Daftar Blog Saya

Selasa, 03 April 2018

Pertemuan di Gunung Tera Osaka

Cerpen Yusri Fajar (Jawa Pos, 01 April 2018)
Pertemuan di Gunung Tera Osaka ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Pertemuan di Gunung Tera Osaka ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
SURAT-SURAT dari Indonesia yang diterima Eksila terasa tajam seperti samurai yang siap menyayat dan mencincang tubuhnya. Isi surat-surat itu pada intinya sama, memintanya segera pulang. Jika ia menolak, ia akan diberi sanksi berat. Tapi semangatnya untuk kembali ke Indonesia telah berjatuhan seperti bunga sakura yang terpental ke tanah tanpa rerumputan kemudian lenyap diseret angin berdebu yang kencang.
Seharusnya Eksila pulang karena tugas belajarnya di Osaka telah selesai. Sebagai dosen di sebuah universitas di Jawa Timur, Eksila wajib kembali untuk mengajarkan ilmu yang telah ia dapatkan di Jepang, negeri yang pernah mengirim berbagai mimpi buruk ke tanah kelahirannya di zaman penjajahan. Jika Eksila bersikeras melepaskan tanggung jawab, ia terancam dipecat dengan tidak hormat. Namanya akan dikenang dosen yang menghilang di negeri orang.
Baik mereka yang mencibir dan menyayangi Eksila tak henti mengguncingkannya. Salah satunya Sujagad, lelaki muda berambut lurus dan bermata bening seperti telaga, yang juga mengabdikan diri sebagai dosen di universitas tempat Eksila mengajar. Setelah kepergian Eksila ke Osaka untuk meraih gelar doktor bidang teknologi pendidikan di Universitas Kyoiku, Sujagad beberapa kali mendengar kabar tentang Eksila yang memilih bertahan di sana. Bagi Sujagad, Eksila tetap menjadi perempuan yang dipujanya. Meskipun dulu Eksila pernah membuat remuk hatinya.
Sebagai lelaki yang kini memiliki tanggung jawab dan wewenang sebagai wakil dekan bidang kepegawaian di fakultas, Sujagad memanggul tugas untuk membujuk Eksila agar mau pulang. Waktu yang diberikan padanya hanya beberapa hari. Jika ia bisa meyakinkan Eksila untuk kembali ke kampus, ia pasti dipuji banyak orang. Sebelumnya tak seorang pun berhasil merayu Eksila. Tapi jika Sujagad juga gagal, ia akan dianggap sebagai pimpinan yang tak becus meluluhkan hati teman sekaligus bawahannya.
Pamor dan harga dirinya akan terlucuti. Dan jika Sujagad adalah lelaki Jepang yang teguh memegang tradisi harakiri, bisa jadi dia akan menghabisi hidupnya sendiri. Apa guna hidup bila dilumuri malu dan ditimpuki kegagalan.
***
Tiba di Bandara Kansai, Sujagad kemudian bergegas menuju Stasiun Shin-Imamiya dengan kereta Nankai Line. Tanpa memedulikan keletihan ia melanjutkan perjalanan ke Stasiun Dobutsuen Mae untuk check-in di Hotel Chuo Oasis yang terletak di Jalan Taishi-Nishinariku Tennoji. Setelah mengguyur lelah tubuh dengan air hangat, merebahkan badan sebentar dan berusaha menepis keraguan, Sujagad menghubungi Eksila. Ia sangat berharap bisa mendengar suara perempuan yang menjelang keberangkatannya ke Osaka cenderung menghindar darinya. Nada dering telepon terdengar, tapi Eksila tak mengangkatnya. Apakah Eksila tak mau menerima telepon darinya? Sujagad menekan nomor telepon Eksila lagi tapi tetap tak ada jawaban.
