Daftar Blog Saya

Senin, 23 Oktober 2017

Depati Kincung


Cerpen Adam Yudhistira (Padang Ekspres, 22 Oktober 2017)
Depati Kincung ilustrasi Padang Ekspres.jpg
Depati Kincung ilustrasi Padang Ekspres
PETIR berdenyar membelah langit, ketika sesosok lelaki tua bertongkat kayu berjalan gontai memasuki kampung Lubuk Dabak. Ia seperti tak terpengaruh pada gigitan suhu dingin dan tusukan hujan gerimis. Dan seandainya kaki lelaki tua itu tak menapak tanah, pastilah orang-orang yang melihatnya akan mengira ia hantu gentayangan yang datang dari pemakaman umum di lereng Bukit Mategelung.
Suhu dingin mencucuk jangat dan kesiur angin yang membawa gerimis membuat orang-orang kampung enggan keluar dari rumah. Suara jangkrik berderik tak berputus. Sesekali terdengar pula lengking burung hantu dari arah Hutan Kelingi menambah mencekamnya suasana.
Begitu sampai di pertigaan jalan setapak, lelaki tua itu berhenti. Matanya menatap ke rumah panggung bercat biru yang berada di sebelah gardu jaga malam. Rumah paling besar itu milik Marpawi, kepala kampung Lubuk Dabak. Lelaki tua itu mengusap jenggotnya sebanyak tiga kali sebelum mendorong pintu pagar dengan ujung tongkat kayunya.
“Cari siapa?” tanya Ainah, istri Marpawi. Perempuan itu berdiri di ambang pintu sambil menatap lelaki tua di hadapannya dengan mata penuh selidik.
“Aku ingin bertemu, Marpawi,” jawab lelaki tua itu lembut.
“Ada pasal apa kau ingin menemui suamiku?”
“Aku membawa pesan untuknya.”
“Sampaikan saja padaku, nanti akan kusampaikan kepadanya.”
“Tidak. Mengingat betapa penting pesanku ini, ia harus mendengarnya sendiri.”
Ainah memandangi lelaki tua itu dari kepala hingga ke kaki. “Tunggulah di sini, aku akan memanggilnya,” jawab Ainah setengah membentak lalu berbalik dengan wajah geram.
Pada saat Ainah masuk ke dalam, lelaki tua itu mundur menjauhi pintu. Jika saja mata Ainah sedikit awas, maka ia pasti dapat melihat ada yang tak wajar pada diri lelaki tua itu. Sekujur tubuhnya kering, kakinya pun terlihat bersih padahal hujan membuat jalanan kampung Lubuk Dabak dipenuhi lumpur. Lelaki tua itu mengenakan gamis panjang bewarna hijau gelap, di lengannya ada gelang yang melingkar, gelang itu bergerak-gerak seperti ular.
Saat Ainah datang bersama suaminya, lelaki tua itu masih berada di beranda. Seolah tak ingin berlama-lama menemui tamunya, Marpawi menghampiri lelaki tua itu. Dengan nada suara yang tak ramah, ia bertanya nama dan keperluan lelaki tua itu menemuinya.
“Aku Depati Kincung.”
Sulit membaca raut wajah Marpawi dan Ainah usai lelaki tua itu memperkenalkan diri. Entah takut atau justru meremehkan, namun keduanya terdiam cukup lama dan saling pandang. Marpawi tiba-tiba tertawa sinis, Ainah tersenyum kecut.
Nama yang baru saja disebut lelaki tua itu adalah nama keramat di Kampung Lubuk Dabak. Tak ada yang tak tahu nama itu. Konon, nama itu menjadi legenda di kampung Lubuk Dabak sejak zaman Belanda. Para penjajah itu mendatangi kampung Lubuk Dabak dikarenakan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Jutaan ton batu bara dan minyak bumi tersimpan di dalam tanahnya.
Depati Kincung yang menjadi kepala kampung Lubuk Dabak ketika itu menentang ketamakan orang Belanda. Dengan kesaktiannya Depati Kincung menanam lempengan baja yang dipesan khusus dari Kesultanan Palembang untuk menumpulkan mata bor milik orang-orang Belanda.
“Ya ya, aku tahu nama itu. Kau pikir aku akan percaya? Berapa kau dibayar orang untuk menakutiku?” sergah Marpawi pongah.
“Mungkin lelaki tua ini sudah gila,” celetuk Ainah. Ia membuang muka dengan sikap yang benar-benar menghina.
