Daftar Blog Saya

Senin, 21 Agustus 2017

Tarom

Cerpen Budi Darma (Kompas, 20 Agustus 2017)
Tarom ilustrasi Suharmanto - Kompas.jpg
Tarom ilustrasi Suharmanto/Kompas
Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.
Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: “Ibu kamu pasti orang Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”
Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.
Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian belakang restoran.
“Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”
Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.
“Buku hebat,” katanya. “Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”
Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: “Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”
Dia berbisik lagi: “Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting psikologimu benar-benar hebat.”
Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu.
Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir.
Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu khusus.
Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.
“Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.”
Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu “Imagine” The Beatles, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.
***
Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.
Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal laki-laki hanyalah otot.
Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media. Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: “Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata apa-apa.
Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. “Yang muda harus menghargai yang tua,” katanya bergurau.
Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil.
“Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di Abu Dhabi.”
Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.
Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.
Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada serdadu Jepang sendiri.
Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD II.
Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman.
Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang India.
Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan.
Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.
Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.
Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka sendiri.
Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.
Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri.
Gertrude menunduk, lalu berkata: “Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”
Pikiran saya melayang ke ibu saya.

Budi Darma, sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Universitas Negeri Surabaya. Ia menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, novel, dan pernah mendapat penghargaan antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok), Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia. Karyanya yang masyhur dan banyak mendapat pujian adalah kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington dan novel Olenka.

Gelang Tali Kutang

Cerpen Faisal Oddang (Koran Tempo, 19-20 Agustus 2017)
Gelang Tali Kutang ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo
Gelang Tali Kutang ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Dia melekatkan ujung pistol di keningnya. Tangisannya belum berhenti. Air mata membelah sepasang pipinya yang tirus-legam dan mulai keriput. Sebelum pelatuk dia tarik, sebelum dia mengakhiri hidupnya, dia sadar bahwa sudah hampir sebulan pistol itu tidak berisi. Dia masih punya badik di pinggang kirinya, tetapi ….
“Saya harus menemukannya sebelum meninggal. Saya harus menepati janji saya.”
Sehari sebelumnya, dia turun gunung ketika mengetahui gerakannya resmi bergabung dengan Darul Islam Tentara Islam Indonesia. Itu bukan cita-cita perjuangannya. Dia berjuang untuk penerimaan Kesatuan Gerilya Sulawesi-Selatan sebagai tentara resmi, bukan untuk kepentingan agama tertentu.
“Saya tidak bisa menerima Sulawesi sebagai bagian Negara Islam Indonesia.”
Dia menggebu-gebu.
“Kita kekurangan makanan, persenjataan dan bahkan anggota. Kita butuh bantuan dari DI/TII di Jawa.”
Dullah, sahabatnya, kini di pihak yang lain.
“Saya tidak memaksa kalian, termasuk kau, Dullah. Saya kehilangan satu lengan saya tetapi tidak pernah saya sesali karena saya mencintai KGSS. Bahkan ketika Rahing menyerah dan turun gunung, saya tidak terpengaruh. Tetapi, keadaan tidak lagi sama,” Hamma menghela napas kemudian melanjutkan, “Kau lihat ini,” dia mengangkat senapan yang tadinya tersampir di pundak, “ketika saya melewati senapan ini, kita sudah berada di sisi berseberangan.” Kalimat itu, Hamma selesaikan dengan helaan napas yang berat disusul dengan melemparkan senapannya ke arah kaki gunung, sekuat tenaga. Belasan pasukan gerilya yang melihatnya hanya diam. Kecuali Dullah yang memberinya pelukan.
Hamma berjalan menjauh, tangan kirinya menjinjing bungkusan sarung berisi sebilah badik, sebuah pistol serta lengan kanannya yang putus oleh granat di bulan-bulan pertama dia berada di hutan-dua tahun yang lalu. Lengan itu dia bawa setiap berpindah pos. Dia sudah berkali-kali pindah karena tentara semakin nekat memasuki hutan. Lengan yang sisa tulang itu, dia kubur di pos baru dan dia gali kembali ketika harus pindah.
***
Yang dia bayangkan ketika berjalan menjauhi teman-temannya hanya dua, hanya istri dan anaknya. Dia akan mengatakan: saya pulang, saya menepati janji saya. Meski lengan saya putus, saya tetap menepati janji bahwa saya akan pulang tanpa kurang satu apa pun. Kemudian dia akan meraih anaknya—entah lelaki atau perempuan—menggendongnya, menciumnya, dan tak akan lagi meninggalkannya.
Namun kini dia tersungkur, terisak, dan merasa hampa ketika tiba di kampungnya setelah sehari semalam berjalan kaki. Tidak ada istri, tidak ada anak, tidak ada apa pun di kampung itu, selain rongsokan sisa kebakaran. Ke mana orang-orang? Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Siapa yang membakar? Tentara atau gerombolan? Dia tidak tahu jawabannya. Rongsokan yang ada di depannya tampak seperti sisa pembakaran yang baru.
