Daftar Blog Saya

Minggu, 19 November 2017

Kutipan Road to Your Heart : Love in Ho Chi Minh

Perjalanan membuatmu menemukan orang baru. (hlm. 14)

“Menangkanlah hatimu, bukan logikamu. Kita hadapi bersama apa pun rintangan perbedaan di antara kita. Aku membutuhkanmu sebagai sumber semangatku. Kita sama-sama berubah menjadi lebih baik dan lebih yakin dengan tujuan hidup kita setelah kita bertemu dan saling mengenal semakin dalam.” (hlm. 245)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Perjalanan membuatmu menemukan orang baru. (hlm. 14)
  2. Jangan pura-pura terpaksa. (hlm. 38)
  3. Jangan pesimis dulu. Siapa tahu ada jalan menyatukan segala perbedaan. (hlm. 38)
  4. Melakukan perjalanan itu, bisa membuka pikiran, menambah wawasan, member banyak pelajaran. Bertemu banyak orang dari berbagai Negara, dan saling mengenal satu sama lain. (hlm. 99)
  5. Keberhasilan itu sering kali datangnya di usaha yang sudah lebih dari dua kali. (hlm. 150)
  6. Seharusnya manusia nggak menilai manusia lain baik atau tidak hanya karena dia nggak berdoa. (hlm. 161)
  7. Cara tiap orang untuk merasa tenang memang berbeda-beda. (hlm. 185)
  8. Karena aku seharusnya menjelaskannya kepadamu, supaya kamu nggak salah paham. (hlm. 193)
  9. Perempuan lebih sering memakai perasaan sedangkan laki-laki umumnya memakai logika. (hlm. 244)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Orang yang nggak taat aturan memang harus dimarahi. (hlm. 37)
  2. Karena terlalu teratur itu kadang membosankan. (hlm. 58)
  3. Karakter buruk sulit untuk diubah. (hlm. 222)
  4. Orang yang sedang jatuh cinta cenderung begitu. Hanya bisa melihat yang baik-baik dari orang yang dicintainya. (hlm. 223)

Tabulampot

Oleh Elisa DS (Kompas, 12 November 2017)
Tabulampot ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Tabulampot ilustrasi Regina Primalita/Kompas
MINGGU siang di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Lala mondar-mandir di dalam rumah dengan gusar, karena sudah hampir satu jam listrik padam.
“Duh, panas sekali!”keluh Lala sambil kipas-kipas.
“Sabar, La. Daripada kegerahan di dalam rumah, lebih baik kita berkebun, yuk. Menanam pohon biar udara jadi sejuk,” usul ibu.
“Ide bagus, Bu. Ayo, kita beli bibit dulu,” ajak ayah antusias.
Tak lama kemudian, Lala bersama ayah dan ibunya pergi ke sentra tanaman di kota Probolinggo. Aneka tanaman hias, bonsai, serta bibit pohon buah tersedia di sana. Warna-warni mawar, anggrek, serta bugenvil menarik perhatian ibu dan Lala. Ayah melihat-lihat bonsai dan bibit pohon, sekaligus menimba ilmu dari si penjual seputar perawatan tanaman.
Setelah puas berkeliling, mereka bertiga pulang. Bagasi mobil terisi beberapa bibit pohon buah, bunga, pot dan pupuk.
“Alhamdulillah, sekarang, kita punya tanaman produktif,” kata ayah sambil mengeluarkan tanaman dari bagasi.
“Tanaman produktif itu apa, Ayah?” tanya Lala.
“Tanaman produktif adalah tanaman yang dapat menghasilkan (buah) sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Contohnya, pohon sawo ini.”
“Wah, sawo?” Mata Lala berbinar. “Tapi, lahan kita kan sempit, Ayah. Apa bisa ditanami pepohonan?” tanyanya sangsi.
“Bisa, dong. Pakai tabulampot.”
“Tabu… tabu apa sih, Ayah? Susah istilahnya.” Lala mengernyitkan dahi.
Ayah tertawa. “Tabulampot adalah tanaman buah dalam pot. Jika biasanya tanaman produktif ditanam di atas tanah, kali ini media tanamnya di dalam pot. Metode ini cocok untuk lahan terbatas seperti rumah kita.” Lala pun manggut-manggut.
Aktivitas berkebun pun dimulai. Ibu sibuk memindahkan mawar merah, soka, dan bugenvil dari wadah polybag ke dalam pot. Ayah dibantu Lala mencampur tanah, pasir, pupuk, dan sekam, lalu memasukkannya ke pot besar. Ada tiga bibit tabulampot yang ditanam, yakni pohon sawo kecik, mangga arumanis serta jambu air. Menjelang sore, semua sudah beres dan rapi.
“Rumah kita sekarang jadi tampak asri, ya?” ujar Lala.
“Tentu saja, kan banyak bunga dan tabulampot. Coba ya dari kemarin-kemarin kita menanamnya,” tanggap ibu.
“Selain itu, udara di lingkungan rumah kita akan semakin segar karena pepohonan menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen yang dibutuhkan manusia untuk bernapas,” lanjut ayah.
“Wah, ternyata pohon banyak manfaatnya ya, Ayah?”
Ayahnya mengangguk.
“Yang pasti, Lala tak perlu keluar uang jika ingin sawo. Tinggal metik, cuci, terus makan, deh,” kata Lala lagi sambil nyengir kuda. Ayah dan ibu tertawa mendengarnya.
Lala senang memiliki “taman baru” di halaman rumahnya. Setelah itu, ia rajin menyiram tanaman dan berharap tabulampotnya segera panen.

