Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cernak Artie Ahmad (Suara Merdeka, 10 September 2017) Kendi Perca Koda ilustrasi Suara Merdeka
Sudah hampir satu jam Koda berlatih merekatkan kain-kain perca di
kendi tembikar. Namun usahanya selalu gagal. Kain-kain perca yang
direkatkan menggunakan lem tak bisa menempel dengan baik. Bukannya
bagus, kendi tembikar itu malah terlihat kacau. Tapi pagi ini Ibu Guru
Ayati meminta Koda untuk mewakili sekolah di perlombaan kerajinan tangan
tingkat kota. Semuanya serba mendadak. Baru tadi pagi Ibu Guru Ayati
memintanya maju lomba untuk esok hari.
“Ma, besok Koda tidak berangkat lomba saja deh. Soalnya sulit banget
ternyata,” ucap Koda ketika dia sudah lelah berlatih merekatkan kain
perca ke permukaan kendi.
“Kok begitu? Sekarang masih ada waktu untuk berlatih. Besok Mama yang
antar Koda berlomba. Sekarang jangan menyerah dulu dong. Kalau
menyerah, nanti jadi mirip kancil pemalas di buku dongeng yang Koda baca
kemarin,” kata Mama sembari tersenyum.
Koda mengejap-ejapkan kedua matanya. Dia tidak mau menjadi kancil
pemalas yang selalu melupakan tugas-tugasnya. Suara teman-temannya yang
sedang bermain bola di lapangan seberang jalan terdengar, tapi Koda
tidak berniat ikut bermain. Perlahan Koda menempelkan satu per satu kain
perca ke kendi tembikar. Keringatnya bercucuran, sedikit demi sedikit
kendi itu mulai tertutupi lembaran kain-kain perca.
***
Dada Koda berdebar-debar ketika melihat banyaknya peserta lomba
kerajinan tangan tingkat kota. Di sebuah ruangan yang cukup luas itu,
Koda berlomba dengan peserta lainnya dalam menghias kerajinan tangan.
Banyak sekali ide kerajinan tangan yang dibawakan para peserta lomba.
Meski sedikit gugup, Koda tetap berusaha sebaik mungkin merekatkan
kain-kain perca itu. Kendi tembikar yang awalnya polos terlihat semarak
dengan warna-warna dari kain perca yang direkatkan Koda dengan lem.
Setelah lomba selesai, Koda menunggu pengumuman siapa saja yang menang
dalam lomba dengan sedikit cemas. Dengan gelisah Koda mengintip para
juri yang sedang menilai karya para peserta lomba dari jendela.
“Kalah menang tidak masalah, Koda. Yang penting Koda sudah berani ikut lomba ini,” bisik Mama pelan.
Koda hanya mengangguk perlahan. Dari kejauhan dia melihat Ibu Guru
Ayati yang sedang berbincang dengan guru dari sekolah lain. Sesekali Ibu
Ayati melihat ke arahnya. Melihat senyum ibu guru itu, Koda tahu kalau
Mama benar. Yang terpenting adalah Koda sudah berani datang untuk ikut
lomba, tidak melarikan diri seperti idenya kemarin.
Pengumuman para pemenang lomba ditempel juri di papan pengumuman.
Berbondong-bondong para guru dan orang tua murid yang mengantar
berdesakan ingin membaca. Mama dan Ibu Guru Ayati juga turut melihat
pengumuman.
“Juara tiga. Selamat ya, Koda. Kendi percamu merebut hati juri,” ujar Ibu Guru Ayati setelah membaca hasil pengumuman lomba.
Koda tersenyum bahagia, latihannya seharian kemarin tidak sia-sia.
Kini Koda tahu, yang terpenting adalah mencoba, berusaha, dan tidak lari
meninggalkan tanggung jawabnya. (58)
Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 03 September 2017) Aku Sergio ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Mereka menyebutku pecundang. Bintang-bintang kurang ajar itu.
Berkelap-kelip mengejek dari kejauhan di setiap kesempatan hanya karena
aku kalah dan terdampar di lantai bumi. Aku ini tak lebih dari sisa-sisa
kosmik yang tersingkir, ledek mereka.
Apalah artinya kata-kata kalau tak membiarkannya menembus jantungmu?
Yang tersingkirkan pasti kalah bila mereka membiarkan label itu
menempel, menggelayut di sisa-sisa harga diri. Sering kutuliskan dalam
buku yang kelak akan kuberikan pada anak-anakku, bahwa aku ini pejuang.
