Daftar Blog Saya

Kamis, 01 Februari 2018

Tentang Sancho Panza, Renjana Bejana

Puisi-puisi Dedy Tri Riyadi (Koran Tempo, 27-28 Januari 2018)
Tentang Sancho Panza, Renjana Bejana ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Tentang Sancho Panza, Renjana Bejana ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

Tentang Sancho Panza


Sometimes the horse is a disaster
or the horse is time in a trot or a canter.
—Jaswinder Bolina, Portrait of the Horse

Ia, Sancho Panza.
Perkataan sederhana
dan kewarasan
yang menjagaimu
dari perasaan nyaman
berimajinasi.

“Pergilah,” usirmu,”sebab puisi
ini gila meski begitu murni,
sedang niatan Benengeli tentu
bukan sekadar kelakar komedi.”

Namun ia Sancho Panza,
yang pada petualangan
mengarung padang bahasa
setia mengiring langkah Rocinante,
dengan bagalnya.

“Setelah 3.300 kali melecut diri,” tantangnya,
“kematian bagiku hanya hilang denyut nadi.”

“Mati dan berbahagialah,” katanya lagi,
“dunia bisa segera lupa siapa Alonso Quijano,
tapi bakal kekal kisah kekasih Dulcinea.”

2017

Renjana Bejana


…tetapi kami hanya
seperti bejana tanah liat …
—petikan Surat Paulus yang kedua
kepada Jemaat di Korintus pasal 4 ayat 7

Menatap lubang lambungnya, ia merasa
tajam dan dingin tangan maut sudah lama
dicabut. Begitu pula dinding ratapan
& korban bakaran bisa disentuh dengan ringan –

ini semacam rindu pada surga beraroma
rumput & embun. Yang pada suatu pagi
ia dengar ada yang berseru;Hosea!
anakmu itu akan diberi nama Lo Ammi.

Dia yang tak akan pernah jadi milikku.

Namun, pada lingkar lukanya, ia sudah pasti
tak bisa seperti pohon. Menautkan waktu pada
perut dan meninggikan tajuk harapan ini:

“Jangan tergelincir licin glasir, tapi pahamilah
dan yakini – sejakmasuk tanur, tugasnya
tak kurang sekadar menghibur.”

2017


Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, Jawa Tengah. Sehari-hari bekerja sebagai pekerja iklan di Jakarta. Buku puisinya yang sudah diterbitkan antara lain Gelembung (2009), Liburan Puisi (2014), serta Petualangan Suara (2016).

Hilangnya Kata-kata, Abadi di Telapak Kaki, Tak (lagi) Menulis Puisi, dan Lainnya

Puisi-puisi Muhammad Irfan Ilmy (Media Indonesia, 28 Januari 2018)
Hilangnya Kata-kata, Abadi di Telapak Kaki, Tak (lagi) Menulis Puisi, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Hilangnya Kata-kata, Abadi di Telapak Kaki, Tak (lagi) Menulis Puisi, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Hilangnya Kata-Kata


kata-kata surut dalam sunyi ingatan
kalimat seperti apalagi yang hendak kutulis
sementara langit menyerap semua pikiran
pada detak hidupku
menimbunnya di gudang memori
yang lain

pernyataan matang dari amatanku
tak mungkin bisa disampaikan
lewat sajak-sajak mistis yang manis
sebab kau telah membawa
seluruh kewarasanku
dengan lari yang tak mungkin
terkejar lagi

Bumi Siliwangi, 2018

Abadi di Telapak Kaki


pagi-pagi sekali
aku ingin mengitari jari-jari
dan memasrahkan diri ke dalam tubuh
untuk berpindah dari bagian kanan
menuju tanganmu yang kiri
melintas di sana dalam gua-gua tulang
yang ngilu dan lugu
menerjang erangan darah
yang anyir mengalir
hingga bermuara di telapak kakimu
yang firdaus
tinggal di sana selama-lamanya

