Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
"Wanita
dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama,
niscaya engkau beruntung." (HR. Bukhari) .
Puisi-puisi Esha Tegar Putra dan Ahda Imran (Kompas, 11 November 2017) The Allure of Shadows ilustrasi Trini Taslim/Kompas
Patah Bingkai, Sabai
Sudah kubenam betung itu dalam-dalam, Sabai
di lubuk larangan
di tempat seribu telur ikan puyu
menetas dalam semalam
kuperam betung saat bulan disungkut awan
dan betung kubangkit dua puluh tujuh
malam berikutnya. Tapi mengapa
layanganku tetap patah bingkai?
Tidak kutakut mata pisau mengena paha
marekan ganih kubalut pada telapak tangan.
Kubelah betung.
Kuraut. Pelan.
Serupa menggusuk kuduk kuda
tiga mantera kubaca
tiga mambang kupanggil serta
angin mulai berpusar tiga mata pula.
Patah bingkai, Sabai. Layanganku tetap patah bingkai.
Ia terbang tenang di angin sedikit
kibaran ekornya seakan terus berseru
“Benang jangan dipuntal!”
Mahali, 2017
Tak Sampai-sampai
Kupiuh dendang terbaik itu, Sabai
di atas kereta terakhir
sebelum corong-corong toa stasiun mengurangi gemanya
pulang dihimbaukan berulang-ulang
lampu-lampu pudur teratur
dan jam malam membikin ingatan jadi pandir.
Terus aku masuki dendang terbaik. Seperti kumasuki
kota ini dengan harapan nasib buruk akan terlipat cepat.
Kereta melesat
di luar jendela, segala lewat tidak beraturan.
Sementara di dalam, semua konstan
orang-orang duduk tersadai
lengang terus datang timpa-bertimpa
ke pangkal rabu mereka
dan jalur lurus seakan jadi penebus hari-hari tergadai.
Aku masuki terus dendang terbaik. Di atas kereta terakhir
sebelum sampai benar ke pemberhentian
kepalaku menghentak-hentak ke masa lalu
jauh ke seberang lautan
ke sebalik bukit barisan
ke lapisan gerbang dusun
hingga ke celah-celah papan dinding rumah
dan pagu dapur
kuhidu udara dalam bau pahit empedu tanah
bau beras berkutu
harum daun kopi basah.
Dan tak dapat kujangkau lebih jauh lagi, Sabai.
Sebelum aku sampai pada gerai rambut
dan bungkahan gelombang susumu
kota, stasiun, dan jalur kereta telah menertibkan segalanya
menertibkan badanku
membikin pandir ingatanku.
Dendang demi dendang terbaik
kini tidak menyelesaikan apa-apa lagi
badan tiba sudah, tapi ingatan tidak.
Mahali, 2017
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Buku puisi terbarunya bertajuk Sarinah (2016).
Pengantin
Orang suci dan bidadari
Kafan putih orang mati
Harum tubuh bidadari
Hangus daging orang mati
2017
Sumpah Orang Suci
Kerumun dalam jubah
Muslihat balik lidah
Kesumat orang suci
Sisik ular bawah kursi
2017
Buat Drawing Tisna Sanjaya
Kata orang suci
Lidah sedingin belati
Jubah orang suci
Putih orang mati
2017
Di Bawah Pohon Ingatan
Daun-daun putih
Tubuhku bau bunga. Di jantung tanah
darahku memancur. Tepercik jubah
orang suci. Dari gurun-gurun gelap
kuda-kuda menyerbu. Para ksatria
dengan tubuh tak berkepala
Daun-daun putih
Di sebatang pohon bernama ingatan
Di bawahnya aku berkubur. Jantungku
sedingin batang pisang. Menjelma mata air
Memancur ke tengah kolam. Tempat orang suci
menyuci jubah dari percik darah
Daun-daun merah
Kuku-kuku kuda memercikkan api
Orang-orang tak berkepala. Menyerbu
ke jantung gelanggang. Menyeru pahala
hukum suci, sungai mengalirkan susu
dan bidadari. Dari bawah meja ular
mendesis dan melata
ke arah kuburku
2017
Cara Mengasah Pisau
– kepada Eep
Bentangan angin: Suara orang
menenun jubah dan mengasah pisau
Selat yang dingin: Suara orang
memilin lidah dan membakar pulau
Setenang air muara, tuan,
kami mendengar kata beringsut
Gelagat kesumat bertukar tempat
dengan muslihat
Berkerumun orang sekaum
Majelis agung yang diberkati
Sekaliannya jadi suci
Juga kebencian itu, tuan…
Bentangan angin: Kain jubah
yang berkibar barisan gagah para lasykar
Selat yang dingin: Kapal seberangkan
gelap ke pusat pulau mengangkut
para pengasah pisau
Setenang air muara, tuan
hujan memandikan jenasah
Di lehernya kami mencium
bau ludahmu, tuan
Berkaum-kaum kami membuat barisan
Kumpulan penuh berkah. Berkuasa
atas sekalian yang menjadi suci
Juga cara mengasah pisau
2017
Buat Drawing Herry Dim
Lidah orang suci
Hitam seperti jeruji
2017
Cerita Selendang Ibu
Selendang peninggalan ibu bertumpuk
di rendaman air cucian. Air yang mengalir
dari lubuk ingatan. Bapak selalu membilas
selendang ibu dengan tangannya yang masih
berdarah. Sehingga selendang ibu berwarna
merah. Warna yang mengundang
para arwah
Serupa zombie mereka. Mengepung rumah ibu
Mencari-cari selendang ibu. Selendang dalam
jantung kesumat dan muslihat. Selendang
yang kata bapak dulu dipakai ibu menari
Tarian darah silsilah merah
Selendang peninggalan ibu bertumpuk
di lubuk ingatan. Lubuk berair gelap
Dari gardu bapak selalu mengawasimu
Juga lasykar dan ksatria
tak berkepala itu
Menderu kuda-kuda perang mereka
Selendang ibu sepanjang jalan
Tak hilang dendam sepanjang badan
2017
Marnixstraat
Jantung dingin berkaki hujan
Langit putih rambut angin
Maut sayang dipeluk ingin
Melambai ibu di kejauhan
Musim gugur pohon basah
Mantel biru tubuh perempuan
Teringat kau di ujung jembatan
Manusia membelah di pucuk lidah
Lembut engkau berkuasa di bayang
Pemangsa berdiam di seberang angin
Di muka gerbang musim dingin
2017
Ahda Imran lahir 10 Agustus di Kanagarian Baruhgunung, Sumatera Barat. Rusa Berbulu Merah (2013) adalah salah satu buku puisinya.
