Daftar Blog Saya

Senin, 09 Oktober 2017

Kutipan Pacarku Jatuh dari Langit

Keadaan selalu membaik saat kita bersabar. Lagipula kau tidak akan terus-menerus bertemu dengan kesedihan di sepanjang jalanmu. Pilihan untuk bahagia akan selalu ada. Meskipun awalnya tak tampak seperti kebahagiaan. Itu semua tergantung padamu, apakah kau akan mensyukurinya atau tidak. (hlm. 127)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Berlarilah sejauh yang kau mampu. Tapi masa lalu akan selalu mengejarmu. (hlm. 13)
  2. Punya kekuatan tak berarti boleh menindas. (hlm. 69).
  3. Ada banyak misteri dan keajaiban di langit yang belum terungkap oleh manusia. (hlm. 133)
  4. Masalah membuat hidup kita lebih seru. (hlm. 142)
  5. Tak ada orang yang mampu bertahan dan terus mencoba selain dengan ketulusan. (hlm. 154)
  6. Pilihlah yang paling membuatmu nyaman. Dan tetaplah membuka pikiranmu kalau sewaktu-waktu ada kesadaran baru yang datang. (hlm. 183)
  7. Keadaan selalu membaik jika kita bersabar. (hlm. 184)
  8. Orang-orang tertentu memang memiliki keistimewaan. Indera mereka lebih tajam dibanding manusia pada umumnya. (hlm. 194)
  9. Terkadang kehidupan memberi kita keadaan yang tidak mengenakkan. Apabila itu terjadi padamu, berpeganglah erat-erat pada mereka yang benar-benar peduli dan menyayangimu. (hlm. 255)
  10. Masa itu akan segera tiba. Masa ketika semua hal baik datang padamu. (hlm. 297)
  11. Bahkan di kehidupan nyata, nggak ada seorangpun yang tahu akhir cerita hidupnya. Yang terpenting adalah menikmati setiap waktu dan kesenangan yang bisa kamu raih, sebelum akhir cerita itu datang. (hlm. 328)
  12. Jangan membuat keputusan saat pikiranmu sedang dikuasai oleh amarah. (hlm. 339)
  13. Ada kebahagiaan yang datang, ada juga yang pergi. (hlm. 451)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Anak jaman sekarang emang perlu diajari sopan santun. (hlm. 2)
  2. Orang yang mabuk tak bisa menimbang-nimbang tindakannya dengan benar, tindakan mereka hanya didorong oleh naluri. Sama sekali tak memikirkan akibatnya. (hlm. 2)
  3. Buku pelajaran aja udah bikin pusing. Tapi kamu malah baca buku beginian. (hlm. 16)
  4. Masa lebih percaya sama omongan orang lain? (hlm. 19)
  5. Apa karena kau terlalu sering berbuat kebaikan, sehingga kau kesulitan untuk mengingat perbuatan baik yang pernah kau lakukan? (hlm. 44)
  6. Apa kau pikir itu keren, meninggalkanku saat aku sedang bicara. (hlm. 59)
  7. Kita semua membenci para penindas. Mentang-mentang punya kekuatan, tak berarti mereka punya hak untuk menindas yang lemah. (hlm. 79)
  8. Orang yang punya kekuatan cenderung tergoda menggunakan kekuatannya untuk menindas orang lain. (hlm. 79)
  9. Diberi label seperti itu masih lebih baik. Karena kalau ada labelnya, berarti kamu siap dipajang di etalase dan tinggal menunggu orang yang tertarik sama kamu. Tapi kalau kamu nggak punya label, berarti tempatmu adalah di gudang. Kamu disimpan sampai kadaluarsa. Atau dikeluarkan karena sudah berjamur. (hlm. 123)
  10. Kamu nggak suka bercanda ya? Sepertinya kamu juga nggak menyukai masalah? (hlm. 142)
  11. Anak muda jaman sekarang, baru kena air hujan aja udah ngancem bakalan mati kaku. (hlm. 151)
  12. Jangan pernah berpikir kalau hidupku bergantung padamu. (hlm. 261)
  13. Jangan biarkan diri kalian terpesona oleh tipuannya. (hlm. 343)
  14. Tak pandai berbasa-basi. Kau menjatuhkan harapan orang tanpa ragu-ragu. Kesannya jadi agak kejam. (hlm. 465)
  15. Itu bukan pilihan, namanya. Itu ancaman. (hlm. 518)
  16. Benarkah orang lain yang mengubahmu jadi jahat? Kenapa mencari kambing hitam? Kau menimpakan keburukan pada orang lain demi melindungi dirimu sendiri. Bukankah kejahatan sering berawal dari pemikiran seperti itu? (hlm. 528)

