Daftar Blog Saya

Selasa, 01 Agustus 2017

Di Napalmelintang, Bunga yang Indah Tidak Boleh Layu Tergesa-gesa

Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 30 Juli 2017)
Di Napalmelintang, Bunga yang Indah Tidak Boleh Layu Tergesa-gesa ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Di Napalmelintang, Bunga yang Indah Tidak Boleh Layu Tergesa-gesa ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Gawe beghat nga col ada ase’e kalu pade ati nga
Betang-betang yang bebuah ahai kak ni
Yang ditenam hetang-hetang ni

(Kerja keras yang kau lakoni dengan cinta tak kan terasa
Karena pohon-pohon yang berbuah hari ini adalah yang ditanam kemarin-kemarin)

KAU ber-nandai—menyenandungkan lirik-lirik itu dengan langgam dan cengkok Melayu Selatan yang khas—dengan pikiran yang melayang pada murid-muridmu di Napalmelintang.
Kau tak habis pikir, bagaimana pelajar SMP di pedalaman kabupaten itu lebih gemar mendengarkan nandai daripada membaca buku! Memang, kau tahu, bahwa benih yang baru ditanam takkan lekas berbuah, namun kau jengkel juga sebab hingga tahun keduamu sebagai guru honorer di sekolah itu, murid-muridmu tak juga menunjukkan ketertarikan pada buku-buku yang kerap kau bawa di dalam boks sepeda motormu setiap hari. Memang, satu-dua murid tertarik membuka-buka buku, itu pun buku bergambar dengan warna cerah dan teks besar-besar. Tapi, tetap saja, bila disilakan memilih membaca atau mendengarkan nandai, mereka akan memilih yang kedua.
“Kau harusnya berbangga,” ujar ibumu ketika kau ceritakan kekesalanmu itu. “Bukan lantaran kau diwarisi keindahan suara sebagaimana Ibu yang beroleh banyak kawan dan sedikit uang dari nandai ketika muda, melainkan karena kecakapanmu bisa bermanfaat.”
Saat itu kau hanya manggut-manggut. Bukan tak percaya pada pujian ibumu, melainkan karena memikirkan: Benarkah aku harus bernandai ketika mengajar bahasa Indonesia?
“Lagi pula sepatutnya kau bersyukur, Nak. Zaman sekarang, jarang sekali ditemukan orang yang lihai ber-nandai. Gadis pula! Nandaibukan sekadar melagukan lirik dengan cengkok yang merdu, tapi juga menyerukan kebaikan. Orang-orang dulu menggunakan nandaisebagai nasihat, berbagi kabar baik, bermaklumat sesuatu yang genting, bahkan mukadimah pinangan. Siapa tahu kau justru menjadi salah satu yang membuat senandung khas daerah kita itu masih bisa didengarkan sampai nanti-nanti…”
Ah, harapan ibu terlalu berlebihan, batinmu.
“Suara Bu Guru merdu nian!” Itulah celetukan khas murid-muridmu saban kau menyelesaikan sebuah nandai.
“Sejak Bu Guru ber-nandai tentang buku menanam jagung tu, Siti jadi membaca buku itu. Kemarin kami menanam jagung di halaman belakang.”
“Bu, besok-besok, kalau jam pelajaran bahasa Indonesia lagi, aku nakbawa gitar kopong. Nandai itu tambah merdu kalau diselingi petikan gitar tunggal, Bu.”
Benar, di hajatan pernikahan, sunatan, syukuran naik haji dan rumah baru, nandai biasa dibawakan dengan selingan bunyi gitar dalam irama Melayu Batanghari Sembilan. Gitar tunggal, begitu orang-orang Musi biasa menyebut gaya petikan itu. Selain karena hanya diiringi bunyi dari petikan sebuah gitar non-elektrik, irama yang dihasilkan sangat khas, seperti paduan musik Melayu Riau dan Suku Dayak di Kalimantan.
Sempat tebersit dalam pikiranmu untuk tidak lagi membawakan buku-buku bergambar dan menggantinya dengan VCD nandai saja, namun kau tak pernah melakukannya. Selain tak ada yang menjual VCD nandai, sekesal-kesalnya pada mereka, kau tetaplah seorang pengajar yang bahagia melihat senyum, tawa, dan antusiasme mereka untuk belajar meluap-luap, walaupun lewat buku bergambar, walaupun lewat nandai!
