Daftar Blog Saya

Selasa, 24 Oktober 2017

Pulang


Cerpen Lintang Ismaya (Pikiran Rakyat, 22 Oktober 2017)
Floated ilustrasi Nur Istikomah - Pikiran Rakyat.jpg
Floated ilustrasi Nur Istikomah/Pikiran Rakyat
“DI tepi kuburmu ibu, ada rindu yang mencuat ke permukaan saat hati sedang nelangsa. Tetapi aku harus mengerti, ada kalanya kenyataan tak bisa dilawan, bahwa hidup punya aturan yang tak bisa dilanggar. Mawar ini untukmu. Langit dan matahari aku kembalikan pada catatan musim bersama doa yang aku apungkan pada-Nya!” ucap Melati disepuh linang. Selebihnya, hanya sunyi yang menabiknya.
LENTIK api di ujung napasmu
Debur darah di palung rasaku
 Sebuah sajak pendek ia tulis dengan tangan gemetar, dibilas linang air matanya yang jatuh rnewujud hujan. Hujan deras yang tengah berlangsung di dalarn batinnya, kini nampak sudah—jelas terlihat di paras wajahnya, seolah bunga yang mulai melayu dan membusuk. Jamhari dan warga yang melihatnya, yang masih berada di rumahnya, tak berani berkomentar.
***
MELATI, gadis cantik dengan khas senyumnya yang menawan; ia kembang desa yang parasnya mirip Raisa, artis Ibu Kota Metropolitan. Setelah lima tahun dinas di Kota Akulturasi, kini Melati kembali ke kampung halamannya untuk selama-lamanya. Dusun Sidomulyo, nama kampung halamannya tersebut terletak di kota realis. Di awal kariernya sebagai dokter, Melati pun sempat ditugaskan di Kota Suryalis dan di Kota Absurd.
Di Dusun Sidomulyo inilah Melati tumbuh dan besar, sampai usia remaja. Melati sebagai anak petani, terlahir dari rahim Mami yang kini tidur tenang di kedalaman tanah. Sedangkan Darma bapaknya Melati, mati tersambar petir yang datang seketika, ketika tengah membajak sawah di musim hujan. Darma melangit meninggalkan Mami dan Melati, ketika Melati masih berusia balita.
Melati anak tunggal. Pada akhirnya Melati besar dan tumbuh, murni di tangan Mami. Mami sengaja tidak menikah lagi bukan sebab harta warisan yang ditinggalkan Darma untuknya dan Melati lebih dari cukup. Bukan itu pangkal dan sebabnya, melainkan Mami takut jikalau Mami menikah lagi, akankah suami barunya kelak—bisa menyayangi Melati, sebagaimana Mami dan Darma mengasihi Melati sepenuh hati.
Mungkin Tuhan menciptakan Mami memang terlahir untuk menyayangi Melati sampai Izrail menjemputnya. Akhirnya Melati tumbuh dewasa dengan didikan separuh rasa, tetapi Mami cukup berhasil mendidik Melati, sampai Melati menyandang predikat Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang dibutuhkan banyak pasien, di Negeri Badut.
Sebagai Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Melati terkenal santun dengan khas senyumnya yang menawan pada setiap pasien yang datang berobat padanya, baik yang datang langsung ke rumah dinasnya, Klinik dan Rumah Sakit Umum tempat di mana Melati ditugaskan. Selama kembaranya dalam mengemban tugas dari eSKa Negara yang dikeluarkan via Permenkes untuk mengabdikan diri sesuai dengan penempatan daerah kerja, Melati jarang pulang kampung. Tetapi Mami begitu surti akan tugas suci yang diemban oleh anak perawannya yang semata wayang tersebut.
***
JAMHARI, abdi setia sebagai kepercayaan ibunya Melati, ketika Mami mendadak pergi meninggalkan ardi-Nya, tanpa sakit terlebih dahulu; langsung menghubungi Melati di itu pagi. Tetapi Melati tidak bisa pulang dengan seketika, sebab sore harinya ada jadwal operasi yang harus ditangani oleh Melati dan timnya, di samping jaraknya untuk sampai ke kampung halamannya harus melewati beberapa kota dan ditambah lagi belum tersedianya bandara yang memadai di kota kelahirannya.
Kalaulah kali itu ada pesawat udara dengan jurusan ke kota kelahirannya, tentu saja Melati bisa pulang pergi, sekedar untuk mengikuti prosesi penguburan ibunya tercinta. Akhirnya, Melati memberikan mandat pada Jamhari via telefon genggamnya untuk menguburkan Mami dengan segera di tempat pemakaman milik keluarga yang sengaja disediakan almarhum Darma, ketika Darmna rnasih hidup.
Ya, tanpa harus menunggu kepulangannya; Melati menyuruh Jamhari untuk bersegera memakamkan Mami, tepat di samping kuburan Darma. Tempat pemakaman milik keluarga tersebut, terletak tidak jauh dari rumahnya, hanya beberapa meter saja jaraknya dari belakang rumahnya. Semasa hidupnya, Darma, sengaja menyediakan lahan pemakaman tersebut, di samping sebagai tempat pemakaman milik keluarga, pun tiga perempatnya diwakafkan bagi pemakaman umum, khususnya untuk warga setempat.
Di pucuk senja itu, masih di hari yang sama; Jamhari dan beberapa warga yang masih berada di rumah Mami, beberapa menit selepas tahlilan pertama; mendapati Melati yang tengah tersungkur tangis yang disepuh gumam di atas gundukan tanah merah yang masih wangi oleh irisan daun pandan dan bunga rampai. Sepintas ada barisan huruf yang merangkai kata kaget yang terbersit di benak Jamhari; ya, bagaimana mungkin Melati bisa datang dengan secepat itu, kalaulah diperkirakan dengan durasi jam, dari Kota Akulturasi menuju Kota Realis dan sampai ke Desa Sidomulyo, tempat di mana Melati dilahirkan, paling cepat memakan waktu dua belas jam lebih seperempat menit.
Tetapi pikiran Jamhari sirna seketika dengan jawaban yang ditemukannya sendiri, mungkin Melati tidak jadi dalam melangsungkan praktek operasi bagi pasiennya. Ya, ketika itu—di hari itu; memang Jamhari menelefon Melati tepat jam enam pagi. Gerimis tipis mulai merindu bumi, menjengkal tiap sudutnya untuk dibasahi percik rindu air langit. Jamhari menghampiri Melati dengan membawa sebuah payung yang sudah terbuka di genggaman tangan kanannya. Pucuk senja yang kesumba, Jamhari mengajak Melati untuk masuk ke dalam rumah yang disambut beberapa warga yang masih berada di dalam rumahnya Mami.
Sesampainya di rumah; tanpa adanya jeda istirahat, tanpa adanya balik sapa hangat pada warga yang masih berada di rumahnya, Melati langsung meminta selembar kertas beserta bolpoin pada Jamhari. Di bawah sajak pendek yang dituliskannya itu, Melati menulis sepucuk surat pendek: “Kekasih, sungguh tak terduga dalam benak, kau punya hati seburuk Buriswara. Padahal pelaminan melati yang kau dan aku rencanakan tinggal hitungan hari. Ibu, maafkan anakmu yang memilih menjadi Subadra [l]; semoga kau dan aku kembali bertemu di bilik hari!” Usai menulis di atas meja makan, Melati pergi ke kamarnya dengan membawa selembar kertas yang sudah ditulisi jejak tangannya tersebut, dan tak ke luar kamar Iagi.
***
PAGI harinya Dusun Sidomulyo digegerkan dengan kedatangan sebuah mobil ambulans yang menuju kediaman Mami. Di dalam mobil ambulan tersebut, membawa jenazah Melati yang meninggal bunuh diri, berdasar keterangan dari petugas jenazah. Seketika, Jamhari dan beberapa warga yang melihat kepulangan Melati di hari kemarin, tepatnya di pucuk senja; tentu saja syok dengan melihat dua kenyataan yang dialaminya secara langsung tersebut; kemarin dan ini hari—meski berbeda waktu—mereka dan khususnya Jamhari seolah mengalami dua kali disambar petir di siang hari.
Selebihnya, kamar Melati yang masih tertutup rapat dibuka paksa oleh Jamhari dan beberapa warga; tak ada siapa-siapa di sana. Ligar Melati di negeri timur, tiga lambang tak bisa dipisah; kelahiran, perkawinan dan kematian. Hening! ***

[1] Dari kisah Dewi Banowati, dalam cerita Wayang Kulit Jawa, di sana diceritakan: Buriswara suatu saat masuk ke kediaman Arjuna di Kasatrian Madukara dan berusaha memperkosa Dewi wara Subadra, istri Arjuna. Dalam usaha mempertahankan kehormatannya Dewi Subadra mati tertusuk keris Buriswara. Putra Prabu Salyapati ini akhirnya tertangkap dan seharusnya akan dihukum mati, tetapi Dewi Saribanon segera datang dan membujuk Arjuna, sehingga Buriswara diampuni dan akhirnya dibebaskan.