Senyum Sang Juara

Oleh Pupuy Hurriyah (Kompas, 01 Oktober 2017)
Senyum Sang Juara ilustrasi Regina Primalita - Kompas
Senyum Sang Juara ilustrasi Regina Primalita/Kompas
SUDAH dua minggu berlalu, tetapi ingatan Sekar masih saja pada perlombaan story telling yang setiap tahun diadakan di sekolahnya, SDS Bina Insan Mandiri, Kebon Jeruk Jakarta Barat.
Sebelum perlombaan, Sekar adalah sang juara bertahan. Karena dua tahun berturut- turut sebelumnya, Sekar selalu menjadi juara satu. Tahun ini pun teman-teman menjagokan Sekar kembali juara satu. “Hidup Sekar. Gelar juara pasti di tanganmu!” ujar teman-temannya sebelum lomba.
Namun ternyata, tahun ini Sekar harus puas menjadi juara dua. Sekar dikalahkan Ajeng, teman sebangkunya. Padahal, di tahun terakhir duduk di sekolah dasar ini, Sekar berharap dapat menjadi juara lomba story telling tiga tahun berturut-turut.
Harapan besar Sekar itu pupus karena Ajeng. Dua tahun sebelumnya Ajeng pun selalu ikut lomba story telling. Hanya, langkah Ajeng selalu terhenti di babak semifinal. Untuk tahun ini, Ajeng berhasil mencapai final. Bahkan, berhasil meraih juara I mengalahkan Sekar si juara bertahan!
Sekar ingat saat-saat menghadapi perlombaan, ia dan Ajeng berlatih bersama. “Sekar, kau baik sekali mau mengajariku untuk lebih baik lagi dalam belajar story telling,” kata Ajeng saat mereka berlatih.
Sekar tersenyum manis, “Aku senang jika kau bisa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya dalam menghadapi lomba nanti.”
Ah! Tetapi, Sekar tidak pernah membayangkan, jika ternyata Ajeng dapat mengalahkannya saat lomba! Ada rasa sesal, kenapa berbaik hati mengajari Ajeng saat menjelang lomba? Perasaan Sekar campur aduk antara marah, kesal, dan kecewa. Sejak itu, Sekar selalu menghindar dari Ajeng. Ia bersikap dingin terhadap Ajeng.
Kini setelah dua minggu Sekar bersikap tidak ramah terhadap Ajeng, Sekar mulai merasakan sendiri kesedihan setelah persahabatannya dengan Ajeng menjadi renggang. Sekar merasakan kehilangan hari-harinya yang indah sebelumnya bersama Ajeng.
“Ajeng,” Sekar tiba-tiba menyapa Ajeng saat jam istirahat di kelas.
Ajeng terkejut. Sekar bicara padanya! Padahal sejak usai lomba dua minggu lalu itu, Sekar sama sekali tak mau bicara.
“Maafkan sikapku,” kata Sekar.
Sekar lalu menggenggam tangan Ajeng erat-erat. “Biarlah aku tidak mendapatkan gelar juara kemarin itu, asalkan aku tetap mendapatkanmu sebagai sahabat, Ajeng.”
Oh! Ajeng terkejut dengan sikap Sekar. Ia pun berkata, “Aku juga, Sekar. Aku pikir, lebih baik aku tidak menjadi juara, asalkan aku tetap menjadi sahabatmu.”
Sekar menggeleng, “Kau berhak mendapatkan juara, Ajeng. Kau sungguh bagus saat lomba. Aku harus sportif mengakuinya. Semalam ibuku bilang kepadaku, bahwa aku juga tetap menjadi juara. Aku juara karena telah berhasil mencetak seorang juara.”
Kedua sahabat itu pun saling berpelukan.

Bermain Gamelan

Oleh Tyas KW (Kompas, 22 Oktober 2017)
Bermain Gamelan ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Bermain Gamelan ilustrasi Regina Primalita/Kompas
“GONG-GONG kecil ini untuk apa, Kak?” tanya Dhanis di rumahnya JI Glagahsari Umbulharjo, Yogyakarta. Ia heran melihat Kak Nono, kakaknya yang sudah kuliah, membeli tiga buah gong kecil.
“Itu oleh-oleh untuk teman-teman kakak,” jawab Kak Nono. Seminggu lagi Kak Nono kembali ke tempat kuliahnya di Jakarta.
“Oleh-olehnya kok, gong? Ini tidak asyik, Kak?”
“Gong ini bagian dari gamelan,” jawab Kak Nono. “Gamelan itu terkenal, lho.”
“Apa serunya gamelan, Kak? Musiknya lambat jadi ngantuk,” sahut Dhanis.
“Tak kenal, maka tak sayang. Ayo, hari Kamis ikut kakak ke tempat belajar gamelan, ya,” ajak Kak Nono. Namun, Dhanis tak bersemangat dengan ajakan kakaknya.
Kamis pagi, Dhanis pergi bersama Kak Nono ke Keraton Yogyakarta dan langsung menuju Bangsal Sri Manganti.
“Bangsal Sri Manganti ini merupakan pusat kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Setiap Kamis pagi ada pertunjukan gamelan. Kita menonton dahulu di sini,” Kak Nono menjelaskan.
“Nanti kalau aku mengantuk, bagaimana?” ungkap Dhanis. Kak Nono menggamitnya untuk segera duduk.
Pertunjukan gamelan baru akan dimulai. Semua tempat duduk tampak sudah penuh.
Ternyata, lagu-lagu yang dimainkan kelompok pemain gamelan itu ada juga yang iramanya tidak lambat. Dhanis yang awalnya tak tertarik malah mulai jadi menikmatinya, terutama saat gong berbunyi. Kepala Dhanis selalu ikut terangguk-angguk setiap gong besar dipukul. Dhanis suka suara gong yang bergaung dengan nada berat itu.
“Wah, gongnya besar sekali yaa, Kak!” seru Dhanis kagum.
Setelah pertunjukan selesai, Dhanis mendekati pemukul gong dan menanyakan alat musik gong itu, dan alat musik lainnya. Pak Parto, si pemukul gong lalu menjelaskan ke Dhanis mengenai gong, kendang, dan alat-alat gamelan lainnya yang fungsinya berbeda-beda. Dhanis mencoba memukul gong. “Duuunnnggg…” Dhanis senang sekali mendengarnya.
“Kak, aku mau belajar memukul gong. Ternyata gong itu untuk penutup dari lagu yang liriknya panjang,” ujar Dhanis saat Kak Nono mendekatinya. “Duuuunnnggg…,” Dhanis kembali memukul gong besar itu.
Kak Nono hanya tersenyum mendengarnya. “Nah, kalau alat yang satu itu, fungsinya apa, Dhanis?” tanya Kak Nono sambil menunjuk kendang besar.
“Nah, kalau itu namanya kendang untuk mengatur tempo,” ucap Dhanis bangga. Dhanis memang cepat ingat dalam mempelajari sesuatu hal baru. “Nanti, aku juga ingin bisa bermain kendang.”
“Adik hebat! Sudah mengerti gamelan,” puji Kak Nono.
“lya, Kak. Aku mau belajar gamelan. Jadi aku bisa ikut melestarikan budaya Indonesia. Apalagi bermain gamelan itu beramai-ramai, jadi seru, Kak. Duuunng….,” Dhanis mengakhirinya kata-katanya dengan membunyikan alat musik gong kembali.
Kak Nono pun tersenyum. Ia bangga dengan Dhanis. *

Terlambat

Kamu sudah memilih pergi
Meninggalkan kita tanpa pamit
Seperti kemarau yang tetiba hadir
Mengurung bumi dalam getir
Aku sudah terbiasa sendiri
Mengukir bahagia di sini
Bermain bersama derasnya hujan
Dan menikmati teduhnya awan
Pintu yang sudah kau tutup
Kini tak dapat kau buka lagi
Meski kau mengetuknya ribuan kali
Meski kau tiada henti berteriak permisi
Tempat ini bukan lagi rumahmu
Kekosongan di sini tak lagi milikmu
Dan aku bukanlah tempat pulangmu
Bukan tempat untuk menyeka dukamu
Simpanlah semua sesal untukmu sendiri
Nikmatilah rindu yang menyergap hati
Waktumu akhirnya tiba juga kini
Kamu terlambat menyusul aku yang pergi

