Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Eko Triono (Kedaulatan Rakyat, 06 Agustus 2017) Asam Garam ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan RakyatMASAKAN istriku selalu asin dan di warung kopi
orang-orang ngomong soal harga garam bakalan naik. Aku tidak mau ambil
pusing dengan obrolan mereka. Yang lebih kupikirkan istriku. Dia minta
aku nikah lagi.
Kopiku datang dan alasan istriku seperti dibuat-buat. Tapi, selama
ini dia adalah orang yang paling serius. Dia bahkan sudah memberiku
berbagai tawaran perempuan-perempuan yang layak dimadu.
Saat awal kenal dan dia tidak tahu seperti apa pohon kacang panjang,
maklum tinggal di kota besar, dan kukatakan pohonnya seperti pohon
ketapang, menggelantung kacang panjangnya, dan dia percaya. Waktu sudah
menikah dan ke desa, ibuku mengajak istriku memetik kacang panjang.
Bersikap sebagai menantu yang baik, bekerja sebelum diperintah, istriku
siaga membawa tangga. Buat apa? Tanya ibuku.
Istriku bilang bahwa kataku kacang panjang pohonnya tinggi seperti ketapang.
Ibuku, antara haru, lucu, dan tentu saja jengkel padaku yang bercanda
pada orang seserius istriku. Pohon kacang panjang itu merambat, lalu
dirambatkan di bambu-bambu setinggi tubuhmu, jadi tidak perlu anak
tangga, kita lihat saja, kata ibuku kemudian.
Meski begitu, istriku tetap saja serius menanggapi semua hal dariku
berikutnya. Terlalu banyak kalau harus kuceritakan padamu. Yang paling
terkini, waktu masakannya terasa selalu asin, bahkan asin sekali.
Solusinya sederhana, kataku, jangan pakai garam. Selama beberapa
hari, kami masak tanpa garam, eh, tetap saja asinnya bukan kepalang.
“Mungkin aku pengen nikah lagi, jadinya selalu asin seperti ini,” jawabku sekenanya.
“Memang begitu, ya?”
“Mitosnya orang Jawa begitu. Kalau waktu pacaran, katanya pengen
nikah, kalau sudah nikah tetap saja asin terus, artinya pengen nikah
lagi.”
“Kalau begitu, Mas harus menikah lagi,” ujarnya serius yang kukira sebenarnya hanya pura-pura.
Aku sudah melupakannya dengan mengemasi barang-barang yang besok pagi
harus kukirim pada pembeli. Banyak yang pesan lemari model bongkar
pasang. Lama-lama, kupikir, semua benda bisa dibongkar pasang dengan
mudah termasuk sandal dan sepatu. Istriku muncul dari dalam kamar. Dia
masih memakai mukena. “Aku sudah shalat istikharah, Mas, hatiku mantep,
Mas harus menikah lagi.”
Aku mulai curiga bahwa dia benar-benar serius. Kecil kemungkinan
orang seperti dia bercanda setelah shalat. Apalagi, bercanda dengan
membawa-bawa shalat. Kuhalau pikirannya. Kubilang, tadi aku hanya
bercanda. Apa kita yang berpendidikan percaya pada mitos?
Soal asin itu tidak masalah, aku bisa menambahkan gula yang banyak
setelah itu, meski rasanya menjadi tidak karuan, tidak apa-apa, atau
kita bisa beli sayur matang di warung. Jadi, di rumah cuma masak nasi.
“Tapi, Mas, apa kata tetangga kalau kita beli sayur matang di warung untuk selama-lamanya.”
“Kalau begitu cukup satu tahun atau setengah tahun saja belinya, sambil kita pikirkan jalan keluar yang lain, selain menikah.”
“Tidak bisa, Mas, di masa depan apa kata anak-anak kita. Lagi pula,
bagaimana kalau ada tamu, ada saudara, kemudian menginap, atau perlu
dijamu, kita perlu masak. Apa kata mereka kalau masakanku sangat asin.
Mas sendiri yang malu. Mas akan dituduh gagal mendapat istri terbaik.
Aku juga akan gagal menjadi istri terbaik. Mereka akan pulang dengan
gosip yang cepat menyebar. Sampai akhirnya, saudara yang lain dan
teman-teman Mas tahu bahwa aku ini sangat kurang sebagai perempuan.
Padahal, perempuan harus bisa masak sebaik-baiknya. Minimal tidak
terus-menerus keasinan. Omongan mereka akan lebih menyakitkan hatiku
dibanding Mas harus menikah lagi, hingga penyakit masak asinku hilang,
Mas.”
“Coba berpikirlah dengan tenang. Itu hanya rasa takutmu. Aku bisa
masak sendiri. Bisa juga masak untuk keluarga, saudara, atau teman yang
datang.”
“Tidak, Mas. Lebih baik aku berbagi suami daripada berbagi penderitaan sama orang-orang lain.”
“Jangan bicara begitu. Cobalah berdoa lagi.”
“Iya, Mas, serius. Belum lagi, ayah Mas, mertuaku sendiri yang
kucintai, punya penyakit darah tinggi. Ini maaf, lho, Mas, tapi harus
kusampaikan sebagai waspada, bagaimana kalau pas berkunjung, mencicipi
makananku, lalu darah tingginya naik dan berbahaya bagi jiwanya? Aku
tidak mau jadi menantu durhaka, Mas. Pikirkanlah baik-baik.”
Aku berpikir di warung kopi dan orang-orang ngomong harga garam.
Istri satu saja susah, apalagi istri dua. Gampangnya kalau pas tidur,
kalau sudah bangun perlu ini-itu.
Aku pulang jalan kaki, karena dekat tentunya, dan di gang gelap,
tiba-tiba ada orang dari belakang membekap mulutku sambil mengancam
minta uang. Ya Tuhan, asin sekali telapak tangannya. Kujurus dia dan
kubanting, lalu lari aku menuju rumah dalam perasaan sangat gembira.
Kuminta istriku mengulurkan tangannya. Kuciumi telapak tangannya. Tidak
terlalu asin. Kuminta dia menggerak-gerakkannya agar berkeringat.
Ya Tuhan, asin sekali rasanya. Ini sumbernya, dia berkeringat
berlebihan saat memasak, dan keringat itu adalah jenis keringat langka
yang diderita orang-orang tertentu.
“Jadi, solusinya sarung tangan atau menikah lagi?” tanyaku menggoda dan istriku jadi tersipu-sipu malu.
Cerpen Griven H Putera (Republika, 06 Agustus 2017) Ke Langit Bersama Azan Maghrib ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Wak Kadir, lelaki yang sudah berambut salju itu, masih mengayuh
becaknya di tengah terik matahari berdentang. Sudah tiga kali ia
bolak-balik dari terminal ke Kampung Purnama, dari terminal ke Perumahan
Dock, dari terminal ke Bukit Datuk, sejak tadi pagi. Handuk bacinnya
sudah semakin bau dan kuyup karena mengelap keringatnya yang mengalir
tiada henti. Semakin lama air yang tergenang di tubuhnya semakin banyak
saja yang tumpah. Seolah-olah dari tubuhnya menganga sumur yang tak
pernah kering.
Topi pandan Wak Kadir sudah mulai teleng. Walaupun menjalankan puasa
di hari keenam di bulan Syawal ini, ia masih semangat. Minimal,
bersemangat-semangatlah. Di usia kepala enam ini, selain semangat,
apalagi yang ia punya?
Tenaga? Tenaga seperti apa yang diharapkan dari usia yang sudah mulai dijilat senja?
Kini jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 15.37 petang Waktu
Indonesia Bagian Barat. Ia masih menunggu pelanggan. Wak Kadir masih
memerlukan uang untuk membawa istrinya berobat ke dokter nanti malam.
“Bisa ke Bukit Timah, Pak?” tawar seorang penumpang lelaki
berkacamata hitam, berumur kira-kira empat puluhan sambil membawa tas
besar dan kantong plastik hitam.
Kadir terdiam sejenak. Ke Bukit Timah? Pikirnya.
Dari terminal ke Bukit Timah bukannya dekat. Ia coba mengira-ngira
apakah tenaganya masih cukup dan sanggup mendayung becak sejauh itu.
Kadir menghela napas berat. Bukit Timah, Bukit Timah, ejanya dalam hati
sambil terus berpikir di tengah ragu.
“Bisa, Pak?”
Wak Kadir terkejut mendengar pertanyaan lelaki berkacamata hitam itu.
Pertanyaan dengan suara agak keras itu membuyarkan lamunannya.
Kelebat bayangan istrinya muncul. Perempuan yang amat dicintainya itu
terbaring di rumahnya. Batuk menahun membuat intan pilihannya itu
terkulai lemah tak berdaya, badannya tinggal kulit pembalut tulang.
Wak Kadir masih berpikir. Apa aku sanggup atau tidak ya? Tanyanya dalam hati tak sudah-sudah.
“Bagaimana, Pak? Bisa?” tanya lelaki dari kota besar itu tampak sangat tak sabar.
“Bisa,” kata Wak Kadir menjawab ragu.
Ya. Sudah tak mungkin menunggu lama untuk membawa perempuan setia
kepadanya itu ke dokter spesialis. Mak Leha harus segera dibawa berobat.
Penyakit paru-parunya kian parah. Dahaknya sudah mulai merah.
Nanti malam seusai maghrib harus pergi. Harus ke dokter paru. Pikir
Wak Kadir. Dirasanya uang dari sewa terakhir ini akan membuat pelengkap
hasil sewa yang ditabungnya sejak Ramadhan kemarin.
