tarno dibakar hidup-hidup; disembelih lalu mayatnya dikubur di suatu hutan tak bernama di pelosok negeri. Mungkin juga ditembak di tepi sungai dan mayatnya dibiarkan jatuh ke arus air hingga dagingnya habis dikerikiti ikan. Semua itu terbayang jelas di benak Lastari selama bertahun-tahun. Dan Lastari, karena bayangan-bayangan itu, menganggap Tarno sudah lama meninggal: terkubur tanpa nisan dan peziarah.
Lastari tak dapat memungkiri pertemuan ini sebagai mukzizat. Lastari memang tidak bisa mengingkari semua kenyataan pahit itu. Akan tetapi, terus mengenang memori pahit itu adalah cara dia bersetia pada suaminya: Tarno. Karena di dalam hidup Lastari tidak berusaha menghapus semua ingatan muram mengenai kepergian Tarno belasan tahun lalu. Memang kemalangan hidup pada masa yang berat itu; sampai detik-detik terakhir menyedihkan ketika Lastari harus berpisah dari Tarno merupakan pilihan untuk mencintai suaminya. Begitu juga malam itu. Suatu malam yang selalu dikenang Lastari sebagai malam paling murung; malam ketika Lastari terakhir bersama Tarno.
Lastari masih dapat mengingat jelas peristiwa itu. Belasan tahun lalu. Ketika hujan serta badai menggempur kota. Tidak tertinggal wajah lusuh Tarno. Pria itu pergi karena namanya masuk daftar pencarian orang yang harus ditumpas. Sebenarnya Tarno berat meninggalkan Lastari. Namun karena tidak ingin membuat Lastari dan anaknya yang masih balita masuk liang kutukan, ia memutuskan meninggalkan mereka. Tarno dan Lastari tahu: keluarga anggota partai yang dianggap sesat oleh negera akan ditumpas sebagai wujud “bersih lingkungan”. Setelah berdebat sengit, Lastari akhirnya mengikhlaskan Tarno pergi; meninggalkan rumah untuk kepastian yang tidak menentu, ke sebuah kezaliman lain yang mungkin jauh lebih mengerikan. Lastari hanya bisa berdoa agar suaminya selamat hingga konflik politik redam.
Akan tetapi mengharapkan semuanya baik, sama seperti mengharapkan hujan di tengah gurun kering. Bahkan Lastari, secara tidak langsung, merasakan penderitaan Tarno. Sepeninggal Tarno, Lastari mengalami krisis yang benar-benar parah. Lastari juga sering didatangi prasangka mengerikan mengenai keadaan Tarno. Hampir setiap hari di kompleks rumahnya selalu diembuskan kabar muram mengenai anggota partai terlarang itu. Lastari mendengar banyak nama mati tertangkap dan terbunuh setiap hari. Lastari hanya bisa berharap pada sang nasib agar nama Tarno tidak pernah disebut dalam deretan anggota yang tertangkap dan terbunuh.
Saat waswas terkadang Lastari tidak habis mengutuk penguasa. Lastari tidak pernah tahu apa kesalahan suaminya. Tarno, yang Lastari kenal, adalah pria baik. Bahkan soal anggota partai yang dianggap tak beragama, Lastari tidak menemukan satu konteks yang tepat untuk mengaitkannya. Dalam ingatan Lastari, Tarno guru mengaji yang baik. Tarno ayah dan imam yang terhormat. Ketika Tarno dianggap sebagai pembelot ajaran moral, Lastari tidak bisa memahami semua itu. Lastari menganggap penguasa saat itu sedang mabuk. Penguasa sedang ingin bermain-main dengan rakyat. Permainan maut yang menciptakan sungai darah di mana-mana.
Beberapa kawan Tarno misalnya, yang Lastari tahu, meninggal secara tragis. Suto contohnya. Dokter tua baik hati dan tak pernah punya pamrih itu mati kehabisan darah setelah alat kelaminnya dipotong dengan alat-alat kedokteran yang dahulu dia gunakan menolong orang. Tukul, penyair yang acap datang ke rumahnya untuk sekadar duduk dan menikmati kopi, mati setelah dua bola matanya dicabut dan lidahnya dipotong. Kini, Tarno yang hanyalah guru agama di desa kecil, dirampas. Masih banyak memang hal keji lain terjadi. Tidak tertutup kemungkinan juga suatu malam Lastari diciduk seperti istri anggota partai. Namun apabila itu terjadi, Lastari bersedia mati demi suami yang dia cintai. Kenyataan yang ditunggu-tunggu Lastari tak datang. Malah yang datang hal lain. Suatu pagi datanglah sahabat Tarno: Supri. Pria itu datang dari kota untuk mengabarkan pesan titipan Tarno kepada Lastari. Dengan rasa cemas menggelegak dahsyat, Lastari menunggu kabar yang disimpan Supri. Supri menyatakan pada Lastari, lebih baik tak usah menunggu Tarno lagi. “Tarno berpesan untukmu: lebih baik melupakannya dan menikah lagi. Mungkin Tarno tidak akan pernah kembali.” Pesan itu membuat hancur hati Lastari.
