Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Keadaan selalu membaik saat kita bersabar. Lagipula kau tidak akan
terus-menerus bertemu dengan kesedihan di sepanjang jalanmu. Pilihan
untuk bahagia akan selalu ada. Meskipun awalnya tak tampak seperti
kebahagiaan. Itu semua tergantung padamu, apakah kau akan mensyukurinya
atau tidak. (hlm. 127)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Berlarilah sejauh yang kau mampu. Tapi masa lalu akan selalu mengejarmu. (hlm. 13)
Punya kekuatan tak berarti boleh menindas. (hlm. 69).
Ada banyak misteri dan keajaiban di langit yang belum terungkap oleh manusia. (hlm. 133)
Masalah membuat hidup kita lebih seru. (hlm. 142)
Tak ada orang yang mampu bertahan dan terus mencoba selain dengan ketulusan. (hlm. 154)
Pilihlah yang paling membuatmu nyaman. Dan tetaplah membuka
pikiranmu kalau sewaktu-waktu ada kesadaran baru yang datang. (hlm. 183)
Keadaan selalu membaik jika kita bersabar. (hlm. 184)
Orang-orang tertentu memang memiliki keistimewaan. Indera mereka lebih tajam dibanding manusia pada umumnya. (hlm. 194)
Terkadang kehidupan memberi kita keadaan yang tidak mengenakkan.
Apabila itu terjadi padamu, berpeganglah erat-erat pada mereka yang
benar-benar peduli dan menyayangimu. (hlm. 255)
Masa itu akan segera tiba. Masa ketika semua hal baik datang padamu. (hlm. 297)
Bahkan di kehidupan nyata, nggak ada seorangpun yang tahu akhir
cerita hidupnya. Yang terpenting adalah menikmati setiap waktu dan
kesenangan yang bisa kamu raih, sebelum akhir cerita itu datang. (hlm.
328)
Jangan membuat keputusan saat pikiranmu sedang dikuasai oleh amarah. (hlm. 339)
Ada kebahagiaan yang datang, ada juga yang pergi. (hlm. 451)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Anak jaman sekarang emang perlu diajari sopan santun. (hlm. 2)
Orang yang mabuk tak bisa menimbang-nimbang tindakannya dengan
benar, tindakan mereka hanya didorong oleh naluri. Sama sekali tak
memikirkan akibatnya. (hlm. 2)
Buku pelajaran aja udah bikin pusing. Tapi kamu malah baca buku beginian. (hlm. 16)
Masa lebih percaya sama omongan orang lain? (hlm. 19)
Apa karena kau terlalu sering berbuat kebaikan, sehingga kau
kesulitan untuk mengingat perbuatan baik yang pernah kau lakukan? (hlm.
44)
Apa kau pikir itu keren, meninggalkanku saat aku sedang bicara. (hlm. 59)
Kita semua membenci para penindas. Mentang-mentang punya kekuatan,
tak berarti mereka punya hak untuk menindas yang lemah. (hlm. 79)
Orang yang punya kekuatan cenderung tergoda menggunakan kekuatannya untuk menindas orang lain. (hlm. 79)
Diberi label seperti itu masih lebih baik. Karena kalau ada
labelnya, berarti kamu siap dipajang di etalase dan tinggal menunggu
orang yang tertarik sama kamu. Tapi kalau kamu nggak punya label,
berarti tempatmu adalah di gudang. Kamu disimpan sampai kadaluarsa. Atau
dikeluarkan karena sudah berjamur. (hlm. 123)
Kamu nggak suka bercanda ya? Sepertinya kamu juga nggak menyukai masalah? (hlm. 142)
Anak muda jaman sekarang, baru kena air hujan aja udah ngancem bakalan mati kaku. (hlm. 151)
Jangan pernah berpikir kalau hidupku bergantung padamu. (hlm. 261)
Jangan biarkan diri kalian terpesona oleh tipuannya. (hlm. 343)
Tak pandai berbasa-basi. Kau menjatuhkan harapan orang tanpa ragu-ragu. Kesannya jadi agak kejam. (hlm. 465)
Itu bukan pilihan, namanya. Itu ancaman. (hlm. 518)
Benarkah orang lain yang mengubahmu jadi jahat? Kenapa mencari
kambing hitam? Kau menimpakan keburukan pada orang lain demi melindungi
dirimu sendiri. Bukankah kejahatan sering berawal dari pemikiran seperti
itu? (hlm. 528)
Cerpen Abul Muamar (Republika, 08 Oktober 2017) Kekasih Baru ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Seantero Kampung Staman digegerkan oleh kabar tentang seorang pria
yang mengaku telah mengencani Angelina Jolie, aktris Hollywood yang baru
meluncurkan film baru garapannya, First They Killed My Father.
Namanya Pidil, 45 tahun, tinggal sebatang kara di sebuah rumah berukuran tiga kali tiga meter.
“Si Pidil?”
“Ya, si Pidil.”
“Lajang karam itu?”
“Ya.”
Meski belum sekalipun menyaksikan secara langsung, warga Kampung
Staman tetap mengamini kebenaran kabar itu. Semenjak kabar itu berembus,
orang-orang menjadi semakin sering mendapati Pidil dalam penampilan
necis, klimis. Wajahnya segar dan bergairah.
“Sekarang Pidil ganteng lho. Tidak nampak tua,” ucap seorang tetangga Pidil.
“Padahal selama ini dia kan kumal sekali,” sahut yang lain.
Orang yang pertama kali mengetahui kabar itu adalah Julpi, sahabat
Pidil. Julpi mendengarkan sendiri dari Pidil. Pria itu bercerita
kepadanya bahwa sudah sepekan Jolie menginap di rumahnya.
“Sekarang dia lagi di dalam.”
“Mana? Aku mau lihat.”
“Jangan! Dia tidak mau diganggu.”
“Kenapa?”
“Maklumlah. Artis. Kau tahulah sendiri. Artis Indonesia saja, yang
kadang-kadang tidak jelas keartisannya, tak bisa sembarangan ditemui.”
“Ya, aku mengerti.”
“Ya sudah, kau dengarkan saja suaranya dari luar.” Pidil mendekatkan
kuping Julpi ke pintu kamarnya. Dari dalam, suara Angelina Jolie
terdengar sayup-sayup. Julpi mendengarkan dengan takjub.
“Sudah, sudah, cukup! Jangan lama- lama!”
“Wah, itu benar suaranya Angelina Jolie!”
“Kubilang juga apa.”
“Hebat kau, Dil! Benar-benar hebat!”
***
Kabar bahwa Jolie telah dikencani Pidil kian meluas. Dari Kampung Staman, terdengar pula ke kampung-kampung sebelah.
“Bagus kalau Angelina Jolie ada di sini. Kita beruntung, bisa sering jumpa dia,”
seorang warga kampung sebelah sangat penasaran ingin bertemu Jolie.