“Bagaimana, Pak?”
“Sila naik.”
“Sila naik, Pak,” kata Wak Kadir lagi, tersenyum ragu mempersilahkan si penumpang naik ke becaknya.
Dengan membaca bismillah, Wak Kadir mulai mendayung sepeda
kesayangannya. Pikirannya mulai disungkup bayangan Mak Leha di rumah.
Perempuan yang setia bersamanya sejak seperempat abad lalu itu belum
ditemuinya sejak ia berangkat tadi pagi. Nasi dan lauk ala kadarnya
memang sudah dimasakkannya. Obat dari puskesmas pun sudah diletakkannya
di samping tudung saji. Tapi apakah Leha bisa duduk dan makan sendiri
seperti semalam? Tadi perempuan itu belum jaga ketika ia berangkat dari
rumah. Ia tak sedap hati membangunkannya karena semalaman tak dapat
tidur nyenyak tersebab batuk. Setelah ia kecup kening perempuan itu
dengan lembut dan hati-hati, ia pun tancap kerja. Mendayung becaknya
keliling kota.
“Hati-hati, Pak. Hampir saja masuk parit. Bapak ini bagaimana sih?”
“Maaf, Pak. Maaf, Pak,” kata Wak Kadir pada penumpangnya yang sebal dengan rasa bersalah.
“Kalau begini, cukup sekali ini saja saya menumpang di becak Bapak ini,” kata sang penumpang dengan wajah amat masam.
“Maafkan saya, Pak,” kata Wak Kadir sekali lagi.
Wak Kadir terus mendayung becaknya sekuat dapat. Ia ingin segera tiba di kampung Bukit Timah. Kakinya mulai terasa memberat.
Wak Kadir mulai merasa tak kuat. Kakinya mulai lemah. Namun, dengan
semangat ia kayuh lagi becaknya sekuat dapat, semampu yang ia bisa.
Pikirannya kembali terbang. Ia teringat lagi pada Nurleha, bunga
desanya seperempat abad silam. Perempuan anak pamannya itu. Perempuan
ranum yang dipuja banyak lelaki muda dan tua. Perempuan yang menjadi
buah bibir dari berbilang kaum di kampungnya.
Ia terkenang senyum Leha saat mereka duduk bersanding. Sungguh manis
ulas bibir Leha saat itu. Tak puas-puasnya ia memandang roman muka Leha
pada malam pertama mereka usai duduk bersanding dulu. Bukan main wangi
aroma yang keluar dari tubuh perempuan pujaannya itu. Bau bunga tanjung
kala dihembus angin malam. Saat itu, ia ingin memeluk perempuan itu
sampai pagi, sampai petang, sampai malam, sampai esoknya lagi. Tak
keluar-keluar dari kamar. Tapi apa kata orang nanti? Kadir senyam-senyum
sendiri. Kebahagiaan itu terus berlanjut saat Leha mulai menjejak
bulan. Berlanjut sampai melahirkan. Akh, kebahagiaan yang sangat
dirindukannya. Menimang, mendodoi-dodoikan. Melambung-lambung anaknya
secara bergantian dengan istrinya. Menikmati suara tawa gamang dan suka
anak mungilnya.
Bayangan Leha pun berubah, kini wajah perempuan itu tampak jelas
rautnya seperti ketika dulu mereka kehilangan anak satu-satunya. Anak
perempuan mereka yang berumur lima tahun pergi untuk selamanya. Manis
raut wajah Nurleha yang dipuja lelaki berbilang kampung tiba-tiba
berubah hencut. Perempuan itu berduka. Betapa takkan luka? Betapa takkan
duka lara? Anak perempuan yang menyalin rupanya semasa kecil dahulu
dipanggil Tuhan secara tiba-tiba. Demam berdarah telah memisahkan
mereka. Hati ibu mana yang takkan pilu jika ditinggalkan buah hati ulam
sayang? Ketika anak semata wayang yang ditiman-timang siang dan malam
pulang takkan kembali lagi? Perempuan itu benar-benar bermuka limau
purut yang membusuk. Hari-harinya hanya bermandi duka dan lara.
Malam-malamnya hanya berselimut pedih dan perih.
Wak Kadir merasa amat bersalah pada Leha karena tak sanggup membawa
Naila Ramadhani, anak perempuan mereka, ke rumah sakit disebabkan
duitnya tak cukup untuk menebus obat dan menyewa kamar rumah sakit.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian Leha seolah mampu melupakan anak
perempuan mereka itu. Senyum Leha berkibar lagi. Wajah perempuan itu
seolah sinar matahari yang terbit seusai malam dihempas hujan.
Leha ternyata sudah sanggup mengobati luka hatinya. Hari-hari
berikutnya, perempuan itu selalu hangat padanya, selalu tersenyum
padanya walau hampir saban hari hanya makan nasi berlauk ikan asin,
sambal belacan, dan rebus pucuk ubi. Bahkan kadang-kadang hanya makan
sekali sehari. Kain di badan pun hanya berganti bila hari raya Idul
Fitri. Hati Wak Kadir benar-benar terobati karena ketabahan perempuan
itu. Hati Wak Kadir benar-benar bahagia mendapatkan amanah Tuhan yang
selalu membawa aroma bunga kepadanya.
Lehaaa, Leha. Oh Leha…
Pikiran Wak Kadir benar-benar melanglang buana. Kini ia merasa tangan
lembut Leha memijit tengkuknya, punggungnya, lengannya, betisnya,
sampai telapak kakinya bila ia ingin tidur. Pijatan kasih tulus Leha
membuat tubuh letihnya ringan lagi setelah mendayung becak seharian.
“Hati-hati, Pak!”
Kadir tak menyahut.
“Dasar orang tua sasau! Sudahlah lambat, mengkhayal pula.”
Wak Kadir diam. Kakinya terus mengayuh sepeda.
Penumpang becak Wak Kadir semakin tampak gelisah. Marah, kesal, dan
sesal membuncah di dadanya yang berbulu dan merah. Hari sudah agak
gelap, sementara jarak ke Bukit Timah masih jauh.
“Hentikan saya di sini, Pak!”
Wak Kadir benar-benar tak mendengar permintaan penumpangnya. Ia makin
tenggelam dalam khayalannya sendiri. Hanyut dalam lamunannya yang tak
bertepi. Ia tak mendengar omelan penumpangnya. Ia tak melihat gelagat
marah dan kesal penumpangnya. Ia terus mengayuh becaknya.
Kini Wak Kadir melihat tangan putih lampai gemulai Leha tiba-tiba
melambai padanya dari tengah laut. Wak Kadir makin terpana. Itu wajah
Leha sekitar seperempat abad lalu. Itu tangan lembut Leha yang molek
dulu. Itu Lehaku dulu. Lehaku yang ranum.
Lehaku yang… katanya seolah tak percaya.
Diusapnya matanya berkali-kali. Benar itu Leha. Itu Leha ketika mengandung Naila.
Kenapa Leha muda lagi? Kenapa Leha bisa berdiri di atas laut? Leha, Leha, Lehaaaaaa….
pekiknya.
Penumpang Wak Kadir melompat.
“Dasar sial! Dasar edan!” hamun- makinya tak berjeda.
Becak Wak Kadir terperosok ke parit. Penumpangnya marah dan memaki
hamun tak senonoh berjujai-jujai tak henti-henti. Ia tinggalkan Wak
Kadir yang disungkup becaknya di dalam parit. Sungguh ia tak menaruh iba
kasihan pada orang tua itu. Ia tak peduli nasib orang tua yang sebaya
dengan ayahnya itu. Ia ingin ada ojek atau becak lain yang segera
membawanya pulang ke Bukit Timah, ke rumah orang tuanya yang pensiunan
perusahaan minyak raksasa.
Para penduduk yang berada di sekitar tempat itu terjun ke parit.
Menaikkan dan menyelamatkan Wak Kadir dan becak kesayangannya ke badan
jalan.
Wak Kadir terkulai. Matanya terpejam. Di sudut keningnya meleleh air
merah kehitam-hitaman. Itu merupakan darah segar yang bercampur air
selokan. Anehnya, ada senyum di wajahnya yang beku. Wajah Wak Kadir
benar-benar teduh seteduh senja yang sedang berlabuh.
Masyarakat di tempat itu melarikan Wak Kadir ke rumah penduduk
terdekat sambil menunggu datangnya mobil tetangga mereka untuk
membawanya ke klinik terdekat. Wak Kadir masih diam dan pejam. Napasnya
mulai tampak sesak turun naik. Semakin lama napas Wak Kadir makin sesak.
Beberapa orang yang hadir coba memanggil dan mengguncang-guncang tubuh
Wak Kadir. Namun yang tampak dan terdengar hanya desah napasnya yang
semakin tak teratur.
Suara tabuh azan Maghrib pun berdentang nyaring. Muazin melansikkan
suara azannya ke langit dengan syahdu. Tepat ketika azan Maghrib
mengalun itu, napas Wak Kadir berhenti, denyut nadinya benar- benar
senyap. Sunyi.
Lelaki tua berambut salju keperakan itu pun pergi jauh. Terbang ke
alam baka. Ia pulang ke rumahnya yang abadi. Ia hijrah ke langit bersama
kumandang azan pilu yang menyayat senja di mushala, tak jauh dari becak
tua kesayangannya. Tanpa istri tercinta, tanpa sanak keluarga, tanpa
membawa apa-apa.
