Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
“Terkadang apa yang kamu inginkan sulit sekali digenggam. Justru
yang tak terlalu kamu inginkan, mengemis-ngemis untuk dimiliki.” (hlm.
109)
Beberapa kalimat favorit buku dalam buku ini:
“Cermin tidak pernah berbohong. Dia merefleksikan apa yang tersaji di hadapannya, di dunia ini, di kehidupan ini.” (hlm. 7)
“Tuhan akan mendengar doa-doa ketika kita panjatkan kepada-Nya.” (hlm. 55)
“Kenyataan terkadang terkumpul dari pilihan-pilihan masa lalu kita.” (hlm. 151)
“Cinta itu bukan tergantung pada pasang surutnya hubungan dengan
seseorang, tapi perasaan cinta yang ada di hati itu sendiri.” (hlm. 162)
“Di dunia ini tak ada yang bisa mengenal diri kita seratus persen. Bahkan, diri kita sendiri.” (hlm. 183)
“Hidup memang tak rumit. Jika manusia tetap berpikir positif, selalu
ingin mengubah kehidupannya ke arah yang lebih baik.” (hlm. 214)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
Sebagian besar kegagalan sebuah hubungan dikarenakan rasa ingin
memiliki menduduki peringkat nomer satu sebagai langkah pertama yang
harus dilakukan. (hlm. 15)
Memiliki yang sempurna pun bukanlah memiliki secara utuh. Orang yang
kita cintai itu punya hak atas dirinya. Begitu juga dengan Tuhan yang
menciptakannya. Sewaktu-waktu, Tuhan boleh membolak-balikkan hatinya.
(hlm. 16)
“Kelamaan kalau harus memahami, memaklumi, memercayai dulu sebelum memiliki, keburu direbut orang nantinya!” (hlm. 16)
“Cinta adalah kebebasan yang berkomitmen, hasrat yang bertanggung jawab, dan kasih yang tak mengenal pamrih.” (hlm. 16)
“Jika cinta luntur, anak-anak yang menjadi beban.” (hlm. 22)
“Lo yang bikin kisahnya lo, lo yang bikin warnanya, dan lo juga yang bikin ancurnya!” (hlm. 24)
“Sudah hukum alam jika laki-laki itu mata keranjang dan perempuan itu mata duitan.” (hlm. 26)
“Hati-hatilah kepada gadis yang sakit hati. Caranya balas dendam selalu tak disangka-sangka.” (hlm. 28)
“Untuk menjadi laki-laki dewasa, carilah hubungan yg tak hanya
membuatmu dewasa hasrat, tetapi juga akal pikiran dan iman.” (hlm. 28)
“Tak ada yang bisa menjamin apakah hati seseorang sudah diselimuti iman atau belum.” (hlm. 54)
“Kalau jalan lurus jelas-jelas tak bisa dipilih, bukankah berarti jalan pintas adalah satu-satunya pilihan?” (hlm. 79)
“Terkadang, orang yang sudah meninggal itu tetap terasa dendamnya di dunia.” (hlm. 100)
“Sesama manusia sombong dilarang saling mengolok!” (hlm. 138)
“Jangan terlalu mencintai seseorang. Hanya ada satu orang yang patut kau sayangi.” (hlm. 161)
“Kau boleh beranggapan bahwa cinta adalah gambling, tapi hati gadis bukanlah dadu atau uang taruhan!” (hlm. 173)
“Bukankah manusia adalah pusatnya dosa dan kesalahan?” (hlm. 185)
“Cinta tak hanya perihal saya cinta kamu atau kamu cinta saya.” (hlm. 201)
Terkadang hati mencoba menutupi apa yang paling mengganggu pikiran seseorang.
Berpura-pura tak merasa, berpura-pura tak terganggu.
Namun, segala kepura-puraan akan sia-sia pada akhirnya.
Yang dirasa tetap akan terungkap, yang menganggu tetap akan diucap.
Aku sudah menjalani setengah perjalananku di sini. Hidup sendiri demi
sebuah ambisi besarku, berjuang dengan semua kekuatan yang aku miliki
untuk membuktikan bahwa aku mampu dan pantas mendapatkan mimpiku.
Sebentar lagi, semua usahaku akan terbayar, impianku akan tercapai dan
ambisiku akhirnya terpenuhi. Aku masih ingat ketika pertama kali akan
melakukan perjalanan ini, dengan segala keegoisan dan sifat keras
kepalaku, aku mengorbankan semua yang sudah aku miliki, aku mengabaikan
semua orang terdekatku, aku hanya menuruti diriku sendiri.
Pengorbananku termasuk meninggalkan orang yang telah lama
mendampingiku, berada di sisiku bahkan di masa-masa paling sulit dalam
hidupku. Seseorang yang tanpa ragu mendukung semua impianku bahkan
ketika impian itu membuatku harus meninggalkannya. Seseorang yang selalu
aku sebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Sebuah pilihan
yang sangat berat untukku di kala itu. Namun, ada keyakinan dalam diriku
yang berkata takdirku adalah miliknya dan begitu juga takdirnya adalah
milikku. Keyakinan itu yang menguatkanku hingga hari ini, menenangkan
hatiku yang terus memupuk rindu padanya. Jikapun keyakinan itu keliru,
pada akhirnya aku hanya mengharapkan kebahagiaan melingkari kami berdua
sebab siapa yang tahu soal takdir? Terlepas dari semua itu, aku
bersyukur pernah menjalani hari-hari indah bersamanya, kini dia adalah
bagian dari perjalananku yang sudah lalu, yang tersimpan rapi bersama
ingatanku tentang rumah.