Dia merasa semuanya sia-sia belaka. Kembali ke gunung hanya mempersingkat hidupnya dan bertahan di kampung sama menderitanya; menjalani hidup yang kosong dan hampa tidak lebih menyenangkan dibanding mati saat itu juga. Pikiran itulah yang membuatnya menempelkan pistol di keningnya. Pikiran lain bahwa dia harus menemukan istri dan anaknya yang lantas membuat hidupnya tidak berakhir. Kini dia kembali menyusuri jalan setapak menuju kota. Dia berdoa tidak bertemu pasukan gerilya atau tentara—keduanya merupakan musuh baginya. Dia juga berdoa semoga menemui seseorang yang bisa menunjukkan di mana istrinya berada atau paling tidak, ke mana orang-orang di kampungnya mengungsi. Atau mereka semua telah dibunuh? Pertanyaan itu membuat langkahnya semakin gontai dan air matanya kembali jatuh.
“Seharusnya kau tidak ikut naik gunung. Atau tidak seharusnya kau bertahan dua tahun di sana. Ketika tentara mendesak kalian dan membuat kau kehilangan sebelah lenganmu, sudah seharusnya kau turun gunung. Ikut Rahing sahabatmu yang kehilangan kaki kanannya. Istrimu juga sudah tentu melahirkan waktu itu, bukan? Kan .… kandungannya tujuh bulan saat kau tinggalkan. Sekarang kau menyesal? Terlambat!”
Sepanjang jalan, dia tidak berhenti berbicara kepada dirinya sendiri. Seakan semua hal yang patut disesali telah dia lakukan. Dia tiba-tiba mengingat Rahing yang turun gunung setelah mendengar kabar kematian orang tuanya, sekaligus untuk pemulihan luka agar tidak merepotkan. Kemungkinan yang paling baik jika mereka bertemu dan Rahing bisa memberi berita mengenai istri dan orang-orang di kampungnya. Jarak rumah Rahing dari kampungnya sekitar sehari berjalan kaki, itu bukan masalah. Yang jadi masalah, jika Rahing sudah menikah lalu ikut istrinya entah ke mana. Atau jika kampung Rahing dibakar juga, atau jika Rahing ditangkap tentara atau yang paling tidak diinginkannya; jika Rahing sudah mati, sudah tidak ada.
“Jika kau ikut Rahing, kau tidak akan kehilangan semuanya seperti saat ini. Kehilangan kawan seperjuangan, kehilangan keluarga.”
Memang, ada sesal di dalam dirinya. Ketika memutuskan naik gunung dan bertempur dari hutan ke hutan, dia, Dullah, dan Rahing berjanji untuk tidak saling meninggalkan—mereka bersahabat. Mereka sebenarnya tidak bertiga, ada Side—sahabatnya yang lain, yang memilih menjadi guru mengaji untuk anak-anak pedagang pasar di kampungnya. Waktu mengubah keadaan. Waktu pula yang membuatnya kini menyusuri jalan setapak yang membelah perkampungan. Dia hanya menyusurinya, benar-benar menyusurinya. Dia tidak tahu akan ke mana atau paling tidak, berhenti di mana.
“Saya turun gunung, tetapi saya, kau, Side dan Dullah akan selalu bersahabat. Kita akan bertemu di bawah sana, suatu saat nanti.”
Dia tiba-tiba mengingat kalimat terakhir Rahing kepadanya. Ya, kita harus bertemu, Rahing, masalahnya kau ada di mana? Dia terus berjalan.
“Jangan kurang apa pun dari dirimu. Ini kuberikan gelang sebagai jimat untuk keselamatanmu. Kujahit dari tali kutang milikku. Jangan pernah terpisah dari gelang ini, maka kita akan terus menyatu dan kamu akan selalu dalam lindungan Tuhan.”
Itu kalimat terakhir istrinya. Ketika kalimat itu selesai, dengan berat, akhirnya Hamma berangkat setelah berjanji untuk pulang secepat mungkin. Dia tiba-tiba berhenti lalu berteduh di bawah pohon asam di sisi jalan. Dia membuka bungkusannya. Sejak memindahkan badik ke pinggang, isi bungkusan itu sisa pistol dan tulang lengannya. Dia mencari sesuatu—dan selalu tak menemukannya. Sesuatu itu hilang sejak ledakan yang memutus lengannya. Hanya rasa cinta dan rindulah yang membuatnya masih terus mencari meski dia sungguh yakin, gelang itu tak pernah ada dalam bungkusan.
“Seharusnya ketika Rahing turun gunung, saya menitip istri saya agar dibawa ke tempat aman. Tetapi mana saya tahu kalau keadaan akan sekacau ini? Toh, saya juga tidak bisa menebak kalau akhirnya kami akan terdesak. Ini salah saya!”
Dia semakin didera rasa bersalah.
