Daftar Blog Saya

Kamis, 09 November 2017

Kenangan, Cinta, dan Sejarah di Kota Tua

Cerpen Raidah Athirah (Republika, 05 November 2017)
Kenangan, Cinta, dan Sejarah di Kota Tua ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Kenangan, Cinta, dan Sejarah di Kota Tua ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Zofia bersama Khalid berdiri di ujung dermaga kayu di sebuah kota yang mengenalkan mereka pada jejak sejarah. Kota ini bernama Gdansk Polandia. Inilah api semangat pertama yang membawa mereka menjelajah sejarah kota tua di tanah penganut Katolik.
Khalid mengagumi keindahan sungai-sungai jernih karena ini pertama kali ia menjejak di sini. Pantulannya sempurna melahirkan bayangan kembar. Ia pun tak bisa menepis bayang-bayang daun bertebaran menutupi hutan dan taman kota selama akhir musim gugur. Semuanya membentuk kanvas hidup yang memukau. Kini, semua perjalanan itu menetap dalam ingatan.
Khalid Abdullatif, pemuda Suriah ini, hendak mengubur semua kenangan pahit nan berdarah-darah tentang perang yang meluluhlantahkan kota dan cintanya. Kadang, ia berpikir bahwa ia seperti baru keluar dari kuburan. Tidak ada lagi tawa ibu dan kedua adik perempuannya di apartemen yang memiliki dua ruangan. Anak yatim ini selamat ketika bom menutupi seisi kota.
Khalid masih mengingat saat ia melangkah mendekati jendela dan menyibak kain gorden. Pemandangan yang ia dapati membuatnya hanya bisa menutup mulut setelah sebuah sedan yang dirasuki setan memuntahkan peluru api ke seantero jalanan. Tetangganya, laki-laki tua yang memaki marah kepada pemerintah karena damai tak kunjung tiba, tewas seketika. Dia adalah Alawite yang sudah kadung kesal kepada penguasa yang semena-mena.
Ujian pemuda ini sungguh berat. Ia bercita-cita ingin menjadi dokter agar bisa mengobati manusia, apa pun agamanya. Namun, hari-harinya dipenuhi ujian menyaksikan keluarga yang tewas dan ribuan orang terbunuh. Zofia menghapus air mata Khalid. Ia paham suaminya masih terperangkap dalam memori yang penuh luka.
“Aku baik-baik saja, habibati (kekasihku),” Khalid menghapus tetesan bening itu dari bola matanya agar timbul senyum di bibir istrinya.
“Tidak, hidungmu merah karena sedih.” Zofia membalas ucapan Khalid dengan nada serius.
“Oh, hidungku merah karena dingin. Kau lihat ini,” Khalid menunjuk hidung mancungnya yang memerah sambil sesekali menggoda Zofia.
Pengantin itu berharap, dalam suatu masa, Allah Tuhan Mahapemberi rezeki mengizinkan kaki mereka kembali bersama orang-orang tercinta menjejak rindu di kota ini.
Gdank memang menakjubkan. Gadis-gadis berambut pirang dengan postur tubuh tinggi berlalu-lalang di jalanan. Mata mereka menggoda sebagaimana warna-warni atap gedung. Akan tetapi, tak sedikit pun Khalid tergoyah. Hatinya telah tertambat pada perempuan cantik zahir dan hatinya, Anna Zofia Winieska.
Perjalanan mereka kala itu hendak mengisi romantisme. Zofia mengajak suaminya ke kota tua Gdansk untuk menunjukkan padanya bahwa selalu ada harapan di setiap perjalanan. Perlahan, sehelai demi sehelai kenangan tergantikan dengan senyum dan tawa. Mereka hendak mengenang perjalanan ini sebagai keindahan penuh kenangan.
Gdansk atau Danjig dalam dialek Jerman merupakan kota megah di Polandia yang gerejanya berbata merah dan berwarna-warni. Rumah-rumah pun berhias warna. Berjalan-jalan di sepanjang jalan Gdansk seperti melangkah ke dalam telur Faberge. Berkilau. Bercahaya. Zofia mendapati dirinya sebagaimana anak kecil yang baru belajar tentang sejarah masa silam. Terpukau. Rasanya menggebu-gebu.
Setiap kali memandang Khalid seperti sebuah ungkapan penuh syukur ingin keluar dari lidahnya karena cinta telah membawanya ke sini, Gdansk. “Terima kasih, cinta telah mengajarkan kita melangkah bersama dalam satu keyakinan adalah karunia besar menyemai mawadah.”
Gdansk memiliki sejarah panjang yang merekat kuat dengan peristiwa Perang Dunia II. Kota ini adalah rumah bagi orang-orang Yahudi Polandia sejak abad ke-11. Satu tahun setelah peristiwa ini, banyak kaum Yahudi bermigrasi besarbesaran ke tanah Palestina.
Entah ini sebuah kebetulan atau tidak, perjalanan Zofia dan Khalid selalu terpaut kisah cinta dan sejarah perang. Di perjalanan, gadis berdarah blasteran ini menceritakan tentang Serock, kota Yahudi yang penuh kenangan kepada Khalid. Tempat keluarga leluhur mendiang ayah Zofia menjalani masa kecil yang indah tak terlupakan. Di pegunungan Serock memang banyak didapati kuburan orang-orang Yahudi. Salah satunya adalah leluhur Zofia.
