Daftar Blog Saya

Jumat, 04 Agustus 2017

Mencari Imam Mushola

Cerpen Makanudin (Republika, 30 Juli 2017)
Mencari Imam Mushola ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Mencari Imam Mushola ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Hampir sebulan. Sejak meninggalnya Pak Maulana Hafiz, mushola sepi. Sebagian warga mengeluhkan keberadaannya.
“Mushola seperti rumah tua tak berpenghuni.”
“Ya, mushola kita itu serupa kendaraan yang teronggok tak bersopir.”
“Kalau memang harus begitu mengkhawatirkan mengapa harus dibangun.”
Sebagai ketua warga, Pak Revolino merasa pikirannya terganggu mendengar omongan masyarakat tentang mushola. Pasalnya. Ia adalah yang berwenang memberi keputusan siapa yang menjadi imam mushola. Lelah rasanya. Bahkan, ketergangguan pikiran itu pernah terjadi setelah pembangunan mushola rampung lima tahun lalu, keluhan warga atas keterlambatannya menentukan seseorang menjadi imam mushola yang tentu juga pengurusnya pun, tersiar di warganya.
Namun, ia lebih banyak diam. Belum bisa menentukan. Hingga akhirnya ia segera menetapkan Pak Ramadan menjadi Imam.
Pak Revolino mengunjungi tokoh yang pernah belajar di Madrasah Aliyah itu untuk diminta menjadi imam di mushola. Tentu semua warga pun setuju. “Sudah, segera! Biar jelas saja imamnya,” begitu kata mereka.
Lalu ia segera mendaulat Pak Ramadan menjadi Imam. Pak Ramadan sempat menolak. Selain suntuk mengasuh anak kembarnya yang baru masuk SD, ia juga harus mengantar jemput istrinya jualan klontong di perempatan kota. “Tidak ada yang siap jadi imam, Pak,” kata Pak Revolino.
Pak Ramadan hanya mencurahkan pandangan. “Buat apa membangun mushola kalau tidak ada imamnya, Pak?” sambut Pak Niko yang menemani Pak Revol.
Keesokannya, ketika melihat Pak Ramadan baru pulang mengantar istrinya, dengan memboncengi kedua anaknya, Pak Niko segera mengejarnya hingga sampai di rumah dan ia menemuinya. Mengerti maksudnya, Pak Ramadan mengatakan, “ Rahmat siap imam, Pak,” begitu ia memanggil Rahmat Sugiarto, salah seorang warganya.
Sore setelah mendengarnya dari Niko, di kali kedua itu Pak Revolino ke rumah Pak Ramadan. Ia tetap memintanya menjadi Imam.
Menduga Pak Rahmat yang lebih aktif di lingkungan warga dalam berbagai kegiatan dan perhelatan apa pun, ia kembali berkata, “Pak Rahmat saja, Pak.”
Pak Revol diam beberapa jenak. Ia meragukannya. Meski pernah belajar di madrasah sore hari sepulang dari SD, ia juga jarang, bahkan tidak pernah mendengar Pak Rahmat yang tinggal di rumah yang bersebelahan dengannya itu membaca Alquran. “Warga sudah sepakat bapak yang mengimami kami di mushola.”
Akhirnya ia pun menerima. Siap meski tetap diam, tak memberi jawaban ketika itu. Setelah Pak Ramadan meninggal akibat kelelahan, dan jantungnya terasa meledak hingga ia tergeletak tanpa tertolong sebelum dibawa ke rumah sakit, Pak Revolino kembali dibuat bingung. Siapa yang menjadi imam.
***
Sore itu masih panas. Matahari barat cerah. Istrinya bergegas masuk ketika Pak Revolino sedang duduk dengan sarung dan peci di kepalanya. Ia baru akan siap melaksanakan sholat asar. “Imam mushola diserahkan ke Pak Maulana saja, Pak.”
Ia tidak segera menjawab. Beberapa hari lalu di antara warga kampungnya yang kecil itu ia sudah mendengar isu laki-laki enam puluhan itu akan menjadi Imam. Lalu, tak ingin hanya isu yang semakin santer, ia segera menemui Pak Maulana. “Saya minta bapak siap menjadi imam.”
Pak Maulana Hafiz diam. “Saya ingin bapak tidak memberi alasan kampung atau lainnya.”
Belum mendapat jawaban, ia pulang setelah memastikan Pak Maulana akan tetap siap. Mengimami warga di mushola. Kemudian ia baru memastikan ketika istrinya meminta lelaki satu-satunya yang bacaan Alqurannya baik itu untuk menjadi imam, “Aku juga menginginkannya imam, Nung.”
“Bagaimana, Pak?” memastikan imam mushola.
Ia mengangguk. “Ya.”
Pak Maulana Hafiz siap menjadi imam mushola. Ia adalah warga kampung sebelah. Tapi, karena mereka membutuhkan, maka ia pun bersiap. Sebelumnya, ia juga menyerahkan kepada Pak Rahmat.
“Aku gak bisa apa-apa, Pak.”
“Tapi, bapak lebih mampu dari warga lainnya.”
“Warga sudah mendukung Bapak,” balas Rahmat.
“Aku bukan warga sini, Pak Rahmat.” Ia beralasan.