Tangis Api


Cerpen Sule Subaweh (Kedaulatan Rakyat, 22 Desember 2017)
Tangis Api ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Tangis Api ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SARINAH terus menahan air mata melihat gundukan batu yang kini pecah berkeping-keping, diangkat ke atas truk. Dia tidak mengira sisa sawah yang dimiliki, tempat menyambung hidup selama ini akan berdebu, membuat beberapa tanaman layu dan terancam tak subur lagi, tapi bukan itu yang membuat Sarinah sedih. Bukan!
Perempuan di depannya, Maryati yang sedang memandang truk pengangkat pecahan batu itulah yang membuatnya sedih. Maryati tidak bisa berbuat apa-apa selain mamandang truk yang membawa batu dan memegang dadanya yang bergemuruh. Gemuruh yang juga dirasakan Sarinah sekarang. Perempuan paruh baya itu, kini menyesal karena pernah mencaci maki Maryati yang menolak untuk menjual tanah kepada pengembang.
“Aku menjual tanah untuk anak cucuku sendiri!” kata Sarinah kepada Maryati yang memohon agar tidak menjual tanahnya beberapa tahun lalu.
“Aku tidak menjual tanah, bukan hanya untuk cucuku tapi untuk masa depan anak cucu kita semua!” teriak Maryati. Masih terngiang teriakan Maryati di kepala Sarinah, setiap kali melihat sawahnya.
Sarinah salah satu warga yang mendukung pembangunan pabrik semen di gunung, tepat di atas sisa lahan miliknya. Dia bahkan menjadi orang terdepan yang mengompori warga lain agar tidak ikut-ikutan menolak pabrik semen. Dia juga yang meminta masyarakat agar tanahnya dijual, “Lumayan lho harga permeternya. Ayo buruan sebelum si-pengembang berubah pikiran,” serunya.
Dari hasil penjualan tanah warga Sarinah medapatkan persenan, baik dari pembeli maupun dari si-penjual.
Maryati yang tahu kelakuan Sarinah kesal, terlebih Sarinah mengatakan, tanah yang di gunung itu tidak subur dan berbatu cadas. Kekesalan Maryati semakin memuncak ketika Sarinah terang-terangan akan mendukung pembangunan pabrik semen. “Tempat kita akan menjadi ramai dan lahan pekerjaan bertambah, tidak hanya bertani.” Mendengar perkataan itu, Maryati langsung menjambak kepala Sarinah hingga kerudungnya lepas. Pertengkaran menjadi tontonan orang sekitar sebelum akhirnya dipisah.
Sebelum ada isu pabrik semen mereka adalah teman yang selalu kompak saat pergi ke alas, mencari pakan sapi atau memanen hasil bumi. Jika malam mereka akan berkumpul membicarakan apa saja. Tapi yang sering mereka bicarakan tentang pengolahan tanah, masalah pupuk, bibit sampai masalah rencana mereka naik haji.
Sekarang jangankan bertemu, mendengar namanya saja sudah enggan. Baru setelah Sarinah tahu akibat dari pendirian pabrik hatinya mulai cemas. Apa lagi banyak warga yang mulai menolak pabrik semen itu.
Warga yang menolak pabrik semen biasanya melewati rumah Sarinah saat mau ke lapangan tempat ritual laporan. Hatinya selalu tergerak ingin ikut, tapi selalu tertahan dengan pertimbangan tidak jelas. Dia hanya bisa melihat dari balik jendela, itu pun sembunyi-sembunyi. Saat seperti itu hatinya semakin bergetar dan semakin sesak menahan air di matanya. Dia tidak ingin menangis. Dia terus menahannya.
***
Malam itu Sarinah diam-diam dari balik semak mengikuti warga yang akan melakukan laporan di lapangan. Setelah mereka mulai jauh, Sarinah melanjutkan langkah kakinya yang bergetar. Dia putuskan lewat jalan berbeda dengan warga. Sambil mengendap-endap di antara pohon dan batu besar Sarinah terus melihat sekitar, memastikan keberadaannya tidak diketahui warga.
Jalan gelap dan batuan tajam tidak menghentikan langkah Sarinah. Tapi di antara sepi, dingin, hutan yang dipenuhi pohonan prasangka-prasangka mulai memenuhi pikirannya. Dari jauh dia sudah melihat obor di tangan warga, berputar sambil merapal doa. Tak lama mereka duduk sambil berbagi informasi tentang perkembangan di pengadilan yang menggantung nasib mereka. Melalui pengeras suara seorang lelaki menjelaskan warga yang masih belum sadar bahaya pabrik semen itu.
“Bagaimana kalau mereka berencana balas dendam kepadaku!” Sarinah sejenak menghentikan langkah. Dia memegang deru dadanya. “Mereka pasti tidak suka dengan keberadaanku. Mereka pasti membicarakan aku dan ah…!” serunya kemudian, kini kakinya yang gemetar. Saat seperti itu dia selalu ingat dengan Maryati yang selalu dijelek-jelekkan di hadapan banyak orang.
“Dia pasti sakit hati karena telah kufitnah,” terkanya.
Perlahan Sarinah melangkah. Langkahnya terhenti setelah menginjak arang yang terhampar di depannya. Dia ingat, tempat itu dulu tempat kemah para perempuan yang secara bergantian menjaga jalan agar tidak ada yang beraktivitas dalam pembangunan pabrik sebelum ada keputusan dari pengadilan. Para perempuan itu berhenti menjaga tanahnya setelah tempat itu beserta kemah dibakar. Sebelumnya mereka digotong paksa saat melawan aparat yang lebih berotot, ada pula yang pingsan karena kepanasan.
Ingatan itu membuat gemuruh dada Sarinah semakin berkobar-kobar, seperti kobaran api yang disulutnya hingga menghanguskan kemah warga. Dia melihat sendiri tangis para perempuan pecah di antara api yang membakar kemah. Hanya Maryati yang diam tertegun, memandang api meliuk-liuk. Dia tidak menangis, sesekali memegang dadanya. Dia bertahan meski warga telah kembali ke rumah masing-masing. Dan saat seperti itu lah Maryati tidak bisa membendung air matanya. Dari jauh, di antara kobaran api Sarinah lihat air mata Maryati yang terus mengalir.
Di antara ingatan itu Sarinah dengar lamat-lamat nyanyian warga setelah selesai laporan; /ibu bumi wis maringi/ Ibu bumi dilarani/ Ibu bumi kang ngadili/. Suara mereka terdengar getir dan perih. Diam-diam Sarinah mengikuti nyanyian itu sambil menahan air mata. q – g

Rembang, Jejak Imaji 2017
*) Sule Subaweh, nama pena dari Suliman. Saat ini bekerja di UAD dan aktif di Komunitas Sastra Jejak Imaji. Kini sedang mempersiapkan buku kumpulan cerpennya “Bedak dalam Pasir”.