Begitulah akhirnya. Lastari pelan-pelan mulai mengikhlaskan Tarno. Lastari mencoba hidup tanpa Tarno di sisinya. Namun bukan berarti Lastari melupakan Tarno. Lastari tetap bertahan dalam pilihannya untuk merasakan penderitaan Tarno di luar. Karena Lastari tahu, penderitaanlah yang mendidiknya untuk tetap kuat sampai hari ini. Lastari mencoba kembali membangun keluarga kecilnya seorang diri; merawat putri kecilnya tanpa suami yang membantu. Kenyataannya Lastari benar-benar hidup melata. Lastari terombang-ambing dalam kehidupan yang berat. Sampai di kemudian hari datang kembali salah seorang sahabat Tarno ke rumah. Pria itu adalah Sukram. Pemuda alim, putra seorang kiai di desa seberang. Saat itu Sukram membawakan kembali kabar dari Tarno.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadamu, Tari,” katanya dengan wajah pucat. “Tiga bulan lalu setelah meletus konflik politik, aku bertemu Tarno di jalan. Ia berpesan kepadaku agar menikahimu. Aku bingung, tapi mencoba menepati keingian Tarno. Semua jawaban terserah padamu.”
Mendapat kabar Tarno masih hidup, Lastari bahagia. Namun ketika medapat kabar Tarno menyuruhnya melupakan, Lastari benar-benar hancur. Lastari dipaksa menganggap suaminya cepat atau lambat juga mati. Dan dengan cara menikahkan Lastari dan Sukram, Lastari bisa memulai hidup yang baru. Lastari tahu semua siasat Tarno. Namun Lastari tidak bisa melakukan pernikahan itu. Pun akhirnya, setelah mendengarkan kabar dari Sukram, Lastari limbung meninggalkan ruang tamu. Lastari mengurung diri di kamar. Sampai ibunya membujuk.
“Tarno mungkin melakukan itu demi kau dan anak kalian. Tarno ingin kalian tetap selamat di tengah zaman yang gila ini.”
“Tapi aku bisa merawat diriku sendiri,” balas Lastari.
“Ah, mungkin pilihan Tarno adalah bentuk cinta dan perhatiannya untuk menjaga kalian. Ini mungkin cara satu-satunya yang dimiliki Tarno untuk menyelamatkan kalian.”
Akhirnya Lastari menikahi Sukram karena rasa “cinta” dan “patuh” pada Tarno. Dan Sukram seperti tetap menganggap Lastari adalah istri dari kawan baiknya. Sukram tak pernah menuntut hubungan badan setelah menikah. Hingga beberapa bulan kemudian datang kabar mengerikan mengenai pembantaian massal di seluruh negeri. Dikabarkan pula tak ada lagi yang tersisa dari anggota partai. Beberapa bulan kemudian menyusul kabar mengenai pembuangan anggota partai ke sebuah pulau. Di sana mereka disiksa pelan-pelan tanpa diadili. Sejak kabar murung itu datang silih-berganti, tak pernah terdengar kabar mengenai Tarno. Pria itu seakan mati. Pun sejak saat itu, seperti pesan Tarno Lastari memulai hidup lagi. Lastari membaktikan diri kepada Sukram: sebagai istri. Hingga Lastari memiliki seorang anak laki-laki kecil dari pernikahan kedua. Sampai detik terakhir, Lastari memang berusaha tetap setia pada suaminya: Tarno.
***
Kini, setelah bertahun-tahu tidak bertemu, Tarno seperti datang dari suatu negeri dongeng. Sangat jauh dan melelahkan. Tarno duduk dengan tenang. Sesekali pria itu menatap Lastari. Seakan ingin menyatakan sesuatu kepada istrinya itu. Lastari kebingungan memulai percakapan. Lastari sudah menganggap Tarno tiada karena konflik 1965. Dia tak tahu harus melakukan apa. Hingga kebekuan itu pecah ketika seorang pemuda umur 19 tahun keluar membawakan minuman ke ruang tamu. Tarno melirik ke bocah itu. Lastari lekas paham lirikan Tarno.
Lastari mengucap, “Ini anak keduaku setelah menikah dengan Sukram. Putri kini sedang bersama ayahnya. Nanti sore mereka pulang. Kalian harus bertemu.”
Tarno menggeleng, kemudian bangkit dari kursi. Tarno melangkah keluar. Lastari tak tahu harus menghalangi atau membiarkan. Lastari hanya mengikuti dari balik punggung Tarno. Pria itu menoleh. Ada sesuatu yang ingin dia katakan pada Lastari. Namun sesuatu itu dia pendam. Tarno melenggang. Lastari hanya bisa menatap Tarno kembali pergi. Karena, jauh di dalam hati, Lastari berpikir Tarno sudah mati. (44)