Setengah jam kemudian ia menghubungi Eksila. Terdengar suara lembut namun terdengar jauh. Ketika Eksila tahu Sujagad berada di Osaka, ia terkejut. Ia tak pernah memberikan nomor telepon kepadanya. Bagaimana Sujagad tahu, Eksila juga tak bisa menduga. Tak ada keinginan dalam dirinya untuk bertemu orang-orang kampus tempatnya dulu mengajar, termasuk Sujagad. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan, menghindar, bersembunyi bahkan lari sekencang mungkin. Dulu Eksila menolak pinangan Sujagad karena Eksila lebih memilih pergi ke Jepang untuk maraih gelar doktor. Sementara Sujagad tak mau menunggu lebih lama.
***
Siang muram. Pikiran Sujagad seperti bergoyang-goyang di atas gerbong kereta yang membawanya menuju Stasiun Osakakyoikudaimae. Ia berharap Eksila telah menantinya sesuai janjinya dalam telepon. Tapi ruang tunggu masih lengang. Tak ada orang lalu lalang di stasiun di pinggiran Osaka itu. Angin seperti berhembus dari puncak Gunung Tera ke lembah menyapu lorong-lorong ruang tunggu stasiun.
Seorang perempuan muda muncul di pintu ruang tunggu, berjalan sedikit terburu-buru. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu. Ia cantik, tubuhnya langsing, kulitnya bersih, dan rambutnya panjang terurai, mengenakan baju ketat bermotif bunga sakura. Mata perempuan itu berhenti pada satu titik. Dilihatnya Sujagad yang berdiri beberapa meter di hadapannya.
“Kau sudah lama menunggu? Maaf.”
“Belum lama, Eksila. Kau baik-baik saja?”
“Aku merasa lebih bahagia di sini. Kau terlihat kurus sekarang, Sujagad.”
“Banyak urusan kampus yang harus kuselesaikan.”
“Kau tak perlu terlalu mengorbankan dirimu untuk urusan kampus. Lama-lama kau lupa urusanmu sendiri.”
“Mengalir saja, menjalankan tugas. Termasuk datang ke sini menemuimu.”
“Kau benar-benar nekat.”
Eksila lalu mengajak Sujagad menuju Gunung Tera. Kampus Universitas Kyoiku terhampar di atasnya. Mereka melewati jembatan panjang yang menghubungkan Stasiun Osakakyoikudamae dengan lereng Gunung Tera. Kemudian mereka menaiki elevator cukup panjang di lereng bukit menuju puncak gunung. Sampai di kampus, Eksila dan Sujagad duduk di kursi kayu di depan Daini Shokudo. Mereka menghadap kolam yang di pinggirnya ditumbuhi bunga-bunga tsutsuji.
“Pasti pimpinan kampus yang memerintahkanmu. Percuma jika mereka mengutusmu untuk memintaku pulang. Aku akan tetap di sini,” kata Eksila dengan suara datar tapi tegas.
“Statusmu masih pegawai negeri. Masih terikat janji. Bukankah menjadi pegawai negeri adalah mimpimu sejak dulu?”
“Benar. Tidak hanya mimpiku, tapi juga mimpi kedua orang tuaku. Tetapi sekarang tidak lagi. Aku telah memutuskan melepas status pegawai negeriku,” kata Eksila dengan nada tinggi.
“Kau tak lagi mencintai Indonesia dan kampus kita?”
“Ini tak ada hubungannya dengan cinta tanah air.”
“Kau lebih mencintai Jepang, Eksila.”
“Aku merasa di sini menemukan kenyamanan.”
“Kau telah memilih lelaki Jepang?”
“Tidak. Aku tetap ingin menikah dengan lelaki Indonesia. Kau sendiri mengapa belum menikah?”
Sujagad terdiam sejenak, kemudian tersenyum dan sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Pimpinan dan teman-teman mengharapmu kembali.”
“Jangan merayuku. Aku telah memutuskan hidup di sini.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Aku tak akan pernah bisa mengembangkan diri di sana,” jawab Eksila dengan mata menerawang. Sebelumnya Eksila tak pernah bercerita masalahnya di kantor. Ia menyimpannya rapat-rapat.
