Daftar Blog Saya

Rabu, 09 Agustus 2017

Istana Tembok Bolong

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 20 November 2016)
Istana Tembok Bolong ilustrasi Wedhar Riyadi - Kompas
Istana Tembok Bolong ilustrasi Wedhar Riyadi/Kompas
Bong Suwung, Yogyakarta, 1970
Malam begitu kelam ketika ia melangkahkan kakinya melompati sisa tembok pada lobang itu, lobang yang membuat kawasan Bong Suwung di bagian ini disebut Istana Tembok Bolong. Dengan begitu ia pun sudah berada di dalam wilayah Stasiun Tugu.
Di balik tembok segalanya gelap, dari balik kegelapan itu terdengar suara berat seorang lelaki.
“Anak kecil! Mau apa di sini?”
Ia tak melihat apapun. Lampu tiang listrik di sekitarnya habis dicuri. Cahaya dari peron di kejauhan pun tidak sampai kemari.
“Oh, mencari Mbak Tum.”
“Asal anak kecil kok mencari Mbak Tum.”
Dalam kegelapan terdengar suara tawa lelaki dan perempuan.
Untuk sejenak ia merasa tersinggung. Sebenarnya antara tersinggung dan takut. Namun hasratnya untuk mencari Mbak Tum kuat sekali.
Kakinya melangkah dari rel ke rel. Banyak sekali rel di dalam stasiun, pikirnya, untung langkah kakinya bisa mencakup lebar rel itu, meski sandal jepitnya yang kecil kadang-kadang lepas, dan ia mesti berhenti sebentar untuk mengenakannya kembali.
Angin kencang terasa dingin menerpa kakinya yang bercelana pendek. Ia menoleh ke kiri, ke arah barat, tempat terdapatnya cahaya seadanya di persilangan kereta api. Tampak kendaraan melewati persilangan itu, satu dua mobil, sepeda motor sesekali, tetapi yang terbanyak adalah sepeda dengan lampu berko yang tidak bisa menerangi apapun.
Ia masih bisa melihat sejumlah perempuan yang berdiri sepanjang persilangan. Jika kereta api melewati persilangan mereka akan menyingkir, dan jika kereta api sudah lewat mereka akan berdiri di tempat itu lagi.
“Kalau mencari Mbak Tum bukan di situ,” begitu kalimat yang pernah didengarnya, “dia berada di salah satu gerbong rongsokan.”
Ia terus melangkah dari rel ke rel.
Lampu lokomotif kereta api penumpang yang memasuki stasiun sekilas memperlihatkan letak gerbong-gerbong barang yang sudah tidak digunakan lagi. Berkarat dan melumut seperti gua manusia purba.
***
Segalanya kembali ditelan kegelapan. Terpandang olehnya pintu kereta pada persilangan yang baru saja dibuka, dan dari dua arah berbagai kendaraan maupun orang berjalan kaki berlomba menyeberangi rel.
Di kejauhan itu dilihatnya seorang pengayuh sepeda berhenti di depan salah satu perempuan yang berdiri di persilangan.
Ia melangkah lagi. Perjalanannya terasa sangat panjang sebelum bisa melihat Mbak Tum.
Mula-mula hanya bara api rokok yang tampak dalam kegelapan. Bara api bergerak-gerak yang menunjukkan betapa dalam kegelapan itu terdapat seseorang yang sedang merokok. Ketika dihisap, bara api itu menyala lebih terang, tetapi sampai jarak tertentu, bahkan sampai ia dapat menangkap bentuk gerbong dalam kegelapan, masih saja tak dapat dilihatnya wajah seseorang yang sedang merokok itu.
Gerbong barang itu pintunya besar dan terbuka, di dalamnya hanya terdapat kegelapan sebuah gua. Gerbong seperti itu biasanya membawa bungkusan-bungkusan besar, mungkin pula hewan, atau sepeda motor, tetapi tidak ada yang dapat diandalkannya untuk menduga, digunakan untuk apakah kiranya gerbong ini sekarang.
“Anak kecil, mencari siapa kamu?”
Sekarang ia tahu yang merokok itu perempuan, dan perempuan itu bersuara serak.
“Mbak Tum…”
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Hanya bara rokok itu yang bergerak ke atas dan kembali bertambah terang. Ia seperti mendengar suara tembakau yang terbakar, dan suara mulut yang menghembuskan asap rokok dengan nikmat, seperti hanya kenikmatan merokok itulah yang membahagiakannya di dunia fana.
Malam bertambah dingin. Namun ia tak tahu apakah dirinya menggigil karena kedinginan atau karena merasa telah berhadapan dengan Mbak Tum. Suatu nama yang baginya termashur, karena inilah sosok yang namanya sering disebutkan teman-teman sepermainannya.
“Namaku Tumirah. Aku yang dipanggil Mbak Tum di sini.”
Ia tertegun dan masih menggigil.
“Kamu mau apa?”
Mulutnya  terkunci. Terdengar perempuan itu tertawa ringan.
“Kamu juga mau ya?”
Suara peluit lokomotif melengking di kejauhan, disusul suara uap yang mengempos dari samping kiri dan kanan. Lantas terdengar pengumuman tentang kereta api dari arah tertentu yang akan memasuki stasiun, kereta api dengan tujuan tertentu yang siap diberangkatkan, maupun rangkaian kereta api yang hanya akan lewat saja tanpa berhenti.
Ia tahu bagaimana semua kereta api ini akan melewati persilangan, palang kereta api yang turun dan terangkat kembali dengan bunyi teng-teng-teng-teng dan bagaimana perempuan-perempuan yang menyingkir karena kereta api lewat, kembali berdiri di tepi jalan.
Sebenarnya mereka tidak benar-benar berdiri di tepi jalan, melainkan agak masuk ke dalam wilayah stasiun, artinya berdiri di antara rel-rel yang hanya tampak sebagian karena segera menjadi bagian dari kegelapan. Dari jalan hanya wajah mereka saja yang terlihat, seperti topeng-topeng putih tanpa tubuh, karena pupur yang lebih tampak seperti labur.
***
Perempuan itu menyulut rokok baru. Waktu korek api menyala ia melihat wajah perempuan yang mengaku bernama Tumirah itu. Rambutnya yang lurus tampak terurai, dan seperti kecoklatan mungkin karena cahaya api dalam kegelapan. Meskipun segalanya segera kembali gelap, ia telah mengingat semuanya. Perempuan itu mengenakan kebaya berbunga-bunga yang tidak terkancing di luar kutang yang bagian atasnya terbuka, bawahannya akin batik yang tergulung pada pinggang. Kakinya berjuntaian di tepi gerbong. Hanya berdua dengan perempuan ini membuat hatinya tenang.
“Kamu membawa uang berapa?”
“Lima puluh.”
“Lima puluh? Ambil punya siapa?”
“Itu uangku.”
“Uangmu? Kamu berjualan?”
“Tidak. Aku menabung.”
“Hhhh….”
Angin bertiup kencang, terdengar suara geluduk di langit. Tubuhnya bagaikan tiba-tiba memanas. Ia sudah berhadapan dengan sosok Mbak Tum.
“Lima puluh itu cukup untuk sepuluh korek.”
Ia tertegun. Cerita tentang korek api itu sudah lama ia dengar. Namun bukan untuk itu ia menembus kegelapan penuh rahasia Istana Tembok Bolong. Ia baru saja membaca mahakarya Adinda, Tante Rose dan Si Genit Elsa, dan dalam buku sewaan lusuh itu tidak ada cerita tentang korek api, kecuali jika diperlukan untuk merokok.
“Aku tidak mau korek api.”
Terdengar tawa perempuan itu.
“Berapa umurmu?”
“Sebelas.”
Sekarang tawa itu keras sekali.
Ia ingin berbalik, tapi sosok perempuan  itu memiliki daya magnit. Ia tetap berada di tempatnya.
“Kawan-kawanmu semuanya juga mau,” kata perempuan itu, setelah menghisap rokok cap Admiral kuat-kuat sampai letik baranya beterbangan ditiup angin, “tapi aku tidak akan menambah dosa-dosaku yang sudah bertumpuk ini dengan merusak jiwa anak-anak.”