Lelaki tua itu tersenyum. Ia tenang dan sama sekali tak terpancing oleh hinaan yang keluar dari mulut pedas tuan rumah. “Aku bukan orang gila. Aku datang untuk menyampaikan pesan kepada suamimu, Ainah.”
“Dari mana kau tahu namaku? Aku bahkan belum pernah bertemu denganmu.”
“Tak ada yang tak tahu siapa dirimu. Sifatmu yang congkak itu telah menyebar kemana-mana.”
“Jaga mulutmu, bangsat tua,” hardik Marpawi. Ia berdiri dan memajukan tubuhnya ke depan sambil menjegilkan mata.
Ainah tak mau kalah, ia ikut-ikutan menimpali kata-kata suaminya, “Kalau kau mau minta sedekah, bilang saja, jangan mengarang cerita.”
“Aku datang ke sini bukan untuk meminta sedekah. Aku datang untuk mengingatkan kalian berdua.”
“Katakan saja, jangan bertele-tele. Setelah itu segera angkat kakimu dari rumahku ini,” kata Marpawi sambil menudingkan telunjuknya ke bawah dagu lelaki tua itu.
“Aku datang untuk memintamu tak lagi menebangi Hutan Kelingi. Sudah cukup. Jangan diteruskan.”
Marpawi tertawa keras. “Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya sambil berjalan mondar-mandir. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan saat berhadapan dengan lelaki tua itu, Marpawi mengembuskan asap rokoknya.
“Kau mungkin bisa membodohi penduduk di sini. Tapi jangan harap ceritamu mempan padaku,” ujar Marpawi menyeringai.
“Hutan Kelingi dan kampung ini menyatu. Kau akan menghancurkan keduanya kalau tak mau mendengar perkataanku.”
Marpawi tambah tergelak. “Aku memiliki izin lengkap untuk mengambil kayu-kayu di hutan itu. Kau tak perlu melakukan cara memalukan seperti ini untuk menghancurkan mata pencaharianku.”
“Aku sudah memberimu peringatan, jika kau tetap tak mau mendengar, kau akan menerima ganjaran.”
“Kau mengancamku?” bentak Marpawi seraya mencengkram krah baju lelaki tua itu dengan kasar.
Lelaki tua itu menggeleng lemah. Matanya menyorotkan tatapan iba. “Tak ada waktu lagi, Marpawi. Tak ada waktu lagi.”
“Dasar orang tua sinting! Enyahlah dari rumahku!”
Marpawi mendorong tubuh lelaki tua itu dengan kasar hingga membuatnya terhuyung, namun tak jatuh. Lelaki tua itu masih sempat berpegangan pada tiang rumah. Dengan tatapan sayu, ia memandangi wajah Marpawi dan Ainah. “Pergilah ke Bukit Mategelung. Kampung ini akan hancur lepas tengah malam.”
Marpawi menudingkan telunjuknya tepat di hidung lelaki tua itu, “Pergilah, sebelum kesabaranku betul-betul habis!”
Marpawi dan istrinya masuk ke dalam rumah dan meninggalkan lelaki tua itu sendirian di beranda. Lelaki tua itu pergi menjauh dari halaman rumah Marpawi. Bayang-bayangnya kemudian menghilang ditelan keremangan malam yang bergerimis di sekujur kampung Lubuk Dabak.
***
Hampir setiap hari terdengar raung chainsaw dari arah Hutan Kelingi. Hutan itu berada di hulu Sungai Pehaku. Orang-orang kampung Lubuk Dabak menganggap hutan itu hutan keramat. Namun kekeramatan itu telah memudar ketika berpuluh-puluh ton kayu gelondongan dihanyutkan ke Sungai Pehaku saban hari. Orang-orang hanya bisa mengelus dada. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, sebab perambah-perambah itu menghabisi Hutan Kelingi atas perintah Marpawi.
Sudah banyak yang tahu kalau Marpawi biang keladi pencurian kayu di hutan hulu sungai Pehaku, tapi tidak ada yang berani mengusiknya. Sudah banyak tokoh-tokoh dan para tetua yang memperingatkan perilaku Marpawi. Namun Marpawi tidak pernah menggubris. Ia merasa sebagai kepala kampung, tidak ada satu orang pun yang berhak melarangnya.
Desas-desus merebak, Marpawi menyuap pejabat dan pemerintah. Marpawi pandai benar merayu orang- orang yang kiranya akan menjegal ladang bisnisnya. Namun sepertinya Marpawi lupa, kalau ada banyak sengketa yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan uang semata.