Jarak kampung Rahing sudah dekat. Soal Rahing, Dullah dan Side—ketiganya punya jasa yang cukup besar untuk hidup Hamma yang sekarang. Pada masa perang kemerdekaan, Hamma pernah hampir meninggal dikepung tentara musuh, untung tiga orang itu datang menghalau—sejak itu mereka bersahabat dan berjanji sehidup dan semati. Setelah merdeka, Rahing, Side, dan Dullah pula yang menyampaikan lamaran kepada istrinya yang sekarang dia cari. Meski kini mereka sudah berbeda arah dan tempat—janji itu mereka masih pegang. Itulah yang sedikit memberi harapan buat Hamma. Harapan bernama Rahing. Rahing yang berjanji akan membantu perjuangan meski tidak di gunung lagi, tentu tidak akan menolak diminta bantuan untuk menunjukkan tempat warga mengungsi. Sebenarnya Side bisa pula membantu, tetapi jelas bahwa Rahing lebih tahu banyak mengenai pergerakan tentara.
***
Hamma membenarkan posisi duduknya di atas tikar pandan. Sementara Rahing telah bersila dan menyembunyikan kakinya di balik sarung. Mereka berhadapan-bertatapan dengan mata sepasang sahabat yang seakan begitu lama dipisahkan. Belum ada yang sempat bertanya mengenai kabar masing-masing. Dengan melihat Rahing masih tampak tegap tak termakan usia, itu sudah cukup bagi Hamma untuk menjawab semua pertanyaan tentang kabar. Lagi pula, pelukannya telanjur mendarat di tubuh Rahing tanpa sempat mengucapkan satu kata.
“Kamu tidak seharusnya di sini, bahaya. Tentara mengawasi rumah ini. Dua hari lalu kampungmu dibakar, sebentar lagi kampung ini. Untung saya bersih bagi mereka. Pergi sebelum terlambat!”
Hamma tidak menduga bahwa kalimat itulah yang akan dia dengar pertama kali dari sahabatnya. Tanpa basa-basi, Rahing menyuruhnya pergi.
“Saya ke sini untuk meminta bantuanmu.”
“Tidak menampungmu di rumah ini merupakan bantuan paling berguna, Hamma. Nyawamu sungguh penting.”
“Baik, setelah kau tunjukkan di mana orang-orang di kampung saya mengungsi.”
“Mereka di Sengkang. Diamankan tentara.”
Hamma lega. Lega sekaligus resah. Tidak mungkin menyusul istrinya ke sana.
“Sekarang hari pasar, banyak tentara berkeliaran. Pergi sekarang!”
“Kau tahu istriku di mana?”
Tidak ada jawaban dari Rahing sebab tiba-tiba terdengar tangisan anak kecil yang membuatnya buru-buru meraih tongkat lantas terpincang-pincang ke ruang belakang rumah panggungnya.
“Hamma, ini demi keselamatanmu, pergi sekarang!”
Dengan berat, Hamma berdiri lalu menuruni tangga sambil membayangkan apa yang terjadi pada istrinya di Sengkang. Rahing berlaku demikian, pasti karena keadaan sungguh tidak aman. Hamma kini menyusuri jalan menuju pasar yang juga menjadi penghubung jalan menuju tempat pengungsi berada. Dia sungguh hati-hati dan sesekali mengawasi keadaan di sekelilingnya. Pasar sudah bubar. Dia tidak bisa menghindar dari tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya. Beberapa mengabaikan, tetapi lebih banyak yang menatapnya penuh curiga. Semakin dia mendekati pasar, semakin ramai orang yang memperhatikannya.
“Kau, Muhammad Naing?”
Dia mengenal suara itu. Orang-orang sudah berkerumun ketika dia berbalik badan berusaha mencari arah datangnya suara tadi—dan akhirnya dia menemukan Side, sahabatnya yang kini jadi guru mengaji.
“Side? Iya, saya Hamma.”
Mereka berpelukan tidak lama sebelum Side memegangi wajahnya, mencari-cari sisa keperkasaan Hamma dari sesosok tubuh yang ringkih.
“Semua orang mengiramu sudah mati. Bahkan istrimu sudah merelakanmu.”
“Apa maksud kau, Side?”
“Syukurlah kau selamat.” Side mengambil napas, “Rahing turun gunung dan membawa kabar kematianmu sekaligus menyampaikan wasiat darimu.”
“Wasiat?”
“Dia membawa gelang milikmu yang berlumuran darah. Istrimu menangis sepanjang hari. Rahing kemudian menyampaikan wasiatmu bahwa dia harus menikah dengan istrimu agar anakmu tetap memiliki ayah.”
Semua sendi di tubuh Hamma seperti ditanggalkan oleh cerita Side. Dia lemas dan penglihatannya lantas lamur dan merasa tubuh ringkihnya tak punya tenaga lagi.
“Anak dan istrimu sekarang tinggal bersamanya. Rahing menikahi istrimu.”
“Daeng Hamma?”
Suara seorang perempuan menghentikan cerita Side. Hamma sangat mengenal suara dan panggilan itu. Tidak mungkin salah, pasti itu suara istrinya. Tanpa berbalik badan, Hamma buru-buru menutup wajahnya dengan sarung bungkusan lantas berjalan cepat menjauhi kerumunan. Dia kalah, dia menangis—tanpa suara, tetapi air matanya terus jatuh. Semua yang dia miliki kini hanyalah angin dalam genggaman. Dia buah busuk yang jatuh ke batu setelah diempaskan burung yang tidak sudi memakannya.
Dia terus berjalan menuju kaki gunung tetapi tiba-tiba berhenti dan membalik arah menuju pusat kota Sengkang, menuju pos tentara. Belum sepuluh langkah, dia berhenti lagi lalu kembali memutar arah—dia melakukannya berkali-kali. Dan akhirnya, dia melekatkan ujung pistol di keningnya. Tangisannya belum berhenti. Air mata membelah sepasang pipinya yang tirus-legam dan mulai keriput. Sebelum pelatuk dia tarik, sebelum dia mengakhiri hidupnya, dia sadar bahwa sudah hampir sebulan pistol itu tidak berisi. Dia masih punya badik di pinggang kirinya, tetapi …. dia tiba-tiba membayangkan Rahing menimang anaknya, memeluk istrinya—dia melihat keluarga bahagia itu menertawainya. Dia melihat dirinya meringkuk dalam tangisan.
Dia kembali mengubah arah. Dia berjalan dengan badik terhunus, bukan ke arah gunung, bukan juga ke arah Sengkang.

Wajo, 2017
Faisal Oddang, mahasiswa sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Menulis novel Puya ke Puya yang menjadi salah satu pemenang sayembara novel DKJ 2014, serta menjadi novel terbaik pilihan Tempo 2015. Menerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah Thailand. Sedang menyiapkan kumpulan puisi Perkabungan untuk Cinta dan novel Tiba Sebelum Berangkat.

Bukan Mahasiswa Saya

Cerpen Budi Darma (Jawa Pos, 20 Agustus 2017)
Bukan Mahasiswa Saya ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Bukan Mahasiswa Saya ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
SAYA yakin tidak pernah mempunyai mahasiswa bernama Abidin. Karena itu, setelah sekian kali Abidin menghubungi saya melalui HP, disusul SMS, dan akhirnya disusul WA, saya tetap yakin orang yang menamakan diri Abidin ini tidak pernah menjadi mahasiswa saya. Tapi, setelah dia nekat menelepon dengan video call, barulah saya ingat bahwa wajah ini pernah saya kenal entah kapan dan entah di mana.
Pada suatu hari Minggu, ketika saya biasanya bangun lebih siang daripada biasanya, orang yang menamakan diri Abidin ini menelepon saya dengan video call lagi.
“Maaf, Pak, sekarang saya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Sebentar lagi saya akan terbang ke Surabaya, khusus untuk menemui Bapak.” Suara Abidin ditimpali pengumuman penggawa bandara agar semua penumpang segera masuk ke pesawat.
Dalam keadaan masih mengantuk, saya segera mandi.
Satu setengah jam kemudian ada taksi datang, dan turunlah Abidin dari taksi. Dengan sikap sangat sopan dan hormat, dia memohon maaf karena telah berkali-kali menghubungi saya dan mengaku-aku sebagai bekas mahasiswa saya.
Setelah berbasa-basi sebentar dia mengaku bahwa dia memang bukan mahasiswa saya. Dengan permohonan maaf dia menyatakan bahwa dahulu sebetulnya dia mahasiswa MIPA jurusan matematika. Dan, karena dia tertarik sastra, khususnya sastra dunia, dia sering menyelundup ke kelas saya. Setiap kali menyelundup dia memilih deretan tempat duduk di belakang, selalu menunduk, supaya bisa memberi kesan bahwa dia tidak ada.
Waktu itu saya mengajar di S-1, mahasiswanya banyak, dan ruangan kelasnya terbatas. Karena itu, dua kelas mahasiswa kadang-kadang harus dijejal dalam satu ruangan kelas besar. Kehadiran Abidin, dengan demikian, tidak saya ketahui.
Lalu, dengan agak mewek-mewek karena terharu, dia mengatakan bahwa dia sudah lulus S-2 matematika di Kanada, dan juga sudah lulus S-3 matematika di Jerman. Dengan gaya sangat tawaduk dia mengatakan, baik di S-2 maupun di S-3 dia lulus dengan predikat cum laude. Setelah lulus S-3 dia bekerja di Jerman, kemudian pindah ke Belanda, dan akhirnya memutuskan untuk bekerja di Jakarta.
Selama bekerja di Jakarta dia sering mendapat tugas untuk bepergian ke luar negeri, tapi dia tetap memakai SIM card Indonesia. Karena itulah, semua pesan kepada saya tidak tampak tanda-tanda dia sedang di Vietnam, India, Brussel, Amsterdam, Paris, dan entah mana lagi.
Hari itu juga, Minggu, dia khusus datang ke Surabaya untuk menemui saya, sebab malam nanti, hari Minggu itu juga, dia akan terbang ke Amerika.
Setelah mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih berkali-kali sampai saya agak risi, dia bertanya, “Mohon maaf, Pak, apakah Bapak pernah mendengar nama Maryam Mirzakhani?”
“Perempuan kelahiran Iran, hijrah ke Amerika, pemenang fields medal mathematics?”
“Ya.”
Fields medal mathematics setara dengan nobel prize untuk fisika, ilmu kedokteran, ekonomi, kimia, fisika, perdamaian, dan sastra. Nobel prize diberikan setiap tahun, sedangkan fi lds medal mathematics diberikan manakala ada pakar matematika yang benar-benar menonjol. Kalau perlu, selama beberapa tahun tidak ada satu orang pun yang dianggap layak menerima fields medal mathematics.
Pada waktu sekolah, Maryam dibenci guru-gurunya karena dia tampak bodoh, dungu, goblok, dan agak terbelakang. Setiap kali mengerjakan apa pun dia pasti terlambat. Berbeda dengan teman-temannya, dia suka menyendiri, melukis, membaca puisi, dan membaca novel.
“Maaf, Pak, pada waktu saya menyelundup ke kuliah-kuliah Bapak, saya tidak mengenal nama Maryam, tapi kemudian saya sadar, seperti Maryam, saya suka menggambar, membaca puisi, dan membaca novel. Karena itulah saya sering menyelundup ke kelas Bapak. Sebetulnya saya ingin juga menyelundup ke kelas seni rupa, tapi saya selalu diusir. Maklumlah, mahasiswa seni rupa kan banyak praktik, kalau saya menyelundup, pasti ketahuan.”
Lalu dia mengaku, andaikata dulu tidak menyelundup ke kelas saya, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ketika dia kuliah S-2 di Kanada, dia sering teringat kuliah-kuliah saya. Demikian juga ketika dia menyelesaikan S-3 di Jerman. Mengapa dia dapat dengan mudah memenangkan beasiswa S-2 dan S-3, tidak lain, kata dia, karena dia sering teringat kuliah-kuliah saya.
Bukan hanya itu. Kuliah-kuliah saya dulu, kata dia, juga memperlancar pekerjaannya, dan karena itulah dia sering mendapat promosi dan tempat-tempat yang bagus.
Dia masih ingat, dalam kuliah, saya sering menekankan hubungan erat antara sastra, estetika, dan psikologi. Barang siapa banyak membaca karya-karya besar sastra, dengan sendirinya akan memiliki insting untuk mengetahui masalah kejiwaan lawan bicaranya. Meskipun saya mengajarkan sastra dunia dengan bahasa Inggris, kadang-kadang saya juga membicarakan beberapa nilai filsafat Indonesia, antara lain kemampuan meramal Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam tembang-tembangnya, dan pendirian Ki Ageng Suryomentaram mengenai seni kebahagiaan hidup.
Setelah mengobrol tentang pengalamannya menyelundup di kelas saya, dengan nada ragu-ragu dia bertanya, “Maaf, Bapak, bolehkah saya mengeluarkan pendapat saya? Tapi saya malu. Saya takut pendapat saya ngawur.”
Dia menyatakan, sastra yang dianggap sebagai sastra dunia sekarang sangat mengecewakan. Sastra dunia, itulah salah satu mata kuliah saya dulu. Ada beberapa contoh, misalnya, kata dia, novel Orhan Pamuk, novel Najib Mahfudz, novel Adiga, novel Khaled Hosseini, dan yang terbaru novel Han Kang. Novel Orhan Pamuk, setidaknya yang pernah dia baca, terlalu berbelit-belit.
Novel Najib Mahfudz yang pernah dia baca, yaitu Pencopet dan Para Begundal, mirip novel thriller. Daripada membaca Pencopet dan Para Begundal, kata dia, lebih baik membaca novel-novel Sidney Sheldon sekalian. Sidney Sheldon tahu bahwa dia tidak lain adalah pengarang thriller, karena itu Sidney Sheldon, kata Abidin pula, tidak perlu berpura-pura menulis novel sastra kelas atas.
Dalam novel Adiga, kata Abidin, tokoh sentralnya sadar bahwa dia korban kemiskinan, dan karena itulah dia membenci kelas atas, apalagi yang sombong, sampai akhirnya dia membunuh juragannya. Itulah napas novel Adiga, White Tiger. Andaikata tidak ada Taliban di Afghanistan, Hosseini tidak mungkin mampu menulis novel The Kite Runner. Situasi yang sangat buruk dan penderitaan tanpa tara di Afghanistan akibat ulah Taliban dimanfaatkan oleh Hosseini.
Perempuan dalam novel Han Kang The Vegetarian menjadi sinting, atau tambah sinting, karena ayahnya, veteran perang Vietnam, suka menyiksa, kasar, dan kata-katanya juga jorok dan menjijikkan. Andaikata ayahnya tidak begitu, mungkin tokoh utamanya hidup normal.
