Daftar Blog Saya

Selasa, 20 Februari 2018

Perempuan XXX

Cerpen Abul Muamar (Republika, 18 Februari 2018)
Perempuan XXX ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Perempuan XXX ilustrasi Rendra Purnama/Republika
MULANYA, aku sungguh tak menyangka bahwa perempuan XXX itu betul-betul ada. Siapa saja juga tak percaya ketika kucoba menceritakan tentang keberadaannya. Aku sulit menjelaskan secara spesifik dan gamblang, tapi dia, nyatanya, betul-betul ada. Dia muncul di hadapanku, masuk ke dalam hidupku, dan berbuat sekehendak hatinya.
“Ah, kau ada-ada saja. Mana mungkin ada perempuan XXX!” seorang kawan menanggapi dengan malas.
“Perempuan itu XX, bukan XXX. Kau macam tak pernah belajar Biologi saja!” ucap yang lain.
“Makanya kau jangan terlalu banyak berkhayal!” cecar yang lain lagi.
Aku nyaris putus asa ketika tak ada seorang pun mau menanggapi penjelasanku, sebelum akhirnya kutemui Pak Arianto, guru Biologiku dulu semasa SMA.
Kecuali jumlah keriput di sudut matanya yang bertambah banyak, Pak Arianto belum banyak berubah saat kuperhatikan dia ketika menyambut kedatanganku. Rambutnya hitam mengkilap, meski barangkali baru disemir. Ia sempat kesulitan mengingatku, bahkan walaupun cukup lama memindai wajahku.
“Siapa ya?” ia bertanya dengan mata setengah memicing, mencoba mengingat-ngingat.
“Saya Sukir, Pak. Murid Bapak dulu.”
Lama ia berpikir, menaksir, sebelum ingatannya bergulir.
“O ya, Sukir!” ucapnya akhirnya, sambil merangkul dan menggoncang-goncang bahuku, “wah, wah, sudah lama tidak jumpa. Ayo masuk!”
Dulu, semasa SMA, rumahku dan rumah Pak Arianto tidaklah berjauhan. Hanya berjarak kurang lebih satu kilometer. Tapi sejak tiga tahun terakhir, tak lama sejak aku menamatkan sekolah, Pak Arianto pindah ke kabupaten sebelah. Di sana ia diangkat menjadi kepala sekolah di sebuah SMA negeri yang baru dibuka.
Rumah Pak Arianto yang sekarang cukup besar. Halamannya lebar. Kursi bambu yang ada di belakang rumahnya yang menghadap langsung ke pematang sawah, kami pilih untuk duduk dan mengobrol.
“Apa kabarmu?” tanyanya. “Kenapa datang tiba-tiba begini? Bapak jadi tak sempat menyiapkan apa-apa.”
Kumentahkan rasa tak enaknya dengan penjelasan mengenai tujuanku mendatanginya. Raut wajahnya berubah serius sesaat, lalu sekonyong-konyong ketawanya pecah, seusai kujelaskan apa maksud lawatanku.
“Jadi, kau datang meminta pertanggungjawaban atau berkonsultasi?” katanya setengah meledek. Rasa gelinya tak dapat dibendungnya.
“Atau mau saya mengulang pelajaran itu?” katanya lagi, masih menahan tawa.
“Tapi saya senang. Ternyata kau mendengarkan pelajaran yang saya sampaikan dengan serius.” Tawanya perlahan mereda.
Pak Arianto adalah guru yang baik meskipun aku sebenarnya tak terlalu menyukai Biologi. Aku lebih suka Fisika atau Kimia. Akan tetapi, pelajaran tentang genetika yang disampaikan Pak Arianto waktu itu masih membekas dalam ingatanku sampai sekarang. Bahwa manusia normal terlahir dengan 46 kromosom, yang terdiri atas 22 pasang autosom dan sepasang kromosom penentu kelamin.
Kromosom Y memiliki gen untuk sifat laki-laki. Berapapun jumlah kromosom X yang dimiliki seseorang, asal dia masih memiliki kromosom Y sebuah saja, maka orang itu tetaplah lelaki. Sebaliknya, jika orang itu tak punya kromosom Y, berapapun banyak kromosom X yang dia miliki, maka dia tetaplah perempuan. Sedangkan autosom sama sekali tidak mempengaruhi kelamin. Makanya dalam sistem penentuan kelamin, laki-laki terlahir membawakan kromosom XY, sedangkan perempuan membawa kromosom XX.
“Tapi ada juga perempuan XXX. Mereka berpenampilan cewek, tapi watak dan hati mereka tidak benar-benar seperti cewek. Hati dan darah mereka dingin. Yang cowok, berhati-hatilah!” begitulah Pak Arianto menerangkan kala itu sambil berguyon. Seisi ruangan tergelak.
***
“Kau nampaknya sangat penasaran dengan perempuan XXX yang saya bilang waktu itu,” Pak Arianto memulai jawaban yang kutunggu-tunggu.
“Perempuan XXX itu memang ada,” katanya, memulai penjelasan. Aku menyimak serius.
“Sekarang yang ingin kau tanyakan, perempuan XXX yang bagaimana?” tanyanya.
Pak Arianto sepertinya sudah membaca pikiranku, bahwa aku tidak akan bertanya soal perempuan XXX seperti yang ada dalam daftar kasus kelainan genetika–bahwa dalam kasus kelainan genetika, memang ada perempuan yang terlahir dengan kromosom XXX, yang disebut dengan istilah Sindrom Triple X atau Sindrom Superfemale; di mana si perempuan XXX bukan memiliki 46 kromosom, melainkan 47. Jelas bukan perempuan XXX yang demikan yang kumaksud, batinku.
Untuk meyakinkan diri bahwa perempuan XXX yang kutemui bukanlah perempuan XXX yang diakibatkan oleh Sindrom Superfemale, kucoba ingat-ingat kembali watak perempuan itu. Tinggi badannya normal, tidak unggul-unggul amat dibanding perempuan lain. Organ kelaminnya juga normal.
Kemudian, otaknya juga cerdas. Bahasa dan komunikasinya juga baik dan lancar. Orientasi seksualnya juga normal. Dia sudah pernah pacaran beberapa kali. Sama sekali tidak seperti perempuan XXX yang dideskripsikan dalam Sindrom Triple X itu, batinku meyakinkan.
“Bagaimana pula kau bisa menyimpulkan bahwa dia perempuan XXX?” tanya Pak Arianto.
Ah, aku hampir lupa memberitahunya. Aku bertemu dengan perempuan itu tepat sebulan sebelumnya, di halaman gedung rektorat universitas negeri tapi komersil atau yang sering disingkat dengan UNTK.
“Kamu yang bernama Sukir?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku Elsa,” dia memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku.
“Kok kamu tahu namaku?”
“Tahu dong,” katanya. “Semua orang kenal sama kamu.”