Seusai pertemuannya dengan lelaki tua bertongkat kayu malam itu. Hujan gerimis yang turun sejak petang berubah menjadi badai lepas tengah malam. Sungai Pehaku meluap ganas. Gelontoran air bah menerabas pekatnya malam. Menyapu Kampung Lubuk Dabak dengan lumpur dan potongan-potongan kayu dari arah Hutan Kelingi.
Sesaat sebelum banjir bandang menerjang, penduduk mendengar satu teriakan yang memerintahkan mereka mengungsi ke Bukit Mategelung. Tidak ada yang tahu siapa pemilik suara itu, tapi penduduk yakin, suara itulah yang membuat banyak nyawa berhasil selamat, kecuali nyawa Marpawi dan Ainah. (*)

TENTANG PENULIS
Adam Yudhistira (1985) penulis asal Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah dimuat di berbagai media massa, di antaranya; Kompas, Jawapos, Media Indonesia, Majalah GADIS, Majalah Kartini, Tabloid Cempaka, Lampung Post, Fajar Sumatera, Riau Pos, Suara NTB, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, basabasi.co, tamanfiksi.co, dll. Pemenang lomba Menulis Kompas Klasika Dongeng Anak Nusantara Bertutur pada tahun 2014 dan 2015. Pada tahun 2016, ia menjadi Pemenang Lomba Green Pen Perhutani Award. Dan di pertengahan 2017, salah satu puisinya menjadi nominator terpilih dalam Krakatau Award dan dibukukan dalam Antologi berjudul Secangkir Robusta (2017). Buku terbarunya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (basabasi, 2017).

Tak Perlu Dijeda


Cerpen Aziz As-Syah (Radar Surabaya, 22 Oktober 2017)
Tak Perlu Dijeda ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Tak Perlu Dijeda ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Baik tentang keagamaan, matematika, geografi, fisika, dan bahkan dipelajari tentang pendidikan kewarganegaraan. Tapi, tidak hanya ilmu itu yang dapat kita pelajari di sana. Segala bentuk ilmu bisa kita dapatkan di sekolah. Terutama, ilmu berperilaku kepada sesama.
Akan tetapi, dari kebanyakan orang yang mengatakan bahwa sekolahku berbeda dengan sekolah-sekolah sebagai mana lazimnya. Entahlah, keperbedaan apa yang terdapat pada sekolahku, aku tidak tahu. Hanya saja, yang aku tahu, sekolahku berakreditasi B untuk kalangan swasta. Lumayanlah, untuk memajukan dan menumbuhkan generasi bangsa. Selain itu, perlu kalian tahu bahwa sekolahku tidak jauh berbeda dengan yang lain. Hanya itu yang aku tahu.
***
Sudah delapan tahun aku belajar di sekolah ini. Semenjak di SD hingga SLTP, dan sekarang sudah kelas VIII. Sungguh mengagumkan menuntut ilmu di sekolah ini. Karena telah banyak kurasakan, termasuk ilmu yang didapatkan selama berada di sini. Awalnya, tidak tahu membaca, tidak tahu menulis, tidak tahu sopan santun, tidak tahu kemerdekaan Indonesia kapan? Pada akhirnya aku tahu semuanya. Dengan bukti, bahwa Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pada teks Proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno di depan banyak orang dan didengar oleh seluruh rakyat Indonesia, disebarluaskan lewat media seperti radio dan lain semacamnya. Seperti itu, disampaikan oleh Bapak Dardiri, guru Pendidikan Kewarganegaraan. Ia adalah guru muda yang mengabdikan dirinya di sini. Dan gemar mengajar tentang segala yang berbau Indonesia.
Inilah berkat guru-guru di sini dengan suka hati mengajarkan atau membagi ilmunya dengan ikhlas. Namun, tetap yang menjadi benalu dalam benakku, aku tidak pernah menemukan keperbedaan yang dimaksud oleh orang-orang. Dan barangkali hal itu hanyalah iklan mereka untuk mengajak para siswa-siswa untuk masuk ke sekolah di sana. Entahlah!
“Selama sekolah di sini, apa yang kamu rasakan?” tanyaku mengawali pertanyaan.
“Biasa saja, seperti yang dirasakan teman-teman kita,” jawabnya spontan.
“Apakah kamu tidak merasakan perbedaan selama belajar di sekolah ini?” tanyaku penuh penasaran. Barangkali ia merasakan perbedaan yang dikatakan oleh orang-orang.
