Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Puisi-puisi Muhamad Arfani Budiman (Media Indonesia, 26 November 2017) Ketukan Hujan 1, Aubade 2, Variasi Doa, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Ketukan Hujan 1
bulan menghiasi dinding malam
rintik hujan mengusap perih kerinduan
sementara curamnya luka tersimpan
pada kesabaran batu-batu di ruang tamu
bayang wajahmu menyusup bersama putaran waktu
kekasih petiklah kembang-kembang doa kirimkan
pada wajah langit sehingga cinta masih bisa menyala
seperti kobaran api yang dijaga dewa puisi
2017
Aubade 2
sepanjang malam bulan remuk
dipunggung langit ledakan rindu
seperti selongsong peluru tubuhku
terpisah menjadi sebuah kekosongan
ketika luka menetes dari putaran waktu
doa-doa berlayar seperti perahu dikayuh
menuju lautan ingin rasanya mencintaimu
seperti ikan-ikan dikolam tepat ketika pagi
begitu berbahaya dan seorang gadis
menenun cinta dengan telapak tangan yang berdarah
2016
Variasi Doa
menjelang senja matahari
terbit dimatamu seolah
rindu seperti pisau yang diasah
melewati jalan-jalan berlubang
aku temukan ketabahan batu-batu
diguyur hujan sepanjang hari
seperti juga tanganmu mampu
mengusap dadaku yang lebam
oleh pusaran luka digigil cermin
bayangan wajahmu melompat
menciptakan cinta yang suci
ditaburi puisi dengan seluruh imajinasi
2016
Gerimis Luka
pada hari jumat agung
seluruh hamba-hamba
mengumpulkan doa menjadi
serpihan hujan sehingga
bumi begitu terluka menerima
rintik kesedihan yang mengalir
dari matamu matahari terbelah
pecah diwajahmu riak-riak cahaya
membentuk lingkaran waktu
sehingga aku masih mampu
membaca takdir pada telapak tanganmu
meniupkan ruh pada retakan kata-kata
2016
Kepada Waktu 2
senja mulai memasuki ruang rindu
hembusan angin meluruhkan daun-daun
menuju rebah tanah matahari terkurung
oleh kepak awan putih sementara
ledakan doa-doa berlayar menuju
samudera waktu seluruh luka
terseret menuju punggung langit
mencintaimu adalah sebuah takdir
tapi kesedihan adalah tangan tuhan
yang menurunkan sayap-sayap puisi
menuju lubang kesunyian
2016
Potret Wajahmu
:Ardisa Nadilestari
wajah malam dengan getarnya luka
tersimpan rapi bersama rintik hujan
lalu di atas tanah datar ini aku meniupkan
rindu pada irama gerimis yang ritmis
perempuan itu mengusap lebam dadaku
melipat doa-doa yang jatuh dari ranting cahaya
sehingga cinta itu seperti titik api membakar
seluruh garis-garis kesedihan yang dikendalikan sang
waktu
2017
Goresan Namamu
:Ardisa Nadilestari
doa-doa membasuh rekah
kelopak mawar pada matamu
aku menemukan sebuah jalan pulang
dimana kau menjadi rumah bagi
setiap langkah perjalanan kau tabukan
cinta menjadi sebuah ungkapan luka
dimana kau menjadi ibu bagi setiap
kata-kataku membentuk rindu
pada putaran waktu terlempar
menuju lubang kesunyian
2016
Muhamad Arfani Budiman, lahir pada 6 Januari 1989. Penyair yang bergiat di ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) UPI Bandung. Buku Puisinya Pecahan Kaca Di Jalan Lestari.
Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 November 2017) Aku Pesan Namamu ilustrasi Google
Menulismu adalah
menulismu adalah
puisi di dalam lekuk pipi
yang tiba sesaat
selepas aku malu-malu
berselancar lemas
di atas telapak tanganmu
menulismu adalah
meneguk anggur
saat dunia sedang sibuk
memilih bercuriga
kepada kamu
kepada siapa saja
yang kerap urung bertemu
menulismu adalah
menyibak cahaya
yang kerap melarikan diri
dari balik jendela rumah
dari balik dada
yang melambatkan degubnya
menulismu adalah
tanda tanya
yang tak sempat
dikirimkan
sebagai pesan dan janji
yang tak pernah kunjung matang
menulismu adalah
kalimat pertama
yang sering kita lupakan bersama
sebelum memulai merapal tanya
mana luka
mana duka
mana binar matamu
yang sederhana
Kendal, November 2017
Aku Pesan Namamu
aku pesan namamu
dalam secangkir kopi
selepas adzan tak lagi bunyi
selepas kehilangan
tiada pernah dibaca lagi
aku pesan senyummu
dalam sekental rindu
selepas segalanya
urung mengetuk pintu
lupa datang di pagi-pagi
aku pesan namamu
dalam segelas teh pahit
dalam keheningan
yang diciptakan
dari gelagat matamu
yang tak lagi wajar
mengunjungi sunyi-sunyi
aku pesan namamu
saat semua orang tahu
jika aku adalah kegagalan itu
yang memilih pulang
untuk menemukan
nama-nama baru
selain dari nama-namamu
Kendal, November 2017
– Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang ini menerbitkan buku puisi tunggal Perayaan Laut (2016), Manusia Alarm (2017), Orang-Orang Kalang (2017).
Dia meraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (44)
Cerpen Abu Rifai (Suara Merdeka, 26 November 2017) Sukarni ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Namanya tak ada di buku-buku pelajaran, tak juga di daftar pahlawan
nasional, bahkan mungkin tidak di batu nisannya. Namun hingga kini
namanya tetap harum.
Nama sederhana itu tak disertai makna indah atau gelar kehormatan.
Sukarni, itulah nama perempuan cantik berkulit kuning langsat yang
tinggal di sebuah desa kecil di Blora. Orang-orang menjuluki dia kembang
desa.
Dia tak hanya cantik, tetapi juga sopan, tak banyak bicara, penurut,
dan penyayang. Hampir semua orang di desa tergila-gila. Para lelaki
ingin meminang Sukarni menjadi istri. Mereka dari berbagai latar
belakang, menawarkan uang, tanah, perhiasan, hingga nyawa.
Tentu cuma seorang yang beruntung. Dia lelaki biasa, tidak kaya,
tidak rupawan. Namun dia tangguh, pekerja keras, dan menyayangi Sukarni
sepenuh hati. Dialah Kasdi, sahabat Sukarni sejak kecil.
Mereka pun menikah dengan mas kawin sebuah cincin tembaga. Cincin
yang Kasdi peroleh dengan keringat, cincin yang memunculkan segores
senyum Sukarni saat memakai. Walau sederhana, pernikahan mereka berjalan
khidmat.
Alam pun tampaknya merestui, sehingga kemarau berubah menjadi musim
hujan seminggu setelah mereka menikah. Tak ada hari tanpa hujan
mengguyur. Keadaan itu menyenangkan bagi Kasdi dan Sukarni. Mereka bisa
menghabiskan waktu di kamar. Setiap jengkal tanah di rumah pun menjadi
ranjang berbulan madu. Ah, betapa bahagia mereka.
Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Pada minggu ketiga
pernikahan, Kasdi pamit pergi ke kota untuk menjual hasil ladang. Dua
hari setelah kepergian Kasdi, pasukan Belanda memasuki kampung.
Para serdadu bertubuh besar itu bersenjata lengkap. Tak seorang pun
warga berani melawan. Para serdadu leluasa bertindak apa saja;
keluar-masuk rumah penduduk, tak terkecuali rumah Sukarni.
Lima orang tentara Belanda memasuki rumahnya. Mereka menjumpai
Sukarni yang gelisah. Kegelisahan itu tertangkap mata para serdadu.
Mereka senang karena itu berarti bertambah lagi pribumi yang tunduk.
Senyum mereka melebar ketika melihat wajah cantik Sukarni.
“Cantik, dia cantik,” bisik serdadu berkumis tebal kepada rekannya.
Rekannya mengangguk setuju. Dengan langkah tak sabar, mereka mendekati Sukarni.
“Kamu cantik!” ucap seorang prajurit.
Sukarni diam, gemetar.
“Kamu harus menghibur kami,” lanjut prajurit itu sambil menarik
Sukarni dari kursi. Teman-temannya membantu, lalu mereka pun memerkosa
Sukarni ganti-berganti.
Di antara tawa dan desah mereka, Sukarni menangis menggerung-gerung. Tubuh dan batinnya terluka.
“Lain kali kami ke sini lagi, Cantik! Ha-ha,” ucap seorang serdadu.