Perihal Seorang Perempuan Pencerita


Cerpen Pangerang P. Muda (Tribun Jabar, 22 Oktober 2017)
Perihal Seorang Perempuan Pencerita ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Perihal Seorang Perempuan Pencerita ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
PEREMPUAN itu saya lihat pertama kali di suatu petang, saat lampu-lampu yang mengitari sisi barat kafe berusaha menelan senja yang mulai buram. Saya suka menatap jenjang lehernya yang kerap menoleh ke arah sungai, begitu pun gerak bibirnya yang membuka-mengatup; belakangan saya tahu, kala saya ikut meriung di mejanya, ternyata ia sedang bercerita.
Perempuan itu cantik. Kulitnya agak gelap; atau entahlah, mungkin karena saya selalu melihatnva di málam hari. Sorot matanya agak redup. Kalau tidak salah mengingat, satu kali pun bibirnya tak pernah berhias senyum. Tidak, saya kira ia bukan tipe perempuan kétus, ia hanya sedang memeram tumpukan geram; dan itu juga belakangan saya tahu.
Ia selalu mengenakan sweter berleher rendah. Untuk menghalau cucuk udara dingin dari arah sungai, ia tutupi lehernya dengan kalungan syal. Atau, holeh jadi, syal berwarna pink itu hanya upaya menghalau belalak mata pengunjung kafe yang kebanyakan lelaki.
“Syal berwarna pink?” sergahmu, menyorongkan wajah. “Ah, perempuan gila itukah?”
Saya merekahkan senyum melihatmu mulai tertarik. Abu rokok sedang saya jentikkan ke asbak kala kau menukas, “Jadi dia di sana, menebar virus kegilaannya.” Dan setelahnya, kau termangu.
Saya suka melihatmu agak pasi, seperti ketakutan. “Perempuan itu,” saya menambahkan, menikmati kelesian wajahmu, “terus bercerita soal bayi-bayi yang seharusnya ia lahirkan. Ia ingin bayi-bayi itu menyebar ke seluruh pelosok kota dan bercerita pula seperti dirinya.”
Kau melengos. Saya menduga kau sangat tertarik mendengar cerita ini walau saya tahu kau tidak akan suka mendengarnya.
***
DI kafe itu, jembatan di alas kepala kami akan bergetar setiap ada kendaraan besar melintas. Getar itu akan merambat ke dinding-dinding kafe, dan kadang membuat permukaan kopi di gelas kami beriak. Suara bising yang ditimbulkannya juga membuat cerita perempuan itu terputus. Bila terlalu sering kendaraan besar lewat, maka ia memilih mengeraskan suaranya alih-alih membuat jeda dari ceritanya.
Baiklah, akan saya jelaskan tempatnya. Bila kau tiba pada ujung jembatan itu, menepilah dan akan kautemukan jalan sempit berbelok lalu menurun ke tepi sungai. Sebelumnya itu hanya jalan yang dilalui orang-orang yang akan memancing. Namun, semenjak di bawah ujung jembatan ada sebuah kafe, sehingga bila malam cahaya lampu-lampunya menghambur menerangi tepi sungai, jalan kecil itu mulai pula dilintasi para pemburu nikmat kopi.
Lidah saya bukan pencicip kopi yang baik. Hirup lubang hidung saya pada kepul aromanya terasa sama saja dari setiap jenis kopi. Saya mulai suka ke kafe itu memang bukan karena nikmat kopinya, tapi karena keberadaan perempuan itu. Ia selalu ada di sana, terus bercerita, sehingga ia saya juluki perempuan pencerita.
Kota kita ini, kau tahu, telah disesaki ratusan kafe. Namun kafe yang ada di bawah ujung jembatan itu bukan cuma nikmat kopinya yang membuat orang berdatangan, tapi juga menjadi pilihan bagi yang suka mendengar cerita yang amat rahasia. Di situ serupa tempat berkumpulnya para aktivis klandestin. Mereka yang datang merasa sedang berada di sebuah gua, atau malah di bawah tanah. Seperti itu saya merasakannya. Kami berkumpul menyesap aroma kopi, mendengar cerita yang amat rahasia, dan mobil-mobil berlintasan di atas kepala kami.
Kau menggeleng, terus menggeleng, sampai saya tahu betapa resah kau mendengar cerita ini.
***
PEREMPUAN pencerita itu mulai bercerita bila pengunjung kafe telah ramai. Ia berjeda dari ceritanya saat memesan segelas kopi. Setelah menyeruputnya satu atau dua kali, barulah ia meneruskan. Cukup lama setelah gelas kopinya tak lagi berisi, baru ia mengakhiri ceritanya.
“Begitu pentingkah ceritanya?” tanyamu, terkesan setengah acuh.
“Sangat penting. Ini menyangkut nasib kota kita ini ke depan.”
Tawamu tipis, berseling gumam, “Cuma cerita kelahiran bayi-bayi, seperti katamu tadi, dapat menentukan nasib kota ini ke depan?”
“Ia bercerita tentang bayi-bayi yang gagal ia lahirkan. Dan agaknya ia ingin bercerita ke sebanyak mungkin orang, bagaimana cerita di balik kcmunculan bayi-bayi itu.”
Kau menggeleng, terus menggeleng, entah untuk keberapa puluh kalinya.
***
PEREMPUAN itu bilang, sebelum menjadikan kafe itu sebagai tempatnya bercerita, ia memilih jalanan untuk menceritakan perihal bayi-bayinya yang telah beterbangan ke langit. Ia temui para pelintas jalan, ia datangi orang-orang yang sedang makan di warung tepi jalan, atau mendatangi orang-orang yang meriung di halte. Namun orang-orang itu hanya melengos tidak sudi mendengar ceritanya. Orang-orang yang ia datangi itu menganggapnya perempuan yang hilang ingatan. Mereka yang ia temui di sana rupanya sepaham denganmu, menganggapnya perempuan tidak waras.
Dan di kafe itulah, ia merasa menemukan tempat terbaiknya irntuk terus bercerita. Ia merasa sudah terlalu lama memeram sendiri ceritanya; dan menurutnya, cerita itu sudah saatnya menetas untuk menyebar ke seluruh kota ini. Berbeda dengan orang-orang di jalanan, pengunjung kafe di sana malah menyukai ceritanya. Makanya ia semakin bersemangat.
***
TIDAK usah berpikir saya sedang membual. Walau yang ia ceritakan cuma soal bayi-bayi yang gagal ia lahirkan, caranya bercerita amat memikat. Saya, atau kami para pendengar ceritanya, suka melihat gerak bibirnya yang membuka-mengatup saat bercerita, dengan sorot mata yang redup. Kala bercerita seakan ia sedang menyenandungkan lagu pilu.
“Kau terlalu melebihkan,” katamu tak senang.
Tidak, ia memang menganggap kelahiran bayi-bayinya dibidani oleh para malaikat. Dalam tutur ceritanya, bayi-bayi itu sebenarnya telah lahir di dalam perutnya; dan sebelum sempat melihat kota ini, malaikat telah lebih dahulu datang menjemput lalu membawanya ke langit. Ia berhitung, mungkin telah puluhan bayinya dijemput malaikat dengan cara serupa itu. Menurutnya, bayi-bayi itu telah ia beri pula keterampilan bercerita, dan kelak di langit bayi-bayi itu akan beranak-pinak bersama cerita-cerita yang dibawanya.
Tawamu terdengar garing. Matamu bergerak resah. Mulutmu mencibir, “Sampai kapan perempuan gila itu akan bercerita? Sampai saatnya dipasung?”
Ganti saya yang menggeleng. “Semakin banyak orang yang percaya pada ceritanya, berarti semakin banyak pula orang menganggapnya perempuan waras. Ia sangat waras. Seluruh warga kota akan segera tahu itu.”
***
DAN di suatu sore yang terasa kecut, mata saya kau buat terbelalak. Mulut saya pun sampai ternganga. Seakan baru saja ada desing peluru melesat masuk ke lubang kuping saya mendengar apa katamu.
“Perempuan yang kau ceritakan itu, sekarang telah berumah di awan.” Tawa kerasmu menyusul. “Perempuan itu telah terbang ke langit. Dan di langit tidak akan ada lagi yang bisa mendengar ceritanya.”
Di kota ini, kau memang seorang penguasa. Kau orang yang ditokohkan, tentu oleh para pendukungmu. Dengan kekuasaan dan ketokohanmu, kau memang bisa melakukan apa saja. Namun harusnya tidak dengan cara kalap seperti itu.
“Cerita-ceritanya akan mewujud serupa wabah,” kata saya menahan amarah. “Akan menyebar ke seluruh lekuk dan ceruk kota, akan masuk ke benak semua warga kota, bahwa selama ini kaulah yang selalu datang mengendap, memintanya menerbangkan bayi-bayinya ke langit.”
Perempuan itu mengaku bahwa telah sekian lama ia menuruti keinginanmu, menuruti keegoisanmu, dan ia merasa itu sudah cukup. Ia mulai mual dengan dusta-dustamu, jijik melihat betapa gampang engkau menyembunyikan reputasi palsu, yang terus kau jaga dan poles dengan beragam program pencitraan.
Agaknya, setelah sekian lama, ia mulai jenuh dan tidak bahagia. Menjadi perempuan simpanan tentu memang amat melelahkan. Dan saatnya ia ingin melawan. Kali ini ia membantahmu. Ia ingin orang-orang melihat kerjap matamu pada mata bayi yang terakhir ada di dalam rahimnya, ia ingin orang-orang menyaksikan wajahmu ada pada wajah bayi itu, dan ia ingin tahu serupa apa titisan darah dagingmu itu setelah sebelumnya tidak ada yang pernah kelihatan wujudnya.
Kalian pasti bertengkar hebat karenanya. Tentu kau marah. Bahkan mungkin panik. Bayangan keruntuhan reputasimu tentu langsung menghantam benakmu. Ah, saya tidak ingin membayangkan seperti apa kau melakukannva, dengan cara bagimana kau mengirimnya ke langit berkumpul dengan bayi-bayinya….
Saya menahan geram. Saya hanya sanggup berujar lirih, “Yang akan meruntuhkan ambisimu untuk kcmbali terpilih menjadi penguasa kota bukan pesaingmu, bukan pula musuh-musuh politikmu, tapi serentetan cerita seorang perempuan yang akan merebak serupa wabah….”
Saya keliru, harusnya saya tidak usah menceritakan perempuan pencerita itu padamu.
***

Parepare, April-Sept, 2017
Pangerang P. Muda guru SMK di Parepare dan menulis cerpen di beberapa media Di samping buku kumpulan cerpennya Menghimpun Butir Waktu (2017) yang telah terbit, beberapa cerpennya juga ikut dalam buku antologi cerpen.