“Tidak ada. Setiap hari aku merasakan pahitnya belajar. Iya pokoknya, belajar, belajar, belajar, dan belajar, itu saja. Demikian yang banyak aku rasakan sehingga banyak pengetahuan yang aku dapatkan,” jawabnya dengan santainya, tanpa ada yang mengganjal seperti yang aku rasakan. Barangkali mereka sulit untuk merasakan hal yang sama seperti aku rasakan. Sebab aku tahu, aku adalah laki-laki yang seringkali dihantui penasaran terhadap segala sesuatu. Tapi, penasaran ini bukanlah rasa penasaran yang timbul begitu saja dari hati. Melainkan timbul dari perkataan orang-orang terhadap sekolahku.
Kriiiing… bel masuk telah dibunyikan. Tepat pada jam 09.30 WIB, bertanda jam masuk telah tiba. Seluruh siswa-siswi berbondong-bondong masuk ke dalam kelasnya masing-masing, begitu juga aku.
Aku pun membalikkan badan dengan langkah kaki gontai, dan rasa penasaran tetap termaktub dalam pikiran tanpa ada jawaban dari Deki, teman sekelasku. Tak ada yang aku mengerti selain dunia sebagai gudang beribu pertanyaan yang memaksa ingatan untuk menemukan jawaban.
“Sampai di mana pembahasan kita minggu lalu?” tanya Pak Dardiri, guru pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan semangat menggebu-gebu.
“Di bab I paling akhir tentang Sikap Positif Terhadap Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat,” jawab dari salah satu siswa kelas VIII Ghayatul Anwar Fairus.
“Halaman berapa?” tanyanya lagi seraya membuka lembar demi lembar tentang hal tersebut.
“Halaman 25, Pak,” cetus Dayat, dari arah belakang dengan penuh semangat pula.
Ia pun memulai pelajaran seperti biasa yang dipenuhi ambisi menggebu-gebu demi mencetak siswa-siswa yang berintelektual mumpuni dan berakhlakul karimah. Begitulah semua guru-guru di sini inginkan terutama, Bapak Dardiri.
***
“Apakah kamu tidak merasa ganjal dengan perilaku guru-guru di sini pada pekan kali ini?” tanyaku dengan penuh tanda tanya dalam benak.
Pagi mulai menampakkan keasriannya, dengan fajar yang kekuningan mulai menyingsing di ufuk timur penuh pesona. Pepohonan yang berlambaian penuh tabiat untuk terus menghibur alam ini. Serta angin berdesir mesra menembus pori-pori tubuh penuh ramah nan berarti. Tak ada yang melebihi selain selain ciptaan-Mu, ya rabbi.
“Perilaku ganjil apa yang kamu maksudkan?” tanyanya tak mengerti.
“Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu tentang sekolah ini? Sepertinya dipenuhi banyak pertanyaan ganjal yang ada dalam pikiranmu. Buktinya kemarin kamu menanyakan hal seperti ini kepadaku. Sebenarnya ada apa?” tanyanya lagi penuh penasaran untuk cari tahu.
“Sebenarnya tidak ada apa-apa. Barangkali ini hanyalah pikiran asal-asalanku saja. Merasa penasaran terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Tapi, kamu harus tahu meskipun aku sering penasaran terhadap segala sesuatu. Bukanlah filsuf yang merasa haus akan kebenaran. Hal itu hanyalah perkiraanku saja, barangkali!”
Aku berusaha menghindar untuk tidak menyusahkan orang dalam berpikir seperti yang aku pikirkan saat ini. Aku hanya tidak ingin mereka susah hanya gara-gara pikiranku yang selalu terlintas segala yang tak mesti ada jawabannya. Tapi, selain itu pula, aku berpikir, “Muncul pertanyaan tentu akan ada jawaban.” Dengan itu aku berkeyakinan pasti di kemudian hari, aku akan mendapatkan atau menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan dan kepenasaran yang aku alami itu. Itu pasti!
“Tapi, bagaimana menurutmu guru yang akhir-akhir ini seringkali memakai pakaian batik motif Madura asli itu, beda dengan yang lain?” tanyaku lagi seraya menunjukkan jari telunjukku ke arah guru itu, yang ada di arah bagian barat sana.
Ia bingung dengan pertanyaan sekaligus pernyataanku. Sebab, sebelumnya tidak akan terpikirkan dalam pikirannya perihal semua itu. Betapapun ia harus mengulang masa lalunya.
“Tak terpikirkan, memang, sebelumnya akan hal semacam itu. Sebab, kau tahu sendiri aku bukanlah orang yang suka meneliti segala hal.”
Aku hanya menganggukkan kepala memberikan isyarat mengerti terhadap segala yang disampaikan.
