Daftar Blog Saya

Selasa, 20 Maret 2018

Laki-laki yang Menjual Kelaminnya

Cerpen Zainul Muttaqin (Suara Merdeka, 18 Maret 2018)
Laki-laki yang Menjual Kelaminnya ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Laki-laki yang Menjual Kelaminnya ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Maksan terpaksa mengalah. Ia menuruti perkataan Tini, sang istri. Semula Maksan bersikukuh tinggal berdua di sebuah kontrakan sempit. Namun, apalah daya, laki-laki itu tidak dapat menolak ajakan istrinya untuk tinggal satu atap dengan ibu mertua. Sebab, sudah tiga bulan Maksan tak sanggup membayar kontrakan, gara-gara dipecat, menganggur berbulan-bulan, sampai makan pun cukup sekali sehari.
“Apa salahnya sementara kita tinggal di rumah Ibu? Daripada setiap pagi mendengar omelan pemilik kontrakan. Kalau Abang tak mau tinggal di rumah Ibu, biar saya pindah ke sana.”
Perkataan Tini membuat Maksan berpikir ulang. Tidak ada pilihan lain. Dalam dada, Maksan menegaskan tak akan lama-lama tinggal di rumah mertua. Berlama-lama dapat membuat dia yang sudah lama sembuh dari penyakit jantung kumat lagi. Ia pernah dengar cerita seorang menantu mati mendadak setelah diomeli mertua sepanjang hari. Ngeri merayapi tengkuk Maksan mengingat kejadian itu. Apalagi ibu mertua Maksan memang gemar berkata lantang, mengomel untuk hal-hal sepele.
Duduk di ruang tamu, berhadap-hadapan dengan mertua, membuat degup jantung Maksan terasa tak normal. Pandangan perempuan tua itu seperti ingin menelanjangi kondisi Maksan. Maksan dapat merasakan cibiran melalui senyum yang mengembang di bibir mertuanya. Seakan ia berkata, “Makan tuh cinta!”
Maksan menyalakan sebatang rokok, berusaha mengurai ketegangan. Namun belum sampai Maksan mengisap rokok, si ibu mertua berkata, “Jangan terlalu sering merokok jika keuangan rumah tanggamu sedang terpuruk.”
Tak ingin mengimbangi ocehan mertuanya dengan rupa emosi, Maksan mematikan rokok, membenamkan dalam asbak dengan debar rasa kesal menyelimuti jiwa. Wajah Maksan berubah seperti selembar kain kafan. Ia beranjak, tergesa berjalan ke dapur. Dia melihat istrinya sibuk memasukkan bahan masakan ke dalam panci. Gemerutuk gigi Maksan terdengar oleh sang istri.
Maksan terlampau kesal sekaligus sakit hati dipermalukan ibu mertua. Untung, ibu mertuanya tidak bicara di depan orang banyak, sehingga Maksan masih sanggup meredam emosi.
Berkali-kali Maksan berusaha menulikan telinga. Ia harus bertahan di rumah itu demi istrinya yang kini hamil lima bulan. Namun mertuanya selalu memancing emosi, berujar yang bukanbukan. Misalnya, bilang Maksan laki-laki tak bertanggung jawab dan segala macam perkataan yang kerap merobek dadanya.
Seminggu tinggal di rumah mertua, Maksan makin kurus. Pikirannya bercabang-cabang. Satu cabang memikirkan apa dan bagaimana bila istrinya melahirkan. Satu cabang lagi dirumitkan oleh ucapan mertua, ucapan yang selalu menyindir perihal dia yang cuma numpang.
“Tak usah masukkan hati semua omongan Ibu. Maklum, ia sudah tua,” kata istrinya, menenangkan dada Maksan yang gejolak.
Jika bukan karena istrinya, Maksan sudah balas berteriak setiap kali mertuanya mengomel, menyindir, bahkan mengatai dia lelaki tak tahu diuntung. Ia tidak terima saat mertuanya bilang, dia berlindung di ketiak istri, hidup dari hasil keringat istri yang bekerja sebagai pustakawati di perpustakaan daerah. Hampir saja Maksan balas memaki, tapi buru-buru istighfar dan melintas ucapan istrinya, “Bagiamanapun kita harus menghormati Ibu.”
Salah satu cara supaya tak mendengar omelan mertua sepanjang hari ketika Tini berada di perpustakaan, Maksan bekerja sejak matahari terbit hingga hampir tenggelam di ujung barat. Lakilaki paruh baya itu singgah di warung kopi, sekitar lima ratus meter dari rumah. Ia baru pulang setelah memperkirakan Tini tiba lebih dulu di rumah.
Maksan pun waswas melihat perut istrinya membesar, bertambah bulan. Bila Tini melahirkan saat Maksan tidak punya tabungan sepeser pun, jelas mertuanya akan mengomel dan bisa jadi mengutuk Maksan sebagai menantu tak tahu diri. Lintasan pikiran itu terus beranak-pinak dalam benaknya yang sempit. Hatinya dibalur cemas.