“Ya, betul. Kita harus mendukung Pidil. Tidak boleh ada yang syirik. Lagipula sudah lama Pidil melajang,” timpal yang lain.
Sejak saat itu, untuk melindungi Jolie itu dari orang-orang dengki
terhadap Pidil, warga sepakat untuk menjadi pengawalnya secara sukarela.
Mereka menamai diri sebagai Relawan Pendukung Pidil-Jolie. Mereka terus
berjaga-jaga di sekitar rumah Pidil. Mereka membagi giliran ke dalam
tiga waktu jaga; pagi-siang, siang-malam, malam-pagi. Selain itu, mereka
juga diwajibkan menjaga agar kabar percintaan Pidil-Jolie tidak semakin
meluas.
Seraya menjalankan tugasnya, warga terus dilanda penasaran, seperti
apa Angelina Jolie bergandengan dengan Pidil. Bukan ingin tahu apakah
mereka cocok atau tidak, melainkan bagaimana kondisi Jolie sekarang;
apakah dia baik-baik saja, apakah dia sehat dan waras sehingga apakah
dia tak salah memilih lelaki seperti Pidil? Seperti diketahui, sejak
mengajukan gugatan cerai dari Brad Pitt, Jolie begitu menderita; ia
berupaya keras untuk menguatkan dirinya sambil mengurus enam anaknya
seorang diri.
Namun, alih-alih melindungi, ulah para anggota Relawan Pendukung
Pidil-Jolie itu justru membuat hubungan pujaan mereka terancam. Di
antaranya karena kebiasaan mereka bercerita satu sama lain di warung
atau di kedai sampah, yang akibatnya didengar oleh orang lain yang?
padahalsebelumnya sama sekali belum tahu.
Tadi malam Pidil seperti bertengkar dengan Jolie. Jolie sepertinya
keberatan tinggal di rumah itu terus. Mungkin karena terlalu kecil.
“Wajar. Perempuan seperti Jolie mana tahan tinggal di rumah seperti itu.”
“Ya, kasihan si Jolie. Cerai dari Brad Pitt, eh, malah dapat laki-laki seperti Pidil.”
Di sisi lain, gosip-gosip itu semakin meyakinkan warga bahwa Pidil
memang telah benar-benar menjadi kekasih baru Angelina Jolie. Yang
tadinya ada di antara mereka yang masih setengah percaya, kini menjadi
percaya sepenuhnya. Yang awalnya sudah percaya, menjadi semakin percaya.
Bagaimanapun, kabar hubungan Pidil-Jolie terus meluas. Pidil menjadi
semakin disegani. Jika selama ini ia dianggap sebagai laki-laki yang tak
punya tujuan hidup, anggapan itu sekarang lenyap.
Selama ini, Pidil hampir-hampir tak pernah keluar dari rumahnya,
kecuali hanya untuk menengok ayamnya, kolam ikannya, sepetak kebunnya,
dan beli rokok ke warung tetangga. Banyak warga menduga-duga, Pidil
adalah pria yang putus asa. Kepada setiap warga yang bertandang ke
rumahnya karena penasaran kenapa dia tak pernah pergi meninggalkan
rumahnya, Pidil menjawab, “Saya bisa berpergian ke mana saja saya suka,
kapan saja saya mau.”
Awalnya, warga tak terlalu menanggapinya. Sebagian warga
menganggapnya gila, dan sebagian lain menyebutnya tukang kibul. Tetapi,
lama-kelamaan, seiring waktu yang begitu lama Pidil tak pernah keluar
dari kamarnya, dan cerita-cerita bahwa ia bisa ke mana saja dari
kamarnya semakin banyak yang percaya, syak wasangka terhadapnya perlahan
berubah menjadi kekaguman dan ketakjuban.
Perlahan-lahan, warga mulai tertarik dan ingin belajar darinya
tentang cara berpergian ke mana saja tanpa beranjak dari rumah. Tetapi,
tak ada satu pun yang berhasil. Semua orang yang mencoba belajar seperti
Pidil, hanya mendapatkan hasil nihil.
“Anda kurang serius. Anda tidak sungguh-sungguh. Anda harus lebih
lama lagi berada di rumah. Anda harus akrab dulu dengan rumah. Anda baru
tiga hari saja, sudah tidak sabar mau ke Korea, Eropa, Amerika. Mana
bisa begitu! Sebentar-sebentar Anda keluar. Tidak bisa begitu! Anda
tahu, saya 20 tahun lebih mengendap di rumah. Saya bertirakat pagi,
siang, malam, subuh! Nah, jadi, Anda harus menyatu dulu dengan rumah
Anda. Di kamar lebih bagus. Jadi, Anda lebih khusyuk. Jiwa Anda harus
melebur dulu dengan kesendirian,” demikian suatu hari Pidil menasihati
muridnya.
Sang murid yang mendengarkan kata-kata Pidil itu terdiam, takjub, dan
percaya tanpa membantah. “Anda tidak akan pernah bisa pergi ke tempat
yang tidak bisa Anda bayangkan.
Ingat itu! Untuk itu, Anda harus banyak tahu,” nasihat Pidil lagi di
lain waktu, ketika muridnya datang lagi karena masih saja gagal.
Semua orang yang pernah mencoba berguru menyerah, dan akhirnya cuma
bisa taklid terhadap Pidil seorang. Konon, menurut cerita orang-orang
yang mendengar dari Pidil, dengan kemampuannya berpergian ke mana saja
hanya dari rumah, Pidil mengklaim pernah ke puncak Himalaya dan sama
sekali tidak mengalami hipotermia. Ia juga mengaku pernah mengarungi
Samudra Atlantik dengan berenang tanpa pertolongan siapa pun dan bantuan
alat apa pun; hiu-hiu buas yang mencoba memakannya dibunuhnya dengan
sekali tinju atau sepakan.
Konon pula, selain bisa berpergian ke mana saja dan kapan saja ia
suka, Pidil juga dipercaya bisa pergi dengan siapa saja ia mau. Ke
Menara Eiffel, ia pergi ditemani oleh Marion Cottilard. Ke Venesia, ia
ditemani oleh Monica Bellucci. Ke Bali, ia ditemani oleh Saras Dewi .
Lalu, kini, kabar bahwa ia telah merenggut hati Angelina Jolie pun
diterima sebagai sesuatu yang tak perlu ditentang lagi kebenarannya.
***
Kekaguman tak rasional yang berlarut-larut itu mendorong rasa
penasaran warga pada puncaknya. Apalagi semenjak belakangan Pidil
dikabarkan telah menikahi Angelina Jolie, warga sudah semakin penasaran,
tetapi tak juga sekalipun melihat sosok Jolie, entah itu di rumah Pidil
atau melintas di kampung mereka.
