Daftar Blog Saya

Selasa, 19 September 2017

Ramdhan

Cerpen Taufiq Affandi (Republika, 17 September 2017)
Ramdhan ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpeg
Ramdhan ilustrasi Rendra Purnama/Republika
(Bagian 1 dari 2)
Ramdhan sedang berdiri di dalam sebuah bus Transjakarta saat ia melihat seorang lelaki berkulit kelam memasukkan tangannya ke dalam tas orang yang berdiri di dekatnya. Seketika detak jantung Ramdhan berdegup kencang. Orang ini harus dihentikan. Bagaimanapun caranya.
Skenario pertama yang terlintas dalam benaknya adalah ia berteriak “Copet!”, lalu semua orang akan beramai-ramai menangkap orang itu. Tapi bagaimana jika semua orang tak mau berurusan dengan hal seperti ini? Berarti skenario kedua adalah menghentikan copet itu dengan tangannya sendiri.
Tapi ia lalu melihat jam. Waktu sebentar lagi menunjukkan pukul 8.00 WIB. Ia teringat bahwa ia harus datang ke kantor tepat waktu atau atasannya akan marah;
lebih marah dari kemarin saat ia terlambat menyerahkan tugasnya.
Menolong orang yang kecopetan? Ah, tiba-tiba Ramdhan merasa itu adalah ide yang sia-sia. Mungkin uang yang berada di dalam dompet itu hanya 20 ribu, sungguh tidak sepadan dengan uang yang akan melayang jika ia terlambat kantor, atau bahkan dipecat dari pekerjaannya.
Mungkin, orang itu benar-benar kelaparan atau mungkin dia punya anak yang sedang sakit panas dengan suhu di atas rata-rata demam yang pernah terjadi di dunia ini; atau mungkin ayahnya baru saja mengalami kecelakaan parah dan harus segera dioperasi.
Dalam keadaan seperti itu, orang bisa hilang akal dan menempuh jalan di luar nalar untuk menyelamatkan orang yang dicintainya. Ramdhan sedang menyusun pembenaran. Bukan pembenaran bagi pencopet itu untuk melakukan aksinya; tapi pembenaran bagi dirinya untuk diam. Untuk memaklumi. Untuk menganggap tidak ada yang salah dengan apa yang dilihatnya.
Alasan-asalan itu berhasil menguasai logikanya. Jadi Ramdhan membiarkan kejadian itu berlalu. Toh semua orang diam. Semua orang bungkam. Untuk apa menjadi orang aneh yang sok pahlawan.
Pencopet itu turun dari bus. Ramdhan hanya sekilas melihat ke arah pencuri tersebut. Pandangan Ramdhan kembali lurus ke depan.
***
Ramdhan bekerja di depan komputer di kantornya yang tampak lengang. Kepenatan tampaknya mulai menyusup ke tubuh lelaki muda itu. Seperti kedip-kedip di komputernya yang serasa melambat. Ia berdiri, memutuskan untuk pergi ke kantin kantor.
“Kopi ya, Bu,” kata dia.
Ibu penjaga kantin memberinya kopi yang biasa dipesan. Tiba-tiba Ramdhan kebingungan mencari sesuatu.
“Ada apa?” tanya Ibu kantin.
“Eh, anu… eh… mana ya dompetku?” Dada Ramdhan panas. Bagaimana mungkin bisa hilang? Apakah tadi…
Lha itu?” Ibu kantin menunjuk tangan kiri Ramdhan yang sedari tadi memegang dompet.
Astaghfirullah.” Ramdhan jadi salah tingkah, lalu cepat-cepat memberikan uang ke Ibu kantin.
Ramdhan tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Ia bukan orang yang mudah memaafkan kesalahan dirinya sendiri. Kesalahan karena membiarkan orang lain melakukan kesalahan.
***
Tangan Ramdhan kecil memegang erat ayahnya. Usianya masih 6 tahun dan dia tampak senang sekali diajak naik bus oleh ayahnya menyusuri Surabaya, kota masa kecilnya. Mereka naik bus Damri yang tidak terlalu ramai. Hanya satu dua orang yang berdiri di lorong bus. Sebagian besar lainnya, seperti Ramdhan dan ayahnya, dapat tempat duduk.
Kondektur dengan santai menerima uang dari penumpang. Namun Ayah Ramdhan tampak tidak senang dengan kondektur itu. Sang ayah memperhatikan bahwa kondektur itu tidak pernah memberikan karcis bus kepada penumpangnya. Sebuah trik lama yang digunakan kondektur untuk mengorupsi pendapatan karcis.
Kondektur itu semakin mendekat. Ramdhan melihat dengan antusias saat ayahnya mengeluarkan uang kertas untuk diberikan kepada kondektur. Baginya uang adalah sesuatu yang ajaib. Sesuatu yang langka. Apalagi uang kertas. Terkadang ia mendapat uang dari ayahnya untuk membeli jajan. Tapi uang kertas adalah benda yang setara dengan barang antik lainnya. “Aku aja, Yah, yang memberikan,” kata Ramdhan. Sebenarnya itu alasannya saja supaya bisa memegang uang itu.
Ayah tersenyum kecil. Lalu memberikan uang ke Ramdhan. Ramdhan langsung memberikan uang itu ke kondektur yang dari tadi berwajah datar. Kondektur menyodorkan uang kembalian yang lalu diterima oleh ayah.
Lalu kondektur itu beranjak pergi. Senyum dari wajah Ayah pudar. Berganti sebuah wajah tegas. Bukan seperti wajah orang yang dikuasai emosi atau bara api. Sebuah wajah tegas yang memancarkan ketenangan dan kematangan dalam berpikir dan bertindak. Ayah lalu memegang tangan kondektur itu dengan tenang sembari berkata dengan santun, “Maaf, Pak. Karcisnya?”
Kondektur itu tampak tidak senang dengan sikap Ayah Ramdhan. Tapi sepertinya dia memilih untuk tidak menolak permintaan Ayah Ramdhan. Toh dia sudah punya banyak karcis yang tidak dia berikan. Kehilangan 2 karcis saja tidak masalah baginya. Kondektur itu menyobek 2 karcis dan menyodorkan ke Ayah. Dalam gerakan hampir bersamaan, Ayah akan mengambil karcis itu ketika ternyata kondektur itu melepaskan karcis itu di udara, lalu jatuh di pangkuan Ayah Ramdhan.
Bagi kepala keluarga itu, tujuan menghentikan ketidakjujuran kondektur itu sudah tercapai. Jadi masalah etika kondektur itu bukan prioritas utamanya.
Ramdhan tidak mengerti apa yang terjadi. Dia mengambil 2 karcis Damri itu dari pangkuan ayahnya, lalu melihatnya dengan penuh kekaguman. Sebagaimana uang kertas yang adalah barang langka baginya. Tiket bus adalah barang langka yang patut disimpan.
Ramdhan kecil terus saja memandang tiket itu, lembaran kertas kecil yang tampak baru dan bernilai.
***
Tiket itu kini tampak tua, namun terlihat masih rapi, hanya sedikit lipatan di sisinya. Kini Ramdhan dewasa melihat ke tiket itu dengan berbagai perasaan di hatinya. Perasaan rindu pada ayahnya yang kini memilih pindah untuk tinggal di desa semakin menguat. Tapi itu tak bisa mengalahkan perasaan yang membuat hatinya berdegup kencang setiap melihat ketidakadilan. Ayahnya telah mengajarkan untuk bertindak sesuai prosedur dan aturan, dan menegakkan keadilan. Hal tersebut diajarkan langsung dengan teladan, bukan hanya kata-kata.
Ramdhan menarik napas panjang. Jika pun ingin menghentikan kejahatan, ia butuh persiapan. Ramdhan meletakkan tiket itu ke dalam buku catatan harian yang kertasnya sudah menguning, lalu ia berdiri, mengambil double stick yang berada di dinding kamar. Lalu ia tenggelam dalam latihan. Berbagi jenis gerakan ia latih kembali.
Serpihan-serpihan kilas balik melintas dengan cepat di kepalanya, kilasan tentang saat-saat ia pertama kali belajar bela diri di pondok bersama Fakhri dan Falah, teman seperguruannya. Serta bersama Ustaz Fauzi, guru silatnya. Ia teringat saat ia berpeluh melakukan push-up saat latihan di pondok. “Arba’ah wa sittin… khomsah wa sittin…” Ramdhan menghitung dalam bahasa Arab.
Ia pun saat ini sedang melakukan push- up. Enam puluh enam… enam puluh tujuh…
Pull-up yang kerap dikerjakan saat di pondok kini juga dikerjakannya. Antara masa lalu dan masa kini berkait-kelindan.
Tempo latihan mulai mereda. Ramdhan sedang melakukan pendinginan saat tiba- tiba hp-nya berbunyi.
“Baik, Pak,” kata Ramdhan pada orang di seberang telepon. “Sudah saya kerjakan, Pak.”
Ramdhan mendengarkan sejenak, lalu, “Baik, Pak. Jam 8…. eh… baik, Pak. Jam 8 pagi bisa saya serahkan, Pak.”
***
Ramdhan duduk di halte. Ia meraba sejenak tasnya. Dari luar ia bisa meraba lekukan double stick yang berada di dalam tasnya. Tak lama kemudian bus datang.
Suasana bus Transjakarta pada jam itu sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Hal terburuk dari kejahatan adalah jika berhasil melakukannya sekali maka penjahat pasti akan mengulangi hal sama. Jika pencopet yang kemarin belum insaf, hari ini setan pasti menyokongnya untuk mencuri lagi.
Lalu hal itu terjadi. Pencopet itu hanya sekitar dua meter di depan Ramdhan. Dada Ramdhan bergemuruh. Tangan pencopet itu tampak sudah memutuskan, dompet mana yang akan ia ambil. Insaflah, wahai pencopet. Insaflah. Ingat Allah. Bisik Ramdhan dalam hati. Berharap pencopet itu bisa mendengar bisikan dalam hatinya untuk menghentikan aksinya. Jika pencopet itu mengurungkan niatnya maka tidak perlu ada keributan yang terjadi.
Namun hati pencopet itu tampaknya tertutup. Tangannya mengambil dengan cekatan dompet di sebuah tas cangklong. Ramdhan baru saja akan meneriaki copet itu ketika tiba-tiba hp-nya berdering kencang. Suasana kalut membuat dering itu seolah berteriak. Dari raut wajah Ramdhan, jelas itu adalah orang yang meneleponnya semalam.
Bus berhenti, copet itu turun dengan langkah cepat. Ramdhan tahu ia masih akan bisa turun untuk mengejarnya. Tapi hp yang masih berdering di tangannya… dan janjinya semalam. Ramdhan harus mengambil keputusan. Dia tidak punya banyak waktu… (bersambung)