Saat ini, aku hanya ingin memfokuskan diriku pada perjalanan ini.
Perjalanan yang tidak hanya memberikanku kehidupan baru namun juga
memori-memori baru yang perlahan-lahan menggantikan memori lamaku.
Setengah perjalanan sudah berlalu dan hingga hari ini hanya kebahagiaan
yang mengisi hari-hariku di sini. Semua berjalan lancar tanpa hambatan
yang berakibat fatal. Aku pun sangat mensyukurinya dan berharap semua
akan tetap seperti ini hingga tiba saatnya aku pulang.
***
Aku baru saja terbangun saat membaca sebuah pesan dari teman lamaku
di rumah. Ia memberi kabar tentang seseorang yang tak kuizinkan hadir
kembali ke hidupku. Sakit, katanya dalam pesan itu. Sangat
mengkhawatirkan, begitu yang dijelaskannya dan membutuhkan bantuanku.
Seketika rasa kantukku hilang, berganti perasaan aneh yang menyelimuti
hatiku. Aku membacanya sekali lagi, kemudian aku menghapusnya. Aku tidak
peduli kataku pada diriku sendiri. Aku tak pernah lagi mencari tahu
tentang orang itu. Sedikitpun tak ada celah yang kubuka untuk sekedar
bertukar kabar. Barulah pagi ini, aku mendapat kabar tentangnya. Kabar
yang sama sekali tak kuharapkan. Namun, aku putuskan untuk melanjutkan
hariku seperti biasa. Aku memilih untuk tidak peduli sedikitpun.
Siang hari saat aku sedang beristirahat di kafetaria, ponselku
berbunyi, sebuah panggilan video dari temanku yang aku abaikan pesannya
tadi pagi. Aku memeriksa jam tanganku, sekarang jam 12 siang di
Jakarta. Pantas saja, dia menelpon.
“Hei, aku menganggumu tidak?” katanya sesaat setelah tersambung.
“Tidak kok mba, aku lagi jeda” Jawabku sambil tersenyum.
“Kenapa pesanku tidak dibalas?” Menanyakan pesannya tadi pagi.
“Belum sempat, maaf. Hari ini, kelasku penuh dari pagi” Jawabku sambal menghela napas.
“Dia benar-benar membutuhkan bantuanmu,
cuma kamu yang bisa bantu dia saat ini” Dari raut wajahnya aku melihat
kekhawatiran yang mendalam.
“Tapi aku gak bisa, aku jauh di
sini. Lagipula, kenapa harus aku? Keluarganya lebih memungkinkan untuk
membantunya” Aku berusaha menjelaskan kondisiku.
“Aku gak tahu sejauh apa hubungan kalian dulu. Aku gak
tahu, seberapa membekasnya kamu di hatinya. Sampai-sampai di kondisinya
sekarang ini, cuma nama kamu yang bisa dia sebut” Dia menjelaskan
dengan nada bicara yang penuh pengharapan.
“Kalau begitu, minta saja orang lain
berpura-pura jadi aku” Dengan nada sedikit kesal aku mencoba memberi
solusi yang tak sempat aku pikirkan.
“Hei, jangan begitu. Bagaimana jika ini
seperti permintaan terakhirnya? Bagaimana jika ini terakhir kali kamu
menolongnya?” Dia masih dengan sabar membujukku.
“Mba, yang kamu sebut kali terakhir itu
sudah lampau bagiku. Aku sudah melewati terakhir kali itu dan saat itu
aku minta agar dia tetap menjauh, jangan pernah kembali lagi. Lagipula
sudah ada yang lain yang mendampinginya saat ini kan?” Kataku dengan memberi penekanan di akhir kalimat.
“Dan lagi, kondisiku gak memungkinkan untuk pulang. Jadwalku sedang padat karena sebentar lagi ujian dan mulai penyusunan tesis” Aku menambahkan.
“Hei dengar, semua orang di sini berharap
sama aku untuk bisa membawa kamu ke sini. Karena yang punya kontakmu dan
masih bisa menghubungimu, cuma aku. Dan aku berharap kamu bisa bantu.
Kalau kamu gak mau melakukan ini untuk dia, lakukan untuk
keluarganya, mereka pernah jadi bagian hidupmu juga dan lakukan untuk
kamu juga, untuk ketenangan hati kamu” Dia masih berusaha membujukku
agar mau menolong orang itu.
“Ketenangan hatiku ada di sini mba. Bukan
di sana. Maaf, aku belum bisa bantu apapun selain doa. Semoga dia cepat
pulih. Aku pamit dulu mba, ada kelas lagi nih. Terimakasih untuk
kabarnya ya” Akhirnya aku memlih untuk menyudahi obrolan dengannya.
“Oke, nanti malam aku hubungi lagi ya. Tolong kamu pikirkan baik-baik, jangan lagi menyimpan dendam. See ya”
Sambungan telepon sudah terputus, namun aku masih menatap layar ponselku.
Seketika sekujur tubuhku lemas, rasa sakit itu kembali lagi,
ingatan-ingatan tentang dia yang telah lama aku abaikan. Dua tahun sudah
berlalu sejak aku memintanya untuk tetap menjauh dariku, membebaskan
aku dari bayang-bayangnya dan membiarkan aku memilih orang lain yang
lebih baik untukku. Tentu saja, aku tidak ingin kembali ke sana kepada
orang yang paling tidak mensyukuri kehadiranku. Hidupku sudah tenang
tanpa dia, hatiku sudah pulih dan sudah dapat ditinggali oleh orang yang
lebih baik. Lalu, sekarang apa lagi yang dia inginkan dariku? Aku
bertanya pada diriku sendiri.