Yang mampu bertahan, yang memilih untuk tetap ada ketimbang rela
tergerus ketiadaan.
Aku Sergio. Keluargaku sudah entah di mana, mungkin masih bersama
bintang-bintang di sana. Tak pernah sekali pun kudengar mereka memanggil
namaku tanda rindu. Padahal kami dulu mengembara dalam ketiadaan yang
fana: luar angkasa yang hening. Tak apa. Mungkin sudah terlalu lama
bersama, bila salah satu seketika tiada, yang ada hanyalah lega. Untuk
beberapa jenis cinta, jarak seringkali menghilangkan sesak.
Ledakan itu terjadi kala kami lewati sebuah bintang yang hendak
meledak, agresif luar biasa. Padahal sedari jauh sudah kami katakan,
takkan kami ganggu wilayah kekuasannya. Kami hanya numpang lewat. Tapi
lagi-lagi, seperti semua hal yang ada di semesta ini, mereka takut akan
sesuatu yang tak mereka pahami. Habislah kami diinjak-injak,
ditarik-tarik, diledakkan hingga mampus berkeping-keping.
Mereka yang beruntung segera musnah, bergabung dengan ketiadaan.
Mereka yang tak beruntung, terluka, terdampar di planet tak bertuan
untuk kelak kembali mengembara. Karena bukankah hidup seperti itu? Dari
ketiadaan kembali ke ketiadaan. Aku? Aku yang paling sial di antaranya.
Tak hanya terpincang-pincang harus melanjutkan hidup, aku malah menjadi
hina. Tak lagi menjadi bintang, kini aku hanya sebongkah batu. Mendarat
pula di planet bumi yang berisi manusia.
Untuk waktu yang lama sekali, aku duduk sendiri di tepi sungai itu.
Sungguh deras arusnya. Seperti tak kenal ampun, menggerus siapa pun yang
berniat menghalangi. Sering aku bercengkerama dengan malam yang sama
sakitnya dengan bumi. Semakin hari ia kian pelupa karena gelapnya terus
tercabik cahaya. Dipenuhi lampu-lampu sedemikian terangnya hingga sering
ia bertanya, ia ini malam atau siang.
Angkasa adalah tempat yang sepi. Sempurna untuk berpikir dan merenung
tentang segala hal. Namun bumi tempat yang baik untuk menyerap hal
baru. Seperti memasak, tak ada yang bisa kau renungkan kalau tak kau
kumpulkan dulu bahan-bahan untuk direnungkan. Setelah jutaan tahun
bersama, bumi semakin berani berbagi, ia membanjiriku dengan segala
keriuhannya.
Ibu bumi bernapas dengan caranya sendiri, meski kini tinggal
sepatah-sepatah. Jangkrik-jangkrik usil mulai malu menampakkan diri.
Ulat-ulat menggeliat menyembunyikan diri dari jeritan anak-anak kecil
yang ngeri akan sesuatu yang tak mereka mengerti.
Pepohonan berlomba-lomba untuk tak jadi tinggi dan besar, karena
mereka yang tinggi dan besar harus siap jadi kursi, meja, dan hiasan
rumah. Para harimau lebih memilih menggali kubur sendiri ketimbang
dikuliti. Bumi menarik napas dengan susah payah dan menghembuskannya
dengan lebih susah payah lagi.
Batu-batu di sekeliling enggan bermain denganku. Begitu pula dengan
anak-anak kecil yang kini mulai merambah ke sisi sungai tempatku
bersemayam nyaman ribuan tahun terakhir. Permainan mereka aneh-aneh.
Sungai telah sedemikian ramahnya, kini mereka berwarna-warni. Batu-batu
cantik dipunguti, diwarnai, dibawa pulang, dijadikan pajangan. Satu demi
satu, lama-lama jadi seribu. Tapi tak ada yang berani memungutku.
Terlalu tajam, kata mereka. Jangankan hanya kulit dan daging, sudutku
mampu menggores apapun tanpa ampun. Terlalu berat. Aku berisi hal-hal
yang tak mampu ditangkap otak mungil kaum manusia. Kusimpan rahasia yang
tak mampu mereka tampung, kusaksikan semesta sedari mula, hal-hal yang
tak terbayangkan. Wajar aku berat di lengan mungil mereka. Terlalu
menyilaukan, aku bicara terlalu banyak akan hal-hal yang tak mereka
pahami, dan lagi-lagi, hal itu cukup untuk membuatku ditakuti.