Jakarta-Berlin-Yogyakarta, 2013-2016

Risda Nur Widia, belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Juara II sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), unggulan Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013), penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Masuk tiga besar buku sastra terbaik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yogyakarta 2016. Buku cerpen tunggalnya Bunga-Bunga  Kesunyian (2015).

Bertaruh pada Takdir

Aku mencintai hujan, sekalipun petirnya yang menggelegar membuat tuli telinga. Aku mencintai hujan sekalipun kilatnya menyambar dengan kejam.  Aku menyukai aroma hujan ketika tetes-tetes pertamanya menyentuh bumi. Ketika pengapnya mulai memenjara hari. Aku suka suara hujan ketika ia bersenandung genit lewat rintiknya maupun saat ia berteriak riang lewat derasnya.
Aku menyukai berbasahan di tengah di hujan, tanpa payung, tanpa jas hujan. Menari-nari mengikuti irama rintiknya. Menyenandungkan perasaan hati di tengah gemuruhnya. Aku tak peduli dengan orang yang mungkin tertawa dan menganggapku gila. Aku tidak peduli seberapa basahnya aku. Aku tidak peduli dengan sakit yang mungkin menyerangku.
Aku selalu merindu apabila hujan tak datang lebih dari sepekan. Aku selalu mencari keberadaannya agar bisa berjumpa dan bermain bersamanya. Namun, adakalanya aku pun kesal tatkala ia terlalu sering berkunjung. Sesekali, aku butuh sunyi tanpa deraiannya. Aku butuh merasakan kesendirianku.
Aku mencintai hujan dan aku tahu hujan pun mencintaiku. Rintiknya selalu membuatku tenang, derainya mampu membuatku bahagia. Meski kadang petirnya menakutkan. Meski kadang derasnya menyisakan sakit untukku. Hujan tidak pernah ingkar janji, hanya saja kadang ia terlambat datang. Apapun adanya aku tetap mencintainya. Apa adanya, hujan.
Namun, dapatkah aku mencintaimu seperti aku mencintai hujan?

Aku pergi, kutinggalkan tempat ini, tempatku pertama kali menggoreskan tinta mimpi.
Aku pergi, kubawa beribu lembaran kisah dari sini.
Aku pergi meninggalkanmu, seperti hujan meninggalkan bumi.
Aku pergi, menyisakan ruang bagi yang ingin menepi.
Aku akan kembali, seperti hujan setelah merindukan bumi.
Aku akan kembali bersama iringan angin sepi.

Kutipan Momiji

Gimana mau bela ceweknya apalagi bela Negara, bela diri sendiri aja nggak bisa. (hlm. 5)

“Kau tampak lemah dan tidak berguna. Kau sasaran yang tepat untuk diganggu. Orang sepertimu butuh pengawalan. Jangan menolak penawaranku. Kau tidak akan menemukan pengawal sepertiku di mana pun.” (hlm. 37)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Setiap anal introvert yang tumbuh besar bersama ejekan pasti pernah berkhayal untuk balas dendam sekali-dua kali, meskipun dalam bentuk yang kurang –kalau tidak sama sekali- berarti. (hlm. 6)
  2. Jika semua orang berekspetasi kau akan jadi tentara, apa kau akan jadi tentara? Tentu tidak. Kau akan jadi korban perang. (hlm. 6)
  3. Jangan buang-buang waktu percuma untuk menatapnya dari jauh. (hlm. 60)
  4. Kalau kau begini, tak ada cewek yang mau denganmu. Mimpi juga ada batasnya, tahu. (hlm. 63)
  5. Kenapa hidup kalian dibuat rumit. (hlm. 73)
 

Dari Juni

Bukan sekedar kata dan kata
Bukan pula, buah inspirasi penuh kalimat kalimat megah
Tak jua bersanding kesal atau emosi
Tak jua serupa pantun pantun berirama
Puisi adalah hatimu dan kecantikan wajahmu
Adalah kalung mutiara dirimu
Adalah pucuk-pucuk pohon seirama dirimu
Adalah kekayaan hatimu
Puisi bercerita tentangmu
tentang dunia yang ingin kau peluk
tentang pesona indah wajahmu
tentang Tuhan yang ingin kau sentuh
tentang mimpi yang semakin jauh
Puisi adalah hatimu
dan katakanlah, berjuta makna yang kau tahu
Bergenggam pinta yang telah terabaikan
Indahnya cinta, untuk dirimu
dan katakanlah, bila lembaran lembaran diary tak mampu kau mainkan lagi
Dan bebaskanlah
Karena puisi adalah hatimu
Puisi adalah milikmu
Dan aku mengaggumimu