Dalam darah gadis itu mengalir tiga agama samawi; Yahudi, Kristen, dan Islam. Kakek Zofia dari garis ayah adalah Yahudi. Mendiang bapaknya sebelum memeluk Islam adalah seorang Katolik. Sedangkan, ibunda Zofia yang berparas ayu adalah Muslimah berkebangsaan Indonesia. Kini, takdir mengikatnya bersama Khalid, laki-laki Suriah yang kini berkarier di Darmstad, salah satu kota di Jerman.
Hijrah Khalid ke kota kecil di Jerman akibat kecamuk perang mengantarkannya mengenal cinta. Laki-laki bersahaja ini perlu waktu untuk melupakan semua derita yang ia lalui. Perang telah merampasnya. Aleppo, kota sejarah tanah moyangnya kini terkoyak dalam darah dan tangis.
Ia bekerja siang-malam dengan doa penuh harapan untuk segera keluar dari neraka dunia. Setelah dihitung, Khalid merasa uang yang ia kumpulkan sudah cukup untuk membayar penyelundup agar ia bisa mendapatkan paspor palsu dan tiket pesawat ke Jerman.
Sayangnya, uang sebanyak 500 dolar yang Khalid berikan kepada laki-laki penyelundup di sebuah restoran tak menjamin ia lolos dari pengecekan petugas imigrasi. Setelah paspornya diselidiki, foto yang tertera di paspor ternyata milik seorang pemuda Italia. Ia telah dinasihati sebelumnya bila ia kedapatan meragukan maka ia harus bersikap tenang agar tidak menimbulkan curiga. “Paspor ini bukan milikmu,” kata petugas imigrasi laki-laki bersuara keras ke wajah Khalid.
Pemuda malang itu menyerah pada keadaan. Petugas menyita paspornya dan juga paspor asli yang berada dalam tas punggungnya. Ia ditahan. Ia dimasukkan dalam sel yang sempit dan gelap. Khalid masih harus berbagi dengan 50 orang asing. Allah mengaruniakannya hidup setelah hampir satu bulan berada dalam neraka itu. Pemuda ini tak percaya ia bebas dan dikirim kembali ke Suriah. Tak ada yang bisa ia lakukan saat itu selain mengumpulkan kembali mimpi yang dibalut doa dan kerja keras.
Bulan berlalu dan genap sudah setahun ia terisolasi dalam perang. Setiap dolar yang terkumpul adalah harapan baginya untuk meninggalkan tanah lahirnya menuju tanah Eropa. Khalid termasuk yang beruntung dibandingkan para penghuni sel lainnya.
“Semua meninggalkanku,” kata dia setengah berbisik agar istrinya benar-benar tak mendengar keluh batinnya.
Pada Juli Khalid menemukan jalan ke Turki setelah seorang sahabat ayahnya mengirim pesan singkat ke akun Facebooknya. Ia meminjam 1.500 dolar dari pamannya. Pada November yang kelabu ia terbang ke Istanbul dengan ransel kecil yang hanya berisi dua kemeja, celana, dan syal wol berwarna abu-abu buatan mendiang ibunda tercinta.
Berbekal informasi yang ia dapatkan di Facebook mengenai jalur perjalanan dari sesama orang Suriah tanpa harus membayar ke para penyelundup manusia, Khalid menaiki kapal menuju Yunani. Sesampai di Yunani, pemuda ini harus pandai-pandai mencuri kesempatan dari mata para petugas perbatasan. Ah, lelah suami Zofia ini tak bisa dikata.
Kesempatan itu datang ketika sebuah truk menuju Swedia melintas. Khalid melihatnya sebagai sebuah jalan untuk menuju kota tujuan. Ia merangkak, berusaha tidak meninggalkan bunyi apa pun dan menjatuhkan dirinya tanpa suara ke dalam sebuah peti kayu. Di Gothenburg, ia menjalani hari-hari dengan bekerja serabutan di bengkel sebelum kemudian benar-benar masuk ke kota kecil di Jerman secara legal dan beradab.
Ikhtiar Khalid untuk bekerja dan belajar sesuai dengan aturan mencapai labuhan kala ia mengajukan permohonan sebagai pencari suaka dan diterima oleh Lembaga Uni Eropa yang menjamin hak-hak manusia. Beginilah, atas izin Tuhan, ia kemudian berhijrah ke Jerman dan bertemu belahan jiwanya di sana, gadis berdarah Polandia-Indonesia. Dan beginilah kota tua, Gdansk, mengingatkannya tentang kenangan dan perjuangannya melintas batas. Ia terus berusaha melupakan kesedihan yang kentara.
“Jangan bersedih, ya habibi (kekasihku), Allah Mahapengasih kepada hamba-Nya. Mereka yang kita cinta telah pergi duluan. Bila waktu tiba kita pun akan menyusul,” kata Zofia.
“Terimah kasih, habibati. Ini adalah rasa syukurku karena kau adalah belahan jiwa yang mengerti duka yang kurasa.”