Aku tertawa. Percaya diriku melambung.
“Oke. Ada keperluan apa kamu menemui aku?”
“Tak ada. Aku cuma mau menemui rektor. Kamu kenal, kan, sama rektor? Bisa temenin aku, nggak?”
Aku terdiam agak lama, saat memandangi sepasang matanya yang indah dan tajam. Aku tak sempat berpikir bahwa statusku sebagai pemimpin pemerintahan mahasiswa membuatku bisa bertemu rektor dengan mudah.
“Bisa, nggak?” ulangnya, membuyarkan lamunanku.
“Bisa. Kapan?” kataku, tanpa sempat menanyakan apa keperluannya.
“Besok ya,” balasnya.
“Oke. Besok.”
***
Hari kedua. Kami bertemu di halaman depan gedung rektorat. Dia duduk di bawah pohon ketapang menungguku. Semilir angin berembus menyibakkan rambut coklat kepirangannya yang pendek tapi halus. Pertemuan dengan rektor yang kami janjikan berlangsung singkat. Rupanya tiada sesuatu yang teramat penting yang ingin dia sampaikan. Dia hanya mencoba menegosiasikan untuk mendapatkan ijazah tanpa mengikuti wisuda.
“Wisuda itu nggak penting,” katanya.
“Aku juga nggak akan ikut wisuda.’
“Tapi, aneh, orang-orang justru lebih semangat mengikuti wisuda. Wisuda bagi mereka adalah hari yang paling ditunggutunggu. Padahal sehari-harinya mereka jarang datang, jarang masuk kelas. Cuma datang, duduk, diam, pulang.”
Aku tertawa. Dia pun tertawa. Kami bertatap-tatapan. Daun ketapang yang tadi kupungut tak terasa telah remuk di genggamanku. Tulang tengahnya tanpa sadar kulingkarkan menjadi cincin-cincinan di jariku.
Aku tahu dia kecewa. Rektor menolak permintaannya itu. Betapapun keras ia menyembunyikan, kekecewaan itu tetap tampak dari wajahnya. Tapi aku tak hendak mengungkit. Kubiarkan keberduaan kami mengalihkan rasa kecewanya.
Lalu, tak ada lagi percakapan setelah itu. Diam mengambil alih pembicaraan kami. Hanya ada tatap yang dibalas tatap dan senyum yang dibalas senyum. Seakan pembahasan serius mengenai apapun, termasuk soal wisuda atau gelar atau ijazah atau cita-cita mengenai pekerjaan setelah tamat, hanyalah basi-basi yang tak penting.
“Kamu mau langsung pulang?” tanyanya.
“Belum,” kujawab, “aku masih mau di sini.”
“Lihat rusa, yuk,” ajaknya.
Kami berjalan menuju halaman fakultas pertanian. Di sana terdapat hamparan rumput yang cukup luas. Di sana rusa-rusa dan hewan pengerat lainnya dipelihara.
“Mau ngasih makan? Ini,” kuserahkan padanya batang-batang kangkung yang tumbuh liar di sekeliling penangkaran hewan-hewan tersebut.
Dia tampak sangat manis sewaktu memberi makan rusa-rusa itu. Kulitnya yang sewarna susu semakin indah ditampiasi sinar mentari sore. Memandanginya, dadaku membuncah. Sedang dia diam saja, memberi makan rusa dengan asyiknya. Seakan tak menyadari bahwa aku dari tadi terus memelototinya.
***
Hari berikutnya yang diringkas dengan yang hari-hari berikutnya. Setiap detik dan menit dan jam dalam setiap hari adalah interaksi antara aku dan dia yang instens dan nyaris tanpa jeda. Kami sering berduaan di kampus hingga malam dan orang-orang sudah pulang.
“Tapi itu tidak berarti apa-apa,” katanya, pada hari kesekian setelah sekian hari pula ia enyah dan tak berkabar.
“Kesalahan terbesarmu adalah menganggap apa yang kita lewati sebagai sesuatu yang tak semestinya,” katanya lagi pada hari berikutnya, menambahkan jawaban-jawaban sebelumnya.
Awalnya, kuanggap dia hanya menguji coba. Rupanya aku salah. Bukan hanya tak pernah mengenal yang namanya berkasih-kasih, tapi dia juga sama sekali tak menganggap setiap yang kami lalui itu berarti.
Pak Arianto menyimak tanpa ekspresi. Sesekali mengangguk. Ketika kulihat wajahnya, dia memintaku meneruskan.
Dua minggu lalu sebelum aku kemari, mendatangi Pak Arianto, kulihat perempuan itu dari jauh, bertengkar dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu sudah tua, dan jelas bukan mahasiswa. Pria itu, jika saja tak kuenyahkan pikiran burukku, sungguh mirip dengan rektor. Aku menduga, dia masih bernegosiasi dengan rektor tanpa sepengetahuanku. Tapi ah, mana mungkin, batinku. Laki-laki berwajah rektor itu seperti menuntut sesuatu darinya. Lamat-lamat kudengar laki-laki itu marah-marah padanya.
“Semua itu ada alasannya,” dalihnya, ketika menerangkan kepadaku tentang pertengkarannya dengan laki-laki berumur itu. Jawaban yang terlontar sama seperti yang sudah entah sekian kali setiap kali kutanyakan kepadanya. Ketika kutanya tentang siapa pria tua itu, ia sempat tergagap sebelum melarikan diri dari hadapanku.
Aku bukan tak mau menerima. Aku sudah ikhlas dan akan tetap ikhlas. Sampai meskipun kutemukan dirinya dengan beberapa pria lain lagi hanya dalam hitungan hari.
“Perempuan XXX itu memang ada,” Pak Arianto menyahut pelan, setelah tuntas mendengarkan ceritaku. “Mereka terbentuk bukan oleh kelainan kromosom,” katanya.
Pak Arianto berkata dengan serius, mafhum bahwa aku membutuhkan jawaban yang demikian.
“X milik mereka yang satu lagi itu muncul oleh pengalaman, oleh keadaan.”
Tapi benarkah ada yang seperti itu? Aku membatin.
“Kamu tidak percaya?” lagi-lagi Pak Arianto bisa membaca pikiranku. “Memang sulit untuk memercayainya. Tapi itulah mereka. Kau hanya gagal memahaminya.”
***
Seminggu kemudian, suasana sudah tenang. Aku mulai terbiasa tak mendengar kabar dari perempuan itu. Hingga pada satu pagi, kehebohan tersiar di kampus. Aku tak begitu saja memercayai kabar yang kudengar di sepanjang jalan menuju kampus. Tapi aku akhirnya tak dapat menampik lagi, keti ka pada halaman pertama koran pagi, kubaca judul kepala berita berbunyi, “Rektor UNTK Ditangkap Bersama Mahasiswinya di Hotel Tali Air”, dengan subjudul, “Minta Syarat untuk Ijazah Tanpa Wisuda”.

