Daftar Blog Saya

Rabu, 17 Januari 2018

Ku Kubur Semburat Jingga

Cerpen Sari Rahmadani Hasibuan (Waspada, 14 Januari 2018)
Ku Kubur Semburat Jingga ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Ku Kubur Semburat Jingga ilustrasi Denny Adil/Waspada
Jangan khawatir, meski sekarang kita berjauhan. Kau tetap menjadi seseorang yang selalu kudoakan baik. Tak perduli berapa banyak hujan kesedihan menggenangi pelupuk mataku. Tak perduli berapa banyak kenangan yang kuterbangkan bersama angin. Kau tetaplah kau yang selalu menjadi harapan yang tak semestinya kugantungkan. Sebab, ternyata aku terlanjur ceroboh karena menjadi luluh saat sesungguhnya kau begitu manis ke semua.
***
SUBUH menjelang, sekitar pukul 04.30 WIB. Aku terbangun dari mimpiku. Ada perasaan sedih yang ikut bersama mata yang membuka. Hawa dingin masih memelukku erat, memanjakan tubuh agar tetap terbaring mesra dalam kasurku. Aku membereskan kasur kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh, kemudian melaksanakan kewajiban sebagai seorang wanita muslim.
Pukul 07.30, sepeda motorku mendarat tepat di parkiran fakultas. Setengah jam lagi perkuliahan dimulai. Aku datang ke kampus bukan untuk mengikuti perkuliahan, melainkan mencari dosen pembimbing skripsi untuk konsultasi. Maklum, mahasiswa semester akhir. Benar kata orang-orang, di semester akhir kita akan disibukkan dengan rutinitas yang hampir gak penting. Datang nungguin pembimbing dari pagi hingga petang. Setelah petang, beliau tidak dapat ditemui.
Parkiran, kantin, serta lobby kampus masih sepi. Wajar saja, ini minggu terakhir perkuliahan sebelum libur panjang hadir membenamkan diri dalam kebosanan. Banyak mahasiswa yang sudah libur dan balik ke kampung halaman.
Kubuka layar handphone, kemudian mencari kontak Hamid. Beberapa menit, suara Hamid terdengar di seberang telepon.
“Hamid kamu dimana?!”
Wa’alaikumussalam..,” teriak Hamid memekakkan telingaku.
“Sial lu! Oke, Assalamualaikum. Hamid kamu sekarang dimana?”
“Jangan marah-marah dong Nona. Nona cantik kalau tidak marah. Di rumah, kenapa?”
“Makan yuk.”
“Ah kebetulan, pucuk dicinta ulam pun tiba. Jumpa dimana kita? Tunggu di tempat ya, aku Ashar dulu.”
“Di warung Bang Udin aja. Oke. Jangan lama!”
“Siap Nona…,” jawab Hamid. Sambungan terputus.
Kulajukan sepeda motorku tepat di halaman warung Bang Udin. Di kejauhan, senyum Mamad merekah, salah satu karyawan Bang Udin. Kabar burung, Mamad menyimpan rasa untukku. Wajahnya akan selalu tampak bahagia jika aku berkunjung ke warung itu. Meskipun dengan pria, ia tak perduli. Pernah suatu ketika, Mamad memberikan pelayanan dan hidangan secara gratis ‘hanya untukku’, sementara teman-teman yang kubawa harus membayar biaya makannya sendiri.
“Hei, melamun aja!” Suara Hamid membuyarkan lamunanku.
“Hmm.”
“Kenapa lagi ham hem ham hemm? Hemm pasti judulmu ditolak lagi kan? Haha sudah kuduga.”
“Pesan makan dulu gih, kasian tuh Mamad udah nungguin,” kataku pada Hamid. Sedikit membela Mamad yang telah menunggu di samping meja. Kemudian Hamid memesan makanan, begitu pula aku.
Beberapa menit kemudian makanan tersaji di hadapan kami.
“Ini kamu yang bayar kan, Ri?” Tanya Hamid saat seluruh makanan dan minuman telah terhidang di meja.