Kekasih Baru

Cerpen Abul Muamar (Republika, 08 Oktober 2017)
Kekasih Baru ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Kekasih Baru ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Seantero Kampung Staman digegerkan oleh kabar tentang seorang pria yang mengaku telah mengencani Angelina Jolie, aktris Hollywood yang baru meluncurkan film baru garapannya, First They Killed My Father.
Namanya Pidil, 45 tahun, tinggal sebatang kara di sebuah rumah berukuran tiga kali tiga meter.
“Si Pidil?”
“Ya, si Pidil.”
“Lajang karam itu?”
“Ya.”
Meski belum sekalipun menyaksikan secara langsung, warga Kampung Staman tetap mengamini kebenaran kabar itu. Semenjak kabar itu berembus, orang-orang menjadi semakin sering mendapati Pidil dalam penampilan necis, klimis. Wajahnya segar dan bergairah.
“Sekarang Pidil ganteng lho. Tidak nampak tua,” ucap seorang tetangga Pidil.
“Padahal selama ini dia kan kumal sekali,” sahut yang lain.
Orang yang pertama kali mengetahui kabar itu adalah Julpi, sahabat Pidil. Julpi mendengarkan sendiri dari Pidil. Pria itu bercerita kepadanya bahwa sudah sepekan Jolie menginap di rumahnya.
“Sekarang dia lagi di dalam.”
“Mana? Aku mau lihat.”
“Jangan! Dia tidak mau diganggu.”
“Kenapa?”
“Maklumlah. Artis. Kau tahulah sendiri. Artis Indonesia saja, yang kadang-kadang tidak jelas keartisannya, tak bisa sembarangan ditemui.”
“Ya, aku mengerti.”
“Ya sudah, kau dengarkan saja suaranya dari luar.” Pidil mendekatkan kuping Julpi ke pintu kamarnya. Dari dalam, suara Angelina Jolie terdengar sayup-sayup. Julpi mendengarkan dengan takjub.
“Sudah, sudah, cukup! Jangan lama- lama!”
“Wah, itu benar suaranya Angelina Jolie!”
“Kubilang juga apa.”
“Hebat kau, Dil! Benar-benar hebat!”
***
Kabar bahwa Jolie telah dikencani Pidil kian meluas. Dari Kampung Staman, terdengar pula ke kampung-kampung sebelah.
“Bagus kalau Angelina Jolie ada di sini. Kita beruntung, bisa sering jumpa dia,”
seorang warga kampung sebelah sangat penasaran ingin bertemu Jolie.
“Ya, betul. Kita harus mendukung Pidil. Tidak boleh ada yang syirik. Lagipula sudah lama Pidil melajang,” timpal yang lain.
Sejak saat itu, untuk melindungi Jolie itu dari orang-orang dengki terhadap Pidil, warga sepakat untuk menjadi pengawalnya secara sukarela. Mereka menamai diri sebagai Relawan Pendukung Pidil-Jolie. Mereka terus berjaga-jaga di sekitar rumah Pidil. Mereka membagi giliran ke dalam tiga waktu jaga; pagi-siang, siang-malam, malam-pagi. Selain itu, mereka juga diwajibkan menjaga agar kabar percintaan Pidil-Jolie tidak semakin meluas.
Seraya menjalankan tugasnya, warga terus dilanda penasaran, seperti apa Angelina Jolie bergandengan dengan Pidil. Bukan ingin tahu apakah mereka cocok atau tidak, melainkan bagaimana kondisi Jolie sekarang; apakah dia baik-baik saja, apakah dia sehat dan waras sehingga apakah dia tak salah memilih lelaki seperti Pidil? Seperti diketahui, sejak mengajukan gugatan cerai dari Brad Pitt, Jolie begitu menderita; ia berupaya keras untuk menguatkan dirinya sambil mengurus enam anaknya seorang diri.
Namun, alih-alih melindungi, ulah para anggota Relawan Pendukung Pidil-Jolie itu justru membuat hubungan pujaan mereka terancam. Di antaranya karena kebiasaan mereka bercerita satu sama lain di warung atau di kedai sampah, yang akibatnya didengar oleh orang lain yang? padahalsebelumnya sama sekali belum tahu.
Tadi malam Pidil seperti bertengkar dengan Jolie. Jolie sepertinya keberatan tinggal di rumah itu terus. Mungkin karena terlalu kecil.
“Wajar. Perempuan seperti Jolie mana tahan tinggal di rumah seperti itu.”
“Ya, kasihan si Jolie. Cerai dari Brad Pitt, eh, malah dapat laki-laki seperti Pidil.”
Di sisi lain, gosip-gosip itu semakin meyakinkan warga bahwa Pidil memang telah benar-benar menjadi kekasih baru Angelina Jolie. Yang tadinya ada di antara mereka yang masih setengah percaya, kini menjadi percaya sepenuhnya. Yang awalnya sudah percaya, menjadi semakin percaya. Bagaimanapun, kabar hubungan Pidil-Jolie terus meluas. Pidil menjadi semakin disegani. Jika selama ini ia dianggap sebagai laki-laki yang tak punya tujuan hidup, anggapan itu sekarang lenyap.
Selama ini, Pidil hampir-hampir tak pernah keluar dari rumahnya, kecuali hanya untuk menengok ayamnya, kolam ikannya, sepetak kebunnya, dan beli rokok ke warung tetangga. Banyak warga menduga-duga, Pidil adalah pria yang putus asa. Kepada setiap warga yang bertandang ke rumahnya karena penasaran kenapa dia tak pernah pergi meninggalkan rumahnya, Pidil menjawab, “Saya bisa berpergian ke mana saja saya suka, kapan saja saya mau.”
Awalnya, warga tak terlalu menanggapinya. Sebagian warga menganggapnya gila, dan sebagian lain menyebutnya tukang kibul. Tetapi, lama-kelamaan, seiring waktu yang begitu lama Pidil tak pernah keluar dari kamarnya, dan cerita-cerita bahwa ia bisa ke mana saja dari kamarnya semakin banyak yang percaya, syak wasangka terhadapnya perlahan berubah menjadi kekaguman dan ketakjuban.
