Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Dongeng Hana Eka Ferayyana (Suara Merdeka, 28 Mei 2017) Jebakan untuk Pangeran ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Paman Lorenzo terkejut. Lagi-lagi, taman istana yang ia rawat dan
dijaga agar tetap indah kini berantakan. Tak terbayang murkanya jika
Raja Leonel tahu bahwa taman kesayangannya rusak.
“Ini pasti ulah Pangeran Julian,” gerutu Paman Lorenzo.
Pangeran Julian memang suka usil merusak taman. Tidak hanya taman, di
sekolah kerajaan dan di istana juga tak luput dari keusilannya. Sudah
sering ia dinasihati, tapi tak pernah digubrisnya. Paman Lorenzo
mendesah. Tiba-tiba terlintas ide untuk membuat Pangeran Julian jera.
Pagi-pagi sekali Paman Lorenzo membuat jebakan berupa tanah becek
berisi cacing yang di atasnya diberi rumput, tujuannya agar Pangeran
Julian tidak curiga. Paman Lorenzo berharap Pangeran Julian jera merusak
taman jika ia terperosok masuk ke dalam tanah tersebut dan melihat
cacing yang mengerubuti tubuhnya. Ia pasti akan ketakutan dan tak berani
lagi masuk ke dalam taman.
“Paman Lorenzo…,” tiba-tiba terdengar suara Pangeran Julian memanggil Paman Lorenzo.
Paman Lorenzo langsung bersembunyi di balik pohon.
“Paman…” Pangeran Julian kembali memanggil. Langkahnya riang memasuki taman.
“Sedikit lagi, sedikit lagi…,” ucap Paman Lorenzo dalam hati sambil
melihat gerak langkah Pangeran Julian yang semakin mendekati tanah
jebakan.
Dan, satu langkah lagi! Byurr… Pangeran Julian masuk ke dalam tanah
jebakan. Tubuhnya belepotan tanah becek dan dikerebuti cacing. Paman
Lorenzo menahan napas. Ia sudah bersiap-siap berlari menolong Pangeran
Julian jika tiba-tiba menangis kencang karena ketakutan. Ia juga sudah
menyiapkan nasihat agar kali ini Pangeran Julian tidak lagi usil merusak
taman.
Namun ternyata dugaannya keliru. Belum sempat Paman Lorenzo
melangkahkan kaki untuk menghampiri Pangeran Julian. Pangeran Julian
tiba-tiba saja berteriak kegirangan.
“Horee… cacing!” teriak Pangeran Julian sambil melempar-lemparkan
cacing ke segala arah. Paman Lorenzo melongo. Jebakan pertamanya gagal.
***
Hari berikutnya, Paman Lorenzo memasang jebakan baru. Kali ini ia
memasang sarang lebah di pohon apel. Pangeran Julian suka sekali
memanah. Tak terhitung lagi banyaknya buah-buahan di taman yang ia bidik
dan ia tinggalkan begitu saja. Membuat buah-buahan tersebut cepat
membusuk dan terjatuh sia-sia.
“Paman Lorenzo…,” Pangeran Julian menghampiri taman sambil membawa panah.
Ngungunnngggg…
Tiba-tiba terdengar suara lebah dari arah pohon apel. Pangeran Julian
melangkahkan kaki ke asal suara dan melihat sarang lebah yang
bergelantungan. Tanpa pikir panjang, Pangeran Julian langsung membidik
sarang lebah tersebut.
Wush… Anak panah itu tepat menyentuh sasaran. Lebah-lebah pun
berhamburan dan tanpa diduga bersatu mengejar Pangeran Julian. Pangeran
Julian terkejut, ia lari pontang-panting dan langsung menceburkan diri
ke dalam kolam yang ada di taman.
Beberapa detik lamanya Pangeran Julian tidak muncul di permukaan.
Paman Lorenzo menghela napas. Ia sudah bersiap-siap masuk ke dalam kolam
untuk membantu Pangeran Julian keluar dari kolam sambil menyiapkan
nasihat bahwa lebah saja tidak suka jika rumahnya diganggu, begitu juga
dengan Paman Lorenzo yang tidak suka jika taman yang susah payah ia
rawat dan ia jaga tiba-tiba ada yang merusaknya.
Namun belum sempat Paman Lorenzo melangkah, Pangeran Julian tiba-tiba
muncul dari dasar kolam lalu berenang dengan gesitnya. Sesampainya di
daratan, Pangeran usil itu terkekeh-kekeh senang sambil mengepalkan
tangan.
“Yess!” teriak Pangeran Julian.
Melihat itu, Paman Lorenzo tahu, jebakan keduanya pun gagal.
***
Hari ketiga, Paman Lorenzo memasang kawat berduri di sepanjang taman
dan memasang pintu yang ia kunci rapat agar Pangeran Julian tidak bisa
menerabas masuk ke dalam taman.
Setengah hari berlalu, Paman Lorenzo senang karena tidak ada gangguan
sama sekali. Sampai akhirnya terdengar suara pintu diketuk.
Dok dok dok…
“Paman Lorenzo, ayo bermain,” terdengar suara Pangeran Julian yang
mencoba masuk ke dalam taman. Paman Lorenzo diam saja. Pangeran Julian
terus saja memanggil.
“Paman Lorenzo, Paman…,” Pangeran Julian lagi-lagi memanggil.
Namun tak ada sahutan dari dalam taman. Pangeran Julian terus saja
memanggil. Sampai akhirnya, suara Pangeran Julian semakin lama semakin
melemah, kemudian terisak.
Mendengar itu, Paman Lorenzo langsung membuka pintu taman.
“Kenapa Pangeran menangis?” tanya Paman Lorenzo.
“Karena tidak ada yang mau bermain denganku Paman,” jawab Pangeran Julian.
“Jika tidak ada yang bermain dengan Pangeran Julian, itu karena
Pangeran Julian usil. Coba kalau tidak usil. Pasti banyak yang mau
bermain dengan Pangeran,” ucap Paman Lorenzo.
“Nah, sekarang Pangeran boleh bermain dengan Paman, tapi Pangeran tidak boleh usil merusak taman ya?”
“Benarkah? Baik Paman, aku janji,” ucap Pangeran Julian dengan mata berbinar.
Akhirnya setelah mendengar nasihat tersebut, Pangeran Julian tidak
lagi usil seperti dulu. Ia kini disayang guru dan teman-temannya di
sekolah kerajaan. Para dayang dan pengawal kerajaan pun tak lagi sebal
seperti dulu. Dan Raja Leonel senang melihat perubahan putra kecilnya
itu. (58)
Cerpen Tjak S Parlan (Media Indonesia, 28 Mei 2017) Daun-daun Beluntas ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
LATIFA sedang memetik daun-daun beluntas, saat Masirah datang
merengek-rengek, memamerkan boneka terbarunya, yang tangannya patah
sebelah.
“Patah lagi, ya?”
Masirah mengangguk dengan sisa tangis yang tertahan.
“Sudah, tak apa-apa. Nanti Ibu akan menjahitnya lagi. Nah, sekarang
bantu Ibu, ya,” ujar Latifa seraya mengusap cairan bening yang keluar
dari hidung anaknya.
Bocah perempuan itu segera menirukan apa yang dilakukan ibunya.
Jari-jari mungilnya berusaha menggapai-gapai, memetik daun-daun
beluntas. Ia tampak riang kembali. Hilang sudah rasa kalah dan marah
yang dibawanya dari rumah kawan sepermainan yang kerap menjahilinya.
Kini, ia seolah telah mendapatkan mainan kegemarannya.
“Bu, Siya mau main belanja-belanjaan. Uang Siya sudah banyak.”
Seraya menggenggam daun-daun beluntas tua, Masirah berlalu ke teras
rumah. Biasanya ia akan berlama-lama di sana, sendirian melanjutkan
permainan apa saja yang disukainya.
Saat genggaman tangannya sudah penuh, Latifa memindahkan daun-daun
beluntas muda itu ke nampan kecil. Dua genggaman lagi, ia akan
membersihkan daun-daun beluntas itu. Saat memasak air tadi pagi, Latifa
melihat masih ada sepapan tempe di dapur, sisa belanja di pasar kemarin.
Jika dipadukan dengan tiga genggam daun beluntas muda, pastinya akan
menjadi menu sederhana yang tak kalah nikmatnya. Untuk ke sekian kalinya
Latifa akan memasak botok tempe beluntas—resep turun-temurun yang
digemarinya sejak ia kembali ke rumah ini.
Setiap kali memasak botok tempe beluntas, Latifa selalu teringat
ayahnya. Ayah Latifa telah mengalami sakit yang panjang, sebelum
akhirnya meninggal. Ketika itu gundukan perut Latifa semakin membesar
dan tak ada satu pun hal yang bisa menutupinya. Adik perempuannya
diam-diam menuduhnya bahwa salah satu penyebab kematian ayah mereka
adalah karena tak sanggup menanggung aib yang menimpa Latifa. Ibunya
sendiri lebih banyak diam sejak Latifa kembali.
“Ibumu itu pandai memasak beluntas. Ayah selalu suka. Anehnya, ibumu justru kurang menyukainya,” ujar ayahnya suatu kali.
Ayah Latifa memang menyukainya. Mungkin karena itulah, ayahnya
memagari pekarangan rumahnya dengan beluntas. Pada hari-hari tertentu
ketika cabang-cabang beluntas itu mulai meninggi dan terlihat liar ke
sana kemari, ayahnya akan memangkasnya, membuatnya rapi kembali.
“Fa, tak bosan-bosannya kamu memasak itu,” ujar ibunya yang muncul dengan sebuah rantang.
Latifa menoleh ke arah ibunya sebentar dan berusaha tersenyum.
Mungkin ibunya baru saja pulang dari rumah adik perempuannya. Biasanya
adik perempuannya itu akan membekali ibunya lauk pauk tertentu. Adik
perempuannya yang belum lama menikah itu memang pandai memasak.
“Ikannya untuk Ibu dan Masirah saja,” ujar Latifa seraya memilah-milah kembali daun-daun beluntas muda.
Sebenarnya Masirah tak begitu menyukai ikan, kecuali jika Latifa
membujuknya dengan iming-iming sesuatu. Bocah perempuan itu memiliki
kecenderungan seperti dirinya. Masirah selalu berselera ketika Latifa
menghidangkan menu botok tempe daun beluntas. Dulu sekali, semasa ia
beranjak remaja, ayahnya sering mengatakan padanya bahwa daun beluntas
bisa menghilangkan bau badan yang kurang sedap. Ia sendiri tak terlalu
peduli sebenarnya. Ia merasa tak ada masalah dengan bau badan. Kalau pun
ia menyukainya, itu karena memang masakan ibunya lezat. Namun sejak ia
kembali ke rumah dengan segala hal yang harus ditanggungnya, daun-daun
beluntas itu seolah telah menjadi keluarga terdekat, atau semacam teman
setia untuk mengusir segala hal yang berbau busuk dalam dirinya.
“Besok pagi, Bibi Rahma akan kemari, Fa. Melanjutkan pembicaraan soal
Masirah. Ibu setuju, demi kebaikannya. Tapi, terserah kamu,” ujar
ibunya saat Latifa melintas di teras rumah.
Sesampai di dapur, Latifa segera membereskan daun-daun beluntas itu.
Ia mencucinya dalam sebuah ember plastik, sebelum kemudian menyiapkan
segala sesuatunya untuk mulai memasak. Latifa melakukan semua itu
sembari memikirkan apa yang dikatakan ibunya. Bagaimanapun ia tidak rela
jika Masirah harus hidup bersama Bibi Rahma, adik kandung ibunya. Ia
teringat apa yang telah dikatakan perempuan itu ketika perutnya semakin
membuncit. Dari bibir perempuan itulah ia mendengar bahwa anak yang
dikandungnya itu kelak harus dijauhkan dari keluarga untuk menghindari
rasa malu yang lebih besar. Sekarang, ketika Masirah mulai tumbuh besar
dan menjelma gadis kecil yang cantik, perempuan itu berniat
mengadopsinya dengan berbagai macam alasan yang menyudutkan Latifa.