“Mengapa?”
“Dulu aku berharap karirku berkembang di kampus kita. Tetapi di sana ada beberapa orang yang terus menghambat karirku. Mereka menfitnah aku sebagai dosen yang suka melawan atasan dan tak taat pada aturan. Berkas kenaikan pangkatku lenyap, tak ada kabar lagi setelah diajukan pada Pak Rakerso, pimpinan kita. Setiap ada peluang aku selalu disingkirkan.
Selain Pak Rakerso, kau tahu bukan masih ada orang lain yang terus berusaha menyingkirkanku karena aku bukan bagian dari gerbong dan bendera mereka. Kampus lembaga akademik, pusat para intelektual, bukan tempat menyingkirkan orang berdasarkan bendera dan latar organisasi.”
“Siapa orang itu?” tanya Sujagad penasaran.
“Rihati, rekan kerja kita yang tak pernah rela aku menjadi lebih baik dan memiliki prestasi lebih tinggi darinya.”
“Kau tak perlu menghiraukannya. Ia kini tidak lagi memiliki jabatan. Tak baik juga menyimpan dendam.”
“Tapi selama mereka masih di sana aku tak akan pernah tenang.”
Sujagad tertegun mendengar cerita Eksila. Rupanya masalah itu telah menjadi bara yang lama menjadi sekam dan siap terbakar.
“Kau ingat tujuh tahun silam ketika aku lolos seleksi untuk studi di Jepang. Tiba-tiba aku gagal berangkat. Padahal aku telah mempersiapkan mental dan bahan untuk menjadi kandidat doktor di Jepang. Tanpa alasan kuat dan mendasar tiba-tiba aku tidak diizinkan ke luar negeri oleh Pak Rakerso. Lalu sekarang buat apa aku pulang, buat apa aku terus-menerus melayani keculasan orang-orang seperti mereka yang menganggapku sebagai ancaman dan musuh bebuyutan dan harus dibuang?”
“Tapi bukan berarti kau harus lari menghindar. Mesti dihadapi. Jika tidak, kita akan terus diinjak-injak dan dianggap pecundang. Aku dan banyak teman akan mendukungmu.”
“Aku tidak lari. Aku hanya ingin membuktikan potensi dan karirku bisa berkembang di tempat lain. Bertahun-tahun aku menahan diri. Aku ingin menikmati hidup. Hidup yang tak bergantung pada orang-orang seperti Pak Rakerso dan Rihati. Iklim kampus kita lama-lama rusak. Suasana nyaman hilang. Kantor kita sudah mirip partai politik. Terlalu banyak intrik dan hiruk pikuk saling menjatuhkan.”
“Sekarang keadaannya sudah jauh berubah. Pak Rakerso terkena serangan stroke. Separo tubuhnya lumpuh. Ketika berbicara, bibir, tangan dan suaranya bergetar. Rihati menderita kanker dan perlahan tersingkir dengan sendirinya karena sepak terjangnya. Pulanglah, teman-teman menunggumu.”
“Aku telanjur mencintai Osaka dan orang-orang di sini lebih menghargaiku. Setelah menyelesaikan studi aku diterima bekerja di sini. Aku mendapat tugas mengajar mahasiswa asing dan bertanggung jawab mengurus kerja sama Universitas Kyoiku dengan berbagai universitas di Asia Tenggara. Pihak Universitas Kyoiku sangat membantuku dalam mengurus izin tinggal di Jepang.”
“Tapi bagaimanapun kau harus pulang. Kampus membutuhkan orang sepertimu.”
“Maaf. Aku tak bisa memenuhi harapanmu.”
“Kau akan diberhentikan dengan tidak hormat jika tak pulang.”