“Ya enggaklah.”
“Lho? Jadi?”
“Ya bayar masing-masing. Siapa suruh kamu pesan banyak-banyak. Nasi gorenglah, jus pokat, pisang bakar cokelat keju dan ini? Kentang goreng. Gila lu ya..”
“Petaka. Balikin aja deh semua ini. Aku pesan air putih aja.”
“Apaan balikin. Kamu kira ini warung punya Bapakmu? Makan aja udah, ntar kalau uangku kurang. Aku tinggal ngutang sama Mamad.” Jawabku kesal.
Hamid malah tertawa mendengar aku menyebut nama Mamad. Kasihan Mamad, terkadang rasa sukanya padaku, kumanfaatkan untuk urusan perut sejengkalnya Hamid.
“Mid, judulku ditolak.” Kataku membuka pembicaraan di sela-sela makanan yang masih terkunyah dalam rongga mulut. Hamid menghentikan prosesi sendok dan garpu yang beradu di piringnya. Ia menungguku melanjutkan cerita. Tapi aku bungkam. Seolah kesedihan benar-benar menyelimuti seluruh hatiku.
“Sudahlah, Bu Guru.. Jangan patah semangat. Baru juga ditolak sekali. Ingat, Allah selalu bersama orang yang sabar.” Jawab Hamid dengan bijaksana. Aku mengangguk. Kemudian kami saling diam. Bergelayut dalam angan masing-masing. Hingga makanan yang tersaji ludes. Kedekatan jarak dan emosional telah menyatukan hati kami dan rasa nyaman di dalamnya. Terbiasa bersama Hamid membuatku lupa bahwa hatiku pernah patah. Aku pernah rapuh.
Malam menjelang, ditemani rembulan dan bintang-bintang yang memenuhi seluruh sisi langit. Aku merindukan Hamid, sudah dua hari tanpa kabar. Namun rasanya sudah seperti dua tahun. Ia seperti menghilang ditelan bumi. Akun whatsapp yang ia miliki aktif namun tak pernah lagi sekalipun mengirimkan pesan singkatnya padaku. Begitu pula denganku, rasa kecewa yang teramat besar membuat egoku semakin membuncah. Aku tak ingin memberi kabar untuknya sebelum ia terlebih dulu memberi kabar padaku. Meski rasa rindu sering kali membuat dadaku sesak.
Sejak Hamid bercerita bahwa ia tertarik dengan seorang gadis bercadar, teman sekolahnya sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Bahkan Hamid berencana akan melamar gadis itu selambatnya dua tahun lagi.
Hal ini sudah dibicarakan dengan gadis itu, beruntungnya gadis tersebut menerima niat baik Hamid. Tanpa sepengetahuannya, Hamid mematahkan hatiku. Merusak segenap harapan yang ingin kubangun bersamanya. Salahkah jika aku mencintainya? Sebab ini bukan keinginanku. Ini adalah guratan takdir Tuhan dalam menyusun skenario kisah cintaku.
Jika cinta harus diungkapkan, waktu takkan lagi berpihak padaku. Aku terlambat. Aku kalah, oleh wanita yang lebih sholeha dariku. Jika aku tidak sholeha, tidak pantaskah aku mendapatkan pria sebaik Hamid? Pertanyaan yang selalu terngiang dalam benakku. Ah sudahlah, Hamid bukanlah lelaki baik. Jika ia baik, ia tak akan memberikan perhatian lebih padaku, sebab aku bukanlah perempuan spesial untuknya. Jika hanya untuk beramah tamah, Hamid tak perlu sampai membuatku jatuh cinta. Intinya, ia bukan pria baik.
Kembali aku mengatakan pada diriku sendiri. Berusaha menyalurkan energi positif untuk selalu berpikiran positif pada siapa pun yang membuatku kecewa. Berusaha membangun diriku kembali untuk menjalani sepenggal kisah yang telah tertulis oleh-Nya.