Penulis kerap membuat cerpen dan karya sastra lainnya yang dimuat di berbagai media massa.

Catatan:
Cerpen dengan judul dan nama penulis yang sama pernah diterbitkan di “Analisa” tanggal 15 Oktober 2017. Di link berikut ini.

Ibuku Perempuan Mong Kap San


Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 18 Februari 2018)
Ibuku Perempuan Mong Kap San ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Ibuku Perempuan Mong Kap San ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
IBUKU, kau tahu, tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia juga tidak menguasai bahasa Melayu lokal, kecuali hanya segelintir kosa kata umum. Itu pun—sebagian di antaranya—dengan ejaan dan artikulasi yang jauh dari sempurna. Maklumlah, selain bunyi huruf ‘R’ yang menjadi momok bagi banyak orang Tionghoa di Indonesia, lidahnya juga tampak begitu sulit mengeja kata-kata yang berakhiran ‘S’. Contohnya kata “pedas” yang selalu saja dilafalnya jadi “pedat”.
Tunggu, jangan salah menduga. Seperti yang telah aku ceritakan dalam kisah-kisah sebelumnya, ibuku sama sekali bukanlah China totok. Bahkan sebagai China peranakan yang lahir dan besar di Bangka sekalipun, silsilahnya sudah tak lagi terlacak. Sehingga, tidak seperti pohon keluarga ayahku yang masih rimbun sampai beberapa generasi ke atas, kami tak pernah tahu dirinya sudah terhitung generasi ke berapa dari leluhurnya yang bermigrasi ke Nanyang.
Kukira hal ini karena keluarga besar Mama bukanlah berasal dari kalangan yang cukup berpendidikan seperti halnya keluarga Papa yang datang sebagai pedagang. Kemungkinan besar—sebagaimana halnya kebanyakan nenek moyang orang Tionghoa di Bangka-Belitung—leluhur Mama adalah satu dari ribuan petani yang memutuskan meninggalkan China Daratan untuk mengadu nasib ke seberang lautan pada masa-masa sulit selepas Perang Candu dan Pemberontakan Taiping.
Barangkali kakek dari kakek ibuku ini datang ke Pulau Bangka sebagai kuli penambangan timah pada awal abad ke-19 atau akhir abad ke-18. Ia mungkin didatangkan dari pasar-pasar kuli di Singapura atau Penang, yang pada masa itu memang tercatat sebagai pusat perdagangan tenaga kerja yang tak hanya mengirim para calon buruh ke daerah-daerah koloni Barat di Asia Tenggara, tetapi juga ke Macao dan California. Atau, bisa jadi pula ia direkrut langsung oleh para agen kuli di desanya.
Toh demikian, aku ingat Mama pernah bercerita kalau salah seorang kakek buyutnya (entahlah kakek buyut yang ke berapa) memiliki pedati kerbau…
***
YA, ibuku memang berasal dari keluarga China peranakan telah lama beranak-pinak di pulau kecil kami. Karena itu, kendati masih memegang ketat berbagai tradisi Tionghoa, keluarga Mama juga memiliki kebiasaankebiasaan yang jauh berbeda dengan para pendatang baru seperti keluarga Papa. Mulai dari bahasa Hakka dan logat yang mereka pergunakan sehari-hari, pakaian keseharian, sampai pada masakan dan kue-kue.
“Makanan Mong Kap San,” begitulah kata Akong setiapkali ibuku memasak masakan masakan khas China peranakan atau masakan Melayu Bangka. Ia biasanya akan mencoba menikmati masakan-masakan yang pada mulanya begitu asing bagi lidah totoknya namun perlahan akhirnya ia akrabi juga itu tanpa banyak bicara. Lain halnya kalau yang dimasak oleh Mama tersebut masakan Hakka Jiaying Zhou, Akong bakal serta merta melontarkan pendapatnya: Tak pelit memuji jika enak, dan tak segan pula mengkritik jika rasa masakan itu kurang pas di lidahnya!
Tentu saja aku menyukai semua masakan peranakannya Mama, juga masakan-masakan Melayu. Lidahku kukira adalah lidah terasi (belacan, kata orang Bangka). Karena itu, seperti Mama, aku juga penggemar berat lalapan daun singkong dan kangkung rebus dengan sambal rusip dan calok. Namun begitu, masakan Mama yang menjadi kesukaan di masa kecil tetap saja sup daging babi yang dimasak dengan fung khiuk, yakni sejenis bumbu sup berwarna merah yang hanya bisa diperoleh di toko obat China. Sup ini konon merupakan resep khas keluarga Jiaying Zhou.
Mau tahu apa penganan buatan ibuku yang selalu membuatku ngiler? Tak lain adalah Nyong Theu Fu! Sayang sekali, tahu isi ala Hakka terkenal ini hanya dibuat setahun sekali, yakni pada setiap perayaan Cap Go Me.
Mama juga pandai membuat kue. Bermacam-macam kue. Dari kue-kue kering seperti kue semprit, kue rintak (ia menye butkan kek edung) nastar nanas, kue sagu, kue cokelat (alias bupan atau kue hitam!), kue semprong, kastangel, lidah kucing, sampai bolu gulung dan rajanya kue yaitu maksuba!
Empat belas hari menjelang Tahun Baru China, Mama biasanya sudah mulai membuat kue-kue Ko Ngian itu. Dan pada usia SD, aku paling suka “menganggu”-nya dengan alasan ingin membantu. Kerapkali Mama membiarkan saja aku ikut mencetak adonan kue yang sudah diratakannya di atas dampar kayu dengan cetakan-cetakan kaleng yang bermacam-macam bentuk (ikan, hati, burung, ayam jago, lingkaran berlubang, segi empat, mobil) atau mengolesi kue-kue yang telah tercetak di atas loyang dengan kuning telur menggunakan sehelai bulu ayam sebelum dipanggangnya dalam belanga tanah liat besar.