“Lebih baik membuka lembaran baru daripada bekerja di tempat yang tak memberi harapan. Mungkin bagimu keputusanku ini terlalu berani. Tapi aku sadar setiap keputusan pasti butuh keberanian dan pengorbanan,” Eksila menegaskan.
“Kau benar-benar akan tetap tinggal di sini?” tanya Sujagad berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Ya. Aku tak ingin kembali. Lebih baik tinggal di negeri orang sebagai pendatang tetapi dihargai dan dihormati. Daripada di negeri sendiri tetapi dibuang dan disingkirkan.”
***
Petang datang mengurung Gunung Tera. Eksila dan Sujagad meninggalkan tepian kolam, yang airnya terlihat muram terkurung kedatangan malam, menuju apartemen Eksila di kompleks gedung Ryuugakusei-no-ryou yang berada di atas Gunung Tera sebelah utara, tak jauh dari kampus Universitas Kyoiku.
Sujagad bisa melihat gemerlap cahaya lampu Kota Osaka dari kejauhan. Wajahnya masih terlihat tegang setelah mendengar keputusan Eksila. Tapi ia masih berharap hati Eksila luluh dan bersedia pulang bersamanya. Embusan angin dingin menusuk-nusuk pikiran Sujagad. Sesekali di telinganya terdengar suara, “Sujagad jangan menjadi pecundang. Kami menunggu kau dan Eksila pulang.”
Sujagad gusar dan tiba-tiba teringat kisah banyak lelaki Jepang yang lebih memutuskan mengakhiri hidupnya karena gagal membawa pulang kebahagiaan dan keberhasilan.
Berat rasanya bagi Sujagad untuk pulang ke Indonesia tanpa Eksila. Tapi berkali-kali Eksila menunjukkan pendiriannya yang membatu. Sujagad merasa harapannya untuk membujuk Eksila pulang telah berjatuhan seperti bunga-bunga sakura yang berserakan di samping apartemen Eksila.
Betapa rugi sebenarnya jika kampusnya kehilangan Eksila dan betapa hampa ruang hatinya jika Eksila benar-benar memutuskan menetap di Jepang. Sujagad memejamkan mata dan berusaha menahan pergolakan batinnya ketika Eksila merapatkan tubuhnya, menunjukkan pandangan hangat dan membisikkan suara lembut kepadanya, “Jika aku hari ini memutuskan pulang bersamamu, apakah kau percaya kampus kita akan bebas dari keculasan dan konflik kelompok yang mengorbankan cakrawala intelektual dan kebersamaan?”
Sujagad terdiam, dipandangnya mata Eksila dalam-dalam. ***

Yusri Fajar, dosen FIB UB Malang. Kumcernya, Surat dari Praha (2012), buku esainya, Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas (2017). Tahun 2012 mengikuti Konferensi Cultural Studies di Osaka, Jepang.

Abah Mengirimku ke Tempat Penantian

Cerpen Andre Haribawa (Media Indonesia, 01 April 2018)
Abah Mengirimku ke Tempat Penantian ilustrasi Media Indonesia
Abah Mengirimku ke Tempat Penantian ilustrasi Media Indonesia 
SEBULAN sebelum aku dibaptis, setiap sore Abah mengajariku doa syahadat. Waktu itu aku berumur enam tahun, dan masih kepayahan menghapalkannya.
Doanya seperti ini,
Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi …yang menderita sengsara. Dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan dimakamkan. Yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati. Yang naik ke surga…
Aku hanya sanggup menghapalkan sebagian isi doa itu, itupun kalimatnya terpotong-potong. Tapi, ada satu hal yang membuatku bertanya pada Abah, yang turun ke tempat penantian …. Apa itu tempat penantian?
Tempat penantian itu, tempat bagi orang-orang kudus, tempat menunggu orang-orang yang kita sayangi, kata Abah.
Tetap saja aku tak bisa membayangkan seperti apa itu tempat penantian. Mungkin setelah aku mati, aku akan mengetahuinya.