***
Keesokan harinya, ketika bibinya pulang kembali dengan tangan hampa,ibunya mencoba memberikan beberapa penjelasan kepada Latifa.
“Bibimu punya niat baik, Fa. Setidaknya jika tinggal di sana, akan lebih terjamin segala sesuatunya. Sekolahnya, lingkungannya…”
“Saya bisa menyekolahkannya, Bu. Saya akan pergi bekerja kembali.”
“Seluruh kampung ini terlanjur tahu. Anak-anak kecil juga tahu. Ibu
juga sakit hati kalau melihat Masirah selalu menangis setiap pulang
bermain. Ibu juga sedih.”
“Masirah tak akan tinggal di sini, Bu. Tidak juga bersama Bibi.”
Percekcokan kecil itu menyulut kembali ingatan Latifa tentang masa
lalunya. Setiap kali itu terjadi, ia merasa sekujur tubuhnya berbau
busuk. Ia merasa bodoh, karena tak berdaya melawan sosok iblis yang
mencederai kehormatannya sebagai perempuan. Namun ia terus bertahan,
sebab bagaimanapun ia harus tetap hidup. Ia tak ingin mati sia-sia di
negeri orang. Ia merasa bersyukur karena dirinya telah berhasil
membatalkan niatnya merusak janin itu. Dengan terus berusaha bersikap
wajar, ia akhirnya bisa meninggalkan negara petrodolar itu.
Namun tak ada yang mudah bagi dirinya. Kepulangannya disambut
kasak-kusuk seisi kampung. Dalam keluarga besarnya sendiri, Latifa
merasa seperti bangkai busuk yang harus dijauhi. Pada saat-saat seperti
itulah, ia sebenarnya justru lebih dekat dengan kedua
orangtuanya—terutama ayahnya yang menderita sakit menahun. Namun sayang,
kedekatan itu tak berlangsung lama. Ayahnya meninggal tepat dua hari
sebelum ia melahirkan Masirah.
Latifa menyayangi anak malang itu. Anak yang membuatnya selalu merasa
berbau busuk saat dalam pikirannya terlintas seorang laki-laki yang tak
diinginkannya. Setiap kali itu terjadi, Latifa selalu ingin muntah.
Perutnya kerap mual tak berkesudahan seperti saat hamil. Jika itu
terjadi, satu-satunya hal yang lebih mudah dan cepat mengobatinya adalah
daun-daun beluntas itu. Ia sering membuatnya sebagai lalapan, juice,
botok, atau jenis masakan yang lainnya.
Sekarang, ketika Masirah semakin tumbuh besar, setiap kali melihat
bola matanya yang bulat bening, alisnya yang hitam tebal, hidungnya yang
lebih mancung dibanding teman-teman sepermainannya di kampung, Latifa
hanya ingin melindunginya dengan caranya sendiri.
***
Setelah mengurus segala sesuatunya, Latifa memanggil seorang
perempuan yang telah ditunjuk mendampinginya sejak kedatangannya di
tempat itu. Latifa mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari tasnya dan
menyerahkannya pada perempuan itu.
“Maaf, Bu. Jangan lupa, tolong ini berikan padanya pada saat makan siang nanti. Dia sangat menyukainya,” ujar Latifa.
“Baik, akan saya usahakan, Bu. Kalau boleh tahu, ini apa?” tanya perempuan itu.
“Oh, itu botok tempe beluntas, kesukaannya,” jawab Latifa.
Perempuan itu segera mengemasi barang-barang Masirah dan membawanya
ke sebuah ruangan. Latifa tetap diam di tempatnya berdiri, ia
melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Matanya mulai terasa panas,
dadanya sesak. Untuk sementara, itu hal terbaik yang bisa dilakukannya
untuk Masirah. Latifa berjanji akan bekerja sebaik-baiknya dan lebih
berhati-hati di tempatnya yang baru nanti.
Saat perempuan itu kembali menawari Latifa untuk melihat-lihat seisi
asrama sekali lagi, Latifa menolaknya dengan sopan. Ia justru bertanya
di mana pintu keluar terdekat dari asrama itu. Latifa mengikuti petunjuk
yang disampaikan perempuan itu. Saat ia bergegas menuju sebuah pintu,
lamat-lamat ia mendengar suara Masirah sedang bercakap-cakap dengan
teman-teman barunya.
“Kenapa dengan bonekamu itu?”
“Oh, ini. Tangannya patah.”
“Kasihan, ya?”
“Tak apa-apa. Nanti Ibuku akan menjahitnya.”
Latifa mempercepat langkahnya. Di sepanjang jalan belakang Panti
Asuhan yang lengang itu, tubuh Latifa berguncangan oleh sedu sedan.
2017
Tjak S Parlan lahir di Banyuwangi, 10
November 1975. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media. Ia
bermukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Cerpen Harris Effendi Thahar (Kompas, 04 Juni 2017) Nyonya Durina Mawarni ilustrasi Juni Adhitya Wulandari/Kompas
Nyonya Mawar baru saja pergi. Kursi tempat duduknya masih panas
ketika Pak Wa, suami Nyonya Durina Mawarni, memasuki ruangan dengan
wajah sumringah.
“Hai, Zul. Bagaimana rencana kita? Jadi?”
“Eh, ya. Bapak. Ee, barusan ibu ke sini. Ketemu di luar?”
“Ndak, tuh. Ada apa ibu ke sini cari saya? Saya baru saja dari rumah.”
“Lho? Katanya Bapak sejak sore kemarin belum pulang.”
“Ah, lupakanlah. Saya juga heran. Sejak ibu dipensiun dari pegawai
bank, ibu tampak terpukul sekali. Tidak siap. Kesepian. Saya memang
pulang agak malam. Tapi, yang bukakan pintu tadi malam ‘kan dia.”
Pak Wa mengambil kursi bekas duduk istrinya tadi sambil merogoh
kantong. Sepertinya mau merokok. Tapi, kelihatan mengundurkan niatnya
merokok ketika sadar sedang berada di ruang ketua jurusan yang sejuk
oleh pendingin udara. Pak Wa memang dosen yang suka merokok sekali pun
tidak bisa digolongkan sebagai perokok berat. Sepertinya Pak Wa
penasaran oleh kedatangan istrinya ke kantor jurusan.
Zul tampak bingung mau berkata apa, meski tetap memperlihatkan wajah
cerah selaku ketua jurusan yang baru saja terpilih, termasuk oleh Pak
Wa, senior Zul yang memilihnya. Zul masih menunggu-nunggu Pak Wa
bertanya lebih lanjut tentang kedatangan istrinya. Tetapi, setelah
beberapa jenak Pak Wa cuma termangu. Zul mulai mengerti bahwa Pak Wa
tidak ingin membuka percakapan lebih lebar mengenai istrinya. Cukuplah
menjadi rahasia pribadinya sendiri, bagai jelaga di sudut-sudut plafon
rumahnya yang tak terjangkau, sesekali berayun ditiup angin yang lewat
kisi-kisi jendela.
Zul menjawab pertanyaan pertama Pak Wa ketika masuk ruangan itu.
“Saya sudah wajibkan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kritik
Sastra membeli buku novel baru. Masing-masing satu judul untuk dikritik
sendiri, seperti yang Bapak usulkan. Tapi, itu baru satu kelas. Kelas
yang satunya, belum.”
“Bagus!” Suara Pak Wa bersemangat, “biar mahasiswa diajak membaca
novel yang banyak. Nanti mereka disuruh baca novel milik temannya secara
bergantian. Minimal semester ini masing-masing sudah membaca lima
novel. Sip! Ide bagus. Kelas yang satunya biar saya yang perintahkan.
Nanti siang giliran saya masuk bukan?”
“Kita juga harus baca novel-novel terbaru itu ‘kan Pak?”
“Ya, sudah barang tentu. Nanti, sewaktu ujian akhir semester, semua
novel dikumpul. Kita pilih yang terbaru untuk dipinjam atas nama jurusan
agak satu semester untuk dibaca. Ha? Bagaimana?”
“Setuju. Cuma kita berdua dosen Kritik Sastra di Universitas ini. Masa bisa ketinggalan baca karya-karya sastra terbaru?”
***
Hampir satu jam lamanya Nyonya Mawar curhat pada Zul, berdua saja di
ruang itu. Mulanya Zul kaget, Nyonya Mawar datang ke kantor jurusan
kurang satu menit setelah Zul tiba. Begitu menjabat tangan Zul, langsung
sesegukan. Menangis.
“Apa yang bisa saya bantu, Bu?”
Nyonya Mawar belum menjawab. Menyeka air matanya dengan tisu. Mencoba
menenangkan dirinya, lalu memulai berusaha tersenyum ke arah Zul.
“Maafkan saya, mengganggu Pak Zul pagi-pagi. Saya memang tidak punya orang lain untuk mengadu, selain Pak Zul.”
“Silakan Ibu. Saya dengarkan baik-baik.”
“Bapak semalam tidak pulang.”
“Kira-kira Ibu, Bapak nginap di mana? Apa selama ini pernah?”
“Biasanya di hotel, kalau rapat sampai malam. Itu setahun sekali saja pun jarang,” Nyonya Mawar seperti mengingat-ingat.
“Ibu bertengkar?”
“Ah, tidak. Cuma lebih suka diam-diaman.”
“Atau bertengkar diam-diam? Bertengkar dalam hati, maksudnya.”
“Lagi malas ngomong sama dia saja.”
“Tentu ada sebabnya, Bu?”
Nyonya Mawar terdiam sambil mempermainkan jejari tangan kanannya
seperti sedang menghitung lembaran uang. Zul juga terdiam, tampak sedang
berpikir tentang sebuah kalimat yang pas untuk melayani curhat istri
kolega seniornya itu. Nyonya Mawar menarik napas panjang seperti mau
memulai suatu gerakan senam aerobik yang sulit.
“Dulu, kami punya pembantu di rumah. Masih gadis, cekatan, dan
santun. Namanya Ipit. Hanya hari Sabtu dan Minggu Ipit datang membantu,
mencuci, setrika, memasak, dan membersihkan rumah. Selebihnya rumah
kosong karena kami sama-sama bekerja. Untuk makan malam kami langganan catering.
Ipit bisa datang sewaktu-waktu apabila ditelepon sebelumnya, kalau
diperlukan selain Sabtu dan Minggu. Sudah seperti saudara, sudah lima
tahunan Ipit bekerja di rumah kami. Ipit juga punya kunci sendiri. Tiga
tahun lalu, tiba-tiba Ipit pamit mau ke Malaysia menjadi TKW. Katanya,
diajak sepupunya yang sudah sukses di sana. Sejak itu kami tidak punya
pembantu lagi. Semua pekerjaan rumah terpaksa kami bagi berdua.”
Pak Zul belum dapat menduga-duga arah cerita Nyonya Mawar. Dia tidak
berani memotong. Membiarkan Nyonya Mawar melanjutkan ceritanya.
“Kira-kira sebulan lalu, Ipit datang ke rumah di pagi hari Minggu.
Menggendong seorang anak perempuan berusia sekitar dua tahunan. Ia
mengaku di-PHK di Malaysia dan menikah dengan orang Malaysia, namun
setelah punya anak satu, ia disia-siakan suaminya itu. Ipit minta
dibelaskasihani demi anaknya, minta bekerja sebagai pembantu rumah
tangga lagi.”
“Sekarang Ipit masih bekerja Sabtu Minggu di rumah Ibu?”