Pengantin itu singgah menyantap kuliner di Bar Mleczny Neptun. Mereka menghindar dari semua jenis makanan yang berisi daging karena tak bisa dimungkiri daging babi sudah kadung menjadi makanan yang sangat disukai di negeri ini. Di manapun dan kapan pun identitas sebagai Muslim haruslah tertanam kuat dalam hati. Tak akan menyerah hanya karena dorongan nafsu perut sesaat.
Setiap yang datang ke kota tua Gdansk seperti sedang berdialog dengan sejarah. Zofia, Khalid, dan kaki-kaki yang melangkah ke kota ini akan paham akan sebuah kalimat bahwa laki-laki Polandia terlahir dengan pedang di tangan kanan dan batu bata di kirinya. Ketika pertempuran berakhir, ia mulai membangun kembali puing-puing itu menjadi bata sejarah. Ini adalah bukti bagaimana wajah Gdansk ditampilkan dari masa ke musim yang masih tetap utuh dipandang di sepanjang kota. Dan dalam merah darah Zofia mengalir sifat kerja keras yang dibalut keyakinan yang tak pernah memudar.
Hanya 15 menit di sebelah utara, daya tarik lain menghampiri. Di sini, di tempat ini, Lech Walesa memprakarsai gerakan solidaritas pada 1980 yang akhirnya menumbangkan rezim komunis. Galangan kapal ini kemudian dikenal sebagai tempat lahir kebebasan dari komunisme yang menjadi hantu pembawa kesengsaraan.
Jelajah mereka tak berhenti di sini. Dekat galangan kapal ada sebuah museum yang berjuluk “Jalan Menuju Kebebasan”. Di dalam museum didapati berbagai kisah dan wajah para pekerja yang berjuang untuk berubah. Bebas dari cengkeraman rezim komunis.
Zofia memandang lekat ke wajah Khalid. Selama perjalanan, kadang terlihat wajah lelakinya murung. Bukan karena Khalid tak menikmati keindahan kota ini, melainkan membicarakan sejarah perang berarti membuka lukanya yang masih segar tersimpan dalam memori. Kota yang hancur dan orang-orang tercinta yang pergi meninggalkannya menjadikan ia seorang yatim dan berjuang berdarah-darah untuk sampai ke Eropa. Sekalipun Zofia bersamanya, hati laki-laki ini tak mudah melupakan duka.
Zofia mengajak Khalid untuk beristirahat sebentar di sebuah kursi panjang yang tersedia. Perempuan muda yang berstatus istri ini berharap setidaknya laki-laki yang dicinta ini paham bahwa dedaunan yang gugur telah menjadi sajadah bumi, sedih meninggalkan induk pohon, tetapi tunduk bahwa semua adalah jalan hidup yang telah diatur yang Mahakuasa. Zofia menyentuh kepala Khalid, membiarkan suaminya membenamkan rasa sedih di pundaknya.
“Kocham cie, Kochanie! (Aku mencintaimu, sayang),” kata Zofia.
Suami Zofia itu menggerakkan kepalanya tegak. Kali ini, ia yang menatap istrinya. Menyampaikan rasa maafnya karena wajahnya tak bisa diajak riang kala itu.
“Maafkan aku, sayang! Tak ada maksud membuatmu risau dan kecewa, hanya saja bayangan mereka hadir setelah aku mengenal sejarah kota ini. Kuharap, kau tak marah, habibati,” tangan Khalid menyentuh lembut telapak tangan istrinya. Zofia tersenyum, kemudian menggeleng. Perempuan muda ini ingin suaminya tahu bahwa cinta membuatnya mengerti, Duka Khalid adalah dukanya.
Gdansk layaknya kota-kota tua di dunia tak luput dari sentuhan modernisasi. Meskipun demikian, Gdansk akan selalu memiliki sejarah yang kuat. Menjelajahi jalur kota ini akan membawa imajinasi membayangkan bahwa di setiap sudut, mungkin saja mata akan bertemu seorang yang bersejarah, seperti Lech Walesa yang sekarang sudah pensiun. Betapa sejarah kadang mudah diceritakan, tetapi sulit mengenang riang dalam perjuangan. Waktu yang kemudian membuktikan bahwa hanya orang-orang berhati kuat yang mampu bangun dari kuburan kenangan.
Cinta Zofia dan Khalid terikat erat di sini, Gdansk, kota cinta bertabur sejarah. Ada kenangan, sejarah, harapan, dan juga mimpi di dalamnya. Siapa tahu kelak kota sejarah yang bernama Aleppo bisa bangkit layaknya Gdansk. Itu yang menjadi doa dalam hati Zofia dan Khalid dalam embusan angin gugur kala itu.

Raidah Athirah adalah seorang diaspora yang tinggal di Polandia. Cerpen “Kenangan, Cinta, dan Sejarah Kota Tua” berhasil menjadi pemenang kedua Bilik Sastra VOI Award 2017.

Kado untuk Bu Muniarti

Cernak Wardie Pena (Suara Merdeka, 05 November 2017)
Kado untuk Bu Muniarti ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Kado untuk Bu Muniarti ilustrasi Suara Merdeka
“Pa, boleh Tari bertanya?”
“Boleh sayang. Ada apa?” jawab Papa.
“Kalau orang biasa membaca sambil memicingkan mata itu kenapa ya, Pa?”
Papa tersenyum sambil mengelus rambut Tari. Setiap malam sebelum tidur Tari menceritakan pengalamannya di sekolah kepada Papa. Terutama tentang Bu Muniarti, guru sekaligus wali kelas IV yang sangat diidolakannya. Tapi malam ini agak berbeda dari biasanya. Ia mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.
“Oh ya, memang siapa yang suka membaca seperti itu, Nak?” sahut Papa beberapa saat kemudian.
“Bu guru, Pa. Bu Muniarti. Beliau akhir-akhir ini sering terlihat membaca sambil memicingkan mata, lalu beberapa kali mengucek matanya. Seperti orang kesulitan membaca, Pa.”
“Oh ya. Biasanya sih kalau sudah tua, itu gejala hiperopia atau yang disebut juga rabun dekat. Karena salah satu penyebab penyakit mata itu adalah faktor usia Nak,” jelas Papa yang memang seorang dokter di sebuah rumah sakit.
“Lalu bagaimana cara mengatasinya, Pa?” tanya Tari.
“Di antaranya bisa dikurangi dengan memakai kacamata berlensa cembung atau kacamata plus, Nak. Tapi Papa sarankan beliau untuk memeriksa atau tes penglihatan dulu ke dokter mata,” kata Papa.
“Oh begitu ya, Pa?”
“Ya Nak. Karena itu, sejak dini kita harus menjaga kesehatan mata kita. Setidaknya dengan banyak mengonsumsi vitamin A, seperti buah pepaya, apel, nanas, dan anggur.”
Dari penjelasan Papa tentang penyakit mata, Tari mendapat ide, yakni memberikan Bu Muniarti kado berupa kacamata pada Hari Guru esok. Sebagai bendahara kelas, Tari akan mengusulkan idenya itu kepada ketua kelas, Joni.
***
Akhirnya di suatu kesempatan, mereka berkumpul di rumah Joni untuk merembuk rencana mulia itu. Semua murid kelas IV pun sepakat dengan ide Tari. Namun, mengingat harga kacamata relatif tinggi, Joni mengajak teman-teman untuk menyisihkan uang saku selama beberapa minggu. Dan nantinya diserahkan langsung kepada Tari selaku bendahara.
***
Mentari bersinar cerah, secerah rencana siswa-siswa kelas IV SD Harapan Bangsa. Pagi itu, ruang kelas didekorasi indah oleh semua siswa. Khususnya di kelas Tari. Kelas dihiasi dengan pita-pita yang tersulur sepanjang kelas. Ada pita kelap-kelip, balon orin, dan spanduk yang ditulis dengan tangan sendiri. Lagu hymne “Guru” menggema di ruang kelas.
Selepas upacara peringatan Hari Guru atau puncak acara, teman-teman Tari berkumpul di dalam kelas. Kacamata itu dikemas di dalam kotak kado yang besar dan diletakkan di sebuah nampan. Tari sendiri yang membawa kado itu. Sementara, Joni selaku ketua kelas bertugas untuk menyerahkannya kepada Bu Muniarti.
“Selamat Hari Guru, Bu. Terimalah kado kecil dari kami sebagai ungkapan terima kasih kami,” ucap Joni.
Muka Bu Muniarti memerah dan tersenyum bahagia.
“Ayo, Bu, dibuka dong kadonya?” pekik teman-teman kelas.
Kado itu pun dibuka oleh Bu Muniarti di depan semua siswa. Sontak dia terkejut, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Terima kasih, Nak!” lirihnya beberapa saat kemudian.
“Kami seharusnya yang berterima kasih Bu atas ilmu yang Ibu ajarkan pada kami semua. Oh ya Bu, ini ide dari Tari kok,” ungkap Joni.
Bu Muniarti merengkuh dan memeluk tubuh mungil Tari. Semua siswa mengitari keduanya sambil menyanyikan lagu hymne “Guru”. Beberapa tetes air kemudian membasahi baju bagian pundak Tari. Tapi Tari tak menyadari itu. Ia larut dalam gegap gempita bersama semua kawan. (58)

Ali Arkam dan Istrinya dan Kucing


Cerpen Dadang Ari Murtono (Suara Merdeka, 05 November 2017)
Ali Arkam dan Istrinya dan Kucing ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Ali Arkam dan Istrinya dan Kucing ilustrasi Suara Merdeka
Hujan sudah berlangsung empat belas hari dan tak ada tanda-tanda akan selesai. Gulungan mendung masih merajai langit, memberkahi bumi dengan kegelapan absolut. Sawah dan ara-ara berubah menjadi kolam. Tanaman membusuk. Hewan ternak mati kedinginan. Ikan-ikan mengintip cemas ke permukaan perairan, berharap setitik cahaya dari angkasa. Orang-orang bertanya-tanya, dosa apa yang telah mereka lakukan hingga Tuhan mengirim azab semacam itu. Sebagai jawaban, Tuhan mencipta mendung yang lebih tebal dan menjatuhkan hujan lebih deras lagi.
Ali Arkam mendengkur di balik selimut tebal. Istrinya sebal.
“Tidak adakah yang bisa kaulakukan selain tidur dan mendengkur?” perempuan itu mengibaskan selimut yang melindungi tubuh Ali Arkam.