Perlahan-lahan, warga mulai tertarik dan ingin belajar darinya tentang cara berpergian ke mana saja tanpa beranjak dari rumah. Tetapi, tak ada satu pun yang berhasil. Semua orang yang mencoba belajar seperti Pidil, hanya mendapatkan hasil nihil.
“Anda kurang serius. Anda tidak sungguh-sungguh. Anda harus lebih lama lagi berada di rumah. Anda harus akrab dulu dengan rumah. Anda baru tiga hari saja, sudah tidak sabar mau ke Korea, Eropa, Amerika. Mana bisa begitu! Sebentar-sebentar Anda keluar. Tidak bisa begitu! Anda tahu, saya 20 tahun lebih mengendap di rumah. Saya bertirakat pagi, siang, malam, subuh! Nah, jadi, Anda harus menyatu dulu dengan rumah Anda. Di kamar lebih bagus. Jadi, Anda lebih khusyuk. Jiwa Anda harus melebur dulu dengan kesendirian,” demikian suatu hari Pidil menasihati muridnya.
Sang murid yang mendengarkan kata-kata Pidil itu terdiam, takjub, dan percaya tanpa membantah. “Anda tidak akan pernah bisa pergi ke tempat yang tidak bisa Anda bayangkan.
Ingat itu! Untuk itu, Anda harus banyak tahu,” nasihat Pidil lagi di lain waktu, ketika muridnya datang lagi karena masih saja gagal.
Semua orang yang pernah mencoba berguru menyerah, dan akhirnya cuma bisa taklid terhadap Pidil seorang. Konon, menurut cerita orang-orang yang mendengar dari Pidil, dengan kemampuannya berpergian ke mana saja hanya dari rumah, Pidil mengklaim pernah ke puncak Himalaya dan sama sekali tidak mengalami hipotermia. Ia juga mengaku pernah mengarungi Samudra Atlantik dengan berenang tanpa pertolongan siapa pun dan bantuan alat apa pun; hiu-hiu buas yang mencoba memakannya dibunuhnya dengan sekali tinju atau sepakan.
Konon pula, selain bisa berpergian ke mana saja dan kapan saja ia suka, Pidil juga dipercaya bisa pergi dengan siapa saja ia mau. Ke Menara Eiffel, ia pergi ditemani oleh Marion Cottilard. Ke Venesia, ia ditemani oleh Monica Bellucci. Ke Bali, ia ditemani oleh Saras Dewi .
Lalu, kini, kabar bahwa ia telah merenggut hati Angelina Jolie pun diterima sebagai sesuatu yang tak perlu ditentang lagi kebenarannya.
***
Kekaguman tak rasional yang berlarut-larut itu mendorong rasa penasaran warga pada puncaknya. Apalagi semenjak belakangan Pidil dikabarkan telah menikahi Angelina Jolie, warga sudah semakin penasaran, tetapi tak juga sekalipun melihat sosok Jolie, entah itu di rumah Pidil atau melintas di kampung mereka.
Maka, pada suatu malam, atas komando Julpi, satu-satunya sahabat Pidil yang sejak lama menjadi kepercayaannya, warga menantang Pidil untuk membuktikan seluruh kemampuan yang ia ceritakan selama ini. Pidil, karena tak dapat lagi mengelak, memenuhi juga undangan itu. Ia disiapkan tempat duduk di tengah-tengah himpunan warga.
“Sekarang, tolong jelaskan, Saudara Pidil, kami sudah sangat lama penasaran dengan ilmu yang Anda miliki,” ucap salah seorang warga yang pernah belajar dengan Pidil.
“Pidil tersenyum, namun tak membuka mulut.”
“Tolong buktikan bagaimana Anda bisa berpergian ke mana saja, dengan siapa saja,” teriak yang lain.
Pidil masih tersenyum saja, seakan menertawakan orang yang mengajukan pertanyaan itu.
“Buktikan juga kalau Anda benar telah memperistri Angelina Jolie. Buktikan ke kami, mana si Angelina Jolie itu!”
Warga yang selama ini kasihan terhadap Pidil mulai terusik. Juga mereka yang tergabung sebagai Relawan Pendukung Pidil-Jolie. Mereka semua yang tadinya duduk, sekarang berdiri, geregetan menanti jawaban dari Pidil. Pidil, karena terdesak, akhirnya membuka mulutnya.
“Semua yang saya sampaikan selama ini memang benar adanya. Saya tidak berbohong sama sekali. Semuanya benar. Tidak ada satu pun yang tidak benar.”
Pidil memberi jeda, warga menyimak dengan saksama. Lalu ia meneruskan.
“Tetapi perlu dicatat, saya tidak menggunakan kekuatan magis apa pun; tidak bantuan jin, tidak pula bantuan arwah siapa pun. Tidak juga pintu ajaib punya Doraemon.”
Warga masih menyimak. Pidil melanjutkan lagi.
“Bahwa saya bisa pergi ke mana saja kapan saja, itu benar. Bahwa saya bisa kencan dengan siapa saja, itu juga benar. Dan bahwa saya telah menikahi Angelina Jolie dan sekarang hidup bersamanya, juga benar.”
“Mana buktinya!” sela warga, serempak.
Keributan meninggi. Suara-suara geram timpal-menimpal. “Tenang, Bapak-bapak.”
“Tenang, Ibu-ibu. Kita beri kesempatan pada saudara kita, Pidil, untuk menjawab,” Julpi menenangkan warga.
Pidil menebar senyum. Wajahnya setenang daun yang tak goyang ditiup angin. Seluruh bayangannya tentang alam semesta, tentang ruang dan waktu, berikut segala isinya, berputar-putar di kepalanya. Seluruh pengetahuannya tentang laut, tentang gunung, tentang hutan, tentang binatang-binatang, tentang tumbuhan, tentang perempuan-perempuan cantik dan segala seluk beluknya, tentang laki-laki dengan segala kebodohannya, tentang manusia yang sering baru bisa percaya sesuatu kalau sudah mengalami langsung, tergambar dengan jelas dalam layar kaca imajiner pikiran Pidil.
Saat keributan sedikit mereda, ia jatuh tergeletak. Di tengah kerumunan warga, dalam keadaan tubuh terkulai, Pidil mengigau, “Saya sekarang sedang di surga, bersama Angelina Jolie.”