Tentu saja sambil membantu, tanganku juga seringkali memasukkan kue-kue itu ke dalam mulut. Terkadang Mama sampai mendelik jika memergokiku melahap kue-kue panas yang baru saja diangkat karena kuatir aku bisa sakit tenggorokan. Kalau sudah demikian, ia pun akan serta merta mengusirku keluar dari dapur atau berteriak memanggil Papa atau Akong agar segera “mengamankan” diriku. Bahkan ia sama sekali tidak mengizinkanku masuk ke dapur saat ia membuat kue maksuba. Maklum, jenis kue lapis dengan 20 butir telur ini membutuhkan konsentrasi cukup tinggi dan waktu yang panjang sampai delapan jam. Adonannya harus benar-benar terkocok rata, dan api belanga juga mesti benar-benar terjaga: tak boleh terlalu besar, tak boleh pula terlampau kecil.
Ya, itu semua adalah kue-kue kampung khas Melayu yang lazim tertata rapi dalam toples di atas meja ruang tamu setiap keluarga Tionghoa di kampung kami setiap kali Tahun Baru China. Yang niscaya juga bakal kau temukan di rumah-rumah Melayu ketika Lebaran.
Lantas, bagaimana dengan kue-kue China?
Seingatku, kue-kue khas China yang bisa dibuat oleh ibuku hanyalah Fat Pan alias kue apem dan kue Siak Jan yang kami santap dengan air jahe pada setiap perayaan Ko Tung alias Hari Raya Dong Zhi. Sementara kue keranjang untuk menambal langit pada setiap perayaan Tian Chuan Ngit biasanya jika tidak dibeli Akong di pasar, akan dipesan Mama dari seorang tukang kue kenalannya.
***
“BAGAIMANA cara ibumu berkomunikasi dengan orang-orang yang bukan orang Hakka kalau ia tidak bisa berbahasa Indonesia?” tanya seorang temanku di Taiwan yang merasa heran tatkala mendengar ceritaku. Ah, aku sudah lupa seperti apa persisnya jawabanku pada saat itu. Kurasa kalian yang tidak mengenal kampungku secara dekat pun mungkin akan menanyakan hal yang serupa, bukan?
Ya, dengan kosa-kata Melayunya yang amat terbatas itulah, selama bertahun-tahun Mama saling bertegur sapa dan mengobrol dengan para tetangga kami, kenalan, dan teman-teman Melayunya, atau kawan-kawan fan ngin-ku yang datang ke rumah.
“Seperti bebek dan ayam saja!” komentar ayahku nyengir. Tetapi, kau tahu, Mama akan terus menyerocos tanpa peduli apakah yang ia bicarakan dipahami orang atau tidak. Begitu santai, hangat dan akrab seolah-olah tanpa beban. Dan lawan bicaranya pun tampaknya juga tidak terlalu ambil pusing apakah ibuku mengerti kata-katanya. Toh, menurutku, umumnya mereka bisa saling memahami secara garis besar apa yang mereka percakapkan. Bahkan saat aku masih SD, Mama sempat berkawan karib dengan bibi seorang teman sekelasku yang nyaris tidak mengerti bahasa China. Keduanya selalu saling mengunjungi, apalagi pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Tahun Baru China.
Namun, untunglah di kota kecilku Belinyu, kau tahu, ada banyak orang Melayu yang bisa berbahasa Hakka, bahkan dengan logat yang lumayan bagus. Tentu bukan bahasa “Hakka murni” sebagaimana lazim dipergunakan oleh mereka yang memang berasal dari keluarga Hakka asli seperti keluarga besar ayahku, tetapi bahasa Hakka peranakan yang sudah umum dipakai dalam keseharian oleh sebagian besar orang Tionghoa di Bangka.
Ada sejumlah kenalan dan kawan akrabku orang Melayu yang boleh dikatakan cukup fasih bicara “baso Cin” ini. Bahkan ada satu keluarga Melayu tetanggaku yang hampir semua anggota keluarganya bisa bercakap-cakap menggunakan bahasa Hakka peranakan dengan lancar. Maklumlah, mereka memang sudah lama tinggal di Jalan Sriwijaya yang merupakan lingkungan Tionghoa, diapit oleh ruko-ruko; dan sejak kecil mereka berteman akrab dengan anak-anak Tionghoa. Dua anak perempuan keluarga pensiunan polisi itu, Yuk Jamilud dan adiknya Yuk Lili misalnya, saban sore kerap duduk-duduk di teras ruko kami dan mengo brol panjang-lebar bersama Mama memakai bahasa Hakka peranakan. Dan, kakak mereka, Kak Sir, yang sehari-hari berjualan mie lontong, sampai sekarang—lantaran ibuku tidak tahu cara menelepon—selalu membantu Mama menghubungiku setiap kali ada kabar yang ingin disampaikan beliau.
“Pun ti fa” atau bahasa setempat, demikianlah ayahku menyebut bahasa Hakka keluarga ibuku yang telah bercampur-aduk dengan bahasa Melayu dan memiliki sejumlah kosa-kata lokalnya sendiri ini. Bahkan banyak orang Hakka asli, terutama orang-orang tua yang merupakan pendatang dari China Daratan, enggan meng akui bahasa Hakka lokal yang dipergunakan di kampung halamanku ini sebagai bahasa Hakka. Paling banter, jika bukan pun ti fa, mereka akan menyebutnya sebagai tong boi (bahasa orang Tang), atau bahkan Blijong boi (bahasa Belinyu).