Di dapur, seekor tikus dekil menjelajahi lemari makanan, lalu melompat ke tempat bumbu, bergerak gesit menuju meja makan, lantas memeriksa gentong beras yang terbuka. Dan setelah yakin segala usahanya sia-sia belaka, ia berjalan lesu di lantai. Seekor kucing kurus mengamatinya. Mencari waktu yang tepat untuk menancapkan cakar-cakarnya pada tubuh bungkring tikus itu. Kesabaran si kucing membuahkan hasil tiga belas detik kemudian.
Ali Arkam berjalan gontai untuk mencari air minum ketika tikus malang itu tinggal ekor. Melampiaskan kekesalan yang diakibatkan oleh gangguan dari istrinya dan cuaca yang tak kunjung membaik, Ali Arkam menyepak si kucing. Begitu keras tendangannya hingga si kucing terpental dan membentur dinding lembap. Kucing itu mengeong sebentar, lalu mengejat-ngejat. Darah kental mengalir dari mulut dan mata kirinya.
“Ada apa?” terdengar suara cempreng dari kamar tidur.
“Kucing terkutuk itu mati,” Ali Arkam menjawab sengau.
“Apa maksudmu?” perempuan itu tergopoh-gopoh menyusul ke dapur.
“Jangan marah. Ambil sisi baiknya. Setidaknya sekarang kita punya sesuatu untuk mengganjal perut kita selain air,” ujar Ali Arkam. Air mukanya pias, namun sesungging senyum tak mampu ia tahan, sebuah reaksi dari perpaduan antara perasaan terkejut menyadari kekejaman yang barusan ia lakukan dan kegembiraan mendapatkan ide cemerlang yang tak pernah ia sangka-sangka.
Dan, itulah yang terjadi. Sisa hari itu menjelma saat-saat terindah dalam kehidupan rumah tangga Ali Arkam selama seminggu terakhir. Istri Ali Arkam mendapat kesibukan lain selain mengomel. Tangan-tangan kokinya mendapat bahan untuk memuaskan hasrat. Dengan keterampilan tingkat tinggi, ia menguliti kucing itu, memotong-motong dagingnya, menyimpan tulang belulangnya, dan menjilati darah yang menetes-netes. Kelaparan yang menyerang perempuan itu berhari-hari telah mengubah dari orang yang anyih-anyih menjadi persona yang hemat dan cermat memperlakukan apa pun yang memiliki pontensi mengenyangkan dan tercerna lambung.
Ali Arkam tak mampu menahan tawa menyaksikan darah belepotan di bibir perempuan yang sudah enam tahun dia nikahi itu.
“Apa yang lucu?” perempuan itu menoleh. Senyumnya mengembang. Kesadaran sebentar lagi mereka akan menyantap daging setelah hari-hari yang sulit menyebabkan kegalakannya menguap. Kegembiraan meluap-luap dari hatinya dan terlihat jelas di air mukanya.
“Kamu, Sayang,” ujar Ali Arkam. “Coba bercerminlah.”
“Ambilkan cermin kecil di kamar. Tangan-tanganku sedang sibuk.”
Mereka tertawa bersama ketika melihat bayangan wajah perempuan itu di cermin.
“Kamu seperti vampir,” Ali Arkam menggoda.
“Dan kamu seperti manusia serigala,” balas istrinya seraya meraupkan tangan kanan yang belepotan darah ke muka Ali Arkam. Dan mereka kembali tertawa, lebih keras dari sebelumnya. Di luar rumah, hujan jatuh makin rapat.
Ketika daging kucing itu sudah terpotong kecil-kecil, Ali Arkam menyalakan kompor gas. “Anjing,” ia memaki begitu menyadari gas elpijinya habis. “Ada uang?” ia bertanya kepada istrinya.
“Sudah tidak ada. Kemarin yang terakhir,” istrinya menjawab lesu.
Sebagai petani sayur, mereka mendapat uang dua hari sekali dari hasil penjualan tomat atau cabai. Sejak sawah tergenang dan tanaman membusuk, mereka tidak lagi mendapatkan penghasilan. Hal itu terasa makin menyakitkan lantaran seharusnya pada hari kedua hujan tak habis-habis ini, mereka memasuki puncak masa produksi cabai dalam musim tanam tahun ini. Mereka telah menghabiskan banyak dana untuk membeli benih dan obat-obatan. Tabungan musim kemarin habis terkuras. Dengan pertimbangan matang, mereka memilih benih terbaik yang jauh lebih mahal dari yang standar. Berharap benih-benih itu tumbuh sebagai tanaman yang baik dan menghasilkan banyak buah-buahan, mereka mengangankan keuntungan berlipat sebagai akibat dari kenaikan harga menjelang tahun baru, seperti yang selalu terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Ali Arkam menjelajahi seantero rumah, mencoba menemukan kayu sebagai bahan bakar untuk menyate daging kucing itu. Setelah setengah jam yang sia-sia, kemarahannya bangkit. “Aku tak mau makan daging mentah,” gumamnya.
“Ambil saja satu kursi. Pilih yang sudah hampir rusak,” istrinya berkata.