“Tidak kenapa, Pak. Sama saja.”
***
Sejak kematian Pak Maulana Hafiz akibat penyakit sesak napasnya, mushola sepi. Tak ada yang mengimami. Bukan hanya maghrib yang biasa dipenuhi jamaah, setiap waktu sholat sehari semalam pun tak terlihat mushola ramai oleh mereka. Tak ada yang berjamaah. Atau sekadar shalat sendiri. Warga pun belum bisa menentukan siapa yang siap menjadi imam setelah belum juga mendapatkan seorang pun.
Pagi-pagi itu biasanya Nurjanah membicarakan mata pelajaran anaknya sebelum suaminya mengantarnya ke seko lah, ia juga sibuk bicara mushola. “Memangnya tidak ada laki-laki apa di kampung ini!” kesal Nurjanah. Entah ke siapa.
Revolino lebih merapikan buku-buku anaknya yang masih SD dan memasukannya ke tasnya. Bukan hanya warga, atau istrinya, ia juga ingin mushola segera memiliki imam. Apalagi bisa mengajari anak-anak membaca Alquran sembari menunggu waktu isya. Tapi, siapa? “Masa iya orang-orang di kampung ini al-Fatihah saja tidak ada yang bisa!” lagi, Nurjanah bergumam masih dengan nada kesal.
Revolino hanya diam. Tak menghiraukan. Ia lebih mempersiapkan keberangkatan anaknya. Itu tugasnya. Lalu setelah rapi, ia menuju sepeda motor yang terparkir di depan rumah, dan meninggalkannya. Mengantar anaknya.
***
Menjelang maghrib, Revolino duduk di ruang keluarga. Waktu mulai gelap setelah matahari pelan tertarik ke barat. Tapi, kamar-kamar rumahnya terang oleh lampu yang sudah terpasang.
“Pak… mushola harus segera memiliki imam,” kata Nurjanah yang baru saja mengambil air wudu.
“Tapi, keputusan imam itu keinginan warga juga, Nung.” Begitu ia memanggil Nurjanah, istrinya.
“Sampai kapan mereka menentukan seorang imam.”
“Sampai dapat.”
“Ya, kapan. Hampir sebulan mushola sepi.”
“Kita tunggu saja.”
“Bapak biasanya menentukan sendiri kan.”
Ia diam. Seakan tak menghiraukannya.
“Aku ingin warga di sini yang menjadi Imam.” Istrinya masih berdiri, memakai mukena akan sholat.
Ia kembali dibuat bingung. Siapa? Tanya hatinya. Pak Rahmat? Ia tak pernah menawarkan dirinya siap menjadi imam. Tapi, pantas atau tidak ia imam? pikirnya.
Namun, tanpa disengaja, ia pernah bertemu Pak Nikodi warung Pak Ramadan yang dikelola anak sulungnya, Rizki. Ia hanya mendengarkan ketika mereka mengatakan ingin secepatnya ada yang jadi imam di mushola. “Siapa, Pak,” tanya Rizki.
“Dari kampung kita saja.”
“Warga yang harus memintanya, Pak.”
“Ya, meski bacaannya tak bagus-bagus bangat,” kata Pak Niko.
Revolino hanya diam. Tapi, belum mengerti siapa yang mereka maksud, hatinya bertanya-tanya. Siapa…? Pertanyaan itu terus mengusik pikiran. Hingga istrinya juga menyarankan imam dari warganya.
“Siapa yang siap, Nung.”
Tanpa menuju kepada siapa pun, Nurjanah berkata, “Ya, Allah, Pak, kalau saya jadi laki-laki ni…” Ia menuding ke dirinya. “Saya sudah siap menjadi imam.”
Revol tersenyum. Memandanginya dengan senang atas perkataannya.
“Dari pada sepi begitu. Mushola seperti tak terurus.” Ia juga memandanginya.
Lalu Revolino mengalihkan pandangan ke setiap kamar yang pintunya terbuka. Ke ruang keluarga. Ruang yang juga untuk shalat. Lalu ia berpikir. Ia menduga Nurjanah menunjuk seseorang dari warganya yang lebih mampu menjadi Imam.
Memang itu yang ia inginkan. Mengapa tidak sejak kematian Pak Ramadan, atau bahkan sejak dibangun mushola ia berbicara denganku seorang imam mushola, hatinya.
Ia mengerti. Banyak warga meragukan Rahmat sebagai Imam. Namun, ia juga mengingat beberapa hari setelah menjadi imam, merasa tak enak badan, Pak Ramadan meminta Rahmat mengimami. Hanya sekali itu saja.
Pak Maulana juga pernah menjelaskan, di akhirat nanti mushola akan menuntut warganya yang tidak mengisi dan menghidupkannya. Maka agar tidak sengsara di akhirat, dengan alasan yang cukup kuat itu, ia bersiap menentukan seorang imam.
Tadinya ia akan shalat di ruang keluarga setelah istrinya sudah siap lebih dahulu. Tapi, perkataan istrinya itu juga mengharuskannya menentukan imam mushola. Ia segera keluar rumah. Menoleh ke kanan-kiri jalan depan rumahnya. Di sepanjang jalan, selain Pak Niko dan Pak Rizki, ia melihat bapak-bapak lainnya. Tanpa mengerti maksudnya, mereka menuruti ketika ia meminta mereka menemani ke rumah Pak Rahmat.