“Maaf, Bapak, saya bukan siapa-siapa. Dan saya hanya membaca satu novel karya mereka. Mungkin kebetulan yang saya baca bukan novel terbaik mereka. Tapi novel terburuk mereka yang punya nama besar itu.”
“Lalu, novel siapa yang baik?” tanya saya.
“Novel yang tidak menyalahkan siapa-siapa. Tokoh utama Dostoevsky dalam Notes from Underground sinting karena memang dia sinting. Dia tidak menuduh siapa pun sebagai kambing hitam kesintingannya.
“Cerpen Edgar Allan Poe The Tell-Tale Heart bercerita tentang kekejian ‘aku’ karena ‘aku’ sendiri, tanpa kambing hitam kehidupan keluarganya, kemelaratannya, dan entah apalagi. Dalam noveletnya Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue, tokoh bernama Dupin jatuh miskin juga karena dia jatuh miskin, tanpa menyalahkan siapa pun. Hidupnya biasa-biasa saja, pikirannya tetap cemerlang, tanpa kambing hitam kemiskinan.”
Didahuluinya dengan “maaf, saya bukan siapa-siapa,” Abidin memberi banyak contoh lain.
Dengan permintaan maaf, saya tidak bisa memberi pendapat mengenai pendapatnya. Perhatian saya lebih tertarik pada Abidin sebagai pakar matematika, bukan Abidin sebagai pembaca sastra kelas atas. Dan lebih dari itu, saya lebih tertarik pada Abidin sebagai manusia.
Saya teringat zaman Pak Harto masih berkuasa. Selama menjadi presiden dalam jangka waktu tiga puluh dua tahun, adalah masuk akal apabila Pak Harto sering mengganti pejabat-pejabat tinggi negara.
Salah satu jaksa agung dalam pemerintahan Pak Harto, saya ingat, bernama Sukarton, lengkapnya Sukarton Marmosujono SH. Ketika masih menjadi mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada, Sukarton sering kelayapan ke kampus lain, yaitu ke fakultas sastra dan kebudayaan. Mengapa? Karena dia jatuh cinta pada Lastri Fardani, mahasiswa sastra barat fakultas sastra dan kebudayaan. Akhirnya Sukarton berhasil menikah dengan Lastri Fardani, dan Lastri Fardani juga bisa menyalurkan kegemarannya menulis untuk majalah wanita.
Tidak lama setelah lulus S-1 Sukarton menikah, sementara Abidin sampai sekarang masih jomblo. Dan seperti tokoh dalam novel-novel yang dia kagumi, dia jomblo tanpa menyalahkan siapa pun. Kalau jomblo dianggap sebagai kesalahan, maka kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri.
Tampak Abidin ingin mengemukakan sesuatu, tapi dapat menahan diri. Akhirnya dia saya ajak ke mall untuk makan, dan sesudah makan dia saya antar ke Bandara Juanda.
Ketika semua penumpang diminta untuk masuk paling lama sepuluh menit lagi, Abidin tampak ingin menangis menahan perasaan haru.
“Abidin, kamu memendam rahasia. Katakan apa yang kamu ingin katakan.”
“Bapak tahu di mana Maryam Mirzakhani bekerja?”
“Stanford University di California, Amerika.”
“Saya mendapat pekerjaan di sana, Bapak.”
“Selamat, Abidin. Tidak semua orang bisa menjadi dosen dan peneliti di Stanford.”
Stanford adalah nama orang kaya, murah hati, dan gaya hidupnya sangat sederhana. Bersama istrinya, Stanford mendatangi sebuah universitas tua dan terkenal, yaitu Harvard University di New England, untuk memberi donasi dalam jumlah besar. Tapi karena penampilannya seperti orang melarat, dia dan istrinya diusir. Tidak ada satu orang pun yang percaya bahwa Stanford dan istrinya benar-benar kaya. Meskipun dihina, hati mereka tetap mulia. Mereka ingin melihat anak-anak muda mendapat pendidikan yang baik, dan karena itulah akhirnya mendirikan sebuah universitas, Stanford University di California, sebuah negara bagian yang jauh letaknya dari New England.
“Apakah Bapak tahu keadaan Maryam Mirzakhani?”
“Sudah lama dia berjuang melawan kanker,” kata saya.
Waktu sudah habis, dan Abidin terpaksa meninggalkan saya.
Setelah saya yakin pesawat Abidin sudah terbang, saya masuk ke kedai, memesan teh. Saya membuka HP, langsung menuju ke Fox News. Berita terbaru: Maryam Mirzakhani, empat puluh tahun, dalam keadaan kritis.
Malam harinya saya membuka Fox News lagi, dan dari berita inilah saya tahu bahwa Maryam Mirzakhani, tokoh matematika yang sangat terkemuka, sudah meninggalkan dunia fana. ***

BUDI DARMA, sastrawan dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Karyanya, antara lain, Olenka (novel) dan Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen).