Darah Maria di Sudut Dili

Cerpen Dedi Tarhedi (Media Indonesia, 17 September 2017)
Darah Maria di Sudut Dili ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Darah Maria di Sudut Dili ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
“Saya ingin ikut kamu ke Jawa!” Maria merajuk.
“Itu tak mudah,” geleng Pri, “Bukankah orangtuamu sangat membenci kami? Mereka tak akan melepasmu begitu saja.”
Pri menuntun gadis yang sedang putus asa tadi. Ya, gadis itu bernama Maria da Silva Soares, seorang gadis Timor Timur, yang hendak mengikutinya ke Jawa, di saat perang saudara mulai menghangat saat itu.
Pri tahu betul, Maria adalah anak seorang Liurai di Lautem, kabupaten paling timur di propinsi yang penuh dengan pertikaian itu. Selain sebagai Liurai, bapaknya juga adalah tokoh Fretelin kesohor, yang sangat membenci Pri dan para pendatang.
Apalagi yang bisa diharapkan dari Timor-Timur yang kering kerontang selain kecemasan dan masa depan yang diombang-ambing kemiskinan?
Pri merasakan betul akibat politis Jajak Pendapat itu. Sejak Jakarta menerima keputusan PBB untuk menggulirkan Jajak Pendapat, maka masa depan yang dirajutnya pelan-pelan—yang kadang-kadang penuh kengerian—hancur seperti pecahnya sebuah piring dari ketinggian tebing.
“Tapi tak kupikirkan lagi karir,” dengus Pri putus asa.
Tapi Maria?
Gadis itu melengketi hatinya dengan serta-merta. Menyesal dia kenapa musti bertemu gadis avonturir itu! Tiga tahun lalu, diantara gadis-gadis lain yang bertebaran di tiap pesta dansa.
Di pesta yang tumpah antara pejabat dan para petinggi itu hanya Pri yang tidak mabuk. Dan Pri hanya menenggak seseruput tuak mutin, dan tidak membuatnya sempoyongan. Gadis Maria mendekat, mengajaknya berbincang, memberinya kecupan singkat di bibir Pri yang termangu dan diam.
“Bapak bisa menemuiku kapan-kapan, kita diskusi,” katanya setelah berbincang sampai subuh menjelang.
“Jangan panggil aku Bapak. Aku masih 27 tahun.”
Maria, yang berumur 20 tahun, terbelalak senang. Lebih dekat lagi Maria duduk memepet Pri. Sudut matanya melihat tiga orang laki-laki memata-matainya. Dan dia menyenggol tangan Pri perlahan, memberi kode dan tanda. Pri paham dan karenanya dia harus hati-hati, dari jauh memang terlihat orang-orang Mario, mantan orang terkemuka di provinsi yang bergejolak itu, mengikuti. Orang-orang Mario yang anti-Jakarta dan orang-orang Eurico selalu saja berseteru. Saling intai dan saling bantai. Tapi Maria tidak memihak keduanya.
Maria hanya ingin tenang dan tidak ada pertikaian. Maria hanya ingin ke Jawa terlepas dari politik dan huru-hara. Tapi, sesederhana itukah?
Pada sore seperti itu, mata-mata dan para pengadu domba memang mulai beraksi sampai pagi. Di Dili memang harus senantiasa hati-hati dan jangan mudah dikibuli. Apalagi menjelang Jajak Pendapat, para wartawan mancanegara pun berkeliaran mengibarkan propaganda anti-Jakarta. Anti-Indonesia. Dan kawan-kawan kita bisa jadi musuh seketika, menusuk dari belakang. Sebagaimana layaknya di medan pertikaian, di Dili banyak yang bermuka dua.
“Aku harus pergi minggu depan!”
“Lalu aku?” Maria merajuk lagi.
Hati Pri berdebur seperti hentakan-hentakan ombak yang menghantam karang. O, betapa kuatnya karang itu walau terus digerus ombak. Betapa kuatnya tekad Maria untuk ikut ke Jawa. Mengapa aku tak sekuat itu?
Sebetulnya, apakah dia terluka karena harus meninggalkan Dili yang sudah dibinanya sebagai pegawai di desa-desa pelosok? Atau karena gadis Maria da Silva?
Gadis itu berani memilih dan menentukan sikap. Tapi, Pri? Sebagai lelaki dewasa, dia juga merasakan hal yang sama dengan Maria. Tapi dia tidak mau mati konyol hanya karena cintanya pada Maria. Dan susahnya, Maria tidak mau pergi dari hatinya!
“Kita harus pisah!” dengus Pri nyaris tersekat, mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya.
Maria menundukan kepala. Nun di belakang punggungnya yang berbulu lembut, tampak patung Kristus Raja, yang dibangun di puncak bukit kering, seolah ikut berduka.
“Kita harus pisah, bukan karena tidak ada lagi cinta, tapi….”
Maria tidak menoleh. Dia merasa yakin Pri sedang berbohong, dan itu pasti sangat menyakitkan dirinya. Maria masih tertunduk. Hidungnya yang bangir adalah warisan bangsa Portugis di bumi Lorosae, negeri matahari benderang. Kedua orangtuanya, terutama bapaknya, adalah memang keturunan orang Porto.
Apa yang hendak dicari Jakarta? Terkadang Pri ingin membalik sejarah yang membuatnya harus terlibat dengan urusan Timtim itu!