Sang Dalang

ost, 22 Oktober 2017)
Sang Dalang ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post.jpg
Sang Dalang ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Suara kletak dari kayu-kayu itu meriuhkan suasana. Musik-musik dari alat musik tradisional mengalun mengiringi gerakan tangan yang sedang menarikan sesuatu. Bulan juga sedang menyaksikan tarian itu. Semua orang merapat saat mendengar suara-suara. Sinar dari obor yang kekuningan itu menambah hangat suasana. Apinya menggeliat juga menari dengan angin yang menggoda. Lengkap sudah, lapangan itu ramai dengan manusia yang siap menyaksikan pertunjukan wayang semalam suntuk. Menanti sang dalang bercerita tentang sebuah kisah pewayangan yang menyimpan berjuta makna dan perjalanan hidup. Sunyi.
Bersuaralah sang dalang yang wajahnya bersembunyi di balik kain putih lusuh dengan sinar kuning temaram itu. Suaranya terdengar serak dan berat.
“Ini tentang Mahika…”
***
Pagi itu, saat embun masih turun dengan gemulai, ada seorang laki-laki yang sedang memilih biji kopi yang sudah disangrai oleh seorang perempuan tua, yang ia sebut nenek. Laki-laki itu terlihat terpelajar dibalik baju lusuhnya. Mungkin ia kota. Kota di mana tumbuhan kopi berubah jadi gedung pencakar langit. Kota di mana tanah itu sangat berharga tinggi, tanah adalah uang di sana. Kota di mana kegilaan akan semua yang semu benar-benar jadi nyata. Kota yang tak tahu lagi, mana kepala dan mana kaki.
Adiatmika. Seorang kota yang tak silau dengan sinar yang dipancarkan kota. Pemuda kota yang sedikit terdoktrin dengan kkehidupan mayarakat desa. Pemuda kota yang harusnya bisa hidup berkelebihan, tapi tak mau terus menetap di atas tempat yang semu itu. Adiatmika, pemuda kota yang ingat untuk menatap tanah yang tak hanya tentang uang. Seorang pemuda yang memilih untuk terjebak dalam kenyamanan ini di sebuah desa kecil jauh dari hiruk pikuk kota. Ia memilih untuk tenggelam dengan kopi-kopi itu. Di gudang kopi ini, ia tinggal bersama nenek bernama Surawi.
Di gudang kopi inilah ia mengenal gadis desa nan jelita. Mahika. Gadis yang bisa menggetarkan Adiatmika walau tanpa polesan perias wajah sedikit pun. Mahika yang bisa meluluhlantakan pertahanan Adiatmika, pemuda kota itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk saling mengikat satu sama lain. Cinta Adiatmika berbalas dengan indah. Mereka berhak saling cemburu satu sama lain saat itu. Tatapan kesal karena merasa tak diperhatikan menjadi hal yang lumrah. Dan tawa mereka menjadi angin segar pengantar tidur yang akan berlabuh di sebuah ujung bernama mimpi indah. Serta pesan-pesan yang beramplop rindu itu menjadi alasan senyum itu mengembang di wajah-wajah yang senantiasa merona itu. Itu yang disebut kasmaran?
Suatu malam. Adiatmika berkunjung untuk pertama kalinya kerumah perempuannya. Bukan kalung emas, anting dari mutiara atau sebuah cincin yang bertahtakan permata atau intan, tapi sebuah mawar merah yang sedang merekah. Keluarlah sang ayah yang kelihatan sangat bersahabat. Sandiwara? Dipanggilnya Mahika. Gadis itu keluar dengan dress lima senti di bawah lutut berwarna putih sedikit ada gais-garis coklatnya. Cantik, kau meluluhkan aku lagi,lagi,lagi.
“Saya ingin mengajak anak perempuan bapak keluar, boleh?” Katanya santun. Hanya senyuman yang sedikit ambigu. Detik berlalu begitu pelan, menunggu jawaban itu keluar. Hanya ada helaan nafas dan sedikit suara angin yang menyentuh kulit mereka.
“Dia itu berlian kami, kami beri nama berlian kami itu Mahika Sapta Bumi, dia halus, jangan kau buat dia sakit walau hanya segores saja!” Pasangan kekasih yang memang sedang merekah itupun meninggalkan rumah itu. Mereka kencan .
Lima bulan sudah sejak hari itu. Hati Adiatmika memang sudah terikat oleh berlian berjalan itu. Santunnya, parasnya, hatinya, pemikirannya, tutur katanya, semuanya. Benar-benar mengikat laki-laki lulusan seni pewayangan itu. Adiatmika yang rambutnya sebahu, segala ocehan yang ringan dan senyebarkan aroma humoris. Jatuh tepat dihati gadis desa bernama Mahika yang sempurna.
Malam itu. Aroma kopi Toraja itu. Memantapkan hatinya untuk mempersunting Mahika sang pujaan hati. Tekatnya bulat. Besok ia akan melamar gadisnya itu. Hatinya bahkan berdebar saat menyebut nama gadis itu. Besok, akan ku minta berlianmu itu, dan aku akan memanggilmu pak, Bapak, bukan Om lagi, gumamnya. Sampai akhirnya mata itu terlelap.
Kata itu akhirnya benar-benar membuatnya tak merasa berpijak. Matanya seakan buta, ada sesuatu yang memenuhi isi kepala dan tubuhnya. Ia seperti melayang. Sungguh, mengatakan hal seperti itu, hal yang benar-benar dari hatikah? Sampai seperti itukah sensasinya?
“Tapi aku belum seratus persen yakin kau bisa menjaga berlian kami” Yap. Itu sungguh menjatuhkannya ketanah lagi. Ia terbentur dan nyaris remuk. Mulutnya bisu seketika. Bagaimana ini?
“Diammu membuat saya semakin ragu.” Bahkan ia tak menyiapkan kata-kata untuk situasi ini.
“Saya tak jamin bisa menjaga berlian ini selamanya, tapi selagi saya bisa bernapas dan merasakan napas berlian ini di darah saya, saya akan berusaha menjaganya”
Dan lamaran pun diterima.
***
“Ayo sini kita fotoan!” Mahika mengeluarkan phonselnya. Memasang wajah jelek dan sesekali tertawa. Siang itu mereka terlihat beda. Kebahagian itu benar-benar memancar. Jelas dua bulan lagi mereka akan benar-benar bisa merasakan nafas mereka mengalir di dalam darah satu sama lain. Hampir satu hari mereka melewati hari bersama. Sebelum pukul 22.22 Adiatmika mengantar berliannya pulang. Mengembalikan harta berharga milik orang tuanya itu kembali ke rumah.