Negla, 18 Januari 2018

Tak (lagi) Menulis Puisi


aku sudah lupa berapakali tepatnya
kuulangulang membaca puisi
yang kau kirimkan tempo hari

kau tidak menulis puisi, lagi
bahkan aku tak mendengar kabarmu
sejak aku pergi
dan kamu juga berpindah rumah ke pulau
sebrang
padahal semua yang ada padamu, bagiku
sangat puitis
amat manis

laut adalah pemisah
bagi percakapan kecil kita
bahkan saking kecilnya, tahun-tahun
perjumpaan itu hanya
disesaki keterdiaman
saat itu, aku sungguh tak tahan

aku tak mampu memanggil seluruh ingatan,
tentang
seberapa banyak kita bertukar tanya dan
berganti jawab
hingga kini, laut benarbenar menelan semua
ingatanku,
entah ingatanmu
mungkin pula sama

kita menjadi dua orang asing yang saling tak
mampu memahami bahasa masingmasing

kepala kita dijejali desing bising kalimat tanya
tentang apa yang melengkinglengking di
dalam kepala

aku ingin membaca puisipuisimu, lagi
hingga jika kau memutuskan hubungan
dengannya
izinkan aku tetap membacamu, sebagai
puisi

Bandung, 8 Agustus 2017

Mempertanyakan Banyak Hal


angin punya desir, pantai punya pasir
dan kau, punya
segalanya

aku seorang fakir yang hanya terusmenerus
berfi kir
mengotakatik kebenaran yang selalu
kusangsikan
selalu kupertanyakan tentang
benar dan tidaknya

seperti apakah kau benar-benar mencintaiku
kekasih?

Bandung, Agustus 2017

Kamu Puisiku (2)


kamu adalah puisipuisi multiinterpretasi
bagaimana mungkin aku sempat
menerjemahkan puisi orang lain
untuk mengais makna, sementara puisi
di hadapanku pun tak ada habisnya
ditafsirkan?
kamu adalah mahakarya Tuhan
yang tak akan usai untuk kubaca

menguraikan maksudmaksud di tiap bait
dirimu
adalah pekerjaan sepanjang hidup
karena makin aku tahu apa yang tersembunyi
padamu,
pekerjaanku bukannya berkurang, justru kian
terbentang

sepanjang pandang yang ada hanyalah
hampar misteri
tentang kamu yang tak kupahami
kamu makin sulit kumengerti dan
berlipatlipat tak kukenali
aku hampirhampir putus asa mengetahui
dirimu
yang tak kunjung mampu kurangkum ke
dalam sebuah defi nisi

kamu tetap ruang yang menyimpan
lapisanlapisan arti
kamu serupa samudra yang dalamnya tak
terkira

izinkan aku menjadi satusatunya penyelam
yang mengambil mutiara dari dasar dirimu
aku saja, jangan ada penyelam lain

Bandung, 18 April 2017

Sulit Kugapai


dalam penantian yang harus dibayar nanar
pelukku, adalah tindak kosong,
hanya lolong
kau tak kunjung kugapai
alihalih kumiliki
hanya remuk redam
di ruang jumpa
yang tak kunjung padam

Cikondang, 8 Januari 2015

Sesekali Berpaling dari Hujan


langit mending mendung
agar kita tak ke luar rumah
dan banyak obrolan lahir di bawah atap
bertahan dan lama menetap

tembok tua rumah kita,
kursi dan meja di ruang tamu,
karpet tempat membaringkan badan,
kasur butut
yang tak lagi empuk,
dan televisi kado pernikahan
dari sahabat lama
biarkan mereka menyaksikan setiap jengkal
perbincangan
menguping tanpa pernah kita merasa risih
berharap ia mengabarkannya
ke anak cucu dan penerus-penerus
masa nanti, kekasih
tentang kemesraan kita selagi muda

hujan memang mempesona
tapi kita sangat sering berlari ke tengah hujan
dan sama-sama memasrahkan diri pada
basah
apakah kau tidak bosan, sayang?

kupikir, harus juga kita mengakrabkan diri
di dalam ruang relung, merenung
menghabisi resah yang tumpah

aku ingin kita sering berpelukan
saling menghangatkan tubuh
dari gigil yang berhasil
menyerang ujung pertahanan kita

Bandung, 11 Oktober 2017


Muhammad Irfan Ilmy, lahir di salah satu desa di Kab. Tasikmalaya. Ia bergiat di komunitas Biblio Forum dan anggota Forum Lingkar Pena Bandung. Tiap Sabtu sore berbagi kebahagiaan di Komunitas Belajar dan Bermain anak Planet Antariksa, Gegerarum-Gegerkalong Bandung. Puisinya terhimpun dalam buku Geometri Kata Antologi Puisi 3 Komunitas Sastra Bandung.