ABUL MUAMAR sehari-hari bekerja sebagai wartawan lepas sembari belajar Ilmu Filsafat. Saat ini tinggal di Jalan Kaliurang KM. 6,5 Gang Sumatera Nomor E106, RT 06, RW 60, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY.

Kalwa

Cerpen A.S. Laksana (Jawa Pos, 08 Oktober 2017)
Kalwa ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Kalwa ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
IA mengirim pesan singkat berisi permintaan maaf tidak bisa bertemu hari ini karena suaminya sedang tidak enak badan sejak pagi dan tidak mungkin ia pergi meninggalkan rumah ketika suaminya ada di rumah dan sedang tidak enak badan. Saya ingin membanting telepon selular saya begitu membaca pesannya. Tentu saya bisa memahami keadaannya: ia tidak mungkin meninggalkan rumah jika suaminya sedang tidak enak badan, tetapi pada saat yang sama saya berpikir jangan-jangan ia berbohong. Ia pasti berbohong demi menghindari pertemuan; saya yakin tidak ada masalah apa pun dengan suaminya; ia hanya tidak ingin menemui saya hari ini. “Saya telanjur memesan penginapan di tempat ini Kalwa,” balas saya.
“Sekali lagi maafkan saya,” balasnya. “Saya benar-benar tidak mungkin meninggalkan rumah hari ini.”
Saya hanya membaca pesannya tetapi tidak membalasnya; pikiran saya kacau dan dada sesak sekali rasanya. Ia bisa dengan enteng meminta maaf; ia hanya perlu menggerakkan jari-jari telunjuk di layar teleponnya, tetapi saya tidak bisa seperti itu. Saya tidak bisa secara enteng memberinya maaf. Saya merasa sedang dipecundangi; saya merasa dikhianati. Saya menghubunginya dan ia tidak mengangkat panggilan telepon saya. Tetapi tak lama kemudian ia mengirim pesan: “Besok kau jadi pulang?”
Tangan saya gemetar dan saya betul-betul ingin membanting telepon saya. Saya ingin datang ke rumahnya saat itu juga dan menggedor pintunya dan menggandengnya keluar. Jika suaminya ada di rumah dan betul-betul sedang tidak enak badan, saya akan tunjukkan kepada lelaki itu bagaimana cara saya membawa istrinya pergi; saya ingin lelaki itu melihat bagaimana tangan saya meraih tangan istrinya, bagaimana saya membungkuk dalam gerak anggun dan mencium tangan istrinya, dan bagaimana saya menggandeng perempuan itu meninggalkan rumah.
Jalanan sunyi pada pukul empat sore yang terasa seperti pukul delapan pagi—hari selalu terasa seperti pukul delapan pagi di tempat ini, matahari tidak terbit di timur dan terbenam di barat, ia hanya merayap di kaki langit dan bergerak melingkari tempat ini dengan ketinggian pukul delapan pagi. Bus ke pulau hanya mengangkut penumpang satu kali sehari dan ia sudah berangkat sejam yang lalu. Saya sengaja menginap di kota tepi pantai ini, meninggalkan apartemen dua hari sebelum hari kepulangan, karena ia yang meminta kami bertemu terakhir kali di sini.
“Berjanjilah,” katanya, “jika sudah kembali ke negaramu, kamu tidak akan melupakan saya.” Saya mengangguk dan berjanji tidak akan pernah melupakannya.
Sebetulnya ada taksi untuk kembali ke pulau, tetapi ongkosnya akan mahal sekali. Selain itu, saya tidak begitu yakin bahwa saya akan betul-betul punya nyali untuk masuk ke rumahnya dan membawanya pergi. Adegan-adegan itu berkelebat terus-menerus di dalam benak, tetapi saya tidak yakin akan punya hati untuk mengambil seorang perempuan dari suaminya dengan gerak-gerik sedingin yang saya bayangkan, dan menyakiti perasaan lelaki yang sedang tidak enak badan.
Lagi pula saya tidak datang kemari untuk melakukan tindakan yang akan dipandang orang-orang sebagai perbuatan bejat; saya tidak tahu bagaimana cara menghindar dari apa yang dipikirkan oleh orang-orang lain tentang diri saya dan kebejatan tindakan saya, jika saya melakukannya dan mereka nanti membicarakan hal itu. Saya datang ke tempat ini karena tertarik pada makhluk-makhluk imajiner di dalam dongeng mereka dan ingin tahu kenapa ada satu makhluk yang sama persis dengan makhluk imajiner dari Tulang Bawang Barat, sebuah tempat di pelosok Lampung yang saya kunjungi beberapa waktu lalu, yaitu ayam jantan yang menjunjung tinggi kepatuhan.
Selain urusan makhluk-makhluk imajiner itu, setidaknya di tempat ini saya bisa terbebas sejenak dari gangguan seorang penyair yang bisa datang ke rumah saya sembarang waktu, seolah-olah saya adalah anak buah yang harus selalu menyambut kedatangannya kapan pun ia datang. Ia senang datang ke rumah saya dan menceritakan perempuan-perempuan yang ia pacari dan ia mungkin berpikir bahwa saya senang mendengarkan cerita-ceritanya. Atau jangan-jangan ia tidak berpikir sama sekali tentang apa yang saya senangi; ia hanya menyukai cerita-ceritanya sendiri.
Saya tahu ia ingin membuat orang lain kagum bahwa ia sangat mahir dalam menekuk hati perempuan, dan orang lain itu adalah saya. Saya tahu ia ingin dianggap penakluk, orang yang menarik, orang yang sanggup menjadikan setiap perempuan pacarnya jika ia menginginkan perempuan itu menjadi pacarnya. Dan saya benci pada kelemahan saya sendiri—watak alami yang melekat dalam diri saya sejak hari kelahiran—yang membuat saya tidak mampu menghindar dari kisah-kisah penaklukan yang ia sampaikan. Kadang-kadang saya malah menunjukkan reaksi seolah-olah saya benar-benar mengagumi kehebatannya dalam melakukan penaklukan demi penaklukan.
Sekarang saya bisa terbebas darinya untuk sementara waktu, tetapi rupanya tidak sepenuhnya bebas. Orang itu mengirimkan puisi jelek setiap hari melalui aplikasi WhatsApp; ia setiap hari mengarang puisi yang kalimat-kalimatnya seperti kalimat berita biasa saja dan saya harus membacanya setiap bangun tidur. Saya tunjukkan puisinya yang berjudul Tadarus Handphone kepada Kalwa ketika kami sedang minum kopi di kedai dekat supermarket desa, dan saya terjemahkan satu bait untuknya agar ia tahu sejelek apa puisi itu.
“Nah, kau sudah dengar sekarang,” kata saya. “Ia menulis puisi seperti membuat pengumuman untuk warga kelurahan.”
“Diblok saja sehingga kau tidak akan menerima apa pun lagi dari orang itu,” katanya.
Saya katakan biar saja tak usah diblok; kadang-kadang saya terhibur juga membaca puisi-puisi seperti itu. Ia bingung kenapa saya bersungut-sungut menerima puisi-puisi itu setiap hari jika puisi-puisi itu bisa membuat saya terhibur. Jadi apa yang kau inginkan sebetulnya, katanya. Tentu saja yang saya inginkan adalah saat-saat seperti ini, Kalwa: minum kopi bersamamu setiap hari, tetapi bagaimana cara menyampaikan hal ini kepadamu?