mpat Babak Cornelia

Cerpen AM Lilik Agung (Kompas, 19 November 2017)
Empat Babak Cornelia ilustrasi Senna Yudha - Kompas.jpg
Empat Babak Cornelia ilustrasi Senna Yudha/Kompas
Babak Pertama
Jumat malam ini, kali ketiga aku datang ke kafé berjuluk “Green & Blue”. Kapal-kapal wisatawan memenuhi riak Sungai Thames. London Bridge dalam sapuan cahaya neon bergantian warna. Sepotong “black forest”, secangkir caffe latte dengan sedikit gula. Begitu aduhai duduk di Green & Blue Café. Itu hanya pelengkap. Hidangan istimewa tetap dia, sesosok wanita berwajah Asia yang selalu membawakan sebuah lagu di panggung kecil pojok kafé.
Jumat ketika aku pertama datang ke sini. Jam sudah merayap ke angka sembilan malam. Ketika aku mau beranjak pergi sehabis mencecap secangkir caffe latte. Dia berjalan ke panggung. Membisikkan kalimat kepada salah satu pemain band. Lalu suara parau dengan lengkingan gitar menyayat terdengar. “Cry Baby”-nya Janis Joplin. Tak jadi aku mengangkat tubuh. Menikmati dia yang penuh perasaan mendendangkan tembang blues yang bertambah muram pada temaram lampu kafe.
Lalu Jumat malam ketika tumpukan pekerjaan mingguan tuntas aku selesaikan. Berjalan menelusuri Sungai Thames. Melewati pasar malam di tepi sungai yang sudah ada sejak abad delapan belas. Menyempil di antara pasar malam dan bangunan jangkung kantor pusat perusahaan minyak; Green & Blue Café. Secangkir caffe latte yang selalu aku pilih. Sepotong choco ring. London Bridge di kejauhan. Lalu berharap si pemilik wajah Asia muncul lagi.
Harapan yang tidak sia-sia. Dia seperti minggu lalu. Naik ke panggung. Meraih mikrofon dan melantunkan sebuah lagu. Kali ini “Diamonds and Rust” milik Joan Baez. Dari sofa, aku ikut mendaraskan lagu itu. Tentu sambil menikmati wajah Asianya yang semakin bersinar ditimpa temaram sorot lampu.
Malam ini sengaja aku duduk pada deretan bangku kedua dari sisi panggung. Roti isi daging tinggal satu irisan. Caffe latte sudah hilang panasnya. Dia naik ke panggung. Berbeda dibanding dua penampilan sebelumnya. Dia memainkan piano. Terdengar lagu jazz ringan “Come Away with Me” dari Norah Jones. Dia memang brilian untuk ukuran pemusik amatir. Suaranya khas walaupun bisa dengan bagus memainkan karakter Janis Joplin atau Norah Jones. Dentingan piano dari tangannya menandakan kalau dia pernah belajar serius memainkan piano.
Selalu satu lagu dibawakannya. Lalu dia kembali ke tempat duduknya. Ada kesempatan, tepat di depan mejanya ada bangku kosong. Beranjak aku ke sana. Bertanya kepadanya dan dia membolehkan aku duduk menemani. Duduk berhadapan, ia sejenak memandang wajahku.
“Asia?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Philippines?” dia melanjutkan.
“Indonesia,” kujawab.
“Indonesiaaa…” dia membuka bibir lebar-lebar. Refleks dia mengangkat tubuh. Menghampiri diriku. Membuka tangan lalu memeluk diriku. Pelukan nan erat lagi hangat.
“Selagi di negeri orang,” dia setengah berbisik. Dan kudiamkan saja ketika pipi kami saling bertemu. “Maaf, aku terlalu posesif apabila bertemu orang Indonesia,” katanya ketika dia sudah duduk kembali. “Untuk merayakan pertemuan perdana ini, kita bersulang. Anggur putih di kafé ini istimewa, Jacobs Creek.” Dia mengangkat tangan memanggil barista. Dua sloki anggur putih, kami bersulang.
“Cornelia…” kutebak namanya.
“Kok tahu?” dia bertanya
“Ketika kau naik panggung, vokalis asli home band café selalu menyebut namamu.”
“Lengkapnya Cornelia Wiji Sugondo. Lha, aku ini asli wong ndeso. Asli dari Brosot Kulon Progo,” dia tertawa renyah. “Kau sendiri?”
“Agung Saputra Wijaya. Cukup dipanggil Agung. Mengikuti ritme kerja ayah yang bekerja di perusahaan minyak global. Lahir di Budapest. SD sampai SMP di Kanada. SMA dan kuliah S-1 di Indonesia. Ambil master keuangan di Chicago University. Jadi, aku ini orang mana, ya?” sedikit tersenyum, kutatap dia.
“Ayah dari mana?” balik ia bertanya.
“Trenggalek.”
“Lha, iya, tetap saja kamu seperti diriku. Wong ndeso,” dia tertawa. “Dan kenapa orang Trenggalek bisa sampai London?”
“Selesai ambil master, aku pulang ke Indonesia. Ternyata hanya setahun empat bulan saja di Indonesia. Tiga bulan lalu perusahaan mengutus aku untuk berkantor di London sampai akhir tahun ini.”
“Kau bekerja di mana?”
“Perusahaan investasi global.”
“JP Morgan? Goldman Sachs? Merrill Lynch?Morgan Stanley?” dia menyebut perusahaan-perusahaan investasi global yang mengatur duit di kolong langit ini. Kusebut salah satunya. Beranjak dia mendekat padaku. Menatap baju Lacoste santai yang aku pakai. Memandang celana chino bermerek Hugo Boss yang menutupi kakiku. Lalu berakhir pada sepatu sneaker keluar terbaru Adidas seharga lima gaji buruh per bulan di pabrik pembuat sepatu itu di Tangerang.
“Sekarang perusahaan keuangan global berpenampilan mirip perusahaan berbasis teknologi, ya?” dia selesai menginspeksi penampilanku. “Atau ini bagian dari strategi untuk menggoreng nilai aset perusahaan teknologi yang tidak masuk akal itu?!” Pertemuan perdana yang menarik. Lia—panggilan namanya—sudah membuka arena perdebatan. Aku suka hal ini.
“Jumat baju formal sudah kami tinggalkan. Berganti kasual. Senin sampai Kamis kami mengatur keuangan global. Jumat sedikit santai agar dunia keuangan juga ikut santai. Sabtu istirahat. Minggu mengaku dosa di tempat ibadah. Senin sampai Kamis kembali mengatur lalu lintas investasi lokal dan global,” sengaja kupancing Lia.
“Orang-orang seperti kamu ini berbahaya. Sungguh berbahaya. Kapitalis nan murni nir etika,” Lia meraih gelas anggurnya. Meneguk sekali lalu melanjutkan omongannya, “Menyedot habis sumber daya negara-negara miskin.”
