Daftar Blog Saya

Kamis, 26 Oktober 2017

Hujan


Cerpen Aminullah (Waspada, 22 Oktober 2017)
Hujan ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Hujan ilustrasi Denny Adil/Waspada
OKTOBER itu mengingatkanku pada tetesan hujan yang jatuh melalui dahan pohon rindang. Entah kenapa saat malam itu perasaanku sangat buyar, ditambah lagi apa yang terjadi pada diriku sebelumnya.
Aku mencari penghangat jalanan untuk melindungi ragaku yang sedang kedinginan. Ketika di perjalanan aku berhenti tepat di ujung lorong gelap, aku mendengar suara rintihan perempuan sedang menangis, aku mencari suara itu dengan keadaan saat itu sedang sunyi.
Ternyata benar sosok perempuan dengan keadaan compang-camping sedang bersandar di samping tong sampah, ia kedingingan sambil menangis, tapi aku takut untuk mendekat kepadanya, namun dengan hati penuh keberanian aku mendekatinya dengan rasa penasaran.
“Hei…” tanyaku kepadanya.
Namun saat aku bertanya, perempuan itu enggan menjawab pertanyaanku, entah apa yang terjadi aku tidak tau pasti, malam menunjukan pukul 23:30, di sekitar kami tiada orang lain kecuali aku dan perempuan itu. Aku masih bingung apa yang sebenarnya terjadi, aku memutuskan untuk tetap terjaga di sampingnya. Tidak lama berselang perempuan itu mulai berhenti dari tangisannya, aku mencoba untuk bertanya kembali, barangkali pertanyaan keduaku bisa terjawab olehnya.
“Hei…” Tanyaku kembali kepadanya.
Perempuan itu memandangku dengan raut wajah sedikit pucat, aku bertanya pada diri sendiri apakah perempuan itu seorang manusia apakah bukan. Namun aku langsung menepis prasangkaku terhadapnya. Aku sedikit terkejut ketika perempuan itu menjawab pertanyaanku barusan.
“Tolong aku.” jawabnya.
Jantungku bergetar seketika mendengar suaranya, aku ingin berbicara namun bibirku enggan terbuka ditambah lagi malam itu udara sangat menusuk hingga ketulang. Aku mulai mengatur diriku secara perlahan, dan saat itu aku mulai terbiasa dengannya.
“Namamu siapa? Kenapa menangis?” Tanyaku kepadanya.
“Tolong aku, tolong panggilkan Tuhanku ke sini.” Jawabnya.
Aku terkejut kenapa perempuan itu menyuruhku memanggil Tuhan untuknya.
“Kenapa kau menyuruhku memanggil Tuhan? Bukankah Tuhan ada di mana-mana, bahkan mungkin Tuhan ada di sampingmu.” jawab aku dengan sedikit lantang.
“Jika Tuhan ada saat ini, tidak mungkin aku menyuruhmu untuk memanggilkannya, sekarang hanya kita berdua setelah tiga pria telah memperkosaku,” jawabnya.
Perasaanku terpukul saat itu, saat mendengar apa yang barusan terjadi kepadanya. Aku mulai sedikit bingung bercampur sedih, namun bagaimanapun aku adalah laki-laki, aku harus bertindak untuk seorang perempuan apalagi yang sedang terkena musibah seperti ini.
“Lantas jika Tuhan ada di hadapanmu, apa yang kau lakukan?” Tanyaku.
“Aku tidak melakukan apa-apa kepadanya, biarkan Tuhan melihat kondisiku saat ini, dan aku ingin menyampaikan kepadanya,” jawabnya kepadaku.
“Apa yang ingin kau sampaikan?” Tanyaku kembali.
“Aku sangat berterima kasih kepadanya, hujan yang turun malam ini menenangkan hatiku, menyatukan air mataku dan membawanya ke hilir sungai, apa yang aku rasakan telah dirasakan oleh semesta,” jawabnya dengan raut wajah sedih.
Seketika aku mendekapnya, aku ikut merasakan apa yang dirasakan olehnya, aku teringat oleh almarhum ibuku, ia sangat mirip sepertinya, apalagi ia seorang perempuan yang suatu saat ia menjadi ibu dari anak-anaknya.
Malam itu hujan mulai reda, kini hanyalah suara jangkrik dari semak-semak yang terdengar, tirai cakrawala mulai membuka bajunya, rembulan mulai mengintip kami, bintang tampak bergandeng tangan di atas sana, apakah Tuhan telah menjawab semuanya.