“Bolehkah buku yang Bu Guru nandai-kan itu kami pinjamkan pada bapak di rumah, Bu?”
Tentu saja itu adalah permintaan yang sangat membahagiakanmu. Tanpa harus melihat judul buku yang dimaksud, dari sampulnya saja, kau sudah bisa menebak kalau itu bukan buku pelajaran, melainkan buku yang ada gambarnya.
“Jangankan buat bapak,” jawabmu lembut dengan mata lebih berbinar dari biasa, “buat emak, kakak, adik, atau bahkan tetangga kalian pun, tak apa, Nak.”
“Kalau aku sering membacakan buku buat emak, Bu Guru!”
Kau menoleh ke gadis kecil yang tengah berseru di bangku nomor dua dari kanan.
“Soalnya emakku tidak bisa membaca, Bu,” sambungnya tanpa merasa malu. “Sebenarnya ingin ber-nandai seperti Ibu, tapi suaraku sumbang.” Kali ini wajahnya bersemu malu.
Mendapat angin segar untuk mengutarakan pendapat, murid-muridmu yang lain pun berebutan berseru. Kau tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tapi bisa menangkap inti aduan mereka: Selama ini, sebagian dari mereka banyak yang meminjamkan atau membacakan buku kepada anggota keluarga. Buku-buku itu dapat dipastikan pernah kau-nandai-kan. Ah, sejak itu kau kerap membaca ulang buku-buku yang dibawa ke sekolah, menyarikan isinya, untuk di-nandai-kan kemudian.
Memang bukan kerja mudah, tapi kau tak pernah menganggapnya melelahkan.
***
SEJAK kecil kau sudah memiliki perpustakaan kecil di kamar. Tak seperti sebagian orang yang memiliki hobi yang sama, kau menyukai semua jenis buku. Dari sastra, pelajaran, pertanian, teknologi, geografi , hingga kerajinan tangan. Tak semua buku itu kau beli. Ada yang dihadiahi guru, dosen, atau pemberian teman kosmu yang sudah diwisuda sebagai kenang-kenangan. Ketika kuliah di Universitas Bengkulu, kau paling kerap mendapatkan buku di ulang tahunmu.
Meskipun begitu, kau tak pernah tertarik mengikuti lomba mengarang yang sesekali di adakan Dinas Pendidikan Kabupaten Musirawas. Kau justru lebih tertarik mengikuti lomba menyanyi dan nandai yang kerap menghadiahimu piala dan Tabanas yang jumlahnya lebih dari cukup.
Sebagaimana membaca, nandai pun tak kau tekuni dengan serius. Lulus SMA, kau justru lebih sering naik-turun gunung, masuk-keluar hutan, dan membersihkan Pantai Panjang saban Minggu pagi bersama teman-teman mapalamu.
Sejak itu, alam dan buku pun menyatu dalam hidupmu (sementara suaramu yang merdu, hanya unjuk kebolehan di kamar mandi).
Sejak mendapatkan gelar sarjana pendidikan bahasa Indonesia, kau menyebarkan lamaran ke berbagai sekolah dan bimbingan belajar di tanah kelahiranmu. Hingga lima bulan menunggu, tak satu pun kabar baik menghampiri. Justru tawaran mengajar datang dari Rini, tetanggamu yang selama ini bekerja sebagai pengajar honorer di SMP Napalmelintang.
“Aku sudah 2 tahun mengajar bahasa Indonesia di sana. Jujur, menurutku, honornya nggak sebanding dengan beban dan tanggung jawabnya. Aku sudah mengajukan surat pengunduran diri. Kepala sekolahnya setuju saja asalkan aku menyiapkan pengganti. Menurutku, kalau sekadar cari pengalaman, tak ada salahnya kau coba. Kalau tertarik, kau ikut aku ke Napalmelintang besok.”
Sebenarnya kau ragu, namun entah bagaimana, kau justru mengangguk.
Tak mudah bagimu menyakinkan kedua orang tua agar merestui keinginanmu mengajar di pedalaman itu.
“Tidak jauh, Pak. Cuma…,” ujarmu usai makan malam.
“Bapak beberapa kali ke sana,” potong bapakmu seraya menoleh ibumu yang tengah menuangkan air putih ke gelasnya.
“Kau harus melewati dua hutan, lima desa, dan jalan-jalan terjal dan berlubang,” timpal ibumu. “Sewaktu muda dulu, Bapak beberapa kali menemani Ibu ke sana.”