Catatan: Hencut: tidak manis Sasau: gila atau setengah gila Menjejak bulan: baru tahu tentang kehamilan. Lansik – melansikkan: melaungkan
Cerpen A Warits Rovi (Media Indonesia, 06 Agustus 2017) Burung-burung Ababil di Langit Kota ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
ARDI kembali menyingkap gorden, kaca jendela yang transparan
menampakkan lanskap langit malam dengan bulan sabit yang temaram
dikepung jutaan bintang, di atas rerimbun hitam pepucuk daun dan ujung
tower, di atas gedung-gedung pongah yang bertanduk penangkal petir.
Seperti malam-malam sebelumnya, Ardi mendekatkan wajahnya ke kaca
jendela sembari mendongak. Bola matanya lirik tajam ke atas, seperti
sedang mengamati sesuatu di bentang langit. Ia lebih dekat lagi ke
jendela, hingga keningnya menyentuh kaca. Beberapa saat kemudian, apa
yang ia tunggu benar-benar datang; sekawanan burung yang paruhnya
menjepit bara, terbang melesat-lesat di atas tiang listrik, kadang lebih
tinggi hingga di atas lantai teratas sebuah apartemen. Kadang menukik
dan terbang rendah di antara pohon-pohon di taman kota. Semua itu Ardi
lihat dari balik jendela kamarnya sejak tiga malam sebelumnya.
Ardi lekas menutup gorden, ia balikkan badan, bersandar gemetar ke
tembok, seraya meraba dadanya yang dipatuk detak jantung sangat kencang.
Ia ketakutan. Wajahnya pucat dan keringatnya memburai ke setiap lekuk
tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 23.00. beruntung keadaan tak begitu
sunyi, karena di kamar ibu Ardi yang bersisian dengan kamarnya, masih
terdengar hentak musik hard rock beserta denting gelas dan tawa-tawa
lepas. Udara bau alkohol, mungkin dari percik salinan botol bir ke
gelas-gelas yang baru saja Ardi dengar dari kamar sebelah. “Ibu masih
melayani tamunya,” gumam Ardi ditingkah suara detak jarum jam, dan
klakson kendaraan yang masih terdengar sesekali.
Tangan Ardi kembali menjimpit sudut gorden, ia bermaksud
menyingkapnya untuk melihat burung-burung ajaib itu sekali lagi. Tapi
sejenak ia terdiam, pikirannya bertarung antara takut dan penasaran.
Akhirnya ia lepas jimpitan gorden itu, berjalan setengah tertatih menuju
ranjang. Sambil duduk di tubir ranjang, ia teringat cerita guru
ngajinya, Kiai Maskur;
“Abrahah dan bala tentaranya yang mengendarai gajah adalah contoh di
antara kaum jahiliah. Mereka hendak menghancurkan ka’bah. Tapi Allah
mengutus burung ababil untuk menghancurkan mereka. Burung ababil itu
mengambil kerikil neraka Sijjil yang membara, lalu dilontarkan ke
pasukan Abrahah, hingga semuanya terkapar tewas dan luluh-lantak seperti
daun-daun yang dimakan ulat. Peristiwa itu diabadikan Allah dalam surat
al-Fiil,” tutur Kiai Maskur suatu saat—di petang lengang menuju isya,
ketika Ardi dan teman-temannya selesai mengaji. Cerita itu kini bagai
kecambah menemu hujan di kepala Ardi. Tumbuh, berputar-putar,
menari-nari, membentuk sebuah opini di sel otaknya.
“Aku yakin burung yang sering terbang malam-malam membawa bara api di
langit kota ini adalah burung ababil,” ucap Ardi pelan, bersamaan
dengan suara derit pintu kamar yang didorong dari luar, Luna, ibu Ardi
berdiri di pintu, rambutnya terurai keperakan disorot cahaya lampu,
bedak dan lipstiknya masih kental, seirama dengan baju dan celananya
yang begitu nicis seperti anak muda, dan seorang lelaki berjaket hitam
berdiri di belakangnya dengan lotot mata lurus ke dalam kamar.
“Mengapa kau belum tidur, Ardi?”
“Oh, belum ngantuk, Bu.”
“Ayo sekarang cepat tidur! Ibu pergi dulu.”
Lalu terdengar suara keras daun pintu yang ditutup. Beberapa saat
disusul suara motor dinyalakan, menjauh dari halaman, Ardi kembali ke
jendela, menyingkap gorden, ia melihat ibunya dibonceng lelaki itu di
jalan utama, menuju arah barat. Tanpa ia sadari, seketika mata Ardi
melihat kembali burung-burung pembawa bara api itu masih beterbangan di
langit kota. Ardi menutup gorden. Ia balik menuju ranjang dengan langkah
yang cepat. Rebah sambil memeluk bantal. Bocah seperti dirinya yang
semestinya harus tidur dalam peluk ibu, telah berjuang melawan kerasnya
hidup sendirian. Ia berandai, jika ayahnya ada, mungkin akan tidur
bersama ayahnya ketika ibunya tiada, apalagi di saat-saat rasa takut
datang seperti malam itu, hanya saja ia tidak tahu ayahnya siapa dan ke
mana, setiap ia menanyakan itu kepada ibunya, jawaban yang didapat hanya
bentakan kasar dan sepasang mata yang melotot murka.
Ardi memejam mata sambil berdoa agar burung itu tak melontarkan bara api ke kotanya.
***
Sepulang sekolah, Ardi duduk di teras rumahnya—sambil menunggu ibunya
bangun, memandang bentang jalan raya yang dipijak gedung-gedung
bertingkat dengan banjar papan reklame dijambak terik matahari. Udara
kota yang panas tetap tak mampu mengusik tidur ibunya yang masih
mendengkur di kamarnya.
Ardi alih mengamati keadaan rumah yang masih acak-acakan. Sampah dan
botol bekas berserakan, tumpukan pakaian sesak di bak karet, putung
rokok berserakan di lantai, padu dengan plastik bungkus snack yang
berhambur di mana-mana. Begitu yang ia temui setiap hari, tamu ibunya
selalu menyisakan sampah dan hal lain yang tak menyenangkan. Kadang Ardi
bertanya dalam hati “Kenapa ibunya selalu kedatangan tamu setiap malam?
Apa sebenarnya pekerjaan ibunya itu?” Tapi ia tak berani mengutarakan
tanya itu lagi, setelah bibirnya terluka lagi oleh hak sepatu yang
sengaja dipukulkan oleh ibunya beberapa waktu lalu, saat dirinya
bertanya tentang itu.
“Jika ibu tidak melayani tamu-tamu itu, kita tidak bisa makan,” tukas
ibunya terakhir kali setelah ia berhasil melukai bibir Ardi dengan
sepatunya. Matanya terbelalak penuh ancaman.
Sejak saat itu Ardi hanya bisa menangis, mengelus dada, pasrah pada
jalan hidupnya yang serba tak jelas itu. Setiap hari ia hanya bisa
berdialog dengan batinnya sendiri; bahwa ia seperti anak buangan, ia
tidak tahu asal-usulnya, yang ia ingat tiba-tiba tumbuh menjadi bocah di
tempat itu, di tempat yang selalu bau alkohol, yang selalu didatangi
laki-laki, yang selalu ramai dengan hentak musik hardrock dan denting
gelas, yang aturannya ketat dalam soal sekat tak boleh berkumpul antara
ibu dan anak, kecuali hanya pada saat makan, itu pun bila ada nasi.
Beruntung ibunya masih sedikit baik hati, Ardi disekolahkan dan diberi
kesempatan mengaji di musala Kiai Maskur. Di sanalah ia bisa meneguk air
sejuk kehidupan ketika ia berinteraksi dengan teman-temannya. Walaupun
tetap ada satu hal pahit yang tersisa; teman-teman Ardi tidak sudi bila
diajak bermain ke rumah itu karena alasan kotor, jijik, tempat pelacur.
Setelah ibunya bangun dan membuka pintu, wajah murung Ardi berubah
agak binar, sesungging senyum membuat baris giginya tampak begitu putih.
Ia tak sabar untuk bercerita tentang burung-burung pembawa bara api
kepada ibunya, ia berharap semoga ibunya mau mendengar cerita itu
baik-baik, tidak seperti teman-temannya di sekolah yang malah
menertawakan Ardi, karena ceritanya dianggap lelucon. Ia berharap ibunya
akan merespon positif cerita Ardi, sehingga malam-malam berikutnya Ardi
tidak lagi ketakutan dengan peristiwa ajaib itu.
Ibu Ardi sudah duduk di sebuah kursi, sepasang kakinya berselonjor ke
atas meja, punggungnya rapat bersandar, sengaja mengulur posisi
kepalanya agar nyaman seperti tengah berbantal, hingga rambutnya
menjuntai ke belakang kursi, ujungnya hampir menyentuh lantai. Mata ibu
Ardi kembali dipejamkan, seolah ia ingin tidur lagi dalam posisi duduk.
Tapi kemudian mata itu terbuka, sedikit memicing. Wajahnya masih kusam
belum tersentuh air.
Ardi memberanikan diri mendekat dengan langkah pelan, duduk di kursi
yang ada di samping ibunya, tangannya labuh di betis ibunya, memijatnya
pelan-pelan. Ibunya mengangguk-angguk menandakan suka.
“Bu! Ardi menyaksikan peristiwa yang harus saya ceritakan kepada ibu.”
“Apa itu?”
Sejenak Ardi terdiam, mengalihkan pandangannya ke beberapa sudut, rasanya ia berat untuk menceritakan peristiwa itu.
“Tadi malam saya melihat burung-burung membawa api, terbang di langit
kota ini,” kata Ardi sambil menatap wajah ibunya. Sedang ibunya seperti
tertampar, ia tersinggung dengan cerita Ardi. Wajahnya memerah. Giginya
rapat bergemeretak. Tangannya mengepal kuat.
“Terus?” ia masih bisa menahan amarah.
“Burung-burung itu datang setiap malam, Bu..”
“Pyarrr!”
Tamparan keras tangan sang ibu mendarat di pipi Ardi saat ia tak
tuntas bercerita. Ardi tersentak diam—tertunduk. Ibunya berdiri dengan
wajah beringas dan menakutkan.
“Kau juga berasal dari burung itu, anak jadah! Kalau ibu tidak
kedatangan burung-burung itu, kita pasti tidak punya uang. Kau bisa
makan dan sekolah, karena orang pemilik burung itu memberi uang kepada
ibu, tentu setelah ibu melayani burungnya. Awas! Jangan kau ulangi
cerita itu!” ancam ibunya, sambil melengos pergi. Sementara Ardi semakin
tidak paham dengan kata-kata ibunya. Rupanya mereka punya pemahaman
beda dalam mengartikan burung.
***
Dini hari Ardi terbangun. Ia tidak bisa tidur lagi meski sekuat
mungkin berusaha untuk memejamkan mata. Malam teramat senyap, angin
bergelesar, menggesek kaca jendela dan di kamar ibunya, terdengar suara
lirih dan desah yang berulang.
Malam itu Ardi teringat lagi kepada burung-burung ababil yang suka
terbang di langit kota. Akhirnya ia turun dari ranjang, antara takut dan
penasaran, ia beranjak ke jendela, menyingkap gorden, mendekatkan
wajahnya ke kaca sembari melirik ke atas. Betapa Ardi sangat terkejut,
di bawah cahaya purnama, tepat di atas atap rumahnya, ia melihat puluhan
burung-burung pembawa api itu terbang berputar-putar, seolah hendak
menjatuhkan api itu ke rumah Ardi.
Ardi ketakutan, berlari cepat keluar kamar, menuju kamar ibunya
dengan panik. Tapi pintu kamar ibunya terkunci. Ardi menjinjit hingga
kepalanya setara jendela, ia ingin mengintip ibunya melalui jendela,
dari jendela yang kebetulan gordennya tersingkap itu, Ardi melihat
ibunya sedang memegang seekor burung, berbulu hitam.
Ardi semakin terkejut dan ketakutan, ia menyandarkan tubuhnya ke
tembok, napasnya tersengal-sengal, dadanya naik-turun. Setelah melihat
kejadian itu—sebagai bocah yang sudah kelas VI SD—ia mulai tahu siapa
ibunya itu, dan siapa dirinya.
“Pantas burung-burung ababil itu datang lagi, karena kehidupan
jahiliah lagi,” ucap Ardi pelan, bersamaan ketika seorang lelaki keluar
dari kamar ibunya, sambil merapikan ikat pinggang.
Dik-kodik, 07.17
A Warits Rovi ialah guru bahasa Indonesia di Mts di Sumenep, Madura. Sejumlah karyanya telah dimuat di sejumlah media massa.
Ketika mencintai seseorang, kita menjadi terlalu mencintainya.
Sesuatu yang terlalu, apa pun itu, selalu menjadi tidak baik. Karena
yang terlalu akan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan. #Erstwhile
Cerpen Oka Rusmini (Kompas, 06 Agustus 2017) Pohon Api ilustrasi Isa Perkasa/Kompas
Sejak tubuhnya mulai tumbuh, Kekayi sangat sadar akan kekuasaan yang
dimilikinya. Kekayi, sangat mengagumi bentuk tubuhnya. Tubuh yang lebih
indah daripada sebatang pohon, pohon yang tumbuh dekat jendela kamarnya.
Pohon itu tingginya 20 meter. Daunnya halus dan rimbun. Tanaman ini
memiliki bunga yang sangat indah. Maka banyak orang rebutan memberi
nama: flamboyan, delonix regia, royal poinciana. Kekayi lebih suka
memberinya nama pohon api.
Pohon yang anggun dan seksi. Dan Kekayi merasa tubuhnya telah tumbuh
menjadi sebatang pohon, pohon api. Pohon itulah temannya, ibunya, juga
semangatnya. Tempat dia mengadu. Juga jika marah, pohon api itu
membiarkan Kekayi menancapkan puluhan pisau runcing dan tajam di
tubuhnya. Pohon api itu tetap diam, tidak merasa dilukai, justru
menjatuhkan kelopak bunganya yang merah menyala. Kadang pohon api itu
dipenuhi bunga, seolah pohon itu akan membakar langit. Pohon api itu
akan memakan semua daun-daunnya, meninggalkan lidah api yang menyala.
Kekayi akan meletakkan tubuhnya di bawah pohon berkasur rumput. Pohon
api itu akan menjatuhkan kelopak bunganya yang merah menyala, mengubur
tubuh Kekayi. Terasa hangat dan merasa dilindungi. Kekayi sangat
menikmati, sampai seorang dayang membongkar kuburan bunga itu dan
mengangkat tubuh kecilnya. Begitulah kejadiannya jika pohon api itu
berbunga. Kekayi merasa pohon api itulah yang mengajarinya cara hidup.
Memberi inspirasi. Juga mengajarinya cinta!
Pohon api itu terasa menjelma di tubuh Kekayi. Bahkan ketika dia
menggosokkan tangannya ke tangan Kekaya, lalu menjatuhkan tubuhnya yang
mulai terbentuk indah, lekuk yang sempurna, pinggang kecil, dan dua buah
bukit yang membusung padat ke tubuh Kekaya, sambil menggosokkan
bukit-bukit yang mulai menonjol kaku dan padat itu ke dada Kekaya,
lelaki setengah baya itu berkeringat dan menggigil. Kekayi girang
melihat kepandiran Kekaya, ayah tirinya, ayah angkatnya itu blingsatan.
Tidak sanggup menatap mata Kekayi. Apalagi menyentuh kulitnya yang
bening.
Semakin hari, tubuh Kekayi tumbuh cepat. Sorot mata iri para putri
dan pemaisuri, juga selir, membuat Kekayi merasa semakin bergairah.
Bahkan ada seorang selir ingin meracunnya, berharap dia mati! Semakin
banyak yang menaburkan racun di makanannya, semakin bertambah pesona
yang memancar dari dirinya.
Setiap hari adalah tantangan. Semakin banyak perempuan ingin melukainya. Semakin bertambah kecantikan Kekayi!
Banyak lelaki datang, ingin melamarnya. Kekayi tak ingin harta. Yang
dia inginkan adalah kekuasaan. Kekuasaanlah yang kelak dikenang
orang-orang yang menandakan dirinya pernah ada dan tumbuh di dalam
kehidupan ini. Tubuhnya dipersiapkan untuk melahirkan raja-raja besar
dan berkuasa dalam sejarah.
Akhirnya, datanglah Dasarata, lelaki tua, yang terpikat oleh
kecantikan dan kemudaannya. Lelaki sekaligus seorang raja dari kerajaan
besar dan termasyhur.
Kekayi sempat menangis tujuh hari. Karena dewata memilihkan seorang
lelaki tua untuknya. Lelaki yang kelihatannya akan mati dalam waktu
dekat karena ringkih dimakan usia. Lelaki yang ditolongnya ketika
terluka. Ayahnya, Raja Kekaya menyuruh Kekayi merawat lelaki itu dengan
baik. Kelak, lelaki itulah yang akan mengangkat kehidupannya.
Lelaki tua yang terkapar di tengah hutan. Dengan luka yang
menjijikkan. Baunya melebihi bau mayat dan sampah makanan busuk. Lelaki
tua yang tubuhnya tidak lagi menunjukkan tanda-tanda yang bisa
membuatnya bergairah. Lelaki tua, yang berdiri saja, memerlukan
bantuannya. Keriput di seluruh kulitnya juga wajahnya. Lelaki tua yang
memiliki mata begitu nakal. Lelaki itu juga sering mengelus pundak dan
pipinya dengan napas yang berpacu. Lelaki yang kadang menyuruh Kekayi
melumuri seluruh tubuh keriputnya dengan minyak cendana. Aslinya, lelaki
itu begitu menjijikkan bagi Kekayi. Setiap selesai menggosok tubuh
lelaki tua itu, Kekayi muntah-muntah. Seluruh makanan dalam perutnya
terkuras. Tubuh lelaki itu begitu buruk dan menjijikkan. Membuat Kekayi
selalu mual jika berada di dekatnya.
“Turuti seluruh perintahnya, Kekayi. Kelak kau akan tahu siapa
sesungguhnya lelaki itu?” Itu kata-kata yang selalu dikatakan Kekaya,
ayah angkatnya.
Bahkan emban, yang sudah kuanggap ibu bagiku juga mengatakan hal yang
sama. Siapakah lelaki tua jelek ini? Lelaki tua dengan mata nakal. Mata
yang selalu membuat Kekayi merasa telanjang di hadapannya. Lelaki yang
mengelus seluruh tubuhnya dengan penuh gairah. Lelaki yang menawarkan
seluruh hidupnya untuk Kekayi.
“Aku akan membuang semua istriku jika kau mau ikut denganku, Kekayi.
Perempuan tercantik melebihi kecantikan istri para dewa. Hidupku kembali
bergairah lagi melihatmu. Mintalah apa saja! Aku adalah raja dari
kerajaan besar. Keputusanku adalah hukum. Akulah yang menentukan
hidup-mati rakyatku. Ikutlah denganku, kau akan kujadikan ratuku!”