Sebelum bangkit dari kursi dan meninggalkan kafetaria ini, aku
menghela napas panjang dan berdoa semoga sisa hariku tak terganggu oleh
kabar tentang orang itu. Hari ini masih ada sebuah presentasi yang harus
aku sampaikan dan malam nanti ada anak-anak yang menunggu ilmu baru
dariku. Aku mohon, jangan lagi menganggu konsentrasiku atau merusak
mimpi-mimpiku. Aku sudah tenang dengan hidupku sekarang. Aku bicara
dalam hati seolah-olah orang itu dapat mendengarku dan entah bagaimana
aku selalu yakin dia masih mendengarku.
Kadang hidup senang bergurau.
Memberi hiburan entah untuk siapa.
Mungkin untuk dirinya sendiri.
Atau mungkin untuk manusia yang seringkali berpikir dapat mengendalikan semua yang terjadi di dalam hidupnya.
Cernak Ari Vidianto (Padang Ekspres, 29 Oktober 2017) Ide Cemerlang Nadia ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Panas yang begitu terik, membuat Nadia mempercepat langkah kakinya.
Anak perempuan yang masih kelas empat SD ini ingin cepat-cepat sampai di
rumah. Pelajaran hari ini cukup menguras tenaganya. Ada olahraga,
matematika dan bahasa Indonesia. Nadia merasa lelah sekali. Akhirnya
setelah lima belas menit perjalanan ia pun sampai di rumahnya yang indah
dan sederhana. “ASSALAMUALAIKUM!” seru Nadia memberi salam saat tiba di rumahnya.
“Waalaikumsalam!” jawab Mama sambil membukakan pintu. Nadia pun langsung bersalaman dengan Mamanya.
“Ma, hari ini Mama masak apa?” tanya Nadia.
“Oseng kangkung sama tempe goreng,” jawab Mama.
“Hmm…enaaak. Kalau ingat oseng kangkung jadi ingat nenek, Ma,”
“Oh, iya! Mama jadi ingat, tadi nenek telepon katanya hari Minggu
besok kamu disuruh main ke rumahnya. Kakek dan nenek sudah kangen sama
kamu. Kamu kan sudah satu bulan lebih tidak ke rumah mereka,” jelas mama
panjang lebar.
“Oh, gitu ya, Ma. Ya sudah Minggu besok aku akan ke rumah mereka,” jawab Nadia bersemangat.
“Ya sudah sebelum makan kamu ganti baju dulu lalu salat Zuhur ya?”
“Oke, Ma! Siap laksanakan perintah bos!” jawab Nadia sambil berlalu menuju ke kamarnya yang bercat pink.
Mama hanya tersenyum melihat Nadia. Memang Nadia anak yang penurut
sekali. Selain itu ia selalu mendapat rangking satu di sekolahnya.
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah mandi, berdandan
rapi dan sarapan. Ia pun mengeluarkan sepeda berwarna pink
kesayangannya. Rumah kakek dan neneknya hanya berjarak satu kilometer.
Oleh karena itulah Nadia menggunakan sepedanya. Nadia pun telah siap
berangkat, ia lalu berpamitan dengan papa dan mamanya.
“Pa, Ma, Nadia berangkat dulu ya?”
“Iya Nadia, hati-hati di jalan ya?” jawab Mama.
“Salam untuk kakek dan nenek ya?” tambah Papa.
“Oke!” jawab Nadia singkat.
Ia pun bersalaman dengan kedua orang tuanya. Nadia pun segera
mengayuh sepedanya dan berlalu dari rumahnya. Papa dan mama tidak ikut
karena mereka mau menghadiri resepsi pernikahan teman sekantor papa.
Di jalan menuju rumah kakek dan nenek terlihat hamparan sawah yang
sangat luas. Banyak pohon-pohon rindang dan di sekitarnya juga banyak
burung-burung yang hinggap dan bersarang di sana. Akhirnya setelah
perjalanan hampir setengah jam, sampailah Nadia di rumah kakek dan
neneknya.
“Kakek, Nenek! Nadia datang!” seru Nadia.
“Cucuku yang cantik sudah datang!” seru kakek dan nenek berbarengan.
Nadia pun memeluk keduanya dan berjabat tangan. Setelah itu mereka
segera masuk ke dalam rumah. Bercerita dan bercengkerama melepaskan
kerinduan antara mereka. Sampai-sampai Nadia tertidur di pangkuan
neneknya. Karena Nadia tidur kakek pun berlalu, dia menuju ke teras
rumah sambil memandang hamparan rumput hijau yang mengelilingi rumahnya.
Rumput-rumput itu sudah panjang-panjang dan tumbuh subur. Karena kakek
sudah tua dia pun tidak sanggup lagi memotong rumput-rumput itu dalam
jumlah banyak.
“Pasti kakek lagi memikirkan rumput-rumput itu lagi,” dalam batin nenek.
Hampir satu jam tidur, akhirnya Nadia pun bangun juga. Ia pun melihat
kakek dan neneknya sedang berada di teras rumah. Ia lalu menghampiri
mereka.
“Lagi ngapain sih Kek, Nek?” tanya Nadia penasaran.