“Tiap hari.”
“Lalu?”
“Anak perempuannya itu…”
“Kenapa anaknya? Sakit?”
“Bukan.”
“Ibu keberatan kalau dia bekerja membawa anaknya?”
“Bukan itu.”
“Lalu? Ipit sekarang sudah tidak cekatan lagi?”
“Bukan itu soalnya,” Nyonya Mawar seperti mencari kata-kata yang
tepat untuk mengungkapkan perasaannya. “anaknya itu, entah mengapa ya,
anaknya itu, kok mirip sekali dengan Pak Wa…”
“Wah? Masa Bu?”
“Iya, Pak Zul. Mata saya belum begitu tua untuk melihat sesuatu dengan jelas dan benar.”
“Bukankah suaminya orang Malaysia? Bisa jadi suaminya itu mirip Pak Wa.”
“Membuat cerita itu kan gampang, Pak Zul. Saya jadi ingat, mengapa
tiba-tiba Ipit minta pamit ke Malaysia. Sebelumnya, dia belum pernah
cerita. Padahal, dia itu suka cerita apa saja dengan saya. Entah dia
memang ke Malaysia atau sembunyi melahirkan anak hasil hubungan gelapnya
dengan…”
“Wow, Ibu terlalu bawa perasaan. Itu cuma perasaan Ibu saja.”
“Itu satu-satunya yang masih saya miliki Pak Zul. Sebagai wanita. Perasaan!”
Keduanya terdiam. Seperti saling menyalahkan diri masing-masing.
Nyonya Mawar mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Ia mengeluarkan
sebuah handphone dan memain-mainkan jarinya di permukaan
layarnya, lalu menyodorkannya ke Pak Zul. Pak Zul memperhatikan dengan
saksama, foto seorang bocah perempuan yang sedang digendong seorang ibu
muda.
“Itu dia, Ipit dan anaknya itu. Mirip Pak Wa ‘kan?”
“Ah, bukan. Mirip ibunya.”
“Coba perhatikan betul. Mirip ibunya ya jelas. Tapi, alis mata dan matanya itu? Dagunya? Mirip kan?”
“Kalau memang mirip?”
“Nah, sekarang Pak Zul sependapat dengan saya bukan? Dia memang mirip
Pak Wa. Tidak pantaskah seorang istri yang sudah bergaul 30 tahun
dengan suaminya curiga? Pak Zul ini bagaimana? Membela Pak Wa selaku
seniornya ya? Membela korps ya?”
“Bu, saya sependapat dengan ibu. Anak itu memang mirip dengan Pak Wa.
Tapi saya belum sependapat kalau itu anaknya sebelum dilakukan tes DNA.
Sekarang, apa yang dapat saya bantu? Maaf, Bu. Sebentar lagi saya harus
masuk kelas. Mengajar.”
Tanpa bicara lagi, Nyonya Mawar berdiri, merapikan kursi dan
meninggalkan Pak Zul begitu saja. Begitu mendekati pintu, ia berbalik,
“Tolong Pak Zul hubungi saya kalau-kalau perempuan itu Pak Zul lihat
datang mencari Pak Wa ke kampus ini. Mulai kemarin perempuan itu sudah
saya pecat!”
***
Pagi itu, sekitar pukul sepuluhan, putri Ipit yang belum tiga tahunan
itu rewel. Menangis terus minta ibunya yang sedang sibuk bekerja
menyetrika seabrek pakaian di lantai dua rumah itu. Nyonya Mawar mencoba
membantu menenangkan Vita, putri pembantunya itu. Tapi Vita tetap
menangis dan meronta.
“Barangkali dia ngantuk. Minta dikeloni ibunya,” Pak Wa berkomentar. “Atau dia lapar.”
“Tau apa situ? Kaya orang yang pernah punya anak saja.”
“Oo, jadi situ pernah punya anak ya?” sahut Pak Wa dalam hati saja.
Kalimat itu tetap tinggal dalam hatinya terdalam. Sebab, jika sempat
keluar dari sarung hatinya, kalimat itu tidak saja akan melukai
istrinya, tapi juga dirinya.
Vita tetap saja menangis, sementara Ipit tetap melanjutkan
pekerjaannya di lantai atas. Mungkin dia tidak mendengar suara tangis
anaknya di bawah yang sedang dicoba membujuknya oleh Nyonya Mawar.
“Coba, aku pengin coba menggendongnya.”
Nyonya Mawar menyerahkan Vita pada Pak Wa. Vita mau digendong Pak Wa
dan terdiam sambil mulai memejamkan matanya. Pak Wa mengayun-ayunkan
kakinya dengan lembut seperti sedang berdansa. Vita cepat tertidur dalam
gendongan Pak Wa. Lambat-lambat, penuh kasih Pak Wa membawa Vita ke
kamarnya, lalu menidurkannya di ranjangnya.
“Sst, nanti dia ngompol! Taruh di lantai saja,” ujar Nyonya Mawar.
Nyonya Mawar buru-buru mencari tikar dan bantal untuk digelarnya di
lantai. Setelah itu, Vita diturunkannya dari ranjang dan dibaringkan di
atas tikar di lantai kamar itu. Pak Wa memperhatikan wajah Vita dari
jauh. Ketika Pak Wa mulai lagi membalik koran edisi Minggu, terdengar
lagi tangisan Vita dari dalam kamar. Nyonya Mawar sudah tidak di kamar,
mungkin di lantai atas mendampingi Ipit.
Spontanitas Pak Wa membuatnya masuk ke kamar dan mencoba
mengusap-usap kepala Vita yang sedang menangis itu. Pak Wa mendekat,
mengambil posisi tidur di samping Vita sambil menepuk-nepuk pantat Vita.
Vita kembali tertidur. Pak Wa tetap tiduran di samping Vita di atas
tikar di lantai kamar hingga ikut tertidur.
Saat melihat suaminya tidur berdua dengan Vita, perasaan Nyonya Mawar bergejolak. Tiba-tiba, ia mengambil handphone-nya
dan mengabadikan kedua makhluk yang sedang tidur itu dalam beberapa
kali jepretan foto. Lama Nyonya Mawar mematut-matut foto-foto itu. Dalam
kecemburuan hatinya, ada sebutir rasa iba menyelip terhadap suaminya,
Pak Wa. Sepertinya Pak Wa sedang menikmati bagaimana rasaya punya anak.
Atau, barangkali cucu untuk orang seusianya. Tapi, bagaimana mungkin
punya cucu kalau sebelumnya tidak punya anak?
Rasa iba itu hanya sekelabat, lalu sirna oleh setumpuk rasa curiga
Nyonya Mawar terhadap Pak Wa yang menurutnya begitu bernafsu untuk
menguasai keinginannya merasakan memiliki seorang anak. “Jangan-jangan,
Vita ini memang anak dia,” getar hatinya. “Memang mirip, kok.”
Sejak hari itu, Nyonya Mawar begitu membenci Vita. Tiap sebentar Vita
dibelalakinya. Bila Vita ketakutan, Pak Wa langsung menggendongnya.
Bahkan mengajaknya keluar naik mobil sambil membeli es krim. Tapi,
akibatnya Nyonya Mawar makin uring-uringan.
“Barangkali dia memang anak hasil hubungan gelapmu ya?” suatu kali Nyonya Mawar memulai menabur duri di rumah itu.
“Kalau memang iya, memangnya kenapa?” jawab Pak Wa dalam hati saja. Itu tidak pernah diucapkannya.
Harris Effendi Thahar, lahir di Tembilahan,
Riau, 4 Januari 1950. Bekerja sebagai Guru Besar Pendidikan Sastra
Indonesia di Universitas Negeri Padang. Sejumlah cerpennya termuat dalam
sepuluh antologi tahunan cerpen pilihan Kompas. Dua buku kumpulan cerpennya, Si Padang, 2003 dan Anjing Bagus, 2005 diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Cerpen Tjak S Parlan (Republika, 04 Juni 2017) Pergi ke Bukit ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kayah menyeka keringat di dahinya. Di kakinya berpijak, kini
terhampar sepetak lahan yang hampir selesai ditanami. Mujur baginya
karena telah menemukan seseorang yang bisa disewanya untuk membajak
ladang peninggalan orang tuanya itu dua hari lalu.
Kayah berharap, anak laki- laki satu-satunya masih bisa menemaninya
di ladang. Apa lacur, ia tak bisa menahan keinginan anaknya untuk
berangkat. Kenyataan itu serupa dengan apa yang dihadapinya setahun lalu
saat Dali memutuskan keluar dari sekolah dengan alasan ingin bekerja.
“Mana bisa, Mak, saya punya Honda baru seperti Toni kalau cuma nambal ban?” Kayah teringat percakapan dengan anaknya seminggu yang lalu.
“Kamu juga bisa bantu emak di ladang,” ujar Kayah.
“Tidak setiap hari harus di ladang kan, Mak?”
“Kalau ayahmu masih ada, dia juga akan melarangmu pergi ke sana, Li.”
“Semua orang pergi ke sana, Mak. Lihat saja rumah si Toni, jadi bagus begitu sekarang. Mak tak ingin rumah kita seperti itu?”
Kayah tercenung mendengar jawaban anaknya. Apa yang dikatakan Dali
tak sepenuhya salah. Ia bisa melihat banyak perubahan yang terjadi di
lingkungannya. Beberapa rumah dibangun lebih bagus sejak tiga tahun
terakhir. Dalam setiap bulan, ada saja sepeda motor keluaran terbaru
yang dibeli oleh warga di kampungnya. Itu belum seberapa, Herman Gendut
yang mendadak dipanggil ‘bos’ oleh orang-orang di sekitarnya, belum lama
ini membeli mobil baru. Jangan tanya soal barang-barang elektronik
lainnya, semua seolah-olah sedang berlomba datang ke kampungnya.
“Emak sudah cukup senang seperti ini, Li,” ujar Kayah pasrah.
Tentu saja, Kayah harus mengatakan hal itu kepada Dali. Sejak Burhan,
suaminya, tak pernah kembali lima tahun lalu, ia banyak berharap pada
Dali. Baginya, kehilangan satu anggota keluarga adalah sebuah bencana
besar yang tidak boleh terulang lagi. Lima tahun lalu, agar bisa
berangkat ke Malaysia, suaminya harus menjual dua ekor kerbau yang
biasanya digunakan untuk membajak sawah atau ladang.
“Mana mungkin kita bisa bangun rumah yang bagus, kalau saya cuma
membajak ladang, Yah,” ujar Burhan sebelum kepergiannya. Sekarang,
orang-orang lebih suka membajak pakai mesin, lebih cepat. Ongkosnya juga
tidak jauh beda. Jadi, biarlah kita lepas saja kerbau itu.”
Kayah tidak bisa mengatakan apa-apa waktu itu. Ia tahu, apa yang
dikatakan suaminya benar adanya. Tetapi, sejauh ini ia merasa cukup. Ia
tidak pernah mengeluh. Dulu, sebelum situasi berubah, orang-orang di
kampung selalu menyewa Burhan untuk membajak sawah atau ladang saat
musim tanam tiba. Burhan memiliki dua ekor kerbau yang cukup sehat untuk
dipekerjakan seharian. Namun, orang-orang telah berubah, alat-alat
berubah, meski masih ada beberapa yang menyewanya karena alasan
kebiasaan yang sudah turun temurun.
“Lagi pula, saya juga ingin melihat anak kita seperti anak tetangga
lainnya. Coba lihat, mereka tak perlu bersusah payah lagi naik angkutan
desa kalau pergi sekolah. Sekarang mereka punya sepeda motor baru.”
“Iya, benar. Tapi, mengapa harus ada orang tua mereka yang terkubur hidup-hidup di bukit itu?” tanggap Kayah.