Suaranya parau dan tidak jelas. Mungkin umurnya sudah ratusan tahun,
atau ribuan tahun.
Lelaki yang telah melecehkan dirinya. Tetapi Kekayi tidak bereaksi
karena semua manusia di kerajaan Kekaya menaruh hormat pada lelaki
ringkih ini. Kekayi menimbang sendiri. Berpikir dan berhitung. Apakah
lelaki ini jawaban bagi doa-doanya? Bagaimana mungkin lelaki tua ini
bisa menanamkan benih di rahimnya? Berapa umurnya? Dia jauh lebih tua
dari Kekaya. Kenapa Kekaya begitu hormat padanya? Dan membiarkan dirinya
menemani lelaki tua, bau, dan jelek ini berbulan-bulan, sampai seluruh
luka di tubuhnya mengering. Kekaya juga membiarkan dirinya memandikan
dan merawat lelaki tua ini sendiri!
Kekayi pun dibawa Dasarata dengan upacara megah bak upacara menyambut
raja baru. Sungguh sebuah upacara yang tidak biasa. Tetapi, siapa yang
berani menentang titah Raja? Membuat para perempuan semakin geram dan
cemburu pada kecantikannya, juga keberuntungannya.
Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Dasarata setelah dua
permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Dasarata
meminang dirinya, ayah Kekayi membuat perjanjian dengan Dasarata bahwa
putra yang dilahirkan oleh Kekayi harus menjadi raja. Dasarata
menyetujui perjanjian tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak
mampu melahirkan putra.
Kusalya istri pertama Dasarata hanya bisa meneteskan air mata. Lelah
rasanya memburu cinta Dasarata. Dulu Dasarata berjanji padanya, akan
mengabdikan hidupnya untuknya. Kemudian mereka menikah. Kusalya, putri
tunggal Prabu Banaputra dengan Dewi Barawati dari negara Ayodya, cinta
mati pada Dasarata. Lelaki itu pun dinobatkan menjadi raja Ayodya
menggantikan mertuanya, Prabu Banaputra, yang terbunuh mati dalam
pertempuran melawan Prabu Dasamuka, raja negara Alengka.
Tiga puluh tahun bersama tanpa putra, Dasarata menyerah. Kelakuannya
berubah. Datanglah, Sumitra. Perempuan peragu dan pandai mengambil hati
dengan kata-katanya yang manis. Bagi Kusalya, Sumitra perempuan
penjilat. Berusaha melakukan apa saja untuk menyenangkan hati orang
banyak. Semuanya tentu untuk keuntungannya pribadi.
Kebenciannya pada Sumitra, perempuan kedua yang dibawa Dasarata,
belum lagi terkikis, padahal sudah puluhan tahun bersama. Hari ini,
datang Kekayi, perempuan ketiga, memiliki kecantikan dan keangkuhan yang
tidak tertandingi. Kekayi memiliki ketegasan seorang raja. Taksunya
kuat. Sumitra, yang berusaha menjilat dengan kata-kata manisnya, tidak
berkutik. Justru ketakutan jika duduk berdampingan dengan Kekayi.
Namun, setelah menikah dan hidup lama, Kekayi pun belum menunjukkan
tanda-tanda kehamilan. Kondisi ini membuat Kusalya sedikit terhibur.
Dasarata pun putus asa, dia kemudian mengadakan upacara bagi para
dewa. Upacaranya diterima oleh para dewa dan utusan mereka memberikan
sebuah guci bertabur permata hitam berisi air suci agar diminum oleh
setiap permaisurinya. Kusalya minum seteguk dengan perasaan ragu karena
mengingat usianya yang sudah tidak lagi muda, mungkinkah bisa hamil?
Sumitra, dengan nekat sengaja minum dua teguk, dan berharap lahir
banyak anak dari rahimnya agar mampu mengalahkan Kusalya dan Kekayi.
Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan
putra. Rama, lahir dari Kusalya. Bharata, lahir dari Kekayi, Laksmana
dan Satrugna, lahir dari Sumitra.
***
Kekayi puas, seorang bayi laki-laki kini jadi miliknya. Dan lelaki
tua itu tidak pernah datang lagi ke biliknya. Setiap hari lelaki tua itu
datang untuk memangsa tubuhnya dengan rakus. Tidak pernah bosan. Tidak
pernah berhenti. Sangat menjijikkan. Sejak bayi lelakinya lahir, Kekayi
berusaha sibuk mengurus semua kebutuhan anaknya. Memilih guru untuk
bertempur. Juga sibuk dengan urusan-urusan sepele. Dia ingin terlihat
sibuk karena jijik meladeni Dasarata yang selalu lapar pada tubuhnya.
Tubuh Kekayi yang sudah seperti batu. Dingin dan kehilangan kekuatan,
juga tak ada gairah lagi jika melihat lelaki.
Akulah Kekayi, perempuan yang tidak tahu arti cinta. Seorang ibu yang mengandung 12 bulan. Telah dikutuk oleh anaknya sendiri!
Bharata telah memakiku. Kata-katanya kasar, yang seharusnya tak layak
diucapkan oleh seorang anak yang berutang kehidupan pada ibunya.
Aku tidak ingin mengutuknya. Aku ibunya. Kutukan seorang ibu akan
membuat bencana besar bagi anakku. Aku ingin Bharata jadi raja. Aku
ingin semua anak yang kumuntahkan dari tubuhku berkuasa. Bukan Rama,
anak dari perempuan tua, Kusalya.
Kekayi namanya, sejak kematian Dasarata, sang raja. Memilih untuk
berbicara dengan matahari. Mulutnya tidak pernah terbuka. Matanya selalu
tajam memandang ke arah matahari terbit sampai matahari terbenam.
Perempuan itu akan terus menghadap ke arah matahari dengan posisi yoga.
Tidak ada yang bisa mengajaknya bicara. Tidak juga anak-anaknya. Jika
malam datang, Kekayi akan merebahkan tubuhnya. Telentang menghadap
langit. Sambil memejamkan mata. Menunggu matahari.
***
Setiap pagi, ketika kemilau mulai menggores langit, perempuan itu
akan duduk bersimpuh sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.
Perempuan cantik itu tidak akan pernah bicara, kecuali Bharatha mau
menjadi raja.
Namaku Kekayi. Lengkapnya, Dewi Kekayi. Putri Prabu Kekaya, raja
negara Padnapura. Kekaya, sesungguhnya, bukan ayah kandungku. Aku adalah
putri Prabu Samresi, raja Wangsa Hehaya. Ayahku terbunuh mati dalam
pertempuran melawan Ramaparasu.
Waktu aku masih berwujud bayi merah, seorang emban berhasil
menyelamatkanku, Matara. Dialah yang menyerahkan bayi merah itu kepada
Kekaya.
Aku tumbuh makin besar dan cantik. Kupikir Kekaya tertarik padaku, para selir dan ratu cemburu padaku.
“Sumber kekuatan terbesar dalam hidupku hanyalah kecantikan dan
kemudaan.” Kata-kata itulah yang selalu diselipkan Matara kepadaku.
Sesungguhnya aku adalah perempuan miskin. Tidak memiliki harta. Tidak
juga orangtua. Yang kumiliki kecantikan dan kemudaan. Kata Matara,
kecantikankulah yang kelak membuatku memiliki kekuasaan. Jika aku bisa
memanfaatkannya sebaik mungkin. Secepat dan setepat mungkin. Jika
meleset membidikkan anak panah. Hidupkulah yang jadi taruhan!
Aku suka sekali menggunakan kecantikanku untuk berkuasa. Para
panglima di kerajaan mengajariku berkuda, kadang menggunakan tombak
untuk berburu. Apa pun yang kuinginkan, para lelaki selalu datang
membantuku.
Suatu hari, ayah angkatku, Raja Kekaya kugoda. Aku suka membangun impian-impian aneh.
Kata para dayang, kadang tubuhku mengeluarkan cahaya. Jika datang
bulan terang, purnama, cahaya tubuhku akan memancar membuat silau.
Kadang mereka berpikir aku keturunan para dewa sakti. Aku tidak
pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku senang mereka berpikir
aku keturunan dewa. Mereka semua tidak pernah mengingat nama ayahku dan
kerajaannya yang hancur. Karena kebodohan ayahku kerajaanku hancur.
Seorang perempuan cantik telah dihidangkan kepadanya. Untuk umpan
menguasai kerajaannya.
Matara, emban itulah yang menyelamatkan nasibku. Kadang aku berpikir
Matara adalah ibuku, dan aku lahir karena hubungan Matara dan ayahku.
Aku senang membayangkan Matara sebagai ibuku, karena dialah yang selalu
ada sejak aku masih bayi merah sampai aku tumbuh jadi perempuan paling
cantik. Aku malah berpikir Matara itu bukan manusia. Mungkin dia
dedemit, raksasi atau sejenis itu. Tubuhnya tidak berubah menua. Dia
juga kuat menggotong tubuhku ketika aku rubuh. Waktu itu seorang selir
raja mengajakku santap malam. Kata Matara, selir itu telah membubuhkan
racun ganas di tubuhku. Dan sesungguhnya aku telah mati tiga hari. Entah
apa yang dilakukan Matara, sampai hari ini aku baik-baik saja.
Sebuah rahasia tetap kusimpan rapi. Jika istri raja mengundangku datang ke kamarnya, Mataralah yang menjelma jadi Kekayi.