Matahari semakin bersinar semakin nampak ciptaan Tuhan dan kekuasaan-Nya. Satu persatu satu siswa dan siswi mulai berdatangan dengan buku, bolpoin di tangan. Terkadang setia dengan tas yang digendong di belakang badan, di samping badan. Terlihat indah siswa yang berjejer di depan beranda-beranda sekolah atau kelas-kelas dengan buku bacaan di tangan. Sebab, sudah menjadi kebiasaan atau menjadi kewajiban bagi seluruh siswa di sini, jika ada waktu lenggang untuk tidak meninggalkan waktu untuk membaca meskipun sekadar memegang. Sebagian pula berlalu-lalang di halaman.
Selalu terlintas dalam bayangan perihal yang aku pikirkan. Sungguh naif aku jika tidak mendapatkan jawaban.
***
“Apa yang kalian rasakan serta akan berikan kepada Indonesia saat ini, tepat pada Hari Kemerdekaan?” tanyanya kemudian, setelah menjelaskan dan memberi waktu bertanya kepada siswa tentang pelajaran Sikap Positif Terhadap Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat. Ia merupakan guru yang tidak pernah bosan memberikan motivasi, selain fokus pada pelajaran.
Seketika terlintas dalam benakku “ini kesempatanku”, kemudian aku menoleh ke kanan-kiri memastikan, barangkali ada teman-teman yang ingin bertanya. Di antara mereka tidak ada yang mengacungkan tangan. Malah diam dan duduk manis di atas bangku, mengamati. Barangkali mereka tidak bertanya karena ada dua alasan: pertama, takut salah. Kedua, tidak ada bahan untuk ditanyakan.
Berselang berapa menit kemudian tetap tidak ada di antara teman-teman untuk bertanya. Akhirnya dengan penuh percaya diri aku memberanikan diri untuk bertanya. Perihal yang aku rasakan selama ini. ‘Rasa penasaran’ itu.
“Bapak…,” seraya aku acungkan tangan.
“Iya.”
“Sebelumnya saya minta maaf apabila pertanyaan saya melenceng dari pelajaran yang dijelaskan Bapak barusan. Tapi, ini menyangkut tentang Indonesia…” aku berhenti sejenak untuk mengatur nafas.
“… akhir-akhir ini saya suka memerhatikan sikap Bapak. Maaf! Karena saya rasa Bapak merasa aneh dan berbeda dengan guru-guru lain yang biasa saya lihat, Pak? Soalnya dari penampilan Bapak tidak pernah lepas setiap harinya memakai pakaian batik yang bermotif seperti itu. Memangnya, apa yang melatar belakangi hal itu? Sekali lagi, maaf Pak jika pertanyaannya agak lebai,” lanjutku.
Kelas seketika bising setelah aku bertanya hal semacam itu. Barangkali anggapan mereka itu pertanyaan-pertanyaan risih yang tak perlu ada jawaban, tapi bagiku tidak.
Ia (Red: Dardiri) hanya tersipu malu dengan senyum yang merekah di bibir.
“Iya, terima kasih telah mengajukan pertanyaan yang bagus. Sebetulnya, kenapa saya seringkali memakai seperti ini? Kalian tidak pernah menyadari betapa telah melalaikan dan membiarkan hal sepele untuk dilakukan. Saat ini telah banyak orang mengentengkan hal sepele yang nyatanya berdampak besar, 5 tahun lamanya. Saya melakukan seperti ini karena saya menyadari betapa saya mesti menumbuhkan hakikat jati diri saya sebagai orang Madura, yang kata mereka Madura kental dengan budayanya. Baik budaya membatik, musik, tari muangsangkal, kerapan sapi, dan lain semacamnya. Hal ini sebagian dari mempertahankan budaya Madura agar tetap utuh selamanya.” Ia menjedah penjelasannya.
“… tapi bagaimana kalian tetap menumbuhkan jati diri kita sebagai seorang yang tumbuh dan besar di tanah Madura ini. Apalagi tepat pada hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-72 tahun kita ini, bagaimana turut menumbuhkan jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa tanah air meskipun dengan cara seperti ini. Dan sekali lagi, perlu kalian ingat, jangan sampai membiarkan hal remeh dipandang sebelah mata,” lanjut penjelasannya.
“Betapa bodohnya aku, tidak cepat sedikit lagi mengerti,” batinku. (*)

Madura, 28 Agustus 2017 M.
*Penulis adalah mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk Sumenep Jurusan Akhlak Tasawuf (AT).