Di saat tinggal air hujan yang membekas di jalanan, aku berniat membawa ke rumahku untuk sementara. Setibanya di rumahku aku memberikan ia sebuah handuk dan beberapa pakaianku untuk menggantikan pakaiannya yang basah dan lusuh. Aku melihatnya ia lebih tampak tenang ketimbang sebelumnya.
Seusai mandi, aku memberikan beberapa makanan dan segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuhnya, ia sangat cantik malam itu, semoga apa yang terjadi pada dirinya tidak membuat patah semangat untuk kedepannya.
“Nama kamu siapa?” Tanyaku dengan lembut.
“Namaku Bunga Sari Mekar. Nama kamu siapa?” Tanyanya kembali padaku.
“Aku Arimbi, biasa orang memanggilku Abi.” Jawabku padanya.
“Dimana orang tuamu?” tanyanya kembali.
“Kedua orang tuaku sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakaan,” jawabku dengan sedikit sedih.
“Oh, maaf ya,” ujarnya.
Tidak lama berselang aku memutuskan untuk ia segera istirahat, aku memberikan sebuah kamarku padanya, sedangkan aku cukup tidur di ruang tamu. Keesokaan hari, aku bersiap untuk membuatkan sarapan dan teh hangat untuknya, pagi ini cuaca sangat sejuk, burung-burung menari dan bernyanyi di sekitar rumahku. Aku masih saja ikut merasakan kesedihan yang dialaminya sejak tadi malam, namun bagaimanapun aku harus bisa membawa hati perempuan itu kembali bersemangat.
Kini ia terbangun, wajahnya sangat lucu ketika ia bangun tidur, aku memintanya untuk segera mandi dan sarapan. Seusai mandi, kami berdua duduk di kursi kayu tepat di teras rumahku, dengan beberapa pohon yang membuat suasana sejuk, dan beberapa nyanyian burung kala itu membuat ia menikmatinya.
Aku bertanya tanya kepadanya tentang asal tempat tinggalnya, ternyata ia tinggal bersama orangtuanya, orangtuanya berada di Padang, sedangkan ia di Medan hanya bekerja dan tidak memiliki sanak saudara.
Pagi ini aku berniat di rumah saja bersamanya, seharusnya pagi ini aku kuliah namun aku tidak mau membiarkan perempuan sendirian di rumahku, aku takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kembali padanya.
Tiba-tiba ia berbicara kepadaku, bahwasannya ia ingin pulang esok hari ke rumah orangtuanya, ia tidak memiliki alat komunikasi untuk saling memberi kabar kepada orangtuanya. Mungkin orangtuanya sudah sangat rindu kepadanya. Tanpa memikir panjang aku menuruti yang diinginkan, dan niatnya aku ingin mengantarkannya hingga rumah orangtuanya, namun ia menolak tawaranku, ia takut merepotkanku. Tapi bagaimanapun keputusan darinya, aku sangat menerima.
Hari kemarin telah berlalu, hari ini di mana si Bunga akan berangkat untuk pulang ke kampung halamannya, setelah sarapan aku langsung mengantarkannya ke sebuah terminal, dan aku tidak segan memberi beberapa uangku sebagai ongkosnya. Ia sangat berterima kasih kepadaku, dan ia tidak tau apakah ia bakal kembali menjumpai aku. Yang pasti aku sangat sedih di saat melihat dirinya terakhir kali untukku. Ia tidak segan memelukku di keramaian orang, ia berbisik kepadaku.
“Jangan lupain aku ya, Bi,” ujarnya kepadaku.
Seketika perasaan aku sedih, ialah wanita yang buat aku merasa tidak kesepian selama orangtuaku meninggal, dan kini ia harus meninggalkanku seorang. Aku tidak kuat menahan kesedihan ketika aku melihat bis yang ia gunakan untuk pulang telah berangkat.
Malam-malam kulalui dengan kesendirian, aku masih mengingatnya, aku merindukan sosoknya saat ini. Dan kini, hanyalah sebuah kenangan, kenangan sisa bibirnya yang menempel digelas teh hangat buatanku.
Apakah ia merindukanku? Hujan, turunlah malam ini, datanglah malam ini bersamanya. Aku ingin mendekapnya kembali. ***