Angin bertiup kencang di pulau ini; sebagian pepohonan menguning dan mulai gundul ditampar setiap hari oleh angin yang bertiup kencang. Jarvi, pemilik kamar, membawa saya masuk dari pintu belakang dan kami naik ke lantai dua menuju kamar yang saya sewa di apartemen kecil itu; ia menjelaskan beberapa hal dan memberi tahu bahwa saya harus keluar jika ingin merokok. “Di teras belakang tempat kita masuk tadi,” katanya.
Teras itu gelap tanpa lampu ketika saya keluar merokok pada malam hari, tetapi pada malam ketiga ia memberi saya cahaya dari jendela dapurnya. Ia tidak menurunkan tirai jendela dan teras tempat saya merokok menjadi terang dan dari situ saya melihatnya bergerak gesit di dapur. Ia tidak melihat saya. Setiap kali saya melihat ke arahnya, ia selalu sedang memunggungi saya, memasak sesuatu. Entah sedang memasak apa ia pada pukul setengah dua belas malam.
Pada hari berikutnya ia masih memasak di dapur ketika saya turun dari kamar dan merokok di teras pada pukul satu dini hari dan tetap berdiri memunggungi saya.
Kami bertemu pertama kali pada minggu kedua; saya baru pulang dari jalan-jalan dan ia baru keluar dari apartemen dan ia tersenyum ketika kami berpapasan di tikungan dekat apartemen kecil tempat ia tinggal bersama suaminya dan saya menyewa kamar selama tiga bulan. Berhari-hari sejak itu saya memikirkan senyumnya. Saya sibuk memikirkan kenapa ia tersenyum dalam cara malu-malu seperti itu dan apakah kepada setiap orang ia memberikan senyum malu-malu atau senyum itu hanya ia berikan untuk saya.
Dan kenapa ia mau memberi cahaya tetapi selalu berdiri memunggungi saya? Jika ia tidak mau melihat saya, mungkin karena penampilan saya tidak enak dilihat atau mungkin ia akan merasa sakit jika melihat saya, kenapa ia selalu berada di dapur setiap kali saya merokok? Saya ingin menanyakan hal itu kepadanya jika kami berpapasan lagi. O, tidak. Itu jelas keinginan yang konyol.
Ia pasti akan merasa bahwa pertanyaan itu menyudutkannya dan ia akan marah karena saya sudah menyakiti perasaannya dengan mengajukan pertanyaan yang seperti itu. Mungkin ia akan memandang saya sebagai lelaki jahat dan tidak tahu diri; lelaki yang suka menanyakan urusan-urusan remeh yang bukan urusannya; lelaki yang suka mempermalukan perempuan, makhluk yang memendam prasangka buruk terhadap urusan sehari-hari yang biasa saja. Saya khawatir ia akan merasa diserang dan kemudian akan menyerang balik:
“Kenapa orang tidak boleh berada di dapurnya sendiri pada pukul berapa pun? Pikirmu aku di dapur karena menungguimu merokok?”
Saya bersyukur masih mampu mengekang mulut saya dan tidak menanyakan hal itu pada saat kami berpapasan lagi untuk kali kedua dan ia kembali tersenyum dalam cara yang sama. Saya juga tidak menanyakannya ketika kami bertemu di supermarket desa. Ada kedai kopi di dekat supermarket itu. Di situ kami mampir minum pada Selasa siang, dan pada hari Kamis, dan pada hari Jumat, dan pada hari-hari berikutnya pada saat kami berbelanja. Saya merasa seperti Clint Eastwood, wartawan foto dalam film The Bridge of Madison County, dan ia Meryl Streep, perempuan desa yang cantik dan sederhana, dengan suami seorang lelaki desa yang baik dan sibuk mengurusi ternak-ternak.
Di kedai itu, ketika kami sudah cukup dekat dan ia tidak lagi tersenyum malu-malu, Kalwa menceritakan bahwa dulu ia tinggal di kota pelabuhan dan pernah hendak lari meninggalkan rumah, mengikuti pacarnya dan menjalani kehidupan yang sama sekali baru bersama pacarnya di Bolivia, sebuah negeri yang jauh dari negerinya, di sana pacarnya memelihara iguana dan lelaki itu pernah terkilir kakinya saat melompat dari parit. Ayahnya marah saat mengetahui ia berpacaran dengan lelaki itu. “Aku tahu semua pelaut seperti itu,” kata ayahnya.
Ayahnya membenci pelaut yang memacari Kalwa dan mereka bertengkar ribut pada suatu pagi hari, dan sejak itu keduanya berpacaran sembunyi-sembunyi. Ia memutuskan ikut berlayar ketika tiba waktunya bagi lelaki itu untuk berlayar pulang ke negerinya.
“Kau tidak jadi mengikutinya?” tanya saya. Ia mematung di tempat duduknya.
“Aku menangis pada malam hari ketika menulis surat untuk ayahku dan untuk adik lelakiku,” katanya.
“Mereka memang orang-orang yang menjengkelkan, tetapi sebetulnya mereka tidak seburuk yang kupikirkan selama ini. Dan aku satu-satunya perempuan di rumah sejak ibuku meninggal.”
Pada hari keberangkatan, Kalwa diam-diam meninggalkan rumah dan menemui pacarnya di tempat lelaki itu menunggu dan mereka kemudian bergegas ke pelabuhan. Para penumpang masuk ke kapal melewati tangga jembatan. Ia mencengkeram jeruji pagar jembatan itu kuat-kuat ketika pacarnya menggandengnya di tengah orang-orang yang berjalan masuk ke kapal.
“Ayo!” kata pacarnya. Ia diam di tempatnya, seperti tugu batu, tangannya mencengkeram makin kuat.
“Ayo!” Ia masih tetap mencengkeram jeruji pagar ketika kapal berangkat, dan ia masih berdiri di situ sampai kapal hilang dari pandangan.
Ayahnya mungkin tahu hal itu, tetapi orang tua itu tidak pernah menyinggung-nyinggungnya sama sekali. Ia hanya mengajak anak-anaknya pindah dari rumah mereka di kota pelabuhan dan menetap di pulau ini.
“Kau masih mencintainya?” tanya saya.
Ia menunduk, saya melihat senyumnya sekilas saat ia menunduk: senyum malu-malu sebagaimana yang saya lihat ketika kami pertama kali berpapasan. Tiba-tiba saya merasa tidak nyaman dengan senyum malu-malunya. Jangan-jangan ia masih mencintai pelaut keparat itu dan sampai sekarang tetap menunggu kedatangannya.
“Kau masih mencintainya, kan?” saya mengejarnya.
Ia mengangkat wajah, tidak berkata apa pun, mata kami bertemu dan saya merasa kikuk bertatapan dengannya. Hampir bersamaan kami mengalihkan pandangan kami masing-masing ke arah jendela. Seharian langit berwarna kelabu. Daun-daun kuning beterbangan ditiup angin.
Pesan darinya masuk lagi ke ponsel saya: “Selamat jalan jika besok kau jadi pulang. Maafkan aku tidak bisa menemuimu.”
Perut saya terasa mual di kamar. Di cermin, saya melihat wajah saya terlalu menyedihkan—dan saya baru menyadari sekarang bahwa korban cinta bisa tampak hancur lebur seperti ini.
Pada malam yang berantakan, saya sedih memikirkan diri saya sendiri. Saya juga merasa kasihan kepada suaminya. Kalwa pasti masih menunggu-nunggu pelaut itu; saya berharap lelaki itu sudah mati karam di dasar lautan. ***