Nama Pena


Cerpen Mawaddah Maririma (Waspada, 14 Januari 2018)
Nama Pena ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Nama Pena ilustrasi Denny Adil/Waspada
ENTAH harus dari mana aku memulainya. Aku juga tidak tahu bagaimana cara menceritakannya. Sejak dulu aku tidak pernah bercita-cita menjadi seorang penulis, meskipun sekarang aku belum bisa dikatakan benar-benar seorang penulis.
Dulu, aku hanya menulis untuk mengingat momen-momen penting dalam hidupku, semacam memori tertulis. Tapi seorang yang datang dari masa lalu, meyakinkanku dan membuatku percaya bahwa aku bisa menulis dengan baik, dan paling tidak aku punya pembaca yang senang dengan apa yang kutulis. Hingga akhirnya aku mengirim beberapa karyaku.
Lalu, sebuah nama terngiang di kepalaku. Dan nama itu sekarang menjadi nama penaku. Beberapa pertanyaan kemudian bermunculan, kenapa harus pakai nama pena? Sekarang pakai nama pena itu jadul, semua penulis ingin dikenal. Apa sih artinya? Kenapa harus nama itu? Kenapa tidak nama lain saja? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul mulai dari keluarga, sahabat, bahkan teman-teman.
Seorang sutradara sekaligus pendiri sebuah komunitas seni di kota ini, pernah membaca beberapa karyaku dan dia menyayangkan keputusanku membuat nama pena di setiap karya-karyaku. Menurutnya, di zaman sekarang, sudah tidak banyak lagi penulis yang memakai nama pena.
Bahkan mereka menulis namanya lengkap-lengkap, agar dikenali. Dan paling sulit lagi jika sudah terkenal, mereka tidak akan mudah percaya kalau kamu adalah nama penamu itu. Meski begitu, aku tidak pernah berpikir akan seterkenal penulis-penulis lain.
Suatu hari aku bercerita kepada sahabatku. Oh tidaktidak, dia bukan sahabatku melainkan sudah kuanggap keluarga. Dia bertanya tentang arti nama pena itu. Dan dia adalah orang pertama yang kukenalkan pada nama baru itu. Dia pula orang pertama yang tahu arti nama itu. Sejujurnya, aku tidak bisa memberitahu filosofi nama itu kepada orang lain secara sembarangan, hanya orang tertentu yang tahu makna mendalam dari nama itu. Tapi, kebanyakan hanya tahu bahwa nama pena itu berarti ‘mari menulis’.
Di beberapa kesempatan, aku juga pernah bertemu dengan seorang penulis hebat di kota ini. Beliau banyak cerita tentang pengalamannya menjadi seorang penulis. Bahkan aku belajar banyak darinya. Penulis laki-laki berambut panjang yang bekerja sebagai pegawai negeri itu juga memiliki karismatik yang kuat, dan beliau sangat pantas dikatakan sebagai penulis ulung. Aku banyak belajar dari beliau dan karya-karyanya.
Bahkan beberapa waktu yang lalu, aku bertemu seorang seniman di sebuah kantin di sekolah PB. Aku ke sana bersama sahabat yang sudah kuanggap keluarga. Aku menemaninya melatih anak-anak SD di sekolah tersebut.
“Nggak pernah nulis lagi ya?” Seniman berkumis itu meraih sebatang rokok sambil sibuk di depan laptopnya. Entah apa yang dilakukannya, tapi sepengakuan beliau, ia sedang sibuk mengerjakan nilai siswa-siswanya. Selain menjadi seniman, dia juga menjadi guru di beberapa sekolah.
“Justru namanya sering ‘nongkrong’ di koran A, kak.” Sahabatku itu menjawab.
“Jangan ke koran A aja dong, kirim juga ke koran B, koran C, atau koran-koran lain.”
“Iya kak. Tapi beberapa koran bahkan menolak penulis yang pakai nama pena. Makanya saya kirim ke koran A aja.”
“Waduh salah itu. Kamu juga sih, kenapa harus pakai nama pena? Udah jadul! Sekarang penulis-penulis malah pengen dikenal.”
Aku hanya tertawa kecil mendengar kata-kata beliau. Jujur saja, aku tidak ingin pembaca mengenalku. Aku hanya ingin mereka menikmati cerita yang kubuat, dan mungkin bisa mengambil pesan dari cerita-cerita itu. Atau mungkin dapat menghibur mereka di sela-sela kesibukan.
Pernah juga, ketika aku menghadiri sebuah acara yang diadakan komunitas seni di sebuah kafe, orang-orang baru sadar kalau aku adalah anggota dari organisasi kampus. Ketika itu, ada yang membawakan puisiku dan mengungkapkan keberadaanku yang duduk di dekat panggung kecil bersama teman-teman yang lain. Sontak aku kaget, dan sepenglihatanku beberapa orang mengangguk-ngangguk sambil menatapku.
“Nama pena itu sebenarnya singkatan atau ada artinya?” Seorang temanku bertanya ketika kami baru saja keluar dari kafe.
“Oh, itu. Punya arti, artinya ‘mari menulis’.” Sahabat yang sudah kuanggap keluarga langsung tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya ketika mendengar jawabanku.
Aku tahu dia mengetahui semuanya. Dia satu-satunya orang yang kupercaya menyimpan semua rahasia dalam hidupku. Aku tidak pernah tidak menceritakan semuanya, begitupun dia. Bahkan secuil hal yang dianggap beberapa orang tidak penting pun, kami berdua harus membagikannya satu sama lain. Termasuk nama pena itu.
“Kenapa sih harus dirahasiakan?”
Dia bertanya padaku ketika kami pulang dari kafe. Malam itu, dia memilih tidur di rumahku mengingat malam sudah terlalu larut dan sangat rawan untuk dia pulang ke rumahnya sendirian.
“Entahlah, aku hanya ingin menyimpannya.”
Dia lagi-lagi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kelakuannya itu mengingatkanku pada sebuah kejadian ketika aku mengajar di sebuah sekolah kejuruan. Secara iseng, teman-temanku memberitahu guru-guru yang mengajar di sana kalau aku sering menulis di koran A, yang juga menjadi yayasan di sekolah kejuruan itu.
Bahkan berita itu sampai ke telinga murid-muridku lalu memintaku menunjukkan beberapa karyaku dan mereka ingin membacanya. Aku tidak bisa mengelak dan membagikan beberapa karyaku.
“Bu, kenapa pakai nama pena?” Pertanyaan itu lagi-lagi muncul, dan aku hanya meng-hela nafas panjang.
“Ibu suka nama itu.”
“Memang artinya apa, Buk?” Tanya siswi lain, yang duduk di pojok kanan dekat jendela.
“Artinya… ‘mari menulis’. Ibu pengen orang-orang yang ingin menuliskan cerita-ceritanya untuk tetap menulis dan mengajak mereka untuk menulis cerita, termasuk kalian. Seperti kata Pramodya Ananta Toer, ‘orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.’ Jadi boleh kalau hari ini kalian berbagi cerita kepada ibu?”
“Boleh dong, Buk.”
Dari depan kelas, aku melihat mereka menulis berbagai cerita di kertas. Dan kembali mengingat betapa mahir aku menyimpan arti nama itu. Di sisi lain, arti nama itu memang benar mengajak orang untuk ikut menulis. Tapi ada arti lain di balik nama itu, arti yang begitu penting untukku dan seseorang dari masa lalu tentunya, yang membuatku yakin bahwa aku punya cerita untuk kubagi ke pembaca. Kelak, ketika dia pulang dari kota antah berantah, aku akan memberitahunya.