Puisi-puisi Ramon Damora (Kompas, 04 November 2017) Satisfied – 2015 ilustrasi Indrawati Halim/Kompas
lapislazuli bengali
biru sehelai ibunya
mengapung di buthidaung
sirah merona selembar adik
bayi teramat cantik
terkulai ngambang
sepanjang benang darah
ditenun kembali sungai naf
dan rahang-rahang rakit pun
menjahit gelora rakhine utara
namun satu per satu pengungsi
aus, putus, seperti butir-butir
kancing jatuh dari seragam
serdadu gergasi di barak tangsi
semua muara mengulur seutas
demi seutas bangkai gugur
di pepohon lagoon, membuah
buih yang putih, memberi arti
pada setangkai mati
maut menyumbang sedu sedan
dengan menimbun kematian
di ranjang pelaminan sungai
yang senantiasa lengang landai
sisa-sisa perahu pelarian
kadang jadi betapa ringan
terbang serendah bayang
bayang, seindah layang
layang, menggores batas
batas langit bangladesh
di lazuardi sebongkah tubuh
bocahnya tergantung anggun
berayun-ayun gerun bagai
seuntai kecubung kelabu
lapislazuli bengali telanjang,
yang tembuspandang: dia tak
hendak turun, belum mau turun
tetapi sang kanak tahu perahu
perahu akan segera bersandar
menggulung benang bekas
sungai sehelai ibu, selembar
adik, seonggok kehilangan
yang mesti dipakai demi
hari depan jatidiri yang tercela
tuhan oh tuhan, bisik nak
bujang ke awang-awang,
bila giliran-Ku merajalela
entah di kemah-kemah bangla
atau remah-remah bianglala
2017
baju lebaran
tuhan beri baju lebaran
lebar selebar-lebarnya
kain luas bersih welas asih
warna nirwana maha putih
tuhan kasih satu syawal
dengan satu-satunya tanda
pengenal: kau sang mula
awalilah semua muasal
tandus sawah ladangmu
sekudus mendiang ibu
barah di balik empedu adalah
syahdu zarah mudik ke darah
ruang tiada terpindai
rindu tak lagi mengurai
purna karena fitrah
luruh seluruh luruh
tuhan beri baju lebaran
lebar selebar-lebarnya
di sana sembunyi sedu sedan
milik tubuh kecut penuh luka
merangkak dengan sajadah
dari kedai ke kedai
oh setahun sekali
hanya setahun sekali
tuhan alangkah mewah
anak takbir bersama kiyai
istri lahir sebagai bayi
suami luhur seperti priyai
pun tangan yang selalu zalim
memeras airmata orang lain
tiba-tiba rajin dan takzim
memohon maaf lahir batin
amin
2017
non-megaphone
apa yang mau
kau dengar
perihal myanmar
nama tuhan yang
tak sempat keluar
dari leher-leher
dipenggal
dengih tasbih wirathu
di antara serpih
serpih empedu
yang telah hijau
oleh langau
rengek bayi
dibungkam
darah hitam
tetek suu kyi
wirid api menyamak
kulit tulang-belulang
sehangus langit
langit madrasah
atau parau serak
jerit allah allah
lengang kabus
dendam atta ullah
puisi non-sense
di rakhine
diplomasi non-megaphone
setelah yangoon
apa yang mau
kau percaya
tentang rohingya
cahaya?
maka diamlah
berhenti menebar tulah
makin tumpah setakat
kata, kata, kata
kau hanya jadi
junta
2017
wirid duri
anak aku tahu diri
ayah ia hanya duri
tiap ia jumpai aku
genap aku lukai ia
pada sembilu aku
rindu selalu kata ia
dari mata pisau aku
doa mengasah ia
bila aku terlalu tajam
jangat ia menganga
sakit ia menujum pejam
jerit aku seharum bunga
raunglah tebing tinggi
erang aku geming seligi
kelak kau mudah sembuh
dari onak yang tersentuh
anak aku mengerti
apa makna sajak ini
sekuntum mawas diri
bukan mawar gerigi
2017
teluk belanga inderasakti
~ ardadan
dari dermaga, pompong rimbun mengurai jelaga laut
peluh terakhir huyung dalam pantun sampiran kabut
rembulan jembia nyisip di pinggang menara masjid
azan menggenggam luka penyengat tiada terjahit
segala diam diam-diam; makam, gurindam, malam
dahan nam-nam menyimpan gagak bertanjak hitam
tinggal hasrat angin utara menabuh leher nelayan
setipis kulit kompang terkikis batuk bedengkang
menuju pelantar adakah sepi sungguh-sungguh sepi
dahak maut kerak lumut takkan setebal ampas kopi
masih sedap bual melelang naskah-naskah lama
mencabar nafkah hari esok yang tak lagi sama
walau azan menetes dari tiap ceruk luka menganga
kau lanun atau laksmana: sama dalam teluk belanga
2017
kepada batik, sajak berbisik
semua yang kusangka epik
padamu rupanya semata titik
tak bunyi baris hiperbolaku
digores sunyi garis polamu
kelam kalam leleh sempurna
dalam malam lilin sederhana
alinea lupa mengurai hening
o betapa lena dibelai canting
kian kau umbar cahaya benang
semakin terbakar daya bayang
masihkah pantas aku berkain
dengan majas dan lain-lain
baru kuikat sebait dua diksi
kau sudah kuliti serat berisi
permisi, permisi
apakah kau puisi
2017
sekanak-senandika
: rida k liamsi
akan tetapi, datuk
tikam cintamu belaka
yang masih sudi
menyeka retak ceguk
mangkuk waktu kami
kita redakan sebentar
asma semua magma
tenung gunung-gunung
sihir paling ros, mimesis kabut
mahmud dalam mahmud
larut sesaat dalam nikmat
gelas demi gelas mintakat
membilas pahit langit-langit
agar surup terhirup sakit
supaya sedap sesapan dekap
menyuling nasib yang gelap
bila lebih dahulu
kau bersurai menyangrai
biji-biji janji di lain kaji
kau tahu kami
selalu di sini
menjaga bunyi
seandai canai
perenggan cawan setangkai
tiada lengking
semata denting
sendok menggasing
sendu masing-masing
hingga senja
menyangga meja
kekasih membara
dirayu-goda teja
sayap kelekatumu
jatuh satu-satu
ke pangkuan tungku tungkaiku
“lampu bukan lagi tumpu,
bila tapak tak terlacak…”
digerus budi bahasa
sehalus robusta dan arabika
kata-kata tetap tak berganjak
dalam kehendak kopi sekanak
secangkir renyai cuma
mengusir jejak yang lenyai
ke dasar-maha-dasar puisi
adapun bubuk-bubuk sepi
diaduk diseduh mimpi
akan tetapi…
2017
selimut dari natuna
semalam selimut anaknya
membelai-belai pulau ranai
asyik masyuk berderai
semalam selimut anaknya
selembut ruh perahu
melayani bayang nelayan
semalam doa lelah
berbantah-bantah semesta
saling cintakan entah
semalam sepasang puting
dada jembatan pering
hanya susui laut kering
ikan-ikan duduk bersila
di kemah selimut anaknya
berebut mengenalkan nama
presiden telah tiba
kata tongkol dan todak
ia datang dari kabut
membawa tanda mata
untuk kanak-kanak
yang hafal biota laut
dalam senyum mutumanikam
anaknya kayuh sepeda gunung
membonceng tuhan maha diam
Ramon Damora lahir di Muara Mahat, Kampar, Riau, 2 April 1978. Benang Bekas Sungai (2017) adalah buku puisi terbarunya. Bermastautin di Batam dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Cerpen Dadang Ari Murtono (Haluan, 12 November 2017) Dalam Dirinya Ada Seekor Burung ilustrasi Haluan
Di hadapan cermin itu ia membayangkan tubuhnya—yang adalah cangkang
telur belaka—retak, untuk kemudian benar-benar pecah. Retakan itu
mungkin akan dimulai dari perutnya yang kerap terasa panas dan
menggelegak, membuatnya merintih kesakitan dan berguling-guling dalam
kamar penjaranya. Retakan itu, selanjutnya, merambat ke dadanya.