Iya, setelah aku mati. Dan sekarang sepertinya aku benar-benar sudah mati. Lantas, apakah ini yang disebut tempat penantian seperti yang dikatakan Abah?
Lihatlah telaga itu! Itu bukan telaga biasa. Kata para penghuni tempat ini, itu sumber air bagi jiwa orang-orang mati, jiwa-jiwa yang kudus. Telaga Renung, namanya. Letaknya di tengah-tengah pasren di bawah pohon ara. Airnya teramat jernih, berkilauan bak berlian. Sampai-sampai tak hanya bercermin, tapi aku juga bisa menilik masa lalu di telaga itu.
Hari ini, dan entah sudah berapa lama aku berada di pasren. Aku dikelilingi orang-orang berbalut sandang serba putih. Orang-orang itu tampak bersinar seperti kunang-kunang di tengah taman. Aku juga seperti mereka, bersinar. Hanya saja, ada satu hal yang masih mengganjal, sehingga aku tak dapat berbaur dengan orang-orang itu. Sesuatu yang mengganjal itu adalah … Abah.
“Gendis, sayang!” panggil seseorang bersuara lembut dari arah belakang. Suaranya membuatku terhenyak dari lamunan tentang Abah.
Aku menoleh, lalu perempuan itu berkata, “Kau tak usah risau, kau pun akan serupa mereka. Kau pasti akan mengerti … kegelisahanmu akan segera terlepas. Lalu, kau akan seperti kapas ringan yang melayang-layang.”
“Bagaimana caranya?”
Perempuan itu tersenyum, lalu duduk di atas batu di sampingku.
“Tengoklah kembali ke dalam telaga itu. Bayangkan apa yang ingin kau lihat di sana.”
Satu-satunya orang yang ingin kulihat saat ini adalah Abah. Tapi bagaimana mungkin?
Perlahan aku melongok ke dalam telaga. Dan heey… aku melihat Abah di sana! Tidak hanya Abah, di sana juga ada diriku yang lain.
***
Bayangan diriku yang lain.
“Kau tahu Nak, apa yang ajaib dari layang-layang ini?” tanya Abah.
“Entahlah, itu nampak seperti layang-layang biasa.”
Abah menarik tubuhku agar lebih merapat seraya berkata, “Tulislah harapanmu pada layang-layang ini, Nak!”
“Memangnya apa yang akan terjadi?”
“Kita akan menerbangkannya. Jika sampai besok pagi layang-layang ini masih berada di udara, itu artinya harapan kita akan terkabul.”
Senyum di bibirku seketika merekah, namun detik berikutnya meragu. “Tapi, bagaimana kalau layang-layangnya jatuh?”
Abah tertawa lirih.
“Gendis sayang, putri Abah yang cantik …” kata Abah. “Harapan itu akan selalu datang pada saatnya, asal kita tak pernah putus asa dan selalu berusaha. Jadi …”
“Jadi Gendis akan menerbangkan layang-layang ini besoknya lagi. Iya kan, Abah?”
“Anak pintar.”
Penuh semangat aku berlari ke dalam rumah dan mengambil spidol. Spidol itu berwarna merah menyala. Setelah kembali pada Abah, mulailah kutulis harapan-harapan di permukaan kertas layang-layang itu.
Aku tahu tulisanku jelek serupa cakar ayam, tapi aku yakin malaikat di sana akan membacanya.
“Apa yang kau tulis, Nak?”
“Abah … Gendis tidak ingin punya benjolan di kening. Rasanya sakit. Abah juga tidak suka kan, Gendis punya benjolan ini? Dan Gendis juga memohon pada malaikat untuk mengirimkan Emak kembali. Gendis ingin sekali bertemu Emak.”
Abah tak kuasa menahan rasa yang bergelut dalam dirinya. Iya, aku bisa merasakannya dari gurat wajah Abah yang terlihat murung. Bola mata Abah juga mendadak berkaca-kaca.