Maka, pada suatu malam, atas komando Julpi, satu-satunya sahabat
Pidil yang sejak lama menjadi kepercayaannya, warga menantang Pidil
untuk membuktikan seluruh kemampuan yang ia ceritakan selama ini. Pidil,
karena tak dapat lagi mengelak, memenuhi juga undangan itu. Ia
disiapkan tempat duduk di tengah-tengah himpunan warga.
“Sekarang, tolong jelaskan, Saudara Pidil, kami sudah sangat lama
penasaran dengan ilmu yang Anda miliki,” ucap salah seorang warga yang
pernah belajar dengan Pidil.
“Pidil tersenyum, namun tak membuka mulut.”
“Tolong buktikan bagaimana Anda bisa berpergian ke mana saja, dengan siapa saja,” teriak yang lain.
Pidil masih tersenyum saja, seakan menertawakan orang yang mengajukan pertanyaan itu.
“Buktikan juga kalau Anda benar telah memperistri Angelina Jolie. Buktikan ke kami, mana si Angelina Jolie itu!”
Warga yang selama ini kasihan terhadap Pidil mulai terusik. Juga
mereka yang tergabung sebagai Relawan Pendukung Pidil-Jolie. Mereka
semua yang tadinya duduk, sekarang berdiri, geregetan menanti jawaban
dari Pidil. Pidil, karena terdesak, akhirnya membuka mulutnya.
“Semua yang saya sampaikan selama ini memang benar adanya. Saya tidak
berbohong sama sekali. Semuanya benar. Tidak ada satu pun yang tidak
benar.”
Pidil memberi jeda, warga menyimak dengan saksama. Lalu ia meneruskan.
“Tetapi perlu dicatat, saya tidak menggunakan kekuatan magis apa pun;
tidak bantuan jin, tidak pula bantuan arwah siapa pun. Tidak juga pintu
ajaib punya Doraemon.”
Warga masih menyimak. Pidil melanjutkan lagi.
“Bahwa saya bisa pergi ke mana saja kapan saja, itu benar. Bahwa saya
bisa kencan dengan siapa saja, itu juga benar. Dan bahwa saya telah
menikahi Angelina Jolie dan sekarang hidup bersamanya, juga benar.”
“Mana buktinya!” sela warga, serempak.
Keributan meninggi. Suara-suara geram timpal-menimpal. “Tenang, Bapak-bapak.”
“Tenang, Ibu-ibu. Kita beri kesempatan pada saudara kita, Pidil, untuk menjawab,” Julpi menenangkan warga.
Pidil menebar senyum. Wajahnya setenang daun yang tak goyang ditiup
angin. Seluruh bayangannya tentang alam semesta, tentang ruang dan
waktu, berikut segala isinya, berputar-putar di kepalanya. Seluruh
pengetahuannya tentang laut, tentang gunung, tentang hutan, tentang
binatang-binatang, tentang tumbuhan, tentang perempuan-perempuan cantik
dan segala seluk beluknya, tentang laki-laki dengan segala kebodohannya,
tentang manusia yang sering baru bisa percaya sesuatu kalau sudah
mengalami langsung, tergambar dengan jelas dalam layar kaca imajiner
pikiran Pidil.
Saat keributan sedikit mereda, ia jatuh tergeletak. Di tengah
kerumunan warga, dalam keadaan tubuh terkulai, Pidil mengigau, “Saya
sekarang sedang di surga, bersama Angelina Jolie.”
ABUL MUAMAR sehari-hari
bekerja sebagai wartawan lepas sembari belajar Ilmu Filsafat. Saat ini
tinggal di Jalan Kaliurang KM. 6,5 Gang Sumatera Nomor E106, RT 06, RW
60, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY.
Cerpen A.S. Laksana (Jawa Pos, 08 Oktober 2017) Kalwa ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosIA mengirim pesan singkat berisi permintaan maaf
tidak bisa bertemu hari ini karena suaminya sedang tidak enak badan
sejak pagi dan tidak mungkin ia pergi meninggalkan rumah ketika suaminya
ada di rumah dan sedang tidak enak badan. Saya ingin membanting telepon
selular saya begitu membaca pesannya. Tentu saya bisa memahami
keadaannya: ia tidak mungkin meninggalkan rumah jika suaminya sedang
tidak enak badan, tetapi pada saat yang sama saya berpikir jangan-jangan
ia berbohong. Ia pasti berbohong demi menghindari pertemuan; saya yakin
tidak ada masalah apa pun dengan suaminya; ia hanya tidak ingin menemui
saya hari ini. “Saya telanjur memesan penginapan di tempat ini Kalwa,”
balas saya.
“Sekali lagi maafkan saya,” balasnya. “Saya benar-benar tidak mungkin meninggalkan rumah hari ini.”
Saya hanya membaca pesannya tetapi tidak membalasnya; pikiran saya
kacau dan dada sesak sekali rasanya. Ia bisa dengan enteng meminta maaf;
ia hanya perlu menggerakkan jari-jari telunjuk di layar teleponnya,
tetapi saya tidak bisa seperti itu. Saya tidak bisa secara enteng
memberinya maaf. Saya merasa sedang dipecundangi; saya merasa
dikhianati. Saya menghubunginya dan ia tidak mengangkat panggilan
telepon saya. Tetapi tak lama kemudian ia mengirim pesan: “Besok kau
jadi pulang?”
Tangan saya gemetar dan saya betul-betul ingin membanting telepon
saya. Saya ingin datang ke rumahnya saat itu juga dan menggedor pintunya
dan menggandengnya keluar. Jika suaminya ada di rumah dan betul-betul
sedang tidak enak badan, saya akan tunjukkan kepada lelaki itu bagaimana
cara saya membawa istrinya pergi; saya ingin lelaki itu melihat
bagaimana tangan saya meraih tangan istrinya, bagaimana saya membungkuk
dalam gerak anggun dan mencium tangan istrinya, dan bagaimana saya
menggandeng perempuan itu meninggalkan rumah.
Jalanan sunyi pada pukul empat sore yang terasa seperti pukul delapan
pagi—hari selalu terasa seperti pukul delapan pagi di tempat ini,
matahari tidak terbit di timur dan terbenam di barat, ia hanya merayap
di kaki langit dan bergerak melingkari tempat ini dengan ketinggian
pukul delapan pagi. Bus ke pulau hanya mengangkut penumpang satu kali
sehari dan ia sudah berangkat sejam yang lalu. Saya sengaja menginap di
kota tepi pantai ini, meninggalkan apartemen dua hari sebelum hari
kepulangan, karena ia yang meminta kami bertemu terakhir kali di sini.
“Berjanjilah,” katanya, “jika sudah kembali ke negaramu, kamu tidak
akan melupakan saya.” Saya mengangguk dan berjanji tidak akan pernah
melupakannya.