“Justru kami ini yang bertungkus-lumus membagi kesejahteraan global agar terjadi keseimbangan,” aku mengembangkan senyum.
“Jangan berkotbah seperti ini di hadapanku. Walaupun aku orang ndeso, asli Brosot, tapi master keuangan seperti dirimu dari London School of Economic. Dua bulan di sini persiapan ambil doktor,” Lia melirik jam tangannya. “Sudah larut. Apartemenku di Lewisham. Kau sendiri tinggal di mana?”
“Roehampton.” Lalu kami berjalan bersandingan. London Bridge kami lewati. Tiga ratus meter kemudian Lia berbelok ke kanan menuju apartemennya. Aku masih lurus, kira-kira dua ratus meter jauhnya.
Babak Kedua
Dari Bandara Adisutjipto Yogya kupesan taksi menuju Brosot. Meninggalkan kota tiga puluh kilometer jaraknya. Jalan kabupaten, bersambung jalan desa. Pada ujung jalan, taksi sudah tidak bisa lewat lagi. Kuteruskan jalan kaki. Hari beranjak gelap. Pematang sawah dengan hiasan kunang-kunang. Ada sungai kecil mengalir. Meniti jembatan sungai. Lampu-lampu neon penanda sebuah kampung. Kantor kelurahan berarsitek rumah Jawa. Ada sebidang tanah lapang di depannya. Bercahaya terang dengan kerumunan orang-orang. Tetabuhan gamelan rancak terdengar. Aku ke sana.
Enam penari laki-laki beraneka umur kakinya menjejak bumi, tangannya berkeliaran menggapai angkasa. Ditingkahi bunyi gamelan yang semakin membahana. Riuh penonton memberi gairah para penari untuk meliuk-liukkan tubuhnya. Tari krumpyung. Ya, tari krumpyung tarian khas daerah ini. Lalu muncul wanita penari. Berkain jarit batik setinggi dada. Ada selendang melilit tubuhnya. Sapuan tipis riasan menghiasi wajah Asianya. Cornelia Wiji Sugondo penari itu. Penonton riuh. Aku terpukau. Tidak menyangka kalau Lia cerdas menari tradisional daerahnya.
Gamelan tetap bertalu. Riuh penonton tetap membahana. Dikepung enam penari pria, Lia luwes menggerakkan tubuhnya. Tangannya piawai memainkan selendangnya. Tiba-tiba saja selendang Lia melilit tubuhku. Penanda aku wajib memasuki arena. Menari bersama Lia. Sungguh kaku kakiku. Tegang tubuhku. Tak bergerak tanganku. Wajah Lia mendekat ke wajahku. Sontak penonton berseru, “Cium. Cium dong.!!” Aku tetap kaku, tegang. Dan benar, Lia mencium keningku. Lalu pipiku. Riuh penonton membahana.
Berjarak dua ratus meter dari kelurahan, rumah orangtua Lia. Ada tumpukan padi di halaman depan. Pintu bercat hijau. Ruang tamu dengan hiasan foto wisuda Lia di London School of Economic.
“Simbok! Mbok-e…” Lia berseru. Memanggil ibunya dengan sebutan “simbok”. Penanda asli orang desa. Wanita berusia sekitar enam puluhan tahun keluar dari bilik dalam.
“Ini temanku. Priayi Jakarta,” Lia mengenalkan diriku kepada simboknya. Kujulurkan tangan. Tangan kasar yang saban hari berjibaku di sawah, menempel tanganku.
“Kamar sudah disiapkan Simbok. Ada di ujung sana,” Lia menunjukkan kamar tidur untukku. Malam itu sengaja jendala kubuka. Kunikmati embusan angin malam. Sawah terbentang. Suara riak sungai. Binatang malam bernyanyi. Ada damai di rumah ini.
Babak Ketiga
Gedung pengadilan niaga di ibu kota Jakarta. Setumpuk dokumen memenuhi tasku. Laptop berisi soft copy berbagai analisis bisnis sudah kupersiapkan secermat mungkin. Hari ini aku mewakili klienku, perusahaan tambang yang akan memperluas konsesi di sebuah wilayah di Jawa Tengah. Di pengadilan niaga aku akan berhadapan dengan masyarakat lokal yang memandang bahwa konsesi tambang akan menghancurkan lingkungan. Sebuah kesimpulan yang terburu-buru menurutku. Hasil kajian lingkungan tidak menemukan apabila tambang beroperasi akan merusak lingkungan. Dampak ekonomi justru jauh melampaui dampak lingkungan.
Duduk di hadapan para hakim. Dengan perjalanan panjang pendidikan terbaik yang pernah aku lakoni. Rekam jejak menangani klien perusahaan multinasional dan lokal besar. Sebuah kewajaran apabila rasa percaya diriku begitu besar menghadapi gugatan masyarakat lokal itu. Namun, semuanya buyar berantakan. Wakil masyarakat lokal itu. Sosok yang membuat logika cintaku tidak bisa dikendalikan; Cornelia Wiji Sugondo. Aku berhadapan dengan Lia.
Pada saat pembacaan gugatan persidangan, Lia sengaja berdiri. Mendekat ke arahku. Menelanjangi wajahku. Aku kelimpungan. Apalagi mendengar rentetan kalimatnya, “Anda itu anak kemarin sore. Tiada paham lingkungan. Tak kenal tanggung jawab sosial. Isi pikiran Anda hanya satu; keuntungan. Teks bisnis paling dasar itu menulis tentang keseimbangan antara modal, keuntungan, lingkungan dan tanggung jawab sosial. Anda layak baca buku dasar-dasar bisnis lagi kelihatannya. Atau master yang Anda peroleh dari Amerika itu berasal dari sekolah bisnis di tikungan jalan?”
Setumpuk dokumen yang memenuhi tasku. Referensi dalam bentuk soft copy di laptopku, menjadi tiada berguna di hadapan Lia. Retorika Lia. Bahasa tubuh Lia ketika mencecar diriku, membuat aku tergagap-gagap. Hari ini aku kalah.
Babak Keempat
Dari lantai dua puluh delapan apartemen. Kutatap taburan cahaya di jantung kota Jakarta. Tugu Selamat Datang dengan air mancurnya. Riuh di jalanan. Senyap di apartemenku. Teh yang aku seduh sudah lama dingin. Tembang-tembang Eric Clapton sekilas mampir di telingaku. Selebihnya aku terkapar. Pengadilan siang tadi membuat runtuh mentalku.
Lalu berderet pesan mampir ke ponselku. Kueja, “Dari jendala apartemenmu terlihat Grand Hyatt Hotel. Di kamar 916 ada sosok yang menunggumu. Anggur Jacobs Creek kesukaanmu sudah disiapkan. Sungguh malam yang terlampau indah untuk dilewatkan sendirian. Lia.”
Segera kukenakan sepatu. Hanya berjarak sepelemparan batu apartemenku dengan Grand Hyatt Hotel. Akan kubalas tindakan Lia tadi siang. Akan kucumbu bibirnya. Kuhabisi tubuhnya.