Cibitung, Maret 2016 Penulis lahir dan menetap di Bekasi. Bekerja sebagai guru. Ia bisa dihubungi di email bangendin@yahoo.com.

Apel Pak Thomas

Cernak Muhammad Fauzi (Suara Merdeka, 30 Juli 2017)
Apel Pak Thomas ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Apel Pak Thomas ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Di Desa Laprika, hanya Pak Thomas yang memiliki pohon apel. Pohon apel merah itu tumbuh subur di depan rumah Pak Thomas. Buahnya sangat banyak. Saking banyaknya, buah apel itu merunduk hampir menyentuh tanah.
Sayangnya, Pak Thomas pelit! Ia tidak mau berbagi dengan tetangganya. “Pak Thomas, boleh saya minta apelnya? Satu saja! Saya sedang hamil tua, Pak!” pinta Bu Soraya sambil mengelus perut besarnya.
“Tidak bisa, Bu Soraya. Saya membeli bibit apel ini di kota. Merawatnya juga tidak mudah. Sebaiknya Bu Soraya membeli sendiri bibit apel di kota,” jawab Pak Thomas.
Melihat kejadian itu, Bu Thomas, istri Pak Thomas, menggelengkan kepala.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Pak Thomas tidak boleh dimintai buah apelnya. Pernah seorang anak kecil merengek pada ibunya karena menginginkan apel itu. Tapi lagi-lagi Pak Thomas tidak memberikannya dengan alasan sama.
Malam ini, Pak Thomas tidur lebih awal. Karena besok ia akan memanen apel-apelnya. Pak Thomas ingat, ada tujuh puluh buah apel di pohonnya. Ia menghitungnya setiap hari. Karena ia tak ingin apel itu hilang satu pun.
“Tidak mungkin kita mampu menghabiskan semua apel itu, Pak. Kita berikan saja sebagian kepada tetangga,” usul Bu Thomas saat makan malam.
Pak Thomas tertawa, kumisnya ikut bergerak.
“Ingat perjuangan saya saat merawat pohon apel ini, Bu? Rasanya sangat disayangkan jika saya membaginya secara cuma-cuma.”
Lagi-lagi Bu Thomas menggelengkan kepala. Tiba-tiba Bu Thomas mendapatkan ide.
***
Pak Thomas bangun pagi-pagi sekali. Ia berniat memanen apel-apelnya. Tiba-tiba mata Pak Thomas terbelalak. Ia sangat terkejut melihat apel-apelnya hilang.
“Istriku, apel-apel kita hilang! Kamu tahu siapa yang mencurinya?” teriak Pak Thomas sambil mencari Bu Thomas di dalam rumah.
Pak Thomas semakin geram karena Bu Thomas tidak ada di rumah. Pak Thomas memutuskan untuk mencari pencuri apel-apelnya.
“Pencuri kurang ajar!” gumam Pak Thomas marah. “Berani sekali mencuri apel-apelku. Awas saja kalau ketemu,” Pak Thomas mengepalkan tangannya.
Pak Thomas berjalan bingung ke sana kemari. Ia tak tahu harus mencari si pencuri apelnya ke mana lagi.