Sebetulnya ada taksi untuk kembali ke pulau, tetapi ongkosnya akan
mahal sekali. Selain itu, saya tidak begitu yakin bahwa saya akan
betul-betul punya nyali untuk masuk ke rumahnya dan membawanya pergi.
Adegan-adegan itu berkelebat terus-menerus di dalam benak, tetapi saya
tidak yakin akan punya hati untuk mengambil seorang perempuan dari
suaminya dengan gerak-gerik sedingin yang saya bayangkan, dan menyakiti
perasaan lelaki yang sedang tidak enak badan.
Lagi pula saya tidak datang kemari untuk melakukan tindakan yang akan
dipandang orang-orang sebagai perbuatan bejat; saya tidak tahu
bagaimana cara menghindar dari apa yang dipikirkan oleh orang-orang lain
tentang diri saya dan kebejatan tindakan saya, jika saya melakukannya
dan mereka nanti membicarakan hal itu. Saya datang ke tempat ini karena
tertarik pada makhluk-makhluk imajiner di dalam dongeng mereka dan ingin
tahu kenapa ada satu makhluk yang sama persis dengan makhluk imajiner
dari Tulang Bawang Barat, sebuah tempat di pelosok Lampung yang saya
kunjungi beberapa waktu lalu, yaitu ayam jantan yang menjunjung tinggi
kepatuhan.
Selain urusan makhluk-makhluk imajiner itu, setidaknya di tempat ini
saya bisa terbebas sejenak dari gangguan seorang penyair yang bisa
datang ke rumah saya sembarang waktu, seolah-olah saya adalah anak buah
yang harus selalu menyambut kedatangannya kapan pun ia datang. Ia senang
datang ke rumah saya dan menceritakan perempuan-perempuan yang ia
pacari dan ia mungkin berpikir bahwa saya senang mendengarkan
cerita-ceritanya. Atau jangan-jangan ia tidak berpikir sama sekali
tentang apa yang saya senangi; ia hanya menyukai cerita-ceritanya
sendiri.
Saya tahu ia ingin membuat orang lain kagum bahwa ia sangat mahir
dalam menekuk hati perempuan, dan orang lain itu adalah saya. Saya tahu
ia ingin dianggap penakluk, orang yang menarik, orang yang sanggup
menjadikan setiap perempuan pacarnya jika ia menginginkan perempuan itu
menjadi pacarnya. Dan saya benci pada kelemahan saya sendiri—watak alami
yang melekat dalam diri saya sejak hari kelahiran—yang membuat saya
tidak mampu menghindar dari kisah-kisah penaklukan yang ia sampaikan.
Kadang-kadang saya malah menunjukkan reaksi seolah-olah saya benar-benar
mengagumi kehebatannya dalam melakukan penaklukan demi penaklukan.
Sekarang saya bisa terbebas darinya untuk sementara waktu, tetapi
rupanya tidak sepenuhnya bebas. Orang itu mengirimkan puisi jelek setiap
hari melalui aplikasi WhatsApp; ia setiap hari mengarang puisi
yang kalimat-kalimatnya seperti kalimat berita biasa saja dan saya
harus membacanya setiap bangun tidur. Saya tunjukkan puisinya yang
berjudul Tadarus Handphone kepada Kalwa ketika kami sedang
minum kopi di kedai dekat supermarket desa, dan saya terjemahkan satu
bait untuknya agar ia tahu sejelek apa puisi itu.
“Nah, kau sudah dengar sekarang,” kata saya. “Ia menulis puisi seperti membuat pengumuman untuk warga kelurahan.”
“Diblok saja sehingga kau tidak akan menerima apa pun lagi dari orang itu,” katanya.
Saya katakan biar saja tak usah diblok; kadang-kadang saya terhibur
juga membaca puisi-puisi seperti itu. Ia bingung kenapa saya
bersungut-sungut menerima puisi-puisi itu setiap hari jika puisi-puisi
itu bisa membuat saya terhibur. Jadi apa yang kau inginkan sebetulnya,
katanya. Tentu saja yang saya inginkan adalah saat-saat seperti ini,
Kalwa: minum kopi bersamamu setiap hari, tetapi bagaimana cara
menyampaikan hal ini kepadamu?
Angin bertiup kencang di pulau ini; sebagian pepohonan menguning dan
mulai gundul ditampar setiap hari oleh angin yang bertiup kencang.
Jarvi, pemilik kamar, membawa saya masuk dari pintu belakang dan kami
naik ke lantai dua menuju kamar yang saya sewa di apartemen kecil itu;
ia menjelaskan beberapa hal dan memberi tahu bahwa saya harus keluar
jika ingin merokok. “Di teras belakang tempat kita masuk tadi,” katanya.
Teras itu gelap tanpa lampu ketika saya keluar merokok pada malam
hari, tetapi pada malam ketiga ia memberi saya cahaya dari jendela
dapurnya. Ia tidak menurunkan tirai jendela dan teras tempat saya
merokok menjadi terang dan dari situ saya melihatnya bergerak gesit di
dapur. Ia tidak melihat saya. Setiap kali saya melihat ke arahnya, ia
selalu sedang memunggungi saya, memasak sesuatu. Entah sedang memasak
apa ia pada pukul setengah dua belas malam.
Pada hari berikutnya ia masih memasak di dapur ketika saya turun dari
kamar dan merokok di teras pada pukul satu dini hari dan tetap berdiri
memunggungi saya.
Kami bertemu pertama kali pada minggu kedua; saya baru pulang dari
jalan-jalan dan ia baru keluar dari apartemen dan ia tersenyum ketika
kami berpapasan di tikungan dekat apartemen kecil tempat ia tinggal
bersama suaminya dan saya menyewa kamar selama tiga bulan. Berhari-hari
sejak itu saya memikirkan senyumnya. Saya sibuk memikirkan kenapa ia
tersenyum dalam cara malu-malu seperti itu dan apakah kepada setiap
orang ia memberikan senyum malu-malu atau senyum itu hanya ia berikan
untuk saya.
Dan kenapa ia mau memberi cahaya tetapi selalu berdiri memunggungi
saya? Jika ia tidak mau melihat saya, mungkin karena penampilan saya
tidak enak dilihat atau mungkin ia akan merasa sakit jika melihat saya,
kenapa ia selalu berada di dapur setiap kali saya merokok? Saya ingin
menanyakan hal itu kepadanya jika kami berpapasan lagi. O, tidak. Itu
jelas keinginan yang konyol.