“O ya? Ada urusan apa ke sana, Bu?” tanyamu penasaran.
“Kan ibumu penyanyi nandai ternama waktu mudanya,” sahut bapakmu seraya melirik nakal ke arah ibumu. “Dan bapakmu ini pemain gitar tunggalnya. Klop!” Tawa bapakmu pecah. Kau pun ikut tertawa. Ibumu mesem-mesem. Wajahnya merah daging semangka.
Ibumu memang memiliki suara yang sangat indah. Kalau sedang memasak atau menyiram bunga di pekarangan, tanpa sadar ia sering menyanyikan lagu Melayu atau ber-nandai. Ia baru akan berhenti kalau kau atau bapakmu bertepuk tangan di akhir lagu. Sebenarnya, ia juga kerap memuji keindahan suaramu, tapi kau tak terlalu menanggapinya, walaupun beberapa lomba menyanyi yang kau ikuti—sebagian besar atas sarannya—selalu menempatkanmu dalam posisi tiga besar.
“O ya,” suara ibumu memecah lamunanmu.
“Ibu juga sering menemani bapakmu ke Napalmelintang untuk mengantar pesanan lemari atau kusen rumah,” seru ibumu tak mau kalah.
Ya, pekerjaan bapakmu sebagai pembuat lemari memungkinkan ia mendatangi lebih banyak tempat tinggal pemesannya, termasuk daerah pedalaman.
“Jadi, kami sudah hafal benar jalan menuju daerah itu, Nak,” ibumu mengembalikan fokus pembicaraan.
“Lagi pula, ngajar di pedalaman itu, peluangmu untuk diangkat jadi CPNS kecil!” seru bapakmu setelah menenggak segelas air putih.
Ya, di mata seorang wiraswasta kecil-kecilan sepertinya, melihatmu menjadi seorang CPNS adalah impian.
Kau terdiam sejenak sebelum dengan hati-hati menjawab, “Sementara menunggu bukaan tes CCPNS, aku nak cari pengalaman ngajar dulu, Pak. Boleh, ya?”
Kedua orang tuamu saling pandang.
“Baiklah,” bapakmu kembali menatapmu,
“Tapi kau harus bertanggung jawab dengan pilihanmu. Bapak tak ingin mendengar keluhan, kabar kalau kau sering mangkir dari sekolah, apalagi merengek minta berhenti dalam beberapa bulan ke depan,” lanjutnya seakan mengabaikan protes ibumu.
Kau mengangguk yakin. Bapakmu lupa kalau anak gadisnya adalah anggota mapala semasa kuliah. Kau mencium punggung tangannya sebelum memeluk ibumu yang sepertinya masih belum menerima keputusan suaminya.
“Ikhlas ya, Bu,” ujarmu setelah merenggangkan pelukan. Kau tahu, kalau bapakmu sudah memutuskan sesuatu, ibumu akan nurut saja. Kalaupun jengkel, itu hanya ekspresi sesaat dan akan kembali seperti sediakala beberapa saat kemudian.
Ibumu mengangguk ragu. Kau tahu ia masih sangsi dengan kesanggupanmu mengajar di Napalmelintang.
***
TERNYATA benar! Perjalanan ke Napalmelintang lebih layak disebut petualangan. Memang, hingga sepertiga perjalanan, matamu masih dimanjakan dengan pemandangan pepohonan di kiri-kanan jalan. Namun, setelah itu, perjalanan makin menantang dan memacu adrenalin. Jalan kecil yang berlubang, berkelok, dan tikungan yang tajam. Beberapa kali Rini yang melajukan sepeda motornya beberapa meter di depanmu harus berhenti beberapa kali, karena terdapat beberapa pohon roboh karena hujan semalam, atau karena beberapa babi, monyet, dan kancil yang menyeberang jalan.
Dua jam kemudian, kalian memasuki sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi hutan karet. Di sekolah itu, terdapat lima ruang belajar. Masing-masing dua ruangan untuk kelas X dan XI, dan satu ruangan untuk kelas XII; satu ruang guru yang merangkap ruang kepala sekolah dan tata usaha; dan dua WC di sudut kanan sekolah. Satu untuk guru dan TU, satu lagi untuk siswa. Tak usah ditanya bagaimana menyengatnya aroma pesing yang menguar dari WC siswa.
“Bagaimana? Kau tak berubah pikiran untuk menggantikanku, kan?” tanya Rini ketika kalian hendak menemui kepala sekolah.