Malam sungguh kelam. Ia hanya mampu menduga-duga apa yang dimaksud perempuan itu.
“Kalau masih memaksa juga kamu boleh bermain korek api. Dengan uangmu kamu bisa menyalakan batang korek api sepuluh kali.”
Ia ingin lebih dari itu. Namun juga belum pernah melakukan apa yang disebut perempuan itu sebagai bermain korek api.
Ia masih berdiri terpaku.
“Ayolah sini, mana uangnya?”
Seperti tersihir ia melangkah maju menyerahkan uangnya. Semuanya digulung dan dirapatkan ikatan gelang karet sampai padat. Masih ditambahnya dengan tiga uang logam baru Rp 1,-.
Tangannya terulur ke atas, menyentuh tangan perempuan yang duduk dengan kaki menjuntai di atas gerbong barang. Arus hangat merasuki tubuhnya dari tangan yang seperti meremasnya dengan mesra, ketika menerima uang itu agar jangan sampai berjatuhan ke bawah.
“Kuhitung dulu ya?”
Ikatan gelang karet itu dibuka, uang kertasnya masih tetap tergulung. Uang kertas yang masih baru maupun yang sudah lusuh: Rp 1, yang bergambar Soedirman maupun masih bergambar Soekarno, 50 Sen dan 25 Sen yang bergambar sukarelawan, 10 Sen dan 5 Sen yang bergambar sukarelawati. Semua itu berusaha diluruskannya.
“Wah susah ini, sepuluh, dua belas, dua puluh ….”
Rasanya perempuan itu menghitung sepanjang abad. Ia tidak pernah mengira malam ini akan tetap tinggal abadi dalam dirinya.
Uang kertas itu digulung dan diikat kembali dengan gelang karet, langsung disusupkan ke kutangnya. Tiga uang logam Rp 1, juga disusupkan ke bagian lain kutangnya itu.
Perempuan itu meloncat turun.
“Aku kencing dulu ya?”
Tubuh perempuan itu meruapkan hawa hangat yang melintasi segenap inderanya ketika menuju kegelapan. Kini ia cukup terbiasa dengan kegelapan, sehingga dapat dilihatnya perempuan itu hanya menyingsingkan kain dan berjongkok di tengah rel sebelum akhirnya berdiri lagi. Tidak ada gerakan lain selain itu.
Geluduk menggeluduk di langit. Ia mendengar suara-suara manusia dari dalam gerbong di sebelah timur maupun barat, sementara terhirup olehnya bau besi  dan oli di antara rel.
“Ini koreknya,” perempuan itu meletakkan kotak korek api di tangannya, sebelum naik kembali ke atas gerbong, “sepuluh kali ya.”
Di gerbong, perempuan itu kembali duduk, lantas menarik kainnya dengan dua tangan sampai ke lutut, kemudian menaikkan kedua kaki sampai tumitnya menempel di tepi lantai gerbong. Di tangannya masih ada rokok, yang dihisapnya kuat-kuat sampai bara merah itu menyala terang, dan lagi-lagi tembakaunya gemeretak dan letik baranya tersapu angin yang bertiup kencang.
“Ayo cepat, sudah mau hujan. Mendekatlah, nanti tidak kelihatan.”
Ia maju dan seperti merasa memasuki lingkaran kehangatan. Ia mencoba melihat ke dalamnya. Namun hanya ada kegelapan.
Ia menyalakan batang koreknya yang pertama.
Langsung mati tertiup angin.
“Satu ….” kata perempuan itu sambil menghembuskan asap rokoknya ke atas.
Ia menyalakannya lagi, kali ini berusaha melindunginya dengan tangan.
Tetap mati.
“Dua …”
Cepat sekali ia nyalakan  yang ketiga. Lebih cepat lagi mati, meski apinya tetap sempat menyala. Ia tetap belum melihat apapun.
“Tiga …”
Dengan cepat ia menggoreskan kepala batang yang keempat pada sisi kotak korek api itu. Tidak menyala sama sekali.
“Itu tidak dihitung.”
Segera ia menyalakan yang lain lagi. Menyala. Namun ketika matanya berpindah menuju yang semula hanyalah kegelapan, apinya pun sudah mati.
“Empat …. Coba tunggu anginnya berhenti.”
Angin tidak kunjung berhenti. Perempuan itu membuang rokoknya.
“Coba lebih masuk, tapi jangan kena kainnya, aku cuma punya dua.”
Kedua tangannya masuk, ia menggoreskan batang korek api itu. Menyala! Namun ia hanya melihat kedua tangannya sendiri di dalam ruang sempit tersebut. Tangan kanannya memegang batang korek yang menyala terang sehingga corak Parang Rusak kain batiknya terlihat jelas, maka ia menarik tangan kirinya yang memegang kotak korek api itu keluar.
Saat itu apinya mati. Ia hanya melihat kegelapan. Langit memang tanpa bulan dan tanpa bintang di Istana Tembok Bolong. Bagaikan wilayah itu bagian dari semesta yang berbeda.
“Sudah lihat?”
“Belum.”
“Tapi tetap dihitung ya. Lima …”
Separuh peluangnya untuk sama dewasa dengan teman-temannya sudah lewat, tetapi ia masih mempunyai lima kesempatan lagi.
Suara-suara lenguhan dari dalam gerbong terdengar keras. Perempuan itu tampak terganggu.
“Hooooi! Ada anak kecil hoooiii.”
Suara-suara menjadi pelan.
“Ayo cepatlah. Bukan tempatmu di sini. Kalau mau kamu ambil saja uangmu lagi dan pergi.”
Ia tidak beranjak. Menyalakan lagi batang koreknya. Harus tetap di luar, pikirnya, jadi tangan kirinya tidak menjadi penghalang pandangan matanya. Namun tangan kirinya itu pun rupanya terlalu kecil untuk melindungi api dari tiupan angin. Angin kencang malam itu tidak pernah dapat diduga datangnya.
“Enam ….”
“Tujuh ….”
“Delapan ….”
“Sembilan ….”
Perempuan itu ingin membantunya untuk batang korek api yang kesepuluh karena merasa iba, tetapi menahan diri karena berpikir akan lebih baik bagi anak itu jika tidak melihat apa yang diinginkannya. Setidaknya malam ini.
Lokomotif langsir menggunakan rel buntu itu, ketika batang korek api yang kesepuluh menyala untuk segera tertiup angin dan mati.
***
Hasratnya ternyata ikut mati. Ia membalikkan tubuh tanpa rasa kecewa.
Tumirah menurunkan kaki. Perasaannya galau.
“Dik, kamu bawa saja kembali uangmu!”
Ia yang sudah kembali melangkah dari rel ke rel dan mengarungi kegelapan memang mendengarnya, tetapi ia tidak menghentikan langkahnya. Namun kotak korek api bergambar beruang kutub dengan batang-batang korek api di dalamnya itu masih berada di dalam genggamannya. Hanya sampai di situlah jalan hidupnya dipertemukan dengan jalan hidup Tumirah.
Perempuan itu memandangi kegelapan. Tidak dilihatnya apapun dan bukan tidak diketahuinya betapa korek api itu berada di tangan anak tersebut. Tidak dilihatnya anak kecil bercelana pendek dan bersandal jepit itu muncul di kejauhan sebagai siluet, melangkahi sisa tembok pada lubang yang merupakan gerbang kebesaran Istana Tembok Bolong, kembali ke dunia darimana ia berasal.
Tidak dilihatnya apapun karena matanya basah.
Dari dalam gerbong-gerbong barang, mereka yang masih mengeluarkan suara tertahan-tahan itu tertegun, ketika di antara suara derasnya hujan yang mendadak turun diiringi halilintar menyambar-nyambar, terdengar raung tangisan seorang perempuan, yang raungannya begitu keras seperti jerit kepedihan yang tiada duanya di dunia …

dengan salam untuk “Prenjak”, Kampung Utan, Senin 29 Agustus 2016. 05:25. Diperpendek, Sabtu 12 November 2016. 10:45.
Seno Gumira Ajidarma, lahir di  Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977, kini tergabung dengan penajournal.com. Baru saja terpilih sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta.

