Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Mau jadi bubur ataupun jadi nasi, aku akan berusaha mendampingimu. (hlm. 92+4)
Ternyata banyak juga loh kalimat favorit dalam buku ini, simak ya:
Pasar itu adalah medan perang. Kau harus selalu siaga. (hlm. 76+3)
Cinta itu adalah percobaan. (hlm. 78+3)
Bagi para pekerja yang tidak punya waktu, semangat. (hlm. 78+4)
Penampilan dan kelebihan bukanlah segala-galanya. Kalau misalnya ada kemungkinan. (hlm. 86+2)
Tidak semua hal yang diinginkan manusia bisa dibeli dengan uang (hlm. 88+1)
Cinta itu move. Cinta itu move. (hlm. 93+1)
Selama kita hidup, adakalanya kita berdiri di persimpangan. Tidak
ada jawaban yang benar. Setelah memikirkannya dengan matang. Kita
memilih secara optimal. (hlm. 106+1)
Jangan mencoba mengerti, jika menyerah lebih nyaman. (hlm. 108+4)
Hal yang terpenting adalah bukan uang. (hlm. 115+2)
Cerpen Usep Romli HM (Tribun Jabar, 10 Desember 2017) Di Seine Meratapi Citarum ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
KABUT subuh menyambut di bandara intemasional De Gaulle. Romhongan
turis asal Bandung itu tiba juga di Paris, setelah sejam transit di
Dubai, tujuh jam yang lalu.
Dan ingatanku langsung melambung ke Bandung. Ke “Paris van Java”, yang berjarak ribuan kilometer nun di belahan bumi timur.
Pernah sekian tahun lalu, seorang kawan menulis di koran, tentang
“Bandung Paris van Java”. Tulis dia, gelar “Paris van Java” bagi Bandung
hanya tingkah iseng sepasang Sinyoh dan Nonih Belanda yang sedang
mengumbar asmara. Sedang duduk-duduk berduaan memadu kasih, di tengah
alam Bandung hijau rimbun, udara sejuk segar, tiba-tiba berucap: “Dit is als Parisj!” (Ini mirip Paris) “Ja, als Parisj…!” (Ya, mirip Paris) “We noemen het Parisj van Java!” (Kita beri nama saja Paris dari Jawa) “Ja, Paris van Java!” (Ya, Paris dari Jawa)
Kedua pasangan itu saling tatap mesra. Beradu senyum. Lalu bergumul
penuh gairah. Seperti burung-burung di alas pepohonan sepanjang bantaran
Sungai Cikapundung, yang membelah kota Bandung.
“Persis Seine!” Sinyoh menunjuk ke aliran Cikapundung, setelah bibirnya lepas dari bibir Nonih.
“Seine yang membelah kota Paris. Rive Droite, sebelah kanan, dan Rive
Gauche, sebelah kiri,” jawab Nonih sambil menjilat- jilatkan lidah ke
bibirnya. Membuat Sinyoh kembali mengulumnya lama.
Kata kawanku dalam tulisannya yang agak sinis itu:
“Percakapan Sinyoh dan Nonih itu tcrus merebak. Menjadi ujaran
khalayak. Padahal hanya cocok untuk tahun 1920-an. Sekarang Bandung
tidak layak lagi menyandang gelar Paris van Java. Sebab sudah penuh
sampah, tata kota kacau balau, trotoar padat pedagang. Banguman-bangunan
bernilai sejarah banyak yang diruntuhkan, diubah menjadi tempat
komersial. Beda dengan Paris yang tetap memelihara keasrian lingkungan,
memelihara bangunan-bangunan artistik peninggalan dulu kala.
Sungai-sungainya terawat, sehat dan bermanfaat. Tidak menjadi pembuangan
aneka macam kotoran, seperti Cikapundung dan Citarum, yang kini
merupakan septic tank terpanjang di dunia.”
Setelah beres urusan di imigrasi, dan pengambilan bagasi, di luar
dijemput pemandu wisata. Jumlah rombongan dihitung. Genap empat puluh
orang. Cocok dengan catatan pemaandu wisata. Lalu dipersilakan naik bus
wisata yang telah tersedia. Pukul 06.30 waktu Paris.
Pemandu wisata mengucapkan selamat datang dengan bahasa Prancis dan
Inggris, serta bahasa Indonesia terpatah-patah. Ia menerangkan sepintas
tentang Kota Paris. Menyebutkan beberapa nama tempat yang nanti akan
dikunjugi.
“Sekarang kita akan sarapan dulu!” kata pemandu wisata.
Semua anggota rombongan bergembira. Maklum, terakhir mengisi perut,
di pesawat, sekitar dua jam lalu. Sempat memejamkan mata lagi, walaupun
hanya terlayap-layap.
Sepanjang perjalanan menuju restoran, pemandu wisata menerangkan aneka macam makanan yang akan dihidangkan nanti.
“Ada soupe a l’oignon, sup bawang merah. Escargots bourguin-nne, panggang daging keong pakai bumbu. Post-au-fieu, rebus-rebusan daging sapi, daging ayam, telur. Dilengkapi macam-macam roti. Ada croissant roti lapis, ada brioches, petit pains roti kering kecil-kecil. Ada biffteket pommes frites, daging dan kentang goreng. Minumnya cafe au lait, kopi panas. Minuman penutup glace, es krim.”
“Nasi tak diabsen,” yang duduk di kursi belakang menginterupsi.
Anggota rombongan tertawa. Pemandu wisata juga ikut tertawa. Entah mengerti entah tidak istilah nasi.
“Belum juga makan, perut sudah kenyang,” kata seorang di depan, agak keras.
Seisi bus kembali tertawa serempak.
Hampir dua jam di restoran. Semua sibuk memakan apa saja yang
mengundang rasa penasaran. Terutama aneka jenis keju yang terbuat dari
susu domba. Rupa-rupa warna, rupa-rupa rasa, rupa-rupa nama. Ada requifort, brie, camembert, port-salut, colommiers, dan lain-lain.
“Di Bandung, kita kan makan gehu dan bala-bala terus. Nah, di sini,
keju terus,” kata seorang kawan. Tak ada sambutan tawa. Mimgkin karena
semua sedang sibuk memilih-milih keju dan makanan padanannya.
Dari restoran, berangkat lagi menuju tempat-tempat wisata yang sudah diagendakan.
“Kita akan berkunjung ke tempat-tempat termasyhur di Kota Paris,
hingga pukul 13.00. Nanti kita istirahat dulu di hotel. Pukul 16.00 kita
akan berlayar di Sungai Seine,” pemandu wsiata menerangkan lagi.
Yang pertama kali dikunjungi, yaitu Ile de la Cite, tempat
berdirinya Katedral Notre Dame. Bangunan buatan abad ke-12.
Dinding-dindingnya yang kokoh dan besar penuh ukiran seni Gotik yang
halus. Dari puncak menara, asyik mengumbar pandang ke hamparan Kota
Paris. Sesekali menatap lukisan yang tertatah di sekeliling dinding
katedral. Lukisan timbul yang disebut gargoyles. Gambar
rupa-rupa monster aneh-aneh dan menyeramkan. Kepala bertanduk. Mulut
berpelatuk. Sering membuat bulu kuduk merinding. Tapi kata pemandu
wisata, gambar-gambar itu amat disukai para pengunjung Paris.
“Nanti di bawah, di kios-kios cendera mata, kita bisa membeli
kartupos yang dihiasi gambar-gambar monster itu. Laku keras karena
dianggap ciri dan simbol Kota Paris.”
Dari katedral, lewat sisi Sungai Seine. Betul sekali, amat bersih.
Tak ada sehelai sampah pun. Airnya teramat bening. Hati berdesir. Sedih.
Teringat Citarum yang sudah membangkai. Teringat Cikapundung yang
airnya hitam legam.
“Betapa indahnya jika Citarum dan Cikapundung seperti ini….” seorang
kawan yang berjalan berdampingan setengah berbisik. Ternyata sama
seperasaan. Hanya saja, bagaimana mengelolanya walaupun kedua sungai itu
ada di “Parisj van Java”.
Yang dituju Museum Louvre. Salah satu museum seni terbesar di dunia.
Tempat menyimpan karya-karya adiluhung, baik lukisan maupun patung, yang
harganya tak terukur oleh jumlah nominal. Di antaranya karya-karya dari
zaman Yunani Kuno, seperti Venus de Milo, Winged Victory, dan lain-lain. Juga, lukisan Monalisa kaya Leonardo da Vinci, yang hidup pada abad ke-3.
Karya-karya lukisan generasi baru, baik aliran impresionis maupun
pos-impresionis, disimpan di Museum Je de Paume, tak jauh dari Louvre.
Di antaranya karya-karya Edoard Manet, Claude Monet, Paul Cezzane, dan
Paul Gauguin. Warna-warni lukisannya meriah, segar. Menarik perhatian
setiap orang yang memandangnya. Bahkan yang tak mengerti soal seni lukis
sekalipun.
Mengenai banyaknya museum di Paris, yang dikunjungi ribuan orang setiap hari, pemandu wisata menjelaskan penuh rasa bangga:
“Di negara beradab berbudaya, tentu akan lebih banyak gedung museum
daripada gedung penjara. Pengunjungnya juga lebih banyak daripada
pengunjung penjara.”
“Ah, kau menyindirku. Kurang ajar,” hati menggerutu. Tapi memang
betul. Ingat ke negeri sendiri. Jarang sekali bangunan museum. Kalah
banyak oleh gedung penjara. Malah penghuninya amat padat. Melampaui
kapasitas. Seharusnya berisi seribu narapidana, ini diisi dua ribu.
Dijejal bagai ikan pindang. Jikapun ada museum, jumlah pengunjungnya
kalah oleh jumlah orang yang besuk ke penjara.
Pas pukul 13.00, rombongan diantar ke hotel. Ada waktu istirahat
kira-kira tiga jam. Dan sebelum merebahkan diri di tempat, melaksanakan
dulu salat Zuhur jama qasar dengan salat Asar. Pukul 16, seusai
mandi, dan ganti pakaian, turun ke lobi hotel. Pemandu wisata sudah
siap menunggu rombongan kumpul.
“Kita sekarang ke Sungai Seine,” pemandu wisata melangkah ke luar hotel setelah menghitung anggota rombongan.
Berjalan sepanjang pinggir dermaga sungai yang ditembok. Cukup luas.
Enak dan aman buat pejalan kaki. Pemandu wisata menerangkan, Sungai
Seine amat terpelihara sejak hulu hingga muara. Pelan-pelan ia
mendendangkan lagu rakyat Prancis kuno, yang menggambarkan Sungai Seine
sebagai “kekasih yang saling mengasihi dengan Paris”.
Selama berjalan di dermaga, menuju pangkalan bateau mouche,
perahu untuk berlayar, tak terlihat ada lubang-lubang pipa menjulur ke
sungai, seperti banyak terlihat di Cikapundung dan sungai-sungai lain di
seluruh Tanah Air.
“Di Paris, di Prancis, serta negara-negara Eropa lain, orang yang
membuang sampah atau kotoran lain ke sungai akan dikucilkan oleh
tetangga dan warga sekitar. Dan diajukan ke pengadilan. Mendapat hukuman
setimpal. Di penjara dan didenda ribuan euro,” jawab pemandu wisata
ketika ditanya soal tak ada lubang pipa pembuangan di pinggir sungai.
“Setiap rumah di piggir sungai, bagian depan rumahnya harus menghadap ke
sungai. Tiap rumah wajib memiliki sarana pembuangan kotoran. Nanti pada
hari tertentu diangkut oleh petugas kebersihan kota. Dibawa ke tempat
pengolahan limbah.”
Sepanjang belayar di atas bateaumouche, menyusuri
Seine, sangat asyik menikmati panorama sungai dan sekitarnya. Tapi mata
sibak basah, dan pikiran melayang ke Citarum, ke Cikapundung,
keindahannya dirusak kelakuan orang-orang, serta tak ada hukum yang
melindunginya.
“Parisj van Java hanya tinggal nama….” ingat lagi pada tulisannya
yang dulu dianggap sinis. Namun setelah membandingkan sendiri, langsung
di lokasi, hati menyetujui.
Dan di Seine, meratapi Citarum yang sudah lama busuk membangkai. ***
2017
Usep Romli H.M. adalah sastrawan Sunda yang
lahir di Limbangan. Garut. 16 April 1949. Usep menulis, terutama dalam
bahasa Sunda, sejak masih duduk di SPG. Sajak dan cerita pendeknya
dimuat di sejumlah media. Ia pernah menerima berbagai penghargaan,
termasuk Hadiah Sastra LBSS dan Hadiah Sastra Rancage.
Cerpen Dewi Musdalifah (Radar Surabaya, 10 Desember 2017) Gerimis Tipis dari Sudut Mata Burung-burung Kecil ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Aku tinggal di sebuah gua bukit kapur, di tepian kota. Kuputuskan
berdiam di sini dan menjadikan gua ini tempat perlindungan, karena
dinding-dindingnya tak bisa ditembus kata-kata berdenging. Terasa lebih
tenang, dan sunyi menghapus kenangan.
Lenteraku, cacing-cacing yang menempel di atap gua. Kulitnya
mengeluarkan lampu bagaikan ribuan bintang menerangi malam. Di
sekeliling gua, tanaman kemangi dan lavender semerbak baunya. Gemericik
air mengalir dari akar pohon besar yang menjuntai dari perbukitan di
atasnya.
Setiap hari, aku bertamsil pujangga, menciptakan pengakuan-pengakuan
dalam lirik, dan khusuk menghikmati hidup dalam kesunyian. Aku nembang
dan menuliskan larik-lariknya pada dinding gua. Tak ada siang, tak ada
malam. Di sini, aku sering menyambut teman-temanku, binatang yang datang
berkunjung. Biasanya dari golongan melata dan serangga. Mereka tak
pernah merepotkanku, karena mereka membawa perbekalan makanannya
sendiri. Merekalah yang paling setia menonton konser macapatku.
Aku juga sering dikunjungi burung-burung gereja yang mengintip, lalu
selalu menanyakan kabar, “Bagaimana manusia gua?” menjawabnya, “Baik,
bagaimana kabar dunia di luar sana?”
Burung burung kecil itu tidak menjawab, tetapi dari sudut matanya mengeluarkan gerimis tipis yang makin menderas.
“Kenapa selalu seperti itu jawabanmu? Kau menangisi dunia?” Aku
benar-benar terputus dari dunia di luar tempat yang sekarang kuhuni.
Terakhir yang aku tahu, keadaan di luar sana, manusia menjadi semakin
dingin, berambisi membangun dinding beku, menciptakan robot-robot.
Setelah mencucurkan air matanya, biasanya burung-burung itu pergi
begitu saja. Membiarkan aku dengan pikiranku sendiri mengikuti arah
kembaranya.
***
Dong …dong …dong….
Seluruh dinding gua itu bergetar, seakan mau runtuh.
Serpihan-serpihan atapnya seperti hujan turun menerpa tubuhku. Terlihat
bayangan orang-orang di atas. Apa yang mereka lakukan?
“Hai, sedang apa kalian di atas sana?”
Sepertinya mereka tidak mendengar. Aku mencari batu tertinggi di
dalam gua, menaikinya dan berteriak sekuat tenaga, “Kalian mau apa?”
Suaranya tentu saja menggema. Selang tak lama, suara gedoran pada atap
gua berhenti. Kesempatan bagiku untuk bersuara lebih kencang, “Siapa
kalian? Mengapa membuat keributan di tempatku!!!”
Satu, dua, tiga orang menerobos masuk lewat lubang gua di atas air
mengalir. Mereka berpakaian serba logam yang tipis. Hanya mata dan
bibirnya yang masih terlihat dagingnya.
Aku memulai pembicaraan, “Untuk apa kalian datang kemari?”
Berhati-hati aku mengajak mereka bicara, “Aku penghuni gua ini, siapa kalian?”
Ketiga orang asing itu saling memandang. Saat mereka menggerak-gerakkan mulutnya, yang keluar adalah suara dengungan.
Aku tak kuat mendengarnya, “Tolong hentikan! Aku tak mengerti bahasa kalian. Suara kalian membuat telingaku sakit!”
Mereka merangsek mendekat. Dengan cepat mereka memberangus kedua
tanganku. Aku panik. Aku berusaha memberontak. Pikirku, mereka pasti
berniat melenyapkanku. Tangan mereka ‘menempel di tangan dan tengkukku.
Dingin. Aku mencium aroma besi. Apakah mereka robot? Tubuh yang ringkih
dimakan usia membuatku menyerah. Tubuhku lunglai.
Setelah aku pasrah, sekarang mereka lebih ramah padaku. Lalu
membimbingku keluar gua. Di luar gua ada beberapa orang berdiri.
Tampaknya sudah cukup lama mereka menanti. Beberapa di antara mereka tak
memakai baju besi. Pakaian yang mereka kenakan sama denganku. Meski
terlihat belum menyatu dengan fisiknya, salah satu dari mereka
menghampiriku, mengulurkan tangannya padaku, dan berkata, “Saya Bima,
dari padepokan Titi Laras. Selamat datang kemhali, Mbah Karso. Kami
mencarimu ke mana- mana. Kami membutuhkan macapat yang Mbah punya.
Tolong…ajari kami.” Matanya sayu, wajahnya seputih kapas, seperti tidak
dialiri darah.
“Untuk apa aku mengajari kalian? Bukankah kalian tidak membutuhkannya?” Aku tidak percaya dengan kata-katanya.
“Kami ingin belajar tentang jiwa, cinta, dan rasa, berbicara dengan
alam dan binatang. Kami sangat kesepian sebagai manusia,” suara mereka
memelas.
“Bukankah kalian selama ini menganggap tembang-tembangku tidak
berguna? Bahkan kalian menganggap virus berbahaya dan harus
dimusnahkan?” Aku menjawab dengan ketus, masih terasa sakit hati.
“Jangan berpikir aku tidak tahu yang kalian lakukan, membuat arak-arakan
di depan rumah dan menyerangku dengan kata-kata asing yang sangat
bising, untuk mengusirku.” Peristiwa itu membentang begitu saja di depan
mata. “Maaf, aku tidak bisa mengikuti kalian,” aku menegaskan kembali
keputusanku.
Mereka menundukkan kepala. “Tolonglah kami, Mbah. Tanpa belajar dari
Mbah, kami hanya seonggok daging mati, tak punya jiwa. Kami tak bisa
juga memahami apa pun di luar diri kami. Bahkan tak memahami siapa diri
kami sendiri.” Bima berbicara panjang lebar. “Banyak dari kami yang
bunuh diri, sakit pikiran. Tolonglah Mbah, sebelum kami semua musnah
oleh keadaan ini.”
Matanya berkaca-kaca. Putus asa. Berbarengan mereka mengelilingiku
dan menjatuhkan tubuh, lalu menangis di hadapanku. Lantas mereka
berbicara serentak, “Ikutlah kami, Mbah. Ajari kami…”
Bergolak hatiku menyaksikan pemandangan ini. “Tapi, aku tidak tahan
dengan suara dari mesin-mesin yang memproduksi kata-kata asing itu.”
Teringat masa lalu yang membuatku bersembunyi di dalam gua….
Pagi seperti biasa, aku nembang kidung di dalam rumah. Larik-larik
kinanti, dandang gulo, pangkur, durmo mengalir dari bibir rentaku.
Tembang lelakon dan tuladha setia mengajari tutur yang luhur, meski
terasing dan menyayat hati. Tak ada pelantun macapat cinta, selain aku—
pewaris kata masa lalu. Jangankan membaca, mendengarkankan saja mereka
sudah antipati, dianggap berbau gaib, tidak rasional, cuma melulu soal
rasa, cinta, alam dan makhluk Tuhan selain manusia.
sampune muji Hyang Widhi, amuji nabi Mochamad kelawan kulawargane sekabat sekawan ika kang dhihin Abubakar Umar lan Usman punika kaping pat Ali Murtada
Mendadak telingaku terasa penuh suara berdengung, mendenging, dan
berdesing. Aku bergegas menuju pintu, berusaha menemukan asal suara.
Betapa di luar aku melihat ada arak- arakan, pawai sekelompok orang
berbaris dengan rapi.
Semuanya menunduk, dengan mata tertuju pada sebentuk benda persegi
yang dipegang kedua tangan masing-masing dari mereka. Jumlahnya ratusan.
Dari benda itulah sumber kegaduan berasal; kata-kata asing yang
berputar-putar, seperti bersayap. Tetapi, kenapa mereka tidak terganggu
sama sekali? Mereka seperti tak mendengarkannya. Semakin aku
mendekat, semakin bising kata-kata keluar dari benda itu memenuhi
kepalaku ke mana pun aku berada. Seperti ada kawanan kata bercericit
mematuki tanpa ampun. Kata-kata asing itu memiliki satelit pelacak,
sinyal-sinyal. Satu per satu jaringan syaraf di kepalaku lumpuh,
merembet ke dalam hati. Aku takut hatiku mati. Aku menyingkir….
Tapi itu luka yang telah berlalu dalam suatu masa. Yang kuhadapi
sekarang adalah masa kini, sekelompok orang bertampang aneh,
berperawakan nyeleneh dan isakan tangis yang masih kuhafal betul itu
datang dari sesosok manusia.
“Kami mengerti, makanya kami membuat pakaian pelindung ini buat Mbah Karso.”
Mereka memberiku seperangkat baju besi tipis dan pelindung kepala. Mereka mengenakannya ke tubuhku.
“Baiklah, demi kemanusiaan aku mau mengajari kalian.”
Tanpa kuduga mereka semua memelukku. “Terima kasih, Mbah.”
Seseorang yang bertubuh paling gempal kemudian menggendongku di atas
punggungnya. Bersama mereka aku menuruni bukit kapur menuju kota yang
mirip rimba beton itu. Hawa dingin menusuk-nusuk wajahku yang tak
tertutup besi. Sedingin atmosfir hatiku di ambang keraguan antara
harapan bertahan atau kematian.
Ah…. Aku masih meyakini kesedihan, penderitaan, dan tangisan tidaklah
mengenal masa silam, kini, dan yang akan datang. Ia bisa ada begitu
saja, di mana saja dan kapan saja. Kulihat di atas sana burung-burung
kecil dari sudut matanya masih juga mengeluarkan gerimis tipis. Seperti
biasanya, burung-burung itu pergi begitu saja. (*)
Penulis adalah guru dan pegiat literasi di Gresik.