AM Lilik Agung, peserta Kelas Cerpen Kompas 2017. Trainer dan konsultan bisnis yang banyak menulis ulasan kepemimpinan serta manajemen pada berbagai media. Menulis tiga kumpulan cerpen dan satu novel.

Impianku

Cerpen Etik Nurhalimah (Republika, 19 November 2017)
Impianku ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Impianku ilustrasi Rendra Purnama/Republika
(Bagian I)
Tak banyak yang kupinta Tuhan, hanya seulas senyum di masa depan. Saat toga disematkan, ijazah tabung aku genggam. Kebahagiaan bapak dan emak mengembang. Biarkan jemari melukis indahnya mimpi menjadi nyata. Sebagai bakti seorang anak kepada orang tua.
“Nek, hari ini mau jalan-jalan tidak?” tanyaku pada nenek, wanita berumur 95 tahun yang hampir enam tahun kujaga.
“Tidak, Ami. Hari ini saya tidak enak badan,” jawabnya pelan. Disertai tarikan selimut untuk menutupi kembali tubuh rentanya. Seolah tidak mau terendus sinar matahari.
Bukan hal mudah menuruti kemauannya–laksana anak kecil–ia ingin selalu diperhatikan dan dimanja. Usianya yang hampir seabad membuatnya kerap lupa dan pikun. Tak jarang, sesuatu yang telah diberikannya, akan dicari kembali. Dengan dalih kehilangan barang yang disayang.
Namaku Aminah, anak sulung dari empat bersaudara. Berasal dari Desa Sidodadi, Sekampung Udik. Sebuah desa kecil yang mengajarkanku arti kehidupan, ketegaran, dan perjuangan. Wanita seusiaku–yang sudah kepala tiga–bila di kampung telah memiliki anak dua ataupun tiga. Karena jika lewat tujuh belas tahun, bisa dikelompokkan menjadi perawan tua. Sedangkan aku? Entah berapa kali lebaran dan takbir berkumandang, selalu di perantauan. Mulai dari membantu menyekolahkan ketiga adik-adikku, hingga kini mereka telah menikah, dan punya anak.
Setelah kusiapkan sarapan pagi untuk beliau, dengan cekatan kuambil tas ransel hitam untuk pergi berbelanja. Selain mengurus nenek, membersihkan rumah, dan mengantar ke rumah sakit, aku pun harus ke pasar membeli sayuran dan kebutuhan lainnya. Aku tinggal bersama majikan dan nenek. Majikanku Shu Cang Lai. Beliau tidak menikah. Meski hampir enam tahun aku mengabdi di rumah ini, belum pernah aku melihat foto seorang wanita pun di kamarnya. Apalagi melihat ia bersama kekasih. Sedangkan nenek memiliki empat orang anak. Tiga laki-laki, yang paling bungsu perempuan.
“Paman, kangkung ini satu ikatnya berapa?” tanyaku pada penjual, seraya memilih kangkung hijau yang masih segar.
“Dua puluh lima dolar saja, Nona. Segar-segar loh! Kamu boleh memilih, kalau membeli banyak aku kasih murah.”
“Terima kasih, Paman. Aku beli dua ikat saja,” seraya kuulurkan uang logam satu keping. Bertuliskan lima puluh dolar. Tidak lupa kuucapkan terima kasih kepada lelaki paruh baya itu.
Majikanku bukanlah tipikal orang yang tidak punya. Karena setahuku ia seorang yang bermain saham. Meskipun tidak pernah pergi bekerja, tetapi tetap mendapat penghasilan. Hanya saja dalam perihal keuangan, perhitungannya sangatlah kikir. Semua jenis pengeluaran harus ditekan seirit mungkin.
Ransel hitam yang kutenteng telah penuh dan sesak. Terjejal beberapa ikat sayuran, buah, dan ikan, serta bumbu-bumbu dapur lainnya. Sesegera mungkin kulangkahkan kaki menuju apartemen Yonglun Li, Taipei, tempat aku bekerja. Karena untuk berbelanja pun, nenek memberiku tenggat waktu. Tidak boleh terlalu lama. Nenek paling tidak suka jika aku bercakap-cakap dengan sesama pekerja Indonesia. Di benaknya, jika sesama pekerja berbincang-bincang, pasti tengah membahas majikan masing-masing. Padahal semua tidak benar. Kami sama-sama saling menyapa.
“Saya pulang, Nek,” sapaku pada wanita tua yang duduk di atas sofa.
“Kamu belanja apa hari ini, Ami?” celetuk nenek.
“Hari ini saya membeli kangkung, Nek, buah, dan beberapa lauk-pauk.”
“Tiap hari kok makan kangkung?” tandasnya ketus.
Lah, Nek. Kemarin-kemarin kan kita masak sawi, brokoli, dan kubis? Hari ini kebetulan kangkungnya segar-segar, makanya aku beli.”
Nenek terdiam. Sifat pikun dan ingin tahu seolah telah menyatu dengan kulit putihnya.Tabiat mengatur yang identik dengan profesinya dahulu sebagai guru tidak pernah hilang. Ia memperlakukanku seperti muridnya. Apa pun selalu diatur, dinasihati. Tidak boleh ini dan itu. Harus begini dan begitu.
***
Lonceng jam dinding berdentang dua belas kali. Pertanda waktu makan siang telah tiba. Setelah semua hidangan tersaji di meja, lalu kupersilakan mereka untuk makan. Pada Senin sampai Jumat, anak pertama nenek yang kupanggil Ta Ke datang kemari untuk makan. Maklumlah untuk menekan anggaran pengeluaran rumah tangga, kan uangnya bisa untuk kebutuhan lain. Itulah penuturan yang kudengar dari nenek.
“Nenek, Tuan, Ta Ke. Silahkan makan,” ucapku seramah mungkin.
“Baik, Ami. Terima kasih,” timpal majikan seraya menuju ke meja makan.
Sementara mereka makan, aku membersihkan dapur dan perabotan. Selama bekerja di sini, aku tidak pernah makan bersama. Selalu menunggu mereka selesai. Dan hasilnya, hanya tersisa beberapa helai sayuran, kepala, dan duri ikan. Yang tidak layak untuk dimakan. Untung ada sebotol sambal terasi yang kubeli saat libur. Sedikit memberi rasa dan menemani gumpalan nasi putih di dalam mangkuk.
Sebenarnya ingin sekali aku memisahkan makanan sebelum kutaruh di meja. Tetapi apa yang harus disisakan? Semua menu jumlahnya sedikit. Jika kuambil duluan, akan ketahuan. Dan tidak pantas untuk disajikan. Hanya sabar yang bisa kulakukan.
