Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
“Takdir itu harus diupayakan. Apa kau mau Gusti Allah
menggerakanmu sepenuhnya seperti wayang-wayang ini? Sementara kau sudah
diberi akal, kekuatan, kemauan…” “Apa bisa?” “Bisa! Jika kau mau.” “Nyatanya…” “Soal hasil, itulah takdir.” (hlm. 1)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Jika kau selalu berburuk sangka, maka hasilnya pun selalu terlihat buruk di matamu. (hlm. 10)
Kabeh dadi semrawut sebab pikiran kusut. (hlm. 19)
Jangan menolak pertolongan orang lain. Itu namanya sombong. (hlm. 36)
“Kita hidup kan memang harus saling tolong-menolong. Tak ada orang yang bisa hidup sendirian.” (hlm. 36)
Jangan menjadi pendendam. Pendendam itu hatinya sedalam gelas, akan langsung habis segala isinya begitu terisi batu. (hlm. 44)
Jangan terlalu menggantungkan diri. (hlm. 52)
Jangan bilang kau sedang naksir cewek. Masa depanmu masih panjang.
Lagi pula, pacaran itu justru akan menggagalkan cita-citamu untuk cepat
kaya. (hlm. 135)
Cerpen Makanudin (Republika, 10 September 2017) Bersama Ibu ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Nagib tak menghiraukan berkali-kali malaikat meminta menuruti
keinginannya. Hanya ia dalam kesedihan memandangi ibunya yang sedang
ditarik oleh beberapa malaikat menjauh dari lapangan perkumpulan mereka.
“Saya biar di sini saja, malaikat,” pintanya.
“Kamu harus menuruti permintaanku,” sarannya penuh harap.
“Tidak, Malaikat. Di sini saja.” Ia masih dalam kesedihan.
Malaikat terheran keengganannya menuruti perintah. Tanpa menghiraukan
pandangan pemuda itu ke seorang perempuan berusia lima puluhan tahun
yang sedang ikut antre menuju sebuah ruang. “Mengapa kamu tidak menerima
keinginanku, Nagib?”
Ia diam. Tertunduk. “Kau bisa lebih nyaman di Surga, Nagib.”
Ia mengangkat kepalanya. Ibunya masih terlihat di antara yang lain.
Berdesakkan digiring ke ruang kegelapan. Tanpa memedulikan perkataan
malaikat, ia berkata, “Ibuku, Malaikat. Ibuku.”
Tanpa mengerti, ia bertanya, “Ada apa dengan ibumu?”
“Ibu saya sedang digiring dalam langkah yang lelah.” Kesedihannya semakin bertambah yang menyesakkan napas.
Ia menoleh. Tidak menghiraukan ibu yang dimaksud. “Biarkan! Mereka sudah mendapat tempat masing-masing.”
Ia tidak bisa membendung kesedihannya. Mengingat ibu yang penuh
pengorbanan, mengasuh dan mendidiknya. Ibu akan segera memintanya
rapi-rapi bila pagi datang. Tanpa terbebani, dengan sabar, ibunya segera
membuka pintu kamar, mendekati. “Ibu akan mengurus pekerjaan rumah,
Nak. Bangun ya.”
Ia hanya memandangi ibunya yang dalam lelah setiap hari mengurus rumah. “Kalau kamu butuh Ibu, panggil ya, Nak.”
Lalu setelah Ibu meninggalkannya, ia segera bangkit dari kasur
menemani Ibu bekerja yang ia mampu. Ibu juga menyarikan lembaga
pendidikan begitu ia sudah menginjak tahun masuk sekolah. Sang ibu harus
keliling mancari tempat belajar untuknya. Sampai SMA ibunya juga harus
keliling daerah mencari lembaga yang layak.
“Sama saja, Bu, semua lembaga sama,” tegas Ayah. Tapi, ia tak memedulikan pertarungan kata kedua orang tuanya itu.
“Tidak begitu juga, Pak,” tukasnya segera. “Berbeda yang mengurusnya berbeda juga model dan kualitasnya.”
Bapak diam. Seakan menerima keinginan Ibu. Lalu menoleh kepadanya, “Kau turuti ibumu, Nagib.”
Meski keinginan berbeda, tapi Ibu lebih teliti. Setiap pagi Ayah
meninggalkan mereka akan bekerja. Ibu bertanggung jawab di rumah.
Termasuk mengurus dan membesarkannya. Ibu yang lebih mengerti
keinginannya. Maka, ibunya siap menemani, mengarahkan keinginannya.
Hingga dewasa. Tapi, wanita itu tak banyak menuruti. Bapak lebih banyak
mengalah bila bicara soal rumah dan pengasuhan.
“Saya tidak akan menerima tawaran ke surga, Malaikat,” tegasnya lagi.