“Kelihatannya, gelisah sekali, Pak Thomas. Kenapa?” tanya Bu Soraya.
“Apel-apel saya hilang!” jawab Pak Thomas lesu.
“Hah?! Kok bisa, Pak?” tanya Bu Soraya heran.
“Hmm, kalau begitu beruntung sekali saya, ada bidadari cantik yang memberi apel segar ini,” lanjut Bu Soraya sambil menunjukkan apel di tangannya.
Pak Thomas sangat terkejut. “Siapa dia?”
Bu Soraya menaikkan pundaknya. :Saya tidak kenal, Pak!”
“Di mana dia?”
“Bidadari cantik itu berjalan ke arah utara. Ia cuma berpesan agar biji apel ini ditanam. Ia juga mengajarkan cara menanam dan merawat pohon apel.”
“Pasti dia yang mencuri apel-apelku,” gumam Pak Thomas.
Pak Thomas berjalan ke utara. Namun, bidadari cantik itu sudah tidak ada. Karena lelah, ia memutuskan beristirahat. Tiba-tiba Pak Thomas terbangun mendengar suara anak kecil.
“Apelnya segar sekali, Bu,” kata Ben kepada ibunya.
“Jangan lupa bijinya ditanam!” seru Bu Sarah.
“Bidadari itu baik ya, Bu.”
Pak Thomas mendekati Ben dan Bu Sarah.
“Dari mana apel itu?” tanya Pak Thomas. “Dari bidadari cantik. Sekarang dia berjalan ke timur,” jawab Ben. Pak Thomas meneruskan langkahnya. Ia berbelok ke arah timur. Namun, bidadari itu tidak ada.
Tiba-tiba, Pak Thomas sangat terkejut saat melihat kerumunan orang sedang makan apel merah.
“Wah, sayang sekali, Pak Thomas terlambat. Bidadari yang membawa sekeranjang apel merah sudah pergi,” kata Pak Kevin.
“Sepertinya dia berjalan ke arah selatan. Mungkin dia akan ke rumah Pak Thomas untuk membagikan apelnya,” ujar Pak Mike.
Tanpa berpikir panjang, Pak Thomas lari menuju rumahnya. Dari kejauhan, ia melihat perempuan bergaun ungu dan wajahnya bercadar. Di samping perempuan itu ada keranjang rotan. Pak Thomas mempercepat langkahnya.
Pak Thomas sangat terkejut ketika sampai di depan rumahnya. Perempuan itu membuka cadarnya, ternyata Bu Thomas. Jadi, bidadari cantik yang membagikan buah apel itu, Bu Thomas?
“Suamiku, maafkan aku. Kalau minta sama kamu, pasti kamu marah. Separuh dari buah apel di pohon, aku bagikan kepada warga. Separuhnya lagi aku simpan di lemari untukmu.”
Mata Pak Thomas terbelalak.
“Biar warga sekitar ikut merasakannya. Aku menyuruh warga untuk menanam biji apel itu. Aku juga memberitahu cara menanam dan merawat pohon apel yang benar. Cara yang selama ini kamu rahasiakan. Aku ingin Desa Laprika menjadi desa penghasil apel.”
Pak Thomas pun tersadar dan tersenyum haru. “Kamu memang istriku yang berhati bidadari.”
Bu Thomas tersenyum, membuatnya semakin cantik. Bu Thomas tahu, suaminya sangat bahagia. (58)