Banyak selir raja yang mati jika Matara yang menjelma jadi Kekayi.
Karena Matara mampu melihat mana menu beracun, dan dengan mudah
memindahkan makanan beracun itu ke tempat pemberi racun.
Karena Matara selalu berwujud Kekayi, istri-istri raja dan selir pun
makin takut pada Kekayi. Bahkan banyak rumor, aku adalah anak kesayangan
dewa yang lahir untuk menguasai seluruh kehidupan ini. Kekayi tidak
mempan diracun. Juga tidak mempan disabet benda tajam. Aku tahu semua
itu ulah Matara. Makanya, aku berpikir Mataralah ibuku. Hanya seorang
ibu yang rela melakukan apa saja untuk darah dagingku. Aku lebih
mengenal Matara, dibanding sosok ibu yang melahirkanku.
“Kau adalah keturunan raja besar yang gagah. Lahir dari rahim
perempuan cantik yang tidak ada tandingannya. Bahkan banyak dewa jatuh
cinta pada ibumu, Kekayi?” Suatu hari Raja Kekaya berkata
sungguh-sungguh. Tatapan lelaki itu tajam, mengupas seluruh serat kapas
yang melekat di tubuh Kekayi. Terdengar detak jantungnya, desah napasnya
yang berdengung seperti tawon di kupingku. Aku tahu, Kekaya berusaha
menghentikan seluruh detak tubuhnya yang dia rasa tidak normal. Kekayi
tahu seluruh dayang, selir, dan puluhan istri Kekaya tahu. Bahwa Kekaya
jatuh cinta pada Kekayi.
“Aku suka para lelaki menatapku dengan birahi.”
“Kekayi!”
“Jaga mulutmu! Jika kau semakin angkuh dan sombong. Musuhmu akan
semakin banyak.” Matara selalu berkata dengan ketus. Hanya Mataralah
yang bisa meredamnya. Kekayi tidak percaya pada siapa pun, juga pada apa
pun. Penunjuk jalan hidupnya adalah Matara. Perempuan bertubuh kayu,
dengan bongkok seperti gumpalan batu di punggungnya.
***
Aku adalah Kekayi, perempuan yang menghabiskan hidupnya untuk berdoa
dan tirakat pada hidup. Kini menjelma perempuan tua, yang dicaci-maki
anakku sendiri. Sebagai Ibu, aku tak akan mengutuk mereka. Karena mereka
tidak pernah tahu siapa Kekayi sesungguhnya! Namaku Kekayi, perempuan,
istri seorang lelaki tua, dan ibu Bharata. Bharata memusuhiku, memakiku,
dan berkata kasar, menyesal memiliki ibu seperti aku. Yang tamak, loba,
haus kekuasaan, menghalalkan apa saja untuk dirinya sendiri dan tanpa
hati. Perempuan hina yang membunuh suaminya sendiri, Dasarata. Kekayi
tidak habis pikir, kenapa dia yang disalahkan oleh Bharata? Bukankah
Dasarata sendiri yang berjanji akan memberikan apa saja yang dia
inginkan? Juga mengangkat Bharata sebagai raja? Lalu, kenapa Dasarata
berubah arah, mengangkat Rama? Kenapa Bharata begitu marah padanya?
Bukankah hak dan kewajiban seorang ibu adalah memberi hal-hal terbaik
bagi anaknya. Tugas ibu juga membuat masa depan anaknya gemilang.
Bharata memang lelaki yang masih muda. Belum paham hidup. Belum paham
bahwa kesempatan itu tidak datang dua kali! Kekayi tidak habis pikir,
kenapa Bharata berpihak pada Kusalya? Dan memohon maaf atas nama Kekayi.
Hyang Jagat! Betapa bodohnya Bharata. Betapa menyedihkan Kekayi sebagai ibu telah melahirkan seorang anak lelaki yang rapuh!
Mungkin ketika aku mengandung mereka, mereka adalah burung gagak yang mematuk rahimku.
Oka Rusmini, menulis puisi, cerpen, novel. Ia peraih SEA Write Award di Thailand (2012) untuk novel Tempurung dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014 untuk buku puisi Saiban. Kini ia tinggal di Denpasar, Bali.
Cerpen Yetti A.Ka (Jawa Pos, 06 Agustus 2017) Rumah di Langit ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosIA mendongakkan kepalanya dan berpikir, kenapa rumah
orang miskin itu harus berada di ketinggian bukit, ia terus memikirkan
batang-batang pakis sepanjang jalan setapak menuju rumah itu, tumbuhan
liar ada di mana-mana—ia tidak tahu apa saja namanya, pohon kelapa, dan
oh, betapa banyak batang pakis, dan kembali ia tertanya-tanya, kenapa
rumah orang miskin itu berada di tempat yang amat tinggi dengan jalan
demikian mendaki, atap sengnya begitu cokelat dan tua, dinding-dinding
kayunya rapuh, sebagian berlubang—dimakan usia dan cuaca, adakah Tuhan
sesekali datang ke sana dengan cara-cara yang hanya mereka mampu
merasakannya—kehadiran yang menguatkan dari segala penderitaan dan luka
dan demi itukah keluarga itu membangun rumah di tempat paling tinggi di
antara beberapa rumah lainnya, rumah yang lalu ia ketuk pintunya dan
seseorang menjulurkan kepala dan bertanya ragu, “Apakah kau tersesat?”
“Tidak,” ia menjawab begitu saja, “aku sedang mencari Tuhan.”
“Kau salah alamat. Ini bukan rumah ibadah.”
“Ah, maaf, aku memang tidak mencari rumah ibadah, aku mencari…”
Pintu rumah mendadak ditutup bersamaan dengan raibnya kepala yang
tadi menjulur keluar. Ia memutuskan untuk tidak mengetuk pintu rumah itu
lagi dan mulai berbalik dan menuruni jalan setapak yang di kiri-kanan
rasanya bertambah sesak dengan segala macam jenis tumbuhan liar dan ia
membayangkan beberapa pasang mata tengah memandangi punggungnya lewat
lubang-lubang dinding.
Paling tidak, ia sudah menemukan rumah itu. Kapan-kapan ia bisa
kembali. Ia akan datang dengan sikap lebih baik dan tidak membuat
bingung orang yang membukakan pintu dan menyiapkan sapaan yang umum
saja, “Permisi, saya mencari Bapak Ovias.”
Setengah perjalanan menuruni bukit, ia membalikkan badan untuk
melihat ke arah satu-satunya rumah di tempat paling tinggi itu—pantaskah
bangunan serupa kandang itu disebut rumah?—yang kini terlihat sebagian
saja dan hatinya meledak kecil dan seketika ia ingin sekali menumpahkan
air mata seolah ia baru saja melakukan perjalanan suci.
***
KAKINYA sudah kembali menjejak pinggir jalan raya,
di sebuah kehidupan kota yang ramai; kendaraan yang memadati jalan, toko
yang berjejer, dan rumah-rumah yang bersesakan di belakangannya.
Manusia di kota ini terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Ia bagian dari
orang-orang kota itu.
Selama puluhan tahun menjadi manusia, apa yang sudah ia lakukan? Ia
sama sekali tidak pernah menanyakan itu sebelum gadis kecil dengan
sebelah matanya yang cacat menadahkan mangkuk plastik ke arahnya pada
Minggu pagi di warung bubur ayam. Ia tidak memberi uang kepada gadis
pengemis itu, melainkan menarik sebuah kursi kosong dan memesan satu
mangkuk lagi bubur ayam.
“Kau pasti belum sarapan,” katanya. Gadis kecil itu mengangguk pelan
dan duduk canggung di sampingnya. Gadis itu memasukkan mangkuk plastik
dalam tas kumal yang ia letakkan di bawah kaki.
“Siapa namamu?”
“Saila.”
“Nama itu terlalu bagus untuk seorang pengemis,” selorohnya dan Saila
tertawa kecil seolah ia sedang diledek teman bermain sesama pengemis
dan mereka sudah biasa melakukannya.
Begitu pesanan bubur diantar pelayan, tawa Saila menghilang dan ia makan tanpa membuang waktu lagi.
Saila memberinya alamat rumah di atas bukit itu pada pertemuan mereka
yang ketiga kali di tempat yang sama. Gadis itu mengatakan kalau ia
tinggal bersama keluarga yang memungutnya ketika ia berumur lima tahun
dan mengemis di pasar bersama ibu kandungnya.
“Bapak Ovias dan keluarganya baik sekali,” kata Saila, “tapi mereka juga sangat miskin.”
“Karena itu kau masih mengemis?”
“Aku hanya mengemis pada Minggu pagi. Hari-hari lainnya aku pergi sekolah.”
“Mengemis tetap saja tidak baik meski hanya sekali dalam seminggu.”
“Aku membayar sekolahku, juga untuk jajan.”
“Mereka membiarkan kau mengemis?”
“Bapak dan Ibu Ovias sangat miskin. Mereka punya empat anak, ditambah aku menjadi lima.”
Hari ini Minggu dan Saila belum pulang ke rumah saat ia datang ke
sini. Dari cerita Saila Minggu lalu, ia tahu, setelah berkeliling
menadahkan mangkuk plastiknya ke orang-orang yang sedang sarapan di
seputaran gedung olahraga, Saila biasa bermain ke rumah temannya sampai
pukul satu. Ia lupa memperhitungkan itu. Rutinitas yang telah Saila
lakukan sekian lama dan gadis itu tidak akan mengubahnya begitu saja
hanya karena rencananya ingin menemui Bapak Ovias.