Sukarni menangis tak henti-henti. Dia menyeru-nyeru nama sang suami.
Sukarni ingin menangis di pelukan Kasdi, menceritakan kebiadaban yang
baru saja terjadi. Namun juga takut Kasdi tahu dia tak lagi suci. Pedih,
hati Sukarni pedih.
Dua hari kemudian Kasdi pulang. Awalnya Sukarni tak menceritakan soal
pemerkosaan oleh serdadu Belanda. Ia takut suaminya pergi dan dia makin
terguncang. Namun karena tak ingin terus-terusan membohongi Kasdi, dia
pun bercerita.
“Begitulah, Mas…,” lirih suara Sukarni sambil terisak-isak.
“Bajingan! Kubunuh mereka semua!” teriak Kasdi.
Lelaki itu berlari keluar rumah sambil menggenggam parang. Sukarni
mencegah, tetapi tak ia pedulikan. Kemarahan Kasdi meluap dan hanya bisa
reda bila melihat serdadu yang memerkosa sang istri mati mengenaskan.
Kasdi bisa membunuh seorang serdadu dan melukai dua orang lagi. Namun
dia tewas, tertembak kepalanya.
Kabar tewasnya Kasdi sampai ke telinga Sukarni. Perempuan itu kini
makin tak berdaya. Semua telah menghilang: kehormatan dan cinta. Batin
Sukarni memedih, jiwanya makin terguncang. Apalagi setelah kematian sang
suami, serdadu Belanda makin sering datang ke rumah.
Awalnya Sukarni pasrah. Ia kehilangan gairah hidup. Beberapa kali dia
hendak bunuh diri. Namun suatu hari, ketika mengingat kematian sang
suami, dia membuhulkan tekad untuk balas dendam.
Sukarni memikirkan cara untuk melawan serdadu Belanda. Karena tak
mungkin berkelahi, dia memanfaatkan kecantikan dan tubuhnya. Sukarni pun
makin rajin bersolek. Dia tak cuma membedaki wajah, tetapi juga
melumuri tubuh dengan racun mematikan. Dia meracik racun tak berwarna
dan tak berbau itu berdasar resep mendiang sang nenek. Jika racun itu
terjilat bakal mematikan atau setidaknya membuat sang penjilat sakit
berbulan-bulan.
Suatu malam, dia merias diri begitu anggun. Dia mengenakan kebaya
paling bagus dan parfum paling wangi. Sukarni duduk di ruang tamu,
menembang. Ketika para serdadu datang, dia membiarkan mata mereka
menelanjangi tubuhnya. Mereka, para bangsat itu, terperangkap jebakan
yang dia buat.
Rencana demi rencana pun ia lakukan. Ia kini rajin menggoda pasukan
Belanda. Dan tepat seperti rencananya, para pemuja berahi itu pun masuk
ke dalam jerat.
“Nikmati tubuhku, Setan! Nikmati! Jilat semua racun itu! Matilah kau,
matilah!” Begitulah batin Sukarni setiap serdadu Belanda menggagahi
tubuhnya. Sekarang tak ada lagi rasa sakit atau hina, yang ada hanya
desah perjuangan.
Peristiwa tempo hari agaknya jadi titik balik kehidupan Sukarni. Dulu
ia pendiam, sekarang liar. Dulu ia wanita yang pasrah, sekarang ia
melawan.
Perlahan-lahan perlawanan itu pun membuahkan hasil. Banyak serdadu
Belanda mati keracunan, sebagian sakit parah. Hari demi hari para
prajurit yang datang menyurut. Ia pun bosan, merasa kehilangan
tantangan.
Karena tak lagi banyak mangsa dan untuk menghindari penyelidikan,
Sukarni memutuskan hengkang ke pusat kota. Sekarang tujuan dia
bertambah: semula hanya membunuh pasukan Belanda, sekarang mengorek
informasi sebanyak mungkin. Sukarni kini jadi sekspionase.
Pelan-pelan dan sembunyi-sembunyi Sukarni mengajak penduduk melawan,
tentu dengan jalan berbeda. Ia membujuk para pemuda mengangkat senjata.
Ia juga membagikan sebanyak mungkin informasi dari sekspionasenya.
Sukarni barangkali memang berjuang, tetapi karena melalui jalan
asusila, selalu ada yang mencemooh. Namun Sukarni bergeming. Ia masa
bodoh. Orang-orang boleh mengangkat parang, tombak, atau bambu runcing.