Hari demi hari, pepohonan di sekelilingku mulai berbaur dengan
ketiadaan. Ibu bumi sering merasa bersalah karena tak mampu menyediakan
makan yang layak untuk anak-anaknya yang berlindung di hutan. Tak ada
yang perlu ditakuti dari kematian, hiburku pada mereka setiap kali
menghadapi ajal. Aku tak lagi aman tersembunyi di semak belukar, karena
semak belukar pun lama-lama mati mereguk sungai yang justru berkhianat
membawa racunnya ke mana-mana.
“Bukan salahku,” sang Sungai meraung menangis bercerita tentang
manusia yang lemparkan hal-hal yang mampu lagi ia cerna. Aku memeluk
tubuh rerumputan yang sudah tak bernyawa lagi. Puluhan generasi sudah ia
lindungiku dari terik panas matahari. Kuletakkan ia kembali ke perut
bumi sambil berdoa pada ketiadaan untuk menerima jiwa-jiwa mungil
mereka.
Manusia lupa, di setiap hal kecil di hutan ini, bersembunyi jiwa-jiwa
yang sama sucinya dengan yang ada di dalam tubuh mereka. Bedanya hutan
tak mampu berteriak dalam bahasa yang mereka mengerti. Hutan hanya mampu
menangis dalam bentuk longsor. Babi hutan hanya mampu berontak dalam
bentuk amukan. Sekali lagi, seperti kami, manusia takut akan hal yang
tak mereka mengerti.
Kini hutan ini, bukit ini, dianggap sebagai ancaman. Terlalu banyak
hewan liar, kata mereka. Beberapa orang datang, menggali-gali dan
mencatat. Emas, mereka berteriak sambil jungkir balik tak keruan. Andai
digali lebih dalam lagi, bisa jadi uang.
Datanglah kembali mereka membawa kotak demi kotak berisi peledak. Ini
untuk kepentingan bersama, kata mereka menenangkan satu sama lain.
Kepentingan siapa? Mereka yang tinggal di sekeliling hutan ini tak tahu
menahu tentang emas yang ada. Mungkin disuruhnya mereka menjadi buruh,
sisanya emas lari ke pangkuan mereka yang batang hidungnya pun tak
muncul di sini.
“Nanti tekan ini kalau peledaknya sudah disebar ya.” Diletakkannya
remote control tepat di sisiku. Mereka berkerumun di dekat tumpukan
peledak, mengatur strategi.
Bolak balik kutatap remote itu. Manusia-manusia ini juga berjiwa.
Kuamati sekeliling. Namun hutan ini juga rumah bagi ribuan jiwa lainnya.
Hanya karena mereka tak mampu bicara dengan bahasa yang tidak manusia
pahami, nilainya tak lantas kehilangan arti.
Aku tak banyak bergerak jutaan tahun ini, tapi kalau kukerahkan
sekian besar tenaga tersimpan, mampulah aku kalau hanya sekadar
melompat. Seperti sekarang. Aku melompat sekuat tenaga ke pemicu ledak.
Tak ada yang menduga, kelompok itu tercerai berai badannya. Aku sendiri
terkena ledakan, tapi apalah artinya ledakan buatan manusia bagiku,
bintang meledak depan mata saja kuhadapi.
Kini sudah puluhan tahun lamanya, hutan dan sungai ini aman tentram.
Orang-orang memilih pergi dan menjauh dari hutan angker ini. Tiba-tiba
sesosok pria memungut tubuhku.
“Akhirnya.” Ia berbisik sambil menghela napas lega. Semacam sudah
puluhan tahun mencari-cariku. Matanya sibuk mengamatiku dari balik kaca
pembesar.
“Ini berlian yang aku cari.”
“Berlian kok… hitam?” asistennya bertanya.
“Kuberitahu ya, tak banyak berlian hitam di planet ini, bisa jadi ini
berasal dari luar angkasa. Luar biasa!” Kutatap wajahnya lekat-lekat
yang entah mengapa begitu bahagia meski habis sudah jemarinya
kugores-gores dengan tega.
“Kira-kira bisa berapa harganya?”
“Jutaan dollar! Tak ternilai!”
“Kalau begitu, biar kupegang saja.” Pria di belakangnya menarik pelatuk.