Ia masih memandangi ibunya di antara sekerumunan yang lainnya digiring
oleh beberapa malaikat.
“Banyak manusia menginginkan ke surga, Nagib.”
Ia diam, tapi, dalam kesedihan.
“Tapi, kamu tidak mau.”
Ia masih diam. Tidak menghiraukannya. Tapi, pandangannya ke arah Ibu.
Malaikat tak memedulikan arah pandangannya. Memastikan keinginannya
tetap ke surga, kembali ia memintanya, “Mari bersama kami.”
Lalu pandangannya ke arah jalan yang terbentang luas dengan
permukaannya yang bagus didampingi sungai jernih yang mengalir. Suasana
cerah bercahaya di antara rindang pepohonan yang saling merapat.
Meneduhi jalan yang tanpa cacat setitik pun.
Burung-burung yang indah memesona. Berlompatan di antara dahan-dahan.
Di antara butir-butir buah menggoda. Tapi ia tetap tidak menerima.
Hanya ingin Ibu tetap bersamanya. Melintasi jalan yang nyaman itu.
“Tidak, Malaikat. Saya ingin bersama Ibu.”
Malaikat diam. Memandanginya lekat-lekat. Setelah memandangi jalan
yang ditujukan malaikat, ia menoleh ke ibunya. Semakin menjauh. “Saya
ingin Ibu menyertai saya, Malaikat.”
Ia tidak segera menjawab. Menyambut kata-kata yang begitu berkeinginan menyelamatkan ibunya. “Silakan! Temui ibumu.”
Ia segera menemui ibunya yang sedang melintasi jalan gelap. Permukaan
jalan yang tak bagus, penuh kesulitan. Tapi, ia akan meminta kepada
malaikat yang mengawal Ibu agar bisa membawanya. Namun, sebelum
langkahnya menjauh, malaikat pertama yang bersamanya menyarankan, “Kamu
ajak ibumu ke sini.” Ia menoleh. Lagi ia mengangguk. Bahagia.
Ia mengerti ibunya akan bahagia bersamanya ke tempat yang akan ia
masuki nanti. Sudah terlihat dari lapangan itu keindahan. Sejuk dan
nyaman. Tak pernah sebelumnya ia mendapatkan suasana sememesona itu. Ia
tak akan menerima siapa pun yang menawarkan, bahkan memaksanya tinggal
tanpa bersama Ibu. Tak mungkin ia sendiri sementara ibunya dalam
kesulitan. Maka, meski berkali malaikat memintanya, ia tak akan
menerima.
Ia buru-buru mengayunkan langkahnya. Menemui ibunya yang dikawal ketat para malaikat. “Ibu!” serunya.
Ibunya tak menoleh. Masih terus berjalan, tapi dalam lemah. Ia
melihat tubuhnya banjir keringat. Tak henti- henti. Tubuhnya bagaikan
pancuran air yang mengucur. Sebagaimana ibunya, ia pun melalui jalan
yang menyulitkan. Lalu mendapati remang, cahaya yang samar. Lalu kembali
memanggil ibunya, “Ibu…”
Ia tak mengerti. Ibunya tidak mendengar atau memang tidak
menghiraukannya. Malaikat terus menggiring ibunya. Melihatnya ia merasa
terpukul, sebagaimana ia menemani Ibu ketika sakit. Tak ada yang
mengarahkan hidupnya. “Kau keluar saja, Nak, mencari makan yang
baik-baik,” pinta ibunya ketika ia kesulitan harus melayani kebutuhan
anaknya. Tapi, meski harus ia lakukan, ia tidak berkesempatan hanya ia
tidak bisa meninggalkan ibunya lebih lama sendiri.
Pikirannya tidak tenang ketika sakit ibunya semakin parah. Doa dengan
bacaan ayat-ayat Alquran ia bacakan di hadapan ibunya setiap waktu,
setiap kesempatan. Hanya ingin ibunya sembuh. Tapi, kali ini ia melihat
ibunya sangat lelah. Apalagi dalam tempat sekelam itu yang sangat
mencekam, memedihkan pastinya.
Lebih pedih waktu ia melihat ibunya dikurung sakit di dunia. Tak kuat
menahan rasa iba, sekuatnya ia berlari meski dalam kesulitan langkah.
“Malikat… Ibu. Ibuku.” Ia terus mendekati ibunya.
Malaikat menoleh. “Mengapa?” tanyanya.
“Saya ingin mengajak Ibu.” Ia sudah mendekat, tapi masih melangkah mengikutinya. Ke mana malaikat menggiring mereka.
“Kamu sendiri saja.”
“Tidak mungkin saya sendiri.”
“Lalu, kenapa?”
“Saya ingin bersama Ibu.”
“Tapi, ibumu bukan ke surga.”