06.15, ponsel Adiatmika berdering. Bukan alaram, karena ia hari itu tidak memiliki kegiatan lain selain bersantai di rumahnya. Mertua .Ia tercengang melihat siapa yang menelpon, ada apa laki-laki itu menelponnya di jam seperti itu.
“Cepat ke sini, ini tentang Mahika”, nadanya bergetar, seperti sedang menyanggah air mata. Ia menagis? Kenapa? Adiatmika segera menuju lokasi yang dimaksud. Sebentar, rumah sakit? Laki-laki yang memiliki tattoo beraksara Bali di tangan kanannya itu meremas gas motornya itu. Yang ada di kepalanya hanya wajah sang berliannya itu.
“Maaf, Pak, kami sudah berusaha yang sebaik-baiknya.” Dunia benar-benar hancur saat itu. Om yang nyaris ia panggil Bapak itu terkulai lemas di lantai dan Ibu masih bisa bertahan di tengah ketidakpercayaannya. Dunia benar-benar runtuh dan menimpa Adiatmika. Suara tawa Mahika terus menggema di telinganya. Bayangan gadisnya itu berlari mengelilingi kepalanya. Suaranya memanggil Adiatmika juga terdengar jelas. Ia dipenuhi oleh perempuan itu. Inikah akhirnya? Benarkah begini ujungnya? Bahkan saat napas mereka belum mengalir di dalam darah satu sama lain, perempuan itu pergi? Tapi kenapa? Pertanyaan itu terus menuntu jawaban yang sebenarnya juga tak pernah ia tahu di mana ia akan menemukan jawabnya. Sungguh ia seperti debu sekarang. Adiatmika debu dan Mahika angin yang sudah mempora-porandakannya serpihannya tercecer terbang dibawa angin dan terhempas jauh dari butiran yang lainnya. Laki-laki itu benar-benar kehilangan semuanya. Semuanya. Dunianya. Ia sedang menunggu gila sekarang. Adiatmika sedang berada disebuah ruang dan terdapat lorong yang gelap dan sepi, dulunya, beberapa jam lalu tempat itu bersinar karena sinar yang bernama Mahika, sekarang lenyap, tak ada yang bisa menolongnya keluar dari sana.
13.15, pemakaman. Tak ada kata yang bisa menggambarkan keadaan di sana. Diam menjadi jawaban dari semuanya. Raga perempuan itu masuk dalam kandungan lagi, kandungan yang tak akan pernah membuatnya lahir lagi. Bukan untuk sembilan bulan, tapi selamanya. Mahika telah dikandung bumi, menyatu dengan pertiwi. Ia membumi untuk selamanya. Selamat jalan kekasih Adiatmika. Berlian bapak.
***
Apa yang seharusnya dirasakan Adiatmika saat ini? Ia gila. Setahun setelah itu ia memutuskan untuk pergi ke banyak tempat. Ya, tentu saja bayang gadis itu masih mengikutinya. Ia sampai gila. Ia bersahabt dengan gunung sekarang. Ia ingin pergi jauh. Ia akan menitipkan semuanya tentang gadisnya itu dan menggantung di puncak sana.
Malam itu, sedang ada pementasa wayang di sebuah lapangan di suatu desa kecil. Rindu untuk melihat pertunjukan yang sebenarnya energi itu juga mengalir di darah seoranga Adiatmika. Ini ranah ku, gumamnya. Ia menikmati pertunjukan itu. Dan di sana ia menemukan dirinya.
***
“… dia adalah berlian ku, mereka susah senang bersama, dan akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia!”
Sang dalang menambah seoarng tokoh dalam ceritanya. Wayang itu ia beri nama Mahika. Dalang itu gila? Tidak, ia hanya ingin terus mengingat dan membuatkan tempat untuk orang itu. Adiatmika memutuskan untuk menjadi dalang yang sejati. Ia akan bercerita tentang kisah-kisah yang selalu bahagia di akhirnya. Ia seperti berandai-andai saat berdalang. Kembali membayangkan jika, kisahnya bisa berakhir bahagia. Di akhir pertunjukan selalu ada bulir air mata yang jatuh. Sungguh ia sangat amat merindukan gadisnya itu. Bagaimana cara menjelaskan rasa rindu?
Sang Dalang selalu bersembunyi di balik wayang-wayangnya. Mengarang cerita untuk menghibur penonton yang mendamba sebuah kisah yang berakhir bahagia. Tahukah kalian wahai pendamba kebahagiaan, ada air mata yang selalu menetes di balik itu. Becerita, semakin membuatnya tertusuk oleh ingatan dan kenyataan. Tapi di sisi lain hanya dengan itu ia setidaknya bisa mewujudkan khayalannya untuk bisa merasakan nafas Mahika mengalir di darahnya. Bagaimana ini? Ada yang bisa menjelaskan? Tidak! Mahika hidup dalam wayang itu, tentu Sang Dalang yang bersembunyi dibalik itu semua, Adiatmika merasa masih ada kebahagiaan di hari-harinya.
“ Ini tentang seorang yang telah dikandung bumi dan cinta seorang yang menanti ia dikandung oleh bumi yang sama juga suatu hari nanti.”
***
Dengar, mungkin melupakan tak semudah saat mengingat, tapi bukankah ada satu tempat untuk tetap menyimpan semua itu. Ada satu ruang yang disebut hati. Terserahmu jika ingin mewujudkan khayalanmu. Tapi jangan jadikan itu sebagai penghambatmu. Jika itu pilihanmu, setidaknya rasa kehilangan orang, bisa kau bagikan dengan pesan yang berbeda. Beritahukanlah rasanya kehilang pada orang lain, agar tak merasa terpuruk yang sama. Bukankah itu tugasmu, Sang Dalang.
***
“Iya Pak, ada apa?”
“Kau tahu, berlianku yang sudah lama dikandung bumi, masih ingatkah kau?”
Sesak itu mulai memenuhi Adiatmika Sang Dalang
“Ia sangat mencintaimu, kau tahu berlian ku memilih menunggumu di sana dengan keadaan yang sangat baik, ia tak mau menyusahkanmu di sini, dia menunggumu di sana dengan keadaan bahagia, lebih baik dari keadaannya di sini.”
Air mata itu meleleh lagi. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan orang tua ini, batinnya sambil menahan tangis.
“Cepat selesaikan tugasmu di sini, dan susul dia di sana, tapi jangan bertindak bodoh, karena dia tidak akan menerimamu kalau kau mengakhiri hidupmu karena ia menunggumu di sana.”
Telpon itu terputus. Sang dalang meleleh lagi. (*)