“Sudahlah, jangan bicara soal itu. Yang berhasil juga tak sedikit.
Buktinya, aku sendiri tak pernah punya keinginan ikut mereka, kan?” Kayah membenarkan apa yang dikatakan suaminya.
***
Sejak perbukitan di sebelah kampung mereka didatangi orang-orang dari
berbagai tempat, warga di kampungnya pun berduyun-duyun ke sana.
Orang-orang melubangi bukit itu untuk mencari emas. Mereka akan berada
di sana selama berpekan-pekan dan hanya pulang mengambil bahan-bahan
makanan untuk bekal berikutnya selama di bukit. Beberapa yang beruntung
akan menyempatkan diri ke kota dan belanja lebih banyak, membelikan ini
itu untuk ke luarganya di rumah. Sementara, yang lainnya, yang belum
beruntung, tak ada pilihan lain selain cepat-cepat kembali ke bukit
dengan harapan bahwa berikutnya merekalah yang akan mendulang emas.
Kayah merasa bersyukur karena suaminya tidak tergoda mengikuti
mereka. Ia lebih senang melihat suaminya bekerja di ladang. Biarpun
tidak begitu luas lahan yang mereka miliki, hatinya tenteram jika
melihat ladang peninggalan orang tuanya selalu terawat dengan baik.
Tentu saja, ia akan berusaha membantu suaminya sebisa mungkin untuk
menjaganya.
Namun, hari itu harapannya pupus. Kayah harus merelakan suaminya yang
ingin mendulang uang di negeri orang. Tahun pertama, semua baik-baik
saja. Burhan sempat berkirim surat, mengabarkan jika dirinya baik-baik
saja. Dalam suratnya, Burhan bercerita sudah bekerja di sebuah
perkebunan kelapa sawit. Harapan yang mulai tumbuh di hati Kayah,
berangsur-angsur layu sejalan bergulirnya waktu. Hingga empat tahun
berikutnya, ia tak mendapatkan kabar apa-apa dari Burhan. Dalam
keterbatasannya, Kayah sudah berusaha mencari informasi, tapi semuanya
sia-sia.
***
Kayah kembali menyeka keringat di dahinya. Di kakinya berpijak, kini
terhampar sepetak lahan yang hampir selesai ditanami benih-benih kacang
tanah.
Kayah menatap sekeliling ke ladang-ladang tetangga. Semak-semak
bertumbuhan di sana-sini. Beberapa ekor kerbau merumput di antaranya.
Dulu-dulu, ia jarang melihat pemandangan seperti ini. Ladang-ladang
selalu tergarap pada waktunya. Ia bisa melihat benih-benih palawija yang
mulai tumbuh, menghijau daun-daunnya, aneka warna bunganya dan
biji-bijinya yang bernas. Namun, sejak di bukit ditemukan batu-batu
yang, katanya, bisa disulap jadi emas, ladang-ladang mulai kehilangan
penggarapnya. Semakin banyak laki-laki yang pergi ke bukit, meski satu
dua di antara mereka ada yang tidak kembali. Sementara itu, para
perempuan melakukan apa saja yang mereka bisa: memasak untuk anak-anak
dan orang-orang tua yang di rumah; menggembalakan sapi atau kerbau
piaraan di ladang-ladang mereka yang terbengkalai.
Kayah menyeka keringat di dahinya sekali lagi. Ia menatap jauh ke
arah rumahnya yang terhalang gerumbulan bambu. Sudah seminggu Dali pergi
ke bukit. Kalau tak salah perkiraan, Dali akan kembali ke rumah hari
ini. Lagi pula, bekal yang dibawanya sepertinya memang hanya cukup untuk
bertahan selama seminggu.
“Biar saya coba sepekan saja, Mak. Setelah itu, saya akan pulang mengabari, Mak,” ujar Dali, waktu itu.
***
Senja yang mulai membentangkan cahaya pucat matahari membuat bayangan
tubuh Kayah memanjang di tanah ladang. Tak lama lagi matahari akan
tenggelam di gunung sebelah barat dan angin mulai terasa lebih dingin.
Kayah mengeluhkan pinggangnya yang sejak semalam terasa ngilu. Ia
terpikir untuk segera meninggalkan ladang saja. Sesampainya di rumah,
rasanya ia akan memasak air hangat untuk mandi.
Sudah hampir Maghrib ketika Kayah pulang dari ladang. Tadinya, ia
berharap pintu rumahnya terbuka dan melihat Dali sedang duduk-duduk di
beranda. Namun, yang ia dapati tetaplah sebuah rumah dengan pintu yang
tertutup rapat. Ia mengambil kunci yang disembunyikannya di balik
sebongkah batu di samping rumah. Sudah menjadi kebiasaannya selalu
menyimpan kunci di tempat itu jika sedang keluar rumah. Dengan begitu,
jika Dali pulang sekolah atau pulang dari pangkalan tambal ban tidak
perlu lagi susah-susah mencarinya.
Saat pintu rumah terbuka, Kayah segera mencium aroma yang sangat
dikenalnya. Ia mencoba menajamkan penciumannya, memastikan bahwa tidak
ada yang salah dengan hidungnya. Aroma itu semakin menguat seolah
menghampiri dirinya ketika ia melangkah ke dapur untuk menjerang air.
Aroma itu adalah bau tubuh anaknya. “Oh, Dali sudah pulang rupanya,”
batinnya.
Ketika Kayah mulai menyalakan kompor, sekibasan angin mengusik di
balik punggungnya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati sesosok Dali
melintas begitu saja menuju pintu dapur yang terbuka.
“Ya, Tuhan, Nak. Emak jadi kaget. Jam berapa tadi sampai?” tanya Kayah.
Sosok Dali tidak menjawab apa-apa, selain hanya tersenyum, lantas
berlalu ke arah sumur di belakang rumah. “Oh, mungkin dia mau
membersihkan diri dulu di padasan*,” pikir Kayah, mengira kebiasaan anaknya.
Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Seharian ia pergi ke ladang sehingga tak sempat mengisi air padasan.
“Padasan-nya kosong, Li. Emak tak sempat mengisinya tadi,” ujar Kayah.
Kayah melanjutkan aktivitasnya kembali. Sembari menunggu air
mendidih, ia menyiapkan racikan kopi untuk dua cangkir: satu untuknya,
satu untuk Dali. Dali menyukai kopi sejak masih kecil, mengikuti
kebiasaan ayahnya. Kayah juga minum kopi, tapi sesekali saja.
Ketika Kayah mulai menyeduh kopi, terdengar sebuah keributan kecil di
luar. Suara langkah-langkah kaki semakin mendekat ke rumahnya.
Penasaran dengan apa yang didengarnya, Kayah beranjak ke depan
meninggalkan kopi yang belum tuntas diseduhnya. Sampai di depan rumah,
sejumlah orang telah menunggu. Orang-orang itu berwajah murung, kumal,
dan tampak sangat kelelahan. Beberapa di antaranya memikul sebuah tandu.
“Kayah, biarkan kami masuk terlebih dulu. Akan saya jelaskan di dalam,” ujar seseorang.
Tanpa menunggu persetujuan Kayah yang hanya bisa membisu, rombongan kecil itu pun masuk ke dalam rumah.
“Kami sudah berusaha dengan segala cara untuk menyelamatkannya. Tapi,
mungkin hanya sampai di sinilah takdir anakmu,” ujar seseorang yang
mewakili rombongan. “Bersama dua penambang lainnya, Dali tertimbun tanah
longsor saat sedang menggali lubang.”
Kayah bertambah bingung mendengar apa yang baru saja dikabarkan.
“Saudara-saudara mungkin salah orang. Astaghfirullah, mana
mungkin anak saya bisa tertimbun? Baru saja saya bertemu dengannya. Dia
sedang membersihkan diri di belakang,” ujar Kayah.
Seseorang yang mewakili rombongan itu segera beringsut, tangannya
menyingkap selembar kain yang menutupi sesosok jasad di tengah-tengah
ruangan itu. “Kami semua warga kampung ini. Kami sangat mengenal
anakmu,” katanya kemudian.
Kayah terperangah melihat sebentuk wajah yang sangat dikenalnya itu.
Antara percaya dan tidak, Kayah meraih tubuh tak berdaya itu seraya
menggoncang-goncangnya berkali-kali. Kayak menjerit sejadi-jadinya.
Pagesangan, 22 Desember 2016
*) Padasan: Sejenis tempayan yang diberi lubang pancuran.
Biasanya digunakan sebagai tempat menampung air untuk membersihkan diri
atau berwudhu.
Tjak S Parlan lahir di Banyuwangi, 10
November 1975. Cerpen dan puisinya sudah disiarkan di sejumlah media.
Mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Cerpen Fakhri Cahyono (Suara Merdeka, 04 Juni 2017) Hujan, Mendoan, Kopi, dan Rindu yang Belum Tandas ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Namun ternyata itu tidak berlaku bagi Mas Agus.
“Kau lihat itu, Mas Agus?”
“Tentu!”
Mereka berdua memandang lekat-lekat yang sedang lewat. Sinar hangat
yang mampir dari celah dedaunan membuat wajah mereka makin semringah.
Kepul knalpot yang tiap waktu bertambah tak mereka hiraukan.
“Ah, berarti Mas Agus masih normal,” kata teman Mas Agus. “Hal beginian langsung nyahut.”
“Berarti kaupikir aku ndak normal?” jawab Mas Agus setengah berteriak dengan tangan kiri memukul trotoar, tetapi pandangan tetap lurus.
Temannya tertawa.
“Lihatlah, Mas Agus, lenggokannya itu lo. Duh! Bikin….” Menggebu-gebu benar teman Mas Agus.
“Setuju!” potong Mas Agus cepat. “Mendoan memang tak tertandingi!”
“E… ladalah!” sekonyong-konyong teman Mas Agus memekik, sampai-sampai Mas Agus tersentak. “Kok mendoan?”
“La terus apa kalau bukan racikan gorengan yang renyah dan uenak itu?”
“Bemo saya!” jawab teman Mas Agus kesal. “Ya bokong Mpok Neuneu-lah! Piye ta?”
Mas Agus terpingkal-pingkal jika mengingat temannya. Namun, sungguh, ia sedih dan lemas setelah itu karena teringat mendoan.
***
Kini, hari-hari Mas Agus penuh kekosongan. Tidak ada getaran-getaran
di dada yang dulu sering mampir. Bagi Mas Agus, melihat sepiring mendoan
dengan harum yang khas yang seakan memanggil untuk segera ditandaskan
bersama secangkir kopi sama seperti kamu melihat calon gebetan tak
kunjung tersentuh-tersenyum padamu. Degdegan. Semriwing. Semacamnya.
Sayang, Mas Agus tidak lagi bisa menemukan sepiring mendoan.
Jangankan sepiring, sepotong pun teramat susah. Bukan karena Mpok Neuneu
yang kabarnya berhenti jualan gorengan dan berganti haluan menjadi
kupu-kupu malam. Bukan. Namun karena memang tidak ada lagi warung atau
pedagang asongan yang menjual gorengan.
Pada era serbainstan dan kekinian, katanya gorengan terlalu
kampungan. Toh sekarang kampung-kampung sudah berganti menjadi kota. Sawah-sawah ditanami rumah-rumah*.
Warung-warung disulap menjadi kafe ala Eropa atau Korea. Gorengan
berganti menjadi tom yam, yang kata Mas Agus, “Makanan macam apa pula
ini.”
Tahun-tahun kemarin, manusia lebih memilih memanjakan perut dan
berfoya-foya ketimbang bekerja. “Sekarang, manusia lebih memilih dipuja
karena paling kekinian dan tren ketimbang memanjakan perut,” kata Mas
Agus.