Lalu yang terjadi, memang fatal. Ia tak pernah membayangkan jika
alamat yang diberikan Saila mengantarkannya kepada sebuah keluarga yang
hidup di bukit tepat di atas kota ini dalam kemiskinan yang sedemikian
rupa—adakah orang-orang kota ini pernah benar-benar memandang ke atas
sana?—dan serta merta ia dihinggapi rasa euforia tak terbendung tentang
sentuhan rasa keimanan yang memenuhi hatinya dan muncullah jawaban itu
dari bibirnya, “…aku sedang mencari Tuhan” dan jalan masuk ke rumah itu
segera tertutup baginya sebab bisa jadi ia dianggap tengah mempermainkan
mereka.
Ia membuka pintu mobil. Sopir yang menunggu tertidur di dalamnya dalam iringan lagu Gloomy Sunday yang konon bisa memicu orang untuk bunuh diri. Ia segera masuk dan mengempaskan pantatnya dan ia berkata, “Kita pulang.”
“Kau menemukan rumah itu?” tanya sopir yang adalah teman semasa
sekolahnya dan gagal menjadi seorang polisi dua puluh tahun lalu.
“Ya,” desahnya, “sangat tidak masuk akal.”
“Apanya?”
“Mereka begitu miskin, sangat miskin, dan mereka masih sanggup menerima kehadiran Saila.”
“Kau sangat peduli kepada gadis pengemis itu.”
“Memang aneh sekali.”
***
ANEH sekali, ia mengulang kata-kata itu di teras
belakang lantai dua rumahya yang tepat menghadap ke permukiman para
pemulung. Rumah-rumah kecil yang saling berdempetan dan semrawut. Ia
belum pernah melihatnya dalam jarak yang dekat, tapi ia bisa menduga
seperti apa kehidupan di sana. Anak-anak bertubuh kurus dan kotor dan
penyakitan. Orang-orang dewasa yang batuk berkepanjangan dan hidup
dengan napas pendek-pendek. Tumpukan sampah yang sudah disortir memenuhi
pekarangan rumah mereka. Air yang sudah tercemar. Makanan yang tidak
terjamin kebersihannya.
Aneh sekali, desisnya lagi. Sebelum ini, tiap berdiri di teras, ia
hanya memandangi langit atau menikmati pancaran matahari atau rintik
hujan bila cuaca buruk. Ia bahkan tidak berpikir bahwa ada kehidupan
lain di luar rumahnya ini. Maka kembali ia mengingat Saila. Ia tidak
tahu kenapa menarik kursi untuk gadis pengemis pada hari itu. Ia
melakukannya begitu saja dan itu awal pertemanan mereka yang juga tidak
ia mengerti.
Lalu, semua seperti terbuka di depan matanya. Ia mampu melihat segala
sesuatu yang tak pernah ia lihat selama ini dan pelan-pelan
membiarkannya menjadi bagian dari dirinya. Anak-anak di permukiman
pemulung itu mungkin saja sedang berebut roti berjamur kebiruan yang
mereka temukan dalam bungkusan plastik. Saila mengaku jarang sekali
sarapan, tapi di sekolah ia membeli sebuah gorengan dan pada jam
istirahat ia membuka bekal yang dibawanya dari rumah.
Namun, sesekali, kata Saila, ia sengaja melupakan bekal itu karena rasa bosan terhadap isinya yang itu-itu saja.
“Kau menahan lapar?”
“Tidak,” kata Saila tersenyum dan memberi tahu bahwa ia punya seorang teman yang sering menyisakan makanannya.
Pukul sembilan ia bergegas pergi ke kantor.
“Kau tampak sedang tidak sehat,” kata sopirnya di tengah perjalanan.
“Apa sebaiknya aku segera kembali ke sana?”
“Ke rumah di atas bukit?” tanya sopirnya tak percaya dan mengingatkan
kalau teman sekaligus bosnya itu memiliki agenda rapat di kantor dan
bertemu klien yang akan merenovasi rumah dan memerlukan jasanya sebagai
desainer interior.
Mereka memang saling berbagi cerita tentang apa saja, dari masalah
pekerjaan hingga kasus patah hati yang membuat keduanya tak pernah lagi
mencoba membangun hubungan baru dengan orang lain.
“Ini sungguh-sungguh waktu yang tepat untuk pergi ke sana,” sahutnya.
Ia memaksa sopirnya untuk keluar dari pusat kota dan mengarah ke
bukit kecil—tempat kehidupan sunyi dan hiruk-pikuk kota saling
berhadap-hadapan, tempat kemiskinan dan kemapanan amat dekat, tapi
berjarak. Tempat ia pertama kali bertanya, selama puluhan tahun sebagai
manusia, apa yang sudah ia lakukan? Pertanyaan yang ia ulang-ulang dan
sodorkan kepada dirinya, terutama bila ia sedang ingat kepada keluarga
Ovias dan Saila.
***
RUMAH itu masih tertutup batang-batang pohon dan
semak yang cukup tinggi dan sedikit pun belum terlihat. Rumah-rumah
lain—sekitar lima rumah—yang mereka lewati tampak sunyi dan pintunya
tertutup rapat. Ia menduga pemilik rumah itu sengaja menutupnya agar
tupai atau binatang lain tidak masuk ke dalam dengan leluasa.
Alasan lainnya mungkin penghuni rumah itu sedang keluar untuk bekerja
di proyek-proyek bangunan atau buruh di pasar. Saila pernah bilang,
semua tetangganya buruh lepas dan jika terpaksa mereka biasa pura-pura
membutakan matanya dan mengemis di jalanan.
Ia berhenti dan menoleh kepada sopir yang berjalan di
belakangnya—sopir itu ikut serta karena tak begitu yakin kalau ia
baik-baik saja—dan berkata, “Bapak dan Ibu Ovias mungkin saja sudah
berangkat ke tempat kerja dan semua anaknya pergi sekolah.”
“Sudah kubilang. Mana kau tidak sehat pula.”
“Ini soal Saila. Aku harus segera bertemu Bapak Ovias.”
“Aku tahu, tapi ini akan sia-sia. Kau semakin sakit. Bapak Ovias tidak ada di rumah.”
“Paling tidak aku harus sampai ke rumah itu lagi.”
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sopirnya tak lagi menunjukkan minat bicara.
Ia berjalan sambil sibuk berpikir. Saila setiap hari turun dan
mendaki bukit ini. Saila mungkin senang memperhatikan serangga di atas
semak-semak dengan sebelah matanya yang baik dan sebelah yang rusak.
Nanti kau akan punya mata baru, janjinya kepada Saila dan karena itu ia
ingin menemui Bapak Ovias pada hari Minggu lalu itu; untuk membicarakan
mata Saila. Mata baru? tanya Saila terkikik dan menganggap itu lelucon.
Semak-semak semakin rapat dan menjulur ke jalan. Belum ada
tanda-tanda jika mereka sudah dekat dengan rumah itu. Ia mencoba
mengingat kepergian pertama kali ke sini dan di tengah perjalanan
mendaki bukit ia sudah bisa melihat sebagian dinding dan atap rumah itu.
Ia mencoba mengingat apa pun yang pernah ia lewati dulu, sama sekali
tidak keliru, batang-batang pakis, semak yang entah apa saja namanya,
pohon kelapa, tapi di mana rumah itu?
Berkali-kali ia mencoba mengingat dan memastikan kalau ia benar-benar
berada di jalan yang tepat dan seharusnya ia sudah menghadap pintu itu.
Setengah putus asa ia menengadah. Awan-awan. Dua ekor elang melayang.
Begitu banyak awan—dan, samar, ia melihat rumah itu tergantung di
langit. ***
RK303, 2017
YETTI A.KA, kumpulan cerpen terbarunya, Penjual Bunga Bersyal Merah (2016) dan Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016)
Cerpen Puturama Benaputra (Suara Merdeka, 06 Agustus 2017) Perayaan Qi Xi ilustrasi Suara Merdeka
Semenjak berkali-kali gagal membina hubungan spesial dan usia terus
mengelinding tanpa bisa ditangkal, aku memasrahkan urusan jodoh pada
Mama. Menyerah pada cara konvensional: dijodohkan! Jodoh bukan perkara
hati, melainkan bagaimana memenuhi target diri. Siapa pun lelaki itu,
asal tak beristri, akan kuterima.
Markus T’sien satu sekolah denganku di Yayasan Shion. Namun aku tak
memiliki memori kuat untuk menemukan namanya di deretan siswa yang
kuketahui. Wajah dan rupanya samar. Menyisakan misteri. Bagaimana aku
bisa mengingat satu wajah secara spesifik, bila seluruh siswa di Yayasan
Shion berwajah bulat, mata segaris, dan kulit kuning bersih? Beberapa
teman SD yang kutanyai pun tak bisa menjawab detail rupa Markus T’sien.
Marga T’sien tak begitu susah ditemukan di Semarang. Keluarga TÃsien
memiliki satu rumah makan lunpia terkenal. Aku mengenal keluarga T’sien
dari kisah yang selalu didengung-dengungkan di kalangan keturunan
Tionghoa. Konon, salah satu moyang mereka pembuka bisnis lunpia di
Semarang. Keluarga T’sien memiliki mansion mencolok dibanding
rumah-rumah di sekelilingnya.
Markus T’sien sulung yang akan menjadi ahli waris kekayaan keluarga.
Keluarganya sedang mencarikan gadis dan aku, kata Mama, cocok menjadi
istri Markus T’sien.