Dongeng Suri Ikun dan Dua Ekor Burung


Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur (Pos Kupang, 15 Oktober 2017)
Dongeng Suri Ikun dan Dua Ekor Burung ilustrasi Pos Kupang
Dongeng Suri Ikun dan Dua Ekor Burung ilustrasi Pos Kupang
DI sebuah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dulu ada sepasang suami istri yang memiliki banyak anak. Jumlah anaknya empat belas orang. Ada tujuh anak lelaki dan tujuh anak perempuan. Mereka semua disayang oleh keluarga sama rata. Suami istri itu mempunyai kebun yang cukup luas di Pulau Timor. Dari kebun itulah mereka dapat hidup. Anak-anak itu secara bergantian membantu orangtua mereka bekerja di kebun.
Salah satu di antara tujuh anak laki-laki yang mereka miliki bernama Suri Ikun. Suri Ikun adalah anak yang baik. Suri Ikun berperilaku jujur, suka menolong orang lain, dan selalu berbakti kepada kedua orang tua. Suri Ikun juga sering membantu ketujuh saudara perempuannya bekerja di dapur.
Karena sifat-sifat baiknya itulah Suri Ikun sangat disayang oleh kedua orangtua. Bahkan ketujuh saudara perempuannya juga turut menyayangi Suri Ikun dengan tulus. Berbeda dengan Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya berperilaku sangat malas dan penakut. Mereka berenam jarang membantu orang tua mereka di kebun. Mereka akan mau membantu jika diberi imbalan yang berlebih. Enam bersaudara itu lebih suka bermain, tidur dan makan dengan rakus.
Bencana Serangan Babi Hutan
Hingga pada suatu hari, sekumpulan babi hutan datang menyerang kebun milik suami-istri tersebut. Serangan babi hutan itu membuat panen gagal dan banyak tanaman yang rusak. Sayuran yang siap panen terinjak-injak babi hutan. Daun-daun pun tidak tampak segar lagi karena sudah tercerai dari batang pohon. Dalam waktu sekejap, kehadiran sekelompok babi hutan itu menghasilkan bencana bagi keluarga Suri Ikun.
Suami istri petani itu memandang kebunnya dengan sedih dan bingung. Jika panen gagal terus, lalu bagaimana ia dapat menghidupi anak-anaknya yang banyak itu. Suri Ikun tidak patah semangat. Ia menyarankan ayahnya untuk menanam lagi sayuran di kebun yang luas itu. Suri Ikun juga memberi saran agar semua anak lelaki bergantian menjaga kebun setiap malam. Sang ayah merasa senang atas gagasan itu. Sang ayah bangga Suri Ikun mau bekerja keras untuk kepentingan keluarga.
Sang ayah berpikir tujuh anak lelaki itu sudah cukup untuk bergantian menjaga kebunnya selama seminggu sekali. Tetapi keenam anak lelaki itu bukannya senang dengan keputusan sang ayah. Mereka malah merasa geram dan marah karena ada tugas tambahan yang melelahkan. Dasar mereka pemalas dan penakut, keenam anak itu selalu mencari cara untuk mengelak dari tugas berkebun. Mereka tidak mau bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Tetapi bagaimana lagi, gagasan itu harus dilaksanakan demi kelangsungan hidup seluruh keluarga.
Akhimya, mau tidak mau ketujuh anak lelaki itu harus menjaga kebun milik ayah mereka secara bergantian. Karena merasa takut terhadap babi hutan, keenam saudara laki-laki itu mengatur siasat agar Suri Ikun yang selalu menjaga kebun ayahnya. Mereka berenam pun mulai berunding. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah sepakat untuk mengakali Suri Ikun.
“Suri Ikun, engkau tahu kan kalau aku tidak pandai memanah. Jadi sebaiknya malam ini kau saja yang menjaga kebun kita,” ucap kakaknya.
Tanpa berpikir bahwa ia telah diperdaya, Suri Ikun menuruti keinginan kakaknya. Hari berganti hari, keenam kakaknya tetap mengajukan alasan yang serupa agar terhindar dari kewajiban menjaga kebun. Akhirnya, Suri Ikun juga yang harus menjaga kebun setiap malam. Suri Ikun pun melakukan tugas kakak-kakaknya dengan ikhlas dan tanpa merasa curiga sedikitpun.
Sampai pada suatu hari, Suri lkun berhasil memanah babi hutan yang hendak merusak kebun miliknya. Ia membawa daging buruannya ke rumah. Suri Ikun berharap daging babi itu dapat dimasak dan dimakan bersama. Betapa liciknya keenam kakak lelakinya, mereka membagi daging babi hutan itu hanya untuk mereka, sedangkan Suri Ikun hanya disisakan bagian kepalanya saja.
“Aku tidak suka makan daging babi hutan. Kalian boleh makan semua bagianku,” ucap Suri Ikun mengalah.
Keenam kakak lelakinya hanya tertawa melihat adik mereka tidak mendapatkan bagian apa-apa. Suri Ikun yang baik hati dan suka membantu semakin disayang oleh kedua orang tuanya. Keadaan ini menimbulkan rasa iri di hati keenam kakak lelakinya. Mereka merencanakan niat jahat untuk menyingkirkan Suri Ikun.
Salah seorang kakak lelakinya membujuk Suri Ikun untuk pergi berburu ke hutan. Mereka ingin mencelakai Suri Ikun dengan mengumpankan Suri Ikun kepada hantu-hantu hutan di pinggiran desa yang suka memakan manusia. Tanpa rasa curiga sedikit pun, Suri Ikun memenuhi ajakan keenam kakaknya. Mereka bertujuh berangkat berburu ke hutan sejak siang sampai sore hari.
Hari sudah mulai malam, ketujuh saudara laki-laki itu masih terus melanjutkan perjalanan masukke dalam hutan yang angker. Lalu pada sebuah jalan berbelok, Suri Ikun diam-diam ditinggal oleh keenam kakaknya di dalam hutan. Suri Ikun tidak sadar jika ia berjalan sendirian di dalam hutan. Namun itu tak lama. Saat ia menoleh, ia baru tahu kalau saat itu ia di dalam hutan sendiri. Ia berteriak-teriak memanggil kakak-kakaknya.
“Kakak… kakak .! Di mana kalian?” teriak Suri Ikun di tengah gelapnya hutan-rimba.
Untuk beberapa lama, Suri Ikun terus berusaha mencari tahu keberadaan kakak-kakaknya. Ia tidak tahu jalan pulang ke rumah. Ia terus saja berjalan di dalam hutan itu. Ia tak henti-hentinya memanggil-manggil kakaknya.
Manfaat Menolong dengan Ikhlas
Setiap kali Suri Ikun berteriak memanggil nama kakak-kakaknya, hantu hutan yang selalu menjawabnya sehingga Suri Ikun semakin tersesat di dalam hutan.
“Kakak! Engkau di mana?” ucap Suri Ikun dengan lantang.
“Aku disini. Di depanmu,” jawab hantu hutan menirukan suara kakaknya.
Begitulah seterusnya. Hantu hutan selalu mengecoh Suri Ikun. Karena tak tahu jalan pulang, maka mudah saja bagi hantu hutan untuk menangkapnya. Hap! Dengan sekali tangkap, tubuh Suri Ikun sudah dibuat tidak berdaya oleh hantu hutan. Tapi karena tubuh Suri Ikun yang kurus, kecil, dan banyak tulangnya, hantu hutan pun mengurungkan niat mereka untuk memakan Suri Ikun.
Hantu-hantu hutan itu kemudian menyembunyikan Suri Ikun di dalam sebuah gua. Suri Ikun selalu diberi makan oleh hantu hutan. Hantu hutan berharap tubuh Suri Ikun menjadi gemuk dan besar sehingga enak dimakan. Suri Ikun mendapatkan makanan dan minuman yang cukup selama ia tinggal di dalam gua.
Pada suatu hari Suri Ikun sedang asyik duduk di dalam gua, tiba-tiba datang dua ekor burung kecil ke pangkuan Suri Ikun. Kedua burung kecil itu tampak berduka dan hampir mati. Kedua burung kecil itu tampak bersedih karena terperangkap di dalam gua gelap tanpa cahaya. Kedua burung itu terlihat lemas akibat terperangkap di gua sekian lama. Kaki burung itu pun tampak terluka. Suri Ikun memberinya makan biji-bijian yang ia punya.
Suri Ikun mengobati kedua burung kecil itu dengan kasih sayang. Ia merawat dua ekor burung kecil itu sampai sehat dan sembuh dari lukanya. Setiap hari burung itu diberinya makan. Hari demi hari terlewat. Dua ekor burung itu semakin sehat. Ketika kedua burung tersebut sudah sembuh dan menjadi burung yang besar dan kuat, kedua burung itu membalas budi kepada Suri Ikun.
“Kamu pasti manusia baik. Dan kamu pasti ingin keluar dari gua ini,” salah satu burung membuka percakapan.
“Benar. Aku ingin keluar dari sini,” jawab Suri Ikun.
“Mari, kami ajak kamu pergi ke suatu tempat yang sangat indah,” ucap burung yang kedua.
“Tempat apakah itu?” tanya Suri Ikun.
“Ikuti saja kami!” kata salah satu burung itu.
Suri Ikun memperhatikan keadaan sekelilingnya. Setelah memastikan tidak ada hantu hutan yang melihatnya, ia mulai melangkahkan kaki keluar dari gua di tengah-tengah hutan itu. Kedua burung itu membawa Suri Ikun keluar dari hutan. Salah satu burung terbang rendah di samping Suri Ikun.
“Naiklah ke atas punggungku!” ucap burung itu.
Suri Ikun menuruti perintah burung itu. Akhirnya, ia bebas dari cengkeraman hantu-hantu hutan yang hendak memangsanya. Kedua burung itu membawa Suri Ikun terbang melewati bukit-bukit dan lautan. Pemandangan dari atas angkasa sungguh terlihat sangat indah, Suri Ikun bahagia bisa diajak terbang burung itu.
Setelah beberapa waktu terbang di udara, kedua burung itu membawa Suri Ikun mendarat ke sebuah istana yang sangat indah dan megah.
“Karena kau berhati mulia, maka kami menghadiahkan istana berikut isinya ini kepadamu,” kata burung itu.
Betapa bahagianya Suri Ikun mendapatkan hadiah itu. Karena bukan hanya istana megah dan indah yang ia dapatkan, tetapi ia juga mendapat seorang permaisuri yang cantik dan para pengawal yang gagah berani. Rakyat di negeri itu pun sangat ramah dan baik hati. Selanjutnya, Suri Ikun memimpin negeri itu dengan adil dan bijaksana. Tak lupa, ia juga mencari keberadaan kedua orangtua dan tiga belas orang saudaranya untuk diajak tinggal serta di dalam istana.