A.S. LAKSANA, cerpenis, sedang mengikuti program resisdensi kepenulisan selama tiga bulan di Finlandia

Menunggu Kelahiran

Cerpen Akhil Bashiroh (Suara Merdeka, 08 Oktober 2017)
Menunggu Kelahiran ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka
Menunggu Kelahiran ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Aku tak pernah melihat ibuku. Sampai sekarang aku pun tak ingin melihat dia. Andai kelahiranku bisa dihapus, tentu aku akan memilih tidak dilahirkan atau setidaknya lahir dari rahim ibu lain. Aku tak ingin terlahir. Itu saja.
***
Aku melihat ibuku begitu bahagia. Ia sering sekali mengelus-elus kepalaku dan terus bercerita tentang kehidupan yang indah-indah. Padahal, aku tahu yang sebenarnya ibuku tak pernah bahagia. Ibuku kesepian.
Kata orang, akulah satu-satunya kebahagiaannya. Saat besar aku akan menjadi kebanggaannya. Namun harapanku berbeda. Aku ingin lahir dari rahim ibu lain.
Bapakku pelaut. Hanya pulang tiga bulan sekali. Setelah dua hari pernikahan bapak dan ibuku, Bapak sudah pergi untuk bekerja. Baru tiga bulan kemudian pulang ke rumah dan menghamili ibuku. Setelah dua minggu kehamilan ibuku, Bapak sudah berangkat melaut lagi.
Aku hanya mampu mendengar suara bapakku tiga bulan sekali. Aku tahu itu suara bapakku.
Beberapa kali aku mendengar suara orang lain yang bersikap seperti bapakku. Ia mengelus-elus aku, menciumi ibuku. Namun aku tahu itu bukan suara bapakku.
Suara itu terus datang saat Bapak pergi melaut berbulan-bulan. Ibuku beberapa kali juga bercanda dan cekikikan bersama laki-laki yang kutahu bukan bapakku.
“Suamiku sudah berangkat. Pulang dua-tiga bulan lagi.”
“Tentu, aku sudah tahu. Kalau suamimu belum berangkat, mana aku berani datang ke kamarmu ini?”
“Bisa saja kamu, Sayang.”
Aku merasakan tangan ibuku bergerak mencubit pipi laki-laki itu.
Semalaman kami tidur bertiga di satu ranjang. Pagi laki-laki itu pulang dan seterusnya seperti itu.
Saat bapakku ada di rumah, suara laki-laki itu tak lagi kudengar. Sekarang berganti suara baapakku. Ya, aku paham betul suara bapakku dan suara laki-laki itu.
***
Laki-laki itu sama baik dengan bapakku. Setiap pagi dia memberikan susu hangat pada ibuku dan aku. Juga buah-buahan segar dan beberapa makanan yang diinginkan ibuku. Semua Ibu lahap.
Namun aku tak menginginkan semua makanan yang masuk ke dalam perut ibuku. Aku selalu membuang, lalu ibuku muntah. Aku tahu setelah ibuku muntah pasti tubuhnya lemas dan tidur seraya dielus-elus laki-laki itu atau ayahku. Aku lebih sering merasakan laki-laki itulah yang mengelus-elus ibuku ketimbang bapakku.
“Semoga anak kita nanti lahir selamat dan sehat ya.” Begitulah ucap laki-laki itu dan bapakku pada waktu berbeda.
Dalam perut ibuku, aku bertanya-tanya, “Aku anak siapa?”
Aku tak ingin lahir dengan dua bapak. Apa nanti kata teman-temanku?
Setiap kali ibuku muntah, ingin rasanya aku keluar bersama muntahan itu. Setiap kali ibuku buang air, aku juga ingin luruh bersama. Aku ingin keluar sekarang juga!
Umurku tujuh minggu di rahim ibuku. Aku tak ingin menunggu terlalu lama untuk lahir, kemudian mendapatkan kehidupan. Aku ingin keluar sekarang, Ibu!
Setiap kali aku menginginkan sesuatu yang dapat menyebabkan luruh, orang-orang pasti mencegah ibuku agar tidak memakannya.
“Jangan makan buah nanas saat hamil muda,” ucap ibu penjual buah di pasar.
“Jangan minum kopi atau yang berkafein saat hamil. Bahaya!” ucap penjual minuman di bar, tempat ibuku biasa menghabiskan malam saat kesepian.
“Tentu kuhindari semua yang membahayakan kandunganku,” balas ibuku.
Namun aku ingin keluar sekarang, Bu. Aku tak ingin lahir dengan dua ayah.
***
Sudah memasuki bulan kesembilan dan aku masih menempel erat di dinding rahim ibuku. Sia-sia semua usahaku untuk luruh sebelum terlahir. Tuhan sudah memberiku kepala, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh lain. Lengkap.
Semua orang bahagia dan siap menyambut kelahiranku, anak pertama dari pasangan pelaut dan tentara.
Aku tinggal menunggu kelahiranku. Semua sudah disiapkan; baju, popok, tempat tidur, ayunan. Semua baru. Namun sekarang aku tak ingin lahir. Aku ingin terus menempel di dinding rahim ibuku. Aku malu memiliki dua bapak, biarpun kakek dan nenekku dan kebanyakan orang hanya tahu aku hanya punya satu bapak.
Aku tahu semua. Aku menempel pada ibuku selama sembilan bulan. Aku makan semua yang dimakan ibuku. Aku minum semua yang diminum ibuku. Aku tahu semua yang dilakukan ibuku. Aku tahu apa yang orang lain tak tahu. Aku tahu semua. Ibuku selingkuh. (44)