“Ya, aku harus pergi!” Pri seperti menegaskan ombak hatinya.
“Harus kutinggalkan Timtim! Tapi tanpa kamu Maria!” Pri merasa hatinya hancur dan sakit.
Maria menoleh. Bibirnya bergetar.
“Aku ikut, aku tetap ikut!” desak Maria, sudut matanya mulai basah. Tangannya mencabik keras kedua jemari Pri, “Tak perduli orangtuaku, keluargaku, aku ikut ke Jawa!”
Pri tak bergeming. Sore makin jatuh, angin makin riuh, ombak menggemuruh. Hatinya dikuatkannya agar tak runtuh.
Tiga orang mata-mata yang mengikuti mereka tadi, tampak makin mendekat, menguping dan mengawasi. Seorang dari mereka menyembunyikan sesuatu yang menonjol dari balik jaket di pinggangnya. Mungkin menyembunyikan senjata tajam, atau senjata api atau sesuatu yang lebih berbahaya dari itu!
Melihat itu Pri hati-hati. Tidak diperdulikannya Maria yang kemudian memeluk dadanya. Seperti sengaja ingin ditonton para pengintai tadi, Maria mencium bibir Pri dengan rakus. Tapi barangkali bukan itu. Maria benar-benar merasa sangat takut akan kehilangan Pri. Ciumannya bukan berahi, tapi semata rasa sepi dan deraan sangsi.
Ketiga orang itu makin mendekat. Dengan beringas dan kasar, salah seorang dari mereka menjambak tangan Maria. Memisahkannya dari Pri.
“Jangan kau sentuh Adik kami!” hardiknya menunjuk hidung Pri.
“Kamu pendatang, kapan pulang?!” sentak seorang lain, badannya tinggi besar, kulitnya gelap.
Pri tak bisa tinggal diam. Hatinya yang membara menguatkannya untuk melawan. Disambarkannya ikat pinggang yang sudah dilepasnya ke muka pemilik senjata. Ketiga pria itu menyingkir setelah seorang dari mereka berdarah di pelipisnya. Mereka sempoyongan pergi.
Kini, matahari benar-benar telah tenggelam di balik laut yang menghitam. Gelap di luar mulai merayap. Gelap di hati Pri pun hinggap. Ditariknya tangan Maria. Mereka segera pulang….
Besoknya tersiar kabar seorang pendatang menampari pribumi. Bahkan sampai mati. Maka, seperti biasa, gelombang kekasaran pun dimulai. Fitnah menyebar begitu ganas. Jalan-jalan ditutup dengan batu-batu sebesar bantal kepala. Setiap orang pendatang yang lewat di razia KTP, dihardik, dicaci, diusir pulang. Bahkan yang lemah dipukuli dan dikeroyok. Dili mencekam.
Pri pun gusar. Mau keluar rumah, di luar sana, di balik kaca, dia melihat mereka menunggu. Dari kilatan mata mereka, rasa marah dan ingin balas dendam. Jumlah mereka lebih dari tiga. Mungkin sepuluh. Mungkin lebih. Tapi Pri tahu dan mengenali mereka. Ada yang kemarin bertiga. Ada juga bekas sobatnya, bahkan ada teman sekantornya. Kini semua jadi musuhnya.
“Ayo keluar!” seseorang dari mereka mengacungkan tangan.
“Ya, keluar!” teriak mereka ribut.
Golok, potongan kayu, dan batu sebesar kepalan tangan sudah mereka gengam.
Pri diam. Tak tahu apa yang musti dikerjakan. Rasa takutnya menyelusup hebat kebalik hatinya. Dia juga jadi ingat kedua orangtuanya di Jawa. Dia rindu Tono, Acep, Rini Silalahi, Cut Beti, kawan-kawannya ketika di kampus dulu. “Ayo keluar!” teriak mereka lagi bersahutan.
Pri menggigil takut. Ia ingat lagi, ibu bapaknya di Jawa. Ia ingat Tuhannya dan berdoa.
Dan tiba-tiba, suara pecahan kaca yang keras menghambur ke ruangan tengah rumahnya, hampir memecahkan kepalanya. Atap rumahnya pun berdentuman kena lemparan batu yang berulang-ulang.
Pri merasa, kematiannya sudah diambang mata. Orang-orang itu nanti pasti akan merangsek masuk, memukulinya, mencakar, dan mencabik-cabik kulitnya bagai anjing liar yang lapar.
Pri tambah menggigil dan tak bisa berpikir.
“Aku harus keluar!” tiba-tiba Maria mengagetkannya.
Memang semalaman Maria menemaninya, sejak pulang dari taman di pantai itu.
“Tidak, jangan!” Pri mencegah.
“Kalau dibiarkan kamu bisa mati!” sentak Maria.
Dan Maria sudah tidak bisa dicegahnya. Maria merasa tidak ada jalan yang harus dilakukannya kecuali keluar dan menghentikan mereka.
“Jangan, Maria!” teriak Pri.
Maria melesat keluar, dan berdiri di antara hujan batu. Tangannya diayun dan diangkatnya tinggi-tinggi ke atas, memohon agar mereka berhenti. Tapi semua tak peduli. Maria berteriak-teriak, tapi tak jelas apa yang dikatakannya karena hujan batu tambah menggebu.
Orang-orang bubar setelah puas melihat darah Maria da Silva Soares menggenang di sisi kiri kanan tubuhnya. Pri tertunduk dan menggigil. Air matanya nitik. Maria melihat air mata itu, air mata dari lelaki yang dicintainya. Air mata itu menguatkan jiwanya.
“Aku ikut ke Jawa, Pri. Aku harus ikut.” Pelan sekali suara Maria di antara napasnya yang satu-satu….***

