Daftar Blog Saya

Minggu, 07 Januari 2018

Genangan yang Bercerita Hari Itu

Cerpen Muhammad Rifki (Radar Surabaya, 17 Desember 2017)
Genangan yang Bercerita Hari Itu ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Genangan yang Bercerita Hari Itu ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Lelaki itu melihat tubuhnya di ujung jalan sana, tepat di pertigaan tempat orang-orang sedang berkerumun. Matanya mulai membaca resah, kemudian mata itu ia copot dan pergi meninggalkannya. Lalu berlari ke arah orang-orang yang duduk lesu dengan menekuk kedua lutut. Wajah mereka pucat sepucat langit, datar dan dingin tanpa ada tanda baca untuk menebak apa yang sedang menyekap pikiran mereka.
Melihat itu, lelaki itu justru menjadi panic. Ia berlari tanpa kaki, melihat tanpa mata dan berteriak tanpa suara. Di penghujung jalan gang-gang mewah yang ia lewati ada genangan air. Ada wajahnya tercetak dalam genangan itu; ‘wajah sampah’.
***
Ia masih duduk lesu sambil menekuk kedua lututnya. Tangannya sejak tiga hari yang lalu terasa kehilangan sendi. Gitarnya pun mulai lancang meneriakinya ‘bego’ dan tak berguna. Gitar lusuh itu semakin menjadi-jadi dan tak tahu diri, diputusnya satu per satu senarnya. Bunyinya kusut dan rusak. Gitar itu benar-benar telah stress. Ia memantaskan diri sebagai barang yang layak dibuang.
Tak hanya itu yang membuat pengamen A terpuruk pagi ini. Kejadian malam tadi ikut mempengaruhi kondisi batinnya. Karena waktu tak pernah memberinya ruang kompromi. Malam tadi, di sebuah warkop, pengamen A berusaha menego waktu, namun tak ada kata mufakat mereka lahirkan. Waktu justru memaki-makinya.
“Masa lalumu sudah hancur, Bung. Jika kamu masih seperti ini, tidak menutup kemungkinan masa depanmu juga akan retak. Sudahlah, lupakan saja untuk kembali ke masa lalu.”
Pengamen A beberapa kali memohon dan memaksa waktu agar bisa mengembalikannya ke masa lalu, dan memperbaiki semuanya. Seiring malam yang semakin tua, kelakuan pengamen A hanya memperparah rasa jengkel waktu. Ditendangnya keras pengamen A itu, lalu meludahinya dan menyuruhnya pulang. Maka ia pun pulang dengan gitarnya, yang di sepanjang jalan ikut menunjukkan sikap benci.
Setelah melewati jembatan kecil, pengamen A itu berlari ketakutan. Dadanya berdenyut cepat dan cemas. Ingatannya tentang rumah ikut melilit kecemasanya dan mencakar-cakar isi kepalanya. Ia merindukan ibu, kampung halaman dan masa lalu. Larinya semakin cepat, melewati gang-gang kecil dan rumah mewah. Di penghujung jalan yang ia lewati, sebelum sampai ke kamar kos, ia berhenti di depan genangan air.
Pengamen A itu tahu, genangan itu adalah sisa air hujan yang turun hari kemarin. Dalam genangan, ia bisa melihat orang-orang yang melewati jalan pesanggrahan. Sebelum jalanan itu sepi, ada banyak kaki ia lihat yang menginjak genangan itu. Ada wajah orang ketawa, wajah lesu, lelah dan terakhir, ia melihat wajahnya sendiri tercetak di sana. Wajah itu menatapnya dengan tatapan buram, menusuk sampai ke bagian belakang kepalanya. Beberapa saat kemudian, ia melihat sebuah mobil lewat. Genangan itu bercerita, mobil itulah yang membuat jalanan ini untuk hari esok atau esoknya lagi menjadi sepi. Sebagai penutup cerita, pengamen A kembali melihat wajahnya dalam genangan; ‘wajah sampah’.