Amanat cerita rakyat Nusa Tenggara Timur ini adalah kebaikan dan kejujuran akan menjadi pertolongan ketika kita ditimpa permasalahan. Kebaikan Suri Ikun yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas mampu mengetuk hati dua ekor burung untuk membawanya ke tempat yang lebih baik daripada tempat tinggalnya. (nia/net)

Catatan:
Sumber cerita: http://dongengceritarakyat.com/

Bunga Kering

Terkadang hati mencoba menutupi apa yang paling mengganggu pikiran seseorang.
Berpura-pura tak merasa, berpura-pura tak terganggu.
Namun, segala kepura-puraan akan sia-sia pada akhirnya.
Yang dirasa tetap akan terungkap, yang menganggu tetap akan diucap.

Kadang hidup senang bergurau.
Memberi hiburan entah untuk siapa.
Mungkin untuk dirinya sendiri atau justru untuk manusia.
Yang seringkali berpikir dirinya dapat mengendalikan semua yang terjadi di dalam hidupnya.

Perempuan yang Memeluk Sunyi


Cerpen Artie Ahmad (Haluan, 22 Okrober 2017)
Perempuan yang Memeluk Sunyi ilustrasi Haluan.jpg
Perempuan yang Memeluk Sunyi ilustrasi Haluan
Kesunyian adalah hal yang abadi. Dalam kesunyian kita bisa menemukan diri yang hakiki. Diri kita yang murni, layaknya bayi baru lahir ke dunia. Ungkapan tentang kesunyian  itu, aku dapatkan dari seorang lelaki. Lelaki yang kupilih menjadi kekasih dan kemudian suami. Lantaran dia juga, aku benar-benar mengenal kesunyian. Kesunyian, hal yang abadi dalam kelampusan. Seiring ausnya usia yang menanjak tua, betapa sesungguhnya kesunyian yang sejatinya menakutkan itu, menjadi hal yang amat biasa. Tak asing. Seolah-olah menyatu dengan tubuh.
Dulu, ketika jalan-jalan belum seterang sekarang, aku malah tak mengenal apa itu kesunyian. Duniaku seramai pasar malam. Banyak hal yang membuatku melupakan apa itu sepi, apa itu sunyi. Seolah keramahan dunia kepadaku atas tuntunan semesta raya. Tentu saja, semua itu sebelum aku mengenal lelakiku itu.
Di sebuah pagelaran drama di pengujung malam minggu, kali pertama kami bertemu. Mata kami bersilang pandang, sekejap saja. Namun sejurus kemudian, silang pandang yang sekejap menjadi pandangan mata yang mengundang. Tak ubahnya pelanduk yang malu-malu mendekati betina di belantara hutan, dia mendekatiku untuk pertama kali dengan sedikit malu. Lalu, gegasnya waktu membawa kami ke pintu pernikahan. Dia menjadi lelakiku seutuhnya.
***
“Lima tahun kita menikah, tapi belum ada tanda-tanda kau mengandung.”
Ucapan lelakiku itu menggetarkan jantung. Betapa tidak, di keluarganya, keturunan adalah hal yang paling penting dalam hubungan suami istri. Bagi kedua mertuaku, kehadiran cucu dari lelakiku adalah berkat yang sangat ditunggu. Bagiku, kehadiran jabang bayi di rahimku adalah harapan baru bagi hidupku.
“Kita harus bersabar, Bang. Aku sudah mencoba segala macam jamu dan ramuan untuk penyubur kandungan,” ucapku perlahan sembari meremas tangannya dengan lembut.
Tapi waktu bergulir seperti bulir-bulir air di daun talas. Waktu gegas sekali pergi, sepuluh tahun usia pernikahan itu, rahimku masih saja belum terisi. Aku mulai cemas, dan ragu dengan keadaan tubuh sendiri. Benarkah aku mandul? Atau justru lelakiku itu yang tak bisa membuahi rahimku?
Aku menelan bulat-bulat pikiran itu. Sebisa mungkin aku tak berpikir tentang hal-hal yang hanya akan menimbulkan pertikaian di antara kami. Diam-diam, aku masih meminum segala macam ramuan penyubur kandungan. Apa saja kata orang tentang kesuburan seorang calon ibu, aku lakukan. Segala hal, aku lakukan demi dia, lelakiku yang bersabar menjaga hubungan kami selama puluhan tahun, meski bayi tak kunjung datang.
“Apa belum ada tanda-tanda kau mengandung? Seharusnya kau periksa ke dokter kandungan,” ujarnya suatu malam selepas kami makan di luar.
“Belum ada tanda-tanda, seharusnya aku memang konsultasi dengan dokter kandungan saja. Abang mau antar?”
Aku harus menunggu sekian menit untuk mendapatkan jawaban darinya.
“Periksalah sendiri. Aku sibuk sekali. Banyak pesanan mebel yang harus aku selesaikan.”
Aku tak pernah memaksanya dalam sesuatu hal. Tatkala dia tak bisa melakukannya, aku bisa menerima. Bagiku, tak bisa mengantarku ke dokter adalah hal biasa. Meski setelah periksa, aku mendapatkan kepastian bahwa rahimku tak bermasalah. Kabar itu kusampaikan pada lelakiku secepatnya. Wajahnya yang mengerut ketika mendengar laporan itu, membuatku bertanya-tanya.
“Kalau kau sehat? Lalu kenapa kita belum memiliki anak?”
Mendengar pertanyaannya, aku menghela napas perlahan. Sungguh aku sendiri juga tak tahu, kenapa kami berdua belum juga dikaruniai seorang anak.
“Anak itu ‘kan berkat, Bang. Berkat dari Tuhan untuk sepasang suami istri. Kalau Tuhan belum berkehendak, mana mungkin kita memaksakan kehendak?”
“Tapi usia pernikahan kita semakin bertambah. Kau pun semakin menua. Orangtuaku selalu menanyakan tentang anak. Kau tahu ‘kan? Betapa pentingnya keturunan bagi mereka?”
“Kenapa abang tak periksa juga? Jangan-jangan abang yang bermasalah. Toh, laporan kesehatanku baik-baik saja.”
Aku tak menyangka, ucapanku mengundang amarahnya. Matanya yang senantiasa bersorot lembut itu memberang seketika. Rahangnya mengejang. Tangannya terkepal erat.
“Kau kira aku ini mandul?!” suaranya menggelegar.
“Bukan begitu, Bang. Tapi kalau aku sehat, mungkin ada masalah di abang.”
Lelakiku tak menjawab. Kedua matanya menatap dengan bengis.
“Percuma saja aku berdebat denganmu. Kau perlu tahu, aku tidak mandul. Kau itu yang tak diberkati seorang keturunan. Masalahnya ada padamu!” ujarnya sembari berlalu.
Sepeninggal dirinya, aku menatap kosong pada cermin di kamar. Benarkah aku perempuan yang tak diberkati seorang keturunan?
***
Nama Wak Daulai mampir di kepala di sela kegelisahan lantaran pertengkaranku dengan lelakiku. Mungkin Wak Daulai tahu, kenapa aku belum juga diberi keturunan. Sejak kematian ibuku, Wak Daulai yang mengasuhku. Tanpa pikir panjang, sore itu, aku ke rumah Wak Daulai. Demi nasib pernikahanku dengan lelakiku, aku ingin tahu alasan kenapa aku tak jua diberi berkat berupa jabang bayi.
Rumah Wak Daulai berada di pinggiran kota. Halamannya dipenuhi kebun kangkung dan beberapa jenis sayur lain. Rumah berwarna cerah dengan jendela-jendela kaca yang senantiasa dijaga kebersihannya. Dengan hati sedikit gamang, aku melangkah masuk. Wak Daulai terlihat lebih muda dari umurnya yang sebenarnya. Wajahnya yang ledang tampak menawan dalam kesenjaan usia.
“Kenapa kau datang ke mari, Rima?” tanyanya selepas kami saling bertukar kabar.
“Wak tahu? Sudah sepuluh tahun aku menikah, tapi belum juga diberi keturunan. Entah dari mana dia tahu, lelakiku itu menyebut bahwa aku ini tak diberkati menjadi seorang ibu,” ucapku perlahan di sela sabak tertahan.
Wak Daulai tak kunjung menjawab. Matanya seolah menerawang.
“Kau itu seperti ibumu, Rima. Dulu, dia juga amat terlambat memiliki dirimu. Berpuluh tahun menikah, dia tak kunjung memiliki keturunan,” suara Wak Daulai terdengar demikian perlahan.
“Lalu akhirnya dia memilikiku ‘kan?”
“Ibumu itu, mendapatkanmu dengan penebusan, Rima. Setelah sebelumnya, ayahmu mencari perempuan lain untuk menanam janin di rahimnya. Ayahmu Rima, dia memiliki perempuan simpanan yang melahirkan anak pertamanya. Anak yang lahir sebelum kelahiranmu. Kau memiliki seorang kakak, Rima…”
Aku menggigil mendengar cerita Wak Daulai. Aku memiliki seorang kakak?
“Selepas ibumu mengetahui serongnya ayahmu itu, dia melakukan penebusan. Dia berendam di Telaga Ajibarang pada malam ke limabelas sehari semalam. Di sanalah, dia mencari berkatnya yang hilang. Tak berselang lama, dia mengandung.”
“Lalu apa yang harus dibayar ibu untuk mendapatkan diriku, Wak Daulai?”
“Nyawanya, Rima. Ibumu menebusmu dengan nyawanya sendiri,” Wak Daulai meneguk tehnya beberapa kali sebelum melanjutkan. “Apa kau tahu, Rima? Bahwa suamimu pun melakukan hal yang sama seperti ayahmu. Aku mengetahuinya sejak lama. Diam-diam, dia telah memiliki seorang anak dari perempuan lain. Tanpa sepengetahuanmu.”
Selama perjalanan pulang, aku memikirkan cerita Wak Daulai. Tak kusangka, bahwa darah milik ibu yang menetes di tubuhku, membawa kesengsaraan yang serupa. Lebih tak kusangka lagi, ternyata lelakiku itu bermain dengan perempuan lain. Pantas saja dia amat berang saat kuminta periksa ke dokter.
Aku sampai di rumah sudah larut malam. Lelakiku telah tidur pulas. Diam-diam aku berbaring di sampingnya. Bagaimana mungkin, lelakiku ini tega menusukku dari belakang? Bahagiakah dia dengan anaknya dari perempuan lain itu?
***
Air di Telaga Ajibarang terlihat demikian tenang. Warnanya yang hijau tua terlihat begitu dalam. Aku memejamkan mata. Sekarang malam kelima belas, waktu yang sesuai untukku mencari berkat yang hilang. Aku akan menjalani penebusan seperti ibu. Demi memertahankan lelakiku, aku ingin memberikan dia keturunan, layaknya perempuan lain.
Akan tetapi sebelum sempat aku merendamkan tubuh ke dalam telaga, bayangan lelakiku sedang bergumul dengan perempuan lain yang memberikan keturunan untuknya, mengacau pikiranku. Dengan gelisah aku membuka mata. Haruskah aku melakukan penebusan dengan nyawaku, hanya demi lelaki yang menodai perkawinan kami? Bukankah pencapaiannya sebagai lelaki sudah ia dapatkan meski dari perempuan lain? Aku merasa gamang. Perlahan aku mundur, dan meninggalkan telaga bahkan sebelum malam kelima belas menyentuh ujungnya.
Selepas malam kelima belas di telaga itu, aku membiarkan lelakiku pergi menemui hidupnya yang lain. Dengan kerelaan yang ganjil, aku menyerahkan dirinya kepada perempuan lain. Perempuan yang telah memberinya seorang bocah perempuan. Bocah yang seperti cermin diriku saat kanak dulu.
“Kau begitu baik, Rima. Membiarkan aku memiliki anakku,” ujar lelakiku saat aku membiarkannya pergi.
“Aku ingin kau merasakan hidup seperti lelaki lainnya. Tapi kau harus tahu, anakmu akan serupa nasibnya denganku. Dia akan kehilangan berkatnya sebagai seorang ibu saat dewasa nanti. Kesengsaraan yang aku pikul, akan pula ia rasakan. Pergilah, temuilah perempuan dan anakmu.”
Dengan perlahan aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Lelaki yang dulu menjadi lelakiku masih terdiam di depan pintu. Wajahnya sepucat tembok. Tapi aku tak peduli. Perlahan aku menikmati kesunyian baru, yang dibangun dari sakit hati kepada lelaki yang dulu menjadi lelakiku itu. [*]

Salatiga, Agustus 2017.
ARTIE AHMAD. Lahir dan menetap di Salatiga, Jawa Tengah.