Ia mengangguk. “Ya, Malikat, tapi saya ingin mengajak Ibu.”
Malaikat mempertemukan sang ibu bersama anak yang dilahirkannya.
“Silakan ajak ibumu,” kata malaikat. Lalu ia meninggalkan keduanya. Sang
anak segera membawa ibunya. Sembari menggandeng ibunya yang masih
lelah, ia terus berjalan. Namun, suasana sudah lebih cerah. Tidak
seperti sebelumnya. Dalam samar. Ia bahagia melihat raut ibunya berseri
bahagia seperti suasana yang ia lalui. Ibunya pun terlihat nyaman.
“Ibu diajak mereka, Nak. Berjalan dalam langkah yang berat,” keluhnya.
“Ibu tidak bisa menolak ajakannya?”
“Sulit. Tidak pernah bisa.”
Ia terus melangkah akan menemui malaikat pertama, “Ibu akan bersama saya.”
“Ke mana, Nak?”
“Ke surga, Bu.”
Ia terkejut. “Ke surga?” seakan tak percaya perkataan Nagib.
“Ya, surga Ibu.”
“Surga kamu juga, Nak.” Ia semakin bahagia. Mereka terus melangkah.
“Cepat!” seru malaikat pertama yang mengizinkannya menemui ibu yang sedang digiring menuju kegelapan.
Lalu ia segera mendekatinya. “Lambatkan saja langkah kita, Nak.”
Ibunya masih nampak lelah. Tapi, bahagia mendapati suasana yang cerah
dan nyaman. “Tegarkan, Bu.”
Ia berusaha mengajak ibunya dalam raut bahagia. Tapi, panas tubuh
membuatnya masih dalam diam yang sangat melelahkan. Menoleh ke ibunya di
sebelah yang masih termenung. Lalu ia menyodorkan ibunya di hadapan
malaikat begitu sampai. Malaikat menoleh ke ibunya. Lalu memandangi
Nagib. “Ini ibumu?”
“Ya, Malikat. Ini ibu saya.”
Malaikat tak ingin bicara. Ia mengerti keinginannya segera ke surga
bersama ibunya. Lalu menoleh ke jalan yang cerah itu, ke ujung jalan di
muka tempat yang mulia. Bercahaya terang. Lalu pandangan Nagib mengikuti
arah pandangan malaikat ke sebuah tempat yang sejuk itu. Pohon-pohon
rindang dan menawan yang tak pernah ia lihat. Lalu malaikat menoleh
kepadanya, “Silakan kau ajak ibumu.”
Cibitung, Juli 2017
Makanudinpernah belajar di pesantren al-Wardayani Warudoyong, Sukabumi.
Kini, selain menulis sehari-hari ia aktif mengajar di lingkungan Bekasi Kabupaten.
Ia bisa dihubungi di surel bangendin@yahoo.com
Cerpen Nurfathi Robi (Kedaulatan Rakyat, 10 September 2017) Mimpi dalam Saku ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan RakyatTROTOAR tua dingin nan sepi tanpa sapa, manusia berjalan tunduk-menunduk dalam keheningan. Searah.
Berada di jalan lain belum tentu tanpa beban; begitulah perasaan Edo saat ini.
Semestinya, menjadi berbeda merupakan kebebasan. Namun, bagi dirinya,
berbeda adalah kesiapan untuk mati dalam kesendirian. Meski pun entah
kapan akan datang?
Ia terpaksa jadi penyintas di jalan panjang ini, sembari memandang
dalam-dalam setiap jengkal keheningan di sekitarnya. Jalan aspal yang
membisu, tanpa ringkik mobil tua atau pekik mobil-mobil muda. Sekiranya,
itu yang membuat kota sunyi malam ini. Tanpa laku berarti dari isi kota
itu sendiri.
Edo enggan untuk larut dalam keheningan; meraba mimpi dalam saku
blazernya; menyapa bias bulan malam keras-keras; atau sekadar mundur
untuk mengambil batu yang tercecer.
Semua itu Ia lakukan, ketika semua mata menenggelamkannya ke dasar; mencekik; dan memotong nafas Edo.
Sekeliling memandanginya dengan sinis: mencibir. Boleh jadi, baik
ketika Ia mundur atau pun maju, semua orang menjauh, membangun garis
horizontal, seolah-olah terdapat garis pemisah diantara mereka.
Ah, keterasingan … memang menyesakkan: sering bagi yang-terpisah,
kadang juga bagi yang-memisah. Semua orang adalah besi-besi penjara yang
memancang, jatuh dari langit, dan memenjarakan manusia diantara dua
bahu. Jadi terpaksa hidup mengasah. Mengasah pisau yang kelak digorokkan
pada lehernya sendiri. Edo, boleh jadi orang kesekian yang mencoba
kabur dari penjara itu. Lari dari pisau tua berkarat atau mencoba hidup
seolah-olah taman bermain. Namun, besi telanjur terpancang tegak,
semampu-mampunya Edo, untuk menggesernya saja tak kuasa.