Kau tersenyum. “Aku justru menyukai ini, Rin,” ujarmu meyakinkan.
Hal-hal yang diawali dengan optimisme memang memiliki peluang besar untuk menciptakan kebahagiaan. Begitupun dengan hari pertamamu di SMP Napalmelintang itu. Pertemuanmu dengan Pak Bambang Hakim, kepala sekolah, memberikan energi bagi kedua belah pihak. Karena menangkap semangat positifmu, Pak Bambang pun langsung memperkenalkanmu kepada dewan guru sebagai guru honorer bahasa Indonesia yang baru. Hari itu kau baru tahu kalau kau akan mengajar semua kelas.
***
LIMA kali seminggu kau ke Napalmelintang. Kau berangkat usai membuatkan sarapan untuk orang tuamu di subuh buta. Di sekolah, kau berusaha menjadi sahabat bagi murid-muridmu. Karena di sekitar sekolah banyak sungai, padang rumput, dan bukit-bukit kecil yang hijau, tak jarang kau memindahkan kelas ke alam terbuka. Tapi itu saja belum cukup, kau harus melakukan hal lain: memancing antusiasme mereka pada pelajaran!
Maka, kau pun merasa sangat bersyukur ketika Tuhan menurunkan merdunya suara ibumu pada dirimu. Ya, sebuah puisi yang awalnya iseng kau-nandai-kan, ternyata membuat murid-murid ketagihan. Sejak itu, kau tahu kalau mereka sudah berada dalam genggamanmu. Kau pun me-nandaikan materi pelajaran yang kau pikir akan mudah membuat mereka bosan, seperti mengarang cerita, menulis puisi, atau membuat resume.
Pada bulan keenammu di SMP Napalmelintang, nandai-mu membuahkan hasil. Kau mempersembahkan piala pertama bagi sekolah itu ketika Dinda Zakira, murid kelas XI, menyabet juara II lomba bercerita tingkat SMP se-Kabupaten Musirawas.
Selain kelihaianmu dalam ber-nandai, keberhasilanmu itu tak terlepas dari buku-buku yang kau bawa ke sekolah setiap hari. Ya, setelah tiga bulan mengajar, kau memanfaatkan buku-buku koleksimu untuk dinikmati murid-murid. Awalnya karena ruang perpustakaan belum ada, kau menitipkan buku-bukumu pada staf tata usaha (TU). Baru empat hari, delapan buku sudah tak bersampul.
Engkau pun sempat menitipkan buku-buku koleksimu pada rumah murid yang paling dekat dengan sekolah. Kali ini lebih parah. Bukumu bukan hanya sobek halamannya dan lepas sampulnya, melainkan juga banyak yang hilang. Usut punya usut, rumah tempat kau menitipkan buku itu setiap pagi menjual nasi gemuk. Saban kekurangan kertas untuk membungkus, tanpa merasa bersalah, ibu muridmu ia akan merobek halaman buku.
“Beberapa buku juga sering dipakai ayah buat berkipas sepulang menyadap karet di siang hari, Bu,” ujar murid itu dengan polosnya.
Sejak itu, kau membawa sepeda motormu ke tempat modifi kasi sepeda motor di kota dengan menambahkan boks seukuran 30 x 60 cm di boncengan. Awalnya bapakmu menentang, tapi kau berhasil meyakinkannya.
“Buku-bukuku yang seabrek ini baru bermanfaat ketika dibaca, Pak. Apalagi dibaca murid-muridku, Pak,” dalihmu dengan wajah memelas.
Kau akhirnya membawa buku-bukumu ke dalam boks. Walaupun seorang guru bahasa Indonesia, kau juga membawa buku-buku lain seperti buku pelajaran matematika, IPA, IPS, agama, dan olahraga. Selain itu, buku-buku non-pelajaran seperti buku cerita (baik bergambar maupun tidak), resep makanan, pertanian praktis, komik, dan kerajinan tangan. Di masing-masing kelas, 15 menit sebelum jam belajar berakhir, kau meletakkan buku-buku itu di lantai depan ruangan. Kau mewajibkan setiap murid meminjam satu buku dan mengembalikannya paling lama satu minggu kemudian.
Ternyata, buku-buku non-pelajaranlah yang lebih menarik minat para murid. Kau pun mafhum, mungkin mereka terlalu penat dengan pelajaran sekolah. Meski begitu, kau sangat berharap, ada prestasi yang dapat mereka persembahkan untuk sekolah. Bukan hanya piala lomba bercerita seperti tahun yang lalu, tapi juga lomba matematika, IPA, IPS, atau hafalan UUD 45.