Mata Mas Agus nanar melihat rintik hujan yang tempias di kaca jendela
ruang kerja. Dari gedung pencakar langit ini, seharusnya Mas Agus bisa
melihat segala hal: genting yang basah, orang-orang yang berlarian
mencari tempat berteduh, npendar cahaya lampu kota. Namun Mas Agus hanya
melihat kekosongan. Sekosong hatinya saat ini.
Belum pernah luput dari ingatan Mas Agus, betapa dulu kekasihnya
getol benar membuatkan mendoan dan menyeduh secangkir kopi bagi dia
ketika turun hujan. Belum pernah lupa pula jawaban sang kekasihnya
ketika dia mempertanyakan perihal kegetolan membuatkan makanan
kesukaannya itu. “Bukankah tidak ada yang lebih syahdu daripada sepiring
mendoan dan secangkir kopi ketika hujan? Setidaknya mereka tidak akan
membiarkanmu kedinginan.”
Maka, ketika hujan bertandang, Mas Agus pun murung semurungnya.
Memang benar, hal paling menyakitkan dalam hidup adalah kehilangan. Dan
kesakitan paling perih bagi Mas Agus adalah kehilangan sesuatu dan orang
terkasih.
***
Hari ini seisi kota dikejutkan oleh berita yang memenuhi halaman
depan berbagai koran. Berita itu juga membuat Mas Agus tersedak kopi
pagi-pagi. Berita yang begitu ramai, sehingga judulnya pun dicetak lebih
besar daripada biasa. “Kembalikan Budaya Kami!”, “Rebut Budaya yang
Telah Dicuri!”, “Sejumlah Janda Melakukan Aksi Demo Pemulihan Budaya”.
Ketika Mas Agus berangkat kerja, arus di jalanan macet oleh
orang-orang yang berunjuk rasa. “Membuat penat saja,” batin Mas Agus.
Orang-orang demonstrasi, menyoal budaya yang katanya diklaim negara
tetangga. Itu sangatlah biasa. Sudah terjadi berulang-ulang. Pernah Mas
Agus bertanya pada salah seorang demonstran, kenapa baru ribut dan
merasa kehilangan setelah ada yang lebih memedulikan, demonstran itu
menjawab simpel dan bikin sebel.
“Seperti mantan yang terlihat lebih cantik setelah jadi kepunyaan orang.” Halah, anjing! Memang sejatinya orang-orang kembali peduli setelah yang “dibuang” itu masyhur, jadi tren, booming?
Mas Agus sudah terbiasa menghadapi kekonyolan macam itu. Namun kali ini
berbeda. Berita pagi ini sangat mengganjal pikirannya. Bagaimana tidak?
Orang berkata yang “diklaim” negara jiran itu adalah mendoan!
Di dalam mobil Mas Agus terus merenung. Perkara itu seharusnya
membahagiakan. Dan akhirnya Mas Agus menemukan penjual mendoan. Meski
dari luar negeri, itu bukan soal. Yang penting menuntaskan rindu.
Karena, bagi Mas Agus, kerinduan adalah sepiring mendoan. Lewat mendoan,
dia bisa tetap mengenang sang kekasih.
Namun itu tak semudah menggambar alis—saat ini ada alat penggambar
alis instan. Apa jadinya jika di tengah keributan itu, dia malah
enak-enakan ngopi dan makan mendoan impor dari negara tetangga?
Orang-orang kekinian kan suka lebay, ribet. Hal kecil dilebih-lebihkan.
Mas Agus membayangkan sore yang gerimis ditemani secangkir kopi dan
sepiring mendoan lengkap dengan cabe. Lalu segerombolan orang tiba-tiba
datang dengan kain terikat di kepala, megafon, bendera-bendera, kertas
karton besar bertulisankan “Pengkhianat Negara”, “Pendukung Negara
Pencuri”, “Tidak Setia Budaya”, dan semacam itu. Memikirkan hal itu
membuat kepala Mas Agus pening.
Di persimpangan jalan, lamunan Mas Agus dipecahkan oleh ketukan
tangan pengemis kecil di jendela mobil. Sejenak pandangan Mas Agus
teralih pada sesuatu yang dipegang si pengemis. Anak itu memegang othok-othok, mainan dari sandal bekas dan bambu berbentuk burung yang bisa berbunyi othok-othok saat didorong. Dulu, mainan itu banyak dijual di pasar malam dan pedagang kaki lima.
“Dari mana kaudapat mainan itu, Nak?” tanya Mas Agus setelah membuka jendela mobil dan memberikan beberapa recehan.
Anak itu mengernyitkan dahi. “Ini?” Si pengemis mengangkat othok-othok.
“Iya. Othok-othok itu. Mainan itu sudah lama punah kan? Apa mungkin sekarang masih ada yang menjual?”
Pengemis kecil memasukkan recehan dari Mas Agus ke dalam kantong
plastik. “Aku membuatnya sendiri,” ujarnya lalu bergegas pergi ke
jendela mobil lain sebelum lampu hijau menyala.
Mendengar jawaban si pengemis, pada pagi yang gerimis, seketika Mas
Agus merasa ada secercah cahaya menampar-nampar wajah. Menyadarkan dia
dari kebodohan yang dulu kerap ia maki, tetapi sekarang ia lakukan. “Ya,
ya, jika rindu atau kebahagiaan tak kunjung bertandang, meski telah
dicari-cari, cukup membuat pertemuan atau kebahagiaan itu sendiri,”
batin Mas Agus seraya membentur-benturkan kepala ke klakson mobil hingga
bising.
Lalu ia memutar balik mobil. Wajahnya cerah. Ia tersenyum, semringah.
Mas Agus membayangkan sewajan mendoan menunggu di rumah. (44)
Semarang, 6 April 2016
Catatan
* Gubahan dari salah satu baris puisi “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana” karya Gus Mus: Kau menyuruhku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah.
– Fakhri Cahyono, lahir
di Kudus. Alumnus angkatan 12 Kampus Fiksi, pegiat Komunitas Fiksi
Sastra Rumpun Nektar. Menulis cerpen dan puisi. Kini, bekerja sambil
kuliah di Semarang.
Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 04 Juni 2017) Ramadan Ini Marini Pulang ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosJENAZAH Marini tiba di rumah duka pada hari pertama
puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh
para tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Sedangkan emak, ia
seperti orang lumpuh sejak petang lalu, saat mendapat kabar Marini sudah
tidak ada. Semuanya begitu mendadak. Begitu tergesa.
Ramadan ini Marini pulang, Mak! Itu yang dikatakan Marini sebulan
silam di telepon. Dan kini, Marini benar-benar pulang. Menepati
janjinya. Pulang dengan cara lain.
***
Usia emak sudah hampir enam puluh, tapi ia masih saja pergi ke sawah.
Katanya, tubuh tua justru harus banyak gerak. Kalau diam saja di rumah
lama-lama malah bakal lapuk. Seperti perkakas yang tak pernah dipakai.
Cepat rusak. Sebab itu, emak tak pernah bisa diam. Ada saja yang
dikerjakannya. Kalau ia tidak pergi ke sawah, kadang ia membersihkan
semak di pekarangan belakang. Kalau tidak, ia memilah sampah-sampah yang
dibuang para tetangga di belakang rumah lalu membakarnya. Pekarangan
belakang rumah emak—yang bersebelahan dengan sungai—dijadikan tempat
pembuangan sampah oleh para tetangga, dan emak tak pernah
mempermasalahkannya.
Kata emak, “Biarkan saja mereka buang sampah di belakang, daripada mereka buang ke sungai. Itu hanya sampah, bisa dibakar.”
“Tapi kan tanahnya jadi kotor dan tidak bisa ditanami, Mak.
Dulu, sama almarhum bapak, tanah itu dikelola jadi ladang ibu yang
menghasilkan,” balas Marini.
“Sekarang juga tetap jadi ladang kok, ladang amal buat Emak.
Percayalah! Bahkan sepetak tanah yang menjadi tempat sampah pun akan
bisa bicara pada Tuhan kelak.”
Dan Marini diam. Setiap orang memang butuh membuang sampah. Dan kini
semakin hari pekarangan kosong semakin rapat, bahkan meski itu di
kampung. Sampahnya kian hari kian menggunung. Lagi pula, orang kampung
tak pernah membayar tukang sampah. Mereka selalu membuang sampah di
belakang rumah emak. Dan emaklah yang biasa merapikannya dengan memilah
lalu membakarnya. Itulah emak, perempuan sepuh yang tak bisa diam.
Hingga sebulan silam sepupu Marini yang di kampung—tinggal
bersebelahan dengan emak—mengabarkan bahwa emak lagi sakit. Kakinya
bengkak dan tidak bisa dibuat jalan. Di telepon, Marini marah-marah pada
emak. Sebab emak sulit sekali kalau disuruh istirahat. Sukanya bekerja
dan bekerja. Padahal tubuh bukanlah mesin, bahkan seandainya tubuh
adalah mesin, mesin pun juga butuh istirahat.
“Kapan kau pulang?” suara emak terdengar serak di telepon,
mengalihkan pembicaraan. Dan kalau Emak sudah bicara soal kapan Marini
pulang, Marini segera merasa bahwa dirinya telah layak untuk disebut
sebagai anak tak berbakti.
Semenjak mendapat beasiswa kuliah di luar kota, Marini hanya pulang
setahun sekali atau dua kali. Kadang saat Lebaran, kadang saat liburan
semester. Marini sudah lama lulus dari kuliahnya itu dan sekarang sudah
jadi dosen tetap di kampus tempatnya kuliah. Marini adalah bocah semata
wayang yang sejak kecil tak pernah bisa pergi jauh dari emak. Tapi
bagaimanapun Marini bakal tumbuh sebagaimana gadis-gadis lain, anak-anak
lain, yang lambat laun harus melanjutkan hidupnya sendiri.
“Ramadan ini Marini pulang, Mak. Janji,” jawab Marini dengan suara patah-patah.
Ramadan tahun lalu Marini tidak pulang. Sebab, jadwalnya di kampus
padat sekali. Ramadan tahun ini pun sepertinya tak banyak berubah. Ia
harus menguji beberapa mahasiswa, memasukkan nilai ujian akhir, juga
menyiapkan beberapa dokumen untuk kelengkapan akreditasi kampusnya.
Marini tahu, kesibukan-kesibukan semacam itu tak akan pernah ada
habisnya. Selama ini Marini sudah menurutinya. Dan kali ini, Marini
harus benar-benar berpikir soal prioritas. Penting mana, pekerjaan atau
emak? Pekerjaan masih bisa dicari, tapi emak cuma satu? Bagaimana kalau
emak sakit dan sangat membutuhkan Marini? Bagaimana kalau hal-hal yang
tak pernah diinginkan terjadi pada emak? Marini pasti akan menyesal
sepanjang hayat. Marini tak mau itu terjadi. Jadi, Ramadan ini Marini
harus pulang. Tidak boleh tidak.
Sehari menjelang hari pertama puasa, Marini menelepon lagi ke
kampung. Bertanya kondisi emak. Kata keponakannya emak sudah baikan,
sudah mulai bisa berjalan.
“Jadi pulang Ramadan ini?” suara emak terdengar cemas di kejauhan.
“Iya, Mak. Marini sudah urus semuanya. Insya Allah Marini jadi pulang
Ramadan ini! Tapi mungkin baru bisa berangkat akhir minggu depan.”
“Oh, minggu depan, ya? Sudah pesan tiket?”
“Sudah! Tinggal berangkat!”
“Ya sudah, minggu depan juga tidak apa-apa. Semoga tetap diberi kesehatan dan umur yang berkah.”
Saat itu Marini mendengar gelagat aneh pada suara emak. Hingga
tiba-tiba Marini berpikir, mengapa harus menunggu minggu depan?