Ya, banyaknya orang Melayu yang bisa berbahasa Hakka peranakan di kampungku ini pun sempat membuat kawanku Wu Ting Kuan, seorang peneliti muda dari Taiwan, terkagum-kagum tatkala berkunjung ke sana pada tahun 2016 silam.
Ah, kukira sebetulnya bukan hal yang terlalu aneh jika ibuku tidaklah bisa berbahasa Indonesia atau Melayu. Ia memang tak pernah belajar bahasa Indonesia sama sekali, dan sejak kecil sampai akhirnya menikah dengan ayahku, ia pun lebih banyak berdiam di rumah kedua orang tuanya di perkampungan Tionghoa. Mama memang pernah bersekolah, tetapi di sekolah China (yang agaknya merupakan cabang dari Tiong Hoa Hwee Koan Belinyu). Itu juga hanya sampai kelas dua entah kelas tiga sekolah dasar.
“Aku sudah lupa,” demikianlah jawabannya setiap kali aku bertanya tentang apa yang ia pelajari dulu di sekolahnya itu.
“Nenekmu tidak mengizinkan aku dan kakak perempuanku meneruskan sekolah. Ia meminta kami mengurus rumah karena ia harus berjualan kain keliling setelah kakekmu berhenti bekerja karena sakit-sakitan,” lanjutnya sambil tertawa.
Kecuali angka-angka, Mama nyaris tidak bisa mengingat satu pun huruf hanyu kecuali namanya sendiri. Sementara alfabet yang bisa ia kenali hanyalah dari A sampai F, kendati pada usia yang lebih muda ia bisa menulis namanya dalam huruf latin berkat hafalan belaka.
Setahuku, hal yang paling diingat Mama dari masa-masa sekolahnya yang singkat itu adalah potret besar Sun Yat-sen dan Chiang Kai-sek yang tergantung di dinding kelas dan satu-dua lagu anak-anak yang diajarkan oleh guru-gurunya. Dan itu telah di ceritakannya berulang-ulang kepadaku.
Toh, ibuku bukanlah satu-satunya orang Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Indonesia di Bangka. Percayalah, apabila suatu hari kalian sempat bertandang ke kampung halamanku, niscaya akan kalian temukan banyak orang Tionghoa sebaya dengan beliau, apalagi yang lebih tua, di kampung-kampung Tionghoa yang tidak mengerti bahasa Indonesia.
Sin Palet. Begitulah Mama menyebut nama kampungnya yang sebetulnya hanya berjarak sekitar 5 km dari kota kecamatan Belinyu namun terasa begitu jauh di masa kanak-kanakku itu.
Setiap kali liburan sekolah dan pada hari ketiga Tahun Baru Imlek, kau tahu, kami wajib mengunjungi kakek-nenekku di sana. Tentu saja aku senang sekali bisa bertemu dengan sepupu-sepupuku, terutama bakal mendapatkan banyak angpao dari Ngoi Akong (kakek luar) dan paman-pamanku. Hanya saja aku tidak suka naik angkutan desa berupa pick-up yang bak belakangnya diberi atap itu; yang berbau solar dan amis oleh ikanikan belanjaan para penumpang sehingga kerap kali membuatku mabuk mobil.
***
AKONG—kendati bisa mengeraskan lidahnya untuk bertutur Hakka peranakan—kadangkala harus mengoreksi kosa-kata Mama yang membingungkannya. Hal ini lantaran Mama sering keliru mengeja sejumlah kata dan istilah. Contohnya, “cho-kin” (sambil) kerap dilafalnya sebagai “kon-kin” (mengawasi) dan koi (membuka) sering kali diejanya jadi hoi sehingga membuat kata itu kehilangan makna.
Ah, jika kupikir-pikir lagi sekarang, tampaknya keluarga Mama bukanlah keturunan Hakka. Mungkin leluhur mereka adalah orang Hokkien. Meskipun tidaklah sebanyak orang Hakka, catatan sejarah yang berhasil aku temukan toh menyatakan terdapat cukup banyak orang Hokkien, menyusul Tio Ciu dan Kanton, yang bertandang ke Pulau Bangka sebagai kuli penambang timah pada zaman kolonial.
Aku berani menarik kesimpulan demikian lantaran Mama dan paman-bibiku selalu memanggil Ngoi Akong dengan panggilan A Tia dan memanggil ibu mereka, nenekku yang berkebaya encim dan berkonde besar itu, sebagai A Bek yang kemungkinan me rupakan peralihan lafal dari A Bu.
Pada masa kecilku sampai pada tahun 90-an, penampilan perempuan Tionghoa mengenakan kebaya encim dan kain sarung dengan konde di atas kepala seperti Ngoi Apho (nenek luar)-ku ini memang bukanlah pemandangan yang langka di kampung kami. Sehingga mereka pun dengan mudah dibedakan dari perempuan Tionghoa dari keluarga totok yang selalu mengenakan busana tradisional China berupa baju piyama lengan panjang dan celana panjang ikat.
Ya, orang Mong Kap San. Begitulah para singkek seperti Akong menyebut kaum peranakan seperti keluarga ibuku. Namun sampai sekarang aku tidak pernah benar-benar paham apa makna sesungguhnya dari istilah ini. Dalam bahasa Hakka, Mong artinya memandang, Kap kemungkinan besar adalah Kap yang berarti “dan” atau “bersama”. Sedangkan San jelas berarti gunung. Menurut bibiku, sebutan ini ditujukan kepada semua orang Tionghoa yang telah lama beranak-pinak di Bangka, apa pun latar suku mereka. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa istilah ini memiliki kaitan dengan Laksamana Chengho yang melihat puncak gunung Maras dari kejauhan saat melintasi Pulau Bangka dalam pela yarannya ke tanah Jawa.