Profesor Bermulut Runcing

Cerpen Rizqi Turama (Kompas, 27 November 2017)
Profesor Bermulut Runcing ilustrasi Rega Ayundya Putri - Kompas
Profesor Bermulut Runcing ilustrasi Rega Ayundya Putri/Kompas
Setiap hari ia memoles bibir, bukan dengan lipstik, tapi dengan darah yang mengucur dari jantung orang-orang di sekitarnya. Bibirnya yang runcing itu mampu merobek jantung dengan sangat lincah. Tak hanya runcing, bibir itu juga tajam selayaknya gunting yang dipakai dokter ketika akan menyunat sekelumit kulit hingga terlepas dari tempatnya. Membuat darah menetes dan ia tadahi untuk kemudian disapukan ke bibir.
Malam hari, sepulang dari mengajar di universitas, ia selalu menyempatkan diri untuk becermin. Memeriksa kondisi bibir. Jika bayangan memantulkan warna bibir yang lebih merah ketimbang sebelum ia berangkat, senyum profesor kita akan mekar. Ia melihat senyum di cermin itu menyerupai mawar yang merekah di pagi hari cerah dengan sedikit embun tersisa dan berlatarkan kuning emas matahari yang belum silau, sempurna. Namun, jika bibirnya malam itu sama merah dengan sebelum ia berangkat mengajar, ia akan merasa menjadi orang yang merugi. Lebih parah lagi jika kadar merah di bibir itu berkurang, sesungguhnya ia adalah orang yang celaka. Tak jarang mimpi buruk mengetuk tidurnya dan bertandang ketika bibir itu tak semerah hari kemarin.
“Seorang profesor sepertiku harus selalu tampak cantik, dan wanita cantik adalah wanita yang bibirnya selalu merah,” begitulah prinsip hidup yang dipegang teguh profesor kita. Maka, jangan heran jika ia selalu membawa batu asah, itu untuk mengasah bibirnya agar semakin runcing dan tajam hingga mempermudahnya mendapatkan darah segar untuk dioleskan ke bibirnya.
***
Jauh hari sebelum profesor kita menjadi profesor dan baru saja lulus sebagai doktor, tujuh tahun lalu tepatnya, ia mendapati bahwa suaminya berselingkuh. Suaminya ingin berkelit, tapi ketika melihat doktor itu memegang telepon genggam yang isinya adalah percakapan mesrum (mesra dan mesum) dengan orang lain, sang suami membatalkan niat tersebut. Dengan geraham yang bergemelutuk, napas tersengal, dan air yang mengambang di pelupuk mata, doktor yang belum jadi profesor itu berkata, “Aku ingin bertemu dengan selingkuhanmu.”
Sang suami berusaha mencegah dan mengalihkan pembicaraan, tapi ia sadar bahwa istrinya adalah seorang yang cerdas. Apalagi telepon genggam tersebut sudah di tangan sang istri, hanya menunggu waktu kedua wanita yang ia nikmati tubuhnya tersebut akan bertatap muka.
Karena tak ada pilihan lain, sang suami pun mencari tempat yang aman untuk pertemuan keduanya. Ia juga telah menyingkirkan semua barang pecah belah atau benda-benda lain yang mungkin akan digunakan untuk saling melukai jika perkelahian terjadi. Namun, yang terjadi justru di luar dugaan sang suami.
Sama sekali tak terjadi perkelahian antarwanita. Tak ada saling jambak ataupun saling cakar. Mereka hanya saling tatap dalam waktu yang entah berapa lama. Sang suami tak sempat menghitung menit yang berlalu karena di tengkuknya ada sebuah beban yang membuatnya hanya bisa tertunduk.
Sang doktor, selama saling bertatapan dengan selingkuhan suaminya, sedikit kecewa karena tak ada yang istimewa dengan fisik saingannya itu. Hanya satu yang mencolok dari wanita yang ia laknat sepanjang sisa umurnya tersebut. Bibir. Belum pernah ia melihat bibir yang begitu merah mengilap dan mencolok.
Ia baru akan membuka mulut untuk bertanya kenapa bibir sang wanita selingkuhan bisa begitu merah saat si selingkuhan menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah sudut yang teramat tajam. Dengan sedikit gerakan, bibir itu mengarah ke jantung sang doktor. Sedikit beruntung karena sang doktor sempat mengelak. Jantungnya selamat, tapi ketajaman bibir itu dirasakan oleh hatinya. Mengerti bahwa sang wanita selingkuhan bukanlah musuh yang bisa ia hadapi, sang doktor memutuskan untuk pergi dengan hati berdarah.
Ketika hendak melangkah pergi itulah ia sempat menoleh dan mendapatkan sang wanita selingkuhan sedang mengoles bibir dengan darah yang tercecer dari hatinya. Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan oleh sang doktor. Ia menyimpulkan selingkuhan itu memiliki sesuatu yang tak ia miliki, bibir yang begitu merah, tajam, dan runcing. Mungkin itulah yang memikat suaminya, kecantikan yang tak ia mengerti. Sejak hari itu juga, doktor kita memutuskan akan menunjukkan bahwa dirinya tidak takluk.
“Aku akan memiliki bibir yang lebih merah daripada wanita laknat itu. Saat itu suamiku akan mengemis untuk kembali, dan aku akan mencampakkannya dengan senang hati,” begitu tekadnya.
***
Dari waktu ke waktu, sang doktor terus mengasah bibir dan mulutnya agar runcing dan tajam. Namun kemudian ia sadar bahwa itu saja tak cukup. Ia butuh jadi orang yang punya pengaruh dan bisa tampil di depan umum agar ketajaman bibir itu bisa berguna. Jika kariernya hanya berhenti pada level doktor, ia tak akan bisa memperluas “wilayah kekuasaan”. Ia harus menjadi lebih dari sekadar doktor. Di dunia akademik, hanya level profesor yang sering diundang memberi kuliah di berbagai tempat. Tak hanya di pulau tempatnya berada saja, tapi juga ke seluruh penjuru nusantara. Maka, ia pun mematok target baru: menjadi profesor.
Setelah berjuang mati-matian, jilat sana-sini, meludah, terus menjilat lagi, ditambah dengan sedikit penelitian yang ia lakukan di universitas, sedikit publikasi, jilat lagi, ludah lagi, jilat lagi, akhirnya profesor kita mendapatkan gelar profesor.
Ia senang bukan buatan. Dengan jadi profesor, ia bisa mendatangi berbagai tempat. Memberikan kuliah di sana-sini. Mendapatkan sambutan hangat di mana-mana—sebab ada banyak orang yang mau menjilati ia sampai ke getah-getah terakhir. Dan yang lebih penting adalah ia bisa bertemu orang banyak dan mempergunakan keruncingan mulutnya dengan obyek yang berganti-ganti.
Banyak jantung dikoyak dan berdarah. Bibirnya semakin runcing dan merah. Ia bahagia.
***
Satu hal yang tidak disadari oleh sang profesor adalah seiring dengan semakin tajamnya mulutnya, mulut itu juga tumbuh semakin panjang, sedikit melengkung ke bawah. Tepatnya ke arah jantungnya sendiri. Ia tak sadar karena ia hanya fokus pada warna merah yang bertengger di sana. Merahnya sudah hampir sempurna. Mungkin tinggal mendapatkan satu korban dengan kadar merah pada darah yang tepat, ia sudah akan mencapai tingkat kesempurnaan pemilik bibir merah.
Dalam sebuah seminar tingkat nasional, ia semringah karena ada salah satu dosennya dulu menjadi peserta. Darah seorang dosen senior yang telah punya banyak mahasiswa, tentu akan lebih dari cukup. Dia akan jadi pelengkap dan penyempurna bagi ketajaman mulutku. Setelah mendapatkan darahnya, aku akan mendatangi suamiku. Begitulah yang dipikirkan sang profesor.
Sambil mendongakkan kepala dan menunjuk orang yang pernah jadi dosennya itu, sang profesor berkata, “Beliau ini dulu dosen saya, tapi sekarang saya jadi promotornya di S-3. Dulu dia yang selalu jadi narasumber bagi saya, sekarang saya yang jadi pemateri dan dia hanya peserta.”
Kemudian ia mengerahkan teknik terbaik yang ia tahu untuk mengoyak jantung orang dengan menggunakan mulut. Sial bagi sang profesor sebab dosennya itu dilindungi sebuah kaca tak kasatmata. Kaca yang begitu keras dan tak bisa ditembus mulutnya. Tak sedikit pun dosen itu terluka.
Kenyataan itu membuat sang profesor justru penasaran. Di sisa seminar, ia terus menggerakkan bibirnya. Menyerang dosennya dari berbagai penjuru. Bunyi “ting-ting-ting” terdengar nyaring ketika mulutnya itu bertabrakan dengan kaca pelindung dosen. Ia mulai lelah, tapi marah.
Dengan sekuat tenaga, ia melancarkan serangan penghabisan. Berharap kaca itu akan pecah dan mulutnya mampu mengoyak jantung sang dosen. Namun, apa daya. Kaca itu bergeming. Justru mulut sang profesor yang runcing dan bengkok itu jadi semakin bengkok. Karena kekeraskepalaannya, mulut itu menikam jantungnya sendiri.
JLEB.
Sang profesor terkapar dengan darah mengucur dari jantungnya. Peserta seminar panik. Beberapa pengikut setianya menuding-nuding dosen yang terlindungi oleh kaca tak kasatmata, mengatakan bahwa dosen itu pasti telah merencanakan pembunuhan. Beberapa yang lain menyatakan bahwa sang profesor telah melakukan bunuh diri terencana. Sisanya, dan jumlahnya paling banyak, hanya diam dan tak mengerti apa yang terjadi.
Sementara itu, sang profesor megap-megap kehabisan pasokan oksigen dari jantung yang telah bolong. Mulutnya masih menancap di jantung sehingga ia tak bisa berkata apa-apa. Hanya bola matanya yang selama ini kering, perlahan dihiasi embun pagi. Di detik-detik terakhir, bayangan mantan suami dan selingkuhannya melintas. Profesor itu lalu mengembus napas terakhir, lewat hidung.
Dosennya yang sejak tadi tak bereaksi menitikkan air mata saat melihat anak didiknya mati. Kaca tak kasatmata itu menghilang. Ia mendekati mayat. Orang-orang seperti tersihir dan memberikan jalan. Perlahan dicabutnya mulut mantan mahasiswanya yang masih menancap di jantung. Lalu terpampanglah sebuah bibir yang begitu merah. Sempurna. Merah yang tak ada cacatnya.
Tapi bibir itu juga begitu tajam. Tangan sang dosen terluka. Tangisnya pecah. Orang-orang terperangah.

Rizqi Turama, lahir di Palembang, 4 April 1990. Buku kumpulan cerpennya berjudul Kampus Elite Berhantu. Novelnya Sniper: Operasi Bunuh Diri. Ia mengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sriwijaya Palembang.

Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus


Cerpen Ahmad Tohari (Kompas, 04 Desember 2016)
Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus ilustrasi Putu Sutawijaya - Kompas
Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus ilustrasi Putu Sutawijaya/Kompas
Orang yang gencar memanggil-manggil saya dari warung tenda seberang jalan ternyata Jubedi. Ah, Jubedi, sudah agak lama saya tidak bertemu. Dia teman lama yang setengah abad lalu duduk bersama di bangku SMP. Saya menyeberang jalan sambil menyipitkan mata karena matahari di timur bikin silau. Jabat tangan Jubedi erat dan hangat. Sama dengan saya ternyata rambut Jubedi sudah memutih. Tetapi tidak seperti saya yang kerempeng, badan Jubedi cukup gemuk, perutnya sedikit maju. Tak ada keriput di wajahnya.
Jubedi kelihatan segar dan bersemangat. Pada jam sepuluh pagi ini kulit wajahnya tampak berkilat oleh keringat yang mengandung lemak. Matanya berair dan bibirnya merah. Agaknya Jubedi sedang menahan rasa pedas. Dia duduk menghadapi sepiring nasi berkuah santan dan semangkuk gulai yang isinya tinggal setengah. Mangkuk yang satu sudah kosong. Katanya, itu mangkuk gulai kedua yang dia makan. Tentu pedas karena banyak cabai mengambang di permukaan kuah.
Jubedi tersenyum ketika melihat wajah saya penuh pertanyaan. Saya memang mengerutkan kening.
“Jangan percaya mereka yang sok tahu,” kata Jubedi. “Seumur kita, makan gulai kambing dengan kuah santan, tidak apa-apa; tidak bikin tensi naik, atau kolesterol naik. Ah apa itu, jangan percaya. Buktinya saya ini, tetap sehat kan?”
Kemudian tanpa minta persetujuan, Jubedi menyuruh perempuan warung menyajikan hidangan yang sama buat saya.
“Ya, Bapak, ya, ya.” Perempuan warung bergerak cepat. “Pagi-pagi makan nasi hangat dengan lauk gulai kam-bhing masih panas, ya, ueeenak!”
Mulut perempuan itu tak henti melontarkan kata “kam-bhing”. Maksudnya, tentu “kambing”. Tapi amat nyata yang terucap berulang-ulang dari mulutnya adalah “kam-bhing”. Dan mengherankan juga, meskipun mulutnya terus bersuara, sajian yang dipesan Jubedi buat saya cepat datang. Jubedi mendorong hidangan itu lebih dekat ke hadapan saya.
“Badanmu kerempeng karena kukira kamu tidak suka makan gulai, …”
“Kam-bhing,” terjang perempuan warung dengan ketangkasan yang mengesankan.
Sebenarnya saya percaya kuah santan tidak baik buat orang seusia saya. Namun untuk menyenangkan Jubedi, saya akan terima tawarannya. Saya rengkuh piring nasi dan mangkuk gulai itu lebih dekat. Ada suara berdenting ketika sendok di tangan kanan saya menjentik tubir mangkuk. Kemudian dengan sendok itu saya mulai menyedu-nyedu gulai. Aroma bumbu rempah mengambang bersama uap kuah. Ah, tapi terasa ada yang kurang; aroma khas gulai kambing tidak tercium.
Karena disedu maka muncul daging cincang dan potongan tulang dari genangan kuah. Dua di antara potongan itu saya pastikan sebagai tulang iga. Ya, tulang iga. Saya lama menatapnya dan tiba-tiba tangan saya menolak begerak. Saya merasa mendadak jadi gamang. Saya yakin tulang iga dalam kuah gulai itu bukan iga kambing karena tidak pipih.
Saya teringat Ibu Rapilus, guru kami di SMP. Dari dialah saya, dan seharusnya juga Jubedi, tahu iga binatang pemakan rumput semisal kambing berbentuk pipih.
Jadi, itu pasti gulai anjing. Tetapi di sana Jubedi terus makan gulai itu dengan amat lahap. Sering terdengar suara giginya mengunyah tulang.
“Itu gulai kam-bhing muda, jadi tulangnya kecil-kecil,” perempuan warung kembali bersuara di samping saya. Dia terus bicara tapi saya tidak mendengar karena situasi yang sulit tiba-tiba menjebak; apakah Jubedi sebaiknya saya beri tahu yang sedang dia makan adalah gulai anjing? Kalau ini saya lakukan, mungkin Jubedi akan muntah sejadi-jadinya. Itu masih lumayan. Tetapi bagaimana kalau Jubedi kemudian marah kepada perempuan warung, dan mengamuk? Kalau Jubedi marah warung tenda ini bisa diobrak-abrik. Saya tahu itu wataknya sejak di SMP dulu. Ah, tidak. Saya tidak mau ada kegaduhan di pinggir jalan yang ramai ini.
Beberapa saat otak saya terasa buntu. Tetapi entahlah, dari kebuntuan itu perlahan-lahan muncul sebuah sosok. Itu sosok Ibu Rapilus.
“Kamu belum mulai makan juga? Ingin tetap kerempeng?” Jubedi bertanya. Mulutnya masih penuh nasi kuah gulai.
“Eh Jubedi, kamu masih ingat Ibu Rapilus?” Saya balik bertanya. Mendapat pertanyaan yang menyimpang, Jubedi terpana sejenak. Tampaknya dia butuh waktu untuk mengalihkan kesadaran. Tetapi kemudian jawabannya lancar berderai, tak kalah dengan nyinyir si perempuan warung.
“Ibu Rapilus guru Ilmu Hayat kita? Ya, saya tetap ingat meski beliau sudah lama meninggal. O, Ibu Guru kita yang pintar, saleh pula. Itulah, maka sungguh menyesal dulu saya pernah mengolok-olok dia. Kamu ingat itu?”
Dengan ketegangan di dalam hati, saya tersenyum. Saya kira semua teman sekelas masih ingat kekonyolan Jubedi terhadap Ibu Rapilus, dulu. Itu terjadi dalam tanya jawab di kelas antara Ibu Rapilus dan Jubedi seputar Ilmu Hayat.
“Kamu, Jubedi, tanaman padi termasuk kelompok apa?”
“Gramineae, Bu,” jawab Jubedi dengan sangat tangkas.
“Bagus, kamu pandai. Kalau kelapa?”
“Palmae, Bu.”
“Bagus juga. Lalu, tanaman kentang?
“Solanaceae.”
“Ya, kamu memang hebat. Dan pohon jambu?”
Hening. Jubedi kelihatan gelisah. Garuk-garuk kepala. Tengok kiri-kanan seperti ronggeng monyet dirubung penonton. Dia makin tidak tenang karena menyadari mata semua murid tertuju kepadanya. Ibu Rapilus meletakkan jari telunjuk di bibir untuk memberi pertanda, hanya Jubedi yang sedang ditunggu jawabannya.
“Anu, Bu.” Tiba-tiba Jubedi bisa bersuara. “Pohon jambu termasuk kelompok jambuacea.”
Hening lagi sejenak. Tapi pada detik berikut terdengar tawa meledak. Ibu Rapilus ikut terpingkal-pingkal. “Oh, kalau jambu masuk kelompok jambuacea, apakah mangga termasuk kelompok manggaceae?” Kata Ibu Rapilus masih sambil tertawa. “Jubedi, pohon jambu termasuk kelompok myrtaceae. Jangan lupa lagi, ya?” Ujar Ibu Rapilus. Jubedi mengangguk. Dia hanya bisa cengar-cengir, kali ini seperti ronggeng monyet ditabuhkan gendang.
Teringat peristiwa lucu yang sudah lama terjadi itu saya dan Jubedi tertawa panjang. Itu membuat kenangan tentang Ibu Rapilus makin hidup. Sayangnya celoteh perempuan warung terdengar lagi.
Jubedi tampak begitu jinak seperti ular habis menelan seekor tikus besar. Saya kira dia benar-benar kenyang; sepiring nasi dan dua porsi gulai anjing tentu membuat perutnya penuh. Jubedi kemudian menyalakan rokok. Dia tampak begitu santai dan setelah beberapa kali isapan rokok Jubedi menyuruh saya mulai makan.
“Atau, kamu tinggalkan hidangan itu, dan kamu akan tetap kerempeng.”
“Tunggu sebentar, duduk dulu kawan,” perintah saya. Jubedi kelihatan kurang suka namun akhirnya dia mengalah.
“Jubedi, kamu masih ingat pelajaran Ibu Rapilus tentang ciri-ciri binatang memamah biak, kambing misalnya?” Tanya saya. Jubedi duduk lagi kemudian menjawab dengan lancar.
“Berkuku belah, tidak bergigi seri di rahang atas, tetrapoda atau berkaki empat, herbivora atau pemakan tetumbuhan, bentuk tulang iganya pipih.”
Saya tersenyum tetapi berdebar karena Jubedi telah menyebut “iga pipih”.
“Tulang iganya pipih? Jadi, bentuk tulang iga pipih menjadi ciri binatang memamah biak, kambing misalnya?”
“Ya.” Jawab Jubedi dengan pasti. Saya tegang. Tangan saya gamang. Saya kembali menyedu-nyedu gulai sehingga potongan tulang-tulang iga dalam gulai itu kelihatan dengan jelas. Oh, mudah-mudahan mata Jubedi benar-benar melek untuk menyaksikan tulang-tulang iga itu yang sungguh tidak pipih. Puluhan kata berdesakan di mulut saya. Saya hampir mengucap, “Jubedi, matamu lihat ini! Bukankah ini bukan iga kambing karena tidak pipih?”
Tetapi, ya Tuhan, Jubedi tidak tanggap. Brengsek. Dia malah mengisap rokoknya lagi dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke atas, penuh kenikmatan.
“Hai teman,” tegur saya. “Kamu murid Ibu Rapilus yang jempolan. Jadi, kamu tentu masih ingat juga pelajaran Ibu Rapilus yang lain?”
“Tentang apa?”
“Tentang ciri-ciri binatang buas?”
“Ya, pasti. Ciri-ciri binatang buas, gigi bertaring, pentadactil atau berjari lima, berkuku tajam, carnivora atau pemakan daging, menyusui juga seperti binatang pemamah biak.”
Jubedi berhenti dan wajahnya kelihatan ragu. Tensi saya terasa naik. Detak jantung tambah cepat.
“Apakah tulang iga binatang buas juga pipih?” tanya saya.
“Tidak. Tulang iga binatang buas tidak pipih,” jawab Jubedi tanpa ragu.
Denyut jantung saya lebih meninggi lagi. Tangan kembali gemetar ketika saya mengulang mengaduk-aduk potongan tulang iga dalam kuah gulai. Saya sungguh berharap mata Jubedi terfokus ke sendok di tangan saya; di sana jelas ada tulang iga yang benar-benar tidak pipih. Namun, brengsek!
Untuk kali kedua saya ingin menjelaskan dengan kata-kata bahwa tulang iga yang saya tunjukkan ke depan mata Jubedi bukan iga kambing. Namun mulut saya masih terkunci. Maka saya diam. O, memang brengsek! Jubedi malah bersendawa sampai tiga kali, lalu mengulurkan tangan kepada saya, mau pulang lebih dulu. Dia bilang mau membayar semua, dan berterima kasih karena saya bersedia menemaninya makan. Pikiran saya kacau sehingga saya tak bisa bicara apa pun ketika Jubedi mengajak bersalaman.
“Wah, yak opo, Bapak yang satu ini. Bapak belum juga makan gulai kam-bhing?” Cerewet perempuan warung dari arah belakang. “Mau ditambah bawang goreng biar lebih ueeenak?”
“Tidak usah, terima kasih, Bu. Gulai ini mau saya bawa pulang. Jadi, tolong dikemas pakai kantung plastik.”
Saya keluar warung makan, berjalan dengan ingatan kepada Ibu Rapilus. O, Ibu, terima kasih. Saya terus melangkah. Niat saya, bila sudah agak jauh gulai di tangan akan saya buang. Tetapi pikiran saya berubah ketika teringat di jalan depan rumah saya sering terlihat anjing-anjing kurus berkeliaran. Gulai ini sebaiknya saya berikan kepada mereka saja. Melihat anjing makan gulai anjing mungkin menarik juga. Dan Jubedi? Itu urusan nanti. Yang penting pagi ini dia tidak muntah dan tidak mengobrak-abrik warung tenda itu.

Celurit Warisan


Cerpen Muna Masyari (Kompas, 11 Desember 2016)
Celurit Warisan ilustrasi Abshar Platisza - Kompas.jpg
Celurit Warisan ilustrasi Abshar Platisza/Kompas
Keesokan malam setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan. Celurit yang tidak terlalu melengkung dan matanya tidak mengilap, justru agak coklat seperti berkarat, itu seolah tidak sabar menanti malam eksekusi.
“Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah.” Jelasmu suatu malam, sepulang dari balai desa. Suaramu tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Kau membasuh celurit berlumur darah dengan air rendaman kertas bertuliskan huruf-huruf hijaiyah yang tidak sempat kubaca isinya.
Kuamati jemari ringkihmu ketika mengusap mata celurit tanpa takut terluka. Bayangan sebuah tangan lepas dari batang lengannya masih menyisakan getaran pada sendi lututku. Hanya sekali tebas tangan itu terdampar ke tanah. Erangan keras penuh kesakitan mengoyak sunyi malam di antara kebungkaman warga yang rapat memagar menyaksikan eksekusi untuk lelaki yang diketahui jadi maling sapi. Ia berhasil ditangkap semalam sebelumnya di perbatasan desa saat tengah menggiring paksa sapi hasil curian milik salah seorang warga desa kita.
Selesai dibasuh, kau mengelap celurit dengan kain putih, lalu membawanya ke dalam dan menggantungnya kembali di tempat biasa.
“Dengan celurit itu, keamanan desa kita cukup aman sejak dulu. Hanya orang luar yang berani macam-macam! Itu pun tidak berlangsung lama!” lanjutmu, melangkah meninggalkan kamar.
“Kenapa tidak diserahkan pada polisi saja?” kuikuti langkahmu dengan pertanyaan bernada protes.
Kau terkekeh sebentar. “Di luar sana, uang bisa membeli apa saja. Itu sebab, mengapa leluhur kita lebih mematuhi hukum yang diajari kiainya!” dengan tenang kau duduk di kursi rotan, lalu mengeluarkan selembar kulit klobot dan sejumput tembakau dari plastik keresek hitam di atas meja. Secangkir kopi tinggal ampasnya dikerubungi semut.
Benar. Turun-temurun keluarga kita dipercaya jadi kalebun (kepala desa), hukum pun kita yang menyetirnya.
***
Dua malam setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan.
Kupejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. Aroma tubuhmu serasa membaui penciumanku. Bau keringat, minyak tanah bercampur bau tembakau yang tajam dan pekat tidak pernah hilang dari kamar ini.
Kubuka mata seraya melepas napas dengan berat. Perlahan tanganku merayapi dinding, meraih gagang celurit dan meloloskan tali gantungnya dari paku.
“Celurit ini  pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur kita pada beliau,” suaramu terngiang di telingaku.
Meraba gagang celurit ini aku seperti meraba batang lenganmu yang ringkih penuh tonjolan urat namun tetap tampak kuat. Katamu, celurit ini diyakini memiliki jiwa. Matanya akan tumpul menghadapi jiwa-raga yang suci. Begitupun sebaliknya. Belum pernah ada pendosa yang selamat dari ketajamannya.
“Sukma leluhur kita menyusup ke dalamnya setelah dia meninggal,” jelasmu, seolah bisa membaca keraguan dalam benakku saat pertama kali mendengarnya.
Setiap malam Jumat manis menjelang magrib, kau tak lupa me-nyonson-nya di atas kepulan asap dupa, tepat di ambang pintu, dengan mulut komat-kamit. Menjelang wafat pun kau berwasiat agar aku selalu menjaga dan merawat celurit warisan ini, sekaligus menjaga keamanan desa kita.
Sampai kini wasiatmu masih kulaksanakan. Akan tetapi, apakah kau tahu peristiwa dua malam lalu?
“Bunuh!”
“Iya, bunuh! Dia harus dibunuh!”
“Nyawa balas nyawa!”
“Dulu Kalebun Towah (kepala desa lama) juga pernah menjatuhkan hukuman serupa! Hukuman mati bagi pembunuh!”
Malam itu lampu padam. Langit muram. Bintang dan sesabit bulan berkelindan di balik awan. Hujan terganjal sejak senja tadi. Angin berembus rendah. Hanya lampu gantung di teras yang sedikit menerangi halaman balai desa.
Aku berdiri di undakan balai desa, menatap warga yang berjejalan di halaman penuh teriakan, tuntutan. Tepat di hadapanku, cucumu membisu, tertunduk layu. Sebelah lengan bajunya robek tak karuan. Ada bercak darah di sudut bibir dan pipinya lebam-lebam. Celurit penuh darah menggantung sungsang di tangannya, hampir menyentuh tanah.
“Celurit ini  pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur kita pada beliau. Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah!” suaramu menyusup samar ke liang telingaku.
Di sebelahku, menantumu berdiri bisu. Bahunya berguncang halus. Entah sudah berapa kali ia mengusap mata dan lubang hidungnya dengan ujung baju. Sedu tangisnya tertindih riuh teriakan warga yang saling sahut.
“Kami harap Kalebun bertindak adil meskipun kali ini adalah anggota keluarga sendiri!”
“Benar! Hukum tidak boleh pandang kerabat!”
“Setuju! Ini penganiayaan karena lelaki itu tidak bersenjata!”
“Betul! Walaupun korbannya bukan warga desa kita, lelaki itu berhak mendapatkan keadilan!”
Suara-suara lantang saling timpal. Laki-perempuan.
Kulangkahkan kaki menuruni dua undakan balai. Di hadapan cucumu yang masih menunduk dalam, aku bertanya, “Apa benar kau yang membunuhnya?”
“Iya!” cucumu mengangguk sekali. Suaranya lirih.
“Kenapa? Apa kesalahan lelaki itu?”
“Dia menggoda Murtipah.”
Murtipah? Kuulang nama itu dalam hati. Aku ingat. Dua malam sebelumnya, cucumu memang minta izin untuk meminang anak perawan itu. Cucumu menyukainya.
“Menggoda?” mataku memicing.
“Tidak hanya itu. Tadi Murtipah pulang sendirian karena teman-temannya menonton tanggapan saronen. Aku sengaja mengikuti Murtipah diam-diam karena sebelumnya aku dengar lelaki itu memang selalu mengganggu Murtipah dan teman-temannya sepulang dari langgar. Ternyata benar. Lelaki itu mencegat Murtipah di tikungan jalan. Tidak sekadar menggoda, ia juga menyeret Murtipah ke balik rimbun pohon singkong milik Nom Sakrah!”
“Lalu?”
“Kami terlibat perkelahian. Kami sama-sama tidak bersenjata. Tapi dia menantang, menyuruhku mengambil celurit warisan ini karena ia tidak percaya celurit ini mampu melukainya karena dirinya sudah memiliki ilmu kebal.”
Celurit itu memang dikenal tidak hanya di desa kami. “Kau membawa celurit itu tanpa seizinku!”
“Bukankah Eppa’ sedang menghadiri undangan di rumah pengantin yang menanggap saronen?”
Dadaku serasa dipenuhi gumpalan asap tebal. Kulit wajahku seperti diusapi ulekan cabai. Sebagai kalebun, keadilan seperti apa yang harus kutegakkan? Seandainya cucumu tidak menyukai perawan itu, barangkali aku bisa memutuskan lain.
“Bagaimana ini, Pak Kalebun?”
“Kalian sudah mendengar duduk persoalannya. Anakku telah main hakim sendiri.  Itu tidak dibenarkan!”
“Lantas keadilan apa yang akan Pak Kalebun berikan?” Murakkab, lelaki yang tadi menggiring cucumu ke halaman balai desa seperti kambing hendak dikembalakan, bertanya lantang dengan muka sinis. Ada bara dendam di matanya. Barangkali karena kau pernah mengeksekusi saudaranya yang tinggal di kampung sebelah setelah kepergok jadi maling sapi di desa ini.
“Kalian sudah tahu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi! Malam Jumat nanti, datanglah kemari kalau ingin menyaksikan eksekusinya!” keputusanku membuat hadirin terbungkam. Aku tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah mereka masing-masing. Hanya wajah Murakkab yang tampak tersenyum puas karena ia berdiri di baris depan dengan kaki mengangkang.
Apakah keputusanku ini benar? Kuurut dada dengan mata terpejam setelah warga beranjak pulang dan mayat digotong untuk diantarkan ke sanak keluarganya.
Senjata akan makan tuan. Cucumu akan menghadapi eksekusi hukum mati besok malam, dengan celurit ini. Celurit yang leluhur kita wariskan.
Aku terduduk lemas ke kursi. Sedu tangis terdengar tak henti dari kamar tidurku, beradu dengan  denyit gesekan pohon bambu di belakang rumah. Sejak malam peristiwa itu, menantumu tidak memiliki pekerjaan lain kecuali menguras air mata. Ia membisu setelah sempat berdebat sengit pada malam peristiwa sepulang dari balai. Ia beranggapan keputusanku salah. Tapi cucumu menyukai perawan itu. Ia bisa saja membunuh karena terbakar api cemburu. Apakah menurutmu keputusanku keliru?
Di atas meja di depanku, ada lipatan kain kafan, buntelan kapas, daun pandan yang sudah dikerat-kerat sepanjang lima sentimenter dan diuntai dengan benang sepanjang satu meter, serbuk dupa dan parutan cendana berwadah mangkok.
Selepas isya, eksekusi akan dilakukan di halaman balai desa.
***
Tubuhku tersandar lemas ke dinding dengan pandangan tak berkedip. Ke mana celurit itu? Celurit itu raib. Padahal, baru tadi menjelang magrib aku me-nyonson-nya. Begitu selesai, celurit itu kuletakkan kembali ke tempatnya, dan kamar ini kukunci seperti biasa. Tidak mungkin ada orang menyusup masuk. Jendela pun masih tertutup rapat.
Tubuhku melorot kulai ke lantai seperti karung kosong. Tidak! Tidak mungkin. Apakah warisan itu lenyap dengan sendirinya?
Tidak ada yang tersisa. Di mata orang-orang aku sudah seperti pecundang yang lari dari medan perang. Jabatan kalebun pun tak berhak kupertahankan. Aku kalah. Mungkin seharusnya aku tidak menyuruh cucumu lari demi menghindari eksekusi yang telah kujatuhkan sendiri. Sekarang, raibnya celurit itu serasa melengkapi kekalahanku.
Maukah kau menemani kesendirianku? Tapi kenapa aroma tubuhmu di kamar ini juga lenyap?

Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura, 26 Desember 1985. Menulis cerpen dan puisi. Salah satu puisinya menjadi nomine dalam Lomba Puisi Forum Tinta Dakwah FLP Riau, dan terkumpul dalam antologi Munajat Sesayat Doa. Cerpen-cerpennya termuat di sejumlah media nasional ataupun lokal. Sedang menyelesaikan novel perdananya yang berjudul Damar Kembang. Ia bisa dihubungi melalui e-mail: masyarimuna@gmail.com

Perempuan Pencemburu

Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 18 Desember 2016)
Ilustrasi Cerpenkarya: Wahyu Wiedyardini
Perempuan Pencemburu ilustrasi Wahyu Wiedyardini/Kompas
Perempuan pencemburu itu tak pernah lengah sekejap pun mengawasi suaminya. Ia seperti memiliki seribu mata dan sejuta pikiran yang sanggup memberi laporan ke mana suaminya melangkah, di mana berada, dan apa yang dikerjakan.
“Jadi kamu ke perpustakaan di balai kota sepulang mengajar tadi?” selidiknya.
“Iya, jadi, kenapa?”
“Benar cuma ke perpustakaan?”
Laki-laki itu terperanjat, curiga. Ia mengambil tas jinjing yang biasa ia bawa ke sekolah mengajar. Dia rogoh tas kulit itu, mengacaknya beberapa kali. Tangannya terhenti ketika meraba sesuatu di antara selipan kertas tugas anak-anak. Ia keluarkan benda itu, sebuah GPS tracker. Seminggu lalu ia mendapatkan GPS di sepeda motor, kini dalam tas. Perempuan itu punya naluri cemburu sangat kuat dan begitu rinci, seperti seorang detektif bayaran memburu sasaran.
“Aku sempat ke toko buku boncengan bersama teman guru.”
“Guru perempuan kan? Iya kan, perempuan?”
Laki-laki itu beringsut, masuk kamar, merebahkan diri di dipan. Perempuan itu memburunya, berdiri di pintu. “Jujur saja kenapa sih? Perempuan kan?”
Laki-laki itu menutup kepala dengan bantal. Ia acap bingung, bagaimana akhirnya ia terperangkap dalam kurungan seorang perempuan pencemburu berat, yang bahkan melarang dia berbincang berdua dengan murid-murid wanita.
Alangkah sengsara lelaki itu, betapa sedih, perasaannya remuk dari waktu ke waktu, bertahun-tahun. Pernah ia berpikir, kehadiran seorang buah hati akan menenteramkan kecemburuan itu. Tapi penerus itu tak kunjung datang, dan kecemburuan itu terus berbiak, melilit, melahap dan melumat lelaki itu, sampai ia kurus kering, menjadi sosok teronggok tanpa daya, sungguh-sungguh tak kuasa bergerak.
Setahun pensiun ia meninggal karena radang paru-paru. Orang-orang menduga ia mati karena disergap kesepian, dikoyak sunyi karena tak lagi berdiri mengajar di depan kelas. Hanya laki-laki itu yang tahu, ia mati karena tak sanggup melawan kuasa cemburu istrinya. Bahkan perempuan itu tetap cemburu kendati jasad laki-laki itu diaben, dan abunya dibuang ke laut. Ia yakin, setelah menjadi atman suaminya akan tinggal di alam Nir, wilayah yang dihuni oleh banyak sekali roh cantik penuh kobaran gairah, siap menggoda suaminya. Untuk melacak tak mungkin ia minta tolong sama GPS tracker.
“Aku harus ke sana,” kata hati perempuan itu mendesak-desak. Tapi untuk ke Nir ia harus menjadi roh. Ia harus mati baik-baik, kalau bunuh diri atmannya akan nyasar ke mana-mana, tak bakalan sampai ke Nir. Kalau ia panjang umur, alangkah lama menunggu mati baik-baik. Bisa jadi suaminya sudah dalam pelukan perempuan lain.
Beruntung perempuan itu punya ilmu Batas Tidur, yang ia resapi di pedukuhan Astungkara, diturunkan oleh Guru Tung. Siapa pun yang menguasai aji Batas Tidur bisa memilih sendiri hari mati dengan tenang dan sentosa. Dia cukup tidur telentang, kedua tangan di samping badan, dan berusaha tetap terjaga saat-saat detik tertidur. Ketika itulah atman lepas dari badan, melayang-layang meninggalkan Bumi menuju Nir. Dia pun akan mati jika memutuskan tidak kembali ke Bumi, karena roh tak kembali ke badan. *)
Perempuan itu menjalankan aji Batas Tidur setelah suaminya meninggal sebulan. Orang-orang berujar betapa setia perempuan itu pada pasangannya, sampai-sampai mati cuma empat pekan setelah ditinggal suami. “Hanya perempuan yang sangat setia bisa menjalankan welas asih seperti itu,” komentar orang-orang disertai ratap tangis kerabat.
Hujan turun lebat ketika perempuan itu tiba di Nir. Kabut menyelinap di mana-mana di wilayah yang tak mengenal perbedaan siang dan malam itu. Perempuan itu menerobos hujan mencari-cari suaminya. Hatinya dag-dig-dug terus, disertai harap jangan sampai suaminya dalam pelukan roh perempuan lain.
Perempuan itu terus melangkah, hilir mudik, kadang ia tergopoh-gopoh mendekati sosok seperti suaminya. Hatinya semakin deg-degan, lama sekali dan sudah sangat jauh ia melangkah, tak jua berjumpa laki-laki yang meninggalkan Bumi baru sebulan lalu. Kepalanya disesaki pikiran curiga, dijejali syak wasangka.
Cemburu berputar kencang dalam dadanya bagai hendak merontokkan jantung, ketika ia melihat seorang separo baya menjinjing buku catatan. Pipi orang itu gembul, berkuncir, dengan rahang bawah terdorong ke depan dan jidat menonjol, sehingga bola matanya tampak masuk lebih dalam ke ceruknya. Ia mendekati laki-laki itu, mencakupkan tangan di dada.
“Bolehkah hamba menanyakan keberadaan seseorang?” sapanya. “Hamba baru sampai, ingin tahu keberadaan suami hamba yang datang ke Nir sebulan lalu.” Perempuan itu menyebut hari kematian suaminya, menjelaskan ciri-cirinya, penyebab kematian, untuk dicocokkan dengan catatan yang dibawa si pipi gembul.
“Wah… wah… belum sejam lalu suamimu menitis ke Bumi,” ujar si pipi gembul setelah memeriksa catatan.
Perempuan itu tercengang. “Begitu cepat? Adakah sesuatu yang mengharuskan ia menitis segera?”
“Dia roh yang baik, belum sepantasnya berada di Nir. Bumi membutuhkannya.”
“Boleh hamba tahu di mana ia menitis, jadi apa?”
“Dia akan menyempurnakan baktinya sebagai guru, di kota yang dihuni berbagai suku dan bangsa.”
“Mohon ampun hamba lancang, bolehkah hamba segera menyusul dia?”
Si pipi gembul tersenyum. “Ini demi kesetiaan atau..”
“Hamba bersumpah akan terus merawatnya, ke mana pun dia pergi.”
“Merawat atau menjaga? Karena setia atau karena cemburu?” Si pipi gembul terkekeh. Perempuan itu melengos malu, tapi ia bahagia karena diperkenankan kembali ke Bumi segera, padahal belum separo hari dia di Nir.
“Tapi, kedudukan dan martabatmu akan berbeda jauh dengan dia.”
“Tidak apa-apa, yang penting kami ditakdirkan selalu dekat dan bersama.”
Terik matahari memanggang ketika perempuan itu lahir di lereng bukit yang gersang, di tengah gubuk petani miskin. Dia meneruskan sekolah selepas SMP, bertani membantu orangtua, kemudian seorang kerabat mengajaknya ke kota, menyerahkan dia ke keluarga seorang guru yang beristri karyawan bank, untuk jadi pembantu rumah tangga, mengurus seorang anak balita. Si istri terlalu sibuk, berangkat pagi sekali dan pulang paling cepat selepas petang. Perempuan itu pun menjadi seperti ibu pengganti, mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Dan ia selalu merasa dekat dan berhasrat memiliki laki-laki guru itu. Ia cemburu jika melihat si istri bermesraan dengan suaminya. Ia sering mengintip jika lelaki guru itu duduk memangku istrinya di ruang tengah dalam cahaya remang sambil menonton televisi.
“Ibu tak baik kalau bermesraan sama Bapak,” protesnya kepada si istri suatu saat ketika mempersiapkan sarapan.
Tentu si istri heran dan merasa itu cuma guyonan belaka. “Memangnya kenapa? Kamu iri ya? Hi-hi-hi….”
Perempuan itu cemberut. “Karena tidak baik saja kalau kebetulan saya lihat,” ujarnya ketus berlalu menyeret langkah ke dapur. Dia merasa si istri menjadi penghalang untuk memiliki lelaki guru itu. Dia bertekad melenyapkannya agar dia terbebas dari cemburu. Sudah dia pilih cara paling jitu: meracun.
Kakek perempuan itu seorang dukun yang sering menolong orang desa penderita muntah darah karena diracun. Dari si kakek, ia paham bermacam jenis racun yang kasar, yang begitu diminum membuat seseorang sakit perut, terkapar muntah darah; sampai racun sangat halus, yang enam bulan baru tampak akibatnya. Korban akan digerogoti maut, kurus kering, lumpuh, mata layu kosong, napasnya kian sesak, tak kuasa bicara, mati perlahan-lahan. Kakek menyebut racun itu Cetik Lemuh, terbuat dari serbuk kuningan, dicampur buah lempeni dan abu tulang manusia, digiling halus.
Perempuan itu dengan mudah memperoleh serbuk kuningan dari bengkel kerja pembuat gamelan di Desa Tihingan. Tulang dibakar dengan mudah ia curi ketika menghadiri ngaben. Buah lempeni banyak tumbuh di kampungnya. Racun itu ia tuangkan ke dalam kopi-susu yang ia hidangkan buat perempuan karyawan bank itu setiap sarapan, dicampur setengah sendok teh madu untuk menyamarkan rasa.
“Enak banget kopi-susumu,” puji si istri sering kali. Tentu ia tak sadar setiap teguk yang ia seruput memakan ribuan darah merah dan darah putih di sekujur badan, disertai maut menggerogoti, sehingga lima bulan setelah tegukan pertama ia cuma terbaring di tempat tidur, diare tak kunjung berhenti. Tubuhnya tinggal tulang berselimut kulit. Dua bulan kemudian ia meninggal, dokter mendiagnosis ia menderita kanker pankreas.
Tentu yang paling girang adalah perempuan pembantu rumah tangga itu. Kini ia mencengkeram nasib sang guru, tapi cemburunya tetap meledak-ledak. Selalu ia bertanya penuh selidik ke mana saja si guru pergi, apa kesibukannya. Ia juga melarang sang guru berbincang berdua dengan murid-murid wanita.
Suatu hari perempuan itu bertanya, ke mana lelaki itu pergi seusai rapat guru di kantor Dinas Pendidikan.
“Jadi Bapak cuma rapat, tidak ke mana-mana setelah itu?”
“O ya ya ya, saya singgah ke Perpustakaan Kota, baca-baca.”
“Dengan siapa ke sana? Dengan guru perempuan kan?”
Laki-laki itu mengerenyitkan alis tidak mengerti mengapa ia dituduh. “Ya ya ya ada guru perempuan ikut, kami bertiga ke sana.”
“Setelah itu Bapak ke Pasar Kereneng kan, ada apa ke sana?”
Laki-laki itu semakin bingung. “Kami beli soto. Lapar.” Tentu ia tak tahu kalau sebuah GPS tracker dipasang di bagasi motornya, melacak keberadaannya. “Memangnya kenapa?”
“Tak elok saja Pak, makan bersama perempuan bukan istri, kendati sama-sama guru.”
Di alam Nir, perempuan itu menjadi perbincangan di antara para pencatat atman.
“Ganjaran apa kita berikan buat perempuan pencemburu berat seperti itu, sampai membunuh pesaing, jika ia datang lagi ke Nir?” tanya si pipi gembul kepada rekan-rekannya.
Tak ada yang menjawab, mungkin karena memang belum ada hukumnya, atau mereka sedang menimbang-nimbang penuh saksama.

*) Tentang aji Batas Tidur, baca cerpen Batas Tidur karya Gde Aryantha Soethama (Kompas, 23 Oktober 2011)

Gde Aryantha Soethama menulis puisi, cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik dengan napas kebalian yang kental. Pengalamannya menjadi wartawan, koresponden, pemimpin redaksi, ia tuangkan ke dalam buku kewartawanan Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986). Kumpulan esainya, Basa Basi Bali (2002), Bali is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004), Dari Bule Jadi Bali (2010) dan novelnya Senja di Candidasa (2002), Wanita Amerika Dibunuh di Ubud (2002), diterbitkan oleh Buku Arti. Antologi cerpennya Mandi Api menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award. Tahun 2016 menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Kompas.