Dia berhak menggunakan senjatanya sendiri.
Setelah cukup lama di kota, Sukarni berjumpa pemimpin pasukan tingkat
kota, Van Brown. Itu bukan nama asli, nama samaran entah karena alasan
apa. Ia melancarkan aksi seperti biasa. Kini dia memakai cara lebih
halus, tanpa olesan racun ke tubuh. Dia lakukan itu semata-mata untuk
mengorek sebanyak mungkin informasi dari Van Brown.
Berbekal kecantikan dan keterampilan berbahasa Belanda pasaran,
Sukarni cukup mudah menaklukkan hati Van Brown. Lebih tepatnya
menaklukkan nafsu berahi lelaki itu. Dia berhasil memperoleh banyak
informasi. Dia bagi info itu kepada rekan-rekan seperjuangan di kampung.
Setelah merasa cukup memperoleh informasi dan muak pada mulut buaya
Van Brown, Sukarni berencana membunuh dengan racun seperti dulu. Dia
berhasil! Dia puas. Menang. Namun dua hari setelah keberhasilan itu,
Sukarni ditangkap. Identitasnya sebagai pembunuh sekaligus sekspionase
terungkap.
Sukarni terciduk. Dia diborgol dan dibawa pergi entah ke mana. Sukarni lenyap, seolah-olah tak pernah ada di bumi ini.
Berbulan-bulan setelah itu, rekan-rekan seperjuangan di kampung
akhirnya tahu dia telah ditangkap dan tak mungkin bisa keluar dari
cengkeraman Belanda.
Mereka bersedih. Seorang pelawan sudah pergi dan tak akan kembali.
Untuk mengenang dan menghormati perempuan itulah mereka mengukir namanya
di hati masing-masing. Mereka menceritakan kisah patriotiknya kepada
anak-cucu.
Namanya memang tak ada di buku pelajaran, tak juga di daftar
pahlawan, bahkan juga tidak di batu nisannya. Nama sederhana itu tak
punya makna yang indah atau gelar kehormatan. Namun nama itu akan selalu
dikenang, dihormati, segenap orang. Kisahnya akan abadi. Perlawanannya
tak akan pernah mati. (44)
Sekaran, 10 Oktober 2017: 19.59
– Abu Rifai, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Fabel Heru Prasetyo (Suara Merdeka, 26 November 2017) Burung Hantu yang Ingin Tahu ilustrasi Suara Merdeka
“Kebanyakan orang takut dengan hantu karena seram, tapi tak takut padamu, burung hantu.”
Burung nuri berkata kepada burung Hantu, sahabatnya di dahan sebuah
pohon pinggir hutan pada suatu petang. Burung hantu tak menjawab. Raut
wajahnya tak berubah, tetap seram.
“Padahal nama dan wajahmu seram tapi malah banyak manusia yang menyukaimu,” lanjut burung nuri.
“O jadi selama ini mereka menyukaiku,” sahut burung hantu kaget mendengar perkataan burung nuri.
“Iya, bahkan ada yang memeliharamu,” kata burung nuri.
Mendengar itu, burung hantu tampak senang.
“Tapi apa kamu tak ingin tahu kenapa mereka menyukaimu?” tanya burung nuri.
Burung hantu terdiam. “Betul juga ya kata burung nuri,” pikir burung hantu.
“Baik, aku akan cari tahu,” jawab burung hantu. Burung nuri lalu
terbang meninggalkan burung hantu yang masih bertengger di dahan pohon.
Burung hantu bingung ke mana harus mencari tahu. Tiba-tiba terdengar suara tapi tak ada wujudnya.
“Tunggu saja malam hari. Kamu akan tahu kenapa manusia menyayangimu.”
“Kamu siapa?” tanya burung hantu ketakutan.
“O ya, aku sampai lupa. Perkenalkan, aku ini pohon tempatmu bertengger,” jawab Pohon.
Burung hantu lega mendengarnya. Karena, ia sempat mengira itu suara hantu.
“Aku harus menunggu malam, apa maksudmu?” tanya burung hantu.
“Kamu akan tahu sendiri nanti,” jawab Pohon.
Burung hantu tak bertanya lagi. Hanya terdiam hingga malam tiba.
“Sekarang saatnya cari tahu kenapa manusia menyukaimu,” kata Pohon.