Ia pasti akan merasa bahwa pertanyaan itu menyudutkannya dan ia akan
marah karena saya sudah menyakiti perasaannya dengan mengajukan
pertanyaan yang seperti itu. Mungkin ia akan memandang saya sebagai
lelaki jahat dan tidak tahu diri; lelaki yang suka menanyakan
urusan-urusan remeh yang bukan urusannya; lelaki yang suka mempermalukan
perempuan, makhluk yang memendam prasangka buruk terhadap urusan
sehari-hari yang biasa saja. Saya khawatir ia akan merasa diserang dan
kemudian akan menyerang balik:
“Kenapa orang tidak boleh berada di dapurnya sendiri pada pukul berapa pun? Pikirmu aku di dapur karena menungguimu merokok?”
Saya bersyukur masih mampu mengekang mulut saya dan tidak menanyakan
hal itu pada saat kami berpapasan lagi untuk kali kedua dan ia kembali
tersenyum dalam cara yang sama. Saya juga tidak menanyakannya ketika
kami bertemu di supermarket desa. Ada kedai kopi di dekat supermarket
itu. Di situ kami mampir minum pada Selasa siang, dan pada hari Kamis,
dan pada hari Jumat, dan pada hari-hari berikutnya pada saat kami
berbelanja. Saya merasa seperti Clint Eastwood, wartawan foto dalam film
The Bridge of Madison County, dan ia Meryl Streep, perempuan
desa yang cantik dan sederhana, dengan suami seorang lelaki desa yang
baik dan sibuk mengurusi ternak-ternak.
Di kedai itu, ketika kami sudah cukup dekat dan ia tidak lagi
tersenyum malu-malu, Kalwa menceritakan bahwa dulu ia tinggal di kota
pelabuhan dan pernah hendak lari meninggalkan rumah, mengikuti pacarnya
dan menjalani kehidupan yang sama sekali baru bersama pacarnya di
Bolivia, sebuah negeri yang jauh dari negerinya, di sana pacarnya
memelihara iguana dan lelaki itu pernah terkilir kakinya saat melompat
dari parit. Ayahnya marah saat mengetahui ia berpacaran dengan lelaki
itu. “Aku tahu semua pelaut seperti itu,” kata ayahnya.
Ayahnya membenci pelaut yang memacari Kalwa dan mereka bertengkar
ribut pada suatu pagi hari, dan sejak itu keduanya berpacaran
sembunyi-sembunyi. Ia memutuskan ikut berlayar ketika tiba waktunya bagi
lelaki itu untuk berlayar pulang ke negerinya.
“Kau tidak jadi mengikutinya?” tanya saya. Ia mematung di tempat duduknya.
“Aku menangis pada malam hari ketika menulis surat untuk ayahku dan untuk adik lelakiku,” katanya.
“Mereka memang orang-orang yang menjengkelkan, tetapi sebetulnya
mereka tidak seburuk yang kupikirkan selama ini. Dan aku satu-satunya
perempuan di rumah sejak ibuku meninggal.”
Pada hari keberangkatan, Kalwa diam-diam meninggalkan rumah dan
menemui pacarnya di tempat lelaki itu menunggu dan mereka kemudian
bergegas ke pelabuhan. Para penumpang masuk ke kapal melewati tangga
jembatan. Ia mencengkeram jeruji pagar jembatan itu kuat-kuat ketika
pacarnya menggandengnya di tengah orang-orang yang berjalan masuk ke
kapal.
“Ayo!” kata pacarnya. Ia diam di tempatnya, seperti tugu batu, tangannya mencengkeram makin kuat.
“Ayo!” Ia masih tetap mencengkeram jeruji pagar ketika kapal
berangkat, dan ia masih berdiri di situ sampai kapal hilang dari
pandangan.
Ayahnya mungkin tahu hal itu, tetapi orang tua itu tidak pernah
menyinggung-nyinggungnya sama sekali. Ia hanya mengajak anak-anaknya
pindah dari rumah mereka di kota pelabuhan dan menetap di pulau ini.
“Kau masih mencintainya?” tanya saya.
Ia menunduk, saya melihat senyumnya sekilas saat ia menunduk: senyum
malu-malu sebagaimana yang saya lihat ketika kami pertama kali
berpapasan. Tiba-tiba saya merasa tidak nyaman dengan senyum
malu-malunya. Jangan-jangan ia masih mencintai pelaut keparat itu dan
sampai sekarang tetap menunggu kedatangannya.
“Kau masih mencintainya, kan?” saya mengejarnya.
Ia mengangkat wajah, tidak berkata apa pun, mata kami bertemu dan
saya merasa kikuk bertatapan dengannya. Hampir bersamaan kami
mengalihkan pandangan kami masing-masing ke arah jendela. Seharian
langit berwarna kelabu. Daun-daun kuning beterbangan ditiup angin.
Pesan darinya masuk lagi ke ponsel saya: “Selamat jalan jika besok kau jadi pulang. Maafkan aku tidak bisa menemuimu.”
Perut saya terasa mual di kamar. Di cermin, saya melihat wajah saya
terlalu menyedihkan—dan saya baru menyadari sekarang bahwa korban cinta
bisa tampak hancur lebur seperti ini.
Pada malam yang berantakan, saya sedih memikirkan diri saya sendiri.
Saya juga merasa kasihan kepada suaminya. Kalwa pasti masih
menunggu-nunggu pelaut itu; saya berharap lelaki itu sudah mati karam di
dasar lautan. ***
A.S. LAKSANA, cerpenis, sedang mengikuti program resisdensi kepenulisan selama tiga bulan di Finlandia
Cerpen Akhil Bashiroh (Suara Merdeka, 08 Oktober 2017) Menunggu Kelahiran ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Aku tak pernah melihat ibuku. Sampai sekarang aku pun tak ingin
melihat dia. Andai kelahiranku bisa dihapus, tentu aku akan memilih
tidak dilahirkan atau setidaknya lahir dari rahim ibu lain. Aku tak
ingin terlahir. Itu saja.
***
Aku melihat ibuku begitu bahagia. Ia sering sekali mengelus-elus
kepalaku dan terus bercerita tentang kehidupan yang indah-indah.
Padahal, aku tahu yang sebenarnya ibuku tak pernah bahagia. Ibuku
kesepian.
Kata orang, akulah satu-satunya kebahagiaannya. Saat besar aku akan
menjadi kebanggaannya. Namun harapanku berbeda. Aku ingin lahir dari
rahim ibu lain.
Bapakku pelaut. Hanya pulang tiga bulan sekali. Setelah dua hari
pernikahan bapak dan ibuku, Bapak sudah pergi untuk bekerja. Baru tiga
bulan kemudian pulang ke rumah dan menghamili ibuku. Setelah dua minggu
kehamilan ibuku, Bapak sudah berangkat melaut lagi.
Aku hanya mampu mendengar suara bapakku tiga bulan sekali. Aku tahu itu suara bapakku.
Beberapa kali aku mendengar suara orang lain yang bersikap seperti
bapakku. Ia mengelus-elus aku, menciumi ibuku. Namun aku tahu itu bukan
suara bapakku.