Perempuan itu

Cerpen Rahmy Madina (Suara Merdeka, 30 Juli 2017)
Perempuan Itu ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Perempuan Itu ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Tanah perkuburan itu masih basah dan gembur. Jejak langkah para peziarah bahkan belum sampai tersapu, dan kemuning yang tertancap ragu-ragu rubuh. Di bawah mereka ada jazad yang baru semayam, beberapa waktu lalu berpulang.
Hening masih tetap hening. Tiada terjerat isak, tiada terbelenggu duka nestapa. Sementara Buyung lelap dalam dekap. Belum melepaskan puting yang sejak tadi dia isap. Itulah yang menjadi senjata bagi Hening untuk tidak ikut mengantar sampai dekat pusara. Pada detik ini, kesetiaan dia akhirnya teragukan. Betapa tidak? Selama ini tak ada yang percaya perempuan itu benar-benar menaruh cinta. Mereka menganggap segala macam tindakan dia dusta belaka.
Hening tak mau ambil pusing. Orang yang membenci dia akan selalu benci, mengorek kesalahan yang dia lakukan, tak mau tahu seperti apa pedih segala macam rasa yang dia panggul selama ini. Mereka tak mengerti Hening sudah begitu tabah. Semua bentuk pahit yang terjejalkan dia telan sukarela. Hunjam demi hunjam perih tiap malam tak pernah sekali saja dia ungkapkan. Sekali tak membuat orang tertarik, selamanya tak menarik. Tak tersentuh seperti buku yang terabaikan. Hening sadar itu dan menerima.
Hidup adalah umpama. Sekuat apa pun mengelak, orang akan berkomentar hidup perempuan itu tak ubahnya pelelangan; dia satu-satunya “barang” yang mesti terjual. Dengan harga berapa saja, asal berpunya pada akhirnya. Sementara dia hanya menunggu di dalam kamar, selagi Bapak dan Ibu terkekeh-kekeh sampai menemukan keputusan final, dan orang-orang itu bersalaman setelah menemukan kesepakatan.
Setidaknya bukan dia yang mereka tuduh telah menghabisi sang suami. Mas Danar lelaki baik, Hening setuju. Mana mungkin dia tega merenggut hak Mas Danar untuk hidup, sementara selama ini hak dia sudah terpenuhi oleh lelaki itu, tanpa sekali saja Hening meninggalkan kewajiban.
Kini, yang tersisa dalam ingatan Hening adalah ketika Mas Danar memeluk erat, mencium tengkuknya seraya berkata, “Berikanlah cintamu kepadaku, Ning. Aku mencintaimu apa adanya.”
***
“Hening, tamu-tamu ingin pamit pulang.”
Hening masih rebah di atas tempat tidur bersama Buyung yang sudah pulas dan puas menyusu. “Sebentar lagi aku keluar, Bu. Ibu tunggu sebentar di luar.”
Perempuan tua, yang matanya masih menyimpan ketidakrelaan akan kepergian si anak itu, mengangguk pasrah. Menutup pintu, kemudian berlalu. Seperti biasa, dia tak pernah banyak bicara, menurut saja. Perempuan Jawa yang lembut dan santun.
Hening patuh kepada ibu mertuanya, setidak cinta apa pun dia kepada anak perempuan itu. Tak selang lama, Hening keluar mengenakan kerudung selempang hitam milik ibunya.
“Hening, kami pulang dulu. Kamu sabar ya. Jaga anak-anak dengan baik. Semoga kalian selalu mendapat perlindungan Yang Kuasa.”
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. Menyalami satu per satu mereka yang melempar pandangan iba sekaligus tak percaya. Sungguh, tak ada satu tetes saja duka mengalir dari kedua telaga Hening yang teduh.
***
“Hening, kau mau anak berapa?”
“Terserah Mas Danar.”
Hening meletakkan teh tawar kesukaan sang suami di meja dekat tempat tidur.
“Aku sayang kamu, Hening.” Mas Danar mengecup kening perempuan itu. “Perempuan yang bisa memenuhi semua kebutuhanku. Ibu dari anak-anakku. Terima kasih ya, Sayang.”
Hening tak kuasa menjawab. Semua yang Mas Danar butuhkan, benar selalu dia cukupkan. Dari memasak, mencuci pakaian, sampai menunggu sang suami pulang. Hening tak pernah sekali saja absen.
“Itu kewajiban. Lakukanlah. Kita berutang budi kepada dia sekeluarga.” Kalimat itu yang selalu Hening ingat saat dia berkeluh kepada Ibu atau Bapak.
“Hening.”
Perempuan itu menoleh, menatap Mas Danar.
“Besok tidak usah masak. Kita makan di luar bareng anak-anak.”
***
“Hening. Kau datang.”
“Anakku sekarang tiga.”
“Yang satu milikku.”
“Ya, yang pertama.”
“Kan sudah kuminta kau bersabar.”