Kedatangan Renggali

Cerpen Ida Fitri (Kedaulatan Rakyat, 20 Agustus 2017)
Kedatangan Renggali ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Kedatangan Renggali ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SEMUA penduduk dataran tinggi Gayo tahu, kalau Renggali adalah bunga langka yang keberadaannya tak pernah terlihat lagi. Mereka terus mendongengi anak-anak tentang kembang ungu berbilah dua itu. Sebagai bukti turun temurun, dulu bunga itu merupakan lambang kebanggaan orang Gayo, sebagaimana Jeumpa telah diklaim milik warga pesisir.
Renggali hanya sebuah mitos hingga sebatang pohon berdaun lonjong-lonjong tumbuh di dapur Win Jeroh. Adalah Encu Dieni, selanjutnya kita panggil Encu saja, istri Win Jeroh yang pertama menemukan tumbuhan tersebut. Ia meyakini itu merupakan tumbuhan dari bumbu masakan yang terjatuh di dapur. Atau dari biji-bijian yang dibawa burung yang hinggap di jendela.
Encu tak tahu pasti, hal apa yang membuat ia membiarkan begitu saja tumbuhan itu di dapur. Pernah sekali waktu tangannya yang memegang pisau hendak memangkas pohon itu, tapi suara Win Jeroh yang meminta dibawakan kopi dari ruang depan membatalkan niat Encu. Ia meletakkan pisau di meja, lalu mulai memanaskan air untuk kopi sang suami.
Dapur yang berlantai tanah, sebagaimana umumnya rumah di pegunungan, membuat pohon itu tumbuh leluasa. Ia tumbuh di dekat tempat yang disemen seluas satu meter persegi untuk mencuci piring. Karena itu pula tumbuhan tersebut tidak pernah kekurangan air.
Encu tersenyum melihat tumbuhan itu semakin membesar, tak terbesit lagi keinginannya untuk memangkas tumbuhan yang tidak dikenal rupanya itu, bahkan ia juga melarang sang suami. Menurutnya, letak pohon di dekat tempat cuci piring bisa menghalangi pandangan orang kalau sekali waktu di malam yang sangat dingin, Encu malas ke kamar mandi yang letaknya beberapa meter di belakang rumah. Encu bisa buang air di tempat itu, tanpa takut dilihat Saga, kemenakan suaminya yang ikut bersama mereka.
Saga baru berumur lima tahun saat pertama ikut mereka. Ayah-ibu Saga menjadi korban gelombang air laut yang melanda Banda Aceh beberapa tahun yang lalu. Saga selamat karena terhempas ke atap sebuah rumah. Win Jeroh berhasil menemukan anak kecil itu di sebuah tenda pengungsian. Semenjak saat itu Saga ikut paman dan bibinya yang belum dikaruniai anak itu.
Tengah malam, ketika Encu terbangun karena kebutuhannya yang mendesak untuk buang air, ia terkejut melihat pohon yang tumbuh di dapur mengeluarkan bunga berwarna ungu dengan dua mahkota. Wujud kembang itu persis dengan yang didongengkan ibu selama ini. Perempuan itu menjerit membangunkan suami dan kemenakannya beserta penghuni dua rumah di dekat rumah mereka.
Win Jeroh yang berlari kecil ke dapur terpana melihat pemandangan di depannya. Penghuni dua rumah tetangga ikut terkejut mendapati bunga-bunga ungu bermunculan di pohon yang tumbuh di dapur rumah Win Jeroh itu.
Semenjak saat itu, kampung mereka menjadi sedikit berbeda. Kabar dari mulut ke mulut membuat orang-orang berdatangan untuk melihat bunga renggali yang terkenal langka itu. Mereka tak pernah menyangka kalau itu merupakan sebuah pertanda.
***
Mula pertama yang datang adalah penduduk desa sebelah untuk memaknai Renggali yang tumbuh di dapur rumah itu, kemudian penduduk di desa sebelahnya juga ikut mendengar kabar dari mulut ke mulut. Ibaratnya sebuah kabar penting, juru foto yang bekerja lepas di sebuah koran mengabadikan tumbuhan tersebut. Alhasil setelah muncul di halaman pertama sebuah surat kabar lokal, orang-orang kota yang mengaku pecinta bunga ikut berdatangan.
Saking banyaknya yang ingin melihat sang renggali yang terus bermekaran itu, mereka mulai kebingungan mencari penginapan. Beruntung, Sempena, orang Gayo yang kaya di perantauan berinisiatif mendirikan sebuah penginapan di dekat lokasi rumah Win Jeroh. Di sanalah orang-orang yang berdatangan dari berbagai penjuru kota bermalam.
Ternyata selain tempat bermalam, mereka juga butuh tempat makan. Ikan-ikan yang diambil dari Laut tawar yang terletak beberapa kilo meter dari desa itu sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan pendatang yang semakin hari semakin menyemut itu. Tak lama berselang, berdirilah beraneka ragam rumah makan dari berbagai penjuru nusantara. Dari yang menawarkan asam keueng, rendang, sampai nasi liwet bisa di jumpai di desa tersebut.