Kaum peranakan ini juga kerap disebut Pun Ti Ngin (atau orang lokal), bahkan kaum totok yang cukup fanatik dengan ketotokannya suka menyebut mereka sebagai Pan Tong Fan kendati mereka tidak memiliki campuran darah Melayu sedikit pun. Namun demikian, toh mereka tidaklah pernah dipanggil Kiau Sen yang lazimnya ditujukan kepada orang-orang Tionghoa di Sungailiat, Pangkalpinang, dan daerah sekitarnya yang sudah nyaris tidak bisa lagi berbahasa Hakka dan lebih banyak menggunakan bahasa Melayu Bangka dalam percakapan sehari-hari. Ya, persis seperti orang-orang Tionghoa di Pecinan Semarang yang selalu meng gunakan bahasa Jawa ngoko di rumah.
“Mama saya masih bisa berbahasa Hokkien dan sering berkomunikasi dengan kawan-kawannya menggunakan bahasa Hokkien. Tetapi anehnya, ia juga almarhum Papa saya tidak mau mengajari bahasa Hokkien kepada kami anak-anaknya dan lebih suka berbicara kepada kami memakai Jawa ngoko,” aku jadi teringat pada kata-kata buda yawan Tionghoa Semarang, Tubagus P. Svarajati belum lama ini saat berbaik hati menemaniku mengelilingi Pecinan Semarang.
Tentu… Tentu saja, ada banyak hal yang barangkali menjadi penyebab hilangnya bahasa China dari lingkungan masyarakat Tionghoa ini. Dilarangnya sekolah-sekolah China dan buku-buku berbahasa China dan dibatasi penerbitan beraksara hanyu hingga tinggal Harian Indonesia selama masa Orde Baru, kukira adalah pemicu utamanya. Demikian pula halnya dengan kecurigaan terhadap masyarakat Tionghoa dan berbagai peraturan diskriminatif lainnya yang terusmenerus dikembangkan secara sistematis oleh rezim Soeharto.
Tetapi dari pengamatanku, hilangnya kemampuan berbahasa China (terutama Mandarin) pada komunitas Tionghoa ini umumnya terjadi di kota-kota besar atau daerah yang jumlah populasi orang Tionghoa tidaklah sebanding dengan warga pribumi.
“Ape kelak luk, heu ko ta cung cuk!” begitulah dulu kami kerap mengolok-olok pemakaian bahasa Melayu oleh orang-orang Tionghoa Sungailiat dan Pangkalpinang. Dan, kau tahu, bahasa Melayu Bangka yang dipergunakan oleh orang-orang Kiau Sen ini pun memiliki keunikannya sendiri, yakni setiap kalimatnya kerap diakhiri dengan tambahan bunyi “wo”. Contohnya: “Ka nak ke mane wo?
Lalu, seperti pula halnya bahasa Hakka peranakan di kota kecilku, bahasa Melayu-Tionghoa ini juga bercampur-aduk dengan sejumlah kosa-kata Hakka dan segelintir istilah baru yang entah dari mana datangnya…
Ah, kukira olok-olokan kami tersebut tentunya cuma sekadar senda gurau anak-anak yang tak berpotensi menyakiti perasaan. Tidaklah seperti olok-olok “Tong ngin em hiau kong tong boi, em si ciu boi soi!” dari generasi ayahku terhadap mereka yang cukup sadis itu.
***
YA, dalam keluarga Tionghoa dengan orang tua yang cukup berbeda latar belakangnya seperti inilah aku dilahirkan dan dibesarkan.
Namun demikian, menurutku, kaum peranakan seperti keluarga Mama dan mayoritas orang Tionghoa di kampungku ini (utamanya mereka yang tinggal di desa-desa) seringkali jauh lebih kuat memelihara sejumlah tradisi China lama ketimbang orang-orang Tionghoa dari keluarga totok seperti keluarga ayahku yang merupakan pendatang baru, cukup terpelajar, dan hidup di bawah bayang-bayang revolusi Sun Yat-sen…
Meskipun selalu bergaul akrab dengan orang-orang Melayu, tidak seperti kaum totok yang cenderung tertutup, jarang ada di antara mereka mau berpindah agama. Kebanyakan kaum peranakan di kampung-kampung ini lebih memilih bersetia kepada kelenteng dan dewa-dewa China. Apabila kaum totok, terutama yang terdidik dalam pendidikan China modern ala Tiong Hoa Hwee Koan lebih suka menggunakan kalender Masehi atau kadangkala masih suka menandai beragam peristiwa penting dengan perhitungan Tahun Republik China yang dimulai dari 1911, kaum peranakan seperti Mama selalu loyal pada kalender lunar. Mereka juga akrab dengan fengshui dan hidup dalam banyak pantangan yang bersifat mistis.
Ah, ada satu pengalamanku sejak kanak-kanak di bawah asuhan Mama yang sulit untuk aku lupakan dan masih sulit aku pahami hingga kini. Yaitu, menyangkut keyakinan Mama bahwa pada setiap hari besar para dewa (entahlah itu hari ulang tahun atau hari moksa sosok-sosok suci itu), hujan dipastikan bakal tercurah dari langit.
Karena itu, pada masa-masa aku masih SD, tidak peduli langit tampak begitu cerah atau perkiraan cuaca di TVRI sudah menyatakan bahwa hari itu tidak akan turun hujan, ia tetap saja ngotot memaksaku membawa payung ke sekolah, bahkan menjejalkan jas hujan ke dalam tasku.
Kau tahu apa yang terjadi?
Mama ternyata jarang keliru! Walaupun tidak selalu berupa hujan deras, paling tidak pada hari itu, kau tahu, akan turun gerimis ala kadarnya yang cukup membasahi seragam sekolahku setiap kali aku mencoba membantah. Ya, begitulah! ***