Mereka saling tembak. Demi sebongkah batu dari pinggir kali. Ah,
manusia. Satu-satunya hal yang semakin kumengerti justru semakin
kutakuti. Kututup mata. Lelah sudah dengan tingkah mereka. Mungkin
saatnya aku berpaling menuju ketiadaan ketimbang berjibaku dengan
keriuhan yang tidak masuk akal ini.
Sebuah tangan akhirnya memungutku tepat beberapa saat sebelum aku
memutuskan untuk tinggal bersama ketiadaan. Lengan itu berlumuran darah,
nampak tubuh teman-temannya yang tewas bergelimpangan di sekeliling.
Wajahnya yang penuh kepuasan berangsur dipenuhi ketidakpercayaan,
semakin dalam aku berjalan menjauh menuju ketiadaan. Sayang sekali ia
harus tahu dengan cara seperti ini: berlian yang memilih ketiadaan akan
berubah menjadi sekadar batu biasa. Terdengar raungannya menggaung di
seluruh penjuru hutan mengiringi kepergianku.
Apa yang lebih indah dari rindu yang menuai temu?
Apa yang lebih membahagiakan dari harapan yang sejalan dengan realita?
Aku tak mengerti bagaimana cara kerja
semesta dalam memberikan sebuah kejutan. Hari ini saat asaku hampir
pudar tergerus waktu, ia datang. Seseorang yang selama ini aku
perhatikan dalam diam, yang secara diam-diam menetap di hatiku, yang
menjadi rahasia terbesarku dan yang hari ini aku rindukan, duduk di
hadapanku.
Ini adalah jarak terdekat antara aku
dengannya. Pakaiannya yang basah dan tangannya yang dingin tak mengubah
tatapan matanya yang selalu berhasil mengurungku. Akhirnya, kami
berkenalan secara resmi. Dia menyebutkan namanya dan aku menyebutkan
namaku disertai dengan jabat tangan. Ya Tuhan, terima kasih sudah
memberikan hujan hari ini.
Cukup lama, hanya suara hujan yang
menemani kesunyian kami. Aku sibuk menyembunyikan wajahku yang memerah
karena tatapannya yang menusukku tanpa ampun. Sampai akhirnya, aku
pasrah dan memberanikan diri membuka pembicaraan “Basah semua ya?”
Wajahku semakin memerah karena malu, ketika aku sadari itu adalah
pertanyaan terbodoh yang ditanyakan oleh orang yang baru bertemu
kembali.
Lalu, dia tersenyum. Ya Tuhan, aku memang
merindukan senyum itu tetapi tolong jangan sekarang. Seketika semuanya
hening bahkan aku tak mendengar apa yang dia katakan. Melihat isyaratku
yang seperti tak mendengar, ia mengulangi ucapannya sekali lagi. “Kamu
apa kabar?” masih dengan senyuman yang sama. Aku mengatur napasku
sedemikian rupa agar tak lagi terdengar bodoh “Baik-baik saja, kamu
bagaimana?” Kali ini aku sudah bisa tersenyum.
Dinginnya hujan dan pendingin ruangan tak
membuatku menggigil seperti biasanya, malam ini ada kehangatan yang
kembali aku rasakan lewat setiap kata yang diucapkannya. Perlahan,
kecanggungan di antara kami menghilang. Tawanya, senyumnya bahkan setiap
bahasa tubuhnya masih bisa aku kenali dengan baik. Semua masih sama
seperti yang telah terekam dalam ingatanku.
Hingga hujan reda, masih belum ada di
antara kami yang ingin menyudahi pertemuan ini. Malam yang semakin larut
pun tak berhasil mengusir kami dari tempat ini. Dalam hati, aku
khawatir jika setelah ini tak ada kesempatan bertemu lagi dengannya
seperti hari-hari yang lalu.
Tak banyak yang kami bicarakan, entah
karena waktu yang singkat atau hening yang berkali-kali menguasai.
Pertemuan kami diakhiri setelah sama-sama menyadari bahwa besok masih
ada tanggung jawab yang harus kami kerjakan. Kami keluar pintu restoran
bersama-sama menuju kendaraan masing-masing. Dari dalam mobil, aku masih
memperhatikan dia yang bersiap-siap pergi. Setelah menoleh dan melambai
ke arahku dia pun melajukan sepeda motornya. Aku masih tertegun,
tersenyum bahagia.
Malam ini, rinduku menuai temu.
Harapanku tak lagi angan-angan belaka.
Indahku telah menemui waktunya.
Sampai jumpa lagi, Arlan.