***
Hari ini ia kembali membolos. Mahasiswa B itu merasa malu datang ke kelas dan duduk di antara teman-temannya. Ia ingin menyalahkan malam atas keadaannya ini, tapi malam tak pernah memberinya kesempatan. Ia selalu kalah, hingga tubuh lelaki itu terlihat lemas dan berbau menyengat hidung. Bau malam yang sudah menyatu dalam darah dagingnya.
Di sepanjang jalan menuju kampus, bukunya berceceran. Jatuh satu per satu di jalanan. Buku-buku itu berparas pucat dan ketakutan. Mereka pun kabur satu per satu dari si mahasiswa B. Ia pun lalu mengejarnya, menangkapnya satu per satu sambil berteriak marah. Namun, justru membuat buku-buku itu panik hingga mereka memilih untuk membakar diri mereka sendiri. Padahal, mahasiswa B itu memerlukannya untuk tugas-tugas konyol dosen minggu depan. Ya, minggu depan, seperti yang sudah dijadwalkannya. Meski kenyataan yang ada, hidup lelaki itu tak pernah sesuai jadwal.
Sebelum berangkat kuliah, ia sempat mengobrol dengan kopi. Bercerita panjang lebar tentang malam dan mahasiswi-mahasiswi kampus yang menggoda. Mengkategorikannya satu per satu, mengurutkan dari yang paling secantik artis Korea sampai cantiknya standar kembang desa. Meski pengkategorian ini tak pernah ada undang-undang kepastian dan malah sering berubah-ubah sesuai selera lelaki.
Keduanya tertawa. Kopi itu tampaknya menikmati cerita yang disuguhkan si mahasiswa B. Lalu kopi itu menimpali, bahwa ceritanya itu kekanak-kanakan dan mencap lelaki itu sebagai orang yang tak berguna.
Lelaki itumengerutkan dahi. Ia merasa tidak terima dikatai seperti itu. Kopi itu justru terkekeh melihat reaksi lelaki yang marah di hadapannya. Ia tersinggung dan membanting meja yang ada di depannya. Melihat kopi itu tumpah, mahasiswa B itu merasa puas bercampur bimbang. Kepalanya mulai lunak dan melumat kata-kata kopi tadi. “Orang yang tak berguna.” Kalimat itu terus mengaung keras dalam kepalanya.
Memang benar, di jalan pesanggrahan malam tadi, ia sedang asyik bercumbu dengan malam dan rokok. Sampai malam beruban, ia baru memutuskan pulang. Di tengah jalan ia mendadak berhenti di depan sebuah genangan air. Genangan itu memanggil-manggil namanya. Kemudian tersenyum dan bercerita. Mahasiswa itu bingung, namun ia tetap memperhatikan genangan itu. Dalam genangan, ia melihat masa lalunya saat kecil, rumah, dan orang tua. Genangan itu seperti tau banyak hal tentang dirinya.
Wajah mahasiswa B itu semakin jelas terlihat cemas saat ia melihat wajah ibunya menangis. Wajah itu yang dulu sering ia bikin menangis. Wajah tua itu yang menciumnya saat sebelum merantau ke Jakarta dan kuliah. Itu semakin menyayat dadanya saat genangan itu memperlihatkan kelakuannya saat ini; gemar nongkrong dan mencumbui malam. Terkadang ia membusukkan tubuhnya di atas kasur tertidur tanpa peduli hari itu ada dosen yang sedang mencari-carinya di kelas.
Terakhir, ia melihat wajahnya dalam genangan itu, mirip ‘wajah sampah’.
***
Ada pesan WA masuk ke ponsel orang itu banyak sekali. “Ah, memuakkan,” umpatnya. Lagi-lagi dari Haji Abidin si panitia masjid itu yang memaksa-maksanya hadir ke acara Maulid Rasul. Sejak sore kemarin hingga hari ini, hp nya selalu berteriak-teriak tidak jelas. Belum lagi pemberitahuan pesan Haji Abidin yang masuk tiap jam.