Tatapan sinis, atau seringai jijik orang-orang, kian beringas ketika Edo berusaha menembus batas.
“Gila kau, Edo!” umpat seorang laki-laki.
“Tak puaskah kau, Edo? Tak puaskah kau dengan segalanya?” cecar seorang wanita tua yang memakai renda.
“Lihat! Edo, dia memungut batu. Buat apa? Pasti gila dia!” hasut seorang gadis
Edo diam, kini dalam kerumunan. Matanya … kadang menunjukkan sorot
terheran-heran, atau kadang juga menatap benci, kadang juga menatap
nista, atau kasihan. Apalagi bibirnya telanjur terkunci dengan gembok
emas, gagal membela diri, atau sekadar menjawab cerca ibunya… wanita tua
yang memakai gaun renda.
Edo kini patung pualam yang tak mengerti cara untuk bergerak.
Tulang-tulang, kulit-kulit, dan sendisendinya berontak diam. Seolah
bersekongkol dengan kerumunan untuk membunuhnya dengan belati tajam
milik kata-kata. Ia tak bisa lari, kelak diartikan sebagai perlawanan.
Si Gadis Penghasut melepas sepatunya dan melemparnya. Kena. Kepala Edo
berdarah, disusul dengan lemparan-lemparan dari kerumunan. Bakiak,
sandal, tas, handphone, lampu jalan, rumah, bahkan pohon-pohon semua
terhempas pada tubuh yang letih berlari itu.
Polisi sedari tadi memperhatikan keributan itu, tetapi tetap diam
seolah menunggu kerusuhan terjadi. Biarlah Si Edo itu dapat pelajaran
begitulah idenya. Badan tegapnya Ia bawa mendekati kerumunan itu, sambil
sesekali diusap-usap kumisnya yang mulai berubah putih. Berjalan
sembari picik tersenyum. Perlahan, selangkah demi selangkah, pelan
sekali, sampai kerumunan itu berubah menjadi badai.
Polisi tetap berjalan pelan. Ia ingin memastikan Edo mendapatkan pelajaran setiap detiknya.
“Tuliskan saja di laporan bahwa saya terlambat datang ke TKP,” gumamnya terkekeh.
Kerumunan itu mulai memercikkan api, seperti beradunya dua besi dalam
kecepatan tinggi. Meski demikian, Edo, seperti sebelumnya, hanya mampu
terdiam.
“Hentikan! Stop! Jangan diteruskan,” teriak Polisi keras sekali.
Massa terdiam.
“Ini semua ulahnya, Pak!” kata seorang pria sambil merujuk pada tubuh berlumur darah bertitel Edo.
“Betul, andaikan saja dia terima apa adanya. Dia betul-betul
brengsek!” seruan terdengar dari sudut kerumunan. Suaranya berat, dan
nafasnya tersengal. Barangkali, dia yang paling banyak memberi petaka
pada tubuh Edo. Kerumunan jadi ribut, gagal memberi petaka lahiriah,
kini kata-kata dipilih menjadi senjata.
“Diam, kalian semua.” Polisi berteriak lagi. Kini gemuruh petir
mengiringi dibelakangnya. Suasananya kian dramatis. Hujan turun, dan
bercampur dengan darah Edo yang menggenang semata kaki.
“Kau juga, Edo. Apakah kau lupa bahwa menjadi dirimu sendiri adalah
tindakan melawan hukum!” hardik Polisi kepada Edo, tepat diwajahnya.
Bagaikan sudah menjadi keinginan yang tenggelam oleh realita. Kini
Polisi akhirnya bisa menghantam Edo, tepat di ulu hatinya, dengan
kata-kata.
Sekarang, setelah belur dengan hantaman, sendi-sendi Edo dapat
bergerak. Ia berjalan menembus kerumunan tertatih. Memungut kunci gembok
emas yang tercecer, batinnya tak menyoal lagi hantaman itu, “Masa bodoh
sudah!”.
Ditinggalkannya jauh-jauh kerumunan itu, sesekali masih terdengar
kicau cacian dan umpatan yang menggelegar bersama petir, atau masih
gamblang wajah-wajah padam-murka kerumunan itu, yang paling jelas adalah
wajah Polisi.
Menjadi berbeda memiliki konsekuensi, dan mati oleh kata-kata hanya
satu dari seribu konsekuensi. Sebenarnya, hal itu sudah disadari oleh
Edo, tapi pilihannya telanjur bulat. Ia ingin membangun jembatan, dari
mimpi yang ada disakunya dan batu-batu yang dia pungut. q – g
*) Nurfathi Robi, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.