“Kenapa Abah menangis? Abah tak boleh bersedih.”
Segera dibilasnya air mata itu dengan senyum getir.
“Abah tidak menangis. Abah sangat senang melihat putri Abah begitu bersemangat.”
“Kalau begitu, Abah tak usah bersedih lagi.” Kupeluk Abah eraterat.
“Ayo cepat terbangkan layang-layang ini, Abah, Gendis sudah tidak sabar menunggu hingga besok pagi!”
Setelah layang-layang itu terbang di awang-awang, Abah mengikat tali pangkalnya pada sebuah pasak. Lantas pada malam harinya aku berdoa agar layang-layang tersebut tidak jatuh. Kemudian esok pagi saat aku terbangun, aku tidak akan lagi menemukan benjolan di keningku. Dan Emak … Emak akan segera pulang.
***
Aku menuliskan harapan-harapan itu karena aku sering diolok oleh teman-teman di sekolah.
“Gendis itu tumoran! Jangan dekat-dekat nanti ketularan!”
Ya, mereka tak salah. Aku memang tumoran. Itu sebabnya Abah selalu membiarkan poniku tidak dipotong supaya menutupi benjolan itu. Tapi sayangnya, benjolan itu selalu menyembul dari persembunyiannya. Alhasil, benjolan itu membuat anak-anak takut dan menjauhiku karena takut tertular. Padahal Bu Mumun, guru kelas kami selalu mengatakan benjolan di keningku tidak menular.
Pada hari pertama aku masuk sekolah, aku sedih. Tak satupun teman-temanku bersedia duduk sebangku. Aku dikucilkan, duduk sendirian di sudut kelas. Satu-satunya orang yang senantiasa menghiburku adalah Bu Mumun.
Sedangkan tentang Emak, aku hanya mengenal sosoknya dari cerita Abah.
Emak itu sangat cantik. Hati Emak seputih hati malaikat. Tuhan sangat sayang pada Emak, itulah sebabnya Tuhan ingin Emak tinggal di rumah-Nya, begitu kata Abah.
Malam itu …
“Abah, Gendis sudah menuliskan harapan agar Tuhan mengijinkan Emak pulang barang sebentar. Gendis ingin sekali bertemu Emak. Gendis tidak apa-apa seandainya Emak nanti pergi lagi,” ujarku polos pada Abah.
“Tenanglah, Nak. Emak pasti datang menemuimu. Sekarang Gendis harus minum obat sirop ini dulu ya, supaya keningmu tidak sakit lagi!”
Aku mengangguk, lalu meminum sirop itu dari sendok plastik di tangan Abah. Rasa sirop itu agak lain. Rasanya aneh. Pahit dan getir di mulut. Tidak seperti sirop yang selalu diberikan Abah ketika aku meriang, rasanya manis buah stroberi.
“Sekarang pejamkan matamu dan tidurlah!” pinta Abah.
Aku terbatuk-batuk sembari menatap Abah. Kedua bola mataku tiba-tiba terasa tertarik ke luar. Mendelik.
“Tidurlah, Nak!” ulang Abah.
Kurasakan tangannya yang sedikit kasar mengelus rambutku.
“A-bah … A-Abah!”
Aku berusaha mengatakan sesuatu pada Abah. Mulutku terasa panas. Napasku sesak. Tapi, kata-kata itu tak mampu kulontarkan. Tenggorokanku terasa terbakar, dan sekujur tubuhku mulai mengejang.
“Inilah yang terbaik untukmu putriku … maafkan Abah.”
Raut wajah Abah terlihat pilu. Abah menangis sesenggukan. Setetes demi setetes air mata Abah mengalir, jatuh di pipiku.
Aku tersentak bangun, mendelik ke arah Abah dan berusaha berteriak meminta pertolongan, tapi tak berdaya. Kurasakan cairan busa putih mengalir dari sudut bibirku.