Lelaki beranak dua itu terlihat menimang-nimang tanggal. Ia tersenyum saat jarinya menyentuh tanggal hari ini. Hari di mana ia akan menemui kenalannya di London. Ada proyek uang yang ingin ia bicarakan. Bahkan malam tadi hampir semalaman ia tak bisa tidur mengingat proyek itu akan menikahkannya dengan miliaran dolar.
Anak-anak dan istrinya tak pernah tahu soal ini. Lelaki itu sudah menyumpal mulut keluarganya dengan uang-uang rupiah. Istrinya yang materai dibelikannya segala yang ia inginkan; mulai baju, mobil dan perhiasan. Lelaki itu bahkan menjadikan uang sebagai pengasuh anak-anaknya dan keluarganya.
Dan hari ini, lelaki itu ingin selingkuh. Ia jatuh cinta dengan pacar barunya bermuka datar di luar sana. Di hadapan istri dan anak-anaknya, lidahnya menari-nari mencari dusta untuk alasan urusan kerja ke luar negeri.
Mobil hitam miliknya sudah melirik. Dinaikinya mobil itu melewti gang-gang kecil dan rumah mewah serta jalan pesanggrahan yang kini dirayapi sepi. Matanya terkekeh melihat itu. Mulutnya terbahak-bahak tertawa puas.Tak ada lagi pedagang yang mengganggu dan membuat lecet mobil mewahnya.
Tiga hari yang lalu, sebelum jalanan ini sepi, ia frustasi setiap melewati jalanan ini. Ada banyak pengamen yang berkeliaran menjajakan lagu rumpang dan tak pernah selesai. Mahasiswa-mahasiswa yang keluyuran kesana-ke mari serta pedagang yang kerap membuatnya risih. Terlebih waktu itu ada seorang pedagang cemol yang gerobaknya tak sengaja mengenai mobilnya hingga tergores kecil. Itu cukuplah sudah membuat orang itu marah dan berterik-teriak sepanjang jalan memuntahkan kekesalannya. Dihantamkannya kata-kata penuh benci itu dalam secarik kertas perjanjian. Ia ingin pedagang-pedagang itu mati.
Saat malam tiba, ia menemui genangan air. Diludahinya genangan itu dan diinjak-injak.
“Kau akan liat sendiri, besok pedagang-pedagang di sini akan mati.”
Hujan kemudian mendadak turun deras.
***
Orang itu membawa mobilnya menuju ke ujung jalan arah pertigaan. Dilaluinya orang-orang berwajah pucat dan lesu dengan menekuk kedua lutut. Mereka duduk berjejer dengan tatapan kosong. Ia tak peduli. Dibantingnya mobil itu dan melaju kencang.
Lalu….
Rem berdecit keras. Orang-orang yang mendengarnya kaget dan berlari ke sumber suara. Satu per satu berdatangan, berkerumun dengan wajah datar dan tatapan tanpa nada. Dari kejauhan, orang itu terbangun. Dilihatnya dengan jelas tubuhnya di ujung pertigaan jalan sedang terkapar.
“Kamu atau mereka yang mati?”
Ia lalu menoleh ke sumber suara, GENANGAN! (*)

Qalbun Salim, 2 Desember 2017
*Penulis adalah santri di Pesantren Qolbun Salim sekaligus penggiat seni dan penikmat sastra.