Teringat pesan emak ketika aku lelah menghadapi perjuangan hidup, beliau selalu mengingatkan, “Nduk, dunia ini keras. Bahkan ia takkan pernah memberikan sebuah kebahagiaan pada penghuninya secara gratis. Dan harapan adalah tiang penyangga dunia. Untuk itu tetaplah semangat.”
Aku masih teringat, bagaimana seluruh saudara dan tetangga mencibir kita, lantaran emak berusaha mencari pinjaman uang untuk membeli beras saat adikku yang bungsu masih bayi. Kala itu, bapak belum pulang dari buruh panjat kelapa. Sedangkan kami seharian belum makan. Saat itu, emak tidak bisa bekerja mencuci baju di rumah tetangga, karena baru melahirkan.
“Makanya kalau gak punya uang jangan beranak terus. Sudah tahu hidupnya susah, anak malah dibanyakin,” kata Bude Yati, tetangga sebelah kami yang waktu itu menjual sayuran keliling.
Berkat jerih payahku, alhamdulilah tetangga yang dahulu mencibir mulai berpikir. Jika manusia mau berusaha, pasti ada jalan keluarnya. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untukku berkelana sebagai buruh migran. Mulai dari Singapura, Hong kong, dan kini Taiwan-lah destinasi terakhirku.
Tak hanya bekerja, aku di sini juga meneruskan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Secara diam-diam. Aku ingin mewujudkan sebuah impian yang tertunda, lantaran dahulu terbentur biaya. Selain pulang membawa uang, juga membawa ilmu. Yang bisa dimanfaatkan setelah aku tak lagi bekerja di luar negeri. Aku bersekolah di perguruan tinggi, yang menyediakan pembelajaran online. Setiap pribadi dituntut untuk mandiri dalam meraih prestasi.
***
“Ami …,” teriakan nenek membuyarkan lamunanku. Suara stereonya menggema ke seluruh ruangan.
“Iya, Nek. Aku datang,” balasku dengan tergopoh-gopoh.
“Kamu ada lihat uang saya gak? Saya taruh di laci ini, tapi sekarang enggak ada.”
“Wah, aku tidak melihat, Nek. Kan nenek melarangku untuk membuka laci ini? Jadi aku tidak pernah membuka, apalagi membersihkan.”
“Uang saya hilang. Enggak ada orang lain yang masuk ke rumah ini. Cuma saya, kamu, dan anak saya,” gerutu nenek dengan nada meninggi.
Aku mengigit bibir, sepasang mata ini berjuang keras menahan embun yang berdesak hendak keluar. Memuntahkan kekesalan dan sakit hati, atas tuduhan yang tak berbukti. Karena ini, bukan kali pertama nenek menuduhku sebagai pencuri. Dulu juga pernah terjadi. Ia kehilangan uang lima ribu dolar. Dan ternyata, uang itu dipakai untuk memperbaiki kloset WC yang pecah.
Rupanya tak hanya sampai sini nenek mencari gara-gara. Ketika majikan pulang pun, ia tetap berpikir jika uangnya sebanyak lima belas ribu dolar hilang. Jangankan mencuri, melihat bentuk dan tumpukannya saja aku tidak pernah. Apalagi uang berjumlah banyak, uang receh sisa belanja pun diminta lagi, jika aku pulang dari pasar. Uang untuk membeli koran setiap hari sepuluh dolar pun tidak dilebihkan. Jika seminggu maka ia akan menyiapkan sebanyak tujuh puluh dolar.
“Ami, kata nenek uangnya hilang. Apa kamu melihatnya?” tanya Tuan Shu penuh selidik.
“Tidak, Tuan. Saya tidak melihat, apalagi mengambil. Mungkin nenek lupa menaruh uang itu,” jelasku.
“Saya tidak lupa! Saya belum pikun,” sembur nenek dengan nada menyalak.
Akhirnya Tuan Shu menyuruhku pergi ke belakang, untuk menghindari pertengkaran dengan ibunya. Tetapi semenjak peristiwa itu, sikap tuan dan nenek sangat berubah. Mereka berdua tidak acuh padaku.
***
Dengan runut, aku terus membersihkan tubuh nenek. Mulai punggung, lengan, dada, paha, hingga pergelangan kaki. Nenek hanya mau dilap, katanya tidak perlu mandi. Agar menghemat air. Aku terhenyak. Saat sedang mengelap bagian mata kaki nenek, entah disengaja atau tidak, tiba-tiba nenek menjambak ekor rambutku yang kuikat tinggi. Hingga seringaian sakit kurasakan.
“Nenek, apa yang kau lakukan?” desisku kesal.
Tapi nenek hanya diam. Tanpa mengucap sepatah kata pun. Seolah tidak bersalah. Sebenarnya bisa saja aku balik memukul dia. Toh… sudah renta ini. Tenagaku jauh lebih kuat dibanding tenaganya, yang terbalut kulit keriput. Namun kuurungkan niat itu.
***
Kling. Sebuah panggilan di messengger masuk dari sahabatku, Dewi. Ia menanyakan, kenapa Skype-ku hingga kini belum menyala. Padahal lima menit lagi kelas daring dari dosen akan dimulai.
“Ayo, Ami. Semangat. Ini adalah semester akhir kita. Pastikan kita harus menyemat toga di acara graduation perdana di university. Bukankah kau ingin pulang dan mengajak orang tuamu untuk merayakan wisuda bersama?” bujuk Dewi penuh semangat.
“Kamu tahu, Wi. Hari ini aku dituduh mencuri uang nenek, belum lagi rambutku yang juga ia jambak. Aku sakit hati, dan sedih sekali,” jelasku, disertai buraian air mata menjatuhi pipi.
Come on, girl. Mana Ami yang kukenal dulu? Laksana batu karang di tengah lautan, akan tetap tenang meski badai menerjang.”
Sedihku hilang. Malasku terbang. Laksana mendapat asupan nutrisi dan gizi dari ucapan Dewi, sahabatku. Dia memang teman yang baik dan mengerti akan diriku. Bahkan, dialah satu-satunya teman yang tahu, jika selama ini aku berkuliah secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan tuan dan nenek.
“Siapa kamu? Istriku bukan! Adikku bukan! Kok di sini mau sekolah,” maki tuan, ketika dahulu aku berpamitan hendak berkuliah. “Saya menggajimu untuk menjaga nenek, jadi kerjakan tugasmu sebaik mungkin. Tidak usah aneh-aneh.”
Akhirnya aku memutuskan berkuliah secara sembunyi-sembunyi. Tak mudah memang, acap kali pengiriman modul datang, aku harus memberi petugas keamanan apartemen dengan dua bungkus kopi dan biskuit.