Patah


Cerpen Dian Nangin (Waspada, 22 Oktober 2017)
Patah ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Patah ilustrasi Denny Adil/Waspada
SETELAH berjalan bersama begitu jauh, bergandengan tangan melewati kerikil hingga batu besar yang menghadang, menapaki jalan yang tak selalu mulus, ia meminta kami berhenti tepat selangkah sebelum tiba di tujuan akhir.
Tujuan akhir yang akan mengantarkan kami pada awal yang baru. Ia memilih berbalik dan pergi. Mustahil bagiku untuk melanjutkan perjalanan seorang diri, sebab perjalanan ini diperuntukkan bagi dua orang.
Tanpa menoleh lagi, ia meninggalkanku beserta sejumlah pekerjaan yang berat untuk dilakukan; menarik ratusan undangan yang telah disebar, membatalkan segala rencana yang telah disusun matang. Tak lupa menguatkan mental untuk menghadapi komentar orang-orang. Barangkali inilah mimpi terburuk yang pernah kualami kala terjaga.
Ponsel yang kulempar jauh dariku berkedip secara berkala. Aku sudah tak menghitung berapa pesan yang masuk ke sana. Cukup lelah aku menanggapi lautan simpati yang entah darimana saja datangnya. Seandainya aku punya cangkang, ingin aku meringkuk di dalamnya tanpa niat untuk keluar dalam waktu dekat. Masih terlalu pahit bagiku untuk membuka diri setelah gagal mencecap kebahagiaan yang tinggal sejangkau lagi di hadapanku.
Namun, bagaimanapun juga hidup harus berlanjut. Hari baru tiba dengan sebuah kesadaran bahwa aku punya profesi yang menuntut untuk kutunaikan. Dunia profesional di negeri ini tak pernah memberi excuse untuk orang yang tengah patah hati. Padahal aku ingin tidur lebih lama dan baru bangun saat aku sudah siap menghadapi semesta.
Aku bangkit dari tempat tidur ketika sayup suara orang yang tengah bercakap-cakap menyentuh pendengaranku. Siapa yang telah datang bertamu sepagi ini? Aroma tanah basah menyeruak dari luar jendela. Semalaman hujan turun dan menyisakan gerimis di pagi yang belum lagi seutuhnya terjaga.
Di ambang pintu aku terpaku. Tampak lelaki itu di sana, duduk rikuh ditemani ibuku yang rautnya tak kalah muram dengan cuaca di luar. Entah apa yang tengah ia sampaikan pada ibuku dengan kepala tertunduk. Ah, wajah itu masih saja memunculkan kenangan yang belum jauh berlalu. Kenangan yang kemudian mematahkan hatiku hingga menjadi kepingan yang tak terhitung. Ia menoleh. Aku membeku. Dingin dari telapak kakiku yang berpijak pada lantai mengirimkan gigil sampai ke hati.
Ibu bangkit, meninggalkanku dengan sebuah isyarat agar aku duduk dan berbicara dengan lelaki itu. Kuteguk teh sembari mengumpulkan kekuatan. Ada rasa asing yang menyelimuti, seolah kami terpisah ribuan mil meski sekarang sedang duduk berhadapan dan baru kemarin membuka simpul hubungan yang telah mengikat kami selama empat tahun.
“Apa kabar?”
Rasanya aku ingin tertawa sembari memaki demi mendengarnya bertanya. Setelah mengacaukan hatiku, masih terpikir olehnya untuk menanyakan keadaanku? Tak adakah basa-basi lain yang paling masuk akal untuk ditanyakan selain ‘apa kabar’?
“Baik.”
Rasanya ingin aku mengutuk bibir ini, karena masih saja sanggup memberi jawaban yang berlawanan dengan kondisiku yang sebenarnya. Aku sekarat, bajingan! Itulah makna yang tersembunyi di balik kata ‘baik’ yang seharusnya kuteriakkan tepat di depan hidungnya.