Hingga, di pengujung tahun keduamu mengajar, sebulan setelah mengikuti tes CPNS, Pak Bambang memberitahumu kalau ada beberapa orang tua murid yang ingin menemuimu. Tentu saja jantungmu berdegup lebih kencang dan wajahmu mendadak marun. Bukan karena Pak Bambang menganggu waktu mengajarmu, melainkan karena bukan rahasia lagi kalau kedatangan orang tua murid hanya disebabkan dua kemungkinan.
Pertama, si murid bermasalah dengan guru yang bersangkutan. Sering tidak masuk kelas ketika jam pelajaran, misalnya, hingga orang tuanya pun dipanggil. Kedua, si orang tua merasa keberatan dengan perlakuan sang guru pada anaknya. Dalam perjalanan menuju ruangan Pak Bambang, kamu menimbang-nimbang kemungkinan itu.
Kemungkinan yang pertama, sangat tidak mungkin, karena pemanggilan orang tua pastilah atas permintaan sang guru mata pelajaran. Dan kamu tak pernah merasa meminta Pak Bambang memanggil orang tua murid. Kemungkinan kedua? O, apakah ada murid-murid yang diam-diam tak menyukaimu hingga…
***
DI kantor, kau baru sadar, tak jauh dari kursi para orang tua murid itu, ada tiga tandan pisang batu, sembilan ikat petai, lima botol madu, dan beberapa karung yang tak dapat kau terka isinya.
“Kami sangat berterima kasih kepada Bu Guru,” seorang laki-laki seusia bapakmu membuka pembicaraan.
“Ya, pelanggan saya bilang bolu kukus buatan saya makin legit. Itu karena saya banyak belajar dari buku resep yang sering dibawa Siti ke rumah.” Kali ini seorang perempuan bersongkok miring menimpali.
“Karena buku metode bertanam padi hemat air yang ibu pinjamkan pada anak saya, kami tidak lagi meributkan air setiap masa tanam datang. Dan panen tahun ini, hasil padi kami meningkat dua kali lipat dan …”
Kau terpana. Kau masih sulit percaya dengan apa yang barusan kau dengar. Namun begitu, kau kini bisa menebak isi karung yang ada di dekatnya.
“Jagung-jagung kami juga tidak diserang hama wereng lagi …”
“Kami sudah membungkus buah durian dengan plastik transparan supaya tidak didekati tupai …’’
“Alhamdulillah, si Mila sudah hafal bacaan tahyat akhir…”
“Anak saya yang paling kecil sudah tahu nama buah-buahan sambil bernyanyi. Kakaknya mengajarinya sambil ber-nandai. Bu Guru pandai nandai, katanya ya…”
“Maaf Bu, bukunya sudah banyak sobek. Bagaimana, Bu? Apa harus kami ganti?”
“Saya minta izin untuk memiliki buku Bercocok Tanam Cabai, Bu. Itu… buku yang sampulnya hijau daun pisang!”
“….”
Tiba-tiba kau ingin jatuh tersungkur dalam syukur yang tak terkira.
“Bu,” suara Pak Bambang membuyarkan keterpanaannya. “Kami perlu banyak belajar pada pengabdian, rasa cinta Ibu pada anak-anak, dan tentu saja pada pengorbanan Ibu yang tanpa pamrih.”
Kau tidak hanya menerima jabat tangan dari para orang tua murid, kepala sekolah, dan dewan guru, tapi juga pelukan erat dari kerja keras yang kau semai selama ini. Kau sungguh tak sabar mengabarkan semua ini kepada kedua orang tuamu; bahwa kau bukan hanya bertahan di SMP di pedalaman ini, melainkan juga memberikan kemaslahatan bagi masyarakatnya.
***
PAGI itu, bapakmu menepuk-nepuk punggungmu. Ibumu memelukmu. Erat sekali. Mereka berdua sebenarnya ingin tersenyum untuk menguatkanmu, meskipun malah air asin yang keluar dari ekor mata yang sendu.