Itu ide cemerlang. Kegembiraan kembali menguasai pasangan yang oleh tetangga-tetangganya kerap diolok-olok gabuk lantaran tak kunjung memiliki momongan itu. Olok-olokan itu sering membuat mereka depresi. Beberapa famili menyarankan mereka mengadopsi anak sebagai pancingan. Dengan nada meyakinkan, mereka menyebut nama-nama yang berhasil mendapatkan momongan setelah mengadopsi anak sebagai pancingan.
“Yu Ginah dua puluh tahun mandul. Kau tahu? Kini ia punya si Jupri setelah sebelumnya ngambil si Ali, anak mbakyunya.”
“Pak Supri juga begitu kan? Istrinya nyaris gila saking stres. Lalu mereka ngambil Juminten. Dan lihatlah. Sekarang mereka punya tiga anak. Dan Bu Supri sudah hamil lagi.”
Pada waktu itu, kebetulan kakaknya yang sudah memiliki dua putra tengah hamil dua bulan. Setelah perundingan yang berlangsung mudah, tercapai kesepakatan janin itu kelak diadopsi sebagai anak pancingan oleh Ali Arkam. Selagi menunggu kelahiran si anak, Ali Arkam memungut seekor kucing kampung, sekadar untuk menghibur diri dari sepi, yang kini dagingnya akan mereka santap.
“Kecap ada?”
“Ada. Banyak kayaknya.”
“Bumbu-bumbu gule?”
“Ada juga.”
Mereka memanfaatkan tungku yang sudah berbulan-bulan mereka pensiunkan, tepatnya sejak pemerintah membagi-bagikan kompor gas berikut tabung elpiji tiga kilogram. Asap mengepul menyesaki dapur. Ali Arkam membuka jendela dapur, namun segera menutup setelah air hujan menampias.
Mereka tidur lelap setelah menyantap sate daging kucing dan bercinta habis-habisan. Tiga jam kemudian, ketika hari telah gelap, mereka terbangun bersamaan dan merasakan perut mereka panas.
“Seperti ada yang mencakar-cakar lambungku,” keluh Ali Arkam.
“Aku bahkan seperti mendengar suara ngeong dari dalam perutku,” istrinya menjawab.
“Barangkali organ pencernaan kita kaget. Kita kan sudah lama tidak makan daging?”
“Bisa saja.”
“Atau ini pertanda lambung kita menginginkan daging kucing lagi. Sisa-sisa kucing yang kita gule itu.”
“Yah, mungkin lebih baik bila kita makan lagi.”
Maka mereka menyantap gule tulang-belulang kucing, beserta kepala si kucing. Ali Arkam dengan rakus mencungkil kedua bola mata kucing, dan istrinya memilih menyikat congor beserta lidah si kucing. Mereka membagi bongkahan otak kucing sama besar. Gigi-gigi mereka mengerikiti belulang, dan lidah mereka sigap menyedot sumsum.
Hawa dingin dan perut kenyang mendatangkan kantuk begitu tulang belulang kucing telah licin di piring. Suami-istri itu tidur bergelung di kamar, damai dalam siraman cahaya lampu yang tidak terlalu terang. Meringkuk seperti dua ekor kucing.
Ali Arkam bangun lebih dulu keesokan paginya. Hidungnya terasa gatal dan ia bersin-bersin. Seperti ada bulu-bulu yang menggelitiki lubang hidungnya. Ia terlonjak dari tempat tidur begitu mendapati di sampingnya, tengah tidur bergelung, seekor kucing besar, begitu besar hingga lebih layak disebut kucing raksasa. Kucing yang mengenakan daster seperti yang dipakai istrinya ketika berangkat tidur malam sebelumnya.
Ali Arkam memanggil istrinya dengan panik, mengira istrinya telah bangun lebih dulu dan pergi keluar kamar untuk melakukan sesuatu. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah suara meong yang parau. (44)

Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015). Buku puisinya Ludruk Kedua (2016). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.

Kambing Hitam


Cerpen Indra Kurniawan (Media Indonesia, 05 November 2017)
Kambing Hitam ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Kambing Hitam ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
JUMAT Kliwon malam itu berhias benderang bulan purnama. Sebuah kampung di ujung timur Pulau Rote dibuat geger dengan temuan jasad seorang tokoh sepuh di sana. Wajah sang sepuh lebam-lebam. Leher sebelah kiri mengeluarkan darah segar seperti bekas terkaman hewan buas.
Ibu-ibu tampak histeris. Anak-anak menjerit ketakutan. Sekelompok lelaki dewasa mengurus jasad sang sepuh nahas tersebut. Tidak lama kemudian, seorang lelaki berteriak dari ujung jalan. “Kena. Sudah kena. Si jahanam Yanto pelakunya”, teriak si lelaki berkaus putih dengan bawahan sarung.
Sepetak perkebunan Jagung di ujung jalan kampung itu, Yanto dikelilingi segrombol lelaki yang sudah meledak amarahnya. Yanto tidak menggunakan baju, hanya menggunakan celana panjang berbahan katun. Celana Yanto pun nampak terkoyak-koyak, ibarat sebongkah bangkai sehabis diseret-seret beralas tanah bebatuan. Tubuh Yanto berlumur darah. Dari Mulutnya pun setali tiga uang.