“Maaf. Aku sadar sudah menyakitimu. Aku juga remuk,” sahutnya sembari menunjuk dada. ”Di dalam sini.”
“Kalau begitu kenapa?” tanyaku. Ia pasti paham tanpa perlu kujelaskan lebih jauh. Luka itu masih cukup basah untuk ia lihat sendiri.
Ia hanya membisu. Lama. Entah sedang menyusun alasan lain, entah memang tak ingin menjawab. Sebab bila ia menjawab, pasti akan terbit debat panjang seperti yang sudah-sudah.
“Apa ada wanita lain yang mengisi hatimu? Kalau ya, katakan padaku siapa dia. Aku ingin mengucapkan selamat. Cinta yang dia beri padamu pastilah lebih besar dari yang kau dapatkan dariku.”
“Tidak,” dia menyangkal cepat. “Tidak ada wanita lain.”
“Lalu apa?” cecarku. “Kau tak yakin padaku? Setelah sekian lama?”
“Bukannya aku tak yakin padamu. Aku hanya masih meragukan diriku sendiri,” sahutnya lirih, mengulang jawabannya yang lalu. Namun rautnya datar. Tak tampak penyesalan atau kesedihan di sana. Apa dia sudah begitu lihai menyembunyikan segala perasaannya? Ataukah… aku yang kini tak lagi mampu membaca wajah itu?
“Aku tahu pernikahan adalah satu ibadah yang mulia. Tapi niat yang mulia itu tak cukup didasari cinta, tak baik pula diawali dengan keraguan,” katanya dengan sikap bijak yang memuakkan.
Aku mendengus. Bagiku, cinta adalah sebuah tombol panas. Ia adiktif dan melenakan. Kadang cinta juga memilih berkhianat, membuat mereka yang mendewakannya jadi sinting.
“Aku akan menunggumu sampai kau yakin,” kataku terbata, kaget mendengar kalimat itu terucap begitu saja dari mulutku. Terang-terangan mengungkapkan betapa aku masih mendamba dirinya.
“Kau hanya akan membuang waktumu.”
“Tak mengapa,” sahutku bersikeras.
“Jangan keras kepala.”
“Kau tega!!” Aku meledak. Ia telah menekan tombol panas itu tepat pada momen kritis yang melumpuhkanku. Tak ada upaya apapun yang ia lakukan untuk menyembuhkanku, tak juga kata maaf sebab ia tak lagi manjur.
Kedatangannya pagi ini menjadi penegas perpisahan karena ia berkata akan pergi jauh ke tempat yang tak lagi berhak untuk kuketahui.
“Dulu aku memintamu baik-baik. Sekarang aku ingin melepasmu baik-baik. Aku pamit,” katanya. Ia menjabat tanganku sepintas dan berlalu begitu saja.
Ia telah berpakaian teramat rapi, bersepatu, lengkap dengan aroma parfum yang kukenal baik. Ia sungguh akan pergi rupanya. Meninggalkanku dengan tampilan baru bangun tidur dan tanpa antisipasi. Aku tak ingin ia pergi, namun kakiku tak juga bergerak untuk menahannya. Hanya bisa kupuaskan mataku memandang buram punggungnya dari balik pintu kaca yang basah oleh gerimis.
Namun walau demikian aku tak memilih mengambil tindakan huru-hara untuk menunjukkan kalau hatiku tengah terluka. Aku tidak ingin menjerit-jerit, berteriak-teriak. Mengamuk, memecahkan cermin, membakar tempat tidur. Aku hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pagi ini. [1] Menyeret langkah-langkah lambat di bawah rinai yang melayang bersama daun-daun berguguran.
Bersama satu kesadaran yang perlahan merayap, aku membuka pintu dan menyusulnya. Ia sudah berada di luar gerbang. Di bawah rintik hujan yang membasahi rambutku, kuikuti jejaknya. Aku menunggu toleh kepalanya yang tak kunjung kudapatkan walau sekali saja, tak peduli seberapa lama aku menunggu. Hingga ia menghilang di belokan jalan.