“Ini, kakekmu lagi bingung bagaimana caranya memotong rumput-rumput yang ada di sekitar rumah,” jawab nenek.
“Oh,” jawab Nadia singkat. Ia pun melihat hamparan luas rumput-rumput
itu. Sejenak ia terdiam dan memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia mempunyai
ide.
“Kek, Nek, Nadia punya ide nih,” girang Nadia.
“Apa itu Nadia?” tanya Kakek penasaran. Lalu Nadia pun membisikkan
sesuatu ke telinga kakeknya. Neneknya pun tak mau ketinggalan dia
menghampiri Nadia dan minta di bisikkan juga ide Nadia.
“Wah ide yang bagus cucuku,” girang kakek.
“Iya benar tuh,” tambah nenek.
“Terima kasih,” jawab Nadia sambil tersenyum senang.
“ Kalau begitu kakek pergi dulu ya?”
“Iya kek!” jawab Nadia.
Kakek pun berlalu, Nadia dan nenek menunggu di depan rumah. Akhirnya
setelah setengah jam menunggu kakek pun datang bersama rombongan
tetangga yang membawa kambing mereka masing-masing. Memang di sekitar
rumah kakek banyak tetangga yang memelihara kambing.
Lalu kambing-kambing tersebut mereka lepas dan segera memakan semua
rumput-rumput. Ternyata inilah ide cemerlang Nadia. Ia menyuruh kakeknya
untuk membawa kambing-kambing tetangganya dan memakan rumput-rumput
itu. Kambing-kambing tersebut makan begitu lahap, para pemiliknya pun
senang. Karena mereka tidak perlu susah-susah mencarikan rumput untuk
kambing-kambingnya.
Akhirnya setelah satu jam lebih, rumput-rumput itu pun habis. Semua
tetangga segera mengucapkan terima kasih dan mereka bergegas pulang ke
rumah masing-masing. Kakek dan Nenek pun merasa senang. Karena
rumput-rumput itu sudah bersih di halaman rumah mereka. Ini semua berkat
ide cemerlang Nadia.
“Wah cucuku memang pintar,” seru nenek sambil memeluk Nadia.
“Nanti kakek akan kasih es krim!” kata kakek.
“Horee…Asyiik!” girang Nadia. Ia pun merasa senang sekali karena telah membantu kakek dan neneknya. (***)
Cerpen Budi Hatees (Padang Ekspres, 29 Oktober 2017) Qadam ilustrasi Orta/Padang Ekspres
1
AKU mulai kisah ini dari dirimu. Semua ini memang tentang dirimu.
Kau mengendap-endap masuk ke surau ketika Subuh itu Kakek Nuridin
sedang salat sunah. Setiap kali baru masuk ke surau, orang tua itu
senantiasa mengawali aktivitasnya sebagai penjaga surau dengan salat
sunah.
Semua orang di kampung tahu persis kebiasaan Kakek Nuridin. Dan Subuh
itu kau tiba-tiba muncul di belakangnya. Sebatang kayu kau genggam.
Saat ia rukuk, saat itulah kau hantam tengkuk tuanya. Dia jatuh dan
mati.
Tetapi kau membantah semuanya. Ketika warga menemukan mayat Kakek
Nuridin, kau yang menangis tersedu-sedu. Kau bilang sambil meratap,
“Siapa yang tega membunuh orang sebaik Kakek Nuridin?”
Kakek Nuridin menatapku, lalu mengernyitkan keningnya. Orang tua itu mengejekmu. Sungguh, kau anak muda tak tahu malu.
2
AGAR lebih jelas, aku mulai dari sebelum kau membunuh Kakek Nuridin.
Kau tak suka kepada orangtua itu. Soal itu sudah kau tunjukkan saat
pertemuan di Balai Desa beberapa waktu lalu. “Kau cuma pintar bicara,”
katamu, “Kalau kau dalam posisi aku, pasti kau pun tak bisa apa-apa.
Dasar orangtua tidak tahu diri.”
Kau memaki orang tua itu di hadapan orang banyak. Tapi Ompu Nuridin
malah tersenyum. Orang-orang yang menghadiri pertemuan itu kaget bukan
main, tak menyangka kalau kau akan sekasar itu. Mereka lebih tidak
menyangka lagi ternyata Kakek Nuridin juga sangat keras mempertahankan
pendapatnya.
“Itu gunanya kau kami pilih.” Kakek Nuridin menebar tatapan ke setiap
sudut ruangan, kuat kesan meminta dukungan orang-orang. “Kami berharap
kau punya solusi kalau ada persoalan. Ternyata….”
“Ternyata apa?” Amarahmu meninggi, sampai sudah di ubun-ubunmu. “Ingat kalau kau tua. Jangan memancing aku supaya marah.”
“Baiklah.” Kakek Nuridin masih lembut. “Aku tak akan bicara lagi. Kau
kelihatannya tak senang. Padahal apa yang salah dari ucapan aku?”
“Salah. Semua salah.” Tetapi kau tak melanjutkan kalimatmu, karena
kau langsung ingat sedang berada di mana. Orang-orang bisa saja tahu
penyebab kemarahanmu, lalu mereka mempergunjingkannya. Lalu….
Kau tidak ingin semua orang punya alasan sama untuk memusuhimu.
Tiba-tiba kau diam. Kau perhatian semua mata yang tertuju kepadamu.
Semua ingin tahu penyebab meledaknya kemarahamnu. Lalu kau alihkan
perhatian mereka kepada hal lain yang tak ada kaitannya dengan inti
pertemuan itu.
Kau sengaja berbuat begitu, sebab bila tidak, semua akan terbongkar.
Juga hal yang dikatakan Kakek Nuridin, hal yang membuat kau begitu
tersinggung.
“Kita sudahi saja pertemuan ini. Semuanya sudah jelas bagi kita.” Kau
pun menutup pertemuan, tak perduli orang-orang bertanya-tanya.
Kakek Nuridin tampak mau protes, tetapi kau segera memotongnya.
“Sudahlah Kakek Nuridin, aku tak mau berdebat lagi denganmu.”
3
Kakek NURIDIN itu penjaga surau. Dia bukan orang asli, tapi pendatang
yang kesasar. Dia tiba-tiba sudah ada di surau, tertidur di sana.
Kondisinya sangat memprihatinkan. Warga yang menemuinya memutuskan
memberinya tempat di kampung. Dia mendapat tanggung jawab mengurus
surau.
Dua hari sebelum pertemuan, Kakek Nuridin mendatangimu karena
mendengar ada bantuan dana dari Gubernur untuk membangun surau menjadi
masjid. Kau kaget, tak mengira laki-laki tua itu tahu soal bantuan itu.
Gubernur memberikan uang itu langsung ke tanganmu karena kau berjanji
kepada Gubernur bakal mengajak seluruh warga untuk mencoblos gambarnya
saat Pilkada nanti. Ketika pulang membawa uang itu, kau
merancang-rancang rencana untuk menghabiskan semuanya. Kau berpikir uang
itu pantas untukmu, karena Gubernur memberikanya hanya padamu. Tidak
ada yang lihat, kau berpikir begitu sambil melangkah.
Tetapi laki-laki tua itu tahu. Bagaimana bisa dia tahu? Darimana dia tahu?
Kakek Nuridin mendatangimu dengan konsep pemikiran, bahwa surau itu
sudah seharusnya diubah menjadi masjid karena jumlah warga yang akan
ditampung semakin banyak.
“Bantuan itu cukup untuk mengubah status surau menjadi masjid,” kata Kakek Nuridin.
Kau kaget dengan tawaran Kakek Nuridin. Kau yakin Kakek Nuridin cuma
menebak-nebak soal uang. Karena sejak uang kau terima, belum ada seorang
pun yang kau beritahu. Bahkan, istrimu yang gendut tak tahu menahu.
Kalau istrimu tahu, pastilah dia akan meminta bagian, lalu dia pergi
menghabiskannya di pasar sambil bercerita kepada semua orang.
Kau tak ingin orang-orang tahu. Lalu, kenapa Kakek Nuridin tahu….
“Semua dana itu milik warga,” kata Kakek Nuridin, “kau harus pergunakan untuk kepentingan warga.”
Kau pun teringat pada ucapan Gubernur saat menyerahkan dana itu, sama
persis seperti yang dikatakan Kakek Nuridin. Padahal, dana itu tidak
ada kaitannya dengan program pembangunan daerah. Dana itu diambil
Gubernur dari rekening pribadinya, diberikan kepada beberapa desa dengan
maksud agar seluruh warga desa memilih Gubernur saat pilkada nanti.
“Uang apa?!” Kau melotot. Marah.
Kakek Nuridin tersenyum.
Sehari sebelum pertemuan di balai desa kau gelisah di dalam ruang tamu rumahmu.
Kau tetap bingung sampai besok harinya, sampai pertemuan di balai
desa itu digelar. Rencanya kau akan mengajak seluruh warga memilih
Gubernur saat Pilkada nanti. Kau ingin mengatakan kepada mereka betapa
Gubernur itu sosok yang sangat pantas menjadi Gubernur. Kau mencoba
mempengaruhi mereka dengan sekian banyak pujian terhadap Gubernur.
“Kenapa harus pilih dia?” Tanya salah seorang.
“Dia kasih apa?”
“Dia pantas untuk dipilih.”
“Ini bukan soal pantas, pasti ada hal lain.”
“Ada!” teriak Kakek Nuridin.
Saat itulah kau bilang tak suka pada Kakek Nuridin. Orang-orang heran pada sikapmu.
4
SETELAH pertemuan di balai desa itu, kau semakin gelisah. Kau sangat
khawatir Kakek Nuridin akan membongkar soal uang itu. Kalau itu terjadi,
kau tak akan mendapat apa-apa, kecuali caci maki.
Kau tahu, seluruh warga tak suka pemimpinnya berwatak jahat. Mereka
ingin seorang pemimpin yang jujur, transparan, dan tak memanfaatkan
warganya. Bukankah itu alasan mereka saat memilihmu dalam pikades.
Ketika itu, kau seorang yang jujur, sopan, santun, dan…
Kau menang sedangkan kau tak pernah bermmpi menjadi kepala desa. Lalu, semua berubah. Kau menjadi sombong. Kau menjadi….
Semua warga menyesal memilihmu. Mereka merasa telah tertipu oleh
wajahmu yang lugu. Mereka…. Tak pernah warga merasa begitu tertipu dalam
hidup mereka.
Seperti warga lain, Kakek Nuridin juga merasa sangat tertipu. Sebagai
satu-satunya orang paling tua di desa, Kakek Nuridin merasa kau tidak
lagi menghormatinya.
Selama ini, semua warga menghormatinya, bukan saja karena ia sangat
berusia. Tetapi juga karena ia seorang yang alim, yang menghabiskan sisa
umurnya untuk mengurusi surau, mengajak setiap orang beribadah, dan
memberikan ceramah agama. Suaranya yang serak dan parau sering bergema
di lingkungan desa saat membacakan Alquran.
Seluruh warga mencintai Kakek Nuridin dan menghormatinya sebagai
orangtua. Kau tahu kenapa? Karena ada manusia yang diberi Allah
kelebihan yang tak dimiliki manusia lain. Kakek Nuridin memiliki itu,
kelebihan itu. Akulah kelebihannya, dan aku pula yang memberitahu soal
uang dari Gubernur itu. Aku mengikuti Kakek Nuridin karena ia seorang
yang alim.
Semula Kakek Nuridin tidak percaya, tetapi aku meyakinkannya. Ketika
ia menjumpaimu dan menyampaikan rencana-rencananya untuk mengubah surau
menjadi masjid, saat itu ia hanya ingin memastikan kebenaran
informasiku. Ternyata, kau kaget dan tak sengaja, Kakek Nuridin
menangkap perubahan pada kulit wajahmu. Aku bilang pada Kakek Nuridin,
“Lihat, ia jadi pucat. Ia heran kenapa Kakek Nuridin tahu.”
5
BEGITULAH, kau pun penasaran dan ketakutan. Kau merencanakan akan
membuat Kakek Nuridin diam. Aku sudah mengingatkan Kakek Nuridin, tetapi
laki-laki tua itu sangat percaya kepada Alllah.
“Allah sudah menentukan semuanya?” katanya.
Subuh itu aku sangat khawatir. Aku tak ikut salat sunnah. Hanya Kakek
Nuridin dan aku mengawasinya sambil berpikir apa yang akan kau lakukan
padanya.
Tak lama berselang, aku lihat kau memasuki surau. Kau membawa
sepotong kayu. Aku mencoba menghalangimu, tetapi aku tidak bisa. Setiap
kali aku coba menyentuhmu, aku hanya menyentuh ruang kosong. Aku mencoba
mengingatkan Kakek Nuridin, tetapi aku tunda karena laki-laki tua itu
sangat khusuk.
Saat Kakek Nuridin rukuk, kau pun muncul dan menghantam tengkuknya.
Kau tersenyum melihat tubuh tua itu terjerembab. Tetapi aku justru
tersentak karena Kakek Nuridin ternyata tetap berdiri, meskipun ada
tubuh yang tergeletak di sajadah itu. Sosok itu jelas sosok Kakek
Nuridin, tetapi ada sosok Kakek Nuridin yang lain.
Aku lihat kau begitu gugup. Kau seret tubuh yang tergeletak itu
keluar surau, entah kemana. Aku tidak perduli, karena bagiku Kakek
Nuridin tidak pernah pergi. Lalu, aku lihat Kakek Nuridin memberi salam.
Setelah itu ia melihat kepadaku.
“Kau tak salat sunnah?” tanyanya.
Aku mengangguk dan mulai salat sunnah. ***
Cerpen Yetti A.KA (Suara NTB, 28 Oktober 2017) Pasangan Bahagia ilustrasi Suara NTB
Ia tidak mengerti bagaimana dapat hidup bersama orang yang selalu
ingin melihatnya bahagia. Aku tak ingin bahagia, itu yang sering ia
katakan, tanpa pernah bosan, dan tanpa sekali pun ada yang mau paham.
Setiap ia berkata begitu, orang-orang justru terpingkal dan mengatakan
betapa lucu dan menghibur apa yang ia katakan, tapi tetap mengkritik
selera humornya itu seperti mereka memberi tahu kesalahan-kesalahannya
dalam memilih jenis aksesori dan terus-menerus berusaha meyakinkannya
bahwa di dunia yang sempurna ini tak satu pun orang (selain kamu, Tali!)
yang berani bermain-main dengan kehidupan.
Aku tidak bermain-main dengan kehidupan, itu kemudian yang ia katakan
saat suaminya memandanginya dengan mata dipenuhi pertanyaan. Ia jengah
dipandangi oleh mata yang serupa cahaya malaikat itu setiap pagi, setiap
ia habis minum segelas air putih untuk membasahi kerongkongannya yang
kering, setiap ia mencelupkan telunjuknya ke dalam sisa air di gelas,
lalu mengusapkannya ke kelopak mata—sebuah kebiasaan baru yang sangat
senang ia lakukan di meja makan.
Lantas apa yang kau kerjakan selama ini? tanya suaminya begitu
tenang. Lelaki itu meletakkan sendok—dan itu nyaris tanpa bunyi—di
pinggir piringnya yang telah kosong. Ia memang selalu sarapan tepat
pukul tujuh dan selesai sepuluh menit kemudian.
Hanya melakukan apa yang kuinginkan. Hanya mau merasakan hidup tidak
bahagia. Ia mencelupkan telunjuknya lagi dan menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan sedikit emosional. Jangan memaksa dirimu mengerti kalau
kau memang tidak bisa.
Suaminya tidak tertawa seperti orang-orang lain. Ia lelaki paling
baik hati di dunia dan tidak pernah menertawakan orang lain seolah-olah
orang itu memang pantas menjadi bahan tertawaan. Ia juga bukan lelaki
yang sembarang menganggap sesuatu sebagai humor kecuali orang itu memang
sengaja berdiri di panggung atau memakai baju badut untuk menghibur dan
itu harus dibayar dengan selayaknya. Mengapa itu yang kauinginkan?
tanya suaminya lembut tanpa bermaksud menyindir atau menyudutkannya
sekaligus tanpa benar-benar menuntut jawaban. Setelah satu menit tanpa
ada yang bicara, lelaki itu berdiri dan pergi ke kamar untuk memasang
dasi sebelum nanti berangkat ke kantor. Hidup lelaki itu sangat tertata.
Semua diatur dengan ketat. Berapa lama ia menghabiskan waktu di luar
dan berapa lama kehidupannya milik keluarga. Ke mana saja ia akan pergi
dan kapan harus kembali. Ia tak pernah melakukan sesuatu di luar
jadwal-jadwal yang telah ia buat. Lelaki itu tak sekali pun mengingkari
janji—kecuali kalau ada pertemuan mendadak dan ia akan memberi tahu
dengan cara sebaik-baiknya tanpa membuat orang merasa diabaikan atau
merasa tidak berarti. Ia tidak tahu apa itu sebuah keberuntungan atau
sebaliknya. Namun, yang ia rasakan, ia tak pernah benar-benar ada dalam
kehidupan bersama lelaki itu. Ia tak bisa menerima kesempurnaannya.
Semakin ia mendapat kebaikan lelaki itu, maka ia kehilangan kesempatan
untuk merasakan sesuatu yang lahir dari dalam dirinya sendiri.
Ia mengangkat wajahnya dan memperhatikan punggung yang telah menjauh
itu. Sepertinya punggung itu lebih lebar dua senti dari biasa dan ia
tidak tahu sejak kapan mulai terjadi (betapa payahnya kamu, Tali).
Padahal, di punggung itu ia sering menempelkan kepala saat ia
benar-benar merasa pikirannya amat berat. Di punggung itu ia kerap
berkata, Kenapa ya aku bisa-bisanya berpikir tidak ingin bahagia? Lelaki
itu akan balik bertanya, Apa kau merasa kehidupanmu yang ini sebuah
kesalahan, Tali? Kau mau membantuku untuk memahami ini semua? Apa kau
tetap bisa bersamaku meski bukan ini yang sungguh-sungguh kauinginkan?
Apa yang belum kuberikan kepadamu? Namun, setelah sekian lama,
pertanyaan-pertanyaan itu tak lagi ia dengar. Suaminya lebih banyak
membiarkannya saja, sebab lelaki itu mungkin berpikir, memang tak ada
lagi yang bisa ia lakukan, semua sudah diberikan, tak ada yang kurang
sama sekali. Hidup mereka sempurna.
Mereka tidak pernah bertengkar. Sekali saja tidak. Lelaki itu bilang,
Begitulah harusnya hidup pasangan yang bahagia. Dua anak mereka tumbuh
ceria dan nyaris tanpa mengalami masalah apa-apa. Mereka dua bocah
lelaki yang periang, baik di rumah maupun di sekolah. Mereka seperti
kendaraan yang melintas di jalan bebas hambatan, tumbuh tanpa kendala,
selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ia sama sekali tidak iri
kepada dua anak lelakinya itu. Masa kecilnya juga sama seperti itu. Ia
lahir dalam keluarga yang memberi segalanya. Seorang bapak yang
memastikan ia tidak kekurangan apa-apa. Seorang ibu yang mengatur segala
sesuatu yang terbaik bagi masa depannya. Ibu dan bapaknya pasangan
paling bahagia dibanding orang tua teman-temannya. Pasangan yang membuat
orang terkagum-kagum dan sering memuji mereka. Dulu ia bangga sekali
memiliki orang tua seperti itu. Ia merasa betapa beruntungnya ia
ketimbang keluarga teman-temannya yang punya banyak masalah. Ia merasa
satu-satunya tujuan orang hidup di dunia ini adalah mencari kebahagiaan
dan ia bahkan tak perlu melakukan apa-apa lagi untuk mendapatkannya. Kau
cukup menurut dan jadi anak manis, Tali, kata ibunya sambil mengelus
rambutnya. Ia tahu apa yang pertama sekali harus ia lakukan: jangan
membantah. Seorang anak yang suka membantah, bisa membuat ia kehilangan
segala-galanya, suara ibunya jernih dan hangat. Aku tak akan
melakukannya. Bagus, Tali. Kau akan bahagia seumur hidupmu.
Ia kembali mencelupkan telunjuknya ke dalam gelas, lalu
mengusapkannya ke kelopak mata yang berat. Sudah bertahun-tahun ia
mengalami kesulitan tidur. Seolah-olah otak abu-abunya ditumbuhi
anak-anak rumput yang berimpitan dan semakin bersesakan dari hari ke
hari. Ia kembali belajar menggambar dengan maksud menenangkan pikiran.
Namun, ia menyerah di bulan pertama, tangannya tak pernah dengan baik
menjalankan apa yang ia perintahkan dan hampir semua kertasnya berisi
gambar anak-anak rumput dalam bentuk dan ukuran yang sama, dalam sebuah
keteraturan yang dibencinya.
Jika kau akan pulang malam lagi, jangan lupa bawa baju hangat dalam
tasmu, hujan sering turun pada sore hari, suaminya muncul kembali dengan
pakaian kantor yang sudah lengkap dan rapi.
Ia mengerjapkan matanya bagai bocah yang baru terbangun di tempat
tidur pada pagi hari dan menerima kecupan buru-buru di kening dan
mendengar langkah teratur lelaki itu menapaki lantai rumah menuju pintu
utama. Setelah bunyi mesin mobil lelaki itu meninggalkan garasi, rumah
kembali sunyi. Dua anak lelakinya sudah diantar ke sekolah oleh sopir
pagi-pagi sekali. Dua orang pekerja rumah tangga berada di ruang
belakang, bersiap membersihkan segala sesuatu. Ia sendiri tidak
benar-benar tahu apa yang ingin dilakukan hari ini selain keluar rumah
dan menjauh dari kehidupan yang bahagia, dari semua yang menampakkan
kesempurnaannya.
Kenapa orang begitu sulit memahamiku? Ia bertanya-tanya sambil mulai
memasukkan potongan-potongan buah ke dalam mulutnya. Ia hanya ingin
hidup normal.
Hidup normal itu memangnya yang seperti apa lagi? tanya teman
bisnisnya. Bagi temannya itu, bila kau bisa menikah dengan orang kaya
dan kau dapat membeli apa yang kauinginkan maka tak ada hidup yang lebih
normal itu. Ia menggigit bibirnya yang sekarang beraroma buah. Bukan,
sama sekali bukan itu yang ia inginkan tentang hidup ini. Kau hanya
perlu menurut dan tidak membantah, Tali, kata ibunya dan kata-kata
itulah yang membuat ia menikah dengan lelaki itu sebab ia tahu apa pun
yang diberikan ibunya pasti sesuatu yang baik dan itu memang benar
adanya, lelaki itu selalu ingin membahagiakannya dan tak sekali pun
menyakiti hatinya.
Ia menusuk-nusuk potongan buah dengan garpu dan merasa putus asa. Ke
mana lagi ia harus berlari dari kehidupan bahagia ini? Di manakah ia
bisa mendapatkan luka? Cukup beberapa buah luka. Sesulit itukah ia
mendapatkannya?
Kalau mau, kau boleh ikut bersamaku, kata anak lelaki yang berdiri
dengan satu kaki dan sebelah badannya ditopang oleh tongkat kayu. Anak
lelaki itu tinggal tidak jauh dari rumah mereka dan sering mengikutinya
saat ia main sepeda. Kata ibunya, Tali, hati-hati dengan anak itu, dia
bukan orang baik, dia bisa melukaimu. Ia tidak melihat ada yang salah
dengan anak lelaki itu, tapi ia tahu apa yang dikatakan ibunya pasti
benar. Ia tidak pernah lagi main sepeda. Lelaki itu berhenti menantinya
di pinggir jalan. Ia meneruskan hidupnya yang bahagia dan berteman
dengan orang-orang yang sempurna. Bahagia selamanya, doa ibu dan
bapaknya di hari pernikahannya. Bahagia selamanya, doa semua orang yang
datang. Dan pada hari itu tidak ada yang tahu jika perasaannya sangat
hambar menerima doa semacam itu, sebab ia ingin sekali merasakan hidup
yang seutuhnya, merasakan senang dan sakit, merasakan menang dan kalah.
Potongan buah di piringnya sudah hancur. Ia tak berselera lagi
memasukkannya ke mulut. Sambil menarik napas, ia berdiri dari kursinya.
Hari ini ia akan kembali keluar—dan mungkin selama beberapa hari dan ia
tak perlu memberi tahu suaminya. Lelaki itu memaklumi apa saja yang ia
lakukan. Lelaki itu sudah lama tidak mempermasalahkan apa pun. Asal kau
bahagia, kata lelaki itu setiap mereka membincangkan tentang
kepergian-kepergian mendadak yang sering ia lakukan. Aku bukan mencari
kebahagiaan, katanya dalam hati dan sengaja tidak mau berbantahan di
waktu yang tidak tepat karena pertengkaran tidak boleh terjadi dalam
keluarga mereka yang sempurna.
Ia sedang tak mau mengurus apa-apa dan pergi jauh dari kehidupannya
merupakan perjalanan yang paling sering ia inginkan. Bisnisnya berjalan
baik di bawah pengawasan rekan sekaligus temannya—seandainya berjalan
tidak baik pun, ia tak mau peduli. Ia justru senang jika ada bagian dari
hidupnya yang sedikit hancur, meski tentu saja suaminya tak akan
membiarkannya merasakan kehancuran itu dan buru-buru membantu
menyelesaikan semuanya tanpa pernah tahu kalau itu tidak diharapkannya.
Satu-satunya kesempatan baginya untuk membuat ia tidak bahagia adalah
berada jauh dari pasangan baik hatinya, dari dua anak lelaki yang
sedang gemar-gemarnya main sepeda, dari teman-teman yang menganggap
apa-apa yang ia pikirkan tidak masuk akal, dari ibu atau bapaknya yang
tak henti-henti mengucapkan doa terbaik untuk hidupnya.
Ia pun bangkit dari kursinya. Ia berpikir harus segera berkemas dan
keluar. Mungkin ia harus pergi lagi ke sebuah pulau. Ia telah terlalu
sering membayangkan mengapung di atas lautan dan serombongan hiu
menyerangnya. Ia belum pernah berhadapan dengan ancaman sebesar itu. Ia
mungkin akan menangis karena akhirnya ia merasa ketakutan setengah mati
dan hatinya betul-betul menjadi tidak bahagia.
Hiu-hiu masih berkeliaran dalam pikirannya, bahkan bertambah banyak,
saat seseorang membunyikan bel di pintu pagar rumahnya. Ia bergerak
keluar dan berseru, Siapa?
Seorang pengantar paket membawa sebuah kejutan berupa buket bunga
raksasa yang disertai tulisan: semoga bahagia selalu, Tali. (*)