Bagaimana kalau umurku atau umur emak tak sampai minggu depan? Pagi itu
juga, usai menelepon, Marini berencana pergi ke stasiun untuk
membatalkan tiket. Ia akan memesan tiket baru untuk hari itu juga, atau
paling tidak untuk besok. Kalaupun tiket kereta sudah ludes, Marini akan
memesan tiket pesawat. Marini tak pernah suka pergi dengan pesawat,
tapi untuk emak apa yang tidak?
Wajah emak yang mulai dijangkiti keriput terbayang di pelupuk mata
Marini. Ia membayangkan dirinya memasak bersama emak, menyiapkan menu
berbuka. Juga berbelanja beberapa kebutuhan ke pasar dan membuat adonan
kue kering untuk Lebaran. Sungguh, Marini tidak sabar untuk segera
pulang.
Memang ada beberapa agenda kampus yang menuntut kehadirannya sekitar
sepekan ke depan, tapi setelah Marini pikir, agenda itu tak akan batal
meskipun dirinya tidak hadir. Jadi, Marini memutuskan untuk balik lebih
cepat, memberi kejutan pada emaknya. Ia sudah sangat rindu pada emaknya,
pada kampungya.
Saat pergi ke stasiun itulah, selepas mandi, tiba-tiba Marini merasa
tubuhnya sangat dingin. Kepalanya juga sedikit pening. Ia membaringkan
tubuhnya sebentar, dan tak bangun lagi. Teman-teman satu rumah kontrakan
membawa Marini ke rumah sakit, dan Marini tak terselamatkan. Dokter
menduga Marini terkena angin duduk.
***
Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama puasa. Tiga jam
menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para tetangga
yang menghaturkan bela sungkawa. Emak hampir tak bisa percaya, kalau
Marini benar-benar sudah tidak ada. Emak termangu di depan jenazah
Marini sampai azan Magrib berkumandang. Mengumumkan waktu berbuka.
Seseorang menyodorkan segelas air putih ke hadapan emak untuk
membatalkan puasanya. Pada saat itulah emak melihat Marini mengerjapkan
mata dan bangkit dari rebahnya seperti orang yang habis bangun tidur.***
Malang, 2017
MASHDAR ZAINAL, lahir di
Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa.
Tulisannya tepercik di beberapa media. Buku kumpulan cerpen terbarunya, Dongeng Pendek Tentang Kota-Kota dalam Kepala, 2017. Kini bermukim di Malang.
Dongeng Gita FU (Suara Merdeka, 04 Juni 2017) Pelajaran untuk Flipi ilustrasi Agnes WS/Suara Merdeka
Flipi si peri berwarna jingga, sangat membanggakan terompet kecilnya
yang terbuat dari batang ilalang kering. Suara yang keluar dari alat
musik itu cenderung melengking. Namun menurut Flipi, itu malah unik,
karena sebagai penyeimbang suara bas yang rendah.
Dua hari lagi ia akan tampil di pentas seni padang rumput. Acara
tersebut rutin diadakan oleh para peri pohon Mahoni, untuk merayakan
pergantian tahun Peri. Flipi pun semakin rajin berlatih, baik bersama
kelompok pemain musik maupun sendirian.
“Po! Coba dengar, aku telah menciptakan irama baru!” Flipi berkata
antusias kepada Polina si peri ungu. Temannya terbelalak. Ini sudah
puluhan kali Flipi memamerkan suara terompetnya dan belum puas juga.
Seharusnya ia bisa melihat kesibukan peri lain, pikir Polina.
“Ya, ampun Flipi! Aku harus mengantar bunga mawar ini pada Mel. Kalau
tidak, dia bisa mengomeliku,” ketus Polina meneruskan terbang. Mel
adalah koordinator dekorasi panggung.
“Tapi…,” Flipi menatap kecewa pada Po yang sudah melesat tinggi.
“Halo Fli, ada apa?”
Lewatlah Bo, peri pemetik bas. Ia satu kelompok dengan Flipi. Badannya sedikit gendut, namun tidak mengurangi kelincahannya.
“Bo! Barangkali kau mau mendengarkan irama baruku?” Flipi bertanya antusias. Bo menyeringai kecut.
Sebetulnya Bo adalah kawan yang ramah, namun ia teringat pada
perangai Flipi. Waktu Bo ingin bergantian memperdengarkan suara basnya,
Flipi sama sekali tak menunjukkan minat. Flipi juga sering mengabaikan
kekompakan dengan peri pemetik harpa, biola, dan piano. Bahkan beberapa
kali Flipi membantah arahan Lilo sang konduktor, hanya karena ia merasa
kurang menonjol. Flipi sungguh egois, keluh Bo dalam hati.
“Oh, nanti saja ya, Fli. Aku belum makan siang, nih. Dah, Flipi!” Bo pun terbang menjauh cepat-cepat.
Flipi berkacak pinggang, “Huh, mereka payah! Tak bisa menghargaiku. Kutiup saja di dekat sungai ah!”
Ia lalu terbang menuju tepi padang rumput. Di sana ada sungai kecil jernih, favorit semua peri.
Sesampainya Flipi di pinggir sungai, suasana terlihat sepi. Padahal
biasanya selalu ada kelompok peri mengobrol di sana. Rupanya mereka
semua sibuk mempersiapkan perayaan. Tak apalah tanpa pendengar, pikir
Flipi. Segera Flipi duduk di atas kelopak bunga berwarna biru. Ia lalu
menempelkan ujung terompet ke mulut dan mulai meniup. Keluarlah
nada-nada yang melengking. Dengan penuh konsentrasi si peri jingga ini
memainkan lagunya.
Saking asyiknya, Flipi tak menyadari sesuatu. Ada seekor katak besar
yang tengah beristirahat di balik rimbunan rumput, tak jauh dari Flipi
bertengger. Warna kulitnya yang hijau memang menyamarkan katak itu dari
penglihatan si peri. Sang katak mengintip dari sela-sela ilalang. Katak
itu ingin tidur tapi terganggu oleh suara terompet Flipi.
Tentu saja sang katak merasa geram. Tanpa sepengetahuan Flipi, si
katak mengendap-endap dari kiri, kemudian mengambil ancang-ancang.
Tiba-tiba ia melompat ke arah si peri.
“A-ah!” Tentu saja Flipi terkejut. Refleks ia mengangkat tangannya,
berusaha melindungi kepala. Akibatnya kaki depan katak menghantam
terompet. Krak! Byur!
“Rasakan!” omel katak puas.
Flipi yang tercebur ke dalam sungai cepat-cepat berenang ke tepian
dan naik ke darat. Seluruh tubuh dan sayapnya basah kuyup. Barulah
setelah itu ia menyadari sesuatu.
“Oh, tidak! Terompetku!” Flipi meratap. Ya, terompet kesayangannya
telah patah terkena terjangan kaki katak barusan. Si peri menatap marah
pada katak itu.
“Jahat sekali, kau! Asal kau tahu ya, katak jelek. Aku ini salah satu
pemain musik Ratu! Dua hari lagi aku akan tampil, tapi gara-gara kau
terompetku rusak. Akan aku laporkan kau!”
“Oh, begitu? Silakan saja. Aku pun akan mengadukanmu peri jingga yang
sok! Kau telah mengganggu istirahatku!” balas si Katak berani hingga
Flipi terdiam.
“Lain kali berpikir dulu sebelum berbuat sesuatu, jangan egois dan
seenaknya sendiri. Pikirkan juga yang ada di sekelilingmu!” Setelah
berkata demikian sang katak melompat pergi.
Tinggallah Flipi si peri jingga, terduduk lesu dan sedih. Ia benar-benar memperoleh pelajaran yang patut didapatkannya. (58)
Cerpen Beni Setia (Koran Tempo, 03-04 Juni 2017) Jumariah Edhan ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
PADA Buku Laporan Kehilangan Orang di Polsekta X bilangan Jakarta
Timur, tertanggal 28/11.200x, dengan pelapor Mansur Munsyi sebagai
majikan, dan Hadiana sebagai ketua RT 01x RW 1x dari kompleks perumahan
T, tertulis berkas seperti ini: Jum, Jumariah hilang. Pembantu rumah tangga keluarga Mansur
Munsyi resmi melapor ke RT 1x RW 1x Kelurahan X di kompleks perumahan T.
Identitas berdasar KTP yang masih berlaku, beralamat di RT 0x RW 0x,
Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten B, Jogjakarta. Di hari Sabtu, jam
09.00, telah meninggalkan rumah karena disuruh Nia Ardianati, nyonya
rumah, buat berbelanja di Mini Market A Perumahan T. Rutin. Sering
dilakukannya, bahkan sering belanja bareng pembantu lainnya. Belanja.
Tapi hari itu Jum tak pernah kembali. Ditunggu sampai pukul 11.00,
sesuai tenggat ideal buat bergegas memasak, sebab keluarga Mansur Munsyi
akan kedatangan tamu yang dijamu makan siang. Ketika disusul serta
dicari di Mini Market A, pelayan Nihon, yang apal semua pelanggan dari
perumahan T, mengatakan bahwa hari itu Jum tidak terlihat sampai ke
tempat itu. Ada kepanikan. Seusai Mansur Munsyi memesan menú makan siang
seadanya—lewat telepon—ia menanyai pembantu sebelah untuk menyelidiki
kira-kira ke mana dan dengan siapa Jum pergi. Memang. Tapi tidak ada
jawaban jelas, meski Fathonah bilang, kalau Jum itu sengaja pergi ke
Jakarta setengah mencari Harwianto—suami yang diusir orang tuanya.
Anehnya, tidak ada barang yang hilang. Bahkan—selain KTP dan surat
nikah—semua barang bawaan Jum dan beberapa barang yang dibeli dari gaji 2
bulan bekerja utuh. Lebih tepatnya, giwang, cincin emas 18 karat, dan
uang Rp 450.500 utuh dalam dompet yang tertinggal. Dengan kata lain, ada
sesuatu yang membuat Jum itu merasa perlu meninggalkan rumah tanpa
mempedulikan lagi hartanya. Apa? Kenapa? Membingungkan. “Jadi Jum itu
pergi ke mana? Menghilang apa ada yang menculik? Kami butuh kepastian
agar tak punya beban pada keluarga Jum,” kata Mansur Munsyi, berulang.
Karena itu, teks resah Mansur Munsyi disertakan sebagai catatan khusus
di bawah tanda tangan pelapor dan si penerima laporan, Keri Malawing.
***
DI B, keluarga Jum mengetahui hal menghilangnya Jumariah sejak Minggu pagi. Sebab, Sabtu malam Mansur Munsyi sudah menelepon Paklik
Wi—Sukarwi. Yang dulu mendatangkan Jum ke Jakarta, yang bersigegas
menyampaikan kabar menghilangnya Jum, yang tak membawa apa-apa
itu—selain uang belanja yang cuma Rp 200.000. Dan Mansur Munsyi
pun—sebenarnya—minta untuk segera dicek, apakah Jum sudah ada di B atau
tidak, atau di sanak keluarga yang lain atau tidak. “Kami butuh
kepastian,” kata Mansur. Pada Minggu pagi, Paklik Wi menelepon balik dan mengatakan bahwa Jum itu tidak ada di B, atau di sanak keluarga lainnya di seantero Jogjakarta.
“Ada apa, ngger?” kata Paklik Wi, menyelidik.
Mansur Munsyi pun mengatakan tidak ada apa-apa—bahkan terus terang,
kalau ia tidak mengerti ada apa karena ia dan istrinya itu selalu ada di
luar, kerja. Dan sekaligus mempertanyakan, apakah memang benar Jum itu
ke Jakarta setengah mencari suami yang diusir orang tuanya, setelah ia
berbulan-bulan menganggur, tidak bekerja setelah sebulan sakit. Jawaban Paklik
Wi positif. Tegas—meski dengan kalimat yang dibisikkan. Mengiyakannya.