Medan, 2017

Keterangan:
[1] Petikan puisi Sapardi Djoko Darmono dengan judul “Pada Suatu Pagi Hari”. Puisi telah diedit oleh penulis semata demi kepentingan cerita.

Bocah yang Ingin Melihat Neraka


Cerpen Risda Nur Widia (Radar Banjarmasin, 22 Oktober 2017)

Bocah yang Ingin Melihat Neraka ilustrasi Radar Banjarmasin.jpg
Bocah yang Ingin Melihat Neraka ilustrasi Radar Banjarmasin
AROMA tumpukan sampah meruap dan menyesakan dada setelah hujan turun semalam. Setiap sudut kota terlihat sayu dan pucat karena hujan. Nyamuk-nyamuk mulai menanamkan telurnya di parit-parit, kaleng-kaleng sisa, dan berbagai tempat lainnya. Lalat beterbangan dengan bebasnya dan hinggap ke tempat-tempat dengan membawa penyakit. Namun penyakit yang siap kapan saja menjerat manusia ke penderitan itu seakan-akan dihiraukan. Karena siang setelah hujan itu tampak puak-puak manusia bergerilya di atas gunung sampah. Mereka seperti sedang mencari sebutir emas di balik limbah yang tak dibutuhkan itu.
Di pojokan tempat pembuangan sampah, terlihat seorang bocah terpekur; menyaksikan arakan truk berwarna kuning yang setiap waktu—setiap saat, menuangkan sampah. Truk-truk itu seperti menuangkan air ke dalam gclas. Sampah-sampah pun bertebaran dan sigap diperebutkan oleh para pemulung. Para pemulung itu— di hadapan si bocah—seakan terseret oleh pusaran sampah yang menggunung dan menjijikan. Gancu yang mereka gunakan tampak kelaparan. Tongkat-tongkat berbentuk kail itu cepat merayap memporak-porandakan tumpukan sampah yang menumpuk.
Matahari menyingsing di atas ubun-ubun si bocah. Teriknya membuat si bocah letih. Dan karena itu si bocah memilih beristirahat di bawah pohon bersama ayahnya—yang juga seorang pemulung—mengamati aktivitas para pemulung lain di pusat pembuangan sampah kota.
“Kau tak makan?” Tanya ayah si bocah. “Lekas makan! Tidak setiap hari kita bisa makan telur seperti ini.”
Si bocah mengawasi sudut wajah ayahnya yang sendu. Kerut waktu bersemayam di guratan air mukanya. Kulit ayahnya yang legam tampak begitu tua. Dan sosok itu terlihat semakin kumal karena balutan kaos partai berlubang yang dikenakan. Setelah mengamati ayahnya, si bocah menggerakkan tangannya ke aras nasi bungkus. Tetapi bocah itu tak lekas menyantap. Ia mimikirkan sesuatu.
“Boleh tanya, Pak?”
“Tentang?” Ayahnya menyahut tanpa melirik.
“Sekolah itu seperti apa?”
Ayahnya terpekur dengan mulut menganga. Pria itu seakan dikagetkan dengan penanyaan anaknya yang tak biasa. Bahkan tangan si ayah sempat terhenti di udara dan membuat nasi yang tergenggam tak jadi masuk ke mulut. Pria itu mengawasi anaknya, syahdan menerawang ke kejauhan dengan matanya yang merah. Pria itu memperhatikan keributan jalanan. Di sana terdengar lengking seperti letupan pelur yang bercampur dengan teriakan dari berbagai kendaraan. Pria itu dari tatapannya—seakan mencari jawaban. Pria itu menghela napas lalu memandang anaknya.
“Sekolah itu seperti neraka,” kata ayahnya kemudian.
“Neraka?”
“Kamu di sana hanya disiksa dengan berbagai hal yang tidak kamu suka.”
“Tetapi mengapa anak-anak yang berangkat sekolah tampak senang.”
