Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Kedung Darma Romansha (Kedaulatan Rakyat, 03 Desember 2017) Kitab ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
KAMU kenal dengan Kang Sodikin? Dia adalah putra Kiai Soleh yang
paling disegani santri dan masyarakat desa Rajasinga. Selain orangnya
pendiam, dengar-dengar ia sering menghilang.
Kang Sodikin memang selalu hati-hati jika bicara soal perempuan, dan
itu kerap dikatakannya jika ada pengajian umum yang bertempat di masjid
Al-Iman setiap Jumat sore. “Perempuan itu tiangnya negara! Tiangnya
agama. Kalau perempuannya rusak, negara juga ikut rusak. Camkan itu!”
begitu katanya.
***
Kemudian pada hari entah kapan, sekitar pukul satu dini hari. Seperti
malam-malam sebelumnya, kebanyakan orang menghabiskan malamnya di
warung kopi sambil bermain catur.
“Punten, Mang, rumahnya Kang Sodikin di mana, ya?” tanya seorang
perempuan yang tiba-tiba saja mengejutkan mereka yang sedang khusuk
bermain catur.
“Depan, kanan jalan, ada gang, terus belok, setelah itu lurus terus.
Rumahnya warna putih, di depannya ada pohon mangga,” jawab salah seorang
dari mereka dengan malas.
Perempuan itu meneruskan langkahnya menuju rumah Kang Sodikin.
Sementara mereka saling berbisik sambil terus memandangi perempuan
misterius itu.
“Bakal ada kabar hangat nih,” celetuk seorang dari mereka.
“Mukanya kok mirip penyanyi dangdut, ya?” Seloroh yang lain.
Isu tentang Kang Sodikin yang didatangi perempuan di malam buta
menjalar ke tempat-tempat yang tak terduga. Misalnya warung
remang-remang, dan telembuk-telembuk membicarakannya seperti orang yang
sudah dikenal lama. Tapi yang paling menghebohkan dari itu semua yaitu
di pondok pesantren sendiri, terutama santri putri.
“Heh, itu yang datang ke rumah Kang Sodikin pacarnya kali, ya? Atau jangan-jangan itu istrinya? Patah hati aku.”
“Tapi mengapa mesti malam? Kan siang bisa?”
“Atau mungkin Kang Sodikin malu kalau ternyata dia sudah menikah.”
“Mengapa harus malu, jika terus terang, pasti tidak akan timbul fitnah.”
“Heh! Masa kalian lupa, Alhayaa’u minal iman (malu itu bagian dari iman).”
“Heh! Naruh hadist itu harus pada konteksnya. Sembarangan!” Paginya,
tiba-tiba saja desa Rajasinga gempar. Bermula dari suara teriakan dari
salah satu warga desa. Dorman, namanya. Orang kampung menjulukinya si
mulut besar. Karena mulut besarnya, warga beramai-ramai mendatangi
tempat kediaman Kang Sodikin. Sambil mengacung-acungkan lengannya Dorman
berkata, “Kita semua di sini tentu tahu tujuan kita, meminta
pertanggungjawaban Kang Sodikin atas apa yang dia perbuat malam kemarin
dengan perempuan itu!”
“Siapa yang mengatakan saya telah menggelapkan perempuan di malam
hari?” Ujar Kang Sodikin yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya.
Suaranya tenang dan dingin.
“Saya!” Kata seorang yang muncul dari kerumunan.
“Saya melihat ada seorang perempuan bertanya pada malam hari tentang
rumah sampean. Perempuan itu seperti bukan perempuan baik-baik,”
lanjutnya.
“Ya! Tapi apa kalian tahu siapa perempuan itu?”
“Justru karena tidak tahulah kami mencoba ingin tahu,” tukas Dorman.
“Mencoba ingin tahu dengan cara memfitnah?!”
Semua warga desa terdiam. Kata terakhir itu memang sakti, Ting.
Karenanya kata ini sering digunakan untuk berbohong. Contohnya kamu ini.
Hehehe…
“Tapi kami ingin tahu siapa perempuan itu, Kang? Bukannya membalikkan pertanyaan.”
“Perempuan itu ibu saya.”
“Tapi ibu sampean sudah meninggal duapuluh tahun yang lalu,” kata salah satu warga Desa.
“Itulah yang perlu kalian ketahui. Dia datang hendak memberikan sebuah kitab pada saya.”
Kembali warga desa pun terdiam mendengar jawaban Kang Sodikin yang
misterius itu. Memang sebagian besar warga desa Rajasinga masih percaya
dengan hal-hal tahayul, itu sebabnya warga desa mulai percaya dengan apa
yang dikatakan Kang Sodikin. Takut kualat. Sementara Dorman sendiri
bersungut-sungut sambil meninggalkan kerumunan, yang kemudian diikuti
warga yang lain.
Nah, keesokan harinya, Kang Sodikin sowan ke ayahandanya.
“Kin, apa benar kemarin kamu bilang ke warga bahwa perempuan yang datang kerumahmu itu ibumu?” Tanya Kiai Soleh.
“Iya, Bah. Semua itu saya lakukan untuk menghindari fitnah.”
“Lalu siapa?”
“Ia mengaku namanya Safitri. Saya tidak kenal dengannya. Dia hanya memberikan kitab ini dan langsung pergi. Hanya itu.”
Ia menunjukkan kitab itu dan memberikannya pada Kiai Soleh. Kiai
Soleh membuka kitab itu, mengamatinya dengan seksama, dan membuka lembar
demi lembarnya. Tapi kemudian tiba-tiba airmata Kiai Soleh menetes. Ia
menutub kitabnya. Sebenarnya apa yang ditemukan Kiai Soleh dalam kitab
itu? Kang Sodikin sendiri tidak menemukan apa-apa di kitab itu selain
sholawat.
“Ini kitab kepunyaan ibumu,” ujar Kiai Soleh sambil mengusap airmatanya. q- g
Cerpen Annisa Farid (Pikiran Rakyat, 03 Desember 2017) Sudut Keheningan ilustrasi Fahrul Satria Nugraha/Pikiran Rakyat
HARI itu Senin, tidak ada yang spesial. Adi berangkat ke sekolah
persis pukul enam pagi setelah sarapan nasi putih dan telur mata sapi.
Dasi biru tua sudah rapi membelit lehernya, pun rambut yang baru dicukur
kemarin sore masih menyisakan rasa gatal di tengkuknya.
SENIN itu biasa saja, Adi siap upacara dan di saku kanannya, ada tiga
lembar uang pecahan lima ribuan. Adi bukan anak orang kaya, bukan anak
orang miskin juga. Uang jajannya sehari lima belas ribu rupiah, cukuplah
untuk anak kelas dua SMP yang tiap hari berangkat dan pulang naik
angkot.
Dalam sehari, Adi menghabiskan separuh uang jajannya untuk ongkos
naik angkot, tiga ribu rupiah untuk pergi, empat ribu rupiah untuk
pulang; seribu rupiah lebih mahal karena jalannya memutar. Separuh
uangnya lagi, ia pergunakan untuk makan siang, jika bersisa, jadi jatah
celengan ayamnya yang kian memberat.
Jarum jam telah menunjukkan pukul enam lewat tujuh, Adi menunggu
angkot di tepi jalan bersama beberapa bocah SD yang wajahnya cemong
dengan bedak “bayi”. Seorang ibu gendut yang membawa tas belanja penuh
dengan sayur mayur dan ceker ayam juga terlihat menunggu angkot yang
sama. Adi sudah hapal betul wajah-wajah itu, Senin yang sangat
biasa—tidak ada bedanya dengan hari lainnya. Adi sesekali merapikan
kerah baju dan dasinya. Ingin terlihat keren di hadapan anak-anak SD
cemong itu.
Pukul enam lewat sepuluh, angkot Cimahi-Padalarang yang ditunggu
tiba. Bangkunya sudah separuh terisi. Kebanyakan anak sebaya Adi,
sama-sama berseragam putih-biru. Tidak perlu dikomando, bocah-bocah
cemong itu berebutan masuk ke dalam angkot. Disusul ibu gendut dengan
tas besarnya. Adi naik belakangan.
Angkot berwarna oranye itu berjalan perlahan, suaranya menderu-deru,
protes dengan beban yang kelewatan. Bapak sopir memutar lagu keroncong
sambil sesekali meneriaki orang yang berdiri di pinggir jalan, “Plarang,
Neng!” dan disambut dengan gelengan kepala.
Senin itu benar-benar biasa saja. Adi seangkot dengan wajah-wajah
yang akrab dengan kesehariannya, meskipun tak satupun nama yang ia tahu.
Siapa juga yang ingin mengobrol di tengah angkot sesak dengan orang
asing?
Adi menghabiskan waktu perjalanan sambil bersenandung kecil. Sampai
akhirnya gerbang sekolah Adi terlihat di ujung jalan. Dengan sigap Adi
merogoh saku kanannya, hendak mengambil lembar lima ribuan pertamanya.
Adi kaget bukan main ketika menyadari yang dia rasakan dalam saku adalah
kulit pahanya sendiri. Adi kaget bukan main, “Sejak kapan?!” rutuknya.
Adi mulai panik dan menyusun berbagai skenario untuk bebas dari jeratan ini.
Skenario pertama: Adi akan memanfaatkan posisinya yang tepat berada
di sebelah pintu. Maka ia akan lompat begitu saja ketika angkot melintas
di depan sekolahnya.
Adi akan melompat dengan begitu gesit sehingga tidak ada satu manusia
pun yang menyadari lompatannya. Kemudian, begitu sepatu hitamnya
menginjak tanah, Adi akan berlari menuju kerumunan siswa lainnya dan
menjadikan Senin itu kembali seperti biasa.
“Ah, tidak! Terlalu riskan! Ini Senin pagi, dan terlalu banyak orang
di gerbang sekolah! Kalau gagal, seluruh manusia, bahkan satpam dan guru
piket akan dengan mudah meringkus dan menghukumku!” bisik Adi dalam
hati. Maka ia memikirkan skenario berikutnya.
Skenario kedua: Adi akan melemparkan tetapan maut pada bocah-bocah SD
yang duduk di depannya. Menghentikan pembicaraan bodoh mereka tentang
tokoh kartun yang paling jagoan, dan melancarkan ancaman yang akan
menolongnya keluar dari angkot itu. Adi akan meminta masing-masing
seribu rupiah pada mereka kemudian membayar angkot seperti biasa.
“Duh, mikir apa sih, Di? Mau malak anak SD?! Apa kate ibumu
nanti? Bagaimana jika anak-anak ini melapor pada guru dan orang tua
mereka? Kamu lupa anak-anak ini selalu kautemui di ujung gang tiap pagi?
Akan sangat mudah bagi mereka untuk melacakmu!” ujar Adi pada dirinya,
mengutuk skenario keduanya. Tanpa Adi sadari, gerbang sekolahnya telah
terlewat Adi memikirkan skenario ketiganya, yang sepertinya lebih masuk
akal.
Skenario ketiga: Adi akan bermanis pada ibu gendut dengan tas
belanjanya. Adi akan berceloteh tentang hujan semalam dan betapa cerah
pagi ini, kemudian ketika ibu itu luluh, Adi akan meminta uang pada sang
ibu, bilang bahwa saku celananya bolong dan ia hampir terlambat ikut
upacara. Ibu itu pasti akan dengan baik hati memberikannya ongkos
angkot.
Sial, sebelum Adi sempat mencoba skenarionya, terdengar suara yang tidak ia harapkan.
“Kiri, mang!” seru ibu gendut, Adi terhimpit oleh tas belanjaan si
ibu, wajahnya tersapu beberapa helai kangkung. Adi kesal bukan kepalang.
Terlebih ketika menyadari sekolahnya telah terlewat cukup jauh.
Tak lama kemudian, tiga bocah cemong itu juga berseru, “kiri!” dan
berebutan keluar angkot. Tangan-tengan kecil mereka mengulurkan uang
ongkos. Adi kesal sekali! Bahkan anak SD saja memiliki uang lebih banyak
darinya!
Sementara penumpang demi penumpang turun dan menyisakan Adi dan
seorang bapak paruh baya di dalam angkot. Sekolahnya sudah terlewat
jauh, dan Adi mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk jujur pada bapak
di depannya dan meminta barang tiga ribu rupiah untuk ongkos angkotnya.
“Pak,” baru saja suara parau itu meluncur dari mulut Adi, si bapak sudah mendahului.
“Kiri!” penumpang terakhir di angkot itu turun, Adi tahu betul
setelah belokan di depan, angkot berwarna oranye terang ini akan
mencapai titik terakhir di trayeknya.
Pukul tujuh tepat, upacara seharusnya sudah dimulai setengah jam yang lalu dan belokan terakhir sudah terlihat di depan mata.
Sedangkan Adi? Ia mencicit kaku di tempat yang (ia kira) tidak dapat dijangkau sopir angkotnya.
Ternyata Senin itu bukan Senin biasa bagi Adi. Hari itu spesial. **
Cerpen Zainul Muttaqin (Tribun Jabar, 03 Desember 2017) Sebutir Peluru dalam Salat ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
PERKARA mengapa Kiai Bintara ikhlas mati oleh sebutir peluru tentara
Belanda tidak dilupakan orang sampai saat ini. Tidak ada seorang pun
tahu pasti, apa alasan pemimpin Barisan Sabilillah itu membocorkan
kelemahannya sendiri, bahwa kematiannya hanya bisa dijemput pada saat
sedang mengerjakan salat, itu pun harus permintaannya sendiri.
Peristiwa itu terjadi puluhan tahun silam. Pada penghujung Desember
1947 yang panas selepas magrib, Kiai Bintara didatangi segerombolan
tentara Belanda. Mereka mengajak Kiai menaiki mobil menuju arah utara,
ke sebuah lapangan Kemisan. Tidak percaya akan omongan tentara itu yang
menyatakan penjemputan Kiai untuk melakukan perundingan damai, maka
diam-diam para santri membuntuti dari belakang. Khawatir Kiai Bintara
dibunuh secara keji, sebab tentara itu tak punya cara lembut untuk
memperkenalkan kematian.
Mestinya tentara Belanda itu sudah wajib angkat kaki dari tanah
Madura, karena Indonesia telah berdaulat atas tanah sendiri. Kemerdekaan
sudah diakui oleh para penjajah. Untuk itulah, Kiai Bintara menghimpun
kekuatan secara diam-diam. Ia mengajari santri-santrinya mengaji
sekaligus dengan sembunyi-sembunyi mengajari mereka olah kanuragan,
berlatih perang guna mengusir tentara Belanda yang tetap bertahan di
berbagai pelosok di Madura.
Dalam sebuah pengajian di langgar, lampu teplok bergoyang-goyang
bertahan dari tiupan angin. Kiai Bintara mengajari santrinya mengaji
dengan cara sorogan. Mereka mengaji secara bergiliran. Hafal Alquran di
luar kepala membuat matanya terpejam setiap kali membetulkan bacaan
tajwid atau maahkrijul huruf yang salah dilafalkan oleh santrinya.
“Wajib kita mengusir penjajah, apa pun risikonya. Apa kalian siap
mati membela Tanah Air?” Pertanyaan itu dilonlarkan Kiai Bintara setelah
selesai mengaji. Lirih Kiai, yang melilitkan serban di kepalanya itu,
bicara, takut ada mata-mata tentara Belanda mengintai dari luar bilik
langgar.
“Apa ini termasuk juga membela agama, Kiai?” Salah seorang santri
bertanya, mengerutkan kening, bingung. Kiai Bintara mengambil napas
dalam-dalam, memandang santri itu dengan sebaris senyum.
“Siapa pun yang mati melawan penjajah, maka syahid matinya orang
tersebut. Insya Allah pahalanya surga,” tegas Kiai Bintara dengan
binar-binar di matanya. Santri itu mengangguk-anggukkan kepala.
Terdengar derap-derap kaki mcncurigakan di luar langgar, rentang
lampu teplok memantulkan bayangan tiga orang lelaki memegang senapan
berjalan gontai, mondar- mandir di luar dengan gerak siaga. Keberadaan
Kiai Bintara dianggap membahayakan bagi tentara Belanda sampai mereka
terus mengawasi gerak-gerik Kiai, masuk ke dalam pesantren diam-diam.
“Apa yang mesti kami lakukan, Kiai?” Tak lebih seperti suara bisik begitu santri itu bertanya pada Kiai Bintara.
“Perang!” Hanya kata itu yang didengar para santri. Pelan Kiai Bintara berujar.
Nyai Mariyah berjalan terpincang-pincang menemui suaminya di dalam
langgar. Terengah-engah ia menahan napasnya yang megap-megap. Bulan
tenggelam sepenuhnva ke dalam pelukan awan. Wajahnya seperti selembar
kain kafan.
“Tentara-tentara Belanda ada di mana-mana. Mereka mengawasi kita.”
Setelah lama ditunggu, ucapan itu keluar dari mulut Nyai Mariyah di
antara tarikan napasnya yang berat. Dalam sekejap suasana di dalam
langgar jadi hening. Tidak ada suara apa pun, saling pandang satu sama
lain, dan hanya terdengar suara naluri masing-masing.
“Kematian hanya Allah yang menentukan,” ucap Kiai Bintara. Kemudian
ia meminta istrinya untuk kembali masuk ke rumah, tak perlu khawatir
akan keselamatan Kiai Bintara. Nyai Mariyah tentu cemas, sebab ia tahu
satu-satunya orang yang diincar tentara Belanda ialah suaminya.
Semakin hari santri Kiai Bintara kian bertambah saja, selain menimba
ilmu juga ingin turut serta mengusir penjajah yang belum juga angkat
kaki, kemasyhuran Kiai Bintara sampai ke setiap pelosok desa, dikabarkan
melalui mulut ke mulut, bahwa Kiai Bintara membutuhkan orang siap mati
di medan perang, mati melawan tentara Belanda yang meresahkan
keberadaannya, membawa ketakutan di setiap rumah penduduk.
Latihan bela diri selalu dilakukan tengah malam. Kiai Bintara sendiri
yang mengajarkan cara memukul dengan tenaga dalam. Gelagat penyusunan
strategi perang tidak terlalu kentara, seolah-olah Kiai Bintara hanya
mengajar mengaji para santri. Sekalipun begitu, sikap awas tentara
Belanda diperhitungkan matang-matang, takut tiba-tiba Kiai Bintara
bersama para santrinya menyerang markas mereka, yang berada di Desa
Bragung.
Jika dipikir-pikir secara akal, tidak mungkin Barisan Sabilillah yang
dipimpin Kiai Bintara menang melawan penjajah, karena mereka tidak
memiliki senjata apa pun, selain doa dan tawakal kepada Allah. Para
santri itu terlatih di bawah tempias cahaya bulan malam hari, dekat
langgar, di balik rimbun semak-semak.
“Apa pun bisa terjadi jika Allah mengizinkan,” kata Kiai Bintara,
berdiri di tengah-tengah para santri. Tentu saja mendengar perkataan
semacam itu dari Kiai Bintara semakin membuat jiwa mereka bergelora,
siap perang malam itu juga.
Belum juga ketua Barisan Sabilillah, Kiai Bintara, memerintahkan
menyerbu markas penjajah hingga berbulan-bulan sejak latihan kanuragan
dilakukan. Malah ia mulai jarang mengadakan latihan sebagaimana
biasanya, tanpa ada santri yang tahu alasan apa yang membuat Kiai
Bintara seakan enggan melawan tentara Belanda itu.
Kini ia hanya memusatkan perhatiannya pada pengajian Alquran di dalam
langgar. Mulut Kiai Bintara bergetar, dengan wajah dibalur cemas,
pikiran bercabang-cabang membuat para santri yang sedang mengaji
menduga-duga telah terjadi sesuatu dengan kiai mereka. Tidak seorang pun
santri menanyakan apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi, terkunci
rapat mulut mereka, sungkan bertanya kepada Kiai Bintara.
Sekalipun tidak lagi Kiai Bintara melatih Barisan Sabilillah, para
santri itu tetap giat berlalih dalam gelap malam dini hari. Mereka
percaya, sewaktu-waktu tentara Belanda akan datang membakar langgar
sebagaimana terjadi lima tahun lalu, sebelum Indonesia merdeka. Tak
boleh lengah. Harus siap kapan pun tentara-tentara tak berotak itu
menyerang. Untuk itulah, para santri lerus-terusan berlatih meskipun
tanpa Kiai Bintara.
Akan tetapi, keganjilan yang dirasakan para santri mengenai perubahan
sikap Kiai Bintara terjawab selepas magrib, di pengujung Desember kala
itu. Para santri dikagetkan oleh teriakan Nyai Mariyah, disusul letusan
senapan berkali-kali berasal dari kediaman Kiai Bintara. Jangan-jangan
Kiai Bintara sudah dibunuh, pikiran buruk beranak-pinak dalam setiap
tempurung kepala para santri, yang tergopoh-gopoh, berlari menuju
kediaman Kiai Bintara.
Tidak ditemukan Kiai Bintara di sana, kecuali Nyai Mariyah sedang
menangis, dengan tangan menggapai udara. Rupa-rupanya, Kiai Bintara baru
saja dibawa tiga orang tentara Belanda. Para santri, Barisan Sabilillah
pimpinan Kiai Bintara, bersiap merebut kembali suami Nyai Mariyah,
tetapi tak diizinkan oleh Nyai Mariyah dengan alasan sebagaimana pesan
suaminya, “Tahan para santri agar tidak menyerang. Saya tak ingin banyak
korban. Cukup saya saja.”
Tak ada cara lain untuk menyelamatkan para santri, juga para
penduduk, dari ancaman tentara Belanda, kecuali Kiai Bintara menyerahkan
diri. Tidak hanya itu, Kiai Bintara melakukan itu semata karena janji
para tentara Beianda untuk hengkang dari Madura jika pimpinan Barisan
Sabilillah itu bersedia mati di tangan mereka. Nyai Mariyah mengetahui
kesepakatan itu setelah mencuri perbincangan suaminya dengan tiga
tentara Belanda itu di ruang tamu. Tangis Nyai Mariyah pecah, air
matanya terurai di kedua pipinya saat Kiai Bintara dibawa tentara
Belanda itu, sebab itu artinya kematian bagi suaminya.
Di lapangan Kemisan, Kiai Bintara dikepung tentara Belanda dengan
moncong senapan mengarah ke sekujur tubuhnya. Kiai Bintara meminta para
santri yang datang beberapa menit kemudian untuk tidak ikut campur,
cukup menjadi saksi tentara Belanda menepati janji, sekaligus menjadi
saksi detik-detik kematian pimpinan Barisan Sabilillah itu.
Tiga butir peluru meletus sia-sia di tubuh Kiai Bintara. Tak sedikit
pun butir peluru itu sanggup untuk sekadar merobek baju yang dikenakan
Kiai Bintara, apalagi menembus tubuh kebal kerempeng Kiai itu. Terlampau
kesal dan hampir putus asa, tentara Belanda itu akan membunuh semua
santrinya, termasuk penduduk, jika sampai Isya belum juga Kiai Bintara
membocorkan letak kelemahannya.
“Tembaklah saya ketika sedang shalat, tepat saat tengah bersujud,”
ucap Kiai Bintara. Tak lama setelah itu, ia mendirikan salat beralaskan
rumput lapangan. Tepat pada saat Kiai Bintara bersujud, sebutir peluru
menembus jantungnya. Tawa para tentara Belanda itu terbahak-bahak,
lambat laun meninggalkan lapangan, juga dikabarkan besok pagi mereka
segera mungkin meninggalkan Madura.
Semua santri menghampiri Kiai Bintara yang masih dalam keadaan posisi
sújud. “Subhanallah, sungguh Mahasuci Allah,” kalimat ini keluar dari
mulut salah seorang santri begitu mengetahui tidak ada darah di dada
Kiai Bintara, hanya sebutir peluru yang bersarang di dalamnya, tepat
pada jantung Kiai Bintara. ***
Palau Garam, April 2017
Zainul Muttaqin lahir d Ganncang,
Batang-batang Laok, Batang-batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991.
Cerpen dan puisinya dimuat pelbagai media nasional dan lokal. Salah satu
penulis dalam antologi cerpen Dari Jendela yang Terbuka (2013), Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia (2013), Perempuan dan Bunga-bunga (2014), dan Gisaeng (2015). Tinggal di Madura.
Cerpen Rifal Fauzi (Rakyat Sumbar, 02 Desember 2017) Cerita untuk Rifal ilustrasi GoogleCERITAKAN pada Rifal mengenai keteguhan hati, hai
Tukang Cerita. Lalu, berceritalah Si Tukang Cerita itu mengenai seorang
Ibu yang membesarkan ketiga anaknya—Anak pertama Si Delapan tahun, kedua
Si Enam tahun, dan Si Tiga tahun—yang masih kecil semenjak ditinggal
mati suaminya.
Si Ibu masih ingat sebelum suaminya dikuburkan di pemakaman daerah
kampungnya, ia melihat banyak luka di bagian dada dan lubang di kepala.
Anehnya jantung suaminya hilang tidak ditemukan. Perasaan sedihnya itu
terobati oleh tawa kedua anaknya—Si Delapan Tahun dan Enam Tahun—yang
sibuk bermain ke sana ke mari menghindari barisan batu nisan pekuburan
dengan memakai peci, baju dan celana putih.
Si Ibu hanya bisa melihat kedua anaknya dengan air mata terurai sambil menggendong Si Tiga Tahun, Apa laa yang mereka tau mengenai kematian pikir Si Ibu.
Adzan telah dikumandangkan, barisan papan telah ditutup dan
butiran-butiran tanah sudah dibenamkan di dalam lubang dua meter itu.
Tanah yang berjatuhan itu ditemani lantunan Alfatihah dan doa oleh Ustad. Amin. Para peziarah telah berpergian meninggalkan kuburan Si
Suami. Enam langkah telah berlalu menyebabkan dua malaikat datang
dengan garang mendekati mayat itu. Entah apa yang terjadi tidak ada satu
orang di dunia tahu, hanya binatang yang memiliki indra pendengaran
khusus yang bisa mendengar jeritan atau canda tawanya dengan malaikat.
“Nak ayo pulang,” panggil Ibu. Si Delapan menoleh dan menghampiri Si
Ibu yang berdiri di sebelah kuburan suaminya. Ia melihat tulisan kayu di
atas papan itu dan berpikir itu nama ayahku Kenapa nama ayah ada di batu nisan? Keempat emak beranak itu berjalan pulang meninggalkan pemimpin keluarganya di liang lahat itu.
Sampai di rumah Sang Ibu berpikir apakah dendam harus dibalaskan atau
ia memulai hidup baru memperbaiki ini semua, entahlah beban ini semakin
terasa berat.
***
Putuslah amalan anak cucu adam kecuali doa anak yang sholeh.
Selama ini, pernyataan itulah yang mengganggu pikiran Si Ibu,
menyiapkan pendidikan agama untuk ketiga anaknya agar bisa mendoakan
ayahnya yang tidak pernah beribadah sekalipun. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, apakah mereka akan menjadi seperti ayahnya? pikir Si Ibu. Di sela keresahan itu dalam hati ia bersyukur karena tidak memiliki anak perempuan, akan susah nantinya jika aku mempunyai anak perempuan.
Semua pikiran itu sungguh lelah untuk perempuan yang baru ditimpa
kemalangan itu, ia pun beranjak ke tempat tidur, sebelum kedua matanya
terpejam kejadian malam itu datang lagi padanya.
“Aku pergi dulu yaa, kali ini bayaran untuk kepalanya lebih besar.”
Si Ibu tersenyum ketika Si Ayah mencium kening Si Tiga yang masih
tidur dalam ayunan. Sesaat terdengar tangisan Si Tiga, tangisan anak
ketiga mereka ini terdengar berbeda, tangisan ini seperti tangisan
perpisahan, tangisan kepergian. “Biar aku yang menenangkannya kamu
jenguklah mereka berdua,” Si Ayah hanya mengangguk, kemudian
meninggalkan Si Ibu.
“Nak, ayah pergi dulu yaa,” kata Si Ayah saat memasuki kamar tidur kedua jagoannya yang bising dengan suara game. “Nak, ayah pergi dulu,” ulang Si Ayah lagi. Namun masih tetap tidak ada jawaban, Duh biarlah ini, lagian aku juga terlalu asyik saat menghabisi orang yang membuat kubisa membelikan mereka game ini, pikir Si Ayah.
Enam langkah meninggalkan rumah tangisan Si Tiga semakin menyalak, si
Ibu langsung mengeluarkan puting susunya dan menyumbat mulutnya namun
tetap saja Si Tiga masih menangis. Ada yang aneh dari perasaan Si Ibu,
entahlah perasaan apa ini.
DORR!! Terdengar suara tembakan yang mengenai Si Ayah. Pria itu
langsung tumbang mengeluarkan darah segar dari kepalanya disusul cairan
putih kental, otaknya telah hancur.
Seketika terdengar teriakan, “Itu balasan untuk kepala ayahku yang kau habisi jahannam!”
Para penduduk yang ketakutan mendengar suara tembakan hanya melihat dari celah-celah jendela, tidak ada yang berani keluar.
“Bos ayo pergi sudah tumbang jahannam itu, ayo bos sebelum ada banyak masyarakat yang keluar,”
DORR!! Laki-laki yang dipanggil Bos itu mengeluarkan tembakan ke atas langit. Tidak ada yang berani keluar jika mendengar suara senapan, pikirnya. “Aku masih belum puas, kita ambil jantungnya untuk anjing dirumah.”
***
Si Enam juga merasa kehilangan. Ia merasa rumah yang ditinggalinya
sunyi, tidak ada suara televisi yang tiap malam hidup memekakkan suara
komentator bola, terkadang suara komentator tinju, atau suara dalang
memainkan wayang golek. Tidak ada bau asap rokok di rumahnya atau gelak
tawa seorang pria yang kadang mengganggu tidurnya. “Ayah di mana, Bu?”
tanya keduanya yang dijawab Ibu hanya dengan senyuman sambil berlinang
air mata.
Semenjak kematian suaminya itulah Si Ibu berusaha untuk menjauhkan
anaknya dari barang-barang peninggalan suaminya, ia juga tidak mau
ketiga anaknya tahu kalau ayahnya dibunuh, takut-takut timbul dendam
dari anaknya dan mereka akan berakhir seperti suaminya, Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku tidak mau anakku menjadi seperti ayahnya, aku tidak mau. Keesokan harinya Si Ibu mendaftaran anaknya mengaji, mulai mengenalkan agama kepada kedua anaknya yang mulai beranjak dewasa. Putuslah amal anak adam kecuali doa anak yang soleh.
Hari terus berlanjut Si Ibu membesarkan ketiga anaknya sendirian
tanpa pekerjaan tetap ia pergi pagi pulang petang berjualan serabutan,
pergi pagi pulang malam dari pasar menjual segala barang mewah
peninggalan suaminya dahulu dan menjual segala perhiasan untuk modal
jualan dan menyambung hidup.
Si Enam bingung semenjak ayahnya pergi ia dilarang bermain video game dan baju yang dikenakannya mulai lusuh, makanan yang biasa dimasak ibunya juga tidak sebanyak dulu.
Berbeda dengan Si Enam, Si Delapan juga tidak tahu kenapa semenjak
ayah mereka pergi si ibu jarang sekali memukul atau mencubitnya jika
berkelakuan nakal, berbeda dengan Si Ayah, Si Ibu lebih tegas dan kejam
dalam mendidik mereka berdua.
Pernah suatu waktu ia tidak pulang ke rumah hingga adzan magrib
berkumandang. Sampai di rumah si ibu telah menunggu di depan pintu
masuk.
Si Delapan memegang pahanya dan memegang telinganya, ia bersiap diri
sebelum dua bagaian tubuh yang dipegangnya terkena cubitan dan pukulan
sang ibu, ia masuk rumah beruntung nasibnya sebab ayah mereka sudah
pulang ke rumah menyelamatkan Si Delapan dari cubitan Si Ibu.
“Tangan, dan baju ayah kenapa berdarah?”
“Sudah, ayo segera mandi dan bersiap ke mesjid, jadilah anak yang soleh untuk ayah.”
***
Selama lima tahun membesarkan anaknya lewat kedisplinan membuat
anaknya menjadi anak yang soleh, setidaknya untuk mendoakan ayah mereka. Shodaqallah Huladhzim. Selama lima tahun pula Si Ibu berhasil membuat disiplin untuk mengaji mengisi rumahnya.
“Bu, aku udah mau khatam ngajinya yee,” kata Si Enam yang kini sudah berusia Sebelas tahun sambil membuka halaman selanjutnya.
“Abang udah hafal sebagian juz ‘amma Bu…” kata Si Delapan yang kini
sudah berusia Tiga Belas tahun sambil membenarkan lipatan sarungnya yang
masih berantakan.
Si Ibu yang duduk di atas meja makan sambil menyuapkan makan Si Tiga
yang kini berusia Delapan tahun tersenyum senang, ia merasa berhasil
mendidik anak-anaknya. Anakku tidak akan menjadi seperti ayahnya.
“Oohh Anak-anakku elok-eloklah kelakuan kalian, nanti jadi bulanan
orang kalian, anak yatim jahat, wajar anak yatim jahat tidak punya
ayah,” nasehat Ibunya, “Jangan lupa doakan ayah kalian di sana,
doakanlah ia nak biar tenang di sana.”
“Adwek kwapan dwiajawri ngwaji, Bu? (Adek kapan diajari ngaji Bu?)” tanya Si Tiga yang kini berusia Delapan dengan mulut yang penuh dengan nasi.
“Hahaha.”
Untuk sekian kalinya Si Ibu meneteskan air mata lagi melihat anaknya menjadi seorang anak yang baik, Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tidak berlaku untuk anak-anakku, pikir Si Ibu.
Hari terus berjalan dan mereka terus belajar agama dan mendoakan ayah
mereka di alam lain sana. Sampailah tiba hari yang paling membahagiakan
si Ibu ketika anaknya mengimami sholat di mesjid di daerah kampungnya.
***
Minggu pagi ini Si Ibu tidak berjualan ke pasar, ia ingin
menghabiskan hari ini dengan anaknya yang libur sekolah, ia akan
memasakkan anaknya semur ayam, tempe bacem, tumis kangkung untuk
anaknya. Hari ini akan menjadi sempurna.
“Permisi! Selamat Siang!”
Seorang pria dengan setelan jas dan topi semi koboy mengetuk rumah Si
Ibu didampingi dua orang yang terlihat seperti pengawalnya. Dari dapur
Si Ibu langsung ke depan dan mempersilakan tamu itu duduk.
Pria yang mengenakan jas dan topi koboy itu memperkenalkan diri bahwa dia adalah client terakhir
yang menyewa suaminya untuk misi di malam suaminya terbunuh. Ia
mengatakan ada perjanjian antara dia dan suaminya jika misi gagal
keluarganya akan mendapat bayaran untuk dana santunan mereka.
“Kenapa datang sekarang? Itu sudah lima tahun yang lalu.”
“Kalau kami datang di hari suami ibu dikuburkan kami khawatir akan keselamatan Ibu dan anak-anak, tidak ada yang bisa menjamin.”
“Menjamin? Apa maksudmu menjamin?”
“Di bisnis ini semua keturunan akan dibantai, kami tidak tahu kenapa
mereka tidak menghabisi ibu satu keluarga pada malam itu, kami memilih
lima tahun adalah waktu yang tepat untuk kami menyerahkan dana ini.”
Dengan memberikan kode tangan kepada dua pengawalnya, pengawal yang
satu langsung memberikan koper yang berisikan lemaran-lembaran rupiah.
“Harap diterima, Bu.”
Si Ibu hanya memerhatikan amplop itu, seketika kejadian malam itu
menghantuinya, terdengarnya suara tembakan, hilangnya jantung suaminya.
“Aku tidak bisa menerima.”
DORR!! Suara tembakan dari luar rumah.
“Aaaa,” teriak Si Ibu berlari menuju kamar anaknya, “Anak-anakku menunduk kalian.”
“Tuan, sepertinya mereka menembak mobil kita.”
“Sialan, sudah lima tahun apa maksudnya mereka menyerang sekarang?”
“Kau lindungi aku, kau lindungi Ibu itu.”
“Ayo sikat jahannam di luar itu.”
Ada puluhan orang telah berkumpul di depan rumah Si Ibu.
“Keluar kau jahannam!”
“Bos kita langsung masuk saja, sudah lima tahun ini momen yang pas
untuk membunuh jahannam itu dan keluarganya biar tidak ada dendam.”
Si Tukang Cerita berhenti sampai disini, ia termenung dan menetaskan air mata.
“Dan akhirnya apakah si Ibu kembali untuk mencium kening si Tiga Tukang Cerita?”
“Hanya satu orang yang tersisa dari keluarga itu dan sedang mengisahkan kisahnya.” (*)
Cerem Zhilan Zhalila (Rakyat Sumbar, 09 Desember 2017) Fitnah ilustrasi GoogleYOLA dipanggil ke ruang BK, berarti ia tak bisa
merasakan kantin yang sejuk. Apa yang membuat Yola harus menghadap guru
BK? Langkahnya lemah menuju ruangan yang agak jauh dari kantin. Mie
rebus dan teh es yang dipesannya, tak sempat dihabiskan.
Di ruangan BK, ada seorang siswi menangis tersedu-sedu. Wajahnya
merah, mata merah bercampur bulir air yang menyanak, bibirnya juga
merah. Yola kaget. Mengapa Nisa menangis?
Yola melihat wajah miss Yoshi tegang, ia tercekam dan canggung di
ruangan yang dingin. “Kenapa Yola berbuat seperti itu?” tanya Miss Yoshi
setelah menceritakan kejadian Nisa yang sedang menangis, membuat Yola
terkejut.
“Hah? Bukan Yola, Miss! Yola ngak pernah. Ngak pernah melakukannya.
Ini fitnah, Miss. Nisa Fitnah!” Yola menunjuk Nisa yang sedang menangis
tersedu-sedu. Nisa hanya terdiam. “Nisa punya buktinya Yola. Miss ngak
nyangka kalau Yola seperti itu,” miss Yoshi menujukan muka kecewanya,
membuat Yola menjadi kecewa, mengecewakan guru tersayangnya.
Yola pun meminta maaf kepada Nisa. Lebih tepatnya dipaksa misss
Yoshi. Yola tidak tahu apa yang diinginkan Nisa sampai memfitnah
dirinya, padahal mereka sahabat baik, dekat malah. Yola pun keluar
ruangan BK berbarengan Nisa. Lalu Nisa memiringkan senyumnya ke arah
Yola, membuat Yola semakin bingung. Yola kembali ke kantin. Di sana
sudah ada sahabat dekatnya.
“Ngapain di panggil ke ruangan BK, Yol?” tanya Mutia setibanya kantin, Mie rebusnya sudah dingin dan mengembang.
“Aku dituduh Mut sama Nissa, padahal aku ngak ngapa-ngapain,” Yola
bercerita kepada Mutia yang masih menyantap nasi goreng porsi keduanya.
“Ha? Kok bisa Yol? Rasanya kita baik-baik aja deh sama Nisa” ucap Mutia tidak percaya.
Yola menggeleng
“Oh ya, Yol, itu makananmu, Yol,” sambung Mutia melihat makanan Yola yang tergeletak.
“Gak, Mut, hilang nasfu makan Yola.”
Tiga hari berlalu, Mutia juga menghindari Yola. Padahal dulu ada
Nisa, Aisyah, Tasya, Zsazsa bersahabat dengan Yola dan Mutia. Entah
kenapa, Yola merasa kalau dirinya difitnah Nisa.
“Eh, ada si Penghianat nih,” ucap Nisa sambil menarik rambut Yola yang dikucir kuda.
“Nis, Nisa, sakit…” Yola berusaha melepaskan tangan Nisa dari rambutnya, tetapi tidak berhasil.
“Makanya jangan jadi penghianat!” bentak Nisa
“Sebenarnya siapa sih yang penghianat?” balas Yola, amarahnya memuncak
“Eh, kalau ngak tau diem aja!” Nisa kembali membentak kasar.
Yola sangat marah kepada Nisa, “Emang ngak tau!”
Lalu, mulailah pertarungan antara bendahara dan wakil ketua OSIS di
kantin. Pertikaian itu menarik perhatian pengunjung. Ada yang sibuk
memvidiokan, sibuk membela. Fajar yang dari kejauhan melihat perterungan
mereka mencoba melerai, tapi sayang. Kekuatan wanita pada saat marah
jauh lebih hebat dibanding dirinya.
Jambak-menjabak terjadi, cakar-mencakar di setiap tangan. Belum lagi
kuku mereka panjang-panjang. Semua murid melihat mereka seperti anak
kala yang tidak tahu dimana tempat berkelahi terbaik. Rambut mereka
acak-acakan sudah tidak rapi lagi seperti saat mereka datang ke sekolah.
Helaan nafas mereka terdengar dan suara goresan kuku mereka.
Fajar akhirnya meminta bantuan Lia dan Tasya untuk melerai mereka
dengan memeluk tubuh mereka. Tapi sayang, tangan Lia keburu terkena kuku
Nisa yang ingin menyerang perut Yola. Mereka kalap.
Akhirnya, Gausan memanggil miss Yoshi, Guru BK. Mendengar teriakan
miss Yoshi yang lantang. Pertarungan antara mereka pun terhenti, membuat
para penonton juga terdiam, sehingga bisa terdengar helaan angin dan
jarum jatuh. Mereka kena masalah.
Miss Yoshi kemudian memberikan hukuman. Keduanya membersihkan
halaman. Nisa di halaman depan, Yola di belakang. Ancaman Miss Yoshi,
jika perkelahian berlanjut, mereka akan membersihkan toilet dan harus
membawa orang tua masing-masing.
***
Yola bergegas ke ruangan OSIS. Hari ini ada rapat OSIS. Selepas jam
pelajaran terakhir, ia mampir sebentar ke pustaka, mengembalikan buku
yang dipinjam tiga hari lalu. Ia melangkah setengah berlari-lari kecil.
Ia terburu-buru. Tanpa sadar, ia menabrak Fajar yang juga hendak ke
ruangan OSIS.
Benar saja. Mereka datang terlambat. Saat memasuki ruangan rapat,
rapat sudah berlangsung. Dipimpin sang Ketua OSIS Gausan, di sebelahnya
ada Nisa si Wakil ketua OSIS, dan Lia sebagai Sekretaris OSIS. Rapat
OSIS kali ini membahas agenda acara peringatan kemerdekaan Indonesia.
Yola gugup dengan tatapan ‘sahabatnya’ tak pernah dilakukan Nisa.
Yola kemudian memilih duduk dekat Aisyah dan Mutia. Sedangkan Zsazsa dan
Tasya duduk di seberang meja tersebut.
Selama 30 menit rapat berlangsung, terjadilah perang dingin. Yola dan
Nisa saling diam, dan saling bertatapan tapi di hati masing-masing.
Sebuah pertanyaan dalam hati Yola tak bisa terjawab.
Selesai rapat ditutup, Nisa bersuara lantang. Di hadapan semua
pengurus OSIS, ia memerintahkan Yola untuk membersihkan ruangan OSIS
sebagai hukuman keterlambatan, lalu ia menekankan kalimatnya, “Sekarang!
Tidak nanti!” katanya.
“Saya bagaimana?” tanya Fajar bingung karena ia tahu dirinya sama-sama terlambat dengan Yola.
“Biar aja Yola sendiri yang bersihin” jawab Nisa ketus.
Nisa pun keluar ruangan bersama Tasya dan menunggu Fajar keluar dari ruang OSIS, Nisa ingin nebeng pulang bersama Fajar. Rumah mereka searah. Nisa juga mengagumi Fajar.
Yola mulai menyapu ruangan OSIS, sudut demi sudut. Hati kecilnya
berkata-kata, mengapa Nisa sebenci itu kepadanya? Apa sebenarnya salah
Yola? Sampai masuk BK, bersihin halaman, dan sekarang membersihkan ruang
OSIS. Mentang-mentang wakil ketua OSIS, cih batin Yola. Tetapi, mengapa Fajar masih disini? Seharusnya ia sudah pulang.
Selang 10 menit kemudian, Nisa dan Tasya menunggu kedatangan Fajar
dari balik pintu, tak kunjung datang yang mereka cari. Nisa pun pergi ke
ruangan OSIS, dan sedihnya lagi Nisa melihat Fajar yang membantu Yola
membersihkan ruangan OSIS berduaan sambil melemparkan gelak tawa mereka
yang mengembang ke atmosfer mereka berdua.
Kehadiran Nisa, menghancurkan atmosfer kebahagiaan mereka. Nisa pun
berkacak pinggang menatap kebahagiaan keduanya, Tasya sibuk menatap
layar handphonenya.
“Fajar, Nisa bilang Yola yang bersihin!” bentak Nisa.
Yola hanya menunduk, Fajar melangkah ke arah Nisa. “Yang telat, Fajar sama Yola.”
“Tapi Nisa mau Yola yang bersihin!” intonasi suara Nisa lebih tinggi.
“Jadi pemimpin itu harus adil, Buk!” lalu Fajar melangkah keluar
ruangan, meninggalkan Nisa yang masih berdecak pinggang Fajar tak lupa
menarik tangan Yola yang berdiam diri terpaku di belakangnya, Nisa tetap
diam. Tasya pun kini menoleh, melihat apa yang terjadi. Nisa tetap
menatap punggung mereka yang menjauh dan tiba-tiba hilang di balik
dinding.
***
Malam ini adalah malam api unggun, atau malam keakraban. Yola ditemani Najla dan Friskha di sana, hanya mereka yang nyambung diajak
bicara oleh Yola. Sesekali ia menatap sahabat-sahabatnya. Ia iri,
padahal ia juga ingin bergabung di sana. Para sahabat karibnya ada di
sana. Nisa dan teman-teman lainnya bernyanyi dengan gitar di tangan
Hisyam, sesekali mereka tertawa lebar. Tak lama datang Fajar yang
menghampiri Yola.
Fajar duduk manis di samping Yola, sedangkan pandangan Yola tetap ke
sebrang api unggun. Melihat Nisa dan yang lain sedang bernyanyi. Yola
ingin ke sana bergabung mereka. Najla dan Friskha sudah agak menjauh
karena kedatangan Fajar yang ngotot ingin duduk di sebelah Yola.
Fajar menawarkan sebungkus cemilan ke Yola. “Nih, aku bawain cemilan, Yol.”
Yola pun menoleh ke sumber suara, yang tepatnya di sebelah kirinya
sendiri. Lalu mengganguk menerima cemilan yang diberikan Fajar, adalah
makanan favoritnya.
“Pasti Yola kepengen join bareng Nisa dan yang lain?” tanya Fajar sibuk dengan cemilannya.
Yola mengganguk, pura-pura sibuk dengan makanan di tangannya itu.
“Sabar aja ya Yola, mungkin waktu belum berbaik ke Yola. Suatu hari
nanti, Yol, kita bakal tau kenapa Nisa jauhin Yola. Pasti ada sebab dan
alasannyal.” ucap Fajar
“Tapi, apa salahnya Nisa langsung bilang ke Yola? Bukan seperti ini, Jar.” Jawab Yola.
Fajar berbicara selembut mungkin, agar Yola tidak tersinggung. “Pasti ada alasannya.”
Yola hanya terdiam, menikmati hembusan angin malam dan hangatnya api
unggun yang besar membara-bara di depan Yola. Sedangkan Fajar sibuk
memperhatikan siluet wajah Yola di malam hari dengan wajah sendunya itu.
Yola yang malang, yang ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya sendiri.
Sebelum dini hari, semua sudah kembali ke tenda. Sebelum subuh,
sirine dibunyikan untuk membangunkan semua, agar bisa bersiap-siap subuh
berjamaah. Di Lokasi camping ini disediakan musala dan juga
kamar mandi, tempat makan. Semua fasilitas tersedia. Semuanya pun
bergegas untuk menunaikan ibadah subuh berjamaah.
Yola tertinggal sendirian di tendanya, ia masih sibuk mengusai tasnya
mencari mukena. Sehabis salat Isya, dia sudah menyiapkan mukena di
sebelah ia tidur agar tidak ribet saat subuh, tapi ekspektasinya hancur.
Mukena Yola hilang. Teman setendanya, Nabila dan Frishka sudah tidak
ada lagi. Semuanya sudah berada di musala. Yola bingung ingin salat
pakai apa?
Yola pun berjalan menuju musala. Barang kali, mukenahnya ketinggalan,
walau ia tidak yakin hal itu terjadi. Sepi. Hanya suara jangkrik, desah
angin dan dinginnya udara subuh.
Sesampai di musala, semua sudah salat. Ia juga tak menemukan
mukenanya. Yola mengupat dirinya sendiri. Yola akhirnya menyerah, ia
kemudian meminjam mukenah Frishka ketika sudah selesai nanti.
Dua hari pun berlalu, saatnya mereka kembali ke rumah mereka
masing-masing, dan sampai sekarang mukenah Yola tetap tidak tau dimana
letaknya, sehingga selalu meminjam mukenah Frishka. Sesekali Zsazsa
berkomentar tentang mukenah Yola, “Alah! Gak modal, beli mukenah aja ga
bisa, minjem-minjem segala lagi.”
Yola tak menggubris, namun harinya teriris. Sesampai di rumah, ia
masih memikirkan mukena dan sahabatnya. Ia mengingat masa-masa indah
dengan para sahabatnya, dan kemudian melintas bayangan perlakuan buruk
sahabatnya pada dirinya.
***
Saat jam istirahat, Yola ditemani Lia. Keduanya bicara banyak. Lia
mendengarkan secara cermat masa-masa indah dirinya bersama para
sahabatnya. Ketika Lia menanyakan kenapa hubungan mereka putus, Yola tak
bisa menjawab. Ia tak tahu kenapa semua terjadi begitu saja.
“Setiap kejadian, pasti ada hikmahnya, Kak,” kata Lia, “ini ujian
dari Allah. Allah tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan
hambanya, Kak. Sebuah ujian adalah pengikisan dosa. Pesan itu sering Lia
dengar dari ustazah,” kata Lia yang aktif di ekskul Rohis.
Mata Yola tiba-tiba berkaca-kaca, terharu mendengar penjelasan
sahabatnya. Mungkin ada yang salah dari dirinya sehingga Allah
menegurnya. Yola pun berjanji akan berubah.
“Jangan janji sama Lia, Kak. Janji sama Allah dan diri kakak
sendiri,” senyum Lia membawa keteduhan. Fajar yang sedari tadi duduk di
depannya, menggangguk.
Yola kemudian membisikkan kepada Lia, ia ingin berhijab, seperti Lia.
Lia pun terkejut mendengar pernyataan bendahara OSIS-nya itu.
“Kakak yakin?”
Yola mengganguk mantap
“Pakai jilbab ngak boleh asal-asalan, loh Kak. Ngak boleh buka-tutup” Lia menjelaskan
“Iya, Lia, kakak mau berhijrah Lia, ke jalan yang benar.”
Yola tersenyum haru.
***
“Nis, maafin Yola kalau Yola ada salah sama Nisa,” ucap Yola kepada
Nisa di hadapan teman-temanya. Ia menguatkan diri menemui Nisa dan
kawan-kawannya seorang diri.
“Hah? Sejak kapan Yola?” Nisa menatap Yola tidak percaya, begitu juga teman-teman lainnya.
“Yola baru belajar, Nisa. Maafin Yola kalau selama ini telah membuat
Nisa sama teman-teman benci Yola,” suara parau Yola mengiang di telinga
Nisa, jelas sekali ia menahan air matanya yang sudah menunggu untuk
meluncur di pipinya.
Dalam hitungan sepersekian detik, Nisa memeluk Yola. Pelukan sahabat
yang sudah lama ia tidak rasakan. Ia peluk sekuat-kuatnya sambil
menagis. Mutia, Zsazsa, Tasya, dan Aisyah juga berhamburan memeluk tubuh
Yola. Siapa yang tidak rindu dengan pelukan sahabat yang hangat?
Lia dan Fajar yang memperhatikan mereka dari balik dinding tersenyum
bangga. Apalagi Fajar bisa membuat Yola tersenyum lagi. “Misi kita
selesai Lia,” desisnya, Lia membalasnya dengan senyum.
Hari itu juga, mereka bersahabat dengan baik kembali. Mereka pun
makan ke kantin, di meja persahabatan mereka dulu, tertawa riang kembali
membahas kejadian-kejadian dulu yang mereka alami bersama, tak lupa
juga Lia ada di meja persahabatan mereka. Semuanya menjadi indah.
“Kak Nisa, kalau boleh tau, kenapa ya kakak fitnah kak Yola?” tanya Lia. Dasar ceplas ceplos, batin Yola sambil tepuk jidat.
“Hm, maaf ya Yol, aku cuma iri kenapa kamu punya banyak teman bukan
hanya kita aja. Aku juga iri karena kamu dekat sama Fajar. Sekarang, aku
juga sedang mengumpulkan keberanian untuk minta maaf sama kamu, Yola.
Awalnya aku mikir gengsi tapi lama kelamaan kami kesepian ngak ada kamu.
Ngak ada yang buat ketawa lagi, ternyata enggak enak ya punya musuh.
Sekarang aku sadar, sahabat lebih dari apa pun,” Nisa pun mengeluarkan
senyum lebarnya disertai air mata.
“Iya, Yol, Mutia juga maaf. Ninggalin Yola sendirian, kayanya Mutia
belum pantas jadi sahabat yang baik, Yol. Yola masih mau menerima Mutia
jadi sahabat Yola kan?” Mutia, ia menunduk, rasa bersalahnya melekat.
Sepekan berselang, Nisa dan semua sahabatnya mengungkapkan keinginan
mengejutkan. Mereka ingin seperti Yola dan Lia. Ingin berhijab. Mereka
bertanya kepada Yola, namun Yola menunjuk ke Lia.
“Kakak merasa belum jadi muslimah yang baik, ibadah masih
bolong-bolong gimana? Bukannya perbaiki akhlak dulu kah?” tanya Zsazsa.
“Jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda kak. Lia mendapat kutipan ‘berjilbab
murni perintah Allah, wajib bagi kaum wanita muslim yang tekah baligh
tanpa memandang akhlak. Sedangkan akhalak adalah budi perkerti yang
tergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang wamita berjilbab
melakukan dosa itu bukan karena jilbabnya melainkan akhlaknya. Yang
berjilbab belum tentu berakhlak mulia, namun yang berakhlak mulia pasti
berhijab’.”
Semuanya mengganguk dengan mata yang berbinar, mendapat pencerahan
dari adik kelasnya sendiri. Mereka ingin merubah diri mereka dan juga
akhlak mereka.
“Tapi nanti kalau udah di pakai, jangan buka-tutup, ya? Janji, Kak?” tanya Lia.
“Janjiiii….” mereka menjawab serempak. *
*) Penulis adalah pelajar SMP Islam Al-Azhar 32 Padang.
Cerpen Yetti A.KA (Koran Tempo, 09-10 Desember 2017) Ia dan Moora Berjumpa di Taman Remaja ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Ia dan Moora sudah berjanji untuk bertemu di Taman Remaja. Ia datang
lebih cepat sepuluh menit. Taman ini tak berbeda dari yang dibacanya di
dalam novel berjudul Moora, selain memang pohon-pohonnya bertambah tua,
bangku semen makin rumpal dan berlumut, dan sampah kian menumpuk di
mana-mana. Dan Moora paling senang duduk di salah satu bangku semen itu
setelah ia berjalan kaki dari rumahnya yang berada tepat di bawah taman
ini—dan karena itu ia mesti melewati pendakian yang cukup panjang dan
membuat lehernya meneteskan keringat. Moora tidak pernah membawa sapu
tangan. Moora tidak suka memasukkan sebungkus tisu mini dalam sakunya.
Aku terlambat, kata Moora.
Ia berpaling dan mengerjapkan matanya. Moora tersenyum kecil. Moora menunggu ia mengatakan sesuatu.
Tidak apa-apa, akhirnya ia membalas Moora—dan suaranya sangat kikuk.
Sebelum ini, ia tak pernah membayangkan akan berjanji dan bertemu
dengan tokoh rekaan dalam novel yang dibacanya. Dan ia tak pernah pula
mengira Moora benar-benar datang ke sini untuk menemuinya. Ia melakukan
hal iseng dengan mengirimkan pesan kepada Moora lewat secarik kertas
yang ia selipkan di antara halaman novel. Tidak disangka Moora
membalasnya dan setuju untuk bertemu.
Bagaimana tidurmu semalam? tanya Moora karena ia teringat pesan
terakhir lelaki itu yang menyatakan ia akan segera tidur dan tak sabar
menunggu pagi tiba.
Buruk, jawabnya. Ia ingat malam-malam insomnia yang dialaminya.
Matanya sudah begitu berat, tapi kepalanya tidak berhenti berpikir dan
berpikir dan itu menggagalkan rencana tidurnya yang sudah ia
harap-harapkan. Kadang, ia ingin berbuat nakal. Melepas kepalanya itu
dari dirinya dan tidur dengan leher buntung. Mungkin itu akan
menyenangkan. Ia akan terlelap begitu saja dan meninggalkan dunia yang
penuh masalah. Betapa sering ia ingin meninggalkan dunia yang penuh
masalah ini. Kehidupan perpolitikan yang hiruk-pikuk. Semua orang bicara
soal agama; surga, neraka, surga, neraka. Bunyi cangkir jatuh di
kafe-kafe. Kendaraan bertabrakan. Pertengkaran karena cinta.
Perselingkuhan. Anak-anak dipukul orang tua. Anak-anak marah dalam
hatinya—dan kelak mereka balik memukul orang tuanya. Bunyi cangkir jatuh
lagi. Betapa banyak bunyi di dunia ini? Betapa banyak suara-suara—juga
yang disembunyikan dalam hati. Ia tak akan pernah bisa tidur. Selamanya
tidak akan pernah dengan suara bising semacam itu.
Dan Moora terbahak. Persis bocah yang merasa lucu saat melihat seikat
balon mengambang di udara—entah balon milik siapa—dan salah satu dari
balon itu pecah. Ia tidak tahu apa yang menggelikan dari kejadian itu
hingga Moora terbahak sedemikian rupa. Namun, waktu kecil, ia juga
selalu tertawa tiap melihat sebuah balon pecah di udara, dan ibunya akan
berkata, hentikan, Noda, semua orang memperhatikanmu! Anak-anak lain di
pinggir lapangan itu tertawa semua. Malah lebih keras. Kenapa ia tidak
boleh? Kenapa ibunya melarang? Ia ingin tertawa karena balon-balon itu
membuat hatinya merasa senang. Hentikan, Noda! Dasar anak bodoh! Mulut
ibunya, sekali terbuka, akan mengeluarkan rentetan bentakan dan
hardikan.
Namamu Noda? Nama lelaki yang aneh, ujar Moora tiba-tiba.
Ia menoleh kepada Moora dan mulutnya mengeluarkan suara ‘heh’ pendek.
Teman-teman kecilnya sering mengolok-olok namanya dan juga
menjadikannya mainan. Untunglah ia segera terbebas dari masa kecil yang
mengerikan itu. Apa yang dipikirkan orang tuanya saat memberi ia nama
lain dari kotoran? Bapaknya seorang montir di bengkel kecil yang namanya
sama sekali tidak dibicarakan orang di kotanya. Setiap hari, lelaki itu
pulang dengan pakaian terkena noda oli atau minyak mesin yang kotor di
sana-sini. Dalam suasana semacam itulah ia lahir dan tiba-tiba saja ia
sudah bernama Noda. Mungkin saja orang tuanya memberi nama itu sebagai
luapan rasa jengkel atau mereka sedang menyelipkan sebuah dendam yang
harus dibayarnya di dunia ini.
Bapak dan ibunya tidak pernah tak bertengkar tiap harinya dan topik
keributan itu selalu tentang kemiskinan mereka. Ibunya membanting
dandang kosong ke lantai. Bapaknya akan berteriak dan menampar ibunya
dengan keras. Ibunya naik pitam. Ibunya mengambil sapu dan memukulkannya
ke tubuh bapaknya, bertubi-tubi; kepala, perut, punggung. Bapaknya
berlari mengambil parang di sudut dapur, di antara sabut kelapa dan
beberapa ekor kecoak berlarian ke lantai, kocar-kacir, mirip sebuah
keluarga dapat serangan mendadak dalam situasi perang. Pelacur sialan
mata duitan! maki bapaknya sembari mengacung-ngacungkan parang itu ke
arah ibunya. Mereka saling mengancam dan saling mengeluarkan umpatan. Ia
melihat semua itu dari pintu kamar yang terbuka sedikit. Tak lama, ia
kembali ke tempat tidurnya, mengambil sebuah buku yang dipinjamnya dari
teman sebangku di sekolah. Temannya itu bilang, kalau kau bosan, bacalah
sebuah buku. Mulai saat itu, temannya meminjaminya buku-buku. Namun,
buku yang dipinjamnya itu lebih banyak membantunya mengatasi ketakutan
daripada rasa bosan. Bunyi barang dan suara-suara kasar, belum juga
berhenti—dan mungkin tidak akan berhenti. Ia memusatkan pikirannya
kepada kisah yang dibacanya, berusaha untuk tidak memikirkan suara-suara
di luar. Ia pergi ke berbagai tempat sampai ia tak tahu di mana berada.
***
Dan keributan itu masih terus berlangsung sampai ia berusia 25 tahun.
Pada pagi hari, televisi tua dilempar keluar. Cangkir dan piring
menjadi beling. Pakpuk, pakpuk. Bapak dan ibunya saling pukul, saling
hantam, saling ancam dengan benda tajam. Ia bergelung di kamarnya.
Semakin menenggelamkan diri dalam buku-buku. Ia tak memiliki dunia lain
selain itu dan ibunya berteriak, dasar tidak berguna! Bapaknya bilang,
babi pemalas! Kemudian bapak dan ibunya saling menyalahkan kenapa mereka
sampai punya anak sialan seperti dia. Mereka kembali saling pukul dan
bunyi barang-barang dibanting kembali terdengar. Untunglah, ia punya
buku Mio Anakku [1]. Ia bertualang bersama Mio dan Jum-Jum di Negeri nun Jauh. “Hutan Kemilau Bulan,” kataku kepada Jum-Jum. “Sekarang aku ingin pergi ke Hutan Kemilau Bulan.”
Ia membaca bagian itu berulang-ulang dalam hatinya. Lalu ia meneruskan
ke kalimat berikutnya dan hatinya ikut bergetar ketika Miramis—si kuda
putih terbang—menukik ke bawah menuju Hutan Kemilau Bulan. Mereka
memulai petualangan yang lebih mendebarkan dari sebelumnya. Mereka terus
bertualang ke tempat yang penuh kejutan dan menantang nyali. Betapa
menyenangkan menjadi anak-anak seperti mereka, pikirnya. Betapa
menyenangkan bertualang ke tempat-tempat jauh.
Saat ia mengangkat wajahnya dan memalingkan pandangannya ke pintu
yang selalu menyisakan sedikit celah, ia tak lagi menemukan kelebatan
dua sosok manusia yang saling menyerang. Suara ribut dan bunyi barang
juga tak ada. Kesunyian membentang di depannya. Ia agak bergidik dan
sempat berpikir kalau ia masih berada di Hutan Kemilau Bulan. Ia memaksa
untuk berdiri, lalu menuju ke pintu. Diintipnya keluar. Dua sosok tubuh
tergeletak di lantai. Tak bergerak. Darah membentuk genangan-genangan
kecil yang menyebar. Tak jauh dari sana, parang, cangkul, tangkai sapu,
sebilah kayu, berserakan dan memerah.
***
Kenapa kau berpikir menulis pesan kepadaku? tanya Moora hampir
terkikik. Moora belum terbiasa keluar dari dalam novel dan menemui
pembacanya. Bahkan ia belum sekali pun terpikir ingin melakukannya.
Namun, saat ia menerima pesan dari lelaki yang mengaku bernama Noda, ia
merasa harus membalasnya dan menyetujui rencana tidak masuk akal itu.
Kenapa tidak? Itu yang ia katakan dengan sedikit bermain-main dan
berlanjut menjadi balasan surat yang lebih panjang, sampai kemudian
mereka menentukan sebuah tempat dan waktu pertemuan.
Aku akan menunggumu di Taman Remaja. Itu yang dikatakan Moora kepada
Noda. Taman Remaja merupakan sebuah tempat yang selalu ingin kutuju
dalam hidupku. Kau pasti tahu, kan? Setiap pagi aku pergi ke sana sambil
mengingat semuanya. Setiap pagi aku mengulanginya dan mengingat segala
sesuatu yang sama saja, tapi tak membuatku bosan.
Setuju, kata Noda, aku pasti menemuimu di bangku itu. Ia sangat tahu
Moora hanya akan duduk di sebuah bangku semen yang rumpal dan menghadap
taman bulat yang barangkali pernah ditanami bunga dan kini tempat itu
hanya dipenuhi rumput dan sampah pembungkus makanan setelah ia melewati
tanjakan dan membuat lehernya basah keringat. Di bangku itu Moora duduk
selama dua hingga tiga jam untuk mengingat seluruh perjalanan hidupnya,
setiap hari seperti itu. Sampai cahaya matahari semakin berkilauan di
antara daun pepohonan dan ia memutuskan pulang.
Lalu sekarang mereka sudah duduk berdekatan, meski kemudian Noda-lah
yang menunggu di sana, bukan Moora yang justru datang terlambat. Moora
sedikit berbeda dari sosok dalam novel yang dibacanya. Perempuan ini
terlalu suka tertawa. Di dalam novel, Moora hanya sedikit sekali
bahagia. Dan ia seorang pencela!
Jadi kenapa? ulang Moora. Kenapa kau ingin menemuiku?
Aku tidak tahu, jawabnya. Ia tidak berbohong. Sewaktu mengirim pesan di kertas itu, ia tidak tahu akan sejauh ini.
Moora menendang-nendang ranting dengan ujung sepatu kainnya. Noda
mengingat lagi hari ketika ia menemukan ibu dan bapaknya berlumuran
darah. Ia berjalan keluar dengan kepala kosong. Seseorang menegurnya,
tapi ia tidak merasa berada di dunia yang sama dengan orang itu. Ranting
yang ditendang Moora melambung ke udara, lalu jatuh lagi tak terlalu
jauh dari ujung sepatunya. Noda berjalan hingga menemukan jalan raya dan
ia naik sebuah kendaraan. Ia tidak tahu akan ke mana. Kepalanya makin
kosong. Sebuah pikap membawanya pergi, lalu ia naik mobil yang lainnya,
dan lainnya, yang membuatnya makin berada jauh dari jasad ibu dan
bapaknya yang barangkali saat itu sudah diurus oleh polisi setempat. Aku
tidak tahu, katanya lagi. Aku bahkan tidak tahu siapa diriku. Apakah
aku ini hidup atau mati. Lalu aku menemukanmu dalam sebuah novel yang
satu-satunya kumiliki sekarang ini. Aku belum pernah menulis pesan atau
permintaan kepada tokoh cerita yang kubaca selain kepadamu.
Moora tertawa. Ia terus tertawa.
Sekarang aku ingin pergi, kata Noda bangkit dari bangku semen.
Moraa terdiam. Juga ketika Noda benar-benar melangkah pergi. Ia hanya
memandangi punggung kurus lelaki aneh itu. Moora baru menyadarinya,
tubuh itu tak lebih baik dari sebatang jerami yang kapan saja bisa
melayang ditiup angin. Akarnya telah mati. Daun dan batangnya kering.
Angin mengempas pepohonan di Taman Remaja. Daun-daun yang lepas
melayang serupa burung. Suara riuh berganti-ganti dengan sepi. Moora
memandangi sekelilingnya. Tak ada siapa-siapa di Taman Remaja selain
dirinya, angin, dan pepohonan. Moora berdiri. Namun, kemudian ia melihat
sebuah novel dan koran tertinggal di bangku yang tadi diduduki Noda.
Lelaki itu mungkin sengaja meninggalkannya. Buru-buru dijangkaunya novel
itu dan hatinya demikian bergetar. Di dalam novel itulah seharusnya ia
berada sekarang. Bagaimana cara ia pulang ke sana? Sebelum ia menemukan
cara masuk kembali ke dalam novel, Moora meraih koran yang hampir
terseret angin. Di halaman depan, ia membaca sebuah judul berita:
Menggemparkan, Seorang Anak Menghabisi Ayah dan Ibu Kandungnya.
Moora merasa begitu merana, sungguh dunia nyata lebih menakutkan dari
yang ia bayangkan dan barangkali ia tak akan pernah tertawa lagi
setelah ini, di mana pun ia berada nanti.
***
Daili memandang lama-lama ke layar laptopnya, ke naskah novel yang
sedang direvisinya sebelum naik cetak ulang kelima. Alih-alih menemukan
tokoh Moora, ia melihat nama asing di sana: Noda. Dari mana nama itu
datang? Ia memijit-mijit keningnya. Di mana Moora?
Rumah Kinoli, 2017
Catatan:
[1] Novel anak (edisi terj.) karya Astrid Lindgren
Yetti A.KA tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpen terbarunya Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017).
Puisi-puisi Marsten L. Tarigan (Koran Tempo, 09-10 Desember 2017) Jalan Panjang Sebuah Hikayat ilustrasi Google
Jalan Panjang Sebuah Hikayat
Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi mulih ku Dibata Simada Tenuang *
Membaca adalah ketika kau percaya bahwa
sebuah perjalanan panjang dapat kau temukan
dalam sekumpulan kata-kata. Di sini, kami mulai
ucapkan tabas, mantra penolak bala dan harum
sihir, sirih yang sempurna membungkus pecahan
pinang dan biji-biji kapur. Kami hanya duduk
membaca kitab-kitab yang kami sebut Turi-Turin Tembe Doni Nina Nininta Kalak Karo. Kami
hanya duduk, menyaksikan terakota berlapis-
lapis menyembunyikan bau tanah.
Sajak ini, seakan hikayat leluhur terus lewat,
terus datang dan pergi, silih berganti dengan
gerak mesin pembangun kota. Sebab matahari
akan tenggelam juga sepanjang siang. Setelah
hari ganjil itu, orang-orang berdiri sama tegak
dengan gedung, orang-orang berjalan kian
kemari tanpa sepatah kata pernah ia ingat telah
terbaca. Seperti tulah, kami hanya tertawan
dalam pohon-pohon, rengkahan batu dan air
sungai yang mengalir.
Kami hanya ingin pergi bersama gersik pasir
dan darah laut leluhur yang kalut, mencari
bahasa bagi mantra penolak bala, bunyi panjang
memanggil seseorang, cara memanggil piaraan
dan menghalau burung-burung. Kami tak lagi
membaca, seperti sekian kali kehilangan tanda
baca, saat orang-orang telah berhenti berdoa dan
hanya bicara tentang waktu yang mereka sebut
hari depan. Kemana akan kami cari, hikayat yang
tak mengusik kami dari belakang, cakap lumat
yang terlalu panjang lewat sekali helaan nafas.
Kandang Singa, 2017 * falsafah masyarakat Karo mengenai kematian
Di Tanah Karo Pengrengret Diturunkan
/1/
Pada mulanya kami adalah tubuh yang tak
memahami mimpi, tak memaknai bahwa yang
luhur berdiam dalam diri kami. Maka di lembah
dan perbukitan tanah karo, Dibata Si Mada
Tenuang telah menurunkan pelindung bagi kami
yang papa terbelenggu oleh indria dan tak biasa
mencari hakikat manusia.
Sejak itu, segala tulah, akan dikembalikan pada
doa-doa dan tabas. Dari segala yang terpisah,
akan bertemu kepala dengan kepala juga. Kami
pun menemukan keberanian pada warna merah,
kesucian pada warna putih dan kemurnian pada
warna hitam lewat pucuk-pucuk sirih, biji-biji
kapur dan buah gambir.
/2/
Telah kami baca hikayat tentang ikatan lewat
cicak bertubuh wajik, berkepala dua yang
mendiami rumah, pelindung kami. Berabad-abad
lampau ia telah menjadi penunjuk jalan bagi yang
berjalan dalam kelindan sesat hutan. Muasal likat
tatanan hidup telah ia rumuskan lewat petala Rakut Si telu: Kalimbubu, Senina, Anak Beru.
Segala dongeng tentang gergasi dan begu
meganjang telah ia patahkan dengan gerak dua
belas jemarinya. Bergerak dengan berbagai jurus
dengan sentuhan paling jitu di tiap jejaknya.
Maka kini ia telah dibebaskan menghuni dinding
rumah kami, pada kesempurnaan makna dalam
keabadian, yang awal kali kami bayangkan
sebelum ini.
Kandang Singa, 2017
Marsten L. Tarigan. Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 23 Februari 1991. Buku kumpulan puisinya Mengupak Api yang Hampir Padam (2016).
Oleh Teguh Afandi (Koran Tempo, 09-10 Desember 2017) Misi Baik dalam Komedi ilustrasi Koran Tempo
Pengarang Amerika Serikat Charles Dickens mengatakan orang-orang di
negaranya tidak memiliki humor, labil, mudah marah, dan itu membuat
daratan Amerika tampil menyeramkan. Namun bukan berarti semua orang
Amerika tidak memiliki selera humor. Terbukti, dari negara tersebut
muncul salah satu gaya lelucon yang digemari di seluruh dunia bernama stand-up comedy. Stand-up comedy atau komedi tunggal disukai, ditayangkan di
berbagai acara stasiun televisi, dan menjadi pilihan anak muda untuk
mengekspresikan kegelisahan mereka. Terbukti, banyak generasi muda yang
kemudian menjadi komika—sebutan bagi pelakon komedi tunggal.
Komedi tunggal pertama kali muncul di Amerika Serikat pada 1950-an.
Sebagaimana sejarah musik jazz, komedi tunggal bermula dari tradisi
kelompok imigran, khususnya Afro-Amerika, yang lantas merebak ke
berbagai lapisan masyarakat.
Di Indonesia, nama Pandji Pragiwaksono tak boleh lewat bila
membicarakan komedi tunggal. Pandji juga aktif dalam berbagai kegiatan
sosial dan politik. Maka tidak mengherankan, bila menonton tayangan
komedi tunggalnya, akan ditemukan kritik dan sindiran di tengah
lawakannya.
Komedi tunggal menjadi salah satu cara Pandji menyampaikan suaranya.
“Komitmen gue adalah menggunakan komedi sebagai alat perjuangan.
Perjuangan untuk mencerahkan banyak orang, membuka wawasan orang,” ujar
Pandji.
Tema-tema yang diangkat Pandji ke panggung bukan sekadar omong
kosong, melainkan membangun kesadaran penonton. Dia tidak segan membawa
isu hak asasi manusia di panggung komedi. Untuk memperkaya materi,
Pandji dengan serius melakukan riset bersama Kontras dan aktivis dalam
aksi Kamisan.
Komedi adalah cara yang mudah dan enak untuk menyampaikan sesuatu
yang berat. Komedi membuat semua hal menjadi mudah diterima. Pandji
bermaksud menggelindingkan bola salju dan membiarkan penikmat komedinya
menerima efek berantai dalam pikiran masing-masing.
Pandji adalah komika yang mendobrak pakem. Dia memilih tema yang
berbeda dari komika lain. Dia juga berani mempertontonkan komedinya di
panggung dunia melalui Juru Bicara World Tour di 24 kota dan lima benua.
Pandji bukan sekadar ingin naik ke tingkat internasional, tapi juga
ingin membuka peluang bagi orang asing untuk belajar dan mengerti
Indonesia.
Pandji menggunakan bit atau materi humor yang ditemukan di lokasi
pementasan. Misalnya, ketika di Cina, ia menemukan soal kebiasaan buang
angin warga setempat. Dalam tradisi Cina, angin buruk tidak boleh
ditahan terlalu lama di dalam tubuh. Harus dikeluarkan, baik berupa
kentut maupun serdawa. Hal ini kemudian menjadi materi pertunjukannya di
Negeri Panda. “Saat berada di lift, ada seorang nenek yang buang angin
dengan santainya tanpa memperlihatkan perasaan bersalah sama sekali.
Kentut yang keluar pun sangat keras.”
Dalam tur dunia ini, Pandji menggunakan bahasa Indonesia. Ia tidak
ingin menerjemahkan materi-materi komedinya ke dalam bahasa Inggris atau
bahasa lokal. Menurut dia, dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia,
penonton yang mungkin orang asing akan belajar tentang budaya Indonesia.
Sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia percaya diri dengan identitasnya
di hadapan majelis internasional. “Tidak perlu khawatir untuk berkarya
dalam bahasa Indonesia. Berkaryalah dalam bahasa ibu untuk memukau
dunia.”
Pandji dan timnya membuka jalan bagi seniman atau komika lain untuk
menginjakkan kaki ke panggung internasional. Dalam buku ini, Pandji
menegaskan, selain kerja keras, kerja sama tim, impian, dan keteguhan
untuk berjuang harus terus diupayakan. Karena itulah buku ini diberi
judul Persisten, yang bermakna bahwa mimpi dan misi baik harus terus diupayakan.
Pandji dan komedi-komedinya bukan sekadar menawarkan canda tawa
pelepas penat. Dalam guyonannya terselip isu-isu sosial. Seperti
menegaskan kembali kalimat Pandji: merdeka dalam canda, merdeka bersuara.
Cerpen Raidah Athirah (Republika, 10 Desember 2017) Rindu Menjelang Senja ilustrasi Da’an Yahya/Republika(Bagian I)
Rumah berhalaman luas di Jalan Kondratowicza demikian asing terlihat.
Dedaunan kering tersapu angin bergulung di tanah, diselimuti butiran
putih menghadirkan sunyi setelah gerimis kehidupan menerpa di
perjalanan.
Inilah saat mengingat suamiku, Sebastian. Ia telah kembali ke sisi
Tuhan pada Desember sepuluh tahun lalu. Putra semata wayangku tinggal
bersama keluarganya di Berlin. Aku sudah tak ingat kapan ia bersama
istri cantiknya yang berambut pirang itu datang menjengukku. Seorang
anak perempuan yang kukandung selama sembilan bulan pun sudah
meninggalkanku. Riani, putri pertamaku, sudah menikah dengan seorang
warga Amerika yang cinta kepadanya. Cinta sudah terlihat kala lelaki itu
meminang Riani saat Sebastian masih hidup. Peter nama menantuku itu
memboyong putriku ke Afrika, tempat ia ditugaskan sebagai duta besar.
Negeri mutiara hitam begitu jauh hingga rasanya mustahil dapat
kujangkau di usia senja ini. Entah bagaimana rupa cucu keduaku, aku sama
sekali tidak tahu. Riani dan suaminya datang mengunjungiku di Warsawa
saat putra pertama mereka, Adam, berumur dua tahun. Ia hanya menelepon
mengabarkan kelahiran anak keduanya. Seorang bayi perempuan montok
berambut kecokelatan.
Suasana riuh di rumah sudah tak kurasa sejak aku harus tinggal di
rumah tua karena tak mampu mengurus diriku sendiri akibat operasi tulang
lutut 20 tahun lalu.
Aku mengenang keputusanku memilih melepas paspor hijau dan mengikat
utuh hidupku sebagai seorang warga negara Polandia. Entah mengapa jiwaku
terasa diterpa rindu yang tak bisa dikata.
Sebastian sempat menyayangkan keputusan yang kuambil, meskipun
demikian ia menghormati apa pun yang kupilih. Percakapan kami di sebuah
restoran kota tua kembali muncul mengempas memori. Saat itu, dedaunan
telah jatuh memeluk merahnya senja, ia menatapku dengan mata penuh
kasih. Mungkin saja ia merasa masanya akan tiba. Mendengar kata-katanya
yang lembut hampir-hampir berbisik, aku mulai memahaminya di masa ini.
“Kau yakin dengan keputusanmu ini, Sri?” tanyanya lagi seperti ingin aku menimbang hal ini masak-masak.
“Aku sudah 40 tahun hidup di rantau. 30 tahun bersamamu. 10 tahun aku
habiskan di ibu kota tanah airku. Tidak ada yang menanyakan kabarku
sebagai keluarga kecuali mereka hendak meminta uang. Warisan orang tuaku
sudah kadung jadi sengketa. Aku bahagia di sini. Aku menerima hidup ini
sejak awal kau menikahiku.”
“Kochana (tersayang/panggilan kasih seorang laki kepada
perempuan yang di cinta)…, aku takut kau merasakan kerinduan bila aku
sudah tak ada di sisi.”
“Tidak! Kau terlalu perasa Sebastian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hidup di mana saja pasti ada tantangan, ya kan?”
“Dorbze (baiklah atau well dalam bahasa Inggris) kochana,” katanya sambil memegang erat tanganku di merah saga menutupi hawa dingin.
Sebenarnya aku tak perlu menahan ke rinduan ini. Hidup orang-orang
yang kucinta baik-baik saja. Itu sebenarnya sudah cukup untuk wanita
renta sepertiku. Namun tetap saja tidak mengurangi rasa rindu yang
tiba-tiba hadir. Besok, Desember semua orang akan jauh mengunjungi
keluarga. Aku dan seorang wanita seumuran bernama Pani Dagmara akan
tinggal berdua saja di panti ini.
Pikiranku melayang ke masa 30 tahun lalu. Saat itu, kutinggalkan
rumahku untuk menikah dengan seorang lelaki asing Polandia. Setahun
berselang, Sebastian membawaku ke negeri Sang Paulus ini untuk merasakan
hidup baru. Aku menyalami ibu dan abah yang melepasku dengan linangan
air mata. Masa itu terasa baru berlalu. Ternyata masa itu kini datang
padaku, menua di negeri asing. Putaran kehidupan terjadi begitu cepat.
Aku datang ke negeri ini saat tumpukan salju teronggok di sudut-sudut
jalan. Orang-orang dari dahulu tak berubah, kaku dan bergerak cepat.
Bahasa mereka hampir tak bisa aku pahami, sulit sekali diucap. Meskipun
demikian ,aku telah memilih jalanku bersuamikan lelaki asing.
Setelah melahirkan Rino, aku disergap pikiran gila. Mungkin saja ini
yang dinamakan kesepian. Tersedu-sedu aku menangis di sudut taman
setelah mengantar putra kecilku memasuki usia belajar. Tak ada seorang
pun yang bisa kuajak bertukar kata. Aku akhirnya berdamai dengan
keadaan.
Ketika itu, aku berikhtiar menyatu dengan orang lokal. Mempelajari
bahasa mereka, memperhatikan tata krama dan pada akhirnya aku bisa
memahami kisah pilu di ruang kelas, bus kota, dan sudut taman.
Rasa muak setiap menjelang musim dingin tak lagi kutangisi. Aku
kembali hamil. Riani lahir saat Sebastian sudah mendapatkan pekerjaan di
Warsawa. Kesulitanku berkurang, tapi pekerjaanku bertambah. Aku
diterima bekerja sebagai pengasuh anak-anak sekali pun aku menyandang
gelar sarjana ekonomi dari universitas terkemuka di Indonesia.
Sebastian ingin aku tetap tinggal di rumah dan mengasuh anak-anak.
Tapi dia tahu betul ketika menikahiku, perempuan Sunda berparas manis
tapi keras kepala. Aku bekerja mengumpulkan uang dan mengirimkan setiap
bulan untuk keluargaku di kampung halaman.
Kapan kerinduan ini terobati? Laki-laki yang kucinta telah pergi
selamanya. Anak-anakku pun telah berlalu dengan langkah-langkah panjang,
jauh dari pandangan mata. Mereka menjauh mengikuti garis hidup, kadang
menoleh dan pada akhirnya tidak sama sekali. Tak lebih tak kurang dengan
yang kulakukan dahulu.
Sekali pun aku lelah mengandung dan mengasuh, mereka berlalu
menyambut masa depan. Tak ada yang perlu kutangisi di usia menjelang
senja. Aku bahagia mereka menyongsong sejuta harapan dan cita-cita.
Hanya saja, masaku kini hanya ketuaan di tanah asing. Kerinduan
membumbung tinggi melahirkan air di pelupuk mata yang keriput.
Kehidupan di rantau jauh dari pemandangan ayam jago menjelang fajar,
sawah ladang hijau sepanjang musim, dan panas matahari setiap waktu.
Gelap di negeri ini membuatku di ujung derita. Bukankah ini mimpi yang dulu kupupuk?
Memandangi salju dari balik jendela kamar. Doaku terkabul! Aku
mengenang masa kecil di Ciamis yang kurindukan. Aku sudah tak ingat
bagaimana rupa adik bungsuku, Dini. Aku merantau sewaktu ia baru bisa
melangkah. Entah bagaimana paras cantiknya bersemi. Aku rindukan
pertemuan dengannya. Umi dan Abah juga sudah berpulang. Mungkin saja
waktuku akan segera menyusul. Entahlah, aku disergap kesendirian yang
perih di rantau.
RAIDAH ATHIRAH adalah
seorang diaspora yang tinggal di Polandia. Belum lama ini dia meraih
penghargaan dalam Bilik Sastra VOI Award 2017. Dalam perlombaan itu dia
mengirimkan cerpen berjudul “Kenangan, Cinta, dan Sejarah Kota Tua.”
Warga Indonesia ini gemar membuat karya tulis fiksi, seperti cerpen yang
kini pembaca nikmati. Kisah yang ditulisnya kaya dengan nuansa hidup
dalam perantauan. Menyentuh hati siapa pun yang membacanya.
Cerpen Yudhi Herwibowo (Media Indonesia, 10 Desember 2017) Dua Telapak Tangan Umirra ilustrasi Pata Areadi/ Media Indonesia
KENAPA kau, Umirra? Kurasakan kesedihanmu sepertinya semakin dalam. Kerak air matamu dapat kulihat dengan jelas membelah pipimu.
Ini benar-benar membuatku hancur. Kupikir waktu akan menyembuhkan
semua. Bukankah kau sudah menyadarinya sejak usiamu 6 tahun? Hingga
sekarang, di usiamu 17 tahun, seharusnya kau tahu kalau ini semua memang
sudah digariskan padamu.
Umirra kesayanganku, aku tentu bisa memahamimu kesedihanmu. Sejak kau
bayi, aku tahu ada sesuatu yang berbeda denganmu. Dua telapak tangan
mungilmu, entah kenapa menghantarkan hawa panas yang tak semestinya. Dan
Amirra—mamamu—yang pertama kali merasakan keanehan itu. Aku ingat
bisikannya padaku saat itu, “Tangannya seperti ingin membakar apapun
yang disentuhnya.”
Kami kemudian membawamu ke dokter. Tapi sampai beberapa dokter
memeriksamu, tak ada satu pun yang bisa menyembuhkanmu. Mereka hanya
berkata setengah menyerah, “ni sekadar gejala temporer, akan hilang
dengan sendirinya.”
Tapi hawa panas itu tak pernah hilang. Malah terasa semakin panas
saja. Kami sendiri awalnya tak mengatakan apa-apa padamu. Kami merasa
kau belum cukup umur untuk mengetahuinya. Tapi saat usiamu 6 tahun, aku
melihat kau mulai merasa heran saat kupu-kupu yang ada di tanganmu,
hancur sayapnya dan jatuh begitu saja menggelepar-gelepar di tanah.
Kau memandangku tak mengerti. “Papa kenapa kupu-kupu ini mati?”
Aku hanya bisa menjawab dengan jawaban yang kucari-cari. “Mungkin, ia
memang sedang sakit, Sayang.” Aku tahu, sejak itu, kau mulai menyadari
ada sesuatu yang aneh di kedua tanganmu.
Aku bisa menebak kalau hidupmu akan berbeda dari gadis-gadis kecil
lainnya. Kau nyaris tak memiliki barang-barang kesayangan. Boneka-boneka
yang kubelikan selalu hancur perlahan-lahan, juga mainan-mainan
lainnya.
Kau sendiri mulai terganggu dengan tanganmu. Untuk mengurangi hawa
panas yang berlebihan, aku juga menyediakan sebaskom air es di dekatmu.
Bila kau telah tak tahan dengan hawa panas yang keluar, kau akan
memasukkan tanganmu ke situ.
Aku juga menyediakan sarung tangan untukmu. Awanya sarung tangan
biasa. Namun itu selalu rusak dalam dua hari berselang. Aku pun kemudian
mulai membelikan sarung tangan tebal yang biasa dipakai di daerah
dingin. Setidaknya itu bisa bertahan sekitar 2 minggu. Biasanya, aku
akan melontarkan gurauan saat kau memakainya, “Lihat, sarung tangan
buatan luar negeri memang jauh lebih kuat…”
Awalnya tentu kau juga terlihat gembira. Tawamu masih terdengar
menggemaskan. Tambahan pertanyaan-pertanyaanmu yang macam-macam,
seperti: “Kenapa aku harus melakukan ini, tapi Niken dan Auri tidak?”
Dan aku harus mencoba menjawabnya selucu mungkin.
Sayangnya kegembiraan itu tak lama. Hanya dua tahun berselang, kau
sepertinya mulai sadar, kalau kau memang berbeda dari lainnya.
Sejak itu, kau tak bertanya-tanya lagi. Aku bahkan melihatmu, enggan
menyentuh apa-apa. Bahkan menyentuh diriku. Kau akan lebih banyak
berdiam diri di kamarmu. Memandang jendela yang menghantarkan
pemandangan indah di kejauhan.
Saat kau berumur 13 tahun, aku pernah mengajakmu menonton film
Frozen. Film yang begitu hebohnya, sehingga anak-anak begitu
menggilainya.
Seharusnya ada Amirra bersama kita. Tapi sejak 5 tahun yang lalu,
mamamu telah pergi meninggalkan kita. Jadi hari itu, hanya kita berdua
saja yang menyaksikan film itu.
Sebelumnya aku tak terlalu tahu cerita film ini. Tapi saat film
berlangsung, perasaaku tiba-tiba terasa tak enak. Dua kakak-beradik yang
menjadi tokoh utama di film ini harus berpisah karena sang kakak
memiliki kutukan di dua tangannya. Apa pun yang disentuhnya akan membeku
menjadi es.
Aku tiba-tiba merasa salah telah mengajak dirimu menonton film ini.
Tapi aku mencoba menghibur diri saat melihat akhir film yang bahagia.
Saat semua orang mulai keluar dari bioskop, kau tak juga beranjak.
“Tangan Elsa… tak jauh berbeda dengan tanganku, Papa…” ujarmu.
Aku tak langsung menjawab. “Ya, tak jauh berbeda. Dan kau bisa lihat
bukan, akhir ceritanya? Semua berakhir indah pada waktunya.”
Kau hanya diam dan mulai bangkit dari kursimu. “Itu hanya film, Papa.
Film harus berakhir bahagia untuk menyenangkan siapa pun yang sudah
membayar tiket. Apalagi… ini film untuk anak-anak…”
Sebelum kujawab, kau sudah melangkah ke luar. “Lagian… aku tak suka
film ini. Elsa terlalu berlebihan. Seharusnya ia tak begitu. Yang
dilakukan kedua tangannya hanya membekukan segala hal. Bukankah tetap
ada harapan dari semua yang membeku?”
Kau memandangku sejenak, “Tapi… tidak dengan dua tanganku. Semua
hancur di tanganku. Semua mati. Tentu yang hancur dan yang mati, tak
punya harapan apa-apa…”
Kesedihan memang telah bersemayam di rumah kami yang kecil. Tak
pernah lagi ada tawa, tak pernah ada kegembiraan. Sampai bertahun-tahun
aku masih mengupayakan itu semua. Aku banyak menyetel film-film komedi,
dan mengajakmu menonton bersama. Aku juga akan tertawa keras di scene-scene yang lucu. Tapi kau selalu tak bereaksi. Lama-lama film pun terasa hambar.
Hampir 4 tahun lewat, aku nyaris menyerah. Kau seperti telah
mendapatkan duniamu sendiri. Kamarmu yang selalu tertutup. Musik yang
kau setel pelan-pelan. Hanya sesekali kau keluar dari kamarmu untuk ke
halaman belakang rumah.
Seperti hari ini… Dari arah jendela kamar, aku melihatmu menolong
anak burung yang terjatuh dari pohon. Aku tahu, kau ingin segera mungkin
menolong burung itu, dan mengembalikan ke sarangnya. Tapi yang terjadi,
hanya beberapa saat di tanganmu, burung kecil itu mati. Sayap-sayapnya
seperti gosong terbakar.
Aku sedih melihatmu begitu bersedih menatap anak burung itu. Aku segera keluar untuk memeluk pundakmu.
“Padahal aku hanya menyentuhnya sebentar saja,” isakmu.
Aku hanya bisa memeluknya erat-erat. Tapi seperti biasa, kau akan
melepasnya. Kali ini dengan sinar mata yang tak bisa kutebak, seakan ada
sebuah pikiran yang tiba-tiba mengganggu dirimu.
“Papa…” kurasakan getaran di suaramu, “apakah mama meninggal… karena aku?”
Aku terkejut. “Tentu saja bukan,” jawabku cepat.
“Sejak aku kecil, mama yang selalu memelukku. Dan papa tahu bukan,
apa yang terjadi dengan semua hal yang selalu kupeluk? Guling-guling…
sarung tangan… dan boneka-boneka itu… semuanya perlahan-lahan hancur…”
Aku tercekat dengan apa yang dipikirkannya.
“Papa… tak usah menyembunyikannya lagi.”
“Aku tentu tak menyembunyikan apa-apa. Mamamu memang pergi karena sakit…”
Dan kau tak berkata-kata lagi. Tapi aku tahu, pikirannya menjadi
begitu bergejolak. Kini kau bukan lagi gadis kecil seperti dulu. Kau
telah berusia 17 tahun, dan bisa menyimpulkan segalanya sendiri.
Selang beberapa hari dari hari itu, kutemui kau tengah mencoba
memotong tanganmu dengan pisau dapur. Teriakan pendekmu, membuatku tahu
ada sesuatu dalam kamarmu. Maka aku pun segera mendobrak pintu.
“Anak bodoh! Apa yang kau lakukan?!” Aku segera mengikat tanganmu, agar darah tak terus keluar.
Kau tak menjawab. Kau hanya menangis.
Aku segera menggendongmu keluar. Kududukkan dirimu dalam kursi mobil.
Lalu kunyalaklan mobil secepat yang kubisa. Kepanikan tak juga hilang
sepanjang perjalanan.
“Papa…” suaramu membuatku menoleh, “maafkan… aku… ”
“Jangan lakukan itu lagi. Berjanjilah padaku!”
Kau tak berkata apa-apa. Kau dapat selamat hari itu. Tapi tak bisa
kupungkiri semua menjadi semakin buruk. Ruangan kamarmu pelan-pelan
terasa hancur. Dipan, kursi dan meja belajar, seperti melapuk dan patah,
dinding menghitam seakan ada bara api yang terus menyala, dan 2 AC yang
ada di kamarmu tak bisa lagi bisa menyala.
Hari saat kau akan memotong tanganmu adalah hari yang paling
menakutkan bagiku. Sejak itu aku mengambil kunci kamarmu dan tidur di
ruang tengah, agar sewaktu-waktu dapat tahu apa yang terjadi di kamarmu.
Aku terus mencoba untuk tidak menyerah. Aku tak ingin kalah. Tapi
kesedihan ini benar-benar telah meruntuhkan sebuah bentuk kegembiraan
yang tersisa.
“Papa… semua semakin mengerikan,” ujarmu dengan nada muram.
Aku diam. Kucoba memegang tanganmu yang memakai sarung tangan tebal. Tapi lagi-lagi, kau menepisnya perlahan.
“Apa papa pernah membayangkan, apa yang kurasa di tubuhku?”
Aku terdiam. Itu pertanyaan yang dulu kerap kutanyakan padamu. Dan kau selalu menjawab, “Tak ada apa-apa di tubuhku.”
Tapi kini, kau malah balik menanyakannya padaku.
“Apakah… kau merasakan sakit?” tanyaku.
Kali ini kau mengangguk. Sungguh, anggukan yang nyaris tak terlihat itu begitu meremukkan hatiku.
“Semua tak akan menjadi baik, Papa…” ujarmu lagi.
“Selalu akan ada jalan, Sayang…”
“Sampai kapan Papa? Sampai semua hancur? Termasuk… papa?”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Ingin sebenarnya kukatakan, tak mengapa
semua hancur termasuk diriku, asal kau dapat sembuh dari sakitmu. Tapi
kupikir jawaban itu tak tepat kulontarkan kali ini.
Malam ini, semua seperti bergerak lebih lambat. Kesunyian seperti ada
di titik paling sempurna. Sesempurna penderitaan yang bisa diberikan
Tuhan padamu.
Esok paginya, aku menemukanmu masih terlelap di pembaringan. Matamu terpejam dengan senyuman yang membuatku senang.
“Sayang…” aku menyentuhmu.
Tapi tak ada jawaban. Hanya selimut yang kusentuh tiba-tiba terjatuh
di lantai, seiring jatuhnya dua sarung tangan yang biasa kau pakai.
Aku tercekat. Tubuhku tiba-tiba gemetar, terlebih saat kulihat dua telapak tanganmu yang kau tempelkan di dadamu.
Aku terpuruk dalam tangisanku. ***
Yudhi Herwibowo. Menulis beberapa novel. Salah satunya Halaman Terakhir, sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng (Nourabooks).