Pengabdianmu di Napalmelintang memang belum waktunya selesai. Kau melipat koran lokal itu lamat-lamat. Tak ada namamu di daftar itu, di antara nama-nama yang lulus tes CPNS Kabupaten Musirawas tahun itu. (*)

–Untuk istriku, guru bahasa Indonesia di Musirawas
Puncak Kemuning, 2017
BENNY ARNAS lahir di Lubuklinggau, 8 Mei 1983. Novel terbarunya CURRICULUM VITAE; 106 Urusan, 90 Perumpamaan, 11 Tokoh, & Sepasang Kegembiraan (GPU, 2017)

Teman Satu Sel

Cerpen Pangerang P Muda (Media Indonesia, 30 Juli 2017)
Teman Satu Sel ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Teman Satu Sel ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
DINDING-DINDING sel yang menerungkunya sudah beluwek. Bukan cuma warna catnya, tapi plesterannya pun di beberapa bagian telah terkelupas. Dinding itu tidak bisa meredam suara debur ombak di luar, membuatnya kerap terjaga dari lelapnya dan menyangka dirinya sedang tidur di atas perahunya.
Ia ada di situ setelah mencencang seekor ikan besar yang gendut. Di depan hakim yang mengadilinya, ia beralasan itu dilakukannya karena ikan besar itu telah memakan ikan-ikan kecil miliknya, membuat istri dan anak-anaknya terancam kelaparan. Hakim menggeleng, dan mengingatkan yang ia cencang itu adalah seorang tauke hasil laut di kampungnya. Ia menatap gelengan hakim dengan rupa tak paham. Tetap saja ia menganggap yang diiris-irisnya itu adalah ikan besar yang sangat lahap memakan ikan-ikan kecil penyanggah hidup keluarganya.
Bukan cuma status terhukum yang divoniskan padanya, tapi juga predikat dapat membahayakan keselamatan orang lain, yang akhirnya membuatnya dibawa ke dalam sel yang terpisah dengan tahanan lain. Sejak itu pula kulitnya yang sekelam tembaga tidak lagi tersentuh terik matahari pantai; dan ia mulai rindu bercakap-cakap dengan seseorang.
Ia memastikan di balik tembok ini ada laut. Bila telapak tangannya yang menyentuh tembok terasa kering, tentu air laut sedang surut. Dan bila pasang, air laut di balik tembok mungkin sampai merendam dasar tembok, dan ia memastikan itu ketika telapak tangannya yang menyentuh tembok terasa lembap. Dua lubang angin di bawah plafon hanya bisa mengirim cahaya siang dan gelap malam sebagai penanda waktu baginya.
Telah berpuluh-puluh kali cahaya siang dan gelap malam silih berganti memperlihatkan diri lewat lubang angin itu. Suara debur ombak dan bau air laut membuat indra pendengar dan pengendusnya tetap bekerja dengan baik, tapi mulutnya terasa akan kebas karena sudah terlalu lama diam. Dan ia makin ingin bercakap-cakap dengan seseorang.
Ia mulai berpikir, akan lebih bagus bila ada temannya di dalam sel. Ia dapat mengobrol tentang ketamakan ikan besar itu, yang sangat rakus memakan semua hasil laut dari nelayan kecil, menghargainya dengan sangat murah setelah menjebaknya dengan beragam barang atau uang untuk diutang. Ia ingin pula bercerita pada teman satu selnya, bahwa perbuatan mencencang tubuh itu dengan parang pembelah ikan tuna, adalah upaya membebaskan keluarga dan warga kampungnya agar terlepas dari cengkeraman si ikan besar–atau si tauke, menurut hakim yang memalu vonisnya.
Ia makin kerap terjaga. Kelopak matanya makin sulit diajak terlelap. Merasa tak tahan lagi, akhirnya ia mulai suka memukul-mukul pintu selnya.
***
Telah empat kali sipir itu menanyainya, “Ada apa?” Dan ia selalu menjawab, “Saya mau teman satu sel.”
Awalnya sipir yang berdiri di luar pintu sel itu tertawa. “Kau pikir ini hotel, dengan sesukamu minta perempuan untuk kau temani tidur?”
“Saya tidak butuh teman tidur,” balasnya. “Saya mau teman berbincang.”
Sipir itu menggeleng. “Kau lupa, kalau kau itu sangat berbahaya? Bila ada teman satu selmu, suatu hari kau bisa saja menganggapnya ikan besar, lalu kau memotongnya.”
Ia mengguncang pintu sel. “Heh!” pekiknya. “Kau pikir di sini ada parang? Bahkan pisau pemotong kuku pun tidak ada!”