Suara itu terus datang saat Bapak pergi melaut berbulan-bulan. Ibuku
beberapa kali juga bercanda dan cekikikan bersama laki-laki yang kutahu
bukan bapakku.
“Suamiku sudah berangkat. Pulang dua-tiga bulan lagi.”
“Tentu, aku sudah tahu. Kalau suamimu belum berangkat, mana aku berani datang ke kamarmu ini?”
“Bisa saja kamu, Sayang.”
Aku merasakan tangan ibuku bergerak mencubit pipi laki-laki itu.
Semalaman kami tidur bertiga di satu ranjang. Pagi laki-laki itu pulang dan seterusnya seperti itu.
Saat bapakku ada di rumah, suara laki-laki itu tak lagi kudengar.
Sekarang berganti suara baapakku. Ya, aku paham betul suara bapakku dan
suara laki-laki itu.
***
Laki-laki itu sama baik dengan bapakku. Setiap pagi dia memberikan
susu hangat pada ibuku dan aku. Juga buah-buahan segar dan beberapa
makanan yang diinginkan ibuku. Semua Ibu lahap.
Namun aku tak menginginkan semua makanan yang masuk ke dalam perut
ibuku. Aku selalu membuang, lalu ibuku muntah. Aku tahu setelah ibuku
muntah pasti tubuhnya lemas dan tidur seraya dielus-elus laki-laki itu
atau ayahku. Aku lebih sering merasakan laki-laki itulah yang
mengelus-elus ibuku ketimbang bapakku.
“Semoga anak kita nanti lahir selamat dan sehat ya.” Begitulah ucap laki-laki itu dan bapakku pada waktu berbeda.
Dalam perut ibuku, aku bertanya-tanya, “Aku anak siapa?”
Aku tak ingin lahir dengan dua bapak. Apa nanti kata teman-temanku?
Setiap kali ibuku muntah, ingin rasanya aku keluar bersama muntahan
itu. Setiap kali ibuku buang air, aku juga ingin luruh bersama. Aku
ingin keluar sekarang juga!
Umurku tujuh minggu di rahim ibuku. Aku tak ingin menunggu terlalu
lama untuk lahir, kemudian mendapatkan kehidupan. Aku ingin keluar
sekarang, Ibu!
Setiap kali aku menginginkan sesuatu yang dapat menyebabkan luruh, orang-orang pasti mencegah ibuku agar tidak memakannya.
“Jangan makan buah nanas saat hamil muda,” ucap ibu penjual buah di pasar.
“Jangan minum kopi atau yang berkafein saat hamil. Bahaya!” ucap
penjual minuman di bar, tempat ibuku biasa menghabiskan malam saat
kesepian.
“Tentu kuhindari semua yang membahayakan kandunganku,” balas ibuku.
Namun aku ingin keluar sekarang, Bu. Aku tak ingin lahir dengan dua ayah.
***
Sudah memasuki bulan kesembilan dan aku masih menempel erat di
dinding rahim ibuku. Sia-sia semua usahaku untuk luruh sebelum terlahir.
Tuhan sudah memberiku kepala, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh
lain. Lengkap.
Semua orang bahagia dan siap menyambut kelahiranku, anak pertama dari pasangan pelaut dan tentara.
Aku tinggal menunggu kelahiranku. Semua sudah disiapkan; baju, popok,
tempat tidur, ayunan. Semua baru. Namun sekarang aku tak ingin lahir.
Aku ingin terus menempel di dinding rahim ibuku. Aku malu memiliki dua
bapak, biarpun kakek dan nenekku dan kebanyakan orang hanya tahu aku
hanya punya satu bapak.
Aku tahu semua. Aku menempel pada ibuku selama sembilan bulan. Aku
makan semua yang dimakan ibuku. Aku minum semua yang diminum ibuku. Aku
tahu semua yang dilakukan ibuku. Aku tahu apa yang orang lain tak tahu.
Aku tahu semua. Ibuku selingkuh. (44)
– Akhil Bashiroh, alumnus Jurusan Bahasa
dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang,
menulis puisi dan cerita
Cermin Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 08 Oktober 2017) Pak Sakur Penjual Kasur ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Pak Sakur menuntun sepeda merah kesayangan yang telah pudar warnanya.
Di boncengan terdapat gulungan kasur kapuk yang diikat tali potongan
ban dalam. Siang itu panas. Peluh meleleh di wajah Pak Sakur, tetapi ia
tidak mengeluh. Pak Sakur terus menuntun sepeda. Ketika melihat sebuah
pohon rindang, Pak Sakur berhenti dan beristirahat.
Pak Sakur membuka rantang berisi nasi dan dua potong tempe goreng. Ia
akan makan siang. Pada saat itu lewatlah seorang lelaki tua gelandangan
berpakaian lusuh. Lelaki tua itu memandang Pak Sakur yang bersiap untuk
makan siang.
“Bapak lapar?” tanya Pak Sakur.
Gelandangan itu mengangguk.
“Mari sini. Kita makan bersama,” ajak Pak Sakur.
Gelandangan itu bergegas mendekat. Mereka pun makan bersama.
“Terima kasih. Semoga Tuhan melimpahkan rezeki untukmu, Pak,” kata si gelandangan usai makan.
“Amin. Sekarang Bapak mau ke mana?” sahut Pak Sakur.
Gelandangan itu menggelengkan kepala.
“Tidak tahu. Bapak beruntung punya pekerjaan. Sementara saya tidak
punya pekerjaan. Saya tidak tahu hendak ke mana. Selamat tinggal, Pak,”
kata si gelandangan lalu pergi.
Pak Sakur terharu memandang kepergian gelandangan itu. Benar kata si
gelandangan, Pak Sakur beruntung masih punya pekerjaan, meski hanya
sebagai penjual kasur kapuk keliling.
Terdengar suara azan dari kejauhan. Pak Sakur meninggalkan pohon
rindang itu. Ia hendak mencari masjid atau musala untuk menunaikan salat
zuhur. Pak Sakur menuntun sepedanya. Ia tak mampu untuk mengayuh sepeda
karena sudah tua, tenaganya sudah berkurang.
***
Pak Sakur telah berjualan kasur kapuk keliling sejak muda. Dulu, ia
mampu mengayuh sepeda bermuatan kasur kapuk, menjelajahi
kampung-kampung, bahkan sampai ke kota.
Dulu, Pak Sakur bisa menjual tiga kasur kapuk tiap hari, bahkan
pernah sampai lima kasur terjual dalam sehari. Bila satu kasur terjual,
Pak Sakur bergegas mengayuh sepedanya pulang untuk mengambil kasur lagi,
lalu pergi lagi mencari pembeli. Dulu, ah, dulu begitu mudah menjual
kasur kapuk.