– Akhil Bashiroh, alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, menulis puisi dan cerita

Pak Sakur Penjual Kasur

Cermin Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 08 Oktober 2017)
Pak Sakur Penjual Kasur ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Pak Sakur Penjual Kasur ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Pak Sakur menuntun sepeda merah kesayangan yang telah pudar warnanya. Di boncengan terdapat gulungan kasur kapuk yang diikat tali potongan ban dalam. Siang itu panas. Peluh meleleh di wajah Pak Sakur, tetapi ia tidak mengeluh. Pak Sakur terus menuntun sepeda. Ketika melihat sebuah pohon rindang, Pak Sakur berhenti dan beristirahat.
Pak Sakur membuka rantang berisi nasi dan dua potong tempe goreng. Ia akan makan siang. Pada saat itu lewatlah seorang lelaki tua gelandangan berpakaian lusuh. Lelaki tua itu memandang Pak Sakur yang bersiap untuk makan siang.
“Bapak lapar?” tanya Pak Sakur.
Gelandangan itu mengangguk.
“Mari sini. Kita makan bersama,” ajak Pak Sakur.
Gelandangan itu bergegas mendekat. Mereka pun makan bersama.
“Terima kasih. Semoga Tuhan melimpahkan rezeki untukmu, Pak,” kata si gelandangan usai makan.
“Amin. Sekarang Bapak mau ke mana?” sahut Pak Sakur.
Gelandangan itu menggelengkan kepala.
“Tidak tahu. Bapak beruntung punya pekerjaan. Sementara saya tidak punya pekerjaan. Saya tidak tahu hendak ke mana. Selamat tinggal, Pak,” kata si gelandangan lalu pergi.
Pak Sakur terharu memandang kepergian gelandangan itu. Benar kata si gelandangan, Pak Sakur beruntung masih punya pekerjaan, meski hanya sebagai penjual kasur kapuk keliling.
Terdengar suara azan dari kejauhan. Pak Sakur meninggalkan pohon rindang itu. Ia hendak mencari masjid atau musala untuk menunaikan salat zuhur. Pak Sakur menuntun sepedanya. Ia tak mampu untuk mengayuh sepeda karena sudah tua, tenaganya sudah berkurang.
***
Pak Sakur telah berjualan kasur kapuk keliling sejak muda. Dulu, ia mampu mengayuh sepeda bermuatan kasur kapuk, menjelajahi kampung-kampung, bahkan sampai ke kota.
Dulu, Pak Sakur bisa menjual tiga kasur kapuk tiap hari, bahkan pernah sampai lima kasur terjual dalam sehari. Bila satu kasur terjual, Pak Sakur bergegas mengayuh sepedanya pulang untuk mengambil kasur lagi, lalu pergi lagi mencari pembeli. Dulu, ah, dulu begitu mudah menjual kasur kapuk.
Sekarang zaman berubah. Dalam seminggu belum tentu terjual satu kasur kapuk. Orang-orang lebih memilih membeli spring bed.
“Sudah sepuluh hari aku berkeliling, semoga hari ini ada yang membeli kasurku,” Pak Sakur berharap.
Pak Sakur berhenti di sebuah musala untuk menunaikan salat zuhur. Usai salat, Pak Sakur kembali menuntun sepedanya. Di perjalanan, Pak Sakur melintas di depan toko Mebel Hasan. Banyak spring bed di toko itu.
Seorang lelaki paruh baya berwajah Arab muncul dari dalam toko mebel itu, memanggil Pak Sakur.
“Pak Sakur. Sini, Pak!”
“Ada apa, Pak Hasan?” sahut Pak Sakur.
“Saya beli kasur kapuk Pak Sakur,” kata Pak Hasan, pemilik toko mebel.
“Bukankah di toko Pak Hasan banyak spring bed? Mengapa membeli kasur kapuk saya?” tanya Pak Sakur.
“Ibu saya yang minta. Ibu saya sudah tua, tidak bisa tidur di  spring bed. Tubuhnya jadi pegal,” katanya. “Ibu saya minta dibelikan kasur kapuk,” jawab Pak Hasan.
“Oh, begitu? Silakan, Pak. Ini kasur dengan kapuk kualitas super,” sahut Pak Sakur. Ia bersyukur dagangannya laku.
Usai membeli kasur itu, Pak Hasan berkata, “Sebetulnya ada beberapa calon pembeli yang menanyakan kasur kapuk, tapi saya tak punya. Bagaimana kalau Pak Sakur berjualan kasur kapuk di sini saja?”
“Maksud Pak Hasan bagaimana?” tanya Pak Sakur.
“Saya akan menyediakan ruangan khusus untuk kasur kapuk di toko saya. Pak Sakur yang jaga. Pak Sakur tak perlu keliling kampung lagi. Bagaimana?”
“Apa saya harus menyewa ruangan di toko Pak Hasan?” tanya Pak Sakur.
“Tak perlu bayar, Pak. Gratis.”
“Serius, Pak?” tanya Pak Sakur.
“Serius. Mulai besok, ya, Pak?” sahut Pak Hasan.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Terima kasih,” Pak Sakur mencium tangan Pak Hasan berkali-kali.
Pak Sakur segera pulang. Ia mengayuh sepedanya dengan wajah berseri-seri. Pak Sakur sudah tak sabar ingin sampai rumah, untuk mengabarkan kabar gembira ini pada istri dan anak-anaknya. (58)