Etik Nurhalimah adalah pekerja migran Indonesia di Taiwan. Cerpen yang ditulisnya memenangkan penghargaan RRI belum lama ini.

Rahim dan Hantu-hantu

Cerpen Aveus Har (Media Indonesia, 19 November 2017)
Rahim dan Hantu-hantu ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Rahim dan Hantu-hantu ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Aku menemuinya, kali ini sendiri, tanpa istriku. Dia menyambutku berbeda dengan kemarin wajahnya tak beku. Kulihat ada sekumpulan otot yang hendak menarik ujung-ujung bibirnya, tetapi otot lain seolah diperintah untuk menahan. Hasilnya sebuah senyuman yang samar.
Sepertinya dia baru mandi; rambutnya masih basah menguarkan aroma sampo. Dia bertanya, “Mana istrimu?” Kujawab bahwa istriku tidak ikut. Lalu dia berkata, “Masuklah.”
Dia menutup pintu. Aku berdiri menunggu.
Ruangan ini masih sama seperti kemarin: sofanya masih mengambangkan debuan ke atas ketika dia menepuk-nepuknya beberapa kali sebelum mempersilakan aku duduk; dua gelas plastik air mineral yang kemarin tidak kami (aku dan istriku) sentuh meskipun telah dipersilakan; sekaleng roti yang berisi rengginang dan sestoples kue kering yang kemarin juga disuguhkan pada kami. Satu yang berbeda adalah sebuah buku yang tergeletak di atas meja.
Buku itu sangat kukenali: berjudul Berjuang demi Negeri, bergambar sampul seorang yang kini menjadi menteri, sebagai penulis buku itu.
Mungkin dia sengaja, atau mungkin kebetulan saja buku itu ada di sana. Buku yang sebagaimana banyak buku lain menjadi hantu dan membuatku tak sudi mengingatnya (namun, sebagaimana hantu, ingatan itu selalu menghantuiku). Aku berlaku seolah tak melihat buku itu, tapi dia wanita tuan rumah ini mengambilnya dan meletakkannya di pangkuan. Aku merasa yakin buku itu memang disengaja berada di antara kami.
“Kami tidak menyangka kau bukan seorang profesional,” kataku, membawa ke perbincangan yang telah kupersiapkan sebelumnya.
Dia tertawa. “Aku tidak peduli profesionalitas,” katanya. “Aku hanya peduli pada apa yang kuinginkan, selagi aku bisa mendapatkan.”
“Kau tahu istriku sudah begitu berharap sejak pertama proses ini berlangsung.”
“Oh, ya? Kau tahu, aku sudah begitu berharap sejak bertahun-tahun lalu.”
“Aku tidak tahu yang kau maksud.”
Dia bangkit, masuk ke dalam, dan kembali ke luar dengan selembar film USG. “Ini foto janin yang bertahun-tahun lalu tidak mendapat kesempatan hidup.”
Jadi, benarlah ketakutanku dulu bahwa masalah itu yang pada akhirnya menghadang.
***
Pertemuan kembali kami setelah bertahun-tahun lampau adalah ketika istriku pulang dari reuni kecil bersama teman masa kanak-kanaknya dan mengabarkan, “Ada persewaan rahim.”
Setelah lima belas tahun istriku didiagnosis tak bisa mempunyai anak karena masalah pada rahimnya, kabar itu terdengar seperti janji surga untuknya.
“Itu ilegal di sini,” kataku.
“Tapi praktiknya tetap ada,” sahutnya. “Dan, temanku berhasil punya anak dengan cara itu tanpa ada yang tahu bahwa dia hanya berpura-pura hamil. Aku mau seperti itu.”
“Berpura-pura hamil?”
“Sama seperti artis di film. Kau pikir mereka hamil beneran? Tidak. Mereka memakai sesuatu di perutnya agar tampak hamil.”
Aku tahu itu. Tapi, bagiku, itu konyol meskipun aku tidak keberatan. Bahkan aku pikir itu lebih baik daripada adopsi. Dengan berakting hamil, tidak akan ada pertanyaan perihal kehadiran bayi dalam keluarga kami.
Lalu, setelah kusetujui, istriku membawaku ke hadapan wanita ini, dan memperkenalkannya sebagai calon surrogate mother bagi janin kami.
Sejak mula aku memang sudah ragu akan pilihan istriku pada wanita ini. Dia wanita baik, aku tahu. Dia juga pernah menyewakan rahimnya pada teman istriku—yang ini aku tidak tahu dan sungguh terkejut ketika istriku memberi tahu.
“Apa sebaiknya tidak mencari pilihan lain selain dia?” tanyaku, sepulang dari pertemuan dengannya.
“Memangnya gampang nyarinya?” balas istriku.
“Mungkin….”
“Tidak. Dia wanita baik, kata temanku, dan kooperatif.”
Aku tidak menyerah begitu saja. Aku mencari informasi wanita lain yang menyewakan rahim. Tapi aku tidak menemukannya—dan kupikir itu musykil buat penulis yang terbiasa meriset apa pun semacam diriku.
Akhirnya kami melakukannya. Selama prosedur bayi tabung berlangsung, aku menjaga jarak dengan wanita itu, dan berlaku profesional sebagai klien semata. Istriku, sebagaimana inginnya, berlaku seolah benar-benar hamil, dengan muntah di pagi hari pula sehingga aku kadang merasa dia hamil sungguhan.
Aku berharap ‘kelahirannya’ akan lancar, tapi wanita pemilik rahim yang kami sewa ini membuat masalah—masalah yang sejak awal pernah kutakutkan karena aku sangat mengenalnya.
Setelah kemarin wanita itu bersikukuh akan mengembalikan semua biaya proses bayi tabung itu (yang membuat istriku tak berhenti menangis), sekarang aku tahu yang bisa kulakukan hanyalah mengemis belas kasihnya (meskipun aku tak yakin).
“Aku tetap tidak akan memberikan janin ini,” katanya, setelah kami saling diam, sambil mengelus perutnya yang buncit besar, “Apa pun yang terjadi.”
“Kau tahu kesepakatannya,” sahutku. Sebaris kalimat yang kubenci ketika kalimat yang sama ditujukan padaku oleh klienku. Kesepakatan. Hitam di atas putih. Perjanjian yang mengikatku dengan rantai besi. Sekarang aku menggunakan kalimat itu, dengan nada yang sama dengan yang dipergunakan orang lain: menekan.
Dia tertawa, lalu menyorongkan dua tangannya. “Kalau kau hendak menyeretku ke penjara, silakan saja,” katanya.
“Kami tak bisa begitu,” sahutku. “Bagaimanapun ini ilegal.”
“Ya, lalu apa maumu?”
“Aku minta pengertianmu.”
Dia kembali tertawa, dan aku merasa ditampar-tampar oleh tawa yang seolah memantulkan kembali kalimatku itu.
“Dulu kau meminta pengertianku,” katanya. “Dulu aku memiliki janin darimu, benihmu, dan kau memintaku menggugurkannya. ‘Demi sekolah dan masa depanku’, begitu katamu. Sekarang, aku kembali memiliki darah dagingmu, darah daging kita, meskipun harus lewat alat-alat sialan itu dan bukan persenggamaan.” Dia tertawa lagi, kali ini nadanya getir.
Aku diam.
Kami saling diam.
“Kukira kau sudah tidak menulis,” katanya, setelah barangkali menungguku bicara tapi aku benar-benar tak tahu harus bicara apa.
Dulu aku pernah bilang padanya ingin hidup dari menulis. Tapi menunggu karyaku dimuat di majalah atau diterbitkan menjadi buku seolah menunggu langit rubuh. Dan aku menyerah, sampai kemudian seorang kawan melibatkanku dalam bisnisnya. “Kau hanya perlu menulis,” katanya, “Tapi bukan untuk dirimu.”
Sejak itu aku banyak menulis buku, semua atas nama orang lain. Dan aku tidak lagi menulis buku untuk diriku sendiri. Industri lebih menyukai nama-nama: pejabat, artis, pengusaha terkenal. Buku bertuliskan nama mereka jaminan laku; buku bertuliskan namaku dulu selalu ditolak. Padahal, buku yang laris sekarang ini, akulah yang menulisnya.
“Aku tak menyangka orang berego besar macam dirimu rela menjadi bayang-bayang.”
“Aku butuh uang.”
“Aku juga,” sahutnya. “Menyewakan rahim itu menyakitkan bukan di selangkangan, tapi di perasaan. Tapi aku butuh uang.”
Aku diam.
“Dan kurasa kau juga. Menyewakan rahim otakmu untuk karya yang diaku orang lain, apakah kau merasa dunia tak adil?”
Aku masih diam. Dia menyodorkan buku di pangkuannya ke hadapanku. Aku memandang keluar jendela.
“Aku tahu ini bukumu maka aku membacanya.” Dia mengambil kembali buku itu. Membuka-buka tanpa membaca. “Roni, teman sekelas kita dulu, yang mengatakannya padaku. Katanya kau menjadi penulis hantu.”
Aku tak menjawab.
“Orang ini,” dia mengangkat bukunya seolah aku tidak tahu foto rekayasa yang tergambar di sana, “Menikmati pujian akan kecerlangan tutur bahasanya, meskipun sesungguhnya palsu.”
“Aku tahu.”
“Kisah hidup yang kau rekayasa atas dirinya akan difilmkan.”
“Aku tahu.”
“Dan, bagaimana perasaanmu?”
Aku diam.
“Begitulah aku, setiap kali harus melepas bayi yang sudah sembilan bulan kukandung.”
Aku masih diam. Masa-masa lalu berputar dalam kenangan.
“Beberapa kali aku bisa melepaskannya demi profesionalitas atau taik kucing apa pun yang sesungguhnya demi uang. Aku melacurkan rahimku sebagaimana kau melacurkan intelektualitas, bahasa dan imajinasimu.”
Ghost writer bukan pelacur.”
“Oh, maafkan. Kupikir sama.”
Aku diam lagi. Berpikir harus segera pergi tapi tak bisa beranjak. Otak dan hatiku seperti berseteru.
“Anak-anak dari rahimku menjadi hantu—bocah-bocah lucu yang tidak bisa kumiliki. Yang hanya bisa kulihat dengan perasaan hampa dan tak rela.”
“Aku tahu.”
“Ya, kau pasti merasakan semacam itu pada buku-bukumu.”
Aku diam. Dia benar. Aku selalu ingin ada namaku. Aku ingin orang tahu keberadaanku di balik nama lain di sampul buku-buku itu.
“Aku akan mengembalikan semua uang kalian, tapi aku harus menunggu rumah ini terjual.”
“Kau akan ke mana?” Aku terkejut dengan pertanyaanku sendiri.
“Aku akan pulang kampung. Kau tahu ke mana mencarinya jika ingin bertemu anak ini, anak kita ini.”
Aku kalah. Aku tahu aku kalah.
“Aku sudah membeli rumah di sana beberapa tahun lalu.”
“Janin kami?”
“Ini akan menjadi bayiku, bayi kita. Ini spermamu, dan meskipun bukan sel telurku yang kau buahi, ini tumbuh di rahimku. Aku tak akan melepaskannya, agar kau selalu ingat akan wanita yang pernah kau tinggalkan.”
Bertahun-tahun lalu. Kenapa harus bertemu; kenapa harus dia yang menjadi induk bagi calon bayi kami? Aku tak tahu. Mungkin, demikianlah takdir bekerja.
Aku pulang setelah tak ada lagi yang perlu diperbincangkan. Pulang sebagai kesatria yang kalah perang. Pada istriku yang menangis kukatakan, “Kita akan menyewa rahim lain. Dia pasti akan merawat anak kita dengan baik. Percayalah, karena aku sangat mengenalnya.”
Istriku memandangku seolah aku baru saja melepaskan sebuah peperangan yang seharusnya kumenangkan. Tapi dia tidak tahu, aku sudah kalah bahkan sebelum perang itu dimulai.
***