Sekarang zaman berubah. Dalam seminggu belum tentu terjual satu kasur kapuk. Orang-orang lebih memilih membeli spring bed.
“Sudah sepuluh hari aku berkeliling, semoga hari ini ada yang membeli kasurku,” Pak Sakur berharap.
Pak Sakur berhenti di sebuah musala untuk menunaikan salat zuhur.
Usai salat, Pak Sakur kembali menuntun sepedanya. Di perjalanan, Pak
Sakur melintas di depan toko Mebel Hasan. Banyak spring bed di toko itu.
Seorang lelaki paruh baya berwajah Arab muncul dari dalam toko mebel itu, memanggil Pak Sakur.
“Pak Sakur. Sini, Pak!”
“Ada apa, Pak Hasan?” sahut Pak Sakur.
“Saya beli kasur kapuk Pak Sakur,” kata Pak Hasan, pemilik toko mebel.
“Bukankah di toko Pak Hasan banyak spring bed? Mengapa membeli kasur kapuk saya?” tanya Pak Sakur.
“Ibu saya yang minta. Ibu saya sudah tua, tidak bisa tidur di spring bed. Tubuhnya jadi pegal,” katanya. “Ibu saya minta dibelikan kasur kapuk,” jawab Pak Hasan.
“Oh, begitu? Silakan, Pak. Ini kasur dengan kapuk kualitas super,” sahut Pak Sakur. Ia bersyukur dagangannya laku.
Usai membeli kasur itu, Pak Hasan berkata, “Sebetulnya ada beberapa
calon pembeli yang menanyakan kasur kapuk, tapi saya tak punya.
Bagaimana kalau Pak Sakur berjualan kasur kapuk di sini saja?”
“Maksud Pak Hasan bagaimana?” tanya Pak Sakur.
“Saya akan menyediakan ruangan khusus untuk kasur kapuk di toko saya.
Pak Sakur yang jaga. Pak Sakur tak perlu keliling kampung lagi.
Bagaimana?”
“Apa saya harus menyewa ruangan di toko Pak Hasan?” tanya Pak Sakur.
“Tak perlu bayar, Pak. Gratis.”
“Serius, Pak?” tanya Pak Sakur.
“Serius. Mulai besok, ya, Pak?” sahut Pak Hasan.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Terima kasih,” Pak Sakur mencium tangan Pak Hasan berkali-kali.
Pak Sakur segera pulang. Ia mengayuh sepedanya dengan wajah
berseri-seri. Pak Sakur sudah tak sabar ingin sampai rumah, untuk
mengabarkan kabar gembira ini pada istri dan anak-anaknya. (58)
Cerpen Dody Wardy Manalu (Media Indonesia, 08 Oktober 2017) Lelaki Bertato Burung Hantu di Dadanya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
INI pertama kali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki bertato burung hantu di dadanya. Bertemu di sudut cafe di
suatu malam bergerimis. Ia menawarkan satu gelas bir ketika aku duduk
di sebelahnya. Dua buah kancing kemeja putihnya dibiarkan terbuka. Saat
itulah melihat tato burung hantu di dadanya.
“Mengapa memberiku satu gelas bir?” Ujarku sembari mengikat rambut
jagungku. Ingin memamerkan leherku yang jenjang. Aku tertawa dalam hati.
Bisa-bisanya menyukai dirinya pada pandangan pertama. Dari kerutan di
wajah, lelaki itu lebih cocok jadi ayahku.
“Bagaimana kalau aku tidak menerima pemberianmu itu.”
“Duka di hatimu tidak akan sembuh. Bir ini akan membuatmu mabuk.
Dukamu pasti ikut mabuk dan akan hilang ketika kamu buang air kecil
besok pagi.”
Aku tidak bisa menahan tawa. Untung suara musik terdengar
hingar-bingar sehingga orang-orang tidak tahu bila tawaku mirip suara
bebek. Hati tidak serupa minuman bir, diteguk, lalu besok pagi berubah
menjadi air kencing. Itu suatu kebohongan.
“Dari mana tahu kalau aku lagi berduka.”
“Mata tidak bisa berbohong, nona!”
Lelaki bertato memanggilku nona. Bukankah sebutan nona untuk
perempuan masih perawan? Dua minggu lalu, kekasihku mengajak aku
bercinta. Bisikan-bisikan mesra di daun telinga membuatku melambung.
Kumis tipisnya bergesek pada leherku. Tubuhku bergetar penuh gairah. Aku
pasrah ketika ia menunggangiku bagai kuda betina. Semua terasa indah.
Kamar kontrakan yang begitu jorok dipenuhi pakaian bergelantungan dan
puntung rokok bertebaran di lantai tampak seperti surga. Begitu aku
bangun, menemukan secarik kertas diletakkan di atas tempat tidur:
‘Jangan mencari aku lagi. Aku sudah pergi jauh ke tempat yang tidak bisa
kamu datangi. Baru tahu bila istriku sedang hamil setelah lima tahun
kami menikah. Maafkan aku.’
Baru tahu kalau selama ini berpacaran dengan lelaki beristri. Aku
meraung-raung dalam kamar. Mencakar-cakar tempat tidur hingga seprai
robek. Pemilik kontrakan masuk dan melihatku masih telanjang. Matanya
mendelik memancarkan amarah.
“Dasar perek! Begitu gampangnya memberikan tubuhmu pada lelaki. Kamu
langsung bodoh setelah tahu ditipu. Segera pakai bajumu, perek!”
Hardiknya sembari memunguti pakaian berserak di lantai, lalu
melemparkannya ke wajahku.
Hal itu yang membawaku datang ke tempat ini. Berharap menemukan
sesuatu yang bisa meleburkan kesedihan. Namun, malah bertemu dengan
lelaki bertato burung hantu di dadanya. Ia bisa menebak isi hatiku dari
pandangan mata. Akhirnya, menerima satu gelas bir sedari tadi ia
sodorkan. Gelas itu langsung kosong dalam satu teguk.
“Tatapan matamu mengingatkan aku pada peristiwa dua puluh lima tahun lalu…”
Lelaki bertato menggantung kalimatnya. Dituang kembali bir pada gelas kosongnya, lalu mengisi gelasku tanpa bertanya lebih dulu.
“Kekasihku menipuku. Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Hanya menginginkan benihku. Aku ditinggalkan setelah ia hamil.”
“Apa sakit hatimu masih ada di sini?”
Kuhunjamkan jari telunjuk di dadanya. Tingkahku tidak lebih dari
seorang perek. Ah, biarkan saja. Dua minggu lalu, aku sudah menjadi
perek pada kekasihku sendiri. Telah menyukai lelaki bertato burung hantu
ini sejak pertama bertemu.
“Jangan menyentuh burung hantu di dadaku. Ia bagai virus mudah menular.”