Jogjakarta, Tahun Baru China 16 Februari 2018/Hari pertama bulan kedua 2569


*) Cerita ini adalah bagian dari himpunan cerita “Memoar Pulau Timah”.


SUNLIE THOMAS ALEXANDER Pengarang asal Belinyu, Pulau Bangka. Kini tinggal di Jogjakarta. Buku kumpulan cerpennya, Makam Seekor Kuda, akan terbit akhir Februari ini

Kutipan Happiness Cafe

Ketika seseorang diberi kelemahan pada satu sisi, berarti ada kekuatan di sisi lain. (hlm. 42)

Banyak sekali kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Sukses bukanlah sesuatu yang harus ditunggu, melainkan sesuatu yang harus diraih dengan kerja keras. (hlm. 30)
  2. Banyak orang bilang itu tidak mungkin. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Semuanya mungkin, asal kita memang menetapkan dalam hati bahwa semua itu mungkin. (hlm. 38)
  3. Tidak ada kata tidak bisa, bahwa hidup itu hanyalah persoalan mau atau tidak mau. (hlm. 47)
  4. Jika seluruh dunia mengatakan sesuatu yang buruk pada kita, kita tidak perlu percaya pada mereka. (hlm. 49)
  5. Bahwa tidak ada sesuatu yang dapat disebut sebagai nasib buruk. (hlm. 55)
  6. Setiap kita sesungguhnya diutus Tuhan ke dunia ini untuk sebuah maksud dan tujuan yang khusus. (hlm. 67)
  7. Suatu penderitaan bisa berubah menjadi kebahagiaan jika kita bisa menemukan maknanya. (hlm. 68)
  8. Tak ada sesuatu yang tak mungkin bagi Tuhan. (hlm. 69)
  9. Langit adalah batas dan kita dapat mewujudkan apa yang kita tetapkan dalam pikiran jika kita mau mencobanya. Jangan stress pada kegagalan karena hanya dari kegagalanlah datangnya kesempurnaan. (hlm. 70)
  10. Kebebasan bermimpi tidak perlu dilarang atau dibatasi. (hlm. 91)
  11. Jika kau menjalani hidupmu dengan cara yang benar, karma akan merawat dirinya sendiri. Mimpi-mimpi itu akan datang kepadamu. (hlm. 97)
  12. Hanya dengan memiliki iman yang cukuplah kita bisa menghadapi masalah apapun dalam hidup ini. (hlm. 120)
  13. Hal-hal terbaik dan paling indah di dunia tidak dapat dilihat atau bahkan disentuh, semua itu harus dirasakan dengan hati. (hlm. 162)
  14. Iman adalah suatu kekuatan dahsyat yang dapat mengubah apapun, serta membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. (hlm. 180)
  15. Tuhan takkan pernah meninggalkan dan mengabaikanmu. (hlm. 185)
  16. Kita harus tetap punya rasa ingin tahu dan pantang menyerah sesulit apa pun keadaannya. (hlm. 253)