Bulan Mari Kita Pulang

Cerpen Aminullah (Waspada, 14 Januari 2018)
Bulan Mari Kita Pulang ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Bulan Mari Kita Pulang ilustrasi Denny Adil/Waspada
ADA apa dengan angin malam ini, rimbunan pohon diam berdiri seperti tanpa nyawa, hembusan nafas terdengar begitu jelas, berjalan di kerumunan manusia namun tetap begitu sunyi, awan berkumpul sambil berdiskusi, ada apa dengan malam.
Nyanyian terompet bocah kecil terdengar merdu di persimpangan jalan, kaleng kecil menjadi teman hidup perjalanannya.
“Siapa aku?” Tanyaku pada diriku.
“Malam apa ini?” Tanya kembali padaku.
Jalan beraspal aku melangkah, bayang tak terlihat oleh pantulan rembulan, kemana dia, apakah dia sepertiku. Gemerlapan lampu kota tetap berdiri bekerja untuk malam, aku sadar namun aku seperti tidak sadar.
Wanita malam terlihat sedang asik bersandar pada tiang lampu jalan, bermahkota indah, tercium pula harum semerbak dari tubuhnya. Jam kota berdentang tiga kali, kedua jarum saling bercumbu pada angka 00.00 wib, kemana rembulan malam ini, apakah rembulan masih tertidur.
“Raga….!” Terdengar seorang memanggilku.
“Kau kenapa raga?” Tanyanya padaku kembali.
Aku mendengar dan aku melihat Diborry memanggilku, ia terlihat sedang menikmati malam bersama wanita berparas cantik penunggu kota.
“Kau kenapa?” Tanyanya mendatangiku.
“Hei Bor, ada apa?” Tanyaku padanya.
“Kau kenapa, seperti orang lingung.”
“Tidak ada Bor. Cuma ini mencari keramaian.”
“Kau berbicara keramaian? Lihat gak, apa ini kurang ramai?”
Asing bagiku saat ini, aku seperti baru terlahir, manusia seperti hanya bayang yang terlihat. Ragaku ingin memaksa jiwaku yang tertahan kebingungan, awan masih saja berkumpul, apakah ada sesuatu yang direncanakan.
“Kau bukan Raga yang kukenal.” Ujar Borry.
“Iya aku sendiri masih bertanya pada diriku siapa aku.” Ujarku.
“Kau kenapa, aku bertanya dari tadi.” Tanyanya kembali.
“Ibuku meninggal.” Jawabku.
“Kau memang… Ah. Kenapa kau tidak bilang?” Tanyanya padaku.
“Sudahlah, aku berterima kasih kau masih mengingatku.”
“Ga.. ragaa….!”
Aku berjalan dengan tatapan kosong, mengejar bayang namun seperti menangkap angin, akankah ada yang meninggalkanku lagi setelah kejadian dua hari yang lalu ibuku telah meninggalkanku.
“Tayaaa….!” Panggilku untuk adikku.
“Tayaaa… apa yang kau lakukan!”
“Kau tidak usah lagi memanggilku, kau bukan abangku lagi, kau telah membunuh ibu.” Ujarnya padaku.
Terdengar begitu keras suara langanku memukul pipinya, seketika tubuhku bergetar, aku tidak sadar, aku tidak membunuh ibuku, bulan keluarlah ceritakan yang sebenarnya.
Bunga trotoar melihat kejadian itu, kejadian dimana adikku menangis merasakan tamparan dariku, aku malu, Tuhan cabut nyawaku sekarang.
Tetesan hujan malam menyadariku, terlihat sebuah ayunan tua berada di sebuah taman, mungkin malam ini aku akan tidur di ayunan tua itu. Tak terasa rintik menjadi guyuran deras, angin seketika hadir tanpa arah, dingin mulai berdatangan di sekitarku, pohon-pohon beradu dahan menciptakan suara gemuruh, hanya sehelai selendang almarhum ibuku yang menjadi penghangat malam ini.
“Raga, kenapa sendirian?” Ujar ibuku.
“Iya bu, raga pingin sendiri akhir-akhir ini.” Jawabku.
“Kenapa pingin sendiri, gak mau nyari pacar, hahaha.” Tanyanya kembali.
“Ah ibu, raga pingin temani ibu sama taya aja semenjak ayah meninggal.” Ujarku kembali.
