Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Puisi-puisi Dedy Tri Riyadi (Koran Tempo, 27-28 Januari 2018) Tentang Sancho Panza, Renjana Bejana ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Tentang Sancho Panza
Sometimes the horse is a disaster or the horse is time in a trot or a canter. —Jaswinder Bolina, Portrait of the Horse
Ia, Sancho Panza.
Perkataan sederhana
dan kewarasan
yang menjagaimu
dari perasaan nyaman
berimajinasi.
“Pergilah,” usirmu,”sebab puisi
ini gila meski begitu murni,
sedang niatan Benengeli tentu
bukan sekadar kelakar komedi.”
Namun ia Sancho Panza,
yang pada petualangan
mengarung padang bahasa
setia mengiring langkah Rocinante,
dengan bagalnya.
“Setelah 3.300 kali melecut diri,” tantangnya,
“kematian bagiku hanya hilang denyut nadi.”
“Mati dan berbahagialah,” katanya lagi,
“dunia bisa segera lupa siapa Alonso Quijano,
tapi bakal kekal kisah kekasih Dulcinea.”
2017
Renjana Bejana
…tetapi kami hanya seperti bejana tanah liat … —petikan Surat Paulus yang kedua kepada Jemaat di Korintus pasal 4 ayat 7
Menatap lubang lambungnya, ia merasa
tajam dan dingin tangan maut sudah lama
dicabut. Begitu pula dinding ratapan
& korban bakaran bisa disentuh dengan ringan –
ini semacam rindu pada surga beraroma
rumput & embun. Yang pada suatu pagi
ia dengar ada yang berseru;Hosea!
anakmu itu akan diberi nama Lo Ammi.
Dia yang tak akan pernah jadi milikku.
Namun, pada lingkar lukanya, ia sudah pasti
tak bisa seperti pohon. Menautkan waktu pada
perut dan meninggikan tajuk harapan ini:
“Jangan tergelincir licin glasir, tapi pahamilah
dan yakini – sejakmasuk tanur, tugasnya
tak kurang sekadar menghibur.”
2017
Dedy Tri Riyadi lahir di
Tegal, Jawa Tengah. Sehari-hari bekerja sebagai pekerja iklan di
Jakarta. Buku puisinya yang sudah diterbitkan antara lain Gelembung (2009), Liburan Puisi (2014), serta Petualangan Suara (2016).
Puisi-puisi Muhammad Irfan Ilmy (Media Indonesia, 28 Januari 2018) Hilangnya Kata-kata, Abadi di Telapak Kaki, Tak (lagi) Menulis Puisi, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Hilangnya Kata-Kata
kata-kata surut dalam sunyi ingatan
kalimat seperti apalagi yang hendak kutulis
sementara langit menyerap semua pikiran
pada detak hidupku
menimbunnya di gudang memori
yang lain
pernyataan matang dari amatanku
tak mungkin bisa disampaikan
lewat sajak-sajak mistis yang manis
sebab kau telah membawa
seluruh kewarasanku
dengan lari yang tak mungkin
terkejar lagi
Bumi Siliwangi, 2018
Abadi di Telapak Kaki
pagi-pagi sekali
aku ingin mengitari jari-jari
dan memasrahkan diri ke dalam tubuh
untuk berpindah dari bagian kanan
menuju tanganmu yang kiri
melintas di sana dalam gua-gua tulang
yang ngilu dan lugu
menerjang erangan darah
yang anyir mengalir
hingga bermuara di telapak kakimu
yang firdaus
tinggal di sana selama-lamanya
Negla, 18 Januari 2018
Tak (lagi) Menulis Puisi
aku sudah lupa berapakali tepatnya
kuulangulang membaca puisi
yang kau kirimkan tempo hari
kau tidak menulis puisi, lagi
bahkan aku tak mendengar kabarmu
sejak aku pergi
dan kamu juga berpindah rumah ke pulau
sebrang
padahal semua yang ada padamu, bagiku
sangat puitis
amat manis
laut adalah pemisah
bagi percakapan kecil kita
bahkan saking kecilnya, tahun-tahun
perjumpaan itu hanya
disesaki keterdiaman
saat itu, aku sungguh tak tahan
aku tak mampu memanggil seluruh ingatan,
tentang
seberapa banyak kita bertukar tanya dan
berganti jawab
hingga kini, laut benarbenar menelan semua
ingatanku,
entah ingatanmu
mungkin pula sama
kita menjadi dua orang asing yang saling tak
mampu memahami bahasa masingmasing
kepala kita dijejali desing bising kalimat tanya
tentang apa yang melengkinglengking di
dalam kepala
aku ingin membaca puisipuisimu, lagi
hingga jika kau memutuskan hubungan
dengannya
izinkan aku tetap membacamu, sebagai
puisi
Bandung, 8 Agustus 2017
Mempertanyakan Banyak Hal
angin punya desir, pantai punya pasir
dan kau, punya
segalanya
aku seorang fakir yang hanya terusmenerus
berfi kir
mengotakatik kebenaran yang selalu
kusangsikan
selalu kupertanyakan tentang
benar dan tidaknya
seperti apakah kau benar-benar mencintaiku
kekasih?