“Caranya?” tanya burung hantu.
“Pergilah ke tempat manusia-manusia itu tinggal,” perintah Pohon.
***
Burung hantu menuruti. Lalu terbang menuju perkampungan manusia, tak jauh dari pinggir hutan.
Ketika sedang terbang di atas perkampungan manusia, burung hantu
melihat seekor ular masuk ke halaman belakang sebuah rumah. Naluri
berburu burung hantu muncul. Ia pun hendak menjadikan ular itu sebagai
santapan makan malam yang lezat, meski tak mudah. Ular memberi
perlawananan. Terjadilah pergumulan seru yang akhirnya dimenangi burung
hantu.
Selesai memakan ular, burung hantu melihat seekor tikus yang cukup
besar hendak masuk ke dalam rumah. Burung hantu langsung menyambarnya
tanpa banyak kesulitan. Lagi-lagi ia menjadikan tikus sebagai santapan
makan malam terlezat kedua setelah ular.
Manusia penghuni rumah keluar. Rupanya ia mendengar suara gaduh di
luar yang disebabkan pergumulan burung hantu dengan ular dan tikus.
Burung hantu yang kekenyangan sampai tak kuat terbang, hanya diam
ketika manusia itu mendekatinya. Lalu manusia menangkap burung hantu dan
kemudian membawanya masuk ke dalam rumah.
Tampak di dalam rumah seorang anak kecil senang melihat kehadiran
burung hantu. Dielusnya bulu di tubuh burung hantu sambil berseru,
“Ayah, kita pelihara burung hantunya ya.”
Manusia yang dipanggil ayah itu pun mengangguk pelan.
Kini burung hantu mengerti kenapa manusia tak takut dan justru
menyukainya. Karena mereka melihat bukan pada nama dan wajah burung
hantu yang seram, melainkan manfaat yang dihasilkannya. (58)
Puisi-puisi Thoha Muntaha (Republika, 26 November 2017) Diskriminasi, Ojo Dumeh, Hukum Alam, dan Lainnya ilustrasi Google
“DISKRIMINASI”
Marginalisasi wong cilik sering hadir menyertai libido kekuasaan
Ruang kreasinya ditekan
Pasar bebas adalah firman
Pemodal menjelma sebagai tuhan
Penguasa sekedar jongos suruhan
Hedonisme dipaksa menjadi gaya hidup
Keadilan hanya terdengar sayupsayup
Partai politik kerap menjadi mantel orang korup
Cahaya hukum makin meredup
Sementara wong cilik tetap basah kuyup.
“OJO DUMEH”
Katakan “Akulah Rupiah”
Kepada Ku kalian menyembah
Sejurus kemudian jidat menghitam bersujud pada Rupiah kuasa Alam
“Mobilku mewah, rumahku megah
Sekali lirik semua menyerah” ujar jamaah Rupiah
Namun saat terengah karena malnutrisi
Rupiah yang dipuji tak bertaji
Mereka berteriak “Mana kuasamu hai Rupiah”
Semua terlambat saat jasad berkalang tanah
“Sangkan paraning dumadi”
Bermula dari kesetiaan zat padat, cair dan urai untuk saling menyatu
Lalu bertarung, menang kemudian berenang menggapai telur bulu perindu
Sejengkal kemudian bertiup ruh kehidupan dalam mahkota hulu
Dendang mijil, kinanti, sinom, asmaradhana, hingga megatruh saling memandu
Demikianlah narasi tiap diri
Kepada Nya diri kembali
Kasih Sayang Nya senantiasa menyertai
Ilahi, Engkaulah tujuan abadi, Ridlo-Mu selalu dinanti
“HUKUM ALAM”
Sabda Alam telah sepakat
Bahwa siapa berbuat, siap pula akibat
Kreativitas dan improvisasi adalah modal
Keberanian mengeksekusi laku profesional
Melayani sepenuh hati
Adalah semangat dan ekspresi sehari-hari
Ingat…alam senantiasa tersenyum
Jika manusia santun dan taat hukum
“EKSPRESI”
Hadir menyertai manusia organ lihat, dengar dan rasa
Setia menerima lalu mengelola dan mengekspresikan ragam berita
Jadilah ia mahluk mulia
Berkomunikasi dengan banyak bahasa
Gerak tubuh dan mimik wajah
Bisa dipindai arah dlolalah atau hidayah
Mendidiknya untuk jujur
Berbuah hidup makmur
Membimbingnya untuk Taat
Menuai banyak manfaat
Wajah nan teduh
Lapang rasa tanpa keluh
Membiarkannya bergerak liar
Membuat rasa senantiasa dikejarkejar
Membalutnya dengan laku maksiat
Menuai banyak madlorot
Wajah keruh nan lusuh
Beban berat tubuh berpeluh
THOHA MUNTAHA, Pesantren Minhajut Thullab Indonesia.