Lelaki bertato menjauhkan jariku dari dadanya. Usahaku untuk menggodanya telah gagal.
“Tato burung hantu ini gambaran kekasihku yang telah membawa benihku. Ia tidak lebih dari hantu.”
“Sudah berapa gelas bir habis kamu minum sejak kekasihmu pergi.”
“Sudah tidak terhitung.”
“Apa hatimu benar-benar sembuh?”
Lelaki bertato burung hantu gelengkan kepala.
“Kamu bilang bir akan membuat kita mabuk. Kesedihan akan ikut hilang ketika kita kencing besok pagi.”
“Aku tidak bisa mabuk meski minum bir sebanyak mungkin. Makanya
kesedihanku tidak pernah hilang padahal sudah dua puluh lima tahun
berlalu.”
Lelaki bertato meninggalkan cafe pukul dua puluh tiga lewat
lima belas menit. Aku mengikuti dari belakang. Dua gelas bir telah
berpindah dalam perut hingga tubuhku sempoyongan. Lelaki bertato burung
hantu tidak sepenuhnya berbohong. Lewat minuman bir, aku bisa melupakan
mantan kekasihku telah beristri itu.
“Jangan mengikutiku. Aku tidak punya tujuan.”
Lelaki bertato burung hantu berhenti tanpa menoleh ke belakang.
“Aku tidak mau pulang sebelum pusing di kepalaku hilang. Ibu akan menjambak rambutku bila tahu aku mabuk.”
Lelaki bertato berbalik badan. Ada ragu di raut wajahnya. Mungkin mengira aku perempuan penipu serupa mantan kekasihnya.
“Kita sama-sama korban penipuan dari kekasih. Alangkah lebih baik
bila kita saling membantu. Bila bir tidak bisa buatmu mabuk. Mungkin aku
bisa membuatmu mabuk. Kesedihanmu akan hilang.”
Lelaki bertato menghampiri, menggapai tanganku, lalu meletakkan ke
bahunya. Ia memapahku yang sempoyongan. Di tengah jalan, ia bercerita
tentang ibunya yang tiap malam menangis meminta seorang cucu. Pernah
membawa bayi yang masih merah ke hadapan ibunya berharap tangisnya
berhenti, mengatakan ia sudah menikah dengan seorang penjaga cafe, namun meninggal saat melahirkan anak pertama mereka.
“Bayi ini bukan darah dagingmu. Ibu bisa mencium aromanya.”
Ibunya meraung-raung sembari mencaci maki dirinya seorang penipu.
Para tetangga berkumpul di halaman mencari tahu apa yang terjadi. Lelaki
bertato burung hantu merasa dipermalukan. Ia mengumpulkan pakaian dalam
tas dan pergi.
“Aku akan mencari calon isteri.”
“Jangan pernah kembali sebelum memberiku cucu.”
Satu tahun setelah kejadian itu, berhembus kabar ibunya meninggal. Ia menangis di sudut cafe sembari
meneguk bir berpuluh-puluh gelas. Janji pada ibunya menghalangi langkah
untuk kembali. Hanya bisa menitip sepuluh kuntum bunga melati pada
seorang sahabat untuk ditaburkan di atas pusara ibunya.
Malam itu, di kamar yang sempit, kami sama-sama mabuk. Ia terus
mencekoki aku dengan minuman bir yang disimpan di bawah tempat tidur. Ia
sendiri mabuk berat melihat keindahan tubuhku. Pagi-pagi sekali,
terbangun saat mendengar bisikan di telingaku.
“Kamu jangan menghilang seperti kekasihku dulu. Aku telah menitip benihku di rahimmu. Tolong menjaganya baik-baik.”
Sejak kejadian itu, kami jadi sering bertemu. Selalu memberiku
hadiah. Baju, jam tangan, kaca mata, sepatu dan barang-barang lain.
Semuanya barang murah dibeli di pasar loak. Antolin, demikian nama
lelaki bertato burung hantu itu. Kami sudah menjadi sepasang kekasih.
Sudah tiga minggu haidku terlambat datang.
***
Petang sudah berubah gelap saat aku tiba di rumah. Di ruang tamu,
mendapati ibu sedang memeluk bingkai foto. Tak seorang pun tahu siapa
sosok dalam bingkai itu. Ibu tidak pernah menunjukkannya dan aku juga
tidak mau tahu. Hampir setiap petang ibu mengeluarkan bingkai itu dari
dalam laci, lalu memeluknya sambil berderai air mata. Barangkali foto
dalam bingkai adalah almarhum kakek. Konon katanya, ketika aku masih
kecil, kakek selalu menyanyikan tembang Jawa saat aku menangis. Namun
aku tidak ingat bila masa kecilku pernah bersama kakek. Bahkan hingga
sekarang, aku tidak mengenal sosok kakek.
Bila Lebaran tiba, ibu tidak pernah membawaku ke rumah kakek.
Makamnya pun aku tidak tahu di mana. Demikian juga kabar tentang ayah.
Kata ibu, ayah meninggal sebelum aku lahir. Hilang di antara gulungan
ombak ganas. Ibu tidak pernah mencoba mencari pengganti ayah. Padahal
rumah terlalu luas kami tempati berdua. Kursi di ruang makan ada tiga
buah. Satu buah kursi tidak pernah ada menduduki. Kursi itu buat ayah.
Hingga sekarang, hanya mengenal sosok ibu.
“Ternyata ibu tidak sekuat yang ibu pikirkan. Ibu membutuhkan suami
sebagai teman berbagi,” ujar ibu sambil memeluk bingkai foto.
“Mengapa ibu tidak menikah lagi.”
“Ibu masih mencintai ayahmu.”
“Tapi ia sudah lama meninggal ditelan ombak.”
Ibu menggeleng. Air mata seketika memenuhi wajahnya. Ia bangkit dari kursi menghampiriku.
“Mungkin ayahmu masih hidup. Ibu meninggalkannya ketika kamu masih
dalam kandungan. Foto dalam bingkai ini adalah ayahmu,” isak ibu sembari
menyodorkan bingkai itu padaku. Aku menatap wajah dalam foto. Ada sesak
menyeruak dalam hati.
Besok, aku akan menjumpai Mpok Marija tukang urut langgananku. Janin
dalam rahimku harus segera dikeluarkan. Aku tidak mau punya anak dari
benih Antolin meski sangat mencintainya. Ini seperti mimpi. Hidupku
lebih rumit dari kisah dongeng. Wajah yang berada di bingkai milik ibu
sangat mirip dengan Antolin. Seketika ibu berubah menjadi seekor burung
hantu di mataku.
Dody Wardy Manalu, Guru bidang studi ekonomi di SMA Negeri 1 Sosorgadong. Kecamatan Sosorgadong Tapanuli Tengah.