Bandung, Agustus 2017
Kamu Puisiku (2)
kamu adalah puisipuisi multiinterpretasi
bagaimana mungkin aku sempat
menerjemahkan puisi orang lain
untuk mengais makna, sementara puisi
di hadapanku pun tak ada habisnya
ditafsirkan?
kamu adalah mahakarya Tuhan
yang tak akan usai untuk kubaca
menguraikan maksudmaksud di tiap bait
dirimu
adalah pekerjaan sepanjang hidup
karena makin aku tahu apa yang tersembunyi
padamu,
pekerjaanku bukannya berkurang, justru kian
terbentang
sepanjang pandang yang ada hanyalah
hampar misteri
tentang kamu yang tak kupahami
kamu makin sulit kumengerti dan
berlipatlipat tak kukenali
aku hampirhampir putus asa mengetahui
dirimu
yang tak kunjung mampu kurangkum ke
dalam sebuah defi nisi
kamu tetap ruang yang menyimpan
lapisanlapisan arti
kamu serupa samudra yang dalamnya tak
terkira
izinkan aku menjadi satusatunya penyelam
yang mengambil mutiara dari dasar dirimu
aku saja, jangan ada penyelam lain
Bandung, 18 April 2017
Sulit Kugapai
dalam penantian yang harus dibayar nanar
pelukku, adalah tindak kosong,
hanya lolong
kau tak kunjung kugapai
alihalih kumiliki
hanya remuk redam
di ruang jumpa
yang tak kunjung padam
Cikondang, 8 Januari 2015
Sesekali Berpaling dari Hujan
langit mending mendung
agar kita tak ke luar rumah
dan banyak obrolan lahir di bawah atap
bertahan dan lama menetap
tembok tua rumah kita,
kursi dan meja di ruang tamu,
karpet tempat membaringkan badan,
kasur butut
yang tak lagi empuk,
dan televisi kado pernikahan
dari sahabat lama
biarkan mereka menyaksikan setiap jengkal
perbincangan
menguping tanpa pernah kita merasa risih
berharap ia mengabarkannya
ke anak cucu dan penerus-penerus
masa nanti, kekasih
tentang kemesraan kita selagi muda
hujan memang mempesona
tapi kita sangat sering berlari ke tengah hujan
dan sama-sama memasrahkan diri pada
basah
apakah kau tidak bosan, sayang?
kupikir, harus juga kita mengakrabkan diri
di dalam ruang relung, merenung
menghabisi resah yang tumpah
aku ingin kita sering berpelukan
saling menghangatkan tubuh
dari gigil yang berhasil
menyerang ujung pertahanan kita
Bandung, 11 Oktober 2017
Muhammad Irfan Ilmy, lahir
di salah satu desa di Kab. Tasikmalaya. Ia bergiat di komunitas Biblio
Forum dan anggota Forum Lingkar Pena Bandung. Tiap Sabtu sore berbagi
kebahagiaan di Komunitas Belajar dan Bermain anak Planet Antariksa,
Gegerarum-Gegerkalong Bandung. Puisinya terhimpun dalam buku Geometri Kata Antologi Puisi 3 Komunitas Sastra Bandung.
Puisi-puisi Mardi Luhung (Jawa Pos, 28 Januari 2018) 52 ilustrasi Google
Patah Hati
: di rumah gus minin giri
Memang, di hutan yang gelap, cahaya kunang-kunang
demikian kecil. Tapi meski kecil, ikutilah dengan rela.