Minta maaf karena dulu tidak menyampaikan informasi yang benar tentang
Jum, ihwal galau hati istri yang ditinggalkan suami tersayangnya.
“Terus kowe arep napa, ngger?” selidik Paklik Wi. Mansur Munsyi pun bilang akan melapor karena takut ada apa-apa dan disalahkan pihak keluarga Jum dan polisi. Paklik
melarangnya karena akan berkonsultasi dulu dengan keluarga. Baru hari
Kamis mendapat persetujuan keluarga—dengan catatan tidak menyertakan
fakta Jum itu galau rindu kepada suaminya. “Jangan memakai embel-embel
itu, itu memalukan keluarga,” kata Paklik Wi. Serta menurut Paklik Wi, izin itu baru keluar setelah keluarga Jum meminta petunjuk dari tiga orang wong pinter.
Dukun, yang menyatakan: Jum masih hidup, Jum tak apa-apa, dan Jum itu
pergi tanpa dipaksa atau diculik. Sukarela, serta Jum itu (kini) ada di
sebelah barat-selatan Jakarta. Ya!
Dan baru di hari Jumat pagi, dengan membolos dari acara olahraga di
kantor—tapi diketahui Kepala Kantor dan dengan seizinnya—Mansur Munsyi
melapor ke Polsekta X, yang dengan cermat dicatat oleh Keri
Malawing—yang mengatakan pelaporan itu telat, meski langsung mengerti
ketika diceritakan proses rumit menjelang pelaporan itu; bahkan ia
bilang kalau kriteria itu bisa dimasukkan termin orang hilang paling
cepat baru bisa dilaporkan 3 x 24 jam dari setelah menghilang, serta
(lagi pula) yang berhak melaporkan orang hilang itu, sesungguhnya,
keluarga.
“Tapi apa Jum bisa diketemukan?”
“Kita akan mencacat, kita akan menembuskan laporan ini ke semua
Polsekta dan Polsek di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Kita
berusaha mencarinya semampu kita. Maaf. Kami kurang personil serta dana
operasional,” kata Keri Malawing santai—setengah menenangkan, dengan
penekanan tersirat pada fakta bahwa Jum itu hanya si orang lain bagi
Mansur Munsyi, dan mereka sebenarnya terlalu cape karena sangat banyak
mengurus berbagai masalah. Tapi apakah itu wajar? Mansur Munsyi
termenung. Setelah seminggu, dengan uang pribadi, Mansur—dan
sepengetahuan istrinya— : berita Jum hilang dipaksakan masuk TV. Tapi
sampai seminggu setelah itu tidak ada kabar apa pun. Mutlak clep kaclep—seperti batu dilempar ke kolam.
Pergi ke mana Jumariah? Dengan siapa? Kenapa ia tidak mau berkabar?
***
DI pertengahan Desember, Paklik Wi muncul bersama orang tua
Jum dan seorang Dukun. Orang tua Jum minta maaf karena Jum tiba-tiba
menghilang dan meresahkan Mansur Munsyi—dan karena tak mau disalahkan,
Mansur Munsyi memanggil Hediana, Kepala RT, serta beberapa orang sebagai
saksi. Sekalian memberi izin pada orang tua Jum dan Dukun itu untuk
memeriksa barang-barang Jum, untuk melakukan pelacakan spiritual—semacam
kepastian wangsit kalau Jum belum jauh meninggalkan Jakarta ke arah
barat. “Tapi apa ia selamat?” kata Mansur. Si lelaki tua berjanggut
putih panjang melambai itu mengangguk—dan pada orang tua Jum ia
bersumpah, kalau Jum tak apa-apa, malah terasa ada aura berbahagia yang
kuat berhembus. Dengan kata lain, sebenarnya Jum lari menuju ke
kebahagiaan. Dengan siapa? Si Dukun itu menggeleng.
“Tak apa-apa. Tidak perlu digelisahkan,” katanya menenangkan Mansur
Munsyi dan Nia Ardianati di hadapan para saksi. Karenanya, saat ketiga
orang itu pulang ke Jogja, Mansur Munsyi merogoh saku untuk membelikan
oleh-oleh dan tiket kereta api. Tapi benarkah Jum telah bertemu dengan
sebentuk kebahagiaan? Dengan siapa Jum itu (kini) berbahagia? Apa dengan
suaminya—Harwianto—yang katanya menjadi si kuli gali parit di Jakarta?
Tapi mereka bertemu di mana? Kapan? Bagaimana bisa tiba-tiba saja lari
dan menghilang bagaikan ditelan bumi? Apa si kebahagiaan yang dilihat
oleh Dukun itu bukan keterbebasan dari beban dunia—alias mati? Mansur
Munsyi ingin mendesak Dukun, tapi lelaki itu mengoyangkan tangan dan
menyunggingkan senyum. Ada yang tak bisa dijejaki—pikir Mansur.
Sepanjang sisa Desember, tiap Sabtu dan Minggu, dan di seluruh hari
libur Natal serta tahun baru bersama, Mansur Munsyi berkeliling Jakarta.
Menemui satu kelompok kuli gali migran ke kelompok kuli gali migran
berikutnya. Mencari tahu apa ada yang kenal, dan tahu di mana kira-kira
(kini) Harwianto itu—yang berasal dari B, Jogjakarta—berada. Menjelang
tutup tahun baru, ketahuan kalau Harwianto itu ikut jadi kuli gali
kelompok Jempana. Dan selalu diingat Jempana, kalau Herwianto itu tak
pernah mudik saat libur, jeda kerja, dan bahkan saat Lebaran, dan (lalu)
tiba-tiba saja ia menghilang. “Itu sekitar Sabtu,” kata Jempana, sambil
mengambil catatannya, “Di 28/11. Bahkan ia tak mengambil upah lima hari
kerja dan satu hari lembur—Minggu.”
“Bapak tak tahu di mana Har itu kini berada? Kalau Bapak tahu,
suruhlah dia itu mengambil upahnya. Bilangin, yang bener kalau mau
keluar—ngomong dulu, jangan menghilang kayak kambing,” kata Jempana.
Mansur Munsyi melengos. Menggerutu dan tanpa menjawab ia menjauh. Dan
pada pertengahan minggu ketiga Januari, ketika makan siang, HP Mansur
Munsyi berdering. Suatu nomor asing mengontak—itu telah lima kali
menghubungi tapi tidak pernah diterima—yang dengan enggan diterimanya
berkontak. Iseng di tengah jemu menunggu datangnya menu pesanan membuat
Mansur Munsyi tersentak, kaget. Di seberang itu ternyata (ada) Jum. Dan
setelah lama bungkam, karena melulu diberondongi tanya, dan—saat Mansur
Munsyi tersadar siapa tahu Jum memakai telepon umum—barulah ia cuma
pasif dan mendengarkan, bahkan ketika Jum mengaku kalau ia dan Har kini
berada di Riau. Terbata bilang bila mereka itu baru bisa kembali
berkumpul sebagai suami-istri. Berbahagia meski serba kekurangan.
Lalu Jum meminta agar Mansur Munsyi menyampaikan kabar baik tentang
dirinya itu pada keluarganya di B—sebetulnya meminta agar barang-barang
miliknya dikirimkan kepadanya, tapi menyerah seusai dikatakan bila semua
itu telah diambil ayahnya. “Maaf,” katanya sebelum kontak diputus.
Mansur Munsyi sebetulnya mau mengebel balik tapi terpikir buat apa.
Akhirnya cuma menyimpan nomor telepon yang dipakai Jum itu ke memori HP.
Lantas mengebel istri, mengebel Hadiana, serta Paklik Wi—padanya ia juga mengirimkan nomor telepon yang tadi dipakai Jumariah. Lega ketika Paklik Wi menggerutu—“Jumariah edhan …!” katanya.
***
Lahap menyantap menu meski makanan yang terlambat itu telah dingin.
Mansur Munsyi merasa terbebas. Merdeka. Malamnya mengajak Nia Ardianati
makan di luar. A candle light dinner. Merayakan berkumpulnya
lagi pasangan suami-istri Jumariah dan Harwianto, yang di
keserbakekurangannya berani menempuh hidup bersama—dan nanti Jum riang
memilih hamil dan Har pun senang punya dua atau tiga anak. Alamiah.
“Kita terlalu rasional sehingga terus menangguhkan punya anak—padahal
sangat ingin. Kita harus berani mempunyai anak, agar tidak melulu hidup
untuk mencari uang serta menambah tabungan thok …” katanya sambil tersenyum.
Tapi Nia Ardianati itu hanya tersipu—tak menolak dan tidak
mengiyakan. Datar. Rasional seperti biasanya. “Edhan,” guman Mansur
Munsyi. Terlongo. Bingung.
Catatan:
*) Cerita ini didasari cerita rakyat Jawa “Suminten Edhan”. Edhan: gila, lebih pasnya, bertingkah irasional karena tekanan batin. Paklik: paman Ngger: nak Wong pinter: orang pintar, yang punya pengetahuan spiritual dan mistik. Kowe arep napa: kamu mau apa Wangsit: pengetahuan supranatural
Beni Setia, lahir di Bandung pada 1954. Ia menulis cerpen, puisi, dan esai sosial-budaya. Tinggal di Caruban, Jawa Timur.
Cerpen Bamby Cahyadi (Media Indonesia, 04 Juni 2017) Semoga Belum Terlambat ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
AKU mendongak pada rembulan yang bersinar makin tipis. Malam hampir
berlalu, tapi pagi belum betul-betul tampak menjelang. Aku belum
mengantuk. Hasan sahabatku sudah terlelap di kasur butut. Dengkurnya
bagaikan pelarian dari keputusasaan seorang lelaki tak berdaya di suatu
tempat yang muram. Angin kemarau membuat pohon-pohon berderit-derit,
ranting-rantingnya berderak, daun-daun keringnya berguguran.
Beberapa saat kemudian angin hangat berembus di langit yang mendung.
Angin itu membawa aroma bunga-bunga yang datang dari pinggiran kali yang
paling jauh. Aku terkesiap melihat seorang lelaki datang dengan langkah
tenang. Ia mengenakan kain ihram, masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum!”
“Waa…Wa…Waalaikumuasalam,” jawabku tergeragap.
Lelaki itu sangat tampan. Wajahnya bercahaya. Sangat bersih dan
indah. Keindahan yang sulit diungkapkan. Hakikat keindahan itu
melihatnya dengan mata. Karena itu aku hanya percaya pada keindahan yang
dapat dilihat dengan mata dan dirasakan dengan hati.
“Berpuasalah di bulan Ramadan, dirikanlah salat, bacalah kitab sucimu
dan mintalah ampunan kepada Tuhan atas dosa-dosa masa lalumu,” ujar
lelaki itu sembari menepuk pundakku secara halus.
Ia melanjutkan, “Semua dosa dan kesalahan yang kita perbuat adalah
kelalaian kita sendiri. Namun, Tuhan itu pemaaf. Karena itu selalu ada
kesempatan untuk memperbaiki dan bertobat.”
Hujan berhenti. Lelaki itu menghilang di antara dedaunan pohon
mangga. “Temui aku di stasiun akhir kereta,” bisiknya. Ia pun pergi
begitu saja meninggalkan aku yang masih terpukau. Aku rasa, aku tidak
sedang bermimpi.
***
Wajah dan caraku berjalan kerap membuat beberapa anak kecil di
lingkunganku ketakutan. Aku memiliki wajah yang terkesan seram. Hidungku
pesek dan beberapa gigiku di bagian tengah sudah tanggal. Saat aku
tertawa yang terlihat adalah gigi taringku, sehingga senyumku menyerupai
seringai drakula. Kaki kananku lebih pendek dibanding kaki kiriku,
sehingga aku berjalan pincang. Aku berjalan seperti orang yang baru saja
turun dari kapal laut yang diterjang badai berminggu-minggu.