Penulis tinggal di Pekalongan. Novel terbarunya berjudul Sejujurnya Aku, Bentang Populer, 2015.

Bingung, Mulut, Cinta, dan Lainnya

Puisi-puisi Humam S Chudori (Media Indonesia, 19 November 2017)
Bingung, Mulut, Cinta dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Bingung, Mulut, Cinta dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Bingung


Win, aku terlalu lelah untuk tetap bertahan dalam
kesetaraan. Ada hal yang sangat sulit untuk
kuperjuangkan jika tuntutan persamaan terus
menerus kamu dendangkan. Kau nyanyikan. Kau
tembangkan tanpa henti seperti anak-anak di desa
saat diantar tidur oleh simbok atau embah dengan
sinom atau lirik sluku-sluku batok.

Win, kita beda dengan mereka yang berkulit albino
dan rambut jagung. Kulitmu sawo matang dan bola
matamu hitam legam tidak biru, tidak pula berwarna
hijau. Tapi kau begitu ngotot ingin seperti mereka
yang segalanya serba sama. Padahal sisi mata uang
mana pun tak pernah ada yang sama.

Win, percakapan kita malam ini justru
memperpanjang jarak kita. Jembatan yang kita
bangun tak pernah menjadi kokoh meski puluhan
tahun kita bangun bersama dengan skrup dan
mur kasih sayang. Tapi kekokohan titian kita tidak
pernah terjadi. Meski kebersamaan dalam jiwa
yang terjalin terlihat indah. Tapi sesungguhnya
keindahan itu penuh kepura-puraan sekedar berusaha
menyenangkan Tuhan.

Tuhan, maafkan aku yang pernah menuntut pada-
Mu. Dan permohonan itu Kau kabulkan. Tapi kini jadi
penyebab penyesalan yang tak pernah menemukan
titik akhir.

2017

Mulut


tanpa kau sadari
mulut itu telah kau gunakan
mengundang malakul maut
padahal kematian
pasti akan datang
meski tanpa diundang
tak peduli kepada pahlawan
tak peduli kepada pengecut
tak peduli kepada pendiam
tak peduli kepada si besar mulut

Cinta


Andai Kau tak pernah menciptakan cinta nan suci
dan abadi. Barangkali hidupku tak seberapa tersiksa
seperti sekarang ini. Hidup menjadi neraka sepanjang
masa, meski tak pernah ada yang tahu bagaimana
panas yang menyiksa dada dan membuat sesuatu
mendidih di otak yang ada di kepala

Tuhan, kenapa Kau cipta rasa cinta jika pada akhirnya
cinta tidak pernah menyatu di alam nyata. Lalu apa
artinya cinta yang menyiksa. Padahal seharusnya
cinta menambah bahagia tenaga. Menjadi energi
hidup. Menjelmakan irama bahagia.

Tuhan, benarkah cinta yang mendatangkan bahagia
itu masih ada saat dunia disesaki oleh nafsu syahwat
terhadap kekuasaan.

2017

Bahagia


kau selami lautan luas
kau panjat puncak gunung
kau telusuri semua sahara
kau jelajahi ujung dunia
bahkan kau berjalan
di atas awan yang bertebaran
pada angkasa raya
ketika kau cari bahagia
bahagia tak usah kau cari
ke sana ke mari
di sekelilingmu ia adanya
sebab

bahagia adalah buah manis
dari tingkahlaku baikmu
yang mengejawantah
dalam senyum sumringah
orang sekitarmu.

2017

Ingin Aku Menanam Damai


ingin kutanam kedamaian
meski tanah ini penuh perseteruan
ingin kutabur benih ketenangan
walau lahan ini sarat kegaduhan
ingin kusemai pohon kejujuran
kendati bumi ini dilapisi kemunafi kan

Tuhan
ajarkan aku bersabar
menunggu hasilnya
memang tak mudah
tapi aku pasrah.

2017

Malu


bukan malu yang kau jaga
tapi kemaluan yang kau piara
yang kau agung-agungkan
guna membesarkan birahi
pada kekuasaan
memupuk syahwat pada harta
menebar popularitas semu
padahal semua langkah ini
menuju kehancuran diri
tapi tak pernah kau sadari.

Baiti Jannati

-bagi Adin

Bagaimana kau rancang dan cipta bunga dunia dalam
jelmaan baiti jannati. Sedang istri selalu mengajak
diskusi dengan nada gaduh. Dengan kasidah
keributan dan irama capek menjadi lagu sehari-hari.
Aroma saling menyelidik pada setiap pembicaraan.
Dan desible suara perempuan itu ternyata lebih tinggi
dari suaramu nan lembut.

2017

Humam S Chudori, lahir 12 Desember 1958, di Pekalongan, Jawa Tengah. Sajaknya, selain dimuat di media cetak, juga terhimpun dalam sejumlah buku antologi puisi antara lain Sketsa Sastra Indonesia, Trotoar, Resonansi Indonesia (dwibahasa Indonesia–Mandarin), Antologi Puisi Indonesia 1997, Menatap Publik, Senandung Wareng di Ujung Benteng, Jakarta dalam Puisi Mutakhir, Mengalir di Oase, Tifa Nusantara 2, Gelombang Maritim, Ije Jela, Seratus Puisi Qurani 2016, Matahari Cinta Samudera Kata, Kejernihan Cinta, Sail Cimanuk, 1550 Mdpl Kopi, Batik Si Jelita, Buitenzorg, Jejak Kata, dll.