“Mungkin kau akan menggigitnya,” sipir itu mencibir. “Mungkin setelah kau mencekiknya terlebih dahulu.”
Ia marah. Makin sering pintu ia guncang, seraya berteriak, “Saya ingin teman satu sel. Saya ingin berbicang-bincang. Terus menerus diam akan membuat mulut saya tidak bisa lagi berfungsi. Saya bisa jadi bisu di sini!”
Para sipir mulai merasa terganggu. Di larut malam kadang ia berteriak, melolong, lalu bila lelah ia akan bercakap-cakap dengan dirinya.
***
Suatu hari, keinginannya terwujud. Pintu selnya terbuka. Beberapa orang sipir dengan tatap siaga melangkah masuk.
“Mulai hari ini, keinginanmu kami kabulkan,” kata salah seorang sipir. “Lama kami menunggu ada tahanan baru masuk, yang kami anggap cocok untuk menemanimu. Paling tidak, pertimbangan kami, yang tidak mungkin membahayakan jiwanya. Sekarang kau tidak akan sendiri lagi. Seorang tahanan baru kami antar untuk menjadi teman satu selmu. Agar kami juga tidak lagi kau ganggu dengan teriakan-teriakanmu.”
Sipir yang lain tertawa. “Kami tempatkan tahanan baru ini di sini, karena kami yakin kau tidak mungkin membahayakan dirinya. Kau tidak mungkin sampai hati melukainya, atau malah membunuhnya, seperti yang kau lakukan pada tauke ikan itu.”
Seorang sipir masuk membawa kotak kayu sebesar kotak obat. Sipir itu meletakkan kotak itu di sudut kamar. Setelah pintu sel berdebam menutup, ia masih terheran-heran. Teman satu selnya hanya dibaringkan dalam kotak sekecil itu? Dia teringat kotak serupa tergantung di ruang kerja si ikan besar, dengan tanda + berwarna merah terang di penutupnya.
Ia mencoba berpikir. Tubuh sekecil apa pun, tidak mungkin dapat termuat di dalam kotak itu. Atau di dalam kotak itu hanya ada seorang bayi? Kejahatan apa pula yang dapat dilakukan seorang bayi, kecuali menggigit puting susu ibunya? Ia tertawa dengan pikiran di kepalanya.
Ia mendekati kotak itu. Pikirannya mulai meliar: isi kotak ini pasti bom. Atau benda apa saja, yang pasti ditujukan untuk membahayakan dirinya. Mungkin ini cara sipir-sipir itu membungkam teriakannya.
***
Seharian ia terus menduga-duga apa isi kotak itu. Malamnya, ia merasa khawatir isi kotak itu akan keluar dan membahayakan dirinya. Di dalam selnya, tidak ada benda yang bisa ia pakai untuk membela diri, bila isi kotak itu tiba-tiba menyerangnya. Ia merasa sangat gelisah. Akhirnya ia meneriaki sipir ketika dilihatnya melintas di depan pintu selnya. “Hei, kenapa kotak itu disimpan di dalam sel saya?”
Sipir itu menoleh, menjawab tak acuh, “Bukankah kau sendiri yang meminta teman satu sel?”
“Saya tidak minta ditemani sebuah kotak,” ujarnya. “Atau … eh, jangan-jangan itu kiriman tauke bangsat itu, untuk mencelakakan saya?”
“Tauke itu telah mati.”
“Bisa saja dikirim keluarganya.”
Sipir lain datang mendekat mendengar keributan itu. Setelah temannya memberi penjelasan, sipir itu menatapnya.
“Di dalam kotak itu, ada tahanan. Statusnya juga terhukum seperti dirimu,” jelas sipir yang baru datang itu. “Dia bisa menemanimu berbincang-bincang. Bukankah itu permintaanmu?”
Ia menoleh menatap kotak kayu bercat putih bersih itu. Mendadak ia berpikir, tahanan di dalamnya tentu sangat ahli melipat tubuh, sehingga bisa muat di kotak sekecil itu.
“Apa yang telah ia lakukan?” katanya pada sipir, dengan mimik heran.
“Dia telah membuat kota ini terbakar. Ke mana-mana dia menyebar fitnah, memprovokasi orang-orang, kelompok-kelompok, agar marah dan saling menghujat. Orang-orang dibuat saling membenci, saling mencurigai, lalu saling mengintimidasi. Di mana-mana lalu terjadi perkelahian, terjadi tawuran, dan terjadi perusakan. Dia sangat berbahaya,” jelas sipir itu.