Maksan makin risau atas masalah yang mencekik hidupnya. Tidak tahu kepada siapa mesti mengadu, kecuali kepada Tuhan. Tini pun selalu mendapati suaminya bangun tengah malam, berjalan ke kamar mandi, mengucurkan air, berwudu. Dalam remang lampu kamar, Tini melihat samar-samar suaminya shalat tahajud. Beberapa jenak kemudian, isak tangis pecah dalam doa Maksan.
Rupa-rupanya kondisi terpuruk membuat Maksan berniat lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dia menangis dalam doa, memohon kelahiran anak pertamanya dipermudah. Dia mengadu pada Tuhan, tak lagi punya uang untuk mengurus biaya rumah sakit bila istrinya melahirkan. Ia kini tak memiliki apa-apa, bahkan terpaksa hidup seatap dengan mertua.
***
Tini membangunkan suaminya sebelum azan subuh, meminta segera dibawa ke rumah sakit. Tini merasakan tanda-tanda melahirkan makin dekat. Mertuanya terbangun setelah mendengar suara gaduh. Tanpa pikir panjang, Maksan membawa istrinya ke rumah sakit. Ibu mertua menemani.
Tak lama setelah Tini melahirkan, wajah Maksan berbinar-binar menyambut anak pertama. Ia mengumandangkan azan dan iqamat di kedua telinga bayi laki-laki itu. Beberapa menit setelah keluar dari kamar, Maksan tercenung. Pikirannya kembali bercabang-cabang. Tidak tahu bagaimana cara membayar biaya persalinan. Sementara mertuanya diam, membiarkan Maksan menelan kerumitan seorang diri.
Lagi-lagi Maksan merasa senyuman mertuanya itu seperti mencibir. Perempuan tua itu seperti melontarkan kata, “Kau mesti bertanggung jawab. Jangan cuma tahu bikin anak, tetapi tak tahu bayar rumah sakit.”
Maksan menyembunyikan air mata dengan melempar senyum pada mertuanya. Hampir seminggu di rumah sakit, Tini mestinya sudah bisa pulang. Namun Maksan belum muncul juga sejak enam hari lalu. Dia pamit mencari uang untuk melunasi biaya persalinan. Sampai hari kesembilan, Maksan tak kunjung datang. Pikiran buruk beranak-pinak dalam tempurung kepala Tini.
Lepas magrib Maksan datang. Pikiran buruk lenyap dari kepala Tini dalam sekejap. Ia menyambut suaminya dengan pelukan hangat. Maksan mengatakan, malam itu akan membawa istrinya pulang karena lunas membayar biaya persalinan dan menginap di rumah sakit.
Senyum Tini serupa bunga, mekar di bibir. Namun Tini bertanya-tanya dalam hati, dari mana Maksan mendapat uang sebanyak itu. Tini menyimpan pertanyaan itu dalam dada. Khawatir suaminya tersinggung bila bertanya langsung. Terlebih di ruangan itu ada ibunya.
Maksan pun menyimpan jawaban dalam hati. Selama berada di luar, ketika tak mendampingi Tini di rumah sakit, diam-diam Maksan menjual kelaminnya pada seorang tante di Gang Anggrek. “Satu malam sepuluh juta,” kata Maksan.
Tante itu mengangguk, mengingat tampilan fisik Maksan masih tampak muda, seperti lelaki 23 tahun. Tante berkulit putih itu membeli kelamin Maksan dengan harga berlipat-lipat dari bayaran tidur satu malam. Dengan catatan, kata tante itu sambil menggerayangi tubuh Maksan, tak boleh seorang pun menyentuh kelamin Maksan. Dia sudah membeli kelamin itu teramat tinggi.
Laki-laki itu mengangguk, sekalipun bayangan sang istri mengantar dalam pejam mata di atas ranjang. Dia melakukan semua itu demi sang istri.
Dua minggu setelah pulang dari rumah sakit, Maksan belum bisa memecah kebingungan bagaimana lepas dari jeratan tante itu. Di satu sisi ia merasa sempurna sebagai suami karena Tini memuji kerja kerasnya mencari uang. Di sisi lain dia kembali terperangkap dalam persoalan lebih rumit.
Keinginan Tini hamil lagi membuat Maksan tak bisa menjawab apa-apa, selain tersenyum agak ragu. “Bagaimana mungkin kita punya anak lagi jika kelaminku sudah kujual?” desis Maksan pada diri sendiri.
Dia mengusap dada dan menyalakan sebatang rokok. Dia merasa perlu menenangkan diri dari gemuruh di batin, memikirkan cara mengatakan pada tante itu bahwa dia tak lagi menjual kelamin karena sang istri lebih membutuhkan. (44)