Cewek Cabe-cabean yang Ingin Mengangkat Roknya

Cerpen Ferry Fansuri (Radar Surabaya, 31 Desember 2017)
Cewek Cabe-cabean yang Ingin Mengangkat Roknya ilustrasi Fajar Radar Surabaya.jpg
Cewek Cabe-cabean yang Ingin Mengangkat Roknya ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Kuyu keringat membasahi ketiak ini. Panas yang begitu menyengat membakar kotak besi yang kutumpangi. Laksana diriku dioven dalam microwave, dipanggang tanpa angin sepoi-sepoi sedikitpun. Bis ekonomi dari Umbulharjo ke Purabaya penuk sesak hingga membuatku terjepit di pojok, tapi apalah daya. Apalagi aku terhimpit perempuan tambun dengan daster berkibar membawa begitu banyak barang. Baunya menusuk. Rembesan keringat di ketiaknya terasa seperti ikan pindang busuk. Aku berusaha menutupi hidungku dengan leher kaos yang kuangkat. Sabar, Sarmin, dalam hati ini. Ini risiko petualangan yang kulakukan.
Kucoba menenangkan diri dengan meneguk air mineral yang kubawa, biarpun sebatas isi ulang untuk menghemat biaya. Kaos oblong usang, celana kain kusam, sandal jempit hampir putus, tas ransel kusut, dan beberapa receh lembar rupiah yang hitung-hitung cukup untuk makan serta karcis bis. Tujuanku pulau Dewata, surganya pencinta selancar akan menjadi tujuan pelarian dan penyembuhan luka ini. Umurku mungkin mendekati 12 tahun atau kurang. aku sendiri tak tahu kapan dilahirkan dan itu sudah lama sekali.
Mabuk darat masih kurasakan di dada ini, mau muntah tapi tersendak di tenggorokan. Belum teriakan penjaja asongan bercampur petikan gitar, suara cempreng pengamen menambah bising di dalam bis. Rute yang kulalui masih panjang. Sebaiknya kubikin senyaman mungkin biarpun bau bacin itu masih berputar-putar di hidungku. Kucoba alihkan pandangan ke luar jendela. Jalan aspal riuh dengan beragam mobil dan truk saling adu kencang. Truk-truk pengangkut sembako jadi pemandangan unik saat ini. Bak kayu dicat warna-warni dengan motif menyilaukan mata. Diberikan karakter kata permainan airbrush yang kocak. Pernah sebuah truk warna kuning sedang menyalip bis ini di sampingku dengan tulisan, Aku Tak Lagi Menunggu Jandamu atau Cinta Ditolak, Masih Ada Perek Yang Lain. Tertawalah diriku di dalam hati, setidaknya menghiburku saat ini. Mata ini terserang kantuk berat, perlahan menutup berharap tatkala kubuka dan semua lenyap. Moga tak lagi seriuh kata, tapi sebisu kala.
***
Tak terasa diriku terlelap lama hingga iler menetes di sisi bibir. Sesuatu yang wangi pun membangunkan diriku. Hidung ini mengendus-endus asal bau ini. Begitu dekat dan tak jauh. Kelopak mata dikit demi dikit membuka mencari lebih. Kutengok di sampingku telah muncul seorang gadis perawan yang menawan. Ke mana perempuan gembul berbau pasar ikan itu? Apakah Tuhan mengabulkan doaku atau ada penyihir baik hati yang menukarnya? Kuperhatikan gadis belia ini. Tampilannya begitu menggoda. Semua mata lajang pria curi-curi padang, bahkan ada yang melotot seperti ini meloloskan pakaiannya.
Ia memakai kaos ketat berbau putih dengan motif Hello Kitty tepat di tengah buah dada yang menyembul ingin tumpah. Rok hitamnya juga begitu press body di atas lutut. Kaki putih yang jenjang berujung sepatu selop. Rambutnya hitam tergerai lurus di pundaknya jatuh menebar keharuman dan menukar udara di atas jadi segar. Matanya bulat lentik merayu dan bibir yang tipis bagai menawarkan diri untuk dikulum.
Gadis tak merasa risih dan kikuk, bahkan menebah resah terlihat sengaja agar dipelototi dan menelan ludah saat melihatnya. Bersikap sedikit menantang dengan membuka kaki di bawah roknya, mengangkang dan terlihat segitiga emasnya berwarna merah. Ah…., kenapa aku ini mendapati pemandangan itu dan terus melirik serasa ingin tahu apa isinya. Dan kenapa pula