Lelaki Bertato Burung Hantu di Dadanya

Cerpen Dody Wardy Manalu (Media Indonesia, 08 Oktober 2017)
Lelaki Bertato Burung Hantu di Dadanya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Lelaki Bertato Burung Hantu di Dadanya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
INI pertama kali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki bertato burung hantu di dadanya. Bertemu di sudut cafe di suatu malam bergerimis. Ia menawarkan satu gelas bir ketika aku duduk di sebelahnya. Dua buah kancing kemeja putihnya dibiarkan terbuka. Saat itulah melihat tato burung hantu di dadanya.
“Mengapa memberiku satu gelas bir?” Ujarku sembari mengikat rambut jagungku. Ingin memamerkan leherku yang jenjang. Aku tertawa dalam hati. Bisa-bisanya menyukai dirinya pada pandangan pertama. Dari kerutan di wajah, lelaki itu lebih cocok jadi ayahku.
“Bagaimana kalau aku tidak menerima pemberianmu itu.”
“Duka di hatimu tidak akan sembuh. Bir ini akan membuatmu mabuk. Dukamu pasti ikut mabuk dan akan hilang ketika kamu buang air kecil besok pagi.”
Aku tidak bisa menahan tawa. Untung suara musik terdengar hingar-bingar sehingga orang-orang tidak tahu bila tawaku mirip suara bebek. Hati tidak serupa minuman bir, diteguk, lalu besok pagi berubah menjadi air kencing. Itu suatu kebohongan.
“Dari mana tahu kalau aku lagi berduka.”
“Mata tidak bisa berbohong, nona!”
Lelaki bertato memanggilku nona. Bukankah sebutan nona untuk perempuan masih perawan? Dua minggu lalu, kekasihku mengajak aku bercinta. Bisikan-bisikan mesra di daun telinga membuatku melambung. Kumis tipisnya bergesek pada leherku. Tubuhku bergetar penuh gairah. Aku pasrah ketika ia menunggangiku bagai kuda betina. Semua terasa indah. Kamar kontrakan yang begitu jorok dipenuhi pakaian bergelantungan dan puntung rokok bertebaran di lantai tampak seperti surga. Begitu aku bangun, menemukan secarik kertas diletakkan di atas tempat tidur: ‘Jangan mencari aku lagi. Aku sudah pergi jauh ke tempat yang tidak bisa kamu datangi. Baru tahu bila istriku sedang hamil setelah lima tahun kami menikah. Maafkan aku.’
Baru tahu kalau selama ini berpacaran dengan lelaki beristri. Aku meraung-raung dalam kamar. Mencakar-cakar tempat tidur hingga seprai robek. Pemilik kontrakan masuk dan melihatku masih telanjang. Matanya mendelik memancarkan amarah.
“Dasar perek! Begitu gampangnya memberikan tubuhmu pada lelaki. Kamu langsung bodoh setelah tahu ditipu. Segera pakai bajumu, perek!” Hardiknya sembari memunguti pakaian berserak di lantai, lalu melemparkannya ke wajahku.
Hal itu yang membawaku datang ke tempat ini. Berharap menemukan sesuatu yang bisa meleburkan kesedihan. Namun, malah bertemu dengan lelaki bertato burung hantu di dadanya. Ia bisa menebak isi hatiku dari pandangan mata. Akhirnya, menerima satu gelas bir sedari tadi ia sodorkan. Gelas itu langsung kosong dalam satu teguk.
“Tatapan matamu mengingatkan aku pada peristiwa dua puluh lima tahun lalu…”
Lelaki bertato menggantung kalimatnya. Dituang kembali bir pada gelas kosongnya, lalu mengisi gelasku tanpa bertanya lebih dulu.
“Kekasihku menipuku. Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Hanya menginginkan benihku. Aku ditinggalkan setelah ia hamil.”
“Apa sakit hatimu masih ada di sini?”
Kuhunjamkan jari telunjuk di dadanya. Tingkahku tidak lebih dari seorang perek. Ah, biarkan saja. Dua minggu lalu, aku sudah menjadi perek pada kekasihku sendiri. Telah menyukai lelaki bertato burung hantu ini sejak pertama bertemu.
“Jangan menyentuh burung hantu di dadaku. Ia bagai virus mudah menular.”
Lelaki bertato menjauhkan jariku dari dadanya. Usahaku untuk menggodanya telah gagal.
“Tato burung hantu ini gambaran kekasihku yang telah membawa benihku. Ia tidak lebih dari hantu.”
“Sudah berapa gelas bir habis kamu minum sejak kekasihmu pergi.”
“Sudah tidak terhitung.”
“Apa hatimu benar-benar sembuh?”
Lelaki bertato burung hantu gelengkan kepala.
“Kamu bilang bir akan membuat kita mabuk. Kesedihan akan ikut hilang ketika kita kencing besok pagi.”
“Aku tidak bisa mabuk meski minum bir sebanyak mungkin. Makanya kesedihanku tidak pernah hilang padahal sudah dua puluh lima tahun berlalu.”
Lelaki bertato meninggalkan cafe pukul dua puluh tiga lewat lima belas menit. Aku mengikuti dari belakang. Dua gelas bir telah berpindah dalam perut hingga tubuhku sempoyongan. Lelaki bertato burung hantu tidak sepenuhnya berbohong. Lewat minuman bir, aku bisa melupakan mantan kekasihku telah beristri itu.
“Jangan mengikutiku. Aku tidak punya tujuan.”
Lelaki bertato burung hantu berhenti tanpa menoleh ke belakang.
“Aku tidak mau pulang sebelum pusing di kepalaku hilang. Ibu akan menjambak rambutku bila tahu aku mabuk.”
Lelaki bertato berbalik badan. Ada ragu di raut wajahnya. Mungkin mengira aku perempuan penipu serupa mantan kekasihnya.
“Kita sama-sama korban penipuan dari kekasih. Alangkah lebih baik bila kita saling membantu. Bila bir tidak bisa buatmu mabuk. Mungkin aku bisa membuatmu mabuk. Kesedihanmu akan hilang.”
Lelaki bertato menghampiri, menggapai tanganku, lalu meletakkan ke bahunya. Ia memapahku yang sempoyongan. Di tengah jalan, ia bercerita tentang ibunya yang tiap malam menangis meminta seorang cucu. Pernah membawa bayi yang masih merah ke hadapan ibunya berharap tangisnya berhenti, mengatakan ia sudah menikah dengan seorang penjaga cafe, namun meninggal saat melahirkan anak pertama mereka.
“Bayi ini bukan darah dagingmu. Ibu bisa mencium aromanya.”
Ibunya meraung-raung sembari mencaci maki dirinya seorang penipu. Para tetangga berkumpul di halaman mencari tahu apa yang terjadi. Lelaki bertato burung hantu merasa dipermalukan. Ia mengumpulkan pakaian dalam tas dan pergi.
“Aku akan mencari calon isteri.”
“Jangan pernah kembali sebelum memberiku cucu.”
Satu tahun setelah kejadian itu, berhembus kabar ibunya meninggal. Ia menangis di sudut cafe sembari meneguk bir berpuluh-puluh gelas. Janji pada ibunya menghalangi langkah untuk kembali. Hanya bisa menitip sepuluh kuntum bunga melati pada seorang sahabat untuk ditaburkan di atas pusara ibunya.
Malam itu, di kamar yang sempit, kami sama-sama mabuk. Ia terus mencekoki aku dengan minuman bir yang disimpan di bawah tempat tidur. Ia sendiri mabuk berat melihat keindahan tubuhku. Pagi-pagi sekali, terbangun saat mendengar bisikan di telingaku.
“Kamu jangan menghilang seperti kekasihku dulu. Aku telah menitip benihku di rahimmu. Tolong menjaganya baik-baik.”
Sejak kejadian itu, kami jadi sering bertemu. Selalu memberiku hadiah. Baju, jam tangan, kaca mata, sepatu dan barang-barang lain. Semuanya barang murah dibeli di pasar loak. Antolin, demikian nama lelaki bertato burung hantu itu. Kami sudah menjadi sepasang kekasih. Sudah tiga minggu haidku terlambat datang.
***
Petang sudah berubah gelap saat aku tiba di rumah. Di ruang tamu, mendapati ibu sedang memeluk bingkai foto. Tak seorang pun tahu siapa sosok dalam bingkai itu. Ibu tidak pernah menunjukkannya dan aku juga tidak mau tahu. Hampir setiap petang ibu mengeluarkan bingkai itu dari dalam laci, lalu memeluknya sambil berderai air mata. Barangkali foto dalam bingkai adalah almarhum kakek. Konon katanya, ketika aku masih kecil, kakek selalu menyanyikan tembang Jawa saat aku menangis. Namun aku tidak ingat bila masa kecilku pernah bersama kakek. Bahkan hingga sekarang, aku tidak mengenal sosok kakek.
Bila Lebaran tiba, ibu tidak pernah membawaku ke rumah kakek. Makamnya pun aku tidak tahu di mana. Demikian juga kabar tentang ayah. Kata ibu, ayah meninggal sebelum aku lahir. Hilang di antara gulungan ombak ganas. Ibu tidak pernah mencoba mencari pengganti ayah. Padahal rumah terlalu luas kami tempati berdua. Kursi di ruang makan ada tiga buah. Satu buah kursi tidak pernah ada menduduki. Kursi itu buat ayah. Hingga sekarang, hanya mengenal sosok ibu.
“Ternyata ibu tidak sekuat yang ibu pikirkan. Ibu membutuhkan suami sebagai teman berbagi,” ujar ibu sambil memeluk bingkai foto.
“Mengapa ibu tidak menikah lagi.”
“Ibu masih mencintai ayahmu.”
“Tapi ia sudah lama meninggal ditelan ombak.”
Ibu menggeleng. Air mata seketika memenuhi wajahnya. Ia bangkit dari kursi menghampiriku.
“Mungkin ayahmu masih hidup. Ibu meninggalkannya ketika kamu masih dalam kandungan. Foto dalam bingkai ini adalah ayahmu,” isak ibu sembari menyodorkan bingkai itu padaku. Aku menatap wajah dalam foto. Ada sesak menyeruak dalam hati.
Besok, aku akan menjumpai Mpok Marija tukang urut langgananku. Janin dalam rahimku harus segera dikeluarkan. Aku tidak mau punya anak dari benih Antolin meski sangat mencintainya. Ini seperti mimpi. Hidupku lebih rumit dari kisah dongeng. Wajah yang berada di bingkai milik ibu sangat mirip dengan Antolin. Seketika ibu berubah menjadi seekor burung hantu di mataku.

Dody Wardy Manalu, Guru bidang studi ekonomi di SMA Negeri 1 Sosorgadong. Kecamatan Sosorgadong Tapanuli Tengah.