Pulau Garam, 2018

Perempuan Surga

Cerpen Hazwan Iskandar Jaya (Kedaulatan Rakyat, 18 Maret 2018)
Perempuan Surga ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Perempuan Surga ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Sakinah: Ibu (1)
Tak ada yang lebih membahagiakan, kecuali melihat ia tersenyum sembari mengusap seluruh rambutku. Senyum itu adalah sekaligus doa untukku dan juga anak-anaknya. Sebagaimana sudah digariskan Tuhan, restunya adalah restu Tuhan di dunia ini. Balasan Syurga bila merajuk padanya. Karena, seluruh alam bertakzim pada senyumnya.
Ia membimbingku dengan sepenuh jiwanya. Merangkai segala keinginan, kebutuhan dan pengalaman hidup untuk mengabdikan diri pada cinta. Ya, cinta! Malaikat pun akan bersimpuh, jika ia telah membisikkan kata:
“Hiduplah sederhana, sesederhana aku mencintaimu,” desahnya dengan amat ringan. Tanpa beban.
Aku merunduk malu. Sadar jika tak mampu mengucap satu kata pun.
“Maka jika mencintai, cintailah dengan sederhana. Dengan kesederhanaan jiwa seorang pengembara merebahkan seluruh lelahnya pada waktu dan tempat yang tepat. Jangan ada nafsu untuk menguasai. Karena kekuasaan itu yang akan meruntuhkanmu,” ucapnya datar dengan senyuman yang dikulum.
Beberapa bulan aku mencucup darahnya. Juga air susunya yang berlimpah. Hingga semua hasrat dapat kutumpaskan bersamanya. Ia merebahkan dendamku sampai batas pengasingan yang dalam. Di rahim kegelapannya. Dibelenggu dalam garba. Dan dipatrikan pada dinding keniscayaan.
Namun, hampir seluruh mimpi-mimpiku ditangkup dalam genggaman tangannya yang lembut nan hangat. Membangkitkan gairah kelelakianku. Bagai kuda yang hendak berlari menunggangi seluruh hasrat.
“Tidurlah dalam dekapanku. Kan kunyanyikan lagu nina bobo untukmu.”
Bisiknya syahdu. Mengecup keningku. Mengusap seluruh rambutku yang mulai tumbuh.
Aku terlena. Aku beranjak menapaki waktu. Bayang-Bayang memanjang di sepanjang perjalanan yang penuh deru dan debu. Jumpalitan aku mencari jati diri dalam rindu.
Ialah yang mengajariku arti pengorbanan, kerelaan dan keikhlasan cinta. Dalam deru doa-doa sepanjang waktu. Pun di setiap mimpiku.
Mawaddah: Ibu (2)
Justru yang aku takutkan bosan itu akan menghampirimu. Dan akan menghempaskanku dalam resah yang berkepanjangan. Dan aku bisa mati berdiri dibuatnya. Jika kau sudah tak peduli, untuk apalagi hidup dalam pengembaraan yang beronak duri ini. Seluruh jiwaku sudah tergores. Luka-luka ini membentuk gambaran hidup yang terpatri di atas batu cadas. Membekas di saban kenangan yang mengharu biru.
Dialah yang mengusap setiap tetesan air mata dan keringat dengan sepenuh kasih. Walau terkadang mimpi buruk kerap menghampiri. Mimpi yang senantiasa mengejarku, bagai bayang-bayang kelam masa lalu.
