Daftar Blog Saya

Rabu, 13 Desember 2017

Kutipan Majo & Sady vol. 2

Mau jadi bubur ataupun jadi nasi, aku akan berusaha mendampingimu. (hlm. 92+4)

Ternyata banyak juga loh kalimat favorit dalam buku ini, simak ya:
  1. Pasar itu adalah medan perang. Kau harus selalu siaga. (hlm. 76+3)
  2. Cinta itu adalah percobaan. (hlm. 78+3)
  3. Bagi para pekerja yang tidak punya waktu, semangat. (hlm. 78+4)
  4. Penampilan dan kelebihan bukanlah segala-galanya. Kalau misalnya ada kemungkinan. (hlm. 86+2)
  5. Tidak semua hal yang diinginkan manusia bisa dibeli dengan uang (hlm. 88+1)
  6. Cinta itu move. Cinta itu move. (hlm. 93+1)
  7. Selama kita hidup, adakalanya kita berdiri di persimpangan. Tidak ada jawaban yang benar. Setelah memikirkannya dengan matang. Kita memilih secara optimal. (hlm. 106+1)
  8. Jangan mencoba mengerti, jika menyerah lebih nyaman. (hlm. 108+4)
  9. Hal yang terpenting adalah bukan uang. (hlm. 115+2)
  10. Otak manusia memang sangat cerdik.