“Itu hanya tipuan saja.”
“Tipuan seperti apa?”
“Mereka semua dicuci otaknya.”
“Jadi sekolah itu tempat pencucian otak, ya?”
“Betul!” Jawab si ayah melihat air muka lugu anaknya. “Sekolah adalah tempat mengerikan. Apalagi untuk orang-orang tercela seperti kita. Mereka mungkin akan membakar kita hidup-hidup.”
“Kenapa kita tercela?”
“Karena kita hanya sampah di negeri ini. Mereka membenci kita karena itu dan akan membakarnya.”’
Anak itu memanggut samar. Bocah itu tidak dapat membayangkan seperti apa bila dirinya masuk sekolah. Ia pun bergidik membayangkan bila dibakar seperti tumpukan sampah yang setiap sore dilihatnya. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di benak si bocah. Karena ketika melihat ayahnya bercerita, si bocah seperti merasa ada yang dirahasiakan. Bocah itu tak tahu rahasia apa itu. Pun si bocah tak berusah mencari tahu. Ia hanya membuka bungkus makanan, lantas menyantapnya seraya mengingat senyum bocah-bocah berseragam yang dilihatnya pagi tadi—sebelum berangkat memulung.
***
Bocah itu masih merasa penasaran dengan yang dimaksud oleh ayahnya tentang sekolah—tempat yang menurut ayahnya adalah neraka; tempat penyiksaan bagi orang-orang terkutuk seperti dirinya. Apakah benar sekolah itu adalah neraka? Tetapi mengapa setiap pagi ketika akan berangkat untuk memulung dirinya selalu mendapati senyum merekah pada wajah bocah-bocah berseragam itu? Seandainya mereka disiksa di sekolah, pasti hal sebaliknya terjadi. Wajah mereka tak memanggul kebahagian, tetapi kemuraman.
Rasa penasaran itu membuncah di hati si bocah. Ia pun—pagi itu sebelum berangkat memulung—dengan sengaja membuntuti seorang anak seumuran yang akan berangkat sekolah. Ia ingin menjawab kegelisahannya itu walau hal buruk nanti terjadi. Memang ketika menguntit beberapa kali terbersit perasaan takut membayangkan sekolah. Tetapi untuk sementara ketakutannya ia buang. Menyingkirkan jauh-jauh. Karena pagi itu ia ingin melihat neraka.
***
Sepanjang perjalanan saat menguntit, terus saja si bocah dibayangi tentang neraka yang diceritakan oleh ayahnya kemarin: api yang berkobar membakar apa pun dan penyiksaan yang tak mengenal batas. Bocah itu—di benaknya mengabstraksikan tangisan yang menguara memilukan seperti derai hujan yang bertampias di atap rumahnya bila badai datang. Sekali lagi tubuh si bocah bergidik mengartikan kalimat yang dipaparkan ayahnya kemarin.
Namun entah mengapa sepanjang jalan—ia tidak melihat kegelisahan pada garis wajah bocah yang sedang dibuntutinya. Di wajah bocah berseragam itu malah selalu menyebulkan senyum yang renyah: bahagia. Si bocah pemulung tak habis pikir tentang kebisaan manusia zaman sekarang yang dapat menikmati siksaan dengan bahagia. Apakah siksaan di zaman sekarang terasa nikmat? Pikirnya. Si bocah pemulung dengan takzim membuntuti bocah itu hingga sampai di sekolahnya.