Yang bisa dilakukan Abah hanya tersenyum getir. Sementara sebelah tangannya menahan tubuhku agar tetap berbaring.
Tubuhku meregang sebelum Abah membisikan kalimat terakhirnya.
“Tenanglah, Nak! Tidak apa-apa, ini hanya sebentar. Maafkan Abah ya, Nak, Abah hanya ayah pecundang yang tak mampu membahagiakanmu dan Emak. Abah begitu miskin, tak mampu membiayai persalinan Emakmu. Hingga Emakmu harus meregang nyawa di tangan dukun beranak. Abah juga tak mampu menyembuhkan tumor di keningmu. Abah terpaksa melakukan ini. Semoga Gendis cepat bertemu Emak di sana!”
***
Diriku yang kini telah mati.
Dari telaga aku melihat Abah berlutut, terisak di tepian amben di mana tubuh itu sudah tebujur kaku. Sekarang aku mengerti, dan aku tidak marah ataupun benci pada Abah. Apa yang telah dilakukan Abah adalah bukti rasa sayangnya padaku.
Kuraba benjolan di keningku.
Heey, sudah rata! Benjolan itu hilang. Abah memang tidak berbohong tentang layang-layang itu.
Dan perempuan berparas ayu yang berada di sampingku saat ini tak lain adalah …
“Betul, Nak, ini Emak! Kemarilah, Nak! Emak ingin sekali memelukmu erat-erat.”
Tanpa ragu kusambut dekapan tangan Emak. Aku tenggelam dalam pelukan hangat seorang Emak yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
“Maak …” Aku mendongak, “lalu bagaimana dengan Abah, Mak?”
“Jangan khawatir, Sayang, Abah pasti akan bersama kita di sini. Hanya saja perjalanan Abah sangat panjang, sebelum sampai ke tempat ini. Sesungguhnya Abah itu orang yang baik. Hanya saja saat ini Abah sedang tersesat, Abah menemui jalan buntu. Gendis yakin kan, Abah pasti akan menemukan kita?”
Aku mengangguk. Seperti yang dikatakan Emak sebelum beliau melihat ke dalam Telaga Renung, kini jiwaku terasa lebih damai, semua kekhawatiran telah lenyap. Tubuhku kini seringan kapas.
Yah, aku telah tinggal bersama Emak, sedangkan Abah… Abah akan tiba di tempat ini meski dalam waktu yang panjang. Tapi aku tak perlu risau, karena waktu panjang bagi  semua penghuni di pasren ini, terasa lebih cepat. Seperti halnya menanti terbitnya matahari dari ufuk timur.
Bersama Emak, aku meninggalkan Telaga Renung lalu berbaur bersama orang-orang kudus itu.
***

Cilacap, 30 Februari 2017
Sejumlah buku karya Andre Haribawa telah diterbitkan. Seperti kumpulan cerpen Valentine Phobia (2016), novel Long Distance Bride (2014), Terpikat sang Editor (2017) dan Until I Say Goodbye (2017).

2030

Cerpen A Zakky Zulhazmi (Kedaulatan Rakyat, 01 April 2018)
2030 ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
2030 ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
PRAM sedang membaca koran dengan headline ‘Negara Bubar 2030’. Ia membaca berita yang membosankan itu sampai ketiduran. Begitu bangun, Pram terhenyak, ia tiba-tiba telah berada di tahun 2030!
Pram mencuci muka lalu membuat kopi, mengambil dua lembar roti tawar, mengoleskan selai kacang dan menyantapnya. Pram menyalakan televisi. Sebuah stasiun televisi menayangkan siaran langsung pidato presiden. Pidato berisi keputusan resmi presiden untuk menjadikan agama A sebagai satu-satunya agama yang diakui negara. Mata Pram melotot hampir copot.
Pram membuka jendela. Ia melihat kota berwarna kelabu. Kapsul terbang hilir mudik. Alat transportasi itu tampaknya telah menggantikan motor, mobil dan kendaraan lain. Pram ternganga. Di sekeliling apartemennya kini hanya ada gedung dan gedung.