Di Seine Meratapi Citarum

Cerpen Usep Romli HM (Tribun Jabar, 10 Desember 2017)
Di Seine Meratapi Citarum ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Di Seine Meratapi Citarum ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
KABUT subuh menyambut di bandara intemasional De Gaulle. Romhongan turis asal Bandung itu tiba juga di Paris, setelah sejam transit di Dubai, tujuh jam yang lalu.
Dan ingatanku langsung melambung ke Bandung. Ke “Paris van Java”, yang berjarak ribuan kilometer nun di belahan bumi timur.
Pernah sekian tahun lalu, seorang kawan menulis di koran, tentang “Bandung Paris van Java”. Tulis dia, gelar “Paris van Java” bagi Bandung hanya tingkah iseng sepasang Sinyoh dan Nonih Belanda yang sedang mengumbar asmara. Sedang duduk-duduk berduaan memadu kasih, di tengah alam Bandung hijau rimbun, udara sejuk segar, tiba-tiba berucap:
“Dit is als Parisj!” (Ini mirip Paris)
“Ja, als Parisj…!” (Ya, mirip Paris)
“We noemen het Parisj van Java!” (Kita beri nama saja Paris dari Jawa)
“Ja, Paris van Java!” (Ya, Paris dari Jawa)
Kedua pasangan itu saling tatap mesra. Beradu senyum. Lalu bergumul penuh gairah. Seperti burung-burung di alas pepohonan sepanjang bantaran Sungai Cikapundung, yang membelah kota Bandung.
“Persis Seine!” Sinyoh menunjuk ke aliran Cikapundung, setelah bibirnya lepas dari bibir Nonih.
“Seine yang membelah kota Paris. Rive Droite, sebelah kanan, dan Rive Gauche, sebelah kiri,” jawab Nonih sambil menjilat- jilatkan lidah ke bibirnya. Membuat Sinyoh kembali mengulumnya lama.
Kata kawanku dalam tulisannya yang agak sinis itu:
“Percakapan Sinyoh dan Nonih itu tcrus merebak. Menjadi ujaran khalayak. Padahal hanya cocok untuk tahun 1920-an. Sekarang Bandung tidak layak lagi menyandang gelar Paris van Java. Sebab sudah penuh sampah, tata kota kacau balau, trotoar padat pedagang. Banguman-bangunan bernilai sejarah banyak yang diruntuhkan, diubah menjadi tempat komersial. Beda dengan Paris yang tetap memelihara keasrian lingkungan, memelihara bangunan-bangunan artistik peninggalan dulu kala. Sungai-sungainya terawat, sehat dan bermanfaat. Tidak menjadi pembuangan aneka macam kotoran, seperti Cikapundung dan Citarum, yang kini merupakan septic tank terpanjang di dunia.”
Setelah beres urusan di imigrasi, dan pengambilan bagasi, di luar dijemput pemandu wisata. Jumlah rombongan dihitung. Genap empat puluh orang. Cocok dengan catatan pemaandu wisata. Lalu dipersilakan naik bus wisata yang telah tersedia. Pukul 06.30 waktu Paris.
Pemandu wisata mengucapkan selamat datang dengan bahasa Prancis dan Inggris, serta bahasa Indonesia terpatah-patah. Ia menerangkan sepintas tentang Kota Paris. Menyebutkan beberapa nama tempat yang nanti akan dikunjugi.
“Sekarang kita akan sarapan dulu!” kata pemandu wisata.
Semua anggota rombongan bergembira. Maklum, terakhir mengisi perut, di pesawat, sekitar dua jam lalu. Sempat memejamkan mata lagi, walaupun hanya terlayap-layap.
Sepanjang perjalanan menuju restoran, pemandu wisata menerangkan aneka macam makanan yang akan dihidangkan nanti.
Ada soupe a l’oignon, sup bawang merah. Escargots bourguin-nne, panggang daging keong pakai bumbu. Post-au-fieu, rebus-rebusan daging sapi, daging ayam, telur. Dilengkapi macam-macam roti. Ada croissant roti lapis, ada brioches, petit pains roti kering kecil-kecil. Ada bifftek et pommes frites, daging dan kentang goreng. Minumnya cafe au lait, kopi panas. Minuman penutup glace, es krim.”
“Nasi tak diabsen,” yang duduk di kursi belakang menginterupsi.
Anggota rombongan tertawa. Pemandu wisata juga ikut tertawa. Entah mengerti entah tidak istilah nasi.
“Belum juga makan, perut sudah kenyang,” kata seorang di depan, agak keras.
Seisi bus kembali tertawa serempak.
Hampir dua jam di restoran. Semua sibuk memakan apa saja yang mengundang rasa penasaran. Terutama aneka jenis keju yang terbuat dari susu domba. Rupa-rupa warna, rupa-rupa rasa, rupa-rupa nama. Ada requifort, brie, camembert, port-salut, colommiers, dan lain-lain.
“Di Bandung, kita kan makan gehu dan bala-bala terus. Nah, di sini, keju terus,” kata seorang kawan. Tak ada sambutan tawa. Mimgkin karena semua sedang sibuk memilih-milih keju dan makanan padanannya.
Dari restoran, berangkat lagi menuju tempat-tempat wisata yang sudah diagendakan.
“Kita akan berkunjung ke tempat-tempat termasyhur di Kota Paris, hingga pukul 13.00. Nanti kita istirahat dulu di hotel. Pukul 16.00 kita akan berlayar di Sungai Seine,” pemandu wsiata menerangkan lagi.