Ketika ia menyihirku menjadi ulat bulu, maka tak ada lagi daya upaya untuk menggeliat. Setiap mahluk yang kutemui semua bergegas menyingkir. Ekspresi menjijikkan dari raut wajah mereka. Bahkan ada yang hendak membunuhku dengan kekejaman zaman perang. Aku hanya menghindar dari keramaian dan hiruk pikuk dunia. Aku pun kembali menepi, menjauh dan mengembara ke entah arah.
Pengembaraan ini amatlah panjang. Telah bertahun-tahun tak putus-putusnya dirundung segala kemungkinan. Ketidakpastian yang langgeng dalam haribaan. Bagai suratan garis takdir di telapak tangan. Dan suatu ketika, saat angin berhembus lembut, engkau pun membisikan kata:
“Rebahlah dirimu bagai kain yang jatuh di lantai,”
Aku hanya menarik nafas panjang dan dalam. Dialah yang membungkusku, menyuntikkan tonikum zikir sebagai cadangan santapan rohku, dan kegelapan ini telah merenggutku dari gemerlap cahaya dunia. Aku pun menyerah pasrah.
Entah berapa lamanya aku taffakur, tazakkur dan taddabur. Aku tak peduli lagi akan menjadi apa dan berapa lama akan usai pertapaan ini. Akupun tak hendak tahu, apakah kelak akan menjadi kupu-kupu, kumbang, lebah atau bahkan harus tumpas. Biarlah dia yang menyihirku dengan senyum dan tatapan tanpa ratapan.
Kucintai waktu berlalu, saat terjaga dan tidurku.
Rahmah: Ibu (3)
Seorang Kembara tak pernah letih mencari “kebenaran” yang hakiki. Ia tak peduli dihadang onak dan duri. Hanya keteguhan hati dan kesabaran dalam diri. Menyangga cintanya sampai mati! Sekali layar dikembangkan, pantang surut biduk dikayuhkan!
Begitulah kata Engkau padaku di suatu senja. Saat kita bercengkerama dengan jarak dan waktu…
Tapi wahai, Cintaku, aku bukanlah Musa yang mampu membelah lautan. Bukan pula Nuh yang bisa menantang dan menaklukkan gelombang dan ombak demi membawa segala bekal kehidupan. Aku hanyalah pengembara biasa yang sederhana saja. Kadang merasa lelah dan renta. Kadang menangis sejadi-jadinya. Kadang harus bersandiwara untuk sekadar bermuka-muka. Betapa susahnya mencari ‘dada’ sekadar untuk tempat bersandar. Merebahkan kepenatan kata-kata yang kadang menyesak dalam jiwa.
Aku ingin tidur segera. Lalu bermimpi yang indah-indah saja…
Dan Engkau hadir di tengah kegalauan malam. Hampir pada batas akhir pengembaraan. Kini baru kusadari, Engkau telah mencuri separuh jiwaku! q-g

Yogyakarta-Bengkulu, 2017
(Inspirasi di rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu)
Hazwan Iskandar Jaya, lahir di Palembang (Tanjung Raja OKI), 27 Agustus 1969. Beberapa karya tulisan berupa puisi, cerpen, esai dan opini. Beberapa karya masuk antologi bersama Momentum, Alif Lam Mim, Aku Ini, Begini-begini dan Begitu (Esai FKY 1997), Tamansari (FKY 1998), Embun Tajjali (FKY 2000), Lirik Lereng Merapi (FKY Sleman, 2000), Rumpun Bambu (Teater Sila Bantul, 1999). Tinggal di Desa Madurejo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta.