Daftar Blog Saya

Kamis, 02 November 2017

Kutipan Love in Las Vegas

“Terkadang apa yang kamu inginkan sulit sekali digenggam. Justru yang tak terlalu kamu inginkan, mengemis-ngemis untuk dimiliki.” (hlm. 109)

Beberapa kalimat favorit buku dalam buku ini:
  1. “Cermin tidak pernah berbohong. Dia merefleksikan apa yang tersaji di hadapannya, di dunia ini, di kehidupan ini.” (hlm. 7)
  2. “Tuhan akan mendengar doa-doa ketika kita panjatkan kepada-Nya.” (hlm. 55)
  3. “Kenyataan terkadang terkumpul dari pilihan-pilihan masa lalu kita.” (hlm. 151)
  4. “Cinta itu bukan tergantung pada pasang surutnya hubungan dengan seseorang, tapi perasaan cinta yang ada di hati itu sendiri.” (hlm. 162)
  5. “Di dunia ini tak ada yang bisa mengenal diri kita seratus persen. Bahkan, diri kita sendiri.” (hlm. 183)
  6. “Hidup memang tak rumit. Jika manusia tetap berpikir positif, selalu ingin mengubah kehidupannya ke arah yang lebih baik.” (hlm. 214)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Sebagian besar kegagalan sebuah hubungan dikarenakan rasa ingin memiliki menduduki peringkat nomer satu sebagai langkah pertama yang harus dilakukan. (hlm. 15)
  2. Memiliki yang sempurna pun bukanlah memiliki secara utuh. Orang yang kita cintai itu punya hak atas dirinya. Begitu juga dengan Tuhan yang menciptakannya. Sewaktu-waktu, Tuhan boleh membolak-balikkan hatinya. (hlm. 16)
  3. “Kelamaan kalau harus memahami, memaklumi, memercayai dulu sebelum memiliki, keburu direbut orang nantinya!” (hlm. 16)
  4. “Cinta adalah kebebasan yang berkomitmen, hasrat yang bertanggung jawab, dan kasih yang tak mengenal pamrih.” (hlm. 16)
  5. “Jika cinta luntur, anak-anak yang menjadi beban.” (hlm. 22)
  6. “Lo yang bikin kisahnya lo, lo yang bikin warnanya, dan lo juga yang bikin ancurnya!” (hlm. 24)
  7. “Sudah hukum alam jika laki-laki itu mata keranjang dan perempuan itu mata duitan.” (hlm. 26)
  8. “Hati-hatilah kepada gadis yang sakit hati. Caranya balas dendam selalu tak disangka-sangka.” (hlm. 28)
  9. “Untuk menjadi laki-laki dewasa, carilah hubungan yg tak hanya membuatmu dewasa hasrat, tetapi juga akal pikiran dan iman.” (hlm. 28)
  10. “Tak ada yang bisa menjamin apakah hati seseorang sudah diselimuti iman atau belum.” (hlm. 54)
  11. “Kalau jalan lurus jelas-jelas tak bisa dipilih, bukankah berarti jalan pintas adalah satu-satunya pilihan?” (hlm. 79)
  12. “Terkadang, orang yang sudah meninggal itu tetap terasa dendamnya di dunia.” (hlm. 100)
  13. “Sesama manusia sombong dilarang saling mengolok!” (hlm. 138)
  14. “Jangan terlalu mencintai seseorang. Hanya ada satu orang yang patut kau sayangi.” (hlm. 161)
  15. “Kau boleh beranggapan bahwa cinta adalah gambling, tapi hati gadis bukanlah dadu atau uang taruhan!” (hlm. 173)
  16. “Bukankah manusia adalah pusatnya dosa dan kesalahan?” (hlm. 185)
  17. “Cinta tak hanya perihal saya cinta kamu atau kamu cinta saya.” (hlm. 201)

Bunga Kering

Terkadang hati mencoba menutupi apa yang paling mengganggu pikiran seseorang.
Berpura-pura tak merasa, berpura-pura tak terganggu.
Namun, segala kepura-puraan akan sia-sia pada akhirnya.
Yang dirasa tetap akan terungkap, yang menganggu tetap akan diucap.
Aku sudah menjalani setengah perjalananku di sini. Hidup sendiri demi sebuah ambisi besarku, berjuang dengan semua kekuatan yang aku miliki untuk membuktikan bahwa aku mampu dan pantas mendapatkan mimpiku. Sebentar lagi, semua usahaku akan terbayar, impianku akan tercapai dan ambisiku akhirnya terpenuhi. Aku masih ingat ketika pertama kali akan melakukan perjalanan ini, dengan segala keegoisan dan sifat keras kepalaku, aku mengorbankan semua yang sudah aku miliki, aku mengabaikan semua orang terdekatku, aku hanya menuruti diriku sendiri.
Pengorbananku termasuk meninggalkan orang yang telah lama mendampingiku, berada di sisiku bahkan di masa-masa paling sulit dalam hidupku. Seseorang yang tanpa ragu mendukung semua impianku bahkan ketika impian itu membuatku harus meninggalkannya. Seseorang yang selalu aku sebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Sebuah pilihan yang sangat berat untukku di kala itu. Namun, ada keyakinan dalam diriku yang berkata takdirku adalah miliknya dan begitu juga takdirnya adalah milikku. Keyakinan itu yang menguatkanku hingga hari ini, menenangkan hatiku yang terus memupuk rindu padanya. Jikapun keyakinan itu keliru, pada akhirnya aku hanya mengharapkan kebahagiaan melingkari kami berdua sebab siapa yang tahu soal takdir? Terlepas dari semua itu, aku bersyukur pernah menjalani hari-hari indah bersamanya, kini dia adalah bagian dari perjalananku yang sudah lalu, yang tersimpan rapi bersama ingatanku tentang rumah.
Saat ini, aku hanya ingin memfokuskan diriku pada perjalanan ini. Perjalanan yang tidak hanya memberikanku kehidupan baru namun juga memori-memori baru yang perlahan-lahan menggantikan memori lamaku. Setengah perjalanan sudah berlalu dan hingga hari ini hanya kebahagiaan yang mengisi hari-hariku di sini. Semua berjalan lancar tanpa hambatan yang berakibat fatal. Aku pun sangat mensyukurinya dan berharap semua akan tetap seperti ini hingga tiba saatnya aku pulang.
***
Aku baru saja terbangun saat membaca sebuah pesan dari teman lamaku di rumah. Ia memberi kabar tentang seseorang yang tak kuizinkan hadir kembali ke hidupku. Sakit, katanya dalam pesan itu. Sangat mengkhawatirkan, begitu yang dijelaskannya dan membutuhkan bantuanku. Seketika rasa kantukku hilang, berganti perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Aku membacanya sekali lagi, kemudian aku menghapusnya. Aku tidak peduli kataku pada diriku sendiri. Aku tak pernah lagi mencari tahu tentang orang itu. Sedikitpun tak ada celah yang kubuka untuk sekedar bertukar kabar. Barulah pagi ini, aku mendapat kabar tentangnya. Kabar yang sama sekali tak kuharapkan. Namun, aku putuskan untuk melanjutkan hariku seperti biasa. Aku memilih untuk tidak peduli sedikitpun.
Siang hari saat aku sedang beristirahat di kafetaria, ponselku berbunyi, sebuah panggilan video dari temanku yang aku abaikan pesannya tadi pagi. Aku memeriksa jam tanganku, sekarang jam 12 siang di Jakarta. Pantas saja, dia menelpon.
“Hei, aku menganggumu tidak?” katanya sesaat setelah tersambung.
“Tidak kok mba, aku lagi jeda” Jawabku sambil tersenyum.
“Kenapa pesanku tidak dibalas?” Menanyakan pesannya tadi pagi.
“Belum sempat, maaf. Hari ini, kelasku penuh dari pagi” Jawabku sambal menghela napas.
“Dia benar-benar membutuhkan bantuanmu, cuma kamu yang bisa bantu dia saat ini” Dari raut wajahnya aku melihat kekhawatiran yang mendalam.
“Tapi aku gak bisa, aku jauh di sini. Lagipula, kenapa harus aku? Keluarganya lebih memungkinkan untuk membantunya” Aku berusaha menjelaskan kondisiku.
“Aku gak tahu sejauh apa hubungan kalian dulu. Aku gak tahu, seberapa membekasnya kamu di hatinya. Sampai-sampai di kondisinya sekarang ini, cuma nama kamu yang bisa dia sebut” Dia menjelaskan dengan nada bicara yang penuh pengharapan.
“Kalau begitu, minta saja orang lain berpura-pura jadi aku” Dengan nada sedikit kesal aku mencoba memberi solusi yang tak sempat aku pikirkan.
“Hei, jangan begitu. Bagaimana jika ini seperti permintaan terakhirnya? Bagaimana jika ini terakhir kali kamu menolongnya?” Dia masih dengan sabar membujukku.
“Mba, yang kamu sebut kali terakhir itu sudah lampau bagiku. Aku sudah melewati terakhir kali itu dan saat itu aku minta agar dia tetap menjauh, jangan pernah kembali lagi. Lagipula sudah ada yang lain yang mendampinginya saat ini kan?” Kataku dengan memberi penekanan di akhir kalimat.
“Dan lagi, kondisiku gak memungkinkan untuk pulang. Jadwalku sedang padat karena sebentar lagi ujian dan mulai penyusunan tesis” Aku menambahkan.
“Hei dengar, semua orang di sini berharap sama aku untuk bisa membawa kamu ke sini. Karena yang punya kontakmu dan masih bisa menghubungimu, cuma aku. Dan aku berharap kamu bisa bantu. Kalau kamu gak mau melakukan ini untuk dia, lakukan untuk keluarganya, mereka pernah jadi bagian hidupmu juga dan lakukan untuk kamu juga, untuk ketenangan hati kamu” Dia masih berusaha membujukku agar mau menolong orang itu.
“Ketenangan hatiku ada di sini mba. Bukan di sana. Maaf, aku belum bisa bantu apapun selain doa. Semoga dia cepat pulih. Aku pamit dulu mba, ada kelas lagi nih. Terimakasih untuk kabarnya ya” Akhirnya aku memlih untuk menyudahi obrolan dengannya.
“Oke, nanti malam aku hubungi lagi ya. Tolong kamu pikirkan baik-baik, jangan lagi menyimpan dendam. See ya
Sambungan telepon sudah terputus, namun aku masih menatap layar ponselku. Seketika sekujur tubuhku lemas, rasa sakit itu kembali lagi, ingatan-ingatan tentang dia yang telah lama aku abaikan. Dua tahun sudah berlalu sejak aku memintanya untuk tetap menjauh dariku, membebaskan aku dari bayang-bayangnya dan membiarkan aku memilih orang lain yang lebih baik untukku. Tentu saja, aku tidak ingin kembali ke sana kepada orang yang paling tidak mensyukuri kehadiranku. Hidupku sudah tenang tanpa dia, hatiku sudah pulih dan sudah dapat ditinggali oleh orang yang lebih baik. Lalu, sekarang apa lagi yang dia inginkan dariku? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Sebelum bangkit dari kursi dan meninggalkan kafetaria ini, aku menghela napas panjang dan berdoa semoga sisa hariku tak terganggu oleh kabar tentang orang itu. Hari ini masih ada sebuah presentasi yang harus aku sampaikan dan malam nanti ada anak-anak yang menunggu ilmu baru dariku. Aku mohon, jangan lagi menganggu konsentrasiku atau merusak mimpi-mimpiku. Aku sudah tenang dengan hidupku sekarang. Aku bicara dalam hati seolah-olah orang itu dapat mendengarku dan entah bagaimana aku selalu yakin dia masih mendengarku.
Kadang hidup senang bergurau.
Memberi hiburan entah untuk siapa.
Mungkin untuk dirinya sendiri.
Atau mungkin untuk manusia yang seringkali berpikir dapat mengendalikan semua yang terjadi di dalam hidupnya.
***

Ide Cemerlang Nadia


Cernak Ari Vidianto (Padang Ekspres, 29 Oktober 2017)
Ide Cemerlang Nadia ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Ide Cemerlang Nadia ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Panas yang begitu terik, membuat Nadia mempercepat langkah kakinya. Anak perempuan yang masih kelas empat SD ini ingin cepat-cepat sampai di rumah. Pelajaran hari ini cukup menguras tenaganya. Ada olahraga, matematika dan bahasa Indonesia. Nadia merasa lelah sekali. Akhirnya setelah lima belas menit perjalanan ia pun sampai di rumahnya yang indah dan sederhana.
“ASSALAMUALAIKUM!” seru Nadia memberi salam saat tiba di rumahnya.
“Waalaikumsalam!” jawab Mama sambil membukakan pintu. Nadia pun langsung bersalaman dengan Mamanya.
“Ma, hari ini Mama masak apa?” tanya Nadia.
“Oseng kangkung sama tempe goreng,” jawab Mama.
“Hmm…enaaak. Kalau ingat oseng kangkung jadi ingat nenek, Ma,”
“Oh, iya! Mama jadi ingat, tadi nenek telepon katanya hari Minggu besok kamu disuruh main ke rumahnya. Kakek dan nenek sudah kangen sama kamu. Kamu kan sudah satu bulan lebih tidak ke rumah mereka,” jelas mama panjang lebar.
“Oh, gitu ya, Ma. Ya sudah Minggu besok aku akan ke rumah mereka,” jawab Nadia bersemangat.
“Ya sudah sebelum makan kamu ganti baju dulu lalu salat Zuhur ya?”
“Oke, Ma! Siap laksanakan perintah bos!” jawab Nadia sambil berlalu menuju ke kamarnya yang bercat pink.
Mama hanya tersenyum melihat Nadia. Memang Nadia anak yang penurut sekali. Selain itu ia selalu mendapat rangking satu di sekolahnya.
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah mandi, berdandan rapi dan sarapan. Ia pun mengeluarkan sepeda berwarna pink kesayangannya. Rumah kakek dan neneknya hanya berjarak satu kilometer. Oleh karena itulah Nadia menggunakan sepedanya. Nadia pun telah siap berangkat, ia lalu berpamitan dengan papa dan mamanya.
“Pa, Ma, Nadia berangkat dulu ya?”
“Iya Nadia, hati-hati di jalan ya?” jawab Mama.
“Salam untuk kakek dan nenek ya?” tambah Papa.
“Oke!” jawab Nadia singkat.
Ia pun bersalaman dengan kedua orang tuanya. Nadia pun segera mengayuh sepedanya dan berlalu dari rumahnya. Papa dan mama tidak ikut karena mereka mau menghadiri resepsi pernikahan teman sekantor papa.
Di jalan menuju rumah kakek dan nenek terlihat hamparan sawah yang sangat luas. Banyak pohon-pohon rindang dan di sekitarnya juga banyak burung-burung yang hinggap dan bersarang di sana. Akhirnya setelah perjalanan hampir setengah jam, sampailah Nadia di rumah kakek dan neneknya.
“Kakek, Nenek! Nadia datang!” seru Nadia.
“Cucuku yang cantik sudah datang!” seru kakek dan nenek berbarengan.
Nadia pun memeluk keduanya dan berjabat tangan. Setelah itu mereka segera masuk ke dalam rumah. Bercerita dan bercengkerama melepaskan kerinduan antara mereka. Sampai-sampai Nadia tertidur di pangkuan neneknya. Karena Nadia tidur kakek pun berlalu, dia menuju ke teras rumah sambil memandang hamparan rumput hijau yang mengelilingi rumahnya. Rumput-rumput itu sudah panjang-panjang dan tumbuh subur. Karena kakek sudah tua dia pun tidak sanggup lagi memotong rumput-rumput itu dalam jumlah banyak.
“Pasti kakek lagi memikirkan rumput-rumput itu lagi,” dalam batin nenek.
Hampir satu jam tidur, akhirnya Nadia pun bangun juga. Ia pun melihat kakek dan neneknya sedang berada di teras rumah. Ia lalu menghampiri mereka.
“Lagi ngapain sih Kek, Nek?” tanya Nadia penasaran.
“Ini, kakekmu lagi bingung bagaimana caranya memotong rumput-rumput yang ada di sekitar rumah,” jawab nenek.
“Oh,” jawab Nadia singkat. Ia pun melihat hamparan luas rumput-rumput itu. Sejenak ia terdiam dan memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia mempunyai ide.
“Kek, Nek, Nadia punya ide nih,” girang Nadia.
“Apa itu Nadia?” tanya Kakek penasaran. Lalu Nadia pun membisikkan sesuatu ke telinga kakeknya. Neneknya pun tak mau ketinggalan dia menghampiri Nadia dan minta di bisikkan juga ide Nadia.
“Wah ide yang bagus cucuku,” girang kakek.
“Iya benar tuh,” tambah nenek.
“Terima kasih,” jawab Nadia sambil tersenyum senang.
“ Kalau begitu kakek pergi dulu ya?”
“Iya kek!” jawab Nadia.
Kakek pun berlalu, Nadia dan nenek menunggu di depan rumah. Akhirnya setelah setengah jam menunggu kakek pun datang bersama rombongan tetangga yang membawa kambing mereka masing-masing. Memang di sekitar rumah kakek banyak tetangga yang memelihara kambing.
Lalu kambing-kambing tersebut mereka lepas dan segera memakan semua rumput-rumput. Ternyata inilah ide cemerlang Nadia. Ia menyuruh kakeknya untuk membawa kambing-kambing tetangganya dan memakan rumput-rumput itu. Kambing-kambing tersebut makan begitu lahap, para pemiliknya pun senang. Karena mereka tidak perlu susah-susah mencarikan rumput untuk kambing-kambingnya.
Akhirnya setelah satu jam lebih, rumput-rumput itu pun habis. Semua tetangga segera mengucapkan terima kasih dan mereka bergegas pulang ke rumah masing-masing. Kakek dan Nenek pun merasa senang. Karena rumput-rumput itu sudah bersih di halaman rumah mereka. Ini semua berkat ide cemerlang Nadia.
“Wah cucuku memang pintar,” seru nenek sambil memeluk Nadia.
“Nanti kakek akan kasih es krim!” kata kakek.
“Horee…Asyiik!” girang Nadia. Ia pun merasa senang sekali karena telah membantu kakek dan neneknya. (***)

Qadam


Cerpen Budi Hatees (Padang Ekspres, 29 Oktober 2017)
Qadam ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Qadam ilustrasi Orta/Padang Ekspres
1
AKU mulai kisah ini dari dirimu. Semua ini memang tentang dirimu.
Kau mengendap-endap masuk ke surau ketika Subuh itu Kakek Nuridin sedang salat sunah. Setiap kali baru masuk ke surau, orang tua itu senantiasa mengawali aktivitasnya sebagai penjaga surau dengan salat sunah.
Semua orang di kampung tahu persis kebiasaan Kakek Nuridin. Dan Subuh itu kau tiba-tiba muncul di belakangnya. Sebatang kayu kau genggam. Saat ia rukuk, saat itulah kau hantam tengkuk tuanya. Dia jatuh dan mati.
Tetapi kau membantah semuanya. Ketika warga menemukan mayat Kakek Nuridin, kau yang menangis tersedu-sedu. Kau bilang sambil meratap, “Siapa yang tega membunuh orang sebaik Kakek Nuridin?”
Kakek Nuridin menatapku, lalu mengernyitkan keningnya. Orang tua itu mengejekmu. Sungguh, kau anak muda tak tahu malu.

2
AGAR lebih jelas, aku mulai dari sebelum kau membunuh Kakek Nuridin.
Kau tak suka kepada orangtua itu. Soal itu sudah kau tunjukkan saat pertemuan di Balai Desa beberapa waktu lalu. “Kau cuma pintar bicara,” katamu, “Kalau kau dalam posisi aku, pasti kau pun tak bisa apa-apa. Dasar orangtua tidak tahu diri.”
Kau memaki orang tua itu di hadapan orang banyak. Tapi Ompu Nuridin malah tersenyum. Orang-orang yang menghadiri pertemuan itu kaget bukan main, tak menyangka kalau kau akan sekasar itu. Mereka lebih tidak menyangka lagi ternyata Kakek Nuridin juga sangat keras mempertahankan pendapatnya.
“Itu gunanya kau kami pilih.” Kakek Nuridin menebar tatapan ke setiap sudut ruangan, kuat kesan meminta dukungan orang-orang. “Kami berharap kau punya solusi kalau ada persoalan. Ternyata….”
“Ternyata apa?” Amarahmu meninggi, sampai sudah di ubun-ubunmu. “Ingat kalau kau tua. Jangan memancing aku supaya marah.”
“Baiklah.” Kakek Nuridin masih lembut. “Aku tak akan bicara lagi. Kau kelihatannya tak senang. Padahal apa yang salah dari ucapan aku?”
“Salah. Semua salah.” Tetapi kau tak melanjutkan kalimatmu, karena kau langsung ingat sedang berada di mana. Orang-orang bisa saja tahu penyebab kemarahanmu, lalu mereka mempergunjingkannya. Lalu….
Kau tidak ingin semua orang punya alasan sama untuk memusuhimu.
Tiba-tiba kau diam. Kau perhatian semua mata yang tertuju kepadamu. Semua ingin tahu penyebab meledaknya kemarahamnu. Lalu kau alihkan perhatian mereka kepada hal lain yang tak ada kaitannya dengan inti pertemuan itu.
Kau sengaja berbuat begitu, sebab bila tidak, semua akan terbongkar. Juga hal yang dikatakan Kakek Nuridin, hal yang membuat kau begitu tersinggung.
“Kita sudahi saja pertemuan ini. Semuanya sudah jelas bagi kita.” Kau pun menutup pertemuan, tak perduli orang-orang bertanya-tanya.
Kakek Nuridin tampak mau protes, tetapi kau segera memotongnya.
“Sudahlah Kakek Nuridin, aku tak mau berdebat lagi denganmu.”

3
Kakek NURIDIN itu penjaga surau. Dia bukan orang asli, tapi pendatang yang kesasar. Dia tiba-tiba sudah ada di surau, tertidur di sana. Kondisinya sangat memprihatinkan. Warga yang menemuinya memutuskan memberinya tempat di kampung. Dia mendapat tanggung jawab mengurus surau.
Dua hari sebelum pertemuan, Kakek Nuridin mendatangimu karena mendengar ada bantuan dana dari Gubernur untuk membangun surau menjadi masjid. Kau kaget, tak mengira laki-laki tua itu tahu soal bantuan itu.
Gubernur memberikan uang itu langsung ke tanganmu karena kau berjanji kepada Gubernur bakal mengajak seluruh warga untuk mencoblos gambarnya saat Pilkada nanti. Ketika pulang membawa uang itu, kau merancang-rancang rencana untuk menghabiskan semuanya. Kau berpikir uang itu pantas untukmu, karena Gubernur memberikanya hanya padamu. Tidak ada yang lihat, kau berpikir begitu sambil melangkah.
Tetapi laki-laki tua itu tahu. Bagaimana bisa dia tahu? Darimana dia tahu?
Kakek Nuridin mendatangimu dengan konsep pemikiran, bahwa surau itu sudah seharusnya diubah menjadi masjid karena jumlah warga yang akan ditampung semakin banyak.
“Bantuan itu cukup untuk mengubah status surau menjadi masjid,” kata Kakek Nuridin.
Kau kaget dengan tawaran Kakek Nuridin. Kau yakin Kakek Nuridin cuma menebak-nebak soal uang. Karena sejak uang kau terima, belum ada seorang pun yang kau beritahu. Bahkan, istrimu yang gendut tak tahu menahu. Kalau istrimu tahu, pastilah dia akan meminta bagian, lalu dia pergi menghabiskannya di pasar sambil bercerita kepada semua orang.
Kau tak ingin orang-orang tahu. Lalu, kenapa Kakek Nuridin tahu….
“Semua dana itu milik warga,” kata Kakek Nuridin, “kau harus pergunakan untuk kepentingan warga.”
Kau pun teringat pada ucapan Gubernur saat menyerahkan dana itu, sama persis seperti yang dikatakan Kakek Nuridin. Padahal, dana itu tidak ada kaitannya dengan program pembangunan daerah. Dana itu diambil Gubernur dari rekening pribadinya, diberikan kepada beberapa desa dengan maksud agar seluruh warga desa memilih Gubernur saat pilkada nanti.
“Uang apa?!” Kau melotot. Marah.
Kakek Nuridin tersenyum.
Sehari sebelum pertemuan di balai desa kau gelisah di dalam ruang tamu rumahmu.
Kau tetap bingung sampai besok harinya, sampai pertemuan di balai desa itu digelar. Rencanya kau akan mengajak seluruh warga memilih Gubernur saat Pilkada nanti. Kau ingin mengatakan kepada mereka betapa Gubernur itu sosok yang sangat pantas menjadi Gubernur. Kau mencoba mempengaruhi mereka dengan sekian banyak pujian terhadap Gubernur.
“Kenapa harus pilih dia?” Tanya salah seorang.
“Dia kasih apa?”
“Dia pantas untuk dipilih.”
“Ini bukan soal pantas, pasti ada hal lain.”
“Ada!” teriak Kakek Nuridin.
Saat itulah kau bilang tak suka pada Kakek Nuridin. Orang-orang heran pada sikapmu.

4
SETELAH pertemuan di balai desa itu, kau semakin gelisah. Kau sangat khawatir Kakek Nuridin akan membongkar soal uang itu. Kalau itu terjadi, kau tak akan mendapat apa-apa, kecuali caci maki.
Kau tahu, seluruh warga tak suka pemimpinnya berwatak jahat. Mereka ingin seorang pemimpin yang jujur, transparan, dan tak memanfaatkan warganya. Bukankah itu alasan mereka saat memilihmu dalam pikades. Ketika itu, kau seorang yang jujur, sopan, santun, dan…
Kau menang sedangkan kau tak pernah bermmpi menjadi kepala desa. Lalu, semua berubah. Kau menjadi sombong. Kau menjadi….
Semua warga menyesal memilihmu. Mereka merasa telah tertipu oleh wajahmu yang lugu. Mereka…. Tak pernah warga merasa begitu tertipu dalam hidup mereka.
Seperti warga lain, Kakek Nuridin juga merasa sangat tertipu. Sebagai satu-satunya orang paling tua di desa, Kakek Nuridin merasa kau tidak lagi menghormatinya.
Selama ini, semua warga menghormatinya, bukan saja karena ia sangat berusia. Tetapi juga karena ia seorang yang alim, yang menghabiskan sisa umurnya untuk mengurusi surau, mengajak setiap orang beribadah, dan memberikan ceramah agama. Suaranya yang serak dan parau sering bergema di lingkungan desa saat membacakan Alquran.
Seluruh warga mencintai Kakek Nuridin dan menghormatinya sebagai orangtua. Kau tahu kenapa? Karena ada manusia yang diberi Allah kelebihan yang tak dimiliki manusia lain. Kakek Nuridin memiliki itu, kelebihan itu. Akulah kelebihannya, dan aku pula yang memberitahu soal uang dari Gubernur itu. Aku mengikuti Kakek Nuridin karena ia seorang yang alim.
Semula Kakek Nuridin tidak percaya, tetapi aku meyakinkannya. Ketika ia menjumpaimu dan menyampaikan rencana-rencananya untuk mengubah surau menjadi masjid, saat itu ia hanya ingin memastikan kebenaran informasiku. Ternyata, kau kaget dan tak sengaja, Kakek Nuridin menangkap perubahan pada kulit wajahmu. Aku bilang pada Kakek Nuridin, “Lihat, ia jadi pucat. Ia heran kenapa Kakek Nuridin tahu.”

5
BEGITULAH, kau pun penasaran dan ketakutan. Kau merencanakan akan membuat Kakek Nuridin diam. Aku sudah mengingatkan Kakek Nuridin, tetapi laki-laki tua itu sangat percaya kepada Alllah.
“Allah sudah menentukan semuanya?” katanya.
Subuh itu aku sangat khawatir. Aku tak ikut salat sunnah. Hanya Kakek Nuridin dan aku mengawasinya sambil berpikir apa yang akan kau lakukan padanya.
Tak lama berselang, aku lihat kau memasuki surau. Kau membawa sepotong kayu. Aku mencoba menghalangimu, tetapi aku tidak bisa. Setiap kali aku coba menyentuhmu, aku hanya menyentuh ruang kosong. Aku mencoba mengingatkan Kakek Nuridin, tetapi aku tunda karena laki-laki tua itu sangat khusuk.
Saat Kakek Nuridin rukuk, kau pun muncul dan menghantam tengkuknya. Kau tersenyum melihat tubuh tua itu terjerembab. Tetapi aku justru tersentak karena Kakek Nuridin ternyata tetap berdiri, meskipun ada tubuh yang tergeletak di sajadah itu. Sosok itu jelas sosok Kakek Nuridin, tetapi ada sosok Kakek Nuridin yang lain.
Aku lihat kau begitu gugup. Kau seret tubuh yang tergeletak itu keluar surau, entah kemana. Aku tidak perduli, karena bagiku Kakek Nuridin tidak pernah pergi. Lalu, aku lihat Kakek Nuridin memberi salam. Setelah itu ia melihat kepadaku.
“Kau tak salat sunnah?” tanyanya.
Aku mengangguk dan mulai salat sunnah. ***

Pasangan Bahagia


Cerpen Yetti A.KA (Suara NTB, 28 Oktober 2017)
Pasangan Bahagia ilustrasi Suara NTB.jpg
Pasangan Bahagia ilustrasi Suara NTB
Ia tidak mengerti bagaimana dapat hidup bersama orang yang selalu ingin melihatnya bahagia. Aku tak ingin bahagia, itu yang sering ia katakan, tanpa pernah bosan, dan tanpa sekali pun ada yang mau paham. Setiap ia berkata begitu, orang-orang justru terpingkal dan mengatakan betapa lucu dan menghibur apa yang ia katakan, tapi tetap mengkritik selera humornya itu seperti mereka memberi tahu kesalahan-kesalahannya dalam memilih jenis aksesori dan terus-menerus berusaha meyakinkannya bahwa di dunia yang sempurna ini tak satu pun orang (selain kamu, Tali!) yang berani bermain-main dengan kehidupan.
Aku tidak bermain-main dengan kehidupan, itu kemudian yang ia katakan saat suaminya memandanginya dengan mata dipenuhi pertanyaan. Ia jengah dipandangi oleh mata yang serupa cahaya malaikat itu setiap pagi, setiap ia habis minum segelas air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering, setiap ia mencelupkan telunjuknya ke dalam sisa air di gelas, lalu mengusapkannya ke kelopak mata—sebuah kebiasaan baru yang sangat senang ia lakukan di meja makan.
Lantas apa yang kau kerjakan selama ini? tanya suaminya begitu tenang. Lelaki itu meletakkan sendok—dan itu nyaris tanpa bunyi—di pinggir piringnya yang telah kosong. Ia memang selalu sarapan tepat pukul tujuh dan selesai sepuluh menit kemudian.
Hanya melakukan apa yang kuinginkan. Hanya mau merasakan hidup tidak bahagia. Ia mencelupkan telunjuknya lagi dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedikit emosional. Jangan memaksa dirimu mengerti kalau kau memang tidak bisa.
Suaminya tidak tertawa seperti orang-orang lain. Ia lelaki paling baik hati di dunia dan tidak pernah menertawakan orang lain seolah-olah orang itu memang pantas menjadi bahan tertawaan. Ia juga bukan lelaki yang sembarang menganggap sesuatu sebagai humor kecuali orang itu memang sengaja berdiri di panggung atau memakai baju badut untuk menghibur dan itu harus dibayar dengan selayaknya. Mengapa itu yang kauinginkan? tanya suaminya lembut tanpa bermaksud menyindir atau menyudutkannya sekaligus tanpa benar-benar menuntut jawaban. Setelah satu menit tanpa ada yang bicara, lelaki itu berdiri dan pergi ke kamar untuk memasang dasi sebelum nanti berangkat ke kantor. Hidup lelaki itu sangat tertata. Semua diatur dengan ketat. Berapa lama ia menghabiskan waktu di luar dan berapa lama kehidupannya milik keluarga. Ke mana saja ia akan pergi dan kapan harus kembali. Ia tak pernah melakukan sesuatu di luar jadwal-jadwal yang telah ia buat. Lelaki itu tak sekali pun mengingkari janji—kecuali kalau ada pertemuan mendadak dan ia akan memberi tahu dengan cara sebaik-baiknya tanpa membuat orang merasa diabaikan atau merasa tidak berarti. Ia tidak tahu apa itu sebuah keberuntungan atau sebaliknya. Namun, yang ia rasakan, ia tak pernah benar-benar ada dalam kehidupan bersama lelaki itu. Ia tak bisa menerima kesempurnaannya. Semakin ia mendapat kebaikan lelaki itu, maka ia kehilangan kesempatan untuk merasakan sesuatu yang lahir dari dalam dirinya sendiri.
Ia mengangkat wajahnya dan memperhatikan punggung yang telah menjauh itu. Sepertinya punggung itu lebih lebar dua senti dari biasa dan ia tidak tahu sejak kapan mulai terjadi (betapa payahnya kamu, Tali). Padahal, di punggung itu ia sering menempelkan kepala saat ia benar-benar merasa pikirannya amat berat. Di punggung itu ia kerap berkata, Kenapa ya aku bisa-bisanya berpikir tidak ingin bahagia? Lelaki itu akan balik bertanya, Apa kau merasa kehidupanmu yang ini sebuah kesalahan, Tali? Kau mau membantuku untuk memahami ini semua? Apa kau tetap bisa bersamaku meski bukan ini yang sungguh-sungguh kauinginkan? Apa yang belum kuberikan kepadamu? Namun, setelah sekian lama, pertanyaan-pertanyaan itu tak lagi ia dengar. Suaminya lebih banyak membiarkannya saja, sebab lelaki itu mungkin berpikir, memang tak ada lagi yang bisa ia lakukan, semua sudah diberikan, tak ada yang kurang sama sekali. Hidup mereka sempurna.
Mereka tidak pernah bertengkar. Sekali saja tidak. Lelaki itu bilang, Begitulah harusnya hidup pasangan yang bahagia. Dua anak mereka tumbuh ceria dan nyaris tanpa mengalami masalah apa-apa. Mereka dua bocah lelaki yang periang, baik di rumah maupun di sekolah. Mereka seperti kendaraan yang melintas di jalan bebas hambatan, tumbuh tanpa kendala, selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ia sama sekali tidak iri kepada dua anak lelakinya itu. Masa kecilnya juga sama seperti itu. Ia lahir dalam keluarga yang memberi segalanya. Seorang bapak yang memastikan ia tidak kekurangan apa-apa. Seorang ibu yang mengatur segala sesuatu yang terbaik bagi masa depannya. Ibu dan bapaknya pasangan paling bahagia dibanding orang tua teman-temannya. Pasangan yang membuat orang terkagum-kagum dan sering memuji mereka. Dulu ia bangga sekali memiliki orang tua seperti itu. Ia merasa betapa beruntungnya ia ketimbang keluarga teman-temannya yang punya banyak masalah. Ia merasa satu-satunya tujuan orang hidup di dunia ini adalah mencari kebahagiaan dan ia bahkan tak perlu melakukan apa-apa lagi untuk mendapatkannya. Kau cukup menurut dan jadi anak manis, Tali, kata ibunya sambil mengelus rambutnya. Ia tahu apa yang pertama sekali harus ia lakukan: jangan membantah. Seorang anak yang suka membantah, bisa membuat ia kehilangan segala-galanya, suara ibunya jernih dan hangat. Aku tak akan melakukannya. Bagus, Tali. Kau akan bahagia seumur hidupmu.
Ia kembali mencelupkan telunjuknya ke dalam gelas, lalu mengusapkannya ke kelopak mata yang berat. Sudah bertahun-tahun ia mengalami kesulitan tidur. Seolah-olah otak abu-abunya ditumbuhi anak-anak rumput yang berimpitan dan semakin bersesakan dari hari ke hari. Ia kembali belajar menggambar dengan maksud menenangkan pikiran. Namun, ia menyerah di bulan pertama, tangannya tak pernah dengan baik menjalankan apa yang ia perintahkan dan hampir semua kertasnya berisi gambar anak-anak rumput dalam bentuk dan ukuran yang sama, dalam sebuah keteraturan yang dibencinya.
Jika kau akan pulang malam lagi, jangan lupa bawa baju hangat dalam tasmu, hujan sering turun pada sore hari, suaminya muncul kembali dengan pakaian kantor yang sudah lengkap dan rapi.
Ia mengerjapkan matanya bagai bocah yang baru terbangun di tempat tidur pada pagi hari dan menerima kecupan buru-buru di kening dan mendengar langkah teratur lelaki itu menapaki lantai rumah menuju pintu utama. Setelah bunyi mesin mobil lelaki  itu meninggalkan garasi, rumah kembali sunyi. Dua anak lelakinya sudah diantar ke sekolah oleh sopir pagi-pagi sekali. Dua orang pekerja rumah tangga berada di ruang belakang, bersiap membersihkan segala sesuatu. Ia sendiri tidak benar-benar tahu apa yang ingin dilakukan hari ini selain keluar rumah dan menjauh dari kehidupan yang bahagia, dari semua yang menampakkan kesempurnaannya.
Kenapa orang begitu sulit memahamiku? Ia bertanya-tanya sambil mulai memasukkan potongan-potongan buah ke dalam mulutnya. Ia hanya ingin hidup normal.
Hidup normal itu memangnya yang seperti apa lagi? tanya teman bisnisnya. Bagi temannya itu, bila kau bisa menikah dengan orang kaya dan kau dapat membeli apa yang kauinginkan maka tak ada hidup yang lebih normal itu. Ia menggigit bibirnya yang sekarang beraroma buah. Bukan, sama sekali bukan itu yang ia inginkan tentang hidup ini. Kau hanya perlu menurut dan tidak membantah, Tali, kata ibunya dan kata-kata itulah yang membuat ia menikah dengan lelaki itu sebab ia tahu apa pun yang diberikan ibunya pasti sesuatu yang baik dan itu memang benar adanya, lelaki itu selalu ingin membahagiakannya dan tak sekali pun menyakiti hatinya.
Ia menusuk-nusuk potongan buah dengan garpu dan merasa putus asa. Ke mana lagi ia harus berlari dari kehidupan bahagia ini? Di manakah ia bisa mendapatkan luka? Cukup beberapa buah luka. Sesulit itukah ia mendapatkannya?
Kalau mau, kau boleh ikut bersamaku, kata anak lelaki yang berdiri dengan satu kaki dan sebelah badannya ditopang oleh tongkat kayu. Anak lelaki itu tinggal tidak jauh dari rumah mereka dan sering mengikutinya saat ia main sepeda. Kata ibunya, Tali, hati-hati dengan anak itu, dia bukan orang baik, dia bisa melukaimu. Ia tidak melihat ada yang salah dengan anak lelaki itu, tapi ia tahu apa yang dikatakan ibunya pasti benar. Ia tidak pernah lagi main sepeda. Lelaki itu berhenti menantinya di pinggir jalan. Ia meneruskan hidupnya yang bahagia dan berteman dengan orang-orang yang sempurna. Bahagia selamanya, doa ibu dan bapaknya di hari pernikahannya. Bahagia selamanya, doa semua orang yang datang. Dan pada hari itu tidak ada yang tahu jika perasaannya sangat hambar menerima doa semacam itu, sebab ia ingin sekali merasakan hidup yang seutuhnya, merasakan senang dan sakit, merasakan menang dan kalah.
Potongan buah di piringnya sudah hancur. Ia tak berselera lagi memasukkannya ke mulut. Sambil menarik napas, ia berdiri dari kursinya. Hari ini ia akan kembali keluar—dan mungkin selama beberapa hari dan ia tak perlu memberi tahu suaminya. Lelaki itu memaklumi apa saja yang ia lakukan. Lelaki itu sudah lama tidak mempermasalahkan apa pun. Asal kau bahagia, kata lelaki itu setiap mereka membincangkan tentang kepergian-kepergian mendadak yang sering ia lakukan. Aku bukan mencari kebahagiaan, katanya dalam hati dan sengaja tidak mau berbantahan di waktu yang tidak tepat karena pertengkaran tidak boleh terjadi dalam keluarga mereka yang sempurna.
Ia sedang tak mau mengurus apa-apa dan pergi jauh dari kehidupannya merupakan perjalanan yang paling sering ia inginkan. Bisnisnya berjalan baik di bawah pengawasan rekan sekaligus temannya—seandainya berjalan tidak baik pun, ia tak mau peduli. Ia justru senang jika ada bagian dari hidupnya yang sedikit hancur, meski tentu saja suaminya tak akan membiarkannya merasakan kehancuran itu dan buru-buru membantu menyelesaikan semuanya tanpa pernah tahu kalau itu tidak diharapkannya.
Satu-satunya kesempatan baginya untuk membuat ia tidak bahagia adalah berada jauh dari pasangan baik hatinya, dari dua anak lelaki yang sedang gemar-gemarnya main sepeda, dari teman-teman yang menganggap apa-apa yang ia pikirkan tidak masuk akal,  dari ibu atau bapaknya yang tak henti-henti mengucapkan doa terbaik untuk hidupnya.
Ia pun bangkit dari kursinya. Ia berpikir harus segera berkemas dan keluar. Mungkin ia harus pergi lagi ke sebuah pulau. Ia telah terlalu sering membayangkan mengapung di atas lautan dan serombongan hiu menyerangnya. Ia belum pernah berhadapan dengan ancaman sebesar itu. Ia mungkin akan menangis karena akhirnya ia merasa ketakutan setengah mati dan  hatinya betul-betul menjadi tidak bahagia.
Hiu-hiu masih berkeliaran dalam pikirannya, bahkan bertambah banyak, saat seseorang membunyikan bel di pintu pagar rumahnya. Ia bergerak keluar dan berseru, Siapa?
Seorang pengantar paket membawa sebuah kejutan berupa buket bunga raksasa yang disertai tulisan: semoga bahagia selalu, Tali. (*)

Rumah Kinoli, 2017