Segrombol lelaki yang murka mengelilingi Yanto dengan cepat bertambah jumlahnya. Mereka berteriak-teriak. “Bunuh. Bunuh. Dasar binatang sakit jiwa.”
Yanto hanya diam. Matanya terbelalak lebar. Mulutnya menghembuskan napas teratur. Seolah-olah dia tidak punya salah. Seolah-olah hanya menjadi kambing hitam. Seorang lelaki berkaus hitam yang sedari tadi berdiri di samping kanan Yanto tetiba menghantam dengan balok kayu. Yanto jatuh pingsan dengan kepala bagian kanan atas tersobek. Berliter-liter darah mengalir deras dari kepala Yanto.
Pagi menjelang, Yanto terbangun dengan kondisi kaki dan tangan terpasung di sebuah kandang. Pemuka adat kampung itu yang karib disapa Mbah Reka menghembuskan asap rokok kretek seraya sesungut. “Tangguh juga binatang ini. Sudah dipukuli habis-habisan. Luka menganga di kepala. Masih hidup saja.”
***
Di atas kapal laut, Pastor Kornel sedang menanti Pulau yang hendak disandari. Pulau itu akan menjadi tempat bertugas Pastor Kornel selama lima tahun ke depan. Sesampainya di Pulau itu, Pastor Kornel bergegas menuju suatu kampung di mana sebuah Paroki sudah menunggu kedatangannya. Dengan cepat Pastor Kornel beradaptasi.
Lima bulan sudah Pastor Kornel berada di kampung itu. Suasana tenang dihiasi semilir angin pantai. Pastor Kornel merupakan didikan sekolah rohani di Pulau Jawa –tampak luwes membumi di kampung itu. Pukul 11 siang, Pastor Kornel melakukan aktifitas rutin, yakni mendatangi rumah-rumah di kampung tersebut untuk keperluan administrasi Paroki. “Bukan salah tempat ibadah kekurangan jemaat. Tapi kita, pengurusnya yang tidak sepenuh hati mengabdi,” kata Pastor Kornel pada suatu Sekolah Minggu di kampung itu.
Sampai di depan rumah dengan nomor 13, Pastor Kornel berbincang-bincang dengan pemilik rumah. Sesudah beramah-tamah di ruang tamu, Pastor Kornel punya firasat lain dari halaman belakang rumah tersebut. “Boleh saya lihat pekarangan belakang rumah?”
Meski sempat ragu-ragu, si pemilik rumah akhirnya setuju. Pastor Kornel langsung mengarahkan pandangan ke sebuah kandang. Pastor Kornel pun semakin curiga, kandang yang serba tertutup tanpa bahana suara hewan ternak. Alangkah kagetnya Pastor Kornel setelah membuka kandang tersebut. Yanto tanpa busana sehelai benang pun, meringkuk dengan tangan serta kaki terpasung. Rambut Yanto sudah panjang tak karuan. Sekujur tubuhnya berubah warna hitam legam dan mengeluarkan aroma busuk.
Amarah Pastor Kornel meledak. Dia terbingung-bingung dengan apa yang dia saksikan saat ini. Kemarahan Pastor Kornel sudah tak tertahan. Dia meminta pemilik rumah untuk melepas pasung yang membelit Yanto. Si pemilik rumah menolak dengan amarah yang juga meledak-ledak.
Tidak sampai setengah jam setelahnya, Pastor Kornel sudah bertamu di rumah pemuka Adat, mbah Reka. Pastor Kornel bersikukuh untuk melepaskan Yanto dari jerat pasung dan atap kandang. Mbah Reka dengan enteng menjawab.
“Tidak bisa. Anak pendatang itu sudah bikin kacau kampung ini. Dia gila. Sakit jiwa. Kita mau dia mati. Mati perlahan-lahan lebih bagus”. Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut mbah Reka membuat Pastor Kornel marah sejadi-jadinya. “Saya akan pulang ke Jawa, mencari bala bantuan. Yanto akan saya lepaskan dari pasung-pasung itu. Manusia macam apa kalian ini.”
***
Dua bulan setelah kepulangannya ke Pulau Jawa, Pastor Kornel kembali ke dermaga pulau Rote. Bersama lima orang berjubah putih-putih dan empat personel polisi, Pastor Kornel memimpin misi membebaskan Yanto.
Melihat seragam coklat kepolisian diapit lima pastor, si pemilik rumah tidak bisa bilang tidak. Yanto dilepaskan dari pasung. Dikeluarkan dari kandang kambing dengan kondisi tubuh kurus kering tinggal tulang. Pastor Kornel yang membantu pembebasan Yanto sudah tidak peduli dengan aroma busuk yang dihasilkan tubuh Yanto. Saat peristiwa pembebasan Yanto, mbah Reka tidak nampak batang hidungnya.
Sebelum diboyong ke Pulau Jawa, Yanto diurus sebaik mungkin oleh tim Pastor di sebuah bilik penginapan. Satu kali lagi, Yanto dimanusiakan selayaknya manusia. Di sesi potong rambut, berhambur keluar ulat belatung dari luka kepala Yanto yang membusuk. Pastor Kornel menangis saat membubuhkan obat ke belahan luka yang nyaris menampakkan isi kepala.