Patah Hati, Klangonan, Langgam Umur 52, dan Lainnya

Puisi-puisi Mardi Luhung (Jawa Pos, 28 Januari 2018)
52 ilustrasi Google
52 ilustrasi Google

Patah Hati

: di rumah gus minin giri

Memang, di hutan yang gelap, cahaya kunang-kunang
demikian kecil. Tapi meski kecil, ikutilah dengan rela.
Meski merangkak. Meski mengingsut. Dan meski
suara-suara yang ada memanggil-manggil. Seperti
panggilan yang menjadikan dadamu terhisap.
Keinginanmu terbetot. Sebab, sekali berbelok, kau
akan kesasar. Dan kami pun patah hati. Merindukan
kembalinya dirimu.

Gresik, 2017

Klangonan


Pada setapak dia membaca. Pada batu, tanah, rumput, dan tebing dia membaca. Dan pada semua benda yang ditemuinya dia membaca. Dan dia membaca dengan suara yang lembut. Selembut ricik sungai. Ricik sungai yang dulu melarungnya ke samudera. Dan disua si ibu dermawan yang punya kapal jangkung. Si ibu dermawan yang kerap berdoa:
“Jauhkanlah kami dari segala yang menggantung. Kecuali jika itu makin mendekatkan pada-Mu.” Doa yang kelak membuat gunung kapur menjelma jadi lawang agung. Dan pena kering yang dilempar menjelma jadi segerombolan tawon. Tawon yang mengusiri niat buruk yang ingin menyergap secara diam-diam atau sebaliknya.
Dia, dia, memang membaca pada semua benda yang ditemuinya. Seperti membaca pada kenangan lama yang dirindukan. Kenangan lama yang menyimpan aromanya. Aroma ketika dia masih hijau. Dan ketika masih menyukai teka-teki tentang bebuahan: belimbing, mengkudu, delima, dan sawo. Teka-teki yang meski rumit tapi gampang diterkanya.
Segampang dia ketika menghadapkan wajah ke arah kiblat. Sebab ingin selalu menatap sesuatu yang ajaib. Sesuatu yang pernah membuat sebatang palem berhikmat. Dan sekian batang pohon lain merunduk takzim. “Wahai, Sesuatu Yang Ajaib, biarkan aku sentuh ujung bayanganmu,” begitu yang ditukasnya berulang-ulang. Juga di setiap usai membaca Kitab Pembeda miliknya.

Gresik, 2017

Langgam Umur 52


Berdikit-dikit aku makin sepi. Makin sendiri. Dan percaya, jika aku mesti kembali ke masa kecil. Ke tempat dulu aku berada di teras rumah pecinan. Membaca komik. Dan merasa, jika jalan di depan rumah akan menuju ke padang rumput hijau. Dengan sebentang sungai jernih di pinggirannya. Juga dengan sepasang kupu-kupu sebesar piring yang riang beterbangan. Kupu-kupu berwarna kuning berbintik merah. Kupu-kupu, yang jika senja turun, akan menjelma jadi sepasang kunang-kunang. Yang juga sebesar piring. Dan malamnya, sepasang kunang-kunang yang sebesar piring pun mengikut ke mana saja aku bergerak. Jadinya, jika kau lihat dari jauh, aku seperti anak mambang yang punya mata tambahan yang sebesar piring menyala yang melayang. Anak mambang yang berjalan, berlari, dan berlompatan. Anak mambang, yang jika mengantuk, pun langsung menggelosor. Dan besoknya, tahu-tahu sudah di ranjang. Ranjang masa kecil. Ranjang, yang ketika aku sentuh di umur 52 ini, terlihat berkarat. Dingin. Dengan kasur yang mengeras. Tapi, aku merasa. Di ranjang itu, aku masih menitipkan sebagian badanku. Badan yang lengket. Badan yang tersenyum saat aku tepuk. Lalu menimpal: “Pada akhirnya memang begini. Kita terbelah. Dan selalu ingin disambung.”

Gresik, 2017

Tugu


Aku memanggilmu. Meski tahu suaraku tak akan sampai. Cuma jadi gaung. Gaung yang didengar oleh setiap yang menyeberangi sungai. Dan menyangka, jika itu adalah deheman hantu yang berdiam di tempat yang jauh. Hantu yang pernah disekap di dalam guci. Lalu dilepas oleh si pengelana. Hantu yang ingin menyamarkan semua sumur di hutan. Hutan, tempat si raja pilihan mengasah ilmu membidik, menunggang, dan mengucapnya. Dan si raja pilihan, yang ketika memasuki ujian akhir, menukas: “Kini, aku bukan lagi yang dulu atau nanti. Aku adalah yang pergi, juga sekaligus yang datang.”
Sekali lagi aku memanggilmu. Meski sekali lagi, tahu suaraku tak akan sampai. Dan kembali cuma jadi gaung. Gaung yang mengitari si raja pilihan ketika kembali ke singgasananya. Dan menyadari, jika kepala-kepala yang ada di dekatnya adalah kepala-kepala yang dulu pernah ditemuinya di hutan. Kepala-kepala yang berbulu, bertaring, dan bermoncong. Kepala-kepala yang setiap melengos, setiap itu pula, pintu-pintu tertutup. Lampu-lampu kedap-kedip. Dan ketika lubang-lubang yang ada ditelusupi kunci-kunci. Terus diputar bersamaan. Tak dapat dibuka. Meski dipaksa berulang-ulang. Berulang-ulang.

Gresik, 2017


Mardi Luhung, lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010), Jarum, Musim dan Baskom (2015), Teras Mardi (2015), serta Cum cum Pergi ke Akhirat (2017). Sementara itu, kumpulan cerpen pertamanya berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).

Rumah Tanpa Jendela

Cerpen Syahril Sugianto (Pikiran Rakyat, 28 Januari 2018)
My Intuition ilustrasi Fahrul Satria - Pikiran Rakyat.jpg
My Intuition ilustrasi Fahrul Satria/Pikiran Rakyat
LALU ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa. Kembali aku tertegun saat cahaya masuk melalui lubang pintu dan meninggalkan garis cahaya dengan debu-debu yang beterbangan, pada saat yang sama cahaya berhasil sedikit masuk dari bawah celah antara pintu dan lantai. Tinggal di rumah ini membuatku sedikit gila. Rumah kayu tanpa sekat, hanya kamar mandi yang diberi sekat dan pintu, juga sebuah meja dan kursi buatan tangan yang keropos dan rumah busuk tanpa jendela.
***
SAAT aku mulai tertekan aku selalu mengintip keluar lewat lubang kunci. Melihat bunga yang kata Ayah namanya bunga matahari, mengikuti gerak bunga matahari yang berayun disapa angin dan gerakannya yang selalu menguntit matahari. Kurasa itulah yang menjadi dasar penamaan bunga ini.
Oh yah, soal Ayahku, aku tak pernah melihatnya hampir sebulan ini. Mungkin ia datang setelah aku tidur, lalu pergi bekerja setelah menyiapkan makan sebelum aku bangun, mungkin. Satu yang pasti selama ini Ayahku tak pernah membiarkan aku keluar, tak tahu karena apa, entah.
Tapi aku ingin keluar menyapa bunga matahari, lalu bersama-sama pergi mengikuti arah cahaya dan tak pernah kembali. Kupikir tak ada jalan keluar dari sini, pintu ini selalu dikunci. Tapi aku ingin melihat dunia, meski lewat jendela. Kuputuskan untuk mengambil spidol lalu menggambar jendela dengan gambar bunga matahari di tembok samping pintu. Setelah gambar selesai, aku masih ingin keluar.
***
AKU masih ingin keluar, ini jam sembilan malam dan aku akan bicara pada Ayah, aku akan menunggunya pulang. Sudah tiga jam berlalu mungkin ia tak tahu jalan pulang dan tersesat di jalan, atau ia telah pergi bersama hilangnya cahaya dimakan malam. Waktu makin buatku mengantuk. Aku tertidur.
Praaaang!
Suara piring jatuh membangunkanku, saat itu berdiri seorang perempuan menata makanan di atas meja.
“Siapa kau?”
Ia langsung pergi menembus pintu, kulihat dari lubang kunci kalau orang itu sedang berdiri lalu ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa.
Sepertinya mataku menipu, atau ini hanya mimpi yang jika aku merasa ingin pipis aku akan terbangun. Tapi kabar buruknya ini bukan mimpi. Sial! Aku takut, otot leherku menegang, apa yang harus kulakukan. Mati? Aku hanya perlu setetes keberanian lagi untuk itu dan dengan itu aku dapat terbang mengikuti cahaya seperti bunga matahari. Tapi itu bukan jawaban, kupukul wajahku sendiri agar pikiran bunuh diri tak merasuk lagu dalam kepalaku.
***
INI siang hari dan aku belum makan apa pun, dan aku tidak mungkin memakan apa yang sosok itu taruh di atas meja. Aku hanya bisa tertegun, mungkin hanya itu yang kubisa dan satu-satunya keahlian yang kupunya. Saat tertegun aku berpikir berarti yang menyiapkan makanan untukku makan selama sebulan ini adalah sosok itu, dengan memikirkannya perutku tiba-tiba terasa panas. Tetapi kenapa dia menyiapkan makanan untukku? Di mana Ayahku yang berarti satu bulan ini ia tak pernah pulang? Aku harus menemui sosok itu lagi dan memuntahkan segala pertanyaan di otakku.
Sekarang tengah malam dan aku menanti sosok itu, mungkin ia takut dan takkan kembali lagi, pikirku. Satu menit kemudian ia benar-benar datang dengan menembus pintu dan membawa makanan di tangannya.
“Siapa kau?”
“Mau apa kau ke sini?”
“Sekarang di mana Ayahku?”
Dari raut wajahnya aku tahu dia tak punya niat untuk menjawab pertanyaanku. Setelah menyimpan makanan di atas meja, ia berjalan menuju pintu.
“Berhenti bodoh!” kuberlari sambil memegang tangannya.
“Aaaaahhhh…” ia berteriak tanda kesakitan.
Tangannya yang kupegang menimbulkan luka seperti luka bakar, makhluk macam apa dia? Berarti dengan memegang seluruh tubuhnya aku dapat membunuhnya.
“Tunggu jika kau ingin mengetahui jawaban dari semua jawaban itu tunggulah sampai jam sembilan pagi, akan aku buka pintu rumahmu agar kau mengetahui jawabannya.”
Aku pun mengangguk setuju. Setelah itu ia pergi menembus pintu lalu ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa.
Mungkin sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak, tapi otakku selalu berspekulasi tentang apa yang akan terjadi esok pagi. Sial! Hanya saat ini kurasa jarum jam malas untuk bergerak seperti seorang pekerja yang mengetahui gajinya bulan ini akan telat dibayarkan.
Aku bangun, setelah akhirnya dapat tertidur karena terlalu lelah menanti waktu. Lima menit lagi dan segala pertanyaan yang berkumpul di kepalaku akan terjawab. Aku harus menyiapkan hatiku sembari berdiri di depan pintu.
Klik!
Perlahan pintu terbuka, mataku silau karena tak pernah menerima cahaya sebanyak ini sebelumnya. Aku buru-buru keluar dan kudapat Ayahku telah mati tergeletak, posisinya tepat pada tembok yang kugambar jendela di sisi dalam rumah. Dan mungkin sosok itu adalah makhluk yang diutus langit untuk menjagaku setelah Ayahku tiada. Kesedihan mendera setiap sel dalam tubuhku, kesedihan menggerogoti setiap inci dari tubuhku. Oh, andai saja sebulan yang lalu rumahku punya jendela. ***

Bandung, 30 Agustus 2017

Radio Bapak

Cerpen Rifat Khan (Padang Ekspres, 28 Januari 2018)
Radio Bapak ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Radio Bapak ilustrasi Orta/Padang Ekspres
BAPAK hanya lulusan SD, tak bisa membaca dan hanya bisa berhitung. Umurnya kini sudah 60 tahun. Setiap pagi Bapak duduk di beranda belakang rumah, menatap daun-daun kemangi. Daun yang harumnya akan sampai ke penciuman Bapak jika angin berhembus sedikit kencang. Biasanya adik perempuanku, Minah, akan datang menyuguhkan teh hangat untuk Bapak.
Tapi pagi ini Bapak menolak, gula darahnya agak tinggi. Bapak bicara pelan dan mengisyaratkan Minah untuk balik membawa teh itu. Minah pun dengan tersenyum membawa kembali segelas teh tadi ke meja dapur.
Sehabis meletakkan segelas teh itu, Minah kembali mendekati Bapak yang masih duduk seperti merenung. “Bapak baik-baik saja kan?” Minah bicara selepas duduk di kursi kayu samping bapak. Bapak hanya tersenyum. Sesaat Ia menatap jauh.
“Hanya sedikit pusing. Pusing biasa. Cuma tadi pagi Bapak cek gula darah dan agak tinggi,” Bapak menerawang jauh. Minah pun hanya terdiam menatap Bapak. Bapak biasa melakukan cek gula darah sendiri. Alat itu dibelikan oleh Alif, kakak lelakiku.
“Bapak yakin gak perlu kontrol ke dokter?” Minah mencoba memberi saran. Bapak hanya geleng-geleng. “Nggak perlu Minah, ntar juga denger radio, pusingnya hilang.” Bapak tersenyum dan meyakinkan Minah bahwa kondisinya baik-baik saja. “Kalo kolesterolnya berapa Pak?” Minah kembali bertanya. Aroma daun kemangi semakin menyeruak, sebab angin bertiup lebih kencang.
“Sudah normal. Pegal yang kemarin di leher Bapak sudah agak ringan,” Bapak menjawab dengan tenang. Sesaat Ia bersiul kecil saat dua burung hinggap di dahan mangga. Ada satu pohon mangga di belakang rumah, umur pohon itu sudah dua puluh tahun, sama seperti umur radio kesayangan Bapak. Begitu yang sering Bapak bilang. Pohon mangga dan radio itu sudah banyak menjadi saksi peristiwa di rumah ini. Mulai dari saat mendiang Ibu wafat sore hari saat adzan berkumandang dari musholla Baiturrahman. Juga peristiwa ketika Bapak memutuskan berhenti jualan sebab bangkrut.
Minah mengangguk, dan mohon pamit ke Bapak untuk kembali ke dapur mencuci piring. Belum sempurna Minah beranjak dari duduknya. Bapak bicara lagi.
“Bisa ambilkan radio kecil Bapak di samping ranjang!”
Minah mengangguk lagi dan segera ke kamar Bapak mengambil radio berukuran kecil itu. Bapak tak biasanya mendengarkan radio di beranda belakang. Biasanya sehabis duduk di beranda, sekitar jam 8 pagi Bapak akan masuk kamar dan mendengarkan radio. Radio Bapak akan terus berbunyi sampai menjelang adzan Zuhur. Kemudian Bapak sholat, makan siang dan masuk lagi ke kamar mendengarkan radio kesayangannya.
Tapi pagi ini Bapak ingin mendengar radio di beranda. Sesaat suara radio terdengar, sebuah lagu dangdut lawas yang penyanyinya sudah almarhum. Bapak terlihat khusuk mendengar lagu dangdut itu. Kepalanya sesekali mengangguk-angguk mengikuti irama itu. Gerimis tampak turun. Burung-burung beranjak mencari tempat berteduh. Bapak masih diam saja di Beranda. Aroma kemangi menembus ruang tengah rumah ini.
Aku ingat beberapa kisah tentang Radio Bapak dan apa yang sering Bapak bilang. Yang pertama kisah ketika aku pulang sekolah dan mencari makan di dapur. Aku tak memperhatikan Radio Bapak di pinggir meja makan. Aku tergesa sebab lapar dan tanpa sengaja menyenggol radio itu sampai jatuh. Antena-nya patah. Bapak marah bukan main. Satu jam Ia ngomel tak karuan sambil terus mengutak-atik radionya. Besoknya, Bapak bawa ke tukang servis. Si tukang servis menyarankan Bapak untuk beli radio baru saja. Bapak marah. Bapak mengambil radionya dan membawanya ke tukang servis lain. Lusa, radio itu kembali normal. Bapak tak keberatan saat tukang servis itu meminta bayaran yang lebih mahal dari harga radio itu sendiri.
Sejak kejadian itu Bapak menaruh radionya di kamar, tempat yang paling aman menurutnya. Bapak bilang, lewat radio itu Ia banyak belajar. Mulai tentang obat-obatan herbal untuk mengurangi penyakitnya, juga tentang berita politik di daerah. Bapak tau semuanya, meski hampir setahun terakhir Bapak tak pernah keluar rumah sebab kondisi tubuhnya semakin lemah saja.
“Han, radio ini adalah kehidupan. Radio ini banyak merekam peristiwa bersejarah. Bapak tidak tau musti ngapain jika saja radio ini tak ada. Dua puluh tahun radio ini setia menemani Bapak. Kau lihat Han, suara radio ini sangat bersih, meski cuaca apapun, saat badai sekali pun. Saat hujan lebat, angin kencang, suaranya tetap jernih Han”
Pernah Bapak bilang begitu, beberapa waktu lalu saat aku duduk di samping ranjangnya usai memberinya minum obat. Saat itu aku meminta Bapak mematikan radionya, namun Bapak malah ngomong panjang lebar. Omongannya terus memuji-muji radio kesayangannya itu.
Memang benar, radio Bapak gak ada matinya. Sejak aku kelas 1 SD dulu, suaranya tetap jernih, aku semasa kecil sering mendengar lagu India lewat radio itu. Pernah suatu hari, akibat letusan asap gunung agung, cuaca teramat buruk, bahkan sinyal HP sama sekali tak ada, namun radio Bapak suaranya tetap bening dan lantang. Bapak manggut-manggut, “kau dengar sendiri kan Han, radio Bapak tetap jernih” Kembali Bapak memuji-muji radionya.
***
Gerimis masih turun, Bapak masih duduk di beranda belakang. Suara radionya terdengar lantang. Kali ini yang terdengar adalah lagu Barat. Sebuah lagu tentang pertemuan dan kenangan di Tokyo. Bapak suka lagu itu, Ia bisa melantunkan iramanya meski tak akan pernah bisa liriknya. Aku mengintip Bapak dari ruang tengah. Minah yang duduk di sampingku pun tersenyum melihat gelagat Bapak. Bapak bersiul mengikuti irama lagu itu. Sesekali kepalanya digerakkan mengikuti irama. Kami terpingkal-pingkal tanpa sepengetahuan Bapak. Lima menit lagi azan Zuhur akan berkumandang, biasanya bapak akan mematikan radio dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu’.
“Bapak sepertinya keasyikan tuh, sampai lupa bentar lagi adzan,” Minah berbicara sambil menuangkan teh untukku.
“Biarkan saja. Bapak bahagia dengan kesendiriannya,” Aku menjawab Minah, mataku tetap memperhatikan gelagat Bapak. Bapak bersandar pada korsi kayu tua, mulutnya terus bersiul-siul. Tiba-tiba terdengar memutar tombol untuk mencari saluran lain. Terdengar lagi suara nyanyian pop lama, tembang miliknya Poppy Mercuri. Tangan Bapak berhenti memutar tombol radionya. Sesaat Bapak termenung, sepertinya khusuk mendengar lagu tadi. Minah masih saja tersenyum. Teh hangat aku seruput sebentar. Adzan terdengar menggema dari musholla Baiturrahman.
Bapak masih bersandar, diam. Minah beranjak dan berjalan pelan mendekati Bapak. Sepertinya Bapak ketiduran. Minah memegang pundaknya, menyebut namanya dua kali. Namun tak ada respon. Suara lagu pop tadi tiba-tiba mengabur, berganti suara gelombang angin yang cukup besar. Sepertinya sinyal tak ada, dan ini kali pertama aku mendengar suara radio Bapak hanya suara angin. Minah menggerakkan pundak bapak beberapa kali. Namun tak pernah ada jawaban. Aku pun berjalan mendekati Bapak. Aku memanggilnya berulang, memegang pundaknya dan mendekatkan wajahku di wajah Bapak. Tetap tak ada jawaban. Suara gelombang angin semakin besar. Ribut.
Mata Bapak tetap saja terpejam. Kami berdua terus memanggil sembari menggerak-gerakkan badannya. Tak ada respon sama sekali. Minah menangis, pikirannya mulai tak karuan. Sampai Ia teriak menyebut nama Bapak, Bapak hanya diam saja kaku.
***
Aku tak menyangka, Bapak pergi selamalamanya, menyisakan tangis kesedihan bagi kami yang menyayanginya. Sampai sekarang, radio Bapak masih terpajang di ruang tamu. Tiap kali aku nyalakan, hanya terdengar suara gelombang angin. (***)

Majidi, Januari 2018
Rifat Khan. Lahir di Pancor NTB pada tanggal 24 April 1985. Beberapa karyanya dimuat Metro Riau, Majalah Cempaka, Suara NTB, Radar Surabaya, Harian Waktu, Lombok Post, Harian Rakyat Sumbar, Satelit Post, Bali Pos, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Riau Pos dan Republika. Bermukim di NTB dan bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.