Perempuan Sunyi


Cerpen Januari Sihontang (Analisa, 22 Oktober 2017)
Perempuan Sunyi ilustrasi Renjaya Siahaan -Analisa.jpg
Perempuan Sunyi ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
KUAMBIL surat undangan bersampul kuning keemasan. Berulang-ulang kubaca. Tertulis nama Nauli di situ. Senyumnya begitu khas dalam kemasan foto prawedding yang sempurna. Tak bisa dipungkiri, di sudut matanya terbersit kegelisahan. Sepertinya dia tidak begitu nyaman dalam dekapan lelaki itu. Berbeda dengan posenya di wallpaper handphone dan facebook-ku beberapa bulan lalu.
Dalam undangan itu, diselipkan juga selembar kertas, putih didandani tinta hitam. Kalau berkenan, usahakanlah datang, mungkin ini hari paling menyedihkan selama hidupmu, sepanjang usiamu. Bagiku juga. Hadirmu sangat berarti. Tatapanmu untuk terakhir kali, saat menyalamku mengucapkan selamat akan memberiku kekuatan.
Bila mau, kecup saja keningku di pesta itu. Aku berharap kau lepas aku saat melayari laut yang belum pernah kulayari, bersama orang yang belum kuhapal wangi tubuhnya dan belum kurindu suaranya.
Dariku: Nauli
***
Pukul 23.30. Suara di lapo tuak itu tidak seriuh tadi sore. Satu persatu parmitu kembali ke rumahnya. Mungkin sebagian ada yang tidak sampai ke rumah karena buru-buru rubuh di teras rumah, akibat pengaruh alkohol. Mungkin ada juga yang tidak dibukakan pintu oleh isterinya. Ada juga yang ambruk ke dalam parit bersama dengan sepeda motornya.
Tak ada lagi lagu-lagu Batak yang selalu dilantunkan trio di lapo ini. Kini hanya ada suara tauke kerbau, orang paling kaya di kampung ini, berbicara dengan sang pemilik lapo. Tingkahnya seperti berbisik, namun suaranya sangat jelas di telingaku. Sebab kami duduk tidak sampai berjarak dua meter. Hanya dibatasi satu meja.
Pak Jukkit, begitu tauke kerbau tersebut dipanggil. Sebutan itu tentu tidak terlepas dari perangainya sehari-hari. Kata-katanya selalu menusuk hati, menyakitkan.
Tak ada yang berani membantahnya. Sekali dibantah, maka dia akan marah besar. Keangkuhannya meledak. Tanpa diperintah, dia langsung mengungkit utang-utang siapa pun yang membantahnya, bahkan mulai dari utang nenek moyangnya. Mungkin, karena perangainya itulah, sehingga isterinya memutuskan cerai dan kembali kepada orangtuanya. Kendati mereka sudah memiliki dua orang anak.
Hampir semua penduduk kampung berhutang kepada Pak Jukkit. Utang tersebut dulunya dalam jumlah kecil, namun karena sistem bunga berbunga, jumlahnya semakin banyak. Bahkan jauh melebihi utang pokok.
Ayah Nauli salah satu yang terjerat hutang kepada Pak Jukkit. Sepuluh tahun lalu, awalnya, utangnya hanya dua ratus kaleng padi. Utang itu untuk biaya adat atas meninggalnya Kakek Nauli. Berhubung karena Kakek Nauli pada masa hidupnya merupakan raja jolo dan raja parhata di kampungnya. Pihak keluarga besar meminta supaya dipotong kerbau pada hari penguburannya.
Padahal, saat itu Ayah Nauli sebagai anak satu-satunya, tidak memiliki persiapan dana. Apalagi, setahun sebelumnya Ibu Nauli bolak-balik berobat ke kota karena menderita kanker rahim. Biaya pengobatannya tentu sangat besar, sehingga Ayah Nauli harus menjual ladang dan sawahnya. Kini, tak ada lagi harta Ayah Nauli yang tersisa kecuali rumah mungil di pinggir jalan yang kini dijadikan lapo tuak.
***
Nauli, putri semata wayang pemilik lapo. Sedari tadi dia duduk di balik pintu. Sejak pertama kali datang ke lapo ini, selalu saja dia duduk di balik pintu. Wajahnya murung. Aku tidak tahu alasannya.
Tebakanku, itu cara agar dia tidak selalu dipandangi dengan nakal oleh parmitu. Mungkin juga dia malu, karena hanya dia anak gadis sebayanya yang tinggal di desa ini. Sebagian besar merantau ke Batam. Sebagian lagi melanjutkan kuliah atau kursus menjahit di kota.
Sejak kedatanganku ke lapo ini, Nauli mulai ceria. Kendati masih tetap setia duduk di balik pintu, namun dia memiliki kesibukan baru selain melayani parmitu. Kini dia lebih sering membaca buku dan sesekali melirik ponsel genggamnya. Aku yakin, dia membaca chatingan kami. Wajahnya sesekali senyum, hampir tertawa.
Nauli hanya datang ke teras yang disulap jadi lapo tuak ketika parmitu minta tambah atau bayar tuak. Sesekali, Ama Gurdak, Ayah Nauli, memanggilnya, bahkan membentak jika parmitu minta tambah tuak, namun Nauli tidak mendengar.
Ibu Nauli sendiri sudah lima tahun belakangan ini tidak bisa beraktifitas. Beberapa penyakit aneh mengidap tubuhnya. Penyakit itu berawal dari kanker rahim yang sudah diobati ke kota beberapa tahun silam.
“Simpan saja Ito,” kataku sambil senyum kepada Nauli ketika tangannya menyentuh gelasku yang tidak berisi tuak lagi.
“Tidak tambah lagi,” sahutnya sambil senyum.
“Tidak, besok saja. Biar ada alasanku kemari, melihatmu.”
Nauli senyum, lalu berlalu dari depanku. Sesaat dia meninggalkan senyumnya, mungkin buat bekalku malam ini. Di alam mimpiku.
Seketika Ayah Nauli melirikku, sangat tajam. Sepertinya dia tidak senang anak gadisnya bercanda denganku. Kuacuhkan saja, aku pun pulang setelah membayar tuakku terlebih dahulu.
***
Hari ini adalah bulan keenam. Sekaligus bulan terakhir kami kuliah kerja nyata di Desa Sipege, perkampungan terpencil di pedalaman Pulau Samosir. Selama enam bulan di desa ini, sambutan masyarakat sungguh luar biasa. Kecuali Ayah Nauli dan Pak Jukkit. Setiap saya datang ke lapo, selalu saja Pak Jukkit menyindir. Bahkan Pak Jukkit pernah menghasut kami dan meminta kepala desa mengusir kami dari desa ini.
Suatu ketika, tepat malam minggu, aku berbincang dengan Nauli di lapo. Sesungguhnya, aku hanya menjelaskan sinopsis novel permintaannya yang baru kubeli dari kota. Untuk mengisi hari-harinya menjaga lapo tuak, Nauli membaca novel.
Entah angin darimana, tiba-tiba saja Pak Jukkit sudah menamparku. Tak tahu sebabnya apa, tentu saja aku melawan dan membalasnya. Seketika itu, Pak Jukkit memaki-maki.
Berbagai macam makian dan sumpah serapahnya. Mulai mahasiswa pemabuk, hingga mahasiswa abal-abal. Padahal, dia tidak tahu, minum tuak hanya satu cara agar bisa bercerita dan dekat dengan masyarakat desa. Terutama bisa memandang dan lebih dekat pada Nauli. Mencium aroma tubuhnya setelah mandi dan duduk di balik pintu.
Nauli, gadis yang sudah menarik perhatianku sejak pertama berkenalan di mual mata. Ketika itu dia mencuci pakaian dan kami bergotong royong membersihkan jalan menuju mual mata tersebut.
Setiap kesempatan kami gunakan untuk berbincang. Nauli selalu memintaku bercerita tentang dunia kampus dan mahasiswa dan tentang novel-novel terbaru. Sekali dia bertanya tentang pacarku.
Dengan pasti kujawab kalau hatiku telah tertambat di desa ini. Dia tersenyum, sepertinya mengerti apa maksud jawabanku. Ya, dia seorang gadis penjaga lapo. Harus melupakan impiannya kuliah dan bekerja di kota demi menjaga ibunya yang sakit-sakitan dan membantu kehidupan keluarga.
Kami telah berjanji akan menikah setelah aku menyelesaikan kuliahku. Hanya setahun lagi. Apa lagi orangtuaku sudah setuju.
***
Setelah membaca surat itu, telepon genggamku berdering. Sebuah pesan pendek dari Nauli.
“Semoga kamu membaca surat undangan itu, hasian. Itulah sebabnya setengah tahun aku tidak menjalin komunikasi denganmu. Ayahku melarangku berkomunikasi denganmu. Saat kamu datang ke rumahku dua bulan lalu. Sesungguhnya tidak benar bahwa aku telah merantau ke Batam. Itu hanya alasan ayahku agar kita tidak bertemu. Aku tidak tahu, apakah aku bisa melayari laut neraka ini. Demi hutang ayah, aku harus menjadi isteri dari duda beranak dua. Lelaki yang paling kubenci suaranya dan muak aroma tubuhnya. Aku bingung, antara menggadaikan kebahagiaanku demi orangtua atau pergi bersamamu.”
Aku menelan ludah.

Malam Tahun Baru, Sipege, 1 Januari 2017.

Ini Cara Meraih Impian Yang Tidak Mungkin

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Pernah Anda berpikir seperti ini?

Saya tidak mungkin sukses seperti dia (seseorang)
Saya tidak mungkin kaya seperti dia (seseorang)
Saya tidak mungkin berprestasi seperti dia (seseorang)

Bagaimana jika saya tunjukan, bahwa Anda bisa mengganti tidak mungkin menjadi mungkin?

Memang bisa?

Perhatikan apa yang saya tulis dalam kurung diatas, seseorang. Artinya manusia, artinya orang, dan sama dengan Anda.

Maka sebenarnya, siapa pun mungkin meraih pencapaian orang lain (kecuali para Nabi). Namun selama masih orang biasa, yang sama-sama memiliki fisik, pikiran, hati, dan waktu 24 jam, maka peluangnya sama.

Kita memiliki potensi yang sama dengan mereka yang memiliki pencapaian luar biasa. Kita hanya belum menggali potensi diri kita.

Dan penghalang potensi kita tergali, sering kali ada di pikiran kita. Maka, jika kita ingin menggali potensi kita lebih dalam, tidak lain harus mengubah pikiran kita.

Mulailah dengan mengubah kalimat diatas

In syaa Allah Saya BISA sukses seperti dia (seseorang)
In syaa Allah Saya BISA kaya seperti dia (seseorang)
In syaa Allah Saya BISA berprestasi seperti dia (seseorang)

Coba baca 3 kalimat yang baru ini, terasa berbeda dalam hati Anda? Ya, tentu saja, karena kalimat dan kata-kata itu memiliki kekuatan (POWER).

Anda bisa mengubah cara berpikir dengan kata-kata. Kata yang di susun sedemikian rupa dan dilakukan secara berulang-ulang, akan membentuk keyakinan baru yang lebih posisif, memberdayakan, dan membuka peluang menggali potensi sebesar mungkin.

Jadikanlah, apa yang selama ini dianggap tidak mungkin, menjadi mungkin.

Salam
Rahmat Mr. Power
Author eBook, Audio, dan Video
Pengembangan Diri dan Sukses