Yang pertama kali dikunjungi, yaitu Ile de la Cite, tempat berdirinya Katedral Notre Dame. Bangunan buatan abad ke-12. Dinding-dindingnya yang kokoh dan besar penuh ukiran seni Gotik yang halus. Dari puncak menara, asyik mengumbar pandang ke hamparan Kota Paris. Sesekali menatap lukisan yang tertatah di sekeliling dinding katedral. Lukisan timbul yang disebut gargoyles. Gambar rupa-rupa monster aneh-aneh dan menyeramkan. Kepala bertanduk. Mulut berpelatuk. Sering membuat bulu kuduk merinding. Tapi kata pemandu wisata, gambar-gambar itu amat disukai para pengunjung Paris.
“Nanti di bawah, di kios-kios cendera mata, kita bisa membeli kartupos yang dihiasi gambar-gambar monster itu. Laku keras karena dianggap ciri dan simbol Kota Paris.”
Dari katedral, lewat sisi Sungai Seine. Betul sekali, amat bersih. Tak ada sehelai sampah pun. Airnya teramat bening. Hati berdesir. Sedih. Teringat Citarum yang sudah membangkai. Teringat Cikapundung yang airnya hitam legam.
“Betapa indahnya jika Citarum dan Cikapundung seperti ini….” seorang kawan yang berjalan berdampingan setengah berbisik. Ternyata sama seperasaan. Hanya saja, bagaimana mengelolanya walaupun kedua sungai itu ada di “Parisj van Java”.
Yang dituju Museum Louvre. Salah satu museum seni terbesar di dunia. Tempat menyimpan karya-karya adiluhung, baik lukisan maupun patung, yang harganya tak terukur oleh jumlah nominal. Di antaranya karya-karya dari zaman Yunani Kuno, seperti Venus de Milo, Winged Victory, dan lain-lain. Juga, lukisan Monalisa kaya Leonardo da Vinci, yang hidup pada abad ke-3.
Karya-karya lukisan generasi baru, baik aliran impresionis maupun pos-impresionis, disimpan di Museum Je de Paume, tak jauh dari Louvre. Di antaranya karya-karya Edoard Manet, Claude Monet, Paul Cezzane, dan Paul Gauguin. Warna-warni lukisannya meriah, segar. Menarik perhatian setiap orang yang memandangnya. Bahkan yang tak mengerti soal seni lukis sekalipun.
Mengenai banyaknya museum di Paris, yang dikunjungi ribuan orang setiap hari, pemandu wisata menjelaskan penuh rasa bangga:
“Di negara beradab berbudaya, tentu akan lebih banyak gedung museum daripada gedung penjara. Pengunjungnya juga lebih banyak daripada pengunjung penjara.”
“Ah, kau menyindirku. Kurang ajar,” hati menggerutu. Tapi memang betul. Ingat ke negeri sendiri. Jarang sekali bangunan museum. Kalah banyak oleh gedung penjara. Malah penghuninya amat padat. Melampaui kapasitas. Seharusnya berisi seribu narapidana, ini diisi dua ribu. Dijejal bagai ikan pindang. Jikapun ada museum, jumlah pengunjungnya kalah oleh jumlah orang yang besuk ke penjara.
Pas pukul 13.00, rombongan diantar ke hotel. Ada waktu istirahat kira-kira tiga jam. Dan sebelum merebahkan diri di tempat, melaksanakan dulu salat Zuhur jama qasar dengan salat Asar. Pukul 16, seusai mandi, dan ganti pakaian, turun ke lobi hotel. Pemandu wisata sudah siap menunggu rombongan kumpul.
“Kita sekarang ke Sungai Seine,” pemandu wisata melangkah ke luar hotel setelah menghitung anggota rombongan.
Berjalan sepanjang pinggir dermaga sungai yang ditembok. Cukup luas. Enak dan aman buat pejalan kaki. Pemandu wisata menerangkan, Sungai Seine amat terpelihara sejak hulu hingga muara. Pelan-pelan ia mendendangkan lagu rakyat Prancis kuno, yang menggambarkan Sungai Seine sebagai “kekasih yang saling mengasihi dengan Paris”.
Selama berjalan di dermaga, menuju pangkalan bateau mouche, perahu untuk berlayar, tak terlihat ada lubang-lubang pipa menjulur ke sungai, seperti banyak terlihat di Cikapundung dan sungai-sungai lain di seluruh Tanah Air.
“Di Paris, di Prancis, serta negara-negara Eropa lain, orang yang membuang sampah atau kotoran lain ke sungai akan dikucilkan oleh tetangga dan warga sekitar. Dan diajukan ke pengadilan. Mendapat hukuman setimpal. Di penjara dan didenda ribuan euro,” jawab pemandu wisata ketika ditanya soal tak ada lubang pipa pembuangan di pinggir sungai. “Setiap rumah di piggir sungai, bagian depan rumahnya harus menghadap ke sungai. Tiap rumah wajib memiliki sarana pembuangan kotoran. Nanti pada hari tertentu diangkut oleh petugas kebersihan kota. Dibawa ke tempat pengolahan limbah.”
Sepanjang belayar di atas bateau mouche, menyusuri Seine, sangat asyik menikmati panorama sungai dan sekitarnya. Tapi mata sibak basah, dan pikiran melayang ke Citarum, ke Cikapundung, keindahannya dirusak kelakuan orang-orang, serta tak ada hukum yang melindunginya.
“Parisj van Java hanya tinggal nama….” ingat lagi pada tulisannya yang dulu dianggap sinis. Namun setelah membandingkan sendiri, langsung di lokasi, hati menyetujui.
Dan di Seine, meratapi Citarum yang sudah lama busuk membangkai. ***