Meski merangkak. Meski mengingsut. Dan meski
suara-suara yang ada memanggil-manggil. Seperti
panggilan yang menjadikan dadamu terhisap.
Keinginanmu terbetot. Sebab, sekali berbelok, kau
akan kesasar. Dan kami pun patah hati. Merindukan
kembalinya dirimu.
Gresik, 2017
Klangonan
Pada setapak dia membaca. Pada batu,
tanah, rumput, dan tebing dia membaca. Dan pada semua benda yang
ditemuinya dia membaca. Dan dia membaca dengan suara yang lembut.
Selembut ricik sungai. Ricik sungai yang dulu melarungnya ke samudera.
Dan disua si ibu dermawan yang punya kapal jangkung. Si ibu dermawan
yang kerap berdoa:
“Jauhkanlah kami dari segala yang
menggantung. Kecuali jika itu makin mendekatkan pada-Mu.” Doa yang kelak
membuat gunung kapur menjelma jadi lawang agung. Dan pena kering yang
dilempar menjelma jadi segerombolan tawon. Tawon yang mengusiri niat
buruk yang ingin menyergap secara diam-diam atau sebaliknya.
Dia, dia, memang membaca pada semua benda
yang ditemuinya. Seperti membaca pada kenangan lama yang dirindukan.
Kenangan lama yang menyimpan aromanya. Aroma ketika dia masih hijau. Dan
ketika masih menyukai teka-teki tentang bebuahan: belimbing, mengkudu, delima, dan sawo. Teka-teki yang meski rumit tapi gampang diterkanya.
Segampang dia ketika menghadapkan wajah
ke arah kiblat. Sebab ingin selalu menatap sesuatu yang ajaib. Sesuatu
yang pernah membuat sebatang palem berhikmat. Dan sekian batang pohon
lain merunduk takzim. “Wahai, Sesuatu Yang Ajaib, biarkan aku sentuh
ujung bayanganmu,” begitu yang ditukasnya berulang-ulang. Juga di setiap
usai membaca Kitab Pembeda miliknya.
Gresik, 2017
Langgam Umur 52
Berdikit-dikit aku makin sepi. Makin
sendiri. Dan percaya, jika aku mesti kembali ke masa kecil. Ke tempat
dulu aku berada di teras rumah pecinan. Membaca komik. Dan merasa, jika
jalan di depan rumah akan menuju ke padang rumput hijau. Dengan
sebentang sungai jernih di pinggirannya. Juga dengan sepasang kupu-kupu
sebesar piring yang riang beterbangan. Kupu-kupu berwarna kuning
berbintik merah. Kupu-kupu, yang jika senja turun, akan menjelma jadi
sepasang kunang-kunang. Yang juga sebesar piring. Dan malamnya, sepasang
kunang-kunang yang sebesar piring pun mengikut ke mana saja aku
bergerak. Jadinya, jika kau lihat dari jauh, aku seperti anak mambang
yang punya mata tambahan yang sebesar piring menyala yang melayang. Anak
mambang yang berjalan, berlari, dan berlompatan. Anak mambang, yang
jika mengantuk, pun langsung menggelosor. Dan besoknya, tahu-tahu sudah
di ranjang. Ranjang masa kecil. Ranjang, yang ketika aku sentuh di umur
52 ini, terlihat berkarat. Dingin. Dengan kasur yang mengeras. Tapi, aku
merasa. Di ranjang itu, aku masih menitipkan sebagian badanku. Badan
yang lengket. Badan yang tersenyum saat aku tepuk. Lalu menimpal: “Pada
akhirnya memang begini. Kita terbelah. Dan selalu ingin disambung.”
Gresik, 2017
Tugu
Aku memanggilmu. Meski tahu suaraku tak
akan sampai. Cuma jadi gaung. Gaung yang didengar oleh setiap yang
menyeberangi sungai. Dan menyangka, jika itu adalah deheman hantu yang
berdiam di tempat yang jauh. Hantu yang pernah disekap di dalam guci.
Lalu dilepas oleh si pengelana. Hantu yang ingin menyamarkan semua sumur
di hutan. Hutan, tempat si raja pilihan mengasah ilmu membidik,
menunggang, dan mengucapnya. Dan si raja pilihan, yang ketika memasuki
ujian akhir, menukas: “Kini, aku bukan lagi yang dulu atau nanti. Aku
adalah yang pergi, juga sekaligus yang datang.”
Sekali lagi aku memanggilmu. Meski sekali
lagi, tahu suaraku tak akan sampai. Dan kembali cuma jadi gaung. Gaung
yang mengitari si raja pilihan ketika kembali ke singgasananya. Dan
menyadari, jika kepala-kepala yang ada di dekatnya adalah kepala-kepala
yang dulu pernah ditemuinya di hutan. Kepala-kepala yang berbulu,
bertaring, dan bermoncong. Kepala-kepala yang setiap melengos, setiap
itu pula, pintu-pintu tertutup. Lampu-lampu kedap-kedip. Dan ketika
lubang-lubang yang ada ditelusupi kunci-kunci. Terus diputar bersamaan.
Tak dapat dibuka. Meski dipaksa berulang-ulang. Berulang-ulang.
Gresik, 2017
Mardi Luhung, lahir di
Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra
Indonesia Universitas Jember. Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010), Jarum, Musim dan Baskom (2015), Teras Mardi (2015), serta Cum cum Pergi ke Akhirat (2017). Sementara itu, kumpulan cerpen pertamanya berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).
Cerpen Syahril Sugianto (Pikiran Rakyat, 28 Januari 2018) My Intuition ilustrasi Fahrul Satria/Pikiran Rakyat
LALU ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa. Kembali aku
tertegun saat cahaya masuk melalui lubang pintu dan meninggalkan garis
cahaya dengan debu-debu yang beterbangan, pada saat yang sama cahaya
berhasil sedikit masuk dari bawah celah antara pintu dan lantai. Tinggal
di rumah ini membuatku sedikit gila. Rumah kayu tanpa sekat, hanya
kamar mandi yang diberi sekat dan pintu, juga sebuah meja dan kursi
buatan tangan yang keropos dan rumah busuk tanpa jendela.
***
SAAT aku mulai tertekan aku selalu mengintip keluar lewat lubang
kunci. Melihat bunga yang kata Ayah namanya bunga matahari, mengikuti
gerak bunga matahari yang berayun disapa angin dan gerakannya yang
selalu menguntit matahari. Kurasa itulah yang menjadi dasar penamaan
bunga ini.
Oh yah, soal Ayahku, aku tak pernah melihatnya hampir sebulan ini.
Mungkin ia datang setelah aku tidur, lalu pergi bekerja setelah
menyiapkan makan sebelum aku bangun, mungkin. Satu yang pasti selama ini
Ayahku tak pernah membiarkan aku keluar, tak tahu karena apa, entah.
Tapi aku ingin keluar menyapa bunga matahari, lalu bersama-sama pergi
mengikuti arah cahaya dan tak pernah kembali. Kupikir tak ada jalan
keluar dari sini, pintu ini selalu dikunci. Tapi aku ingin melihat
dunia, meski lewat jendela. Kuputuskan untuk mengambil spidol lalu
menggambar jendela dengan gambar bunga matahari di tembok samping pintu.
Setelah gambar selesai, aku masih ingin keluar.
***
AKU masih ingin keluar, ini jam sembilan malam dan aku akan bicara
pada Ayah, aku akan menunggunya pulang. Sudah tiga jam berlalu mungkin
ia tak tahu jalan pulang dan tersesat di jalan, atau ia telah pergi
bersama hilangnya cahaya dimakan malam. Waktu makin buatku mengantuk.
Aku tertidur.
Praaaang!
Suara piring jatuh membangunkanku, saat itu berdiri seorang perempuan menata makanan di atas meja.
“Siapa kau?”
Ia langsung pergi menembus pintu, kulihat dari lubang kunci kalau
orang itu sedang berdiri lalu ia berubah menjadi logam dan terbang ke
angkasa.
Sepertinya mataku menipu, atau ini hanya mimpi yang jika aku merasa
ingin pipis aku akan terbangun. Tapi kabar buruknya ini bukan mimpi.
Sial! Aku takut, otot leherku menegang, apa yang harus kulakukan. Mati?
Aku hanya perlu setetes keberanian lagi untuk itu dan dengan itu aku
dapat terbang mengikuti cahaya seperti bunga matahari. Tapi itu bukan
jawaban, kupukul wajahku sendiri agar pikiran bunuh diri tak merasuk
lagu dalam kepalaku.
***
INI siang hari dan aku belum makan apa pun, dan aku tidak mungkin
memakan apa yang sosok itu taruh di atas meja. Aku hanya bisa tertegun,
mungkin hanya itu yang kubisa dan satu-satunya keahlian yang kupunya.
Saat tertegun aku berpikir berarti yang menyiapkan makanan untukku makan
selama sebulan ini adalah sosok itu, dengan memikirkannya perutku
tiba-tiba terasa panas. Tetapi kenapa dia menyiapkan makanan untukku? Di
mana Ayahku yang berarti satu bulan ini ia tak pernah pulang? Aku harus
menemui sosok itu lagi dan memuntahkan segala pertanyaan di otakku.
Sekarang tengah malam dan aku menanti sosok itu, mungkin ia takut dan
takkan kembali lagi, pikirku. Satu menit kemudian ia benar-benar datang
dengan menembus pintu dan membawa makanan di tangannya.
“Siapa kau?”
“Mau apa kau ke sini?”
“Sekarang di mana Ayahku?”
Dari raut wajahnya aku tahu dia tak punya niat untuk menjawab
pertanyaanku. Setelah menyimpan makanan di atas meja, ia berjalan menuju
pintu.
“Berhenti bodoh!” kuberlari sambil memegang tangannya.
“Aaaaahhhh…” ia berteriak tanda kesakitan.
Tangannya yang kupegang menimbulkan luka seperti luka bakar, makhluk
macam apa dia? Berarti dengan memegang seluruh tubuhnya aku dapat
membunuhnya.
“Tunggu jika kau ingin mengetahui jawaban dari semua jawaban itu
tunggulah sampai jam sembilan pagi, akan aku buka pintu rumahmu agar kau
mengetahui jawabannya.”
Aku pun mengangguk setuju. Setelah itu ia pergi menembus pintu lalu ia berubah menjadi logam dan terbang ke angkasa.
Mungkin sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak, tapi otakku selalu
berspekulasi tentang apa yang akan terjadi esok pagi. Sial! Hanya saat
ini kurasa jarum jam malas untuk bergerak seperti seorang pekerja yang
mengetahui gajinya bulan ini akan telat dibayarkan.
Aku bangun, setelah akhirnya dapat tertidur karena terlalu lelah
menanti waktu. Lima menit lagi dan segala pertanyaan yang berkumpul di
kepalaku akan terjawab. Aku harus menyiapkan hatiku sembari berdiri di
depan pintu.
Klik!
Perlahan pintu terbuka, mataku silau karena tak pernah menerima
cahaya sebanyak ini sebelumnya. Aku buru-buru keluar dan kudapat Ayahku
telah mati tergeletak, posisinya tepat pada tembok yang kugambar jendela
di sisi dalam rumah. Dan mungkin sosok itu adalah makhluk yang diutus
langit untuk menjagaku setelah Ayahku tiada. Kesedihan mendera setiap
sel dalam tubuhku, kesedihan menggerogoti setiap inci dari tubuhku. Oh,
andai saja sebulan yang lalu rumahku punya jendela. ***
Cerpen Rifat Khan (Padang Ekspres, 28 Januari 2018) Radio Bapak ilustrasi Orta/Padang EkspresBAPAK hanya lulusan SD, tak bisa membaca dan hanya
bisa berhitung. Umurnya kini sudah 60 tahun. Setiap pagi Bapak duduk di
beranda belakang rumah, menatap daun-daun kemangi. Daun yang harumnya
akan sampai ke penciuman Bapak jika angin berhembus sedikit kencang.
Biasanya adik perempuanku, Minah, akan datang menyuguhkan teh hangat
untuk Bapak.
Tapi pagi ini Bapak menolak, gula darahnya agak tinggi. Bapak bicara
pelan dan mengisyaratkan Minah untuk balik membawa teh itu. Minah pun
dengan tersenyum membawa kembali segelas teh tadi ke meja dapur.
Sehabis meletakkan segelas teh itu, Minah kembali mendekati Bapak
yang masih duduk seperti merenung. “Bapak baik-baik saja kan?” Minah
bicara selepas duduk di kursi kayu samping bapak. Bapak hanya tersenyum.
Sesaat Ia menatap jauh.
“Hanya sedikit pusing. Pusing biasa. Cuma tadi pagi Bapak cek gula
darah dan agak tinggi,” Bapak menerawang jauh. Minah pun hanya terdiam
menatap Bapak. Bapak biasa melakukan cek gula darah sendiri. Alat itu
dibelikan oleh Alif, kakak lelakiku.
“Bapak yakin gak perlu kontrol ke dokter?” Minah mencoba memberi
saran. Bapak hanya geleng-geleng. “Nggak perlu Minah, ntar juga denger
radio, pusingnya hilang.” Bapak tersenyum dan meyakinkan Minah bahwa
kondisinya baik-baik saja. “Kalo kolesterolnya berapa Pak?” Minah
kembali bertanya. Aroma daun kemangi semakin menyeruak, sebab angin
bertiup lebih kencang.
“Sudah normal. Pegal yang kemarin di leher Bapak sudah agak ringan,”
Bapak menjawab dengan tenang. Sesaat Ia bersiul kecil saat dua burung
hinggap di dahan mangga. Ada satu pohon mangga di belakang rumah, umur
pohon itu sudah dua puluh tahun, sama seperti umur radio kesayangan
Bapak. Begitu yang sering Bapak bilang. Pohon mangga dan radio itu sudah
banyak menjadi saksi peristiwa di rumah ini. Mulai dari saat mendiang
Ibu wafat sore hari saat adzan berkumandang dari musholla Baiturrahman.
Juga peristiwa ketika Bapak memutuskan berhenti jualan sebab bangkrut.
Minah mengangguk, dan mohon pamit ke Bapak untuk kembali ke dapur
mencuci piring. Belum sempurna Minah beranjak dari duduknya. Bapak
bicara lagi.
“Bisa ambilkan radio kecil Bapak di samping ranjang!”
Minah mengangguk lagi dan segera ke kamar Bapak mengambil radio
berukuran kecil itu. Bapak tak biasanya mendengarkan radio di beranda
belakang. Biasanya sehabis duduk di beranda, sekitar jam 8 pagi Bapak
akan masuk kamar dan mendengarkan radio. Radio Bapak akan terus berbunyi
sampai menjelang adzan Zuhur. Kemudian Bapak sholat, makan siang dan
masuk lagi ke kamar mendengarkan radio kesayangannya.
Tapi pagi ini Bapak ingin mendengar radio di beranda. Sesaat suara
radio terdengar, sebuah lagu dangdut lawas yang penyanyinya sudah
almarhum. Bapak terlihat khusuk mendengar lagu dangdut itu. Kepalanya
sesekali mengangguk-angguk mengikuti irama itu. Gerimis tampak turun.
Burung-burung beranjak mencari tempat berteduh. Bapak masih diam saja di
Beranda. Aroma kemangi menembus ruang tengah rumah ini.
Aku ingat beberapa kisah tentang Radio Bapak dan apa yang sering
Bapak bilang. Yang pertama kisah ketika aku pulang sekolah dan mencari
makan di dapur. Aku tak memperhatikan Radio Bapak di pinggir meja makan.
Aku tergesa sebab lapar dan tanpa sengaja menyenggol radio itu sampai
jatuh. Antena-nya patah. Bapak marah bukan main. Satu jam Ia ngomel tak
karuan sambil terus mengutak-atik radionya. Besoknya, Bapak bawa ke
tukang servis. Si tukang servis menyarankan Bapak untuk beli radio baru
saja. Bapak marah. Bapak mengambil radionya dan membawanya ke tukang
servis lain. Lusa, radio itu kembali normal. Bapak tak keberatan saat
tukang servis itu meminta bayaran yang lebih mahal dari harga radio itu
sendiri.
Sejak kejadian itu Bapak menaruh radionya di kamar, tempat yang
paling aman menurutnya. Bapak bilang, lewat radio itu Ia banyak belajar.
Mulai tentang obat-obatan herbal untuk mengurangi penyakitnya, juga
tentang berita politik di daerah. Bapak tau semuanya, meski hampir
setahun terakhir Bapak tak pernah keluar rumah sebab kondisi tubuhnya
semakin lemah saja.
“Han, radio ini adalah kehidupan. Radio ini banyak merekam peristiwa
bersejarah. Bapak tidak tau musti ngapain jika saja radio ini tak ada.
Dua puluh tahun radio ini setia menemani Bapak. Kau lihat Han, suara
radio ini sangat bersih, meski cuaca apapun, saat badai sekali pun. Saat
hujan lebat, angin kencang, suaranya tetap jernih Han”
Pernah Bapak bilang begitu, beberapa waktu lalu saat aku duduk di
samping ranjangnya usai memberinya minum obat. Saat itu aku meminta
Bapak mematikan radionya, namun Bapak malah ngomong panjang lebar.
Omongannya terus memuji-muji radio kesayangannya itu.
Memang benar, radio Bapak gak ada matinya. Sejak aku kelas 1 SD dulu,
suaranya tetap jernih, aku semasa kecil sering mendengar lagu India
lewat radio itu. Pernah suatu hari, akibat letusan asap gunung agung,
cuaca teramat buruk, bahkan sinyal HP sama sekali tak ada, namun radio
Bapak suaranya tetap bening dan lantang. Bapak manggut-manggut, “kau
dengar sendiri kan Han, radio Bapak tetap jernih” Kembali Bapak
memuji-muji radionya.
***
Gerimis masih turun, Bapak masih duduk di beranda belakang. Suara
radionya terdengar lantang. Kali ini yang terdengar adalah lagu Barat.
Sebuah lagu tentang pertemuan dan kenangan di Tokyo. Bapak suka lagu
itu, Ia bisa melantunkan iramanya meski tak akan pernah bisa liriknya.
Aku mengintip Bapak dari ruang tengah. Minah yang duduk di sampingku pun
tersenyum melihat gelagat Bapak. Bapak bersiul mengikuti irama lagu
itu. Sesekali kepalanya digerakkan mengikuti irama. Kami
terpingkal-pingkal tanpa sepengetahuan Bapak. Lima menit lagi azan Zuhur
akan berkumandang, biasanya bapak akan mematikan radio dan bergegas ke
kamar mandi untuk mengambil wudhu’.
“Bapak sepertinya keasyikan tuh, sampai lupa bentar lagi adzan,” Minah berbicara sambil menuangkan teh untukku.
“Biarkan saja. Bapak bahagia dengan kesendiriannya,” Aku menjawab
Minah, mataku tetap memperhatikan gelagat Bapak. Bapak bersandar pada
korsi kayu tua, mulutnya terus bersiul-siul. Tiba-tiba terdengar memutar
tombol untuk mencari saluran lain. Terdengar lagi suara nyanyian pop
lama, tembang miliknya Poppy Mercuri. Tangan Bapak berhenti memutar
tombol radionya. Sesaat Bapak termenung, sepertinya khusuk mendengar
lagu tadi. Minah masih saja tersenyum. Teh hangat aku seruput sebentar.
Adzan terdengar menggema dari musholla Baiturrahman.
Bapak masih bersandar, diam. Minah beranjak dan berjalan pelan
mendekati Bapak. Sepertinya Bapak ketiduran. Minah memegang pundaknya,
menyebut namanya dua kali. Namun tak ada respon. Suara lagu pop tadi
tiba-tiba mengabur, berganti suara gelombang angin yang cukup besar.
Sepertinya sinyal tak ada, dan ini kali pertama aku mendengar suara
radio Bapak hanya suara angin. Minah menggerakkan pundak bapak beberapa
kali. Namun tak pernah ada jawaban. Aku pun berjalan mendekati Bapak.
Aku memanggilnya berulang, memegang pundaknya dan mendekatkan wajahku di
wajah Bapak. Tetap tak ada jawaban. Suara gelombang angin semakin
besar. Ribut.
Mata Bapak tetap saja terpejam. Kami berdua terus memanggil sembari
menggerak-gerakkan badannya. Tak ada respon sama sekali. Minah menangis,
pikirannya mulai tak karuan. Sampai Ia teriak menyebut nama Bapak,
Bapak hanya diam saja kaku.
***
Aku tak menyangka, Bapak pergi selamalamanya, menyisakan tangis
kesedihan bagi kami yang menyayanginya. Sampai sekarang, radio Bapak
masih terpajang di ruang tamu. Tiap kali aku nyalakan, hanya terdengar
suara gelombang angin. (***)
Majidi, Januari 2018
Rifat Khan. Lahir di
Pancor NTB pada tanggal 24 April 1985. Beberapa karyanya dimuat Metro
Riau, Majalah Cempaka, Suara NTB, Radar Surabaya, Harian Waktu, Lombok
Post, Harian Rakyat Sumbar, Satelit Post, Bali Pos, Sinar Harapan,
Jurnal Nasional, Riau Pos dan Republika. Bermukim di NTB dan bergiat di
Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.