Cerpen Artie Ahmad (Jawa Pos, 26 November 2017) Tarian Biyung ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosBIYUNG dan tari tak ubahnya pohon dengan akar. Biyung tanpa tariannya adalah suatu kehampaan, suatu ketidaksempurnaan.
Sejak dulu, aku selalu merasa bahwa tarian-tarian yang dibawakan
Biyung tak ubahnya sebuah kemagisan, jalan spiritualisme yang tak bisa
ditempuh semua orang. Biyung selalu menghaturkan sesuatu yang tak bisa
ditebak lewat setiap tarian yang dibawakannya. Setiap kali kedua kaki
dan tangannya bergerak selaras dalam pakem tandak, setiap kali itu pula
seakan Biyung masuk ke dimensi lain. Sebuah dimensi yang berada dalam
kotak kaca, hanya dia sendiri yang mampu memahami.
Dulu, beberapa kali aku melihat Biyung mendemonstrasikan tari bedoyo.
Dari Bapa aku tahu, bahwa tari bedoyo tak ubahnya menari dengan
kelembutan di atas awan. Tiap kali melihat Biyung mendemonstrasikan
tarian itu, terkadang aku ketakutan, khawatir jika Biyung benar-benar
akan terbang ke awan, dan lesap dalam gumpalan-gumpalan putih yang mirip
kapas. Tapi nyatanya Biyung tak pernah terbang, tak pernah lesap
ditelan awan. Malahan Bapa yang lebih dulu terbang, meng awal
burung-burung belibis terbang di antara awan. Hilang ditelan mega-mega,
mencari yang namanya suwarga.
Kematian Bapa adalah segala pusat dari segala kemuraman. Segala hal
yang dulu menyenangkan bersamanya menjadi kenangan yang menumbuhkan
bibit rindu dalam kepedihan. Kekosongan melanda seluruh penjuru rumah.
Bahkan burung beo milik Bapa yang selalu ribut setiap hari akhirnya ikut
terbang tinggi. Mati di dalam sangkarnya, tak tahan menanggung rindu
yang berkepanjangan.
Kami bertiga, anak-anaknya juga menanggung hal yang sama. Bagiku
sendiri, kepergian Bapa adalah kemalangan yang belum siap aku jalani.
Kepergiannya yang begitu cepat mengguncang jiwaku yang kala itu masih
sangat muda. Betapa kematian menjadi momok yang sangat menakutkan. Tak
pernah aku ba yangkan bahwa aku akan kehilangan Bapa secepat itu. Kedua
kakakku pun merasakan hal serupa. Keduanya juga sama tak siapnya
kehilangan Bapa seperti diriku.
“Kematian adalah awal dari kehidupan yang kekal. Bapa kalian akan
lebih baik, dia tak perlu menyandang sakit lagi,” suara Biyung terdengar
jernih di telingaku.
“Tapi, kenapa kematian datang sedemikian cepat, Biyung? Kita belum
puas diasuh Bapa. Masih ingin berlama-lama bersamanya,” kakakku Nastiti
berkata perlahan, air matanya jatuh berlinangan.
“Ya, kita belum puas diasuh Bapa. Seharusnya bertahun-tahun lagi Bapa pergi!” Wikan, kakak sulungku itu menyela.
Aku hanya terdiam. Bagiku kematian adalah hal aneh. Kematian tak ubahnya hal purba, sulit dipahami akan tetapi ada.
“Semakin kalian menyukai sesuatu dengan sangat, maka Gusti tidak akan
berlama-lama untuk mengambilnya kembali. Semua yang hidup akan mati,
tak terkecuali Bapa kalian.”
Suara Biyung sangatlah tegar. Meski pada kenyataannya, kepedihan
lantaran kehilangan Bapa berkali-kali lebih menyakitkan bagi dirinya.