2017
Usep Romli H.M. adalah sastrawan Sunda yang lahir di Limbangan. Garut. 16 April 1949. Usep menulis, terutama dalam bahasa Sunda, sejak masih duduk di SPG. Sajak dan cerita pendeknya dimuat di sejumlah media. Ia pernah menerima berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Sastra LBSS dan Hadiah Sastra Rancage.

Gerimis Tipis dari Sudut Mata Burung-burung Kecil

Cerpen Dewi Musdalifah (Radar Surabaya, 10 Desember 2017)
Gerimis Tipis dari Sudut Mata Burung-burung Kecil ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Gerimis Tipis dari Sudut Mata Burung-burung Kecil ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Aku tinggal di sebuah gua bukit kapur, di tepian kota. Kuputuskan berdiam di sini dan menjadikan gua ini tempat perlindungan, karena dinding-dindingnya tak bisa ditembus kata-kata berdenging. Terasa lebih tenang, dan sunyi menghapus kenangan.
Lenteraku, cacing-cacing yang menempel di atap gua. Kulitnya mengeluarkan lampu bagaikan ribuan bintang menerangi malam. Di sekeliling gua, tanaman kemangi dan lavender semerbak baunya. Gemericik air mengalir dari akar pohon besar yang menjuntai dari perbukitan di atasnya.
Setiap hari, aku bertamsil pujangga, menciptakan pengakuan-pengakuan dalam lirik, dan khusuk menghikmati hidup dalam kesunyian. Aku nembang dan menuliskan larik-lariknya pada dinding gua. Tak ada siang, tak ada malam. Di sini, aku sering menyambut teman-temanku, binatang yang datang berkunjung. Biasanya dari golongan melata dan serangga. Mereka tak pernah merepotkanku, karena mereka membawa perbekalan makanannya sendiri. Merekalah yang paling setia menonton konser macapatku.
Aku juga sering dikunjungi burung-burung gereja yang mengintip, lalu selalu menanyakan kabar, “Bagaimana manusia gua?” menjawabnya, “Baik, bagaimana kabar dunia di luar sana?”
Burung burung kecil itu tidak menjawab, tetapi dari sudut matanya mengeluarkan gerimis tipis yang makin menderas.
“Kenapa selalu seperti itu jawabanmu? Kau menangisi dunia?” Aku benar-benar terputus dari dunia di luar tempat yang sekarang kuhuni.
Terakhir yang aku tahu, keadaan di luar sana, manusia menjadi semakin dingin, berambisi membangun dinding beku, menciptakan robot-robot.
Setelah mencucurkan air matanya, biasanya burung-burung itu pergi begitu saja. Membiarkan aku dengan pikiranku sendiri mengikuti arah kembaranya.
***
Dong …dong …dong….
Seluruh dinding gua itu bergetar, seakan mau runtuh. Serpihan-serpihan atapnya seperti hujan turun menerpa tubuhku. Terlihat bayangan orang-orang di atas. Apa yang mereka lakukan?
“Hai, sedang apa kalian di atas sana?”
Sepertinya mereka tidak mendengar. Aku mencari batu tertinggi di dalam gua, menaikinya dan berteriak sekuat tenaga, “Kalian mau apa?” Suaranya tentu saja menggema. Selang tak lama, suara gedoran pada atap gua berhenti. Kesempatan bagiku untuk bersuara lebih kencang, “Siapa kalian? Mengapa membuat keributan di tempatku!!!”
Satu, dua, tiga orang menerobos masuk lewat lubang gua di atas air mengalir. Mereka berpakaian serba logam yang tipis. Hanya mata dan bibirnya yang masih terlihat dagingnya.
Aku memulai pembicaraan, “Untuk apa kalian datang kemari?”
Berhati-hati aku mengajak mereka bicara, “Aku penghuni gua ini, siapa kalian?”
Ketiga orang asing itu saling memandang. Saat mereka menggerak-gerakkan mulutnya, yang keluar adalah suara dengungan.
Aku tak kuat mendengarnya, “Tolong hentikan! Aku tak mengerti bahasa kalian. Suara kalian membuat telingaku sakit!”
Mereka merangsek mendekat. Dengan cepat mereka memberangus kedua tanganku. Aku panik. Aku berusaha memberontak. Pikirku, mereka pasti berniat melenyapkanku. Tangan mereka ‘menempel di tangan dan tengkukku. Dingin. Aku mencium aroma besi. Apakah mereka robot? Tubuh yang ringkih dimakan usia membuatku menyerah. Tubuhku lunglai.
Setelah aku pasrah, sekarang mereka lebih ramah padaku. Lalu membimbingku keluar gua. Di luar gua ada beberapa orang berdiri. Tampaknya sudah cukup lama mereka menanti. Beberapa di antara mereka tak memakai baju besi. Pakaian yang mereka kenakan sama denganku. Meski terlihat belum menyatu dengan fisiknya, salah satu dari mereka menghampiriku, mengulurkan tangannya padaku, dan berkata, “Saya Bima, dari padepokan Titi Laras. Selamat datang kemhali, Mbah Karso. Kami mencarimu ke mana- mana. Kami membutuhkan macapat yang Mbah punya. Tolong…ajari kami.” Matanya sayu, wajahnya seputih kapas, seperti tidak dialiri darah.
“Untuk apa aku mengajari kalian? Bukankah kalian tidak membutuhkannya?” Aku tidak percaya dengan kata-katanya.
“Kami ingin belajar tentang jiwa, cinta, dan rasa, berbicara dengan alam dan binatang. Kami sangat kesepian sebagai manusia,” suara mereka memelas.
“Bukankah kalian selama ini menganggap tembang-tembangku tidak berguna? Bahkan kalian menganggap virus berbahaya dan harus dimusnahkan?” Aku menjawab dengan ketus, masih terasa sakit hati. “Jangan berpikir aku tidak tahu yang kalian lakukan, membuat arak-arakan di depan rumah dan menyerangku dengan kata-kata asing yang sangat bising, untuk mengusirku.” Peristiwa itu membentang begitu saja di depan mata. “Maaf, aku tidak bisa mengikuti kalian,” aku menegaskan kembali keputusanku.
Mereka menundukkan kepala. “Tolonglah kami, Mbah. Tanpa belajar dari Mbah, kami hanya seonggok daging mati, tak punya jiwa. Kami tak bisa juga memahami apa pun di luar diri kami. Bahkan tak memahami siapa diri kami sendiri.” Bima berbicara panjang lebar. “Banyak dari kami yang bunuh diri, sakit pikiran. Tolonglah Mbah, sebelum kami semua musnah oleh keadaan ini.”
Matanya berkaca-kaca. Putus asa. Berbarengan mereka mengelilingiku dan menjatuhkan tubuh, lalu menangis di hadapanku. Lantas mereka berbicara serentak, “Ikutlah kami, Mbah. Ajari kami…”
Bergolak hatiku menyaksikan pemandangan ini. “Tapi, aku tidak tahan dengan suara dari mesin-mesin yang memproduksi kata-kata asing itu.”
Teringat masa lalu yang membuatku bersembunyi di dalam gua….
Pagi seperti biasa, aku nembang kidung di dalam rumah. Larik-larik kinanti, dandang gulo, pangkur, durmo mengalir dari bibir rentaku. Tembang lelakon dan tuladha setia mengajari tutur yang luhur, meski terasing dan menyayat hati. Tak ada pelantun macapat cinta, selain aku— pewaris kata masa lalu. Jangankan membaca, mendengarkankan saja mereka sudah antipati, dianggap berbau gaib, tidak rasional, cuma melulu soal rasa, cinta, alam dan makhluk Tuhan selain manusia.

sampune muji Hyang Widhi,
amuji nabi Mochamad
kelawan kulawargane
sekabat sekawan ika
kang dhihin Abubakar
Umar lan Usman punika
kaping pat Ali Murtada

Mendadak telingaku terasa penuh suara berdengung, mendenging, dan berdesing. Aku bergegas menuju pintu, berusaha menemukan asal suara. Betapa di luar aku melihat ada arak- arakan, pawai sekelompok orang berbaris dengan rapi.
Semuanya menunduk, dengan mata tertuju pada sebentuk benda persegi yang dipegang kedua tangan masing-masing dari mereka. Jumlahnya ratusan. Dari benda itulah sumber kegaduan berasal; kata-kata asing yang berputar-putar, seperti bersayap. Tetapi, kenapa mereka tidak terganggu sama sekali?            Mereka seperti tak mendengarkannya. Semakin aku mendekat, semakin bising kata-kata keluar dari benda itu memenuhi kepalaku ke mana pun aku berada. Seperti ada kawanan kata bercericit mematuki tanpa ampun. Kata-kata asing itu memiliki satelit pelacak, sinyal-sinyal. Satu per satu jaringan syaraf di kepalaku lumpuh, merembet ke dalam hati. Aku takut hatiku mati. Aku menyingkir….
Tapi itu luka yang telah berlalu dalam suatu masa. Yang kuhadapi sekarang adalah masa kini, sekelompok orang bertampang aneh, berperawakan nyeleneh dan isakan tangis yang masih kuhafal betul itu datang dari sesosok manusia.
“Kami mengerti, makanya kami membuat pakaian pelindung ini buat Mbah Karso.”
Mereka memberiku seperangkat baju besi tipis dan pelindung kepala. Mereka mengenakannya ke tubuhku.
“Baiklah, demi kemanusiaan aku mau mengajari kalian.”
Tanpa kuduga mereka semua memelukku. “Terima kasih, Mbah.”
Seseorang yang bertubuh paling gempal kemudian menggendongku di atas punggungnya. Bersama mereka aku menuruni bukit kapur menuju kota yang mirip rimba beton itu. Hawa dingin menusuk-nusuk wajahku yang tak tertutup besi. Sedingin atmosfir hatiku di ambang keraguan antara harapan bertahan atau kematian.
Ah…. Aku masih meyakini kesedihan, penderitaan, dan tangisan tidaklah mengenal masa silam, kini, dan yang akan datang. Ia bisa ada begitu saja, di mana saja dan kapan saja. Kulihat di atas sana burung-burung kecil dari sudut matanya masih juga mengeluarkan gerimis tipis. Seperti biasanya, burung-burung itu pergi begitu saja. (*)

Penulis adalah guru dan pegiat literasi di Gresik.