Anjing dan Sebuah Nama

Cerpen Danang Cahya Firmansah (Suara Merdeka, 18 Februari 2018)
Anjing dan Sebuah Nama ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Anjing dan Sebuah Nama ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
MESKI pengemis, aku cukup punya belas kasihan. Setahun lalu, aku melihat seekor anak anjing kurus, ceking, tertidur lemas di pinggir jalan. Segera kubawa anak anjing itu ke gubukku di bawah kolong jembatan. Dia kuberi nama Koruptor.
Hari demi hari kurawat Koruptor sepenuh hati. Pagi hari, sebelum bekerja, kumandikan Koruptor dan kuberi makan seadanya. Kami makan berdua. Baru setelah itu aku berangkat kerja. Acap kali Koruptor mengikuti aku.
Namun belum genap sebulan, Koruptor sakit-sakitan. Ia korengan. Sungguh, aku tak habis pikir. Bukankah dia sering kumandikan serta kurawat sepenuh hati dan cinta?
Koruptor juga sering apes. Orang-orang yang membenci pernah melempar dia dengan batu dan kayu.
Suatu sore sepulang kerja, aku tak mendapati Koruptor di gubuk. Kupangil-panggil, tetapi dia tak membalsa dengan gonggongan.
Aku mencari ke luar gubuk. Nahas, Koruptor tergolek lemah. Kepalanya berlumuran darah. Aku sedih. Kenapa dia begitu apes? Apa salah Koruptor?
Di gubuk, hanya Koruptor yang menemaniku. Aku tak berkeluarga. Karena itulah, Koruptor kuanggap anak. Ya, dialah anakku.
Aku tak tega ketika dia sakit parah. Padahal, aku tak mungkin membawa dia ke dokter hewan. Duit dari mana? Aku merenung-renung, memikirkan cara mengobati Koruptor.
Akhirnya terbersit jalan keluar. Keesokan hari, aku bergegas menuju gubuk Mbah Ponidi, tak jauh dari gubukku. Kuceritakan keluh-kesahku soal Koruptor. Mbah Ponidi mendengar sambil menganggukangguk, lalu terdiam seraya menghela napas panjang.
Beberapa saat kemudian dia berkata, “Itu karena namanya.”
“Maksud Mbah?”
“Asma iku kinarya japa,” sahut Mbah Ponidi.
“Artinya?”
“Nama adalah doa. Anjingmu terlalu suci. Tak cocok kaunamakan Koruptor. Karena itulah, dia sakit-sakitan dan selalu sial.”
Mendengar jawaban Mbah Ponidi, aku mengangguk mantap. Aku segera pulang dan mengganti namanya dengan nama baru: Blaky.
Perkataan Mbah Ponidi ternyata benar. Berbulan-bulan kemudian, Blaky sehat. Dia tak sakit-sakitan dan tak apes lagi. Aku tersenyum senang. “Terima kasih, Mbah Ponidi,” gumamku sembari mengusap-usap kepala Blaky.
Menanggung Malu
Anjing betina itu paling setia menemani si lelaki tua. Sungguh, lelaki tua itu tak mengerti mengapa istrinya tak mampu setia? Padahal, anjingnya tetap rela menemani hingga si lelaki memasuki usia senja. Kini, dia hanya serumah dengan anjing peliharaan. Kadang lelaki tua itu berkhayal, “Andai anjingku berubah jadi manusia, pasti kunikahi!”
Sepulang kerja, lelaki tua itu mengajak anjingnya jalan-jalan menyusuri jalanan kota. Melihat gedung-gedung tinggi menjulang bagai pohon-pohon berebut sinar. Berlomba-lomba lebih tinggi dari yang lain.
Seminggu sekali, dia mengajak anjingnya lari pagi. Setiap Minggu si anjing menggonggong tak hentihenti sambil menggoyang-goyangkan ekor. Hewan itu seperti antusias menyambut hari Minggu. Hari untuk membugarkan badan.
Namun suatu hari anjing putih itu lesu tak berdaya. Gonggongannya pun lemah. Tak keras seperti hari-hari biasa. Lelaki tua itu makin bingung, karena si anjing tak bernafsu makan. Lelaki tua mencoba mengganti berbagai pakan anjing, tetapi anjingnya tak mau makan sedikit pun.
Tubuh anjing itu mengurus. Hidupnya tampak tak bergairah. Lelaki tua segera membawa ke dokter hewan. Namun kata dokter, tak ada penyakit di tubuh hewan itu. Lelaki tua berpikir-pikir, “Apa perlakuanku salah pada anjingku?” Padahal, dia telah merawat anjing itu sepenuh kasih. Dia sudah menganggap anjing itu anaknya.
Suatu malam, lelaki tua itu tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi, anjing kesayangannya berbicara.
“Tuan, aku sangat tersinggung! Aku malu dan sakit hati!” ujarnya.
Lelaki tua kaget dan bertanya, “Kenapa?”
“Tuan, akhir-akhir ini banyak orang menyebut anjing negara. Sebutan itu tertuju pada orang-orang yang meraup, merampas, merampok harta rakyat. Kenapa bandit-bandit berdasi itu mereka sebut anjing negara?”
“Itu kan cuma istilah.”
“Saya tidak terima, Tuan. Saya rela dikatakan hewan najis. Saya iklas! Namun saya sangat-sangat tersinggung, malu, dan sakit hati oleh perkataan banyak orang yang menyebut bandit berdasi sebagai anjing negara! Senajis-najis saya, saya tak pernah korupsi, Tuan. Tak pernah memakan harta rakyat jelata. Lalu mengapa orang-orang menyebut perampas harta rakyat dengan sebutan anjing negara? Apa salah saya?” sergah anjing itu.
Lelaki tua terbangun. Keringat membasahi badan. Dia beranjak menuju kandang anjing di sebelah rumah. Sambil mengucek-ngucek mata, lelaki tua itu berjalan tergesa.
Tiba di depan kandang anjing, lelaki tua tak bertenaga. Badannya lemas. Otot-otot di tubuh seperti tercerabut. Dia lihat anjing kesayangan terbujur kaku. Mati menanggung malu.
Bersuci
Ada tiga anjing bersaudara di rumah mewah itu. Anjing berkulit hitam, putih, dan cokelat. Mereka gemuk-gemuk. Kulit mereka bersih karena sangat terawat. Pemilik ketiga anjing itu seorang pejabat negeri.
Pembantu di rumah acap kali menyuguhkan sate, gule, brongkos pada ketiga anjing kesayangan sang majikan. Si pembantu, sambil menelan ludah, menghaturkan makanan setiap pagi, siang, dan sore.
Sungguh, anjing yang penuh kebahagiaan. Namun, sayang, tak lama kemudian mereka mendengar berita mengejutkan. Anjing-anjing bahagia itu terusik. Mereka baru tahu sang tuan korupsi.
Mereka segera memuntahkan seluruh makanan dari dalam perut. Namun tak bisa. Mereka bingung, karena makanan yang selama ini mereka santap berasal dari merampas uang rakyat. Para anjing itu sekali lagi hendak memuntahkan seluruh isi perut. Namun tetap gagal.
“Percuma kita keluarkan isi perut. Toh kita makan uang rakyat sejak dalam kandungan ibu kita. Makanan telah mewujud menjadi kulit, daging, tulang, mata, hidung, hati, telinga, dan bulu kita,” ucap anjing putih sambil menggigil.
“Lebih jauh dari itu, bahkan sperma Ayah, asal mula kita, terbentuk dari sari makanan hasil rampasan terhadap rakyat,” ucap anjing hitam sambil mundur-mundur ketakutan.
Mereka tak hanya jijik kepada sang tuan. Bahkan kini mereka pun jijik pada diri sendiri. Mereka hendak melepaskan diri dari tubuh najis masing-masing. Anjing-anjing itu segera melarikan diri. Saat hendak meloncati pagar rumah, sang tuan pulang mengendarai Lamborgini.
Sang tuan segera turun dari mobil. Dia heran melihat anjing-anjingnya seperti ketakutan. Lalu dia segera mendekati hewan-hewan itu. Mengusap-usap kepala mereka satu per satu.
Anjing-anjing itu sangat jijik atas usapan tangan sang tuan. Setelah sang tuan masuk rumah, mereka segera melompat. Mereka menggonggong tak jelas, sambil mencari kubangan lumpur.
“He! Kau tahu niat doa menyucikan diri karena najis?”
“Sudahlah, yang penting kita berniat bersuci untuk menghilangkan najis. Tubuh kita selama ini tersentuh tangan bandit itu. Niat kita menyucikan dari dari kenajisan tubuhnya yang menyentuh kita,” ujar anjing cokelat.
Anjing-anjing itu segera menyucikan diri dengan berwudu lumpur. Namun setelah selesai, anjing-anjing itu tetap merasa kotor dan jijik pada tubuh masing-masing. Anjing-anjing itu ingin lepas dari raga yang terbentuk dari makanan hasil rampasan rakyat.
Mereka depresi. Menggonggong tak jelas, menyusuri jalanan kota. Manusia menyebut mereka anjing gila. (44)

Semarang, 3 & 11 Februari 2018
Danang Cahya Firmansah, pegiat Lingkaran Studi Kebudayaan Indonesia.