“Kalau saja kesabaran yang kautawarkan tak lantas membuat Ningsih mbrojol dari kandungan. Kesabaranku berbatas, Mas.”
“Tapi bahkan sampai kau kemari pun, aku merasa kau belum mencapai batas yang kaubuat. Batas macam apa yang kaubicarakan?”
“Dan kesabaranmu?”
“Jauh lebih panjang dibandingkan dengan suamimu yang menunggu kau melayani dia atas nama cinta.”
“Biadab! Jangan bawa-bawa orang yang sudah tinggal jasad!”
“Tapi benar begitu kan?”
Hening tidak menjawab. Bayangan Mas Danar sekelebat masuk ke dalam ingatan. Sampai detik ini dia belum pernah melihat kubur itu. Mendoakan pun masih ragu-ragu. Terlepas dari pertanyaan apakah Mas Danar menunggu dia, karena Hening malu, Mas Danar pasti sudah tahu tak ada cinta bersemayam di jantung hati Hening untuk dia.
“Masuklah dulu, kita bicarakan di dalam.”
***
Sekuat apa pun mengelak, Hening tak bisa menahan gejolak cinta yang selalu dia rasa ketika berhadapan dengan sepasang mata Dalhar. Mata itu adalah satu-satunya surga di dunia yang bisa Hening cecap, terlepas dari kesadaran bahwa dia tak pantas tinggal di surga bersama sang suami kelak. Sadar bahwa bersama Dalhar, dia justru akan mendekam di jahanam. Namun lagi-lagi Hening tak mampu menahan cinta.
“Heningku sayang. Sudah lama aku memenjara rinduku kepada kamu.”
Hening tak berkutik, menikmati tiap sentuhan Dalhar. Kecup demi kecup seolah pembebasan dari kesadaran bahwa selama ini jiwa raga dia terpasung oleh cinta Mas Danar yang suci.
“Umur Ningsih berapa sekarang?”
Hening mendesah nikmat. Untuk apa pula percakapan itu hadir di atas ranjang? “Apa pedulimu? Kau bahkan tak pernah datang pada kami sekali saja.”
“Kau sudah bersuami,” jawab Dalhar sambil memeluk erat tubuh berkulit halus itu dan mengecup mesra kening perempuan itu.
“Tak jadi alasan kalau kau benar-benar mencintai kami.”
“Aku kira kalian bahagia di sana.”
“Dia bahagia, aku tersiksa. Tidakkah kamu membayangkan harus melayani orang yang tidak aku cinta? Betapa perih hunjam demi hunjam yang aku tanggung setiap kami melakukannya.”
“Maafkan aku. Sekarang aku milikmu.”
Hening terpejam, menikmati setiap gerak Dalhar. Merasakan betul lembut tangan Dalhar yang mengusap punggung. Tak pernah ada yang bisa menguras cinta Hening seperti Dalhar lakukan. Hening balas memeluk laki-laki itu erat, mengecup pundak kekar itu yang terbalas dengan ciuman ke tengkuk Hening.
Mesra Dalhar berujar, “Berikan lagi cintamu padaku, Ning. Aku akan mencintaimu. Apa adanya.”
Sejurus kemudian Hening membuka mata. Ada sesuatu yang seolah membentur hati dan pikiran begitu mendengar kalimat itu. Menggulung batas antara ingatan, kenangan, dan perasaan kehilangan Mas Danar.
“Mas Danar,” ucap dia lirih nyaris tak terdengar sambil melepaskan pelukan. Tiba-tiba saja ada rindu menguat, memeras perasaan Hening.
“Aku mencintaimu, Ning,” ucap lelaki itu lagi.
Hening tak menjawab. Terngiang tangisan Buyung yang dia tinggalkan bersama Ningsih di rumah. Ya, Tuhan, sudah pukul berapa sekarang? Mereka bahkan belum makan. Perempuan itu tak tenang, sementara Dalhar tidak melepaskan peluk dan mengecup lembut bibir merah delima Hening yang justru mengelak dan mendorong lelaki itu menjauh.
“Aku harus pulang,” ucap dia seraya bangkit, mengenakan kembali baju yang tergeletak di lantai, kemudian tergesa-gesa keluar kamar.
“Ning, kamu kenapa? Kita bisa bersama sekarang?”
“Lalu anak-anakku?”
“Ningsih akan tinggal bersama kita?”
“Anakku empat.”
“Biarkan yang lain tinggal bersama simbah mereka.”
Sesak hati Hening mendengar jawaban Dalhar. Laki-laki tak punya hati yang hanya menginginkan tubuh dia. Tak lebih dari itu. Perempuan itu geram. Setelah membanting pintu kamar, dia berlalu pulang.
“Bu, Dik Buyung bangun,” ucap Ningsih sambil menenangkan si adik dalam pelukan.
Hening mengambil alih Buyung, membawa bocah itu ke kamar dan menidurkan ke kasur yang masih menyisakan aroma tubuh Mas Danar. Entah bagaimana, hati perempuan itu tiba-tiba saja dingin. Tidak ada satu pun laki-laki setulus Mas Danar yang mau menerima Hening lengkap dengan sperma orang lain yang bersarang dan berkembang dalam rahimnya.
“Mas, aku kangen.” (44)