Tapi bagi anak-anak yang sudah cukup lama mengenalku, aku tidaklah
seseram penampilan fisikku. Aku sangat baik dan ramah, begitu menurut
mereka. Aku suka memberi makanan, minuman, permen, es krim, bahkan uang
tanpa mereka minta sekalipun.
Meskipun aku tak punya pekerjaan tetap, aku kerap menyumbangkan
uangku kepada siapa saja yang membutuhkan. Pekerjaanku serabutan,
seperti memulung sampah, lalu kujual kepada penadah di pinggiran kota.
Aku juga terkadang jadi juru parkir tidak resmi di pasar induk dan
tenaga keamanan swakarsa. Secara rutin aku menyumbangkan uang hasil mulung dan markir ke
masjid di gang sempit perkampungan kumuh ini. Banyak warga heran, aku
selalu menyumbang uang untuk masjid, padahal mereka tak pernah melihat
aku sembahyang di masjid itu atau di rumahku sekalipun. Aku tak pernah
berpuasa di bulan Ramadan. Mungkin menurut mereka aku tak beragama.
Pandanganku tentang agama memang berubah drastis ketika ayahku mati
puluhan tahun lalu.
Aku tak peduli dengan omongan orang-orang mengenai sembahyangku, puasaku, ibadahku, bahkan mengenai keimananku.
***
Aku berhenti sembahyang, puasa, mengaji dan beribadah di musim
kemarau berpuluh-puluh tahun lalu, ketika aku melihat ayahku mati bunuh
diri. Ia menembak langit-langit mulutnya sendiri dengan pistol. Ayahku
adalah tentara pembasmi anggota partai komunis atau yang diduga komunis
kala itu. Kematian ayahku sangat efektif karena pada detik pertama
peluru itu meletus, putus pula napas ayahku.
Aku tak bisa berbuat banyak, karena aku masih kanak-kanak. Aku hanya
mampu memandang wajah ayahku yang menoleh ke arahku dalam keremangan
dekat ranjang tempat tidur di mana ia menyudahi hidupnya. Aku menyadari
betul ayahku memang sudah lama berniat bunuh diri. Aku merasa putus asa
untuk merayu ayahku agar tidak bunuh diri. Aku pernah mencoba membujuk
ayahku, bahwa ia membunuh petani-petani kelapa sawit yang dituding
komunis itu adalah tugas negara. Aku juga bilang, ayah bertobat saja,
berhenti dari dinas militer. Nyatanya ayahku mati dengan isi kepala
berpencar.
Aku merasa sia-sia, ternyata hubunganku dengan Tuhan bertepuk sebelah
tangan. Waktu itu, dalam setiap doaku dalam sembahyang, aku selalu
memohon kepada Tuhan agar dosa-dosa ayahku diampuni. Aku masih berdoa
saat ayahku hendak bunuh diri, agar Tuhan menggagalkan usahanya,
misalnya pistol yang digunakannya ternyata kosong peluru, atau paling
tidak saat dikokang, pistolnya macet. Tapi, ayahku mati tanpa
pertolongan Tuhan. Tanpa bantuan malaikat pencabut nyawa. Ayahku telah
menentukan kematiannya sendiri, bukan Tuhan. Lalu kenapa aku harus
sembahyang dan berdoa memohon pertolongan Tuhan? Apalagi berpuasa di
bulan suci dan mengaji. Kenyataannya ayahku lebih berkuasa dari Tuhan
ketika menarik pelatuk pistol. Yang aku lakukan hanya menangis. Aku
kehilangan ayah. Aku merasa ditinggal Tuhan.
Setelah aku tumbuh dewasa, aku punya sehektare kebun kelapa sawit.
Aku hidup berkecukupan. Hanya saja, wabah malaria menyerang kampungku,
dan menewaskan anak dan istriku. Perihal kematian anak dan istriku pun
kuanggap bukan kuasa Tuhan. Tetapi disebabkan oleh serangan nyamuk
jahanam itu. Aku merantau ke Jakarta. Tujuanku menetap di Jakarta, untuk
melupakan kenangan atas anak dan istriku, bukan karena faktor ekonomi
semata.
***
Rumahku di ujung gang dekat kali dan pohon mangga. Rumahku saling
berdempetan dengan rumah-rumah kumuh lainnya di pinggiran kali. Aku dan
Hasan tinggal serumah. Hasan sama denganku, tak pernah sembahyang.
Pagi ini aku pergi ke sebuah stasiun. Bulan puasa tinggal menghitung
hari. Persiapan menjelang bulan suci tampak semarak ketika aku melewati
pasar menuju stasiun. Sebuah kereta komuter memasuki stasiun. Aku
buru-buru membeli tiket dengan tujuan Bogor.
Aku turun dari kereta dan keluar dari peron. Langkahku
terpincang-pincang di tengah keramaian penumpang yang turun dan naik ke
kereta komuter ini. Aku sedikit terkejut saat melihat lelaki tampan
memakai kain ihram itu menungguku dan kini mendekatiku. Aku mengangakan
mulutku yang pasti terlihat jauh lebih lebar dari ukuran normal. Di
dalam mulutku sudah jelas tampak deretan gigi tajam mengenaskan yang
masih tersisa. Ternyata ia nyata, memang aku tidak bermimpi semalam,
batinku.
Lelaki tampan itu lantas berkata, “Kukira kau tidak akan datang.”
Aku kembali mengangakan mulutku. Ia mengajak aku ke sebuah pojokan dekat toilet umum di luar stasiun.
“Se.. se.. sebenarnya kau siapa dan mau apa?” tanyaku. Aku bicara
serupa siput kecil yang tertatih-tatih berjalan di selembar daun pisang.
Ia tersenyum misterius. Aku melongo tak mengerti, wajahku mirip jaring
laba-laba tipis berwarna keputihan.
Matahari tepat berada di ubun-ubunku. Lelaki tampan itu tersenyum
memandangku sebelum ia mendongak melihat langit. Ia seperti melihat
bentangan riwayat hidupku.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku merasakan angin panas
bertiup amat kencang membawa berbagai benda beterbangan membentuk
pusaran besar yang bergerak hebat mengantarkan aku pada sebuah suasana
hening. Aku merasakan keheningan yang begitu ganjil. Keheningan yang
lantas berganti dengungan panjang.
Entah berapa lama. Ketika aku dengan susah-payah membuka kelopak
mata, ada beberapa jemari yang saling menggapai, sisa puntung rokok di
atas rel dan batang korek api bekas berserak di antara bebatuan. Tubuhku
serasa melayang. Aku merasa bagai sebuah boneka bertali yang tiba-tiba
dipotong benangnya. Tubuhku melayang lagi. Sebuah kereta komuter jurusan
Bogor-Jakarta Kota baru saja menyambar sesuatu.
Siang itu stasiun Bogor digemparkan oleh peristiwa yang tak ada
hubungannya dengan kenaikan harga-harga menjelang bulan puasa. Sebuah
ambulans parkir beberapa ratus meter dari pintu keluar stasiun.
Beberapa saat sebelum diusung ke atas tandu aku terpana. Aku bagaikan
tak percaya pada apa yang terjadi. Lelaki tampan berkain ihram itu
adalah diriku sendiri.
Sebagai manusia, aku selalu mendambakan kebenaran Tuhan. Dalam keadaan seperti ini, terngiang perkataan guru mengajiku dulu. Man ’arafa nafsahu, fakod ’arafa Rabbahu. Siapa yang mengenal dirinya, maka kenallah ia akan Tuhannya.
“Ketika itu kaum muslimin suci bersih, seperti bayi yang baru
dilahirkan,” suara guru mengajiku makin pelan, ditelan raungan sirene
ambulans.
“Ya, Allah. Sampaikan aku pada bulan Ramadan, semoga belum terlambat.”
Sebuah kereta komuter tujuan Jakarta Kota berhenti. Menyisakan suara derit yang pilu.
2017
Bamby Cahyadi ialah penulis kelahiran Manado, 5 Maret 1970. Sehari-hari ia bekerja di industri food and beverages. Buku terbarunya Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (2016).
“Move on itu bukan masalah gampang atau susah. Move on itu proses, bukan cuma omongan ‘gue mau move on’.” (hlm. 43)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Saat kita tahu kelemahan kita dan ingin mengubahnya, jalan itu pasti ada. (hlm. 36)
Sad ending atau happy ending itu bergantung bagaimana orang yang diberi masalah memandangnya. (hlm. 46)
Betapa menyenangkannya punya seseorang yang bangga kepada diri kita
seperti itu, seperti punya lentera yang selalu siap menerangi hati kita.
(hlm. 55)
Tuhan itu adil. Selalu ada alasan kenapa Dia ngasih hidup yang kayak
gini ke kita dan pada akhirnya semu itu berbuah kebaikan kalau kita
memikirkan sisi positifnya. (hlm. 106)
Masa lalu boleh dijadikan pelajaran, bukan tempat untuk tinggal dan diam di sana. (hlm. 107)
Patah hati cuma bisa disembuhin kalau nemu pacar baru. (hlm. 141)
Ini masalah hati. Kalau lo suka, lo harus kasih tahu. (hlm. 155)
Menyukai seseorang itu bukan saja membuat memahami rasa senang juga
sedih, tapi membuat belajar mengenai sebuah pengorbanan. (hlm. 159)
Kadang dalam hidup, ada waktunya kita harus lebih mulia kalau kita mampu memaafkan. (hlm. 201)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Nggak ada yang kebetulan di dunia ini. (hlm. 20)
Kenapa lo marah-marah. Biasa aja kali. (hlm. 39)
Nggak ada yang salah seandainya lo nggak nutup semua kemungkinan
dengan cowok-cowok yang mau deketin lo, kesempatan-kesempatan buat nggak
mati kayak lo. (hlm. 39)
Gaya mirip, kan, bukan berarti kesukaan sama. (hlm. 49)
Kita tidak boleh terlalu menginginkan sesuatu. (hlm. 62)
Baru pacaran saja elo udah begini, lo mengharapkan apa nantinya? (hlm. 64)
Jangan menilai orang lain dari luarnya saja. Kamu mana tahu apa yang
pernah orang lain pikirkan , jadi jangan asal menjudge. (hlm. 96)
Nggak semua orang siap jadi dewasa. Tapi, kadang kondisi yang memaksakan kita harus siap jadi dewasa. (hlm. 106)
Ketika menyukai seseorang, hal-hal tidak normal sekalipun bisa menjadi sumber kebahagiaan. (hlm. 131)
Terkadang, manusia terlalu berharap untuk sesuatu yang berlebihan. (hlm. 136)
Jika rasa suka ini membuat lemah, lalu bagaimana caranya agar kuat? (hlm. 152)
Orang yang ngga move on itu menyedihkan. Tapi ada yang lebih
menyedihkan, yaitu orang yang nggak menyatakan perasaannya cuma karena
rasa takut dalam diri sendiri. (hlm. 155)
Memangnya lo nggak punya teman yang bisa diajak bercanda ya? (hlm. 191)
Cinta itu datang tanpa diminta, sakit ini menghampiri tanpa dipesan,
tapi mengapa kini cinta ini menjadi sakit yang tak mampu kita luahkan?
(hlm. 210)
Aku udah berhenti nanya kepada Tuhan pakai kata ‘mengapa’. Aku nggak
mau nanya sesuatu yang nggak bisa aku temuin jawabannya hari ini. (hlm.
211)
Nggak ada yang siap dengan kehilangan seseorang dalam hidupnya, tapi
bukan berarti harus terus-terusan terpuruk dan bersedih, kan? (hlm.
236)