Terlihat ibuku sengaja tidak menjawab kalimatku, pagi yang indah untuk burung-burung kecil, tarian dan nyanyian yang sangat indah untuk dilihat dan didengar. Aku masih bingung dengan kata ibuku barusan yang menyuruhku mencari pasangan.
“Bang, ngelamun ajasih, Taya kekampus dulu ya.” Ujar Taya padaku.
“Apa, iya iya.” Jawabku.
Taya adikku satu-satunya, ialah harta yang kupunya sama seperti ibuku, ayahku pernah berpesan sebelum ia meninggal, bahwasanya aku harus menjadi laki-laki yang mandiri, harus bisa menjadi imam di rumah. Ya, kalimat itu sampai sekarang masih saja kuingat, walau ibuku dan adikku tidak mengetahuinya.
Tepat di sore hari, terdengar sebuah gedoran pintu rumah dengan begitu deras, aku tidak tau siapa yang datang, aku terbangun kala mendengar suara itu, namun ketika aku membuka pintu, sebuah mobil ambulan berada di halaman rumahku.
“Raga tolong bantu bapak.” Ujar tetangga rumahku.
“Ada apa pak, kenapa?” Tanyaku.
“Ibumu, ibumu meninggal akibat kecelakaan siang tadi.” Jawabnya.
Rasa emosional keluar begitu saja, cacian terlontar keluar dari mulutku, aku tidak percaya, hingga aku mencoba menelfon ibuku, tetapi aku mulai menyadari itu semua, tubuhku lemas, aku terjatuh dan hanya diam diri membiarkan tetesan air mataku terus keluar.
“Raga…!”
Diam yang aku lakukan, melihat sosok tubuh ibuku yang mengeluarkan darah di bagian wajahnya, mulutku tak bisa berucap sepatah kata. Mataku menjadi saksi sore ini. Adikku belum juga pulang ke rumah, apa yang sebenarnya terjadi.
Sore itu angin begitu kencang hingga terasa masuk kedalam rumah, ya, hujan deras mengguyur seketika, dentuman petir sesekali bersuara, yang bisa kulakukan hanya melihat dan terduduk.
“Abang.. abang…” Terdengar suara Taya.
“Abanggg bangunnn…” Ujarnya kembali.
Aku tersentak terbangun hingga kepalaku terbentur tiang ayunan, jantungku berdetak kencang, aku tersadar dan aku merasakan apa yang terjadi pada ibuku terulang kembali.
Lolongan anjing liar merubah suasana malam menjadi berisik, hujan tak lagi turun, genangan air terlihat mengaliri sekeliling ayunanku, apakah aku bermimpi, apakah aku tidak bermimpi. Dingin malam semakin mencekam, kesunyian menjadi momok pada diriku, aku mulai takut saat ini.
Tak terlihat lagi gerombolan awan yang tadinya berkumpul, kini semua telah memisah diri, lirikan cahaya mata rembulan terlihat dari sela-sela dahan beringin tua. Ada apa ini, apa yang terjadi padaku, berhentilah menyiksaku.
“Ahhhh….” Teriakku.
“Heiii rembulan jangan melirik aku seperti itu.” Ujarku kembali pada bulan.
“Tampakan keseluruhan sosokmu di hadapanku.”
Lolongan anjing semakin terdengar begitu kencang, angin kini mulai hadir kembali dengan menghanyutkan lembaran-lembaran daun tua yang telah hilang nyawanya. Awan kembali mulai bersatu, rembulan mulai bergerak seiring waktu, kini terlihat jelas bulan dengan paras bundar, begitu terang untuk gelapnya suasanaku, aku terdiam dari amarahku barusan.
“Terima kasih kau mendengarkanku, aku ingin bertanya sekali lagi padamu, siapa aku ini sekarang?” Tanyaku pada rembulan.
“Jika kau tidak menjawab, marilah kita pulang, temani aku setiap malam.” Ujarku.
Kini sepi tak terasa, bayangku terlihat kembali, anganangan berterbangan di hadapanku, apakah aku bisa menggenggamnya. Bulan mari kita pulang.