***
Di Kota Banyumas, Yanto membuka usaha warung internet. Sejak pertama kali menapaki kota tersebut, Yanto tidak bisa berbicara. Yanto hanya bisa menuliskan masa-masa kelam di kampung nan jauh di sana lewat medium kertas dan pena. Sebelum kembali ke Pulau Rote, Pastor Kornel menyambangi warnet milik Yanto.
Saat saling melepas kepergian, Yanto menyodorkan setumpuk kertas berukuran A6. Di halaman paling depan tertulis sebuah kalimat dengan tinta tebal. “Bacalah, wahai Saudaraku, sesampainya di Pulau tujuanmu.” Pastor Kornel dan Yanto saling memeluk erat. Pastor Kornel memberi kabar kepada Yanto bahwa masa tugasnya di Pulau Rote dinaikkan menjadi 10 tahun. Pastor Kornel berkali-kali minta maaf bila dalam waktu yang sangat lama tidak akan bisa mengunjungi Yanto.
***
Di atas Kapal Laut menuju Pulau Rote, Pastor Kornel tak tahan hendak membaca tumpukan kertas yang diberikan oleh Yanto. Perjalanan kapal laut yang dapat memakan waktu berhari-hari sebelum sampai tempat tujuan, membuat Pastor Kornel mengingkari janji. Tumpukan kertas dibaca satu per satu. Isinya sungguh di luar nalar kemanusiaan.
***
“Saya sedang dalam perjalanan pulang dari rumah kawan setelah berunding akan menjadi nelayan. Di persimpangan jalan, saya melihat mbah Reka bersama komplotannya sedang memperkosa gadis perempuan yang masih menggunakan seragam SMP.
“Saya berteriak, dengan harapan komplotan itu akan menjauhi gadis yang sudah tidak berdaya tersebut. Dari belakang, saya rasa hantaman kayu balok mendarat ke tengkuk. Tidak lama setelah saya jatuh, komplotan itu memukuli saya tanpa jeda. Mbah Reka datang menghampiri, tangan kanannya sudah berada di leher saya. Cekikannya luar biasa kuat. Saya rasakan tenggorokan ini remuk. Menelan tulang jakun sendiri sungguh tidak menyenangkan. Setelah itu saya diseret ke kebun jagung, tidak jauh dari situ”.
“Saya masih sadar, saya pula mendengar rencana mereka selanjutnya; Membunuh gadis malang tadi dan membuang jasadnya ke laut. Rencana kedua mereka adalah membunuh Mbah Toyo, pesaing Mbah Reka dalam ilmu penyembuhan di kampung. Mbah Toyo juga merupakan kerabat terakhir yang dimiliki gadis malang tersebut. Mungkin sekira satu jam saya ditinggal di kebun Jagung itu. Komplotan itu kembali lagi, mereka langsung mengelilingi saya. Yang saya ingat, saya dihantam lagi dengan kayu balok.”
“Saat terbangun, saya berada di dalam sebuah kandang. Saya kira ini adalah kandang kambing. Dan itu betul kiranya. Saya tidak bisa bergerak bebas. Tangan dan kedua kaki saya terpasung kayu balok. Pemilik kandang ini rupanya masih memiliki rasa iba. Setiap pagi, dia memberikan saya setumpuk daun basah untuk dimakan.”
“Tanpa alas atau bantal satu barang pun. Saya mesti tidur di atas genangan air kencing dan kotoran saya sendiri. Rasa-rasanya nyaris seperti seekor kambing. Tapi, seekor kambing masih punya sedikit rasa bebas, setidaknya untuk merasakan hangatnya sinar matahari.”
“Sesekali ada yang berkunjung. Mereka memanggil saya dengan sebutan kambing hitam. Mereka tidak sepenuhnya salah, warna kulitku memang berubah menjadi gelap selama terkurung di sini. Lagi pula saya juga sudah tak bisa menjawab ledekan mereka. Suara yang keluar dari mulut ini terdengar seperti orang yang sedang tersedak batu sebesar genggaman tangan dewasa.”
“Hari demi hari, saya hanya berbaring dan duduk bila terpaksa memakan dedaunan. Akal sehat saya juga mulai pudar. Saya sempat terpikir untuk menerima fakta dari orang-orang sekitar bahwa saya merupakan seekor kambing. Seekor kambing yang dikutuk menjadi objek humor mereka.”
“Wahai Saudaraku. Tanpa kedatanganmu, saya ini hanya akan terus hidup setingkat hewan ternak. Kata-kata terimakasih saya kira tidak akan cukup. Saya hanya bisa berharap pada Tuhan, wahai Saudaraku, diberkahilah umur panjang agar bisa membantu orang-orang bernasib serupa saya.”
***
Setelah membaca setumpuk kertas tersebut, sekonyong-konyong Pastor Kornel menangis. Pastor Kornel menyesal tidak bisa hadir lebih cepat. Tumpukan kertas itu  kini telah menjadi bagian dari lautan. Setumpuk kertas, berkisah tentang manusia yang disejajarkan dengan hewan ternak.

Indra Kurniawan. Lahir di Sorong, Papua Barat. Mahasiswa Program Studi Komunikasi di Kota Bandung. Novel perdananya segera terbit dengan tajuk Keturunan Terlarang.