Mama memiliki radar sensitif. Mama tak hanya pandai memilih warna sutra bahan cheong sam untuk
perayaan Imlek. Mama memikirkan pula masa depanku. Mama sadar, memilih
pasangan berharta bukan hanya menjamin anak cucu di kemudian hari.
Keluarga T’sien mengundangku pada perayaan Qi Xi. Aku hanya mendengar kosakata itu dalam buku Old Chinese Wisdom,
yang dulu kubaca serampangan di Yayasan Shion. Meski aku berdarah
Tionghoa, Mama berkulit cokelat asli Jawa. Praktis, hanya perayaan Imlek
dan Qing Ming, hari raya arwah, kami membakar hio dan kertas doa di
atas hiolo, mendoakan arwah buyut dan Papa.
Qi Xi adalah perayaan kasih sayang pada tanggal tujuh bulan ketujuh.
Menurut legenda, pada hari itu Ratu Surga melepaskan tusuk rambutnya
agar Lelaki Gembala yang mengejar Bidadari Surga terhalang. Itu demi
cinta. Lantas burung murai yang suci berbondong-bondong membuat jembatan
agar Lelaki Gembala dan Bidadari Surga bertemu. Pada tanggal tujuh
bulan ketujuh, mereka akan bertemu dan memadu cinta. Alangkah bahagia
aku akan bertemu calon suami kali pertama pada hari kasih sayang?
Perayaan itu sebenarnya hari kebebasan bagi nyonya rumah. Pada Hari
Raya Qi Xi, pesta diatur sang istri. Bebas mengadakan permainan mahyong,
mengundang penyanyi, atau bahkan menyajikan arak dalam guci keramik.
Itu berkait dengan larangan bagi wanita keluarga terhormat untuk
mendatangi pesta pada hari biasa. Maka dibuatlah hari agar wanita
terhormat, termasuk Nyonya T’sien, leluasa berpesta.
Hanya keluarga dengan garis Kanton yang cukup kental yang menjaga
perayaan itu. Keluarga TÃsien salah satunya. Tak ada darah selain darah
yang serupa. Dalam klan T’sien, pernikahan antarsepupu adalah wajar demi
kemurnian garis keturunan dan menjaga binis lunpia.
Saat kutanya mengapa aku yang bukan sedarah harus menerima Markus
T’sien, Mama menekankan mereka sudah kehabisan stok sepupu yang sepadan
usia dan siap menikah dengan Markus T’sien. Kalau dua ekor burung
merpati hinggap di dahan bunga peony terlalu lama, dahan yang
rapuh akan patah. Satu solusinya, lekas membuatkan keduanya ikatan sah
dan sarang yang hangat untuk berletur.
“Ma, apa aku harus memakai cheong sam?” tanyaku. Meja kayu di ruang
depan penuh baju aneka warna. “Terakhir aku memakai pada perayaan Imlek
saat kelas V SD. Aku tak mungkin memakai warna semerah ini.”
“Kali ini harus. Pesta Qi Xi adalah hari kamu bebas menjadi wanita,” sahut Mama.
Sudah kubayangkan betapa gerah memakai baju kurung ketat. Namun aku
ikhlas saja menjadi boneka Mama, kemudian ditawarkan kepada Markus
T’sien.
***
Kupilih cheong sam hijau pucat dengan bordir bunga morning glory di
kerah dan lengan. Rambutku digelung ke atas dengan sebuah tusukan
berbandul mote. Mama mengikat erat hingga kepala seperti diikat rantai,
berharap tak sehelai pun rambutku jatuh. Leherku yang jenjang dan mulus
harus jadi fokus perhatian. Tak lupa beberapa perhiasan. Intinya, hari
itu aku menjadi gadis berpakaian lengkap yang cukup pantas andil pada
parade festival kebudayaan.
Seperti kuduga, banyak tamu telah berdatangan di mansion keluarga
T’sien. Rumah besar berhalaman luas itu disulap seperti halaman hotel
untuk acara pernikahan. Deretan meja dan kursi berselimut kain merah
menambah manis suasana. Juga panggung kecil yang kini diramaikan
anak-anak—yang kukira generasi termuda keluarga T’sien—menyanyikan
lagu-lagu Mandarin dengan ceria.
Aku mengekor di belakang Mama, mengarah ke seorang wanita dengan rambut bersarang gelungan berhias rantai mutiara.
“Jadi ini Mia putrimu?” seru dia. “Di mana saja kausembunyikan dewi secantik ini?”
Wanita itu, yang kemudian kuketahui adalah Nyonya T’sien, merangkul
dan mendudukkan aku semeja dengannya. Kudapan dan minuman mahal tersaji
di meja. Aku ingin meraih, tetapi Nyonya T’sien tak sekali pun
mencontohkan. Aku kikuk, menelan liur sambil mencoba menikmati alunan
musik dan lagu yang tak kuketahui artinya.
“Kamu pantas jadi menantu kami,” bisik Nyonya T’sien.
Kujawab dengan senyuman dan anggukan. Aku malu sekaligus berdebar
membayangkan kelak menjadi bagian mereka. Muncul pertanyaan, “Mana sosok
Markus T’sien yang akan dijodohkan denganku?” Mataku mencari lelaki
yang sekiranya seusia denganku dan berpenampilan sebagai anak keluarga
T’sien. Mungkin lelaki yang duduk dengan menopang dagu itu? Atau lelaki
yang jadi pusat beberapa kawan semeja dan selalu mengumbar dekik di
pipi? Namun yang benar-benar menggodaku adalah sosok lelaki berkacamata
dan kemeja merah, yang sejak tadi memainkan telepon pintar. Entah
mengapa, andai benar dia Markus T’sien, aku tak menyesali perjodohan
ini.
Mendadak perhatianku tersedot ke atas panggung. Ada alat musik tradisional Tionghoa dan standing mic.
Mungkinkah Markus T’sien akan muncul di panggung memainkan musik? Dia
akan menyenandungkan lagu paling indah. Hati wanita mana akan tegar
menerima rayuan sedemikian romantis? Membayangkan itu, mendadak pipiku
merah. Aku menunduk, tak ingin ada yang menangkap perubahan wajahku.
Saat Mama dan Nyonya T’sien saling lempar guyonan, kusaksikan tiga
lelaki memasuki panggung. Dadaku gugup untuk sesuatu yang belum
kuketahui. Seperti sorai burung murai, dadaku bersorak: orang paling
segar dan muda itulah Markus T’sien. Dua yang tertua memegang yang qin, dan yang kuyakini sebagai Markus T’sien meraih er hu.
Pemain yang qin begitu mahir memainkan alat musik berdawai banyak itu. Pemain er hu duduk di bangku rendah dengan instrumen terpegang tegak di depan, jemari melayang di leher er hu,
sedangkan tangan sebelah lagi menggesekkan busur dari bulu ekor kuda.
Aku bisa melihat bahu bidangnya saat dia membungkuk dan bagaimana
torsonya membentuk pinggul yang ramping.
Aku terlena oleh alunan musik dan lelaki pemain er hu itu.
Dadaku tak henti-henti bergejolak, hingga permainan rampung. Bertiga
mereka membungkuk, salam perpisahan. Suitan dan tepuk tangan mengiringi
mereka turun dari panggung.
Pemain er hu berjalan ke mejaku. Dadaku makin bergetar
kencang. Aku kikuk menatap rupanya yang tampan. Dia menuju Nyonya T’sien
lantas berpelukan.
“Aku bangga padamu, Sayang,” suara Nyonya T’sien tertangkap olehku.
Aku berdiri. Mama menyalami. Aku pun menunggu giliran.
“Mia, kenalkan ini anak bungsuku, Thomas T’sien,” ujar Nyonya TÃsien.
Dadaku mendadak layu. Celah-celahnya disusupi kecewa.
“Oh, kukira Markus T’sien,” ucapanku mendadak membuat mejaku hening. Aku menoleh pada Mama yang memalingkan wajah.
Nyonya T’sien menghapus bungah di wajah. Matanya menghilang dalam garis. Senyumnya tak lengkung lagi.
“Mungkin sudah saatnya kamu kukenalkan pada Markus T’sien,” kata Nyonya T’sien.
Aku dan Mama digiring ke dalam rumah. Pikiranku dirambati aneka
prasangka. Perabot mewah, lukisan indah, keramik China kali ini tak
mengusik kegundahan hatiku. Aku menuju sebuah kamar. Mungkinkah?
“Dia sudah tidur dengan tenang di sini,” Nyonya T’sien menunjuk sosok
lelaki yang lengkap dengan jas dan dasi kupu-kupu. Ada asap hio dan
sajian buah di meja persembahan. Remangku berdiri.
“Apa ini?”
“Ya, aku ingin kamu jadi minghun*. Mark harus memiliki istri sebelum dikremasi,” kalimat Nyonya T’sien tak ubahnya rentetan gergaji.
“Mama! Apa kita sudah sedemikian miskin?”
Dunia berkontraksi hebat. Tangisku sedu. Warna-warni pada Hari Raya
Qi Xi memudar, garis-garis mengabur. Kemudian, seperti sentakan pada
getah perca, segalanya runtuh, menimpaku yang terluka. (44)
* Minghun: tradisi Tionghoa, menikah dengan jenazah. Mia
dinikahkan dengan jenazah Markus T’sien, karena arwah Markus terus
menghantui keluarga TÃsien yang semasa hidup tak mencarikan jodoh. Itu
sekaligus mengurangi wanita seperti Mia yang menua dan tak berpasangan.
– Puturama Benaputra lahir di Kulonprogo, 4 April 1998, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.