Tak tahu harus berbuat apa, Pram kembali menonton televisi. Ia terkaget-kaget saat televisi menayangkan siaran berita tentang seorang ilmuwan yang menemukan mesin detektor keimanan. Mesin itu tak hanya bisa memindai iman apa yang kita yakini, tapi juga mampu mengukur kadar keimanan.
Mesin detektor keimanan itu telah diproduksi massal untuk sukseskan program pemerintah menjadikan negara ini sebagai negara dengan agama tunggal. Mesin itu nantinya akan dipasang di sudut-sudut kota. Jika terdeteksi seseorang dengan keimanan selain kepada agama A maka ia akan segera ditangkap Pasukan Penegak Keimanan.
Pram berpikir keras. Ia tak bisa bayangkan jika mesin itu juga akan digunakan untuk seleksi penerimaan pegawai negeri. Hanya pegawai negeri dengan kadar keimanan tinggi yang akan diterima bekerja. Lebih jauh, Pram membayangkan mesin itu akan digunakan oleh para orangtua sebelum menikahkan anaknya. Hanya yang memiliki iman memadai yang akan diambil mantu. Sableng!
Di luar kamar tiba-tiba terdengar suara berisik. Pram memberanikan diri keluar kamar untuk melihat. Beberapa orang berkumpul depan lift.
“Robot-robot sedang memasang mesin detektor keimanan di tiap lantai. Berhati-hatilah jika kau tidak memeluk agama A, kau akan ditangkap Pasukan Penegak Keimanan.” kata seorang tetangga Pram. Bulu kuduk Pram meremang.
Pram lekas-lekas kembali ke kamar. Ia nyalakan televisi, mengusir gelisah. Televisi tayangkan iklan mesin pembuat puisi. Mesin itu tawarkan jasa membuat puisi. Siapapun bisa menumpahkan isi hatinya lewat mikrofon kecil di mesin itu. Lalu dalam beberapa menit mesin itu akan mengeluarkan kertas berisi puisi yang telah disesuaikan dengan isi hati penggunanya.
Pram tertawa keras-keras. Pram ingat, di “kehidupannya dulu” ia pernah menjadi redaktur puisi di sebuah koran. Setiap minggu Pram harus memilih satu penyair untuk dimuat puisinya di rubrik yang ia asuh. Pram tak menyangka di tahun 2030 ia akan menonton iklan mesin pembuat puisi di televisi. Ia menduga saat ini sudah tak ada lagi orang yang berprofesi sebagai penyair.
Pagi datang. Pram mendengar teriakan memilukan di kejauhan. Ia bangun dan membuka jendela, memeriksa apa yang terjadi. Tampak olehnya orang-orang dipaksa naik ke atas kapsul terbang ukuran jumbo. Di badan kapsul terbang terbaca tulisan Pasukan Penegak Keimanan. Pram bergidik ngeri. Ia membayangkan suatu saat ia akan diciduk oleh Pasukan Penegak Keimanan dan digelandang naik ke atas kapsul terbang.
Pram menyalakan televisi dan menemukan tayangan berita tentang bekerjanya mesin detektor keimanan dan pergerakan Pasukan Penegak Keimanan. Ternyata di mana-mana ada penangkapan. Beberapa orang dengan terang-terangan melawan pemerintah dengan membentuk Gerakan Keragaman.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar Pram diketuk. Ketukan kasar. Pram berdebar. Siapa itu? Apakah Pasukan Penegak Keimanan mendatanginya? Apakah ini saatnya? Lutut Pram lemas.

A Zakky Zulhazmi, lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Cerpen karyanya dimuat di beberapa media. Kumpulan cerpen Gula Kawung , Pohon Avokad dan cerpen lain (Surah, 2015). Mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Surakarta. Tinggal di Pucangan, Kartasura-Sukoharjo.