Penulis mahasiswa UMSU. Fakultas ilmu sosial ilmu politik. Penulis aktif di UKM Teater Sisi UMSU

Kutipan Dia Adalah Dilanku Tahun 1990

Kekuatan cinta tak bisa cukup diandalkan. Untuk bisa mengatakannya, ada kebebasan bicara, tetapi keberanian adalah segalanya. (Pidi Baiq, 1972-2098)

SELAMAT ULANG TAHUN, MILEA.
INI HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
TAPI SUDAH KUISI SEMUA.
AKU SAYANG KAMU
AKU TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA HARUS MENGISINYA.
DILAN! (hlm. 75)

  1. Tidak mencintai, tidak berarti membencinya. (hlm. 161)
  2. Kawan itu yang bisa ngebimbing. Yang bisa ngajarin ilmu. Saling ngingetin. Terus yang bisa melindungi. (hlm. 170)
  3. Hormatilah orang lain kalau ingin dihormati. (hlm. 177)
  4. Orangtua sebaiknya bisa memahami anak-anak, bukan sebaliknya. Jangan anak-anak yang dipaksa harus memahami orangtua. Anak-anak belum mengerti apa-apa, meskipun tentu saja harus kita berikan pemahaman. (hlm. 185)
  5. Perempuan nggak suka ditanya. Lebih suka banyak nanya. (hlm. 217)
  6. Nggak ada orang yang suka dibohongi. (hlm. 340)