Banaran, 4 Juni 2017: 13.22
– Rahmy Madinaalumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Dia menulis puisi dan cerpen. Kini, tinggal di Semarang.

Wabah

Cerpen Junaidi Khab (Kedaulatan Rakyat, 30 Juli 2017)
Wabah ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Wabah ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
BELAKANGAN ini, Kamirun sering murung. Semula, dia lelaki periang. Teman-temannya berdatangan saat petang. Tapi kini, dia hanya seorang diri mengurung diri dalam kamarnya. Tubuhnya yang hanya terbalut kaus oblong bolak-balik melihat layar ponselnya. Sudah sekitar empat hari Kamirun tak ramah dengan tetangga dan teman-temannya, apalagi pada keluarganya. Tak heran bila mereka menjauh selain masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri: penting dan tak penting.
Suminah yang merasa aneh dengan kelakuan suaminya, setiap malam merasa kesepian. Uang belanja untuk mengepulkan asap di dapur harus bertarung dulu dengan Kamirun untuk mendapatkannya. Anak-anaknya juga jarang di rumah. Mereka takut pada Kamirun yang beberapa kali memukuli ibunya saat minta uang belanja.
“Kenapa sih Bapak empat hari ini berubah drastis? Pemarah. Pendiam. Pemurung!” kata Suminah pada dirinya sendiri di dekat Kamirun.
“Kamu tak usah memanas-manasiku, Sum!” bentak Kamirun dengan mata melotot dan ludah bermuncratan. “Kamu tak tahu urusan bangsa!”
Suminah bergegas menuju dapur. Dia khawatir percekcokan dengan suaminya berujung cerai. Padahal, di dapur dia hanya mengelap piring yang sudah bersih dan mencuci kembali sendok-sendok yang tak perlu dicuci. Beras sudah tak ada. Uang belanja tak diberi oleh suaminya. Piring-piring dan beberapa perobat dapur mungkin bisa menepis emosinya. Pikirannya terus menjalar memikirkan tingkah suaminya yang aneh bagai rotan yang tak mau mati: terus menjalar.
Tiba-tiba, sebuah piring porselin melayang dan mengena dinding dengan suara yang menggema di sudut dapur. Seketika, tangan Suminah bergetar dan parasnya mulai memudar. Dia tak berani memalingkan wajah ke arah sumber piring terbang mengena dinding di sampignya. Kamirun berteriak-teriak.
“Istri tak becus. Pagi-pagi masih belum memasak!” katanya. “Tak bisa ngurus suami dan anak-anak!”
Lalu Kamirun keluar rumah dan pergi. Para tetangga Suminah berdatangan. Dia hanya terisak tangis di dapurnya ditemani dua anaknya yang baru siap berangkat sekolah. Suminah memeluk dua anaknya seperti kucing menyusui. Dua anaknya mengusap-usap matanya yang mulai ikut menangis karena Suminah menangis.
“Ada apa toh, Sum?” tanya Suharti yang masuk ke dapur Suminah. “Suamimu kenapa kok marah pagi-pagi?”
Suharti mengganti-alih dua anak Suminah dan menenangkannya. Dengan terbata, Suminah menceritakan kelakuan lakinya yang aneh. Belakangan diketahui, Kamirun ikut-ikutan marah gara-gara ormas yang didukung oleh sebagian orang dibubarkan. Padahal, dia tidak terlibat aktif di dalam ormas itu. Dia hanya terlibat adu komentar di ponsel pintarnya dengan beberapa orang yang membenci ormas itu.
Kelakuan Kamirun memang berlebihan. Dia yang tidak terlibat dalam ormas itu harus menelantarkan keluarganya dan menyalahkan istrinya sendiri. Hingga dia harus memukul Suminah gegara gagasannya ditentang oleh beberapa orang di media sosial dalam ponselnya.
Sesenggukan Suminah masih meledak-ledak. Pariyanto yang bergegas menyusul istrinya juga menampakkan batang hidung di ambang pintu rumah Suminah. Orang-orang sudah melenyapkan diri setelah tahu Pariyanto datang.
“Ya, Kamirun memang tak bisa menyikapi persoalan,” kata Pariyanto. “Apalagi di media sosial. Kemarin, aku saja hampir terbawa emosi membaca postingan-postingan beberapa netizen. Tapi, ya apa gunanya kita ikut-ikutan marah, toh itu bukan urusan utama kita.”
Suharti masih memberikan pundaknya untuk Suminah yang tak mau berhenti dari tangis. Tapi, setelah mendengar perkataan Pariyanto, dia mulai berusaha melepas sandaran bahu Suharti. Air matanya diusap. Dia ingin mendengar lebih jauh perkataan Pariyanto.
Tak hanya berhenti di sana Pariyanto bercerita. Dia pernah diajak demo oleh rekannya melalui akun media sosial. Waktu itu, dia memang benar-benar hampir ikut dan meledakkan emosinya. Tapi, dia berpikir kembali, jika ikut-ikutan hanya akan membawa konflik baru di antara mereka. Dia pun menenangkan diri dan berpikir lebih jernih untuk menetapkan pilihannya. Kini Kamirun terkena dampaknya. Persoalan yang bukan urusannya, malah dia terkena impas ledakan emosinya yang membabi buta.
“Kejadian itu sudah menjadi wabah,” kata Pariyanto. “Orang-orang yang tidak punya kepentingan terkena dampaknya. Mereka bermusuhan hanya karena beda pendapat dan saling caci. Tak mungkin orang yang menginginkan kebaikan malah saling mencaci dan menuduh yang bukan-bukan pada orang lain.”
Rumah Suminah semakin hening. Hanya suara pembicaraan Pariyanto yang mengalun landai menyerupai pertunjukan drama monolog. Tapi, Suminah mendengarkan dengan begitu tajam. Tak ada gunanya merespons suaminya sendiri yang sudah terkena wabah kebencian dari media sosial yang diikuti dan dibaca.
Mereka sudah tak peduli lagi dengan kepergian Kamirun yang entah kemana. Mungkin mereka tak mau terbawa oleh kemarahannya yang bisa menjadi wabah saat itu. Kamirun sendiri sudah tak berani diajak berembuk. Dia semakin tertutup oleh kemarahannya. Sehingga, dia tidak bisa melihat dengan jelas orang-orang yang sebenarnya tidak perlu disalahkan dan orang-orang yang seharusnya diperjuangkan. q– g