Terlihat benar dari dua bola mata Biyung yang kerap basah setelah
kepergian Bapa. Demi menghalau rasa galau dan resah di hatinya, Biyung
menenggelamkan dirinya dalam gerakan-gerakan tarian. Hidupnya kembali
dihiasi pakem-pakem gerak tari dan segala bunyi gamelan yang mengiringi
tandak-tandakan yang dihaturkan Biyung di hadapan para murid-muridnya.
Tari tak hanya menghaturkan gerak gemulai lenggak-lenggoknya badan,
melainkan sebuah jalan spiritualitas.
Begitulah yang diucapkan Biyung kepada para muridnya, ketika mereka
bertatap muka. Perlahan, kesepian Biyung lantaran kehilangan Bapa
terkikis, meski nyatanya kehilangan jauh lebih besar menanti Biyung di
kelokan jalan hidupnya. Kehilangan kami anak-anaknya, yang bisa
dipandang, didengar suaranya, namun tak bisa disentuhnya dengan leluasa
ketika kami bertiga beranjak dewasa.
***
SUDAH hampir satu jam Biyung mengamati foto
keluarga. Kenangan lima manusia dalam bingkai kaca yang tergantung di
dinding ruang keluarga. Ruang keluarga yang dulu selalu semarak dengan
kebersamaan, kini sangat terasa senyap. Dulu, kami berlima seringkali
menghabiskan waktu di sana. Biyung akan mendemonstrasikan sebuah tarian,
Bapa akan bersemangat memberi pujian dalam nada riuh rendah.
“Kapan kakak-kakakmu pulang?” suara Biyung terdengar.
Aku mengangkat kepala, perlahan aku menatap Biyung.
“Entah, mungkin Minggu depan.”
“Beberapa waktu lalu mereka bilang akan pulang hari Sabtu kemarin.
Tapi nyatanya tak pulang. Sebenarnya mereka masih mau bertemu Biyung
atau tidak?” pertanyaan yang keluar dari bibir Biyung tak bisa kujawab.
Sudah beberapa tahun belakangan kedua kakakku hidup memisahkan diri
dari kami. Si sulung Wikan memilih pekerjaan di tengah laut lepas,
menjadi insinyur di perusahaan pengeboran minyak. Sejak gagal dalam
pernikahannya, Wikan seakan ingin lenyap dari riuhnya dunia.
Kakakku Nastiti memilih jalan sebagai peneliti. Menikah dengan teman
kuliahnya dan sangat menggemari penelitian-penelitian keluar negeri.
Tinggalah aku sendiri di rumah, menemani Biyung yang masih menekuni
dunia tari.
Aku dan Biyung kembali terperangkap dalam sepi. Tak ada lagi suara
dari kami untuk se kadar bercakap-cakap guna berbasa-basi. Aku terjebak
dalam pikiranku sendiri. Duniaku yang sekarang jauh lebih rumit
ketimbang duniaku yang lama. Pekerjaan, meneruskan tingkat pendidikan,
asmara, melebur menjadi satu, berubah menjadi polemik bagi diriku
sendiri.
Biyung kembali ke dunia tari. Dunia spiritualitas yang tak dimiliki
banyak orang. Lemparan sampur, gerak dalam pakem tandak diiringi suara
gamelan masih selalu tampak selaras dibawakannya. Nyata, meski dicekik
segala macam rindu dan kesepian, Biyung masih prima dalam menari.
Kemampuannya belum luntur meski usianya selalu bertambah, bahkan senja
usianya sudah lama terlewat.
Kini, ruang keluarga adalah tempat paling sunyi bagi Biyung. Rindu
seakan selalu menampar-nampar dirinya tiap kali duduk sendirian
memandang foto keluarga yang tergantung di dinding. Aku sendiri tak bisa
banyak membantu, menyelamatkan Biyung dari racun kesunyiannya.
***
AKU melihat Biyung menari di ruang keluarga.
Sampurnya berwarna biru. Suara gending dari gamelan terdengar. Aku
mengintip dari balik pintu kamar. Semakin lama, langkah kaki Biyung
seakan terlihat begitu ringan. Perlahan tubuh Biyung melayang. Aku
tergagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Biyung masih menari
meski kini badannya terbang. Biyung terbang melayang-layang, nyaris
menyentuh langit-langit, tapi kemudian tubuhnya menerobos pintu yang
terbuka. Biyung terbang melayang tinggi, menuju langit. Melihat Biyung
terbang, aku pun ikut terbang. Aku turut melayang-layang. Biyung masih
menari mesti kini berada di balik awan.
Aku memanggil-manggil namanya, namun sepertinya Biyung tak mendengar.
Lalu dari balik awan yang mirip kapas menggumpal, tiba-tiba muncul
Bapa. Wajah Bapa sangat semringah, dari bibirnya terdengar tembang Asmaradana. Keduanya bertayub di atas mega-mega.
Aku masih memanggil-manggil Biyung, memintanya kembali bersamaku di
rumah. Tapi nyatanya Biyung tak mendengar. Aku mencoba terbang mendekati
mereka, tapi mendadak tubuhku kaku. Aku kehilangan kemampuan terbangku.
Badanku lunglai, jatuh ke bumi dan menghantam tanah dengan keras.
Aku terperanjat. Mataku membelalak memandangi langit-langit kamar.
Suara benda jatuh itu seakan nyata di telingaku. Lalu suara erangan
pendek itu terdengar. Aku segera bangun, setengah berlari menuju kamar
Biyung. Di dalam kamar aku melihat Biyung terkulai di atas lantai.
Matanya setengah terpejam, napasnya memburu. Dengan cepat aku memapah
tubuh Biyung kembali ke ranjang. Ambulans segera aku telepon untuk
menjemput kami. Malam itu, aku seakan bermain dadu nasib, ketika
berlari-lari di samping brankar yang membawa tubuh Biyung ke UGD.
Tarian Biyung di balik-balik mega-mega yang menjadi kembang tidurku
tadi tak ubahnya menjadi momok yang menakutkan. Gambaran ba gaimana Bapa
yang kasmaran bermain di kelopak mata. Aku mengejap-ejapkan mata, bukan
mengusir kantuk yang datang, melainkan untuk menghapus bayangan Bapa
dan Biyung yang sedang asyik bertayub di balik awan. Bahwa bagiku, mimpi
bukan hanya sekadar kembang tidur, melainkan sebuah perlambang. Entah
perlambang tentang keelokan atau hal sebaliknya, sebuah kemalangan.
Malam itu Biyung kehilangan kesadaran. Para medis berusaha
mempertahankan nyawa Biyung yang berada di ujung tanduk. Dengan hati
patah aku menelepon kedua kakakku. Suara di seberang terdengar
putus-putus. Aku berusaha menyampaikan kabar lara itu seterang mungkin.
Suara Wikan terdengar gugup, dan dia berjanji akan segera datang esok.
Nastiti beda lagi, dia memekik tertahan, lalu terisak. Secepatnya dia
mengusahakan kepulangannya.
“Segera kemari, tengoklah Biyung. Jangan sampai terlambat.” Dadaku terasa sesak ketika menyampaikan kalimat itu.
Setelahnya aku merasa hampa. Di ruang tunggu rumah sakit yang senyap,
aku hanya merasakan penyesalan, kenapa kemarin-kemarin aku tak bisa
membantu menyelamatkan Biyung dari kesepian. Seorang penari seperti
Biyung yang selalu dikelilingi murid-murid tarinya dan hentakan-hentakan
suara gamelan, bukan berarti tidak bisa disekap kesepian. Mungkin,
penyesalan itu nantinya juga akan mendera kedua kakakku.
Tiba-tiba suara Bapa seolah-olah terdengar di telingaku. Tembang macapat Maskumambang terdengar: Kelik, kelik, biyung sira ana ngendi. Sambat welas arsa. Awakku kecemplung warih. Gelagepan wis meh pejah… (Nak, Nak, ibumu ada di mana. Memohon belas kasih pemilik hidup. Badanku masuk ke dalam air. Sulit bernapas hampir mati…)
Suara Bapa yang mendengung di telingaku tak ubahnya halusinasi. Tapi
lepas mendengar tembang macapat itu, aku menangis tersedu. Belum siap
aku melihat Biyung menari di atas awan. Belum siap aku melihat Biyung
menari hanya di dalam mimpi. ***
Catatan:
Bapa = Bapak
Biyung = Ibu
ARTIE AHMAD lahir di Salatiga, 21 November 1994. Beberapa cerpennya terhimpun di beberapa buku antologi. Dua novelnya terbit tahun lalu.