Sipir yang lain menambahkan, “Namun, percayalah, dia tidak akan membahayakan dirimu bila menjadi teman satu selmu. Kami pun yakin, kau tidak akan membahayakan dirinya. Makanya kami menempatkannya satu sel denganmu.”
“Kalian akan menjadi teman satu sel yang sepadan,” sipir itu menambahkan, seraya tersenyum masam. “Parang dan kata-kata, sama-sama telah memakan korban.”
Ia menoleh lagi ke kotak itu. Ia belum sepenuhnya paham. Mungkin lebih baik bila ia mengajak tahanan teman satu selnya itu mengobrol. Saling berbagi pengalaman, bagaimana parang dan kata-kata dapat melukai.
Digesernya kotak itu ke tengah kamar sel. Ia membuka penutupnya, lalu melongokkan kepala. Ia terpana. Isi kotak itu menggeliat, sudut-sudutnya tertarik ke atas seperti menyungging senyum.
Ia tidak ragu lagi. Isi kotak itu ia keluarkan, lalu diletakkan di atas telapak tangannya. Telapak tangannya terasa geli. Benda itu terus bergerak dan menggeliat, seakan meregang karena lama terkurung. Bahkan kemudian menyapanya, “Hai.”
Sejak saat itu, para sipir yang mondar-mandir di luar kamar selnya, mulai sering mendengarnya mengobrol. Ia mengobrol serius dengan teman satu selnya, yang cuma sebuah mulut. ***

Parepare, Mei 2017
Pangerang P Muda ialah guru SMK di Parepare. Cerpennya, Tanah Orang-Orang Hilang, menjadi nomine dan ikut dibukukan pada antologi cerpen pemenang Tamanfiksi.com (2016) dan Runduk Bahu Bapak dibukukan dalam antologi Komunitas Parepare Menulis (2017).

Kutipan Blue Romance

“Cinta terkadang hanya perkara waktu.” (hlm. 217)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:

  1. Kamu itu korban cinta tapi kok malah diminta mengalah? (hlm. 17)
  2. Untuk apa mempertahankan laki-laki yang hanya membuatmu sengsara? (hlm. 18)
  3. Keadaanmu yang menjadi jauh lebih baik setelah tak lagi bersamanya adalah cara balas dendam yang paling baik. (hlm. 18)
  4. Kenapa laki-laki bangkotan masih bisa digila-gilai perempuan? (hlm. 31)
  5. Kalau cowok macam Hamish, paham kenapa dia digila-gilai banyak cewek. Tapi, laki-laki macam om-om berperut buncit, kenapa masih banyak yang suka? (hlm. 32)
  6. Cowok mengontak mantanya kembali cuma dua kemungkinan; satu, ia sudah kembali jomblo, dan dua, cowok itu desperate tidak nemu cewek baru penggantinya. Lalu, cowok itu mengambil shortcut atau jalan pintas; kontak lagi aja mantannya, siapa tahu bisa diajak balikan. (hlm. 38)
  7. Dandan menor itu lebih memberikan kesan menggelikan alih-alih membikin tambah cantik. (hlm. 43)
  8. Menyingkirkan rasa sungkan karena tak kuat menahan rasa pedih patah hati. (hlm. 45)
  9. Manusia bertumbuh dewasa kudunya semakin ngerti tentang bagaimana menghargai perasaan manusia dewasa lainnya. (hlm. 45)
  10. Patah hati dari Hongkong? Punya pasangan aja enggak. (hlm. 90)
  11. Hanya cinta yang sanggup membuat orang bertindak bodoh. (hlm. 105)
  12. Segala bentuk tindak pemaksaan biasanya akan berhasil akhir kurang baik. (hlm. 139)
  13. Tidak ada manusia yang setia di muka bumi ini. (hlm. 148)
  14. Cinta, kenapa bisa menjadi sedemikian rumit jadinya? (hlm. 176)
  15. Ini bukan salah cinta. Hanya ujian bagi orang-orangnya, apakah mereka mampu bersetia. (hlm. 176)
  16. Segala niat baik akan percuma bila caranya salah. (hlm. 201)
  17. Apa sungguh tak apa-apa setelah membikin onar masih bisa menjalani hidup seperti biasanya? (hlm. 202)
  18. Kepercayaan itu ibarat seutas tali tipis. (hlm. 224)