*) Cerpenis asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Menulis resensi, opini-esai.

Kutipan The Book Club

“Aku merindukan Klub Membaca-ku. Aku rindu membaca buku dan mendiskusikannya. Buku-buku itu adalah kunci kelompok kami, kunci keberhasilan diskusi-diskusi kami. Buku-buku itu menyediakan forum yang sama agar kami bisa bertukar gagasan dalam pertemuan-pertemuan kami, dilanjutkan dengan berbagai masalah kami. Dilanjutkan lagi dengan berbagai rahasia kami. Yang paling penting, aku merindukan sahabat-sahabatku. Merekalah keajaiban klub membaca yang sesungguhnya. Kulihat hidupku sebagai sebuah kisah yang kubagi dengan Klub Membaca-ku. Dan meski kisahku dihiasi beberapa kejutan, masih belum ada penyelesaian. Aku sama seperti kalian. Kisahku bisa menjadi kisah kalian.” (hlm. 3)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak hari esok yang kita punya. (hlm. 19)
  2. Kematian bukan sesuatu yang hanya terjadi pada orang lanjut usia. Bahwa setiap hari bisa menjadi hari terakhir mereka. (hlm. 19)
  3. Makan mengingatkan kita tentang hidup. (hlm. 25)
  4. Pada waktunya, seseorang yang kuat akan beradaptasi dan berhasil, seperti gedung kokoh di mana pun. Tapi seperti semua gedung yang membutuhkan penyewa yang penuh kasih dan komunitas yang erat demi menghindari keruntuhan. (hlm. 29)
  5. Seorang ibu adalah jantung keluarga. (hlm. 32)
  6. Pekerjaan memang punya kekuatan luar biasa dalam menentukan kembali tujuan hidup. (hlm. 225)
  7. Jalan menuju surga memiliki tanda yang jelas dan semua orang memiliki kesempatan menemukan jalan itu, kalau kau ingin menemukannya. (hlm. 259)
  8. Semua orang memiliki seseorang yang bisa dicintai dalam hidup mereka. (hlm. 287)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:

  1. Kenapa kau harus selalu menunda sampai menit terakhir sebelum berkemas? (hlm. 7)
  2. Membayangkan keberuntungan baik seseorang sama saja dengan menantang takdir. (hlm. 32)
  3. Tidak baik kalau kau terlalu lama sendirian. (hlm. 51)
  4. Semua orang tahu anak-anak malu kalau melihat ibu mereka berpakaian terlalu muda atau seksi. (hlm. 73)
  5. Ada hal yang namanya harga diri. (hlm. 103)
  6. Sebaiknya kau sedikit menurunkan harga diri dan lebih banyak keluar rumah untuk bergaul. (hlm. 103)
  7. Pria-pria yang berkuasa biasanya hanya menatap lurus ke depan. (hlm. 173)
  8. Sulit membayangkan apa ada masalah yang tak bisa terbantu dengan olahraga. (hlm. 191)
  9. Jangan pernah memercayai wanita-wanita yang pendiam. (hlm. 229)
  10. Kenapa begitu sulit bagi para wanita untuk mengonfrontasi kemungkinan perselingkuhan suami mereka? (hlm. 355)
  11. Pergilah ke mana pun kau suka. (hlm. 363)
  12. Para wanita itu becermin dan tak bisa mengenali bayangan mereka sendiri. (hlm. 362)
  13. Seorang pria sejati bukan orang yang membawa pentungan. Seseorang pria memegang teguh prinsipnya. Seorang pria mempertahankan kehormatan pribadinya dan keluarganya. Seorang pria bukan hanya mementingkan diri sendiri, dia juga menjaga keluarganya. (hlm. 376)