Renggali semakin hari semakin banyak memunculkan bunga-bunga berwarna ungu nan indah itu. Tumbuhan itu semakin berkembang, memenuhi dapur Win Jeroh. Setelah itu cabang-cabangnya mulai mengarah ke bagian rumah yang lain. Tetua desa mengadakan urun rembuk yang menyepakati kalau Win Jeroh dan keluarganya harus mencari rumah lain untuk ditempati. Sebenarnya Encu sedikit keberatan dengan usul itu, ia terlanjur mencintai rumahnya yang berada di punggung bukit. Namun keputusan tetua desa ibarat undang-undang tak tertulis yang harus dipatuhi setiap orang.
Dengan wajah bermuram durja, Encu dan keluarga meninggalkan rumah tersebut. Sebuah rumah berlantai dua sudah disediakan pemerintah untuk mereka tempati di desa tetangga. Rumah lama mereka otomatis menjadi milik negara. Para ilmuwan juga berdatangan untuk meneliti bunga langka yang dikabarkan sudah punah itu.
Sebenarnya kesedihan Encu Dieni bukan tanpa alasan. Ada satu hal yang selama ini luput dari perhatian orang desa dan pendatang itu. Diam-diam Encu mengambil beberapa helai daun bunga renggali kemudian direbusnya. Air rebusan itu ia minum bersama saripati buah pisang keupok. Dan karena itu ia merasa semakin sehat saja.
Beberapa hari setelah pindah ke rumah barunya yang berlantai dua, Encu merasakan ada yang berbeda dari dirinya. Kepala pusing dan ia ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya. Ia merasakan ada makhluk lain kini bersemayam di bawah pusarnya. Benar saja, setelah diperiksa bidan, ternyata Encu telah mengandung. Anak yang selama ini ia rindukan bersama sang suami, sejenak ia melupakan rumah lamanya di desa sebelah.
Win Jeroh semakin menyayangi sang istri. Semua keinginan perempuan itu selalu dipenuhinya, ia tak peduli harus ke dataran rendah di tengah malam hanya untuk mendapati kelapa muda yang diinginkan sang istri. Bayi dalam kandungan perempuan itu sudah sangat lama mereka rindukan. Kebahagiaan memeluk erat keluarga itu.
Perekonomian daerah itu tumbuh dengan cepat, semula penduduk hanya tergantung pada penghasilan kebun kopi, kini mulai ada yang mengelola rumah peristirahatan, rumah makan, dan anak-anak mereka yang selesai kuliah di kota pulang ke kampung untuk bekerja di perhotelan. Keindahan suasana pegunungan telah sampai hingga ke negara tetangga. Kini yang datang bukan hanya dari penjuru negeri, mereka yang berlainnan warna bola mata juga jatuh cinta pada lembah itu.
Hanya suatu pagi terjadi keganjilan yang lebih mengherankan dari kedatangan renggali itu sendiri. Jika biasanya kabut bewarna putih menghiasi puncak gunung, hari itu mereka melihat kabut hitam pekat mulai turun perlahan dari puncak menuju lembah.
Ketakutan mulai merasuk ke hati penduduk pribumi dan para pendatang. Para pendatang langsung berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Mobil-mobil berdesakan di jalan menuju keluar lembah dan menimbulkan kemacetan total. Mereka hanya bisa membunyikan klakson, sementara mobil tak bisa melaju sama sekali. Kekacauan mulai terlihat ketika pengemudi mobil di belakang turun untuk memaki pemilik mobil di depannya. Seorang pengemudi mobil lainnya menarik kerah baju pengemudi mobil di sampingnya yang tidak sengaja menyerempet kaca spion sedan orang itu. Pengemudi dan penumpang mulai turun dari mobil sambil memaki-maki, hanya sebagian saja yang tidak peduli memilih melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Penduduk setempat yang menduga kabut itu kutukan dari renggali mendatangi rumah lama Win Jeroh. Mereka membawa minyak dalam jligen dan mulai membakar rumah tempat renggali tumbuh itu. Asap hitam juga membubung ke angkasa.
Dari rumah baru yang berlantai dua, Encu mengendong putranya yang berusia tiga tahun sembari melihat ke arah penghuni mobil yang mulai anarkis di jalanan. Kemudian berpaling ke arah desa sebelah tempat rumah lamanya berada. Api telah melalap rumah demi rumah yang berada di sana. Win jeroh datang memegang bahu perempuan yang terlihat ketakutan itu.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Encu tanpa melihat sang suami.
Win Jeroh menarik napas panjang, sementara kabut hitam semakin dekat menuju desa. q-e

*) Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang bekerja di Dinkes Kab. Aceh Timur. Buku Kumcernya berjudul Air Mata Shakespeare (2016).