Bersamaan dengan itu, jalur retakan lain juga memanjang ke bawah, menuju
telapak kakinya, membentuk percabangan tepat di selangkangan.
Barangkali ia akan menjerit, tapi ia berjanji akan lirih saja. Ia capek
berteriak. Dan setiap kali berteriak, ia tahu—setahu-tahunya bahwa para
penjaganya—dua orang—akan membuka pintu kamar penjaranya, meringkusnya
menggunakan tangan-tangan kekar mereka, mengikatnya dengan sabuk-sabuk
lebar berwarna putih yang tak pernah mampu ia putuskan, tak peduli
seberapa keras ia berusaha.
Retakan itu, pada akhirnya, akan sampai pula pada batok kepalanya.
Awalnya, garis-garis hijau akan muncul di sana, mengikuti pola
urat-uratnya. Semakin lama, warna-warna hijau itu akan semakin matang
hingga mendekati warna hitam. Hitam yang pekat. Hitam yang nyaris merupa
cahaya. Cahaya hitam. Apakah cahaya bisa berwujud hitam? Ia tidak
yakin, tapi mungkin saja. Apa yang tidak mungkin di dunia ini? Ia pernah
mengalami hal-hal yang seakan tak masuk akal. Dulu sekali, ia mengira
bahwa dirinya manusia seperti kebanyakan manusia lainnya. Manusia yang
tubuhnya menyimpan jeroan dan sampah hasil pencernaan. Namun ia keliru.
Suatu malam, ia bermimpi seekor burung berwarna hitam dan bermata merah
dan berjambul putih dan berkaki kuning terbang berputar-putar di atas
dirinya. Ia sedang berada di sehamparan padang rumput. Sejauh mata
memandang, hanya rumput tak bertepi. Tak ada batu. Tak ada semak. Tak
ada pepohonan. Hanya rumput dalam kawasan D terbuka. Sebuah dunia yang
mau tak mau, mempertimbangkan tipografinya, melambangkan kemerdekaan
yang absolut, kebebasan mutlak. Langit cerah dan tak ada awan. Burung
itu entah datang dari mana. Ia seperti begitu saja muncul dari
kehampaan. Lalu terbang berputar-putar. Awalnya, ia mengira burung itu
adalah gagak. Namun, melihat ukurannya yang lebih besar dari elang, dan
jambulnya yang putih terang, ia segera sadar bahwa anggapannya keliru.
Itu adalah burung yang tidak ada di dunia nyata. Atau setidaknya, belum
dikenal oleh zoologi. Ia mendongak. Burung itu berkaok keras, begitu
keras sehingga seolah langit terbelah dan bumi bergoyang karenanya.
Kaokan itu semakin menegaskan keyakinannya bahwa burung itu bukanlah
gagak. Suara kaokannya mirip sekali dengan lenguh gajah yang tengah
birahi. Ia pernah melihat gajah yang sedang birahi, suatu hari beberapa
tahun yang lalu, di taman safari.
Kehadiran burung misterius itu membuatnya takjub. Ia mendongak dan
melongo. Dan tepat pada waktu itulah, si burung meluncur dengan
kecepatan yang tidak terukur, menuju jitu ke liang mulutnya yang
terbuka. Reflek, ia berteriak dan menutup mulut. Namun terlambat. Burung
itu, yang sesungguhnya tampak mustahil bisa masuk ke dalam mulutnya
mengingat ukurannya yang sebegitu, ternyata bisa masuk dengan gampang.
Ia merasa pergerakan burung itu sedikit terhambat di tenggorokannya. Ia
batuk-batuk. Lalu setelahnya, burung itu telah benar-benar berada dalam
dirinya.
Di kemudian hari, ia meyakini bahwa pada waktu itu pula, dua raksasa
jahat memasuki tubuh kedua orang tuanya. Ia tidak ngawur ketika sampai
pada kesimpulan semacam itu. Tiga hari setelah mimpi tersebut, ia mulai
merasa bahwa perutnya bergolak. Awalnya, ia mengira itu hanyalah efek
akibat konsumsi cabe yang terlalu banyak. Namun tidak. Di dalam kamar
kecil, ia mendengar suara kaok burung hitam dalam mimpinya, kaok yang
serupa lenguh gajah birahi. Ia mendongak, mencari-cari burung itu. Namun
langit-langit kamar mandi tetap langit-langit kamar mandi. Sebuah lampu
lima watt menggantung di internit yang dicat putih. Di sudut, ada
laba-laba yang tengah merajut sarang. Dan tak ada seekor burung hitam
berjambul putih bermata merah dan berkaki kuning yang terbang
berputar-putar. Ia masih mendengar suara kaok tersebut. Dan perutnya
terus bergolak. Ia mencoba mendengar lebih seksama. Dan ia menyadari
bahwa sumber suara itu ternyata dari dalam dirinya belaka.
Terengah-engah ia keluar dari kamar kecil. Ia terkapar di kamarnya
dan tak bangun selama tiga hari. Sejak itu, ia lebih sering merasa
perutnya bergolak dan burung dalam dirinya berkaok keras. Burung itu
seakan hendak keluar dari sana, namun tak tahu caranya. Berkali-kali ia
membuka mulutnya lebar-lebar, memberi akses bagi burung itu. Namun
burung itu tidak melesat dari sana dan meninggalkan tubuhnya. Seiring
waktu, akhirnya ia menyadari bahwa dirinya telah berubah menjadi sebutir
telur belaka, cangkang bagi seekor burung yang berhabitat asli dalam
mimpi untuk menerabas ke dunia nyata. Satu-satunya cara agar burung itu
keluar, tidak bisa tidak, adalah bila dirinya, yang tak lain semata
cangkang, pecah.
Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, golakan yang berpusat di
perutnya kian menjadi-jadi. Ia mulai tak tahan untuk tidak
berteriak-teriak. Ia meracaukan perihal burung tersebut. Dan orang
tuanya mulai menunjukkan watak asli dari raksasa yang telah menguasai
mereka. Mereka membawanya ke dokter. Dan dokter mengatakan bahwa tidak
ada masalah apa-apa dengannya. Sementara itu, burung dalam dirinya lebih
sering berontak. Seolah waktu untuk menetas semakin dekat. Dan ketika
waktuwaktu semacam itu tiba, ia mengalami tantrum yang luar biasa
dahsyat. Ia bisa tiba-tiba berguling dan mengamuk dan meracau di mall,
di masjid, di pasar, di mana saja. Itulah saat dua raksasa tersebut,
tanpa malu-malu, merobek tubuh kedua orang tuanya, menampakkan wujud
asli mereka yang buas dan mengerikan, dan menyekapnya dalam kamar sempit
ini.
Ia tak lagi bisa keluar dari kamar itu.
Dan setiap kali ia berteriak, dua raksasa penjaga itu akan
menghambur, meringkusnya, mengikatnya dengan sabuk-sabuk lebar berwarna
putih yang kuat.
Di hadapan cermin itu, kini, ia membayangkan tubuhnya retak, lalu
pecah. Dan seekor burung berwarna hitam terbang. Ia tidak tahu apakah
bila itu terjadi, maka ia akan mati. Ataukah ia akan meneruskan hidup
dalam diri burung hitam itu. Ia tidak tahu apakah sebutir telur ayam
yang menetas itu mati. Ataukah telur tersebut meneruskan hidup dalam
diri seekor anak ayam. Ini pengalaman pertamanya sebagai telur. Ia,
tidak bisa tidak, adalah sebutir telur amatiran.
Satu hal yang ia tahu, ia tidak boleh berteriak ketika itu terjadi.
Bila ia berteriak, maka kedua raksasa itu akan menghambur masuk. Dan
sabuk-sabuk mereka, mungkin saja akan merekatkan kembali retakan-retakan
tubuhnya. Dan itu akan memperlambat proses penetasan burung hitam
berjambul putih bermata merah dan berkaki kuning dalam dirinya.
Ia memandang wajahnya. Pucat seperti mayat. Pasti efek kurangnya
paparan sinar matahari yang ia terima. Ia meraba wajahnya. Dan ia
menyadari bahwa kuku-kuku tangannya telah tumbuh begitu panjang.
Tiba-tiba, ia mendapatkan ide itu.
“Bila tubuhku tidak segera retak, maka aku akan membantunya,”
gumamnya. Ia, dengan gemetar, menancapkan kuku-kuku itu di perutnya. Ia
bermaksud mengupas dirinya sendiri.
“Kemerdekaan yang sesungguhnya memang menyakitkan,” ia mencoba
menghibur diri sendiri ketika ia merasa sakit yang teramat bersamaan
dengan tetes darah pertama yang merembes.
DADANG ARI MURTONO, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit berjudul Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015). Sedang buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.
Cerpen Ruly R (Radar Surabaya, 12 November 2017) Habis ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Tubuh lelaki itu sempoyongan saat dia menghampiriku, di mana aku
terbaring di tempat yang menjadi favoritku. Tangannya tiba-tiba meraba,
lantas memegang tubuhku. Lebih dari memegang saja, dia meremas tubuhku
yang tirus. Saat itu hampir sama dengan yang terjadi sebelumnya. Lebih
tepatnya beberapa hari lalu, saat dia melakukan hal itu padaku. Tak ada
kata yang sanggup keluar dari mulutku. Yang ada hanya muntahan cairan
putih dari lambungku lantas ke atas, melewati kerongkongan dan akhirnya
kumuntahkan.
“Sialan,” pekik lelaki itu sembari menghempaskan tubuhku dengan kasar.
Wajahnya menengok cermin yang menempel di dinding kamarku. Sejujurnya
ini bukan hanya kamarku, tapi juga kamar bagi yang lain. Bagi mereka
yang setiap hari mengalami nasib yang kurang lebih sama denganku. Jika
aku akrab dengan tangan lelaki itu ketika dia meremas tubuhku, berbeda
dengan tubuh temanku yang setiap hari selalu akrab karena bersentuhan
dengan seluruh bagian di sekujur tubuh lelaki itu. Saat dia telah
menanggalkan semua yang dikenakannya. Ada juga kawanku yang lain. Dialah
yang paling akrab denganku. Lebih tepatnya akrab dengan cairan putih
yang kumuntahkan. Bulu-bulu halus kawan satu ini yang paling kuingat,
karena sesekali dia pernah menyentuh mulutku. Kawan satu ini ujung
tubuhnya runcing. Lelaki itu yang meruncingkan bagian tubuh kawanku,
dengan maksud apa dia—lelaki itu—berbuat seperti itu aku tak tahu.
***
Lampu kamar dinyalakan oleh seorang perempuan yang wajahnya sudah tak
asing bagiku, karena saban hari perempuan itu juga nyelonong ke
kamarku. Perempuan itu tak jauh beda dengan si lelaki tadi, hobi meremas
tubuhku setiap hari.
“Mas, ini habis, ya?” teriak si perempuan dari kamar.
Tubuhku erat di genggamnya.
“Apanya?” sahut si lelaki.
Perempuan itu mengangkat tubuhku. Mataku bertemu dengan mata si
lelaki yang sering meremas tubuhku, saat si perempuan mengangkat dan
menunjukkan tubuhku kepadanya. Kulihat lelaki itu sedang berbaring.
Kepalanya disandarkan pada bantal yang sarungnya berwarna putih dengan
motif bunga apa entah aku tak tahu namanya. Kakinya tertutupi selimut
yang menurutku cukup tebal. Tangan lelaki itu lekat dengan sebuah
majalah yang covernya bergambar gajah.
“Ya. Kalau memang habis, gantilah dengan yang baru.”
Ucapan lelaki itu masuk ke dalam telingaku. Kata-katanya seakan
menjadi belati yang menghunus ulu hatiku. Kupikir jelas. Aku akan diusir
dari kamar, digantikan saudaraku yang lain. Yang pada mulanya gemuk
sama sepertiku dulu, lantas kurus dan akan dibuang sepertiku juga.
Aku terkadang berpikir bahwa kehidupan memang hanya pengulangan. Terus menerus, terus menerus, terus menerus.
“Ganti, ganti. Hanya itu yang kamu tahu, Mas. Seperti itu juga butuh duit.”
“Apa maksudmu?” Mata lelaki itu merah dibakar marah.
“Jelas. Setiap hari aku bekerja, sementara kau yang berstatus sebagai kepala keluarga hanya diam di rumah.”
“Coba kau ulangi perkataanmu barusan.” Bentak si lelaki pada
perempuan itu, yang tak lain istrinya. Tubuhnya sempat diangkat sedikit
dari baringnya seakan tubuh itu ingin meloncat tak beda dengan bola
matanya.
“Sudahlah, Mas. Aku malas debat denganmu. Masih banyak pekerjaan yang
harus kuselesaikan setelah ini.” Perempuan itu masih memegang tubuhku
saat kakinya melangkah kembali ke kamarku yang tak jauh dari kamar
tidurnya. Ya, kamarku dan kamar perempuan itu masih satu petak dalam
rumah kontrakan. Kamar yang kugunakan lebih identik dengan segala kotor.
Kecoa lebih sering tinggal di kamarku, sementara kamar si lelaki dan
perempuan itu tadi kulihat lebih rapi dan baunya harum.
Debat yang terjadi di antara sepasang suami istri itu baru pertama
kulihat, meski bukan yang pertama kali terdengar olehku. Bahkan sejak
awal kedatanganku di rumah ini dan aku ditempatkan di kamarku,
perdebatan yang hampir sama selalu terjadi. Jika boleh kutafsirkan,
perkara yang memicu perdebatan mereka hanya hal yang sepele. Pernah
sekali waktu kudengar karena remote televisi, pernah juga
karena sendok, karena gelas juga pernah dan masih banyak hal sepele lain
yang selalu menjadi sumbu bagi perdebatan mereka. Bagiku, hal-hal yang
sepele tak perlu dibesar-besarkan dan sesuatu yang besar juga tak lantas
disepelekan.
Hanya beberapa detik waktu yang dibutuhkan perempuan itu untuk sampai
di dalam kamarku. Sesampainya di tempatku berbaring, dia tanggalkan
segala yang dikenakannya. Salah satu kawanku mengakrabi tubuhnya sesuai
dengan kehendak tangan perempuan itu.
Pada mulanya bagian tangan perempuan itu yang diakrabi oleh kawanku,
baik kanan dan kiri. Lalu, pada bagian ketiak, pada punggung, pada
perut, payudara lantas leher. Setelah rampung pada leher, dia taruh
tubuh kawanku. Tangan kanannya mengambil kawanku yang lain. Air membasuh
tubuh perempuan itu. Kawanku yang tubuhnya tadi diletakan oleh
perempuan itu kembali diambil oleh tangan kanannya. Dia meliukan kawanku
dari ujung kakinya, lalu pada betis naik lagi ke paha lalu naik ke
selangkangannya. Cukup lama kawanku mengakrabi selangkangan perempuan
itu. Lalu air kembali membasuh tubuh perempuan itu sesuai kehendaknya.
Kupikir lama juga perempuan itu bermain dengan kawan-kawanku. Rasa
bahagia datang karena hal itu, mungkin kebahagiaan datang ketika kita
bisa menyadari diri kita. Aku sadar, tubuhku tak akan menarik lagi bagi
si perempuan itu. Tubuhku juga tak akan menarik bagi suami perempuan
itu, yang menurutku dia selalu menjaga kebersihan mulutnya. Mungkin saja
aku besok akan diusir dari kamar, aku sepenuhnya ingat ketika dalam
perdebatan lelaki itu menghendaki agar aku diganti. Perempuan itu pun
sama. Buktinya tubuhku tak diremasnya lagi. Jangankan untuk meremasku.
Di kamarku saja, tangannya enggan untuk menyentuhku tubuhku lagi.
***
“Kenapa kau datang ke sini?”
“Apa?”
“Bagaimana jika istriku tahu?”
“Aku ingin kau menikahiku.”
“Tidak mungkin. Aku masih punya istri.”
“Bukankah kau dulu janji untuk menikahiku?”
“Bagaimana mungkin?”
“Kau yang dulu bilang begitu. Saat kau akrab dengan tubuhku.”
“Hah.”
Perdebatan itu kudengar ketika cahaya matahari menerobos masuk kamar
lewat jendela yang melekat di atas tempatku berbaring. Namun, aku
merasakan ada yang aneh dari perdebatan itu. Suara perempuan yang kali
ini berdebat bukanlah suara yang biasa kudengar selama aku tinggal di
kamar ini.
Lelaki itu dengan raut muka yang merah padam memasuki kamar, pintu
kamar tak dia tutup ketika dia sudah ada di dalam. Matanya tajam menatap
dirinya sendiri dalam cermin setelah dia membasuh mukanya. Tiba-tiba
seorang perempuan yang berbaju merah, tak kalah dari merah gincu yang
lengket di bibir tipisnya masuk ke kamarku, menyusul lelaki itu. Untuk
pertama kalinya aku melihat perempuan lain masuk ke kamarku. Pipinya
putih dan mulus, rambutnya berombak. Sedikit ke bawah, dadanya tampak
sedikit menonjol. Dada yang menonjol itu menempel pada punggung si
laki-laki. Tangan perempuan itu memeluk erat dari belakang. Mulutnya
lirih mengucap, “Kau akan menikahiku bukan?”
Si lelaki diam tak menjawab tanya dari perempuan itu.
“Kau dulu janji begitu, Mas. Aku menginginkan bersetubuh denganmu, karena kupikir kau konsekuen dengan ucapanmu.”
Si lelaki masih saja diam. Raut mukanya menandakan ada beban berat yang hinggap di pikirannya.
“Kenapa kau diam saja, Mas? Atau memang kau dulu hanya menginginkan tubuhku? Jika memang itu yang kau mau maka ….”
“Atau apa?” bentak si lelaki sebelum perempuan itu menandaskan apa yang ingin dia ucapkan.
Tangan si perempuan semakin erat mencengkeram tubuh si lelaki.
“Atau kuadukan tentang perselingkuhan kita pada istrimu,” bisik si perempuan itu.
Tubuh lelaki itu berontak. Si perempuan terhempas dan jatuh di lantai
kamar. Sebelum perempuan itu sempat berdiri, si lelaki menancapkan
bagian bawah tubuh kawanku yang runcing pada dada kiri perempuan itu
sembari memekik, ”Jahanam”.
Kusaksikan merah darah mengalir segar di lantai kamar. Aku hanya bisa
diam, mulutku tak bisa untuk mengucap sepatah kata. Jangankan untuk
itu, cairan putih yang biasa akrab kumuntahkan saja tidak bisa keluar
lagi dari mulutku. (*)
Penulis aktif di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Literasi Kemuning.
Cerpen Adi Zamzam (Analisa, 12 November 2017) Kaisar dan Rembulan ilustrasi Renjaya Siahaan/AnalisaMULANYA hanyalah di teras istananya saja. Saat dia
sedang kesepian. Permaisurinya masih berbanyak-banyak istirahat lantaran
masa-masa hamil tua.
Tanpa sengaja dia menemukan rembulan yang tampak begitu memesona.
Alangkah cantiknya. Kuning keemasan di tengah kepungan gelap semesta.
Hari berikutnya, kecantikan itu semakin dan semakin bertambah sempurna
saat mencapai purnama.
Dia pun kemudian memiliki jadwal tetap untuk menikmati rembulan.
Jadwal itu tak boleh diganggu oleh hal apa pun dan siapa pun. Meski oleh
kedatangan tamu penting sekalipun. Jadwal itu hanya milik dia dan
rembulan. Dia membebaskan diri dari jadwal itu hanya saat rembulan telah
menghilang.
“Memangnya hal apakah yang membuat Paduka tertarik? Bukankah itu
hanya sekadar rembulan, yang siapa pun bahkan bisa melihatnya setiap
hari?” tanya sang panglima perang, saat mereka sedang membahas kekuatan
militer yang dimiliki istana.
Dia geleng-geleng kepala, menyayangkan panglima perangnya yang tak sedikit pun memiliki jiwa seni.
“Tentu saja, raja berbeda dengan rakyat jelata, wahai panglimaku.
Rembulan menyuburkan daya imajinasiku. Rembulan menenangkan banyak
kegundahanku. Rembulan menjadi pengobat rasa sepiku. Kadangkala, aku
ingin melihat rembulan dari banyak sisi. Aku ingin melihat kecantikannya
dari berbagai tempat. Karena itulah aku menyuruhmu menaklukkan
negeri-negeri yang berada di wilayah utara. Aku sangat ingin melihat
kecantikan rembulan dari wilayah utara.”
Sang panglima mengangguk. Tunduk. Pun ketika mendapatkan perintah
untuk mengirimkan pasukan perang ke wilayah utara. Itu adalah peperangan
pertama yang disulut rajanya sejak kematian kakek buyutnya, sang
pendiri kerajaan.
***
Sejak kemenangan pertamanya, kesenangan lelaki ini tetap tak berubah.
Saat rembulan mulai menghilang dari atas istananya, dia akan berpindah
tempat ke utara dan terus ke utara. Seiring kemenangan demi kemenangan
yang diperoleh panglima perangnya. Meski pada tanggal tertentu rembulan
tetap menghilang juga.
“Kau tak akan pernah tahu, wahai panglimaku. Kau tak akan pernah tahu
kenikmatannya jika kau tak memiliki jiwa yang selalu merindukan
keindahan ini,” ujar lelaki itu saat sang panglima perang menghadap.
Semua kerajaan di daerah utara telah takluk. Upeti-upeti mulai
berdatangan. Jumlah selir juga bertambah. Begitu, tak ada yang lebih
diingini lelaki itu selain melihat keindahan rembulan.
“Aku yakin keindahan rembulan di daerah selatan, barat, dan timur
pasti juga beda. Betapa aku ingin membuktikannya. Karena itu
persiapkanlah tentara kita untuk menaklukkan daerah selatan, barat, dan
timur sekarang juga.”
Hari-hari penuh peperangan pun dimulai lagi. Kisah-kisah kepahlawanan
mulai dicatat sejarah. Lelaki itu memberikan penghargaan tinggi
terhadap para prajurit yang mempersembahkan jasa besar untuknya.
Dia mulai mengangkat pejabat-pejabat baru di setiap wilayah taklukan.
Dia ganti beberapa pejabat yang menampakkan ketaksukaan atas
kesukaannya menikmati keindahan rembulan. Apalagi ketika dia menurunkan
perintah untuk membangun sebuah menara di setiap sisi istana
taklukannya.
“Aku tak ingin diganggu atau terganggu oleh siapa atau apa pun saat
menikmati keindahan rembulan,” ujar lelaki itu, menjawab pertanyaan
beberapa pejabat yang menanyakan alasan pembangunan menara.
“Bahkan oleh permaisuri sekalipun,” tegasnya sekali lagi.
Para selir sampai terbakar cemburu saat mendengar kalimat itu. Mereka
tak berani protes. Bahkan para panglima perang pun harus menunggu Raja
menuntaskan kesenangannya menikmati rembulan. Yang bisa dilakukan para
selir hanyalah berlomba mempercantik diri, agar setidaknya bisa menyamai
kecantikan rembulan.
Memang, setiap kali lelaki itu berujar, “Hari ini kau benar-benar
seperti rembulan.” Maka itu berarti sebuah keberuntungan bagi selir yang
mendapatkannya.
Pembangunan Menara Rembulan—begitu raja menamainya, pun dilaksanakan
segera. Pembuatan rancang bangunnya diperlombakan. Barang siapa yang
sketsanya mampu menarik perhatian raja, dia akan diangkat sebagai
arsitek istana.
Seiring dengan kemenangan-kemenangan yang terus diraih, pembangunan
Menara Rembulan pun semakin dipergiat. Bahan bakunya dikumpulkan dari
berbagai wilayah taklukan. Distribusinya diawasi langsung oleh pejabat
khusus bentukan raja yang dalam jangka waktu tertentu harus melapor
kepadanya.
Setiap hari akan terlihat iring-iringan yang mengangkut kayu,
bebatuan, lempung, genting dan lain sebagainya. Berbulan-bulan. Menara
itu dibangun sesuai perintah raja, “Semakin indah semakin bagus. Semakin
tinggi semakin baik.”
***
Setelah berjalan tahun, kebiasaan lelaki itu tetap tak berubah. Dia
memiliki jadwal menikmati rembulan yang tak bisa diganggu gugat.
Betapapun oleh pejabat yang hendak melapor. Kelahiran putra-putranya
sendiri, atau bahkan kematian selir.
Sakin tergila-gilanya pada kecantikan rembulan, kemudian dia bahkan
mengumumkan lomba cipta puisi dengan tema ‘rembulan’ ke seantero negeri.
Hadiahnya tak main-main. Lima pemenangnya akan diangkat sebagai
pujangga istana. Segala sesuatu yang berujung pada pengangkatan sebagai
pegawai istana akan selalu menjadi rebutan.
Selang satu bulan setelah pengumuman lomba puisi itu, akhirnya tiba
pula hari penjurian. Bertumpuk-tumpuk puisi telah terkumpul dibawa ke
hadapan Raja. Puisi-puisi pilihan akan dipilihnya—tentu saja—sambil
menikmati keindahan rembulan di atas Menara Rembulan.
Alangkah terkejutnya semua orang ketika tiba-tiba saja raja turun dari menara dalam keadaan marah besar.
“Cepat, cari siapa saja penulis puisi ini, lalu hadapkan kepadaku!”
Orang-orang bertanya-tanya. Suasana menjadi tegang lantaran tiba-tiba
raja akan menjatuhkan hukuman mati. Eksekusi dilakukan di tempat
tertutup. Tak seorang pun diizinkan mendekati lokasi.
Sepuluh penulis puisi yang membuat raja marah itu diseret-seret
layaknya ternak. Tubuh-tubuh yang sudah babak belur itu dipancang di
tiang hukuman, menunggu keputusan raja. Sepuluh penulis puisi itu
terlihat tiada gentar. Mereka membaca keras-keras puisinya betapapun
tiada yang dengar.
Ketika raja datang…
“Apa yang akan kalian katakan sebelum kalian mati?” tanya raja dengan
raut yang dingin. Berjalan dari satu pesakitan ke pesakitan yang lain.
“Bagaimana puisiku tak penuh darah jika seluruh anggota keluargaku
telah kau bantai hanya demi ambisimu yang omong kosong itu?!” teriak
seorang perempuan yang menjadi salah satu pesakitan. Dia adalah bekas
permaisuri yang istananya telah diambil oleh raja kita.
“Bagaimana puisiku tak berwarna merah jika setiap hari mata dan
telingaku kau suguhi dengan peperangan?” susul seorang lelaki tinggi
kurus yang juga menjadi salah satu pesakitan. Dia seorang penyair yang
sudah dikenal banyak orang.
“Itu bukanlah puisiku! Itu adalah bisikan ayah dan kakak lelakiku
yang meninggal akibat pembangunan menara kesombongan!” Ganti seorang
lelaki muda yang postur tubuhnya paling kecil di antara para pesakitan.
“Kenapa tak kau adakan lomba untuk mengambil rembulan saja, Paduka.
Agar Paduka tak tersiksa keinginan sendiri,” lanjut seorang lelaki
gagah. Dulunya dia adalah seorang gubernur yang dicopot lantaran
menentang pembangunan Menara Rembulan.
Raja kita seolah tak terpengaruh dengan suara-suara lantang
tawanannya. Dengan dingin dia lantas memerintahkan agar eksekusi lekas
dijalankan.
***
Lelaki itu sudah tak sabar ingin sampai di puncak menara demi
menikmati kecantikan rembulan. Setelah berbagai macam urusan yang
membuat urat lehernya tegang, betapa dia ingin melupakan semua dengan
pesona kecantikan rembulan.
Dia menghela napas panjang sebelum menghempaskan tubuh di atas kursi
empuk. Baru saja pantatnya menemukan kenyamanannya, tiba-tiba saja
telinganya mendengar suara tangisan, rintihan, dan riuh-rendah
peperangan.
Dia terlonjak. Kemudian berusaha keras menyadarkan diri sendiri bahwa
suara-suara itu tak ada. Tak nyata dan dia sedang berada di atas
menara.
Entah bagaimana kemudian dia melihat rembulan telah berubah warna.
Penuh darah! *
Cerpen Bayu Pratama (Suara NTB, 11 November 2017) Tiga Surat Untuk Siapa Saja ilustrasi Suara NTB
Pada waktu-waktu tertentu, jika menyempatkan diri untuk melihat ke
langit dari tempat ini –hanya di tempat ini– siapa saja akan melihat
bintang bergeser sedikit dari tempatnya. Mengenai waktu tepatnya, saya
juga tidak tahu. Hanya saja, itu pasti akan terjadi, pada waktu-waktu
tertentu.
***
SEDARI tadi saya mendengar suara gesekan daun.
Bukankah itu artinya angin bertiup? Jika lamat-lamat mendengar semua
suara, maka ada juga suara lain yang dapat saya dengar. Datangnya tepat
dari atas kepala saya. Saya kira itu suara gemuruh, salak anjing, atau
mungkin jangkrik. Saya tidak terlalu yakin. Tapi suara itu seperti
menyusun semacam komposisi yang aneh untuk didengarkan. Atau mungkin
suara burung hantu, gagak? Saya kira itu suara jantung saya sendiri.
Iya, pastilah itu suara jantung saya sendiri. Jantung saya seperti
menyusun sesuatu yang mengerikan, dan membawa saya jauh pada sebuah
lamunan.
Saya berusaha mengingat apa yang sebenarnya saya pikirkan dalam
lamunan saya. Tapi itu semacam usaha yang sia-sia. Bus melaju
biasa-biasa saja. Di depan ada teman laki-laki yang memainkan gitar.
Yang lainnya bernyanyi ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’. Bosan.
Saya bosan hampir setengah mati. Rasanya melihat keluar jendela akan
lebih menarik. Pohon-pohon bergerak ke belakang, seperti film yang
setiap adegannya terus berganti. Tapi, itu perumpamaan yang buruk. Film
selalu bergerak maju dengan gambaran yang berbeda-beda. Yang saya lihat
kali ini hanya pohon yang terus berganti tapi juga tetap sama, diam.
Saya akan mengira kami hanya berputar-putar di tempat yang sama jika
pemandu wisata yang datang entah dari mana tidak menjelaskan bahwa kami
sedang ada di tengah hutan yang sangat sulit disebut namanya.
Mereka yang ada di dalam bus ini sangat membosankan–sebenarnya apa pun juga sama membosankannya.
“Mual?” Manusia yang duduk di sebelah saya bertanya. Bukan ‘manusia’
yang berarti ‘manusia’. Tapi namanya memang Manusia. Entah kenapa, dia
duduk dengan menaikkan kedua kakinya ke atas kursi, dan bertanya kepada
saya sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.
“Tidak. Hanya bosan,” jawab saya.
“Perjalanan panjang memang.”
“Saya tidak memperhatikan.”
“Ikut bernyanyi saja.”
“Hal bodoh.”
“Separah itu?”
“Mungkin. Pohon-pohon di luar juga terlihat bosan.”
Dia sedikit memajukan kepalanya, menoleh ke luar jendela. Beberapa saat ia diam. “Mungkin,” sambungnya kemudian. Naik-naik ke puncak gunung…
Orang-orang masih bernyanyi. tinggi-tinggi sekali …kiri-kanan…
Saya melihat ke luar jendela. Lagu bodoh. Bukankah tidak ada pohon cemara di sini?
Beberapa orang tertawa. Suaranya terdengar dekat. Ada sedikit
kebingungan yang menghampiri kepala saya. Entahlah. Hal-hal
membingungkan semacam itu sering membuat saya pusing. Tiba-tiba saya
teringat surat itu. Datangnya tepat sebelum saya berangkat pergi tadi.
Saya ingat dengan persis apa yang tertulis di dalam surat itu. Bunyi
suratnya seperti ini:
Selamat pagi, siang, sore, malam (kapanpun Anda menerima surat ini)
Bersama datangnya surat ini kami ingin memberitahukan beberapa hal kepada anda. Hal-hal tersebut sebagai berikut:
Anda tidak boleh bekerja seperti biasanya. Tapi, anda tetap harus
datang ke tempat kerja, kami sudah menyiapkan bus di sana, dan anda
harus pergi menaiki bus itu.
Anda akan bersama rombongan dan anda tidak boleh mengeluh tentang itu (Jika ingin mengeluh, keluhkan dalam hati.)
Anda harus melaksanakan kedua poin di atas!
Sebagai catatan, hari dimana anda harus melaksanakan hal-hal di atas
adalah besok terhitung dari kapanpun anda menerima surat ini.
Terimakasih jika anda mau bekerja sama. Selamat pagi, siang, sore, malam
(kapanpun Anda menerima surat ini).
Bus terus melaju. Arah jalan di hutan ini membawa saya semakin jauh
pada perasaan bahwa saya melupakan sesuatu. Saya tidak bisa menjelaskan
lupa yang saya maksud itu seperti apa. Tapi, bukankah terus maju berarti
meninggalkan yang ada di belakang? Saya tiba-tiba teringat pada
seseorang. Ingatan itu melempar saya jauh, sampai ke masa di mana daun
memiliki warna yang berbeda.
Orang itu datang entah dari mana. Dia menceritakan pada saya tentang
sebuah tempat di mana daun memiliki warna yang berbeda, dan karena itu,
orang-orang pandai berbahagia dengan ketidakbahagiaannya. Apa hal
semacam itu dapat dimengerti? Saya kira tidak. Tempat itu ada di arah
matahari terbenam. Saya pergi bersamanya ke sana, menyusuri jalan, dan
benar, semua daun di sana berwarna hijau. Semenjak itu saya melihat
semua daun, di mana saja, berwarna hijau. Masa itu berlalu beberapa
lama. Sampai saya sadar, bukan daun-daun yang berubah warna. Tapi
sebenarnya, saya yang telah mengubah kepercayaan saya. Bukankah
kenyataannya, semua daun selalu berwarna merah? Saya kira, semua cerita
juga berwarna merah, sejak dulu merah, dan sampai sekarang masih sama.
Bukankah semua memang selalu sama? Hanya saja, beberapa hal terkadang
memang tidak dapat dipercaya.
Orang-orang masih bernyanyi ‘Naik-naik ke puncak gunung’ dengan
bersemangat. Pak sopir duduk sambil menaikkan kedua kakinya ke atas
kursi, sama seperti Manusia. Pantat dan kepalanya bergoyang ke kiri dan
ke kanan. Orang-orang memang sangat senang melakukan hal sia-sia dan
membuang-buang tenaga. Saya semakin muak dengan pantat mereka yang terus
bergoyang atau lagu bodoh yang terus mereka nyanyikan. Seharusnya
mereka tahu, apapun yang mereka lakukan, perjalanan selalu berakhir pada
kata sampai. Sialan! Kata surat itu saya tidak boleh mengeluh.
Angin bertiup. Sepucuk surat masuk lewat jendela dan jatuh tepat di
pangkuan saya. Dari mana datangnya? Mungkin dibawa angin. Entah dari
mana. Selamat pagi, siang, sore, malam (kapanpun Anda menerima surat ini) Jika anda menerima surat ini, itu artinya anda sudah berangkat dan sedang di tengah perjalanan.
Anda mungkin kebingungan. Untuk itu, kami sarankan agar anda jangan
berpikir terlalu banyak. Ikuti saja cerita yang kami susun. Jangan
dipikirkan, ikuti saja. Terimakasih atas kerja-samanya. Selamat pagi, siang, sore, malam (kapanpun Anda menerima surat ini)
Orang bodoh! Pasti yang menulis surat ini orang bodoh. Dia kira saya
mau mengikuti arahannya? Saya menggerutu dalam hati. Bus ini terus
melaju. Tunggu dulu, apa isi surat tadi? Sialan! Hilang kah? Mungkin
terbang lagi.
Saya tidak bisa mengerti apa yang saya pikirkan, saya terus bertanya
pada diri saya. Bukankah saya sedang pergi? Kemana? Kapan bus ini akan
berhenti?
Badan saya terasa pegal. Saya merenggangkan badan sejenak.
Orang-orang masih bernyanyi, suaranya menyebalkan. Di luar daun-daun
berwarna merah. Semua pohon terlihat seperti sedang terbakar. Saya
tiba-tiba teringat orang itu lagi. Saya pernah ditipu. Dulu saya pernah
mengira daun berwarna hijau. Penipu! Saya menggerutu dalam hati.
Manusia terus mengoyangkan pantat dan kepalanya dengan riang. Di
sela-sela gerakannya itu, tepat di bawah pantatnya yang
bergoyang-goyang, saya melihat surat tadi. Bagaimana surat itu bisa
merayap ke sana? Sialan! Dengan gerakan sigap, tepat saat pantatnya
bergerak ke arah kanan, saya mengambil surat itu. Entah kenapa, dada
saya agak sedikit sesak karena melakukan hal itu. Perlahan, saya buka
surat itu. Selamat pagi, siang, sore, malam (kapanpun Anda menerima surat ini) Kami kira anda sedang bosan. Apa kami benar? Biasanya, kami
memang selalu benar dalam mengira-ngira. Anda pasti belum sampai ke
mana-mana. Itu wajar, jangan dipikirkan terlalu serius. Ikuti saja
cerita yang kami susun. Kami hanya ingin memberikan beberapa arahan
untuk anda:
Besok Anda harus kembali bekerja seperti biasa.
Jika anda sudah turun dari bus yang sekarang anda naiki, anda harus
memikirkan bagaimana caranya kembali ke tempat kerja. Mengenai caranya,
silahkan anda pikirkanlah sendiri.
Jika Anda sudah berhasil kembali, mulailah datang ke tempat kerja
dengan berjalan kaki. Jangan menaiki kendaraan apapun (Kami kira anda
kurang olah-raga, dan biasanya kami benar dalam mengira-ngira).
Mulai sekarang, Anda bebas untuk merasa kesal. Tapi anda juga harus mengerti, anda yang memutuskan untuk merasa begitu.
Sebagai tambahan, ini adalah surat terakhir kami. Apa anda senang?
Kami harap anda bersenang-senang. Atau senang saja cukup. Terimakasih
atas kerja-samanya. Selamat pagi, siang, sore, malam (kapanpun Anda
menerima surat ini)
Isi suratnya berubah. Bagaimana bisa? Tapi yang menulis surat-surat
ini tetap saja orang bodoh! Pasti benar-benar bodoh. Dia kira saya mau
mengikuti arahannya? Saya terus menggerutu dalam hati. Bus ini terus
melaju. Tunggu dulu, apa isi surat tadi?
Semua orang masih duduk dengan menaikkan kedua kakinya di atas kursi, pantat dan kepala mereka bergoyang ke kiri dan ke kanan. Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Suara
gitar dan tepuk tangan terdengar lebih bising dari biasanya. Lagu
bodoh, saya menggerutu dalam hati. Apa isi surat tadi? Nanti bagaimana
caranya kembali? Bus terus melaju, dan saya terus dibawanya. Saya
mendengar suara-suara, datangnya dari atas kepala saya. Di depan sana,
bintang terlihat semakin dekat.
Bayu Pratama lahir di Aiq Dewa, Lombok Timur, 2 Mei 1994. Kumpulan cerpennya berjudul Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-cerita (Akarpohon, 2017).