Ketika benar-benar sampai, si bocah pemulung terpekur menyaksikan setiap tawa yang berdengung di sudut-sudut sekolah. Di sana anak-anak terlihat bahagia. Mereka berlari-lari riang memainkan sesuatu. Selain itu juga banyak penjual makan yang acap dilihatnya berkeliling saat memulung. Si bocah pemulung sama sekali tidak melihat neraka yang diceritakan ayahnya; tempat-tempat penyiksaan yang dikerumi oleh pekik tangis dan kesedihan. Tetapi yang ia lihat adalah taman bermain yang luas. Lonceng mendadak berdengung. Si bocah pemulung tergeragap.
“Pasti itu tanda dimulainya penyiksaan,” pekiknya samar. Matanya jelalatan mengitari tempat; mencari-cari sosok malaikat yang bertugas untuk menyiksa bocah-bocah itu. Tetapi si bocah pemulung tak menemukan. Ia malah menemukan sosok seorang wanita berpakaian coklat, mengenakan sepatu hitam, dan tersenyum kepadanya. Ia berpikir: Malaikat itu telalu cantik untuk menyiksa anak anak!
Setelah lonceng berbunyi, si bocah pemulung melihat anak anak itu melesat seperti anak panah yang dilecut. Anak-anak itu berbaris dengan tertib memasuki sebuah ruangan asing. Si bocah pemulung dengan bergetar memasuki halaman sekolah yang luas. Namun tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Tempat yang ia kira adalah ruangan penyiksaan bagi anak-anak, tidak ditemukannya. Tempat itu bersih. Bangku, kursi, dan papan tulis tertata rapi. Bocah pemulung itu juga melihat seorang wanita berseragam coklat yang tak henti-hentinya membersitkan senyum kepada anak-anak.
Di mana letak neraka yang dimaksud oleh ayah? Batinnya. Pada setiap inci pandangannya tak dijumpai penyiksaan kejam. Bahkan saat melihat di dalam suasana ruang yang ceria, ia merasa iri pada anak-anak yang duduk dengan senang di bangku dan meja yang bersih itu. Ia ingin duduk di sana; mengacungkan jari; melontarkan pertanyaan seperti mereka. Ia termenung meyaksikan semua itu dari jendela. Sampai kemudian seorang bocah menyentaknya.
“Hai lihat ada pemulung di sana!” Seorang bocah menyahut. Seluruh bocah berpaling menatapnya. Si bocah pemulung pun tersipu seperti maling. Anak-anak itu tertawa serentak sampai wanita berseragam coklat menenangkan.
***
Gopah-gopoh si bocah pemulung keluar dari sekolah tersebut. Sepanjang jalan ia menekuri setiap perkataan ayahnya kemarin; tentang neraka yang dijumpai bila ke sekolah. Tetapi neraka itu tidak ada di sana dan ia malah berpikir kalau ayahnya berbohong. Ombak masih berkecamuk di dalam benaknya. Ia bagai terombang-ambing di dalam kebingungan. Bocah itu termenung dengan wajah murung menatap langit yang mendung.
“Dari rnana saja kau! Seharian kau tidak membantu mencari uang! Mau makan apa kamu nanti!” Tegur ayahnya melihat si bocah pemulung baru pulang.
Bocah itu dengan gemetar menatap air muka ayahnya yang berang. Ia kembali mengambil gancu serta karung yang senantiasa menemaninya. Ia beranjak kemudian kembali mengais botol-botol bekas di gunung sampah; mengumpulkannya ke karung goni. Tetapi ia masih merasa penasaran tentang neraka yang diceritakan oleh ayahnya kemarin. Ia sama sekali tidak merasa takut dengan neraka itu. Ia malah ingin duduk di ruang pesakitan itu; mendengarkan seorang wanita berpakaian coklat bercerita tentang rentetan angka-angka dan ilmu-ilmu lainnya. Ia ingin hidup di dalam neraka itu; menikinati siksaan sembari tertawa-tawa. (*)

Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua sayembara menulis sastra mahasiswa se-lndoensia UGM (2013). Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Nominator tiga besar buku sastra terbaik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yogyakarta 2016. Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Peluang Berdatangan

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Ini bukan kata saya ...

Saya kutipkan dari 2 pemikir dunia legendaris

Percaya Diri Adalah Rahasia Pertama Sukses ~ Ralph Waldo Emerson

Tidak akan ada orang yang memberikan perhatian banyak kepada orang yang tidak memiliki kepercayaan diri ~ Napoleon Hill

Apakah Anda memiliki kepercayaan diri saat ini?

Jika Anda pernah mengalami, sebuah kondisi dimana Anda ingin melakukan sesuatu. Padahal jika Anda lakukan sangat baik untuk sukses Anda, baik dalam karir maupun bisnis. Tapi Anda ragu, takut tidak mampu. Takut hasilnya jelek.

Akhirnya ... peluang pun terlewatkan.

Ini SALAH SATU CONTOH akibat jika Anda tidak memiliki kepercayaan diri.

Saat Anda memiliki kepercayaan diri yang tinggi, peluang sukses akan lebih banyak dan mudah Anda raih.

Mengapa Menjadi Orang Yang Percaya Diri Penting Dalam Meraih Sukses Dalam Karir, Bisnis dan Kehidupan Sosial

Sukses itu berkaitan dengan peluang. Dan hanya orang yang percaya dirilah yang akan bisa mengambil peluang. Menjadi orang percaya diri, akan membuka peluang yang lebih banyak. Semakin banyak peluang, semakin besar peluang sukses.
Orang percaya diri akan mengambil
  • Peluang bisnis, maka dia berpeluang meraih sukses dalam bisnis.
  • Peluang karir yang lebih baik, karena dia percaya diri mengambil peluang tampil dan menangani proyek besar.
  • Peluang karir yang lebih terbuka, karena dia percaya diri saat wawancara.
  • Peluang berbicara di depan umum sebagai cara membangun personal branding dan membangun relasi.
  • Peluang penjualan, karena dia percaya diri menjual, menawarkan, dan melakukan presentasi.
  • dan sebagainya.
Semua diatas, membutuhkan apa yang disebut Percaya Diri.
Sekarang bayangkan... Anda sudah memiliki percaya diri yang tinggi. Saat wawancara: Anda begitu tenang sehingga mampu "menjual" diri Anda dengan baik. Saat presentasi: Anda tampil dengan sempurna sehingga apa yang Anda harapkan tercapai.
Begitu juga... Anda melangkah dengan pasti saat memulai sebuah bisnis. Bisnis berjalan dengan baik. Keuntungan mulai datang. Jaringan terbentuk dengan kuat karena Anda percaya diri untuk membangun relasi.
Rasakan nikmatnya bisa berbicara dengan siapa pun penuh rasa percaya diri. Jika Anda penjual, distributor MLM, atau agen asuransi, maka nikmati komisi yang lebih besar berkat percaya diri.
Intinya: Anda bisa melakukan apa yang harus atau perlu Anda lakukan dengan baik. Dengan demikian, potensi diri Anda lebih optimal, peluang bisa diraih, dan keberlimpahan pun ada dalam genggaman Anda.




Apa Jadinya Setelah Anda Memiliki Rasa Percaya Diri?

  • Hidup menjadi lebih "hidup"
  • Membangun relasi yang harmonis dengan siapa pun.
  • Meraih berbagai peluang yang selama ini Anda abaikan
  • Hidup lebih damai
  • Tidak mudah terganggu oleh kritikan orang lain
  • Meraih tujuan Anda, karena Anda mencapainya dengan percaya diri
  • Mendapatkan pekerjaan idaman Anda (hal besar yang saya dapatkan dari percaya diri)
  • Menjadi pembicara di depan umum. Ini juga, padahal saya asalnya mudah grogi dan sulit bicara.
  • Hidup lebih termotivasi
  • Mendapatkan bisnis yang selama ini Anda impikan
  • Tenang menghadapi ujian sehingga mampu mengeluarkan semua kemampuan Anda.
  • Meningkatkan volume penjualan jika Anda seorang penjual
  • Lebih diperhatikan dan diperhitungkan oleh rekan dan atasan di tempat kerja.
  • Mampu memberikan kontribusi yang besar kepada perusahaan.
  • Hidup lebih ceria
  • Menghilangkan kekhawatiran
  • Memiliki kinerja yang tinggi
  • Dan masih banyak lagi...
Pertanyaanya, bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri?

Silahkan baca di halaman website ini:

http://www.zonasukses.club/the-confidence-secret/

Sekali lagi, silahkan baca penjelasan diatas karena akan meningkatkan peluang Anda meraih sukses.

Salam
Rahmat Mr. Power
Author eBook, Audio, dan Video
Pengembangan Diri dan Sukses