Keterangan :
  • Liurai = Raja/kepala desa
  • Fretelin = Paham anti-integrasi
  • Jajak pendapat = Semacam pemilu untuk menghitung yang pro dan anti-integrasi
  • Tuak mutin = Tuak putih

Dedi Tarhedi merupakan pegawai negeri sipil di Tasikmalaya yang suka menulis puisi dan cerpen. Sejumlah karya telah diterbitkan di media massa. Buku kumpulan puisinya Hidup makin Tak Mudah (Langgam Pustaka, 2017).

Bukan Kecap Oriental

Cerpen Wi Noya (Jawa Pos, 17 September 2017)
Bukan Kecap Oriental ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Bukan Kecap Oriental ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
IBU pernah berpesan agar Arun mencari istri yang pandai memasak. Tidak perlu molek, asalkan pintar mengulek. Tidak harus sesuku, yang penting mahir menyeling menu. Tidak wajib berkarir tinggi, tetapi jago memuaskan lidah suami.
Amanat yang terdengar sederhana itu rupanya belum mampu ia tunaikan. Calon pendampingnya bukan sekadar tak paham cara mengolah, melainkan nyaris tak kenal segala rempah.
Kabar baik bagi Arun dan bakal istrinya, Ibu sudi memberi restu. Beliau menyukai pribadi Anin yang bersahaja. Apalagi, gadis pilihan anak tunggalnya tersebut semanis pewara kuis di televisi. Ibu siap melatih menantunya kelak supaya terampil berkawan api.
Dalam hitungan bulan, Anin resmi menyandang status sebagai Nyonya Arun. Mereka tinggal seatap bersama Ibu usai mereguk candra madu.
***
TRIWULAN pertama, Ibu masih mafhum prioritas Anin yang berseberangan. Jika Ibu lengket dengan kompor, Anin mesra dengan komputer. Kala Ibu sibuk mengurus belanjaan, Anin khusyuk mengelola bisnis online. Bila Ibu gemar menjajal resep masakan, Anin candu menulis artikel hiburan. Sementara Ibu dekat dengan talenan, Anin akrab dengan telepon. Meskipun bukan pegawai, pekerjaan sambilan menantunya kerap menyita banyak waktu.
Belakangan Ibu lebih blak-blakan menegur Anin, terutama saat kepergok bermain gawai. Saking seriusnya merespons pelanggan, ia acap melalaikan tugasnya di dapur. Alhasil keluhan Ibu mulai mampir di telinga.
“Besok lagi kalau masak jangan ditinggal ya, Nin. Bisa gosong,” sentil Ibu ketika Anin lupa mematikan kompor.
“Maaf, Bu. Tadi ada pembeli komplain, jadi harus cek segala macam.” Perempuan bertampang kanak-kanak itu langsung membenamkan ponsel ke dalam saku celananya. Entah berapa lama ia menelepon, berbagai gorengan sudah matang semua. Dilihatnya Ibu sedang menumis bumbu halus.
“Tolong ambilkan kecap, Nin.”
Anin segera membuka lemari gantung. Kontan ia bingung melihat deretan botol berisi cairan yang nyaris sewarna, pekat. Ia membatin satu per satu nama penyedap dalam lemari itu: kecap manis, kecap asin, kecap ikan, kecap inggris, saus tiram, saus teriyaki. “Kecap yang mana, Bu?” tanyanya kemudian.
“Kalau Ibu bilang kecap saja, berarti yang ini lho, Nin.” Ibu menghampiri Anin seraya mengambil sebotol kecap manis. “Ingat, kecap yang paling sering dipakai.”
“Aku tahunya cuma kecap yang di tukang bakso, Bu,” ungkap Anin santai.
Ibu hanya meringis sambil menggelengkan kepala.
“Kalau aku sih cuma tahu makan,” timpal Arun sekeluarnya dari kamar mandi. Tangannya merangkul Anin yang tengah menata penganan. Ia mencomot sepotong martabak telur, lalu mengunyahnya penuh kenikmatan.
“Kepuasan lidah juga bisa membuat suami betah di rumah,” demikian prinsip Ibu. “Kata orang tua dulu, kalau habis nikah suaminya tambah gemuk, berarti istrinya pintar mengurusi.”
Anin terkikih seketika menyaksikan Arun menepuk perutnya yang kian tambun. Lelaki paling tampan di rumah tersebut selalu berhasil memulihkan suasana.
***
Sepekan sekali Ibu mengajak Anin berbelanja ke pasar tradisional. Ia mesti hafal semua lapak langganan Ibu. Sebut saja Teteh penjual sayur mayur murah. Daging dan ikan segar tersedia di kios Abah. Toko sembako milik Ucok nan lengkap. Kelontong Uni yang paling ujung. Tak ketinggalan pula daftar belanja kebutuhan sehari-hari. Lumayan bisa menghemat pengeluaran. Tidak heran, Ibu lebih senang memborong di pasar ketimbang di swalayan. Menurut Ibu, supermarket lebih cocok untuk jalan dan jajan.
Selanjutnya, mereka menyambangi kios penjual ayam yang tampak padat punya Pak Haji. Anin memerhatikan papan nama yang terpasang tepat di atasnya, “H. Thoyib: Jual Ayam Potong Halal”.
Para pembeli bersahutan sembari mendesak agar buru-buru dilayani. Pak Haji beserta istrinya malah menimpali dengan lelucon. Barangkali sebab keramahan itulah kaum Ibu rela menunggu lama dan mengabaikan bau anyir yang terus menyengat hidung. Padahal, Pak Haji bukan satu-satunya bakul ayam potong di pasar itu.
“Bu, tukang ayam sebelah nggak antre panjang,” Anin mengusulkan. Kalau lazimnya ia manut saja tiap Ibu memilih tempat, kali ini sedikit berpendapat.
“Lebih terjamin beli di sini, Nin. Makanya selalu ramai,” sanggah Ibu. Alasannya karena Pak Haji senantiasa merapal doa sebelum mendebah ayam-ayamnya. “Zaman sekarang mesti teliti kalau belanja. Halal haram itu penting.”
Anin mengangguk sambil melengkungkan bibirnya pertanda setuju.
Seperempat jam kemudian, giliran Ibu mendapat satu ekor ayam kampung yang telah disembelih serta dicabuti bulunya. Pedagang bergelar haji tersebut dengan terampilnya mengayun pisau, merobek dan memotong ayam hingga sepuluh bagian. Seluruh jeroan dipisah ke dalam kantong plastik kecil. Ibu kerap menambahkan ceker dan kepala ayam favorit anak lanangnya.
“Kamu capek, Nin?”
“Nggak apa-apa, Bu. Sekalian olahraga.”
“Kalau mau dimasakin atau masak sendiri bilang saja. Nggak usah malu.”
“Iya, Bu.”
“Arun itu doyan makan seperti almarhum ayahnya. Kesukaannya soto ayam sama semur balungan. Nanti Ibu ajarkan cara bikin soto yang enak, ya.”
Keduanya lekas beranjak dari satu kios ke kios lain tanpa lelah. Sesekali Ibu membisikkan wejangan pada mantu semata wayangnya: cara meladeni suami supaya makin cinta serta manajemen rumah tangga. Tidak terasa, empat kantong kresek besar penuh dengan aneka belanjaan.
***
BILA musim kawin tiba, Ibu sering menerima pesanan jasa boga. Masakan beliau terkenal lezat nan pas dengan selera si empunya hajat. Ibu biasa mengupahi beberapa tetangga untuk membantunya. Seharian meninggalkan rumah, terlebih jika ada undangan saudara, Ibu bisa menginap berhari-hari. Otomatis urusan pangan dipercayakan Anin sepenuhnya.
Dapur menjelma medan peperangan bagi Anin. Tergores pisau seakan jadi langganan. Menggoreng ikan sampai terciprat minyak panas pun pernah. Namun, berkat itu jua ia semakin lihai mengolah sajian sederhana. Menu andalannya tumisan. Kendati soal rasa tidak jauh-jauh dari hambar atau keasinan, Arun tetap setia melahap masakan istrinya.
Anin selalu sukses menyiapkan sarapan dalam sekejap, sebelum Arun berangkat kerja. Pagi ini Ibu tidak bisa membantunya karena kelelahan setelah masak besar di kampung sebelah. Ia sedikit ragu saat Ibu menengok pekerjaannya, sebab kondisi dapur masih berantakan. Beruntung ia telah rampung menata meja makan. Suaminya yang takjub sertamerta menghadiahi tepukan tangan.
“Masak apa, Nin?” tanya Ibu seraya membenahi posisi kacamata.
“Nasi goreng, Bu,” jawab Anin sembari mengangkut peralatan kotor ke wastafel. “Ibu langsung sarapan ya, kan mau minum obat.”
“Ibu sudah sembuh kok, cuma kecapekan. Ayo makan dulu. Nanti saja beres-beresnya.”
“Ya, Bu.”
“Wah, mantap. Aku jadi lapar.” Arun melongok sepinggan nasi goreng hangat bertabur irisan sosis dan ayam suwir.
“Kalau rasanya aneh, maklum ya, Bu,” tutur Anin sembari menarik kursi.
Ibu mengamati satu demi satu hasil kreasi Anin.
“Ini sudah bagus tampilannya.”
“Siapa dulu kokinya,” sanjung Arun. Tangannya mencentong nasi berikut telur dadar ke piring Ibu. Anin turut menambahkan acar dan kerupuk udang.
Suapan pertama berlangsung sekejap. Ibu bukanlah orang yang gampang memuji suatu hidangan sampai lidahnya merasa mapan. Arun dan Anin saling berbalas lirikan mata. Mereka mulai deg-degan. Ibu tampak menahan komentar. Mulut beliau masih asyik mengunyah, sementara menantunya makin gelisah. Anin teringat ajang perlombaan di televisi, Ibu tak ubahnya juri yang siap menilai masakan peserta. Ia berharap komentar mertuanya kali ini tidak sepedas sambal mercon.
“Aromanya agak lain, tapi lumayan sedap.” Ibu memonten bak pembawa acara kuliner. “Hmm… maknyus!”
Kedua jempol Arun malah ikut bergoyang, membuat Anin lantas memamerkan senyum polosnya. Hatinya lega luar biasa. Tidak sia-sia ia mempelajari bermacam varian nasi goreng lewat internet semalam suntuk.
Anin menuntaskan acara makannya lebih dulu. Ia seolah kenyang menyaksikan dua orang menyantap masakannya dengan begitu lahap. Tak biasanya ia seceria itu ketika duduk satu meja bersama mertua.
“Nanti siang aku mau masak tumis daging paprika, Bu. Kebetulan masih ada stok daging di kulkas. Saking niat ngikutin resep, aku sampai keliling pasar cari kecap versi oriental.”
“Kecap oriental?” tanya Ibu lalu balik menebak, “Saus teriyaki?”
“Aku lupa namanya, Bu. Botolnya mirip kecap manis. Kata penjualnya bisa buat bumbu daging biar empuk. Nasi goreng juga tambah gurih dikasih itu.”
“Coba ambilkan, Sayang. Biar Ibu lihat,” pinta Arun yang sejak tadi hanya menyimak obrolan kedua wanitanya.
“Sebentar.” Anin bangkit, kemudian mengambil sesuatu dari lemari gantung. Ia meletakkan sebotol kecap yang dimaksud di atas meja. Arun dan Ibu serentak terbelalak saat mendapati label huruf Tiongkok yang melekat di botol beling bertutup merah tersebut.
Ibu berhenti menyendok nasi. Beliau refleks meletakkan sendok dan garpu. Kedua tangan kisutnya mengatup mulut yang hendak berdeham.
“Oh, ang ciu,” baca Anin lambat, “Nama lainnya saus sari tapai. Di dapur belum ada kan, Bu?”
Dengan berat Arun terpaksa menelan sisa makanan yang kadung melesat ke dalam kerongkongan. Anin menoleh bergantian pada Arun serta Ibu yang langsung beranjak dari meja makan. Anin tampak bingung, tapi Arun lebih bingung mencari alibi untuk membelanya.
“Kenapa sih, Mas? Apa yang salah?” Anin menagih jawaban sambil mengguncang lengan Arun. Dahinya mengerut. Perasaannya kembali resah. Entah bagaimana ia menafsirkan raut Ibu yang mendadak berubah. Ia harap ada penjelasan usai segelas air putih tandas diteguk suaminya.
Arun menggaruk kepala. Ia menilik hasil fermentasi beras ketan di hadapannya. Masih lekat dalam ingatan, betapa cerewetnya Ibu sewaktu batal makan di warung boga bahari. Lantaran tanpa sengaja melihat si tukang masak membubuhkan penyedap masakan itu, Ibu mengajaknya pulang.
“Ini arak merah, Sayang,” terang Arun seraya mengusap kepala istrinya. ***

WI NOYA, cerpenis, tinggal di Jakarta Timur

Kutipan #temantapimenikah2

Ternyata menikah itu seperti pusaran angin, makin lama makin kencang atau makin besar pusarannya, tapi pada akhirnya akan berhenti juga. Ibaratnya seperti perdebatan rumah tangga, sekesal apa pun dengannya akan berhenti jugan dan berubah menjadi napas dalam kehidupan kita. (hlm. 142)

Kebanyakan orang-orang habis menikah itu lupa, sebenarnya esensi pernikahan itu kalau mau didalami yang pasti nggak ada bosennya. Karena ada rasa ketakutan, rasa selalu ingin memiliki, dan ada berbagai macam perasaan yang cuma bisa kita rasain sama pasangan kita. Perasaan sayang yang berbeda dengan rasa sayang yang kita rasakan bersama orangtua. (hlm. 134)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Jangan pernah menyepelekan arti cinta yang sesungguhnya. Karena saat cinta itu datang, mungkin dia yang terbaik untukmu. (hlm. 4)
  2. Masalah bisa dihadapi jika setiap pasangan bisa menjalin komunikasi yang baik. (hlm. 14)
  3. Pernikahan adalah keputusan besar dalam hidup. Ingatlah, restu orangtua dan dukungan keluarga adalah modal utamanya. (hlm. 40)
  4. Salah satu kebahagiaan dari orang yang melepas masa lajangnya dan menikah adalah nggak tidur sendirian lagi. (hlm. 54)
  5. Nikahin sahabat itu serunya luar biasa. (hlm. 55)
  6. Menikah adalah siap hidup berdua selamanya dan bertanggung jawab atas pernikahannya. (hlm. 58)
  7. Berikan cinta itu untuk alam semestas, dan kalian pasti akan didukung alam semesta untuk mendapatkan cinta yang kalian cari. (hlm. 66)
  8. Kalau dekat suka debat, kalau jauh suka merindu. (hlm. 74)
  9. Seseorang bakal kelihatan benar-benar ‘bersinar’ saat dia melakukan sesuatu yang berhubungan dengan passionnya. (hlm. 113)
  10. Laki-laki itu nilai plusnya melejit kalau dia punya tujuan hidup yang pasti dan selalu passionate terhadap apa pun yang dia kerjakan. (hlm. 114)
  11. Rasa takut kehilangan itu bisa datang kapan saja, bahkan sebelum memiliki orang lain. (hlm. 132)
  12. Lebih pekalah terhadap orang-orang yang lo cintai. (hlm. 134)
  13. Sebagai anak, kita harus tahu bahwa pemahaman orangtua dengan kita terkadang bisa berbeda. (hlm. 139)
  14. Setiap orangtua akan menemukan cara yang tepat untuk mendidik anaknya. (hlm. 146)
  15. Orang yang percaya sama pasangannya adalah orang yang selalu berpikir positif tentang pasangannya. (hlm. 188)
  16. Bosan itu pasti, tapi kita tidak akan saling pergi. (hlm. 191)

Ada juga beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kalau misalnya lamaran aja udah berantakan, nanti nikahnya juga berantakan. (hlm. 17)
  2. Harusnya segala macam urusan tentang pernikahan bisa dibicarakan hingga dapet solusinya dengan mudah, iya kan? (hlm. 23)
  3. Ketika lo mau menikah, lo jangan sampai terpengaruh sama omongan kanan-kiri. (hlm. 24)
  4. Umur belum tentu jadi masalah untuk seseorang memutuskan mau menikah atau enggak. (hlm. 62)
  5. Kita nggak akan pernah tahu kalau kita tidak mencoba, kan? (hlm. 87)
  6. Lebih pekalah terhadap orang yang lo cintai. Hargai setiap waktu untuk terus bersamanya. Dan berikan kasih sayang selalu seakan tidak akan datang hari esok. (hlm. 130)
  7. Untung kan, nikahin teman sendiri, bonusnya banyak. (hlm. 137)
  8. Banyak orang yang bilang, kalau setelah menikah seseorang itu akan jauh berbeda dari saat pacaran dulu. (hlm. 187)
 

Balada Pemakan Honor

Cerpen Muhammad Husein Heikal (Kedaulatan Rakyat, 17 September 2017)
Balada Pemakan Honor ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Balada Pemakan Honor ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Selamat pagi, apa honor saya sudah ditransfer?
Maaf sebelumnya, bagaimana kabar honor saya?
Oya, mengapa honor saya belum dikirim?…dst.
Ah! Ezra sudah terlalu bosan dengan berbagai pesan teks maupun chat yang masuk ke teleponnya. Pesan-pesan yang selalu bernada sama: menagih honor. Ya, menagih honor tulisan mereka yang dimuat media tempat Ezra bekerja.
Kali ini telepon yang selalu ingin ia singkirkan itu, lagi-lagi bergetar. Ada panggilan masuk, dilayar tertulis kata: Istri. Ezra merasa jengah ingin mengangkat panggilan itu. Akan tetapi, getar yang makin menjadi-jadi itu, lama-lama menimbulkan debar juga di dadanya. Barangkali ada berita penting, atau…apa, ah angkat sajalah, pikirnya.
Begitu dia menekan tombol accept, Ezra langsung diterpa suara membahana, “Kau tak tahu ini hari apa, ha!? Hari ini ulang tahun Reza, anakku itu tau. Dan kau dimana sekarang? Pasti kau sedang foya-foya, kan! Cepat pulang, dan jangan lupa belikan kado. Oya, jangan lagi kau anggap Reza anak kecil lagi, lantas kau belikan sepasang kaos kaki atau remeh-temeh lainnya. Kau harus belikan dia smartphone terbaru!”
Tassh! Panggilan ditutup, suara bahana tadi berakhir. Justru gejolak di hati Ezra baru saja dimulai. Ia betul sama-sekali tak ingat, hari ini ulang tahun Reza, anak yang selalu disebut istrinya sebagai “anakku”, seolah Ezra tidak punya fungsi sebagai ayah dari anak itu.
Jarum pendek jam di ruangan kantor itu, masih bertengger di angka 12. Hari ini hari Selasa. Ya, hari yang selalu menjadi tugas yang seharusnya mesti dilaksanakannya. Ditengah gejolak hati Ezra yang kian menjadi itu, Cory memanggilnya. “Ez, dipanggil Bu Sekred tuh.”
Sontak senyum mengembang di tampangnya. Panggilan itu semakin memastikan dirinya bahwa hari ini, hari Selasa, ya!
***
Sama pada hari-hari lainnya, di depan kantor media itu lalu lintas selalu macet. Klakson mobil saling bersahutan, seolah itu menjadi instrumen yang menandakan bahwa Ezra tengah hidup di kota metropolitan.
Ezra menuruni tangga kantor media tempat ia bekerja, selama tiga bulan terakhir ini. Wajahnya membiaskan cahaya mentari yang menerpa ketika ia tiba di anak tangga paling bawah. Dengan langkah agak gegas ia menuju tempat parkir di sebelah gedung kantor ini. Ia mencari-cari motor brengseknya, ya motor yang selalu macet disaat-saat genting hadir. Meski sampai saat ini, motor itulah yang mengantarnya kemana-mana.
Sebelum ia menaiki motornya itu, ia memeriksa sakunya. Dikeluarkannya beberapa amplop, yang masing-masingnya tentu berisi uang. Ya, isi dari amplop itulah honor-honor para penulis yang terus-terusan menagih itu berada. Ezra menghitungnya, ada tujuh belas amplop yang masih terlihat baru dan mengilap.
Ezra tak perlu membuka isi amplopnya. Ia telah tahu isi dari masing-masing amplop tersebut. Ya, tiap amplop berisi seratus ribu. Maka, tujuh belas amplop menandakan ia tengah mengantongi uang sebanyak 1,7 juta.
Dengan gerakan elegan yang dibuat-buat dan berlebihan, Ezra kembali memasukkan semua amplop itu ke dalam sakunya. Lalu ia naik ke motornya, bersiul-siul kecil seraya menggeber motor brengsek itu.
Seharusnya, Ezra pergi ke bank untuk mengirim isi-isi dari tiap amplop itu kepada penulis-penulis yang berbeda diberbagai kota. Atau bila perlu ia harus ke kantor pos untuk mengirimkan uang melalui wesel, tersebab ada penulis yang tidak mencantumkan nomor rekeningnya. Dari setiap amplop yang dikirim, ia mendapat komisi sebesar 20 ribu dari kantor media tempat ia bekerja. Awalnya, ia merasa sangat gembira dengan komisi tambahan itu. Ya, tentunya Ezra juga mendapatkan gaji pokok standar provinsi juga setiap bulannya.
Apalagi secara kalkulasi ia memperhitungkan, bila setiap minggu ia menerima sepuluh amplop, maka komisi totalnya sebesar 200 ribu. Itu kalau hanya sepuluh! Tentunya itu jumlah minimal. Ah, tentu dengan segera Ezra bisa mengganti motor brengseknya itu.
Akan tetapi, semua itu hanyalah ekspektasi tanpa realisasi. Awal minggu pertama bekerja, dengan telaten ia mengirim semua isi amplop itu ke rekening-rekening dan alamat penulis. Bahkan dengan senang hati Ezra mengirim pesan teks kepada sang penulis bahwa honornya sudah ditransfer. Ezra merasa lega, apalagi setelah mendapat balasan terima kasih pula. Tentu ia mengerti juga bagaimana kehidupan para penulis. Apalagi penulis-penulis yang belum punya nama di media, tentu mendapat honor adalah anugerah bagi hidupnya. Apalagi pula, para penulis yang menggantungkan hidupnya melalui honor-honor tulisannya. Tentu mereka sangat terbantu dengan honor-honor yang kukirim ini, demikian pikirnya.
Sampai akhirnya, waktu demi waktu mengubah segalanya. Ketika istrinya, semakin menjadi-jadi dalam belanja. Berbagai barang yang sebenarnya tak menjadi kebutuhan urgen berserakan di segala sudut rumah. Bahkan, secara terus-menerus istrinya selalu meminta jumlah uang yang semakin besar, hari ke hari.
“Harga beras naik, gula naik, garam naik, listrik naik,…”
Segala penjabaran kenaikan itu tak akan berhenti bila Ezra tak buru-buru merogoh saku, dan mengulurkan uang untuk istrinya. Maka, tak perlu heran, belum usai satu bulan, gaji sebesar standar upah provinsi itu pun telah ludes. Namun anehnya, istrinya malah menuduh Ezra memfoya-foyakan uang gajinya.
Maka, tak ada jalan lain. Desakan demi desakan yang kian menjadi-jadi dari istri, Ezra menggunakan peluang yang tersedia. Ezra sebenarnya tak berniat mengambil isi-isi amplop tersebut. Ia hanya beniat sekadar meminjam saja. Nanti ia berencana akan menggantinya kembali. Namun, semua ekspektasi itu tak terjadi. Realitanya adalah saat ini. Ia harus menggunakan uang-uang yang sebenarnya bukan haknya itu untuk memenuhi desakan-desakan tak wajar istrinya.
Maka, seperti hari ini. Ya, hari Selasa ini. Hari kembali ia menerima amplop-amplop berisi honor-honor para penulis itu. Kini Ezra tengah menggeber motor brengseknya itu keluar dari sebuah Plaza, sambil membawa sebuah smartphone baru yang telah dibungkus kado untuk hadiah ulang tahun Reza. Namun, apalah daya ketentuan manusia biasa seperti Ezra yang tak bisa menolak takdir yang semata punya kuasa.
Begitu Ezra hendak menancap gas, motor brengseknya sontak di hantam mobil yang sedang melaju berkecepatan tinggi. Tak pelak, tubuh Ezra terpelanting ketengah jalan raya. Tak dinyanya lagi, tubuh yang sekarat itu mendadak dilindas oleh truk yang langsung meremukkan tulang-tulang Ezra dalam serakan amis darah disekitarnya. Sementara truk itu terus melaju dengan perlahan, tak menyadari apa yang baru saja dilindasnya. q-g

Medan, 2017
*) Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Karya-karyanya termuat pula dalam buku Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Riau Pos 2015), Perayaan Cinta (Puisi Inggris-Indonesia 2016), Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara 2016), Cinta yang Terus Mengalir (Taaruf Penyair Muda Indonesia 2016), Matahari Cinta Samudra Kata (Hari Puisi Indonesia 2016), dll.

MENCARI JALAN PULANG

Kita bukan penduduk bumi...
Kita adalah penduduk syurga...
Kita tidak berasal dari bumi...
Tapi kita berasal dari syurga...
Maka carilah bekal untuk kembali ke rumah...
Kembali ke kampung halaman...
Dunia bukan rumah kita...
Maka jangan cari kesenangan dunia...
Kita hanya pejalan kaki dalam perjalanan kembali ke rumahNya.
Bukankah mereka yang sedang dalam perjalanan pulang selalu mengingat rumahnya dan mereka mencari buah tangan untuk kekasih hatinya yang menunggu di rumah?
Lantas....
Apa yang kita bawa untuk penghuni rumah kita, Rabb yang mulia?
Dia hanya meminta amal sholeh dan keimanan, serta rasa rindu padaNya yang menanti di rumah...
Begitu beratkah memenuhi harapan-NYA?
Kita tidak berasal dari bumi...
Kita adalah penduduk syurga...
Rumah kita jauh lebih Indah di sana.
Kenikmatannya tiada terlukiskan...
Dihuni oleh orang-orang yang mencintai kita...
Serta tetangga dan kerabat yang menyejukkan hati...
Mereka rindu kehadiran kita...
Setiap saat menatap menanti kedatangan kita...
Mereka menanti kabar baik dari Malaikat Izrail...
Kapan keluarga mereka akan pulang?
Ikutilah peta (Al-Qur'an) yang Allah titipkan sebagai pedoman perjalanan...
Jangan sampai salah arah dan berbelok ke rumahnya Iblis Laknatullah yaitu jalan ke Neraka Jahannam...
Kita bukan penduduk bumi...
Kita penduduk syurga..
Bumi hanyalah dalam perjalanan...
Kembalilah ke rumah...
Selamat berikhtiar saudaraku semua...
untuk kembali ke rumah kita di syurga...
Seperti Firman Alloh dalam Al-Quran...
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan hanya permainan dan senda gurau belaka. Dan sungguh Kampung AKHIRAT itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?"
(QS. Al An’am: 32)
"Setiap yg Bernyawa akan Merasakan Mati. KAMI Akan Menguji Kamu dengan Keburukan & Kebaikan Sebagai Cobaan. & Kamu akan d Kembalikan Hanya Kepada KAMI"
(QS AL-ANBIYA : 35 )
"Takutlah kamu akan Siksa d Hadapanmu d Dunia & Azab yg akan datang d AKHIRAT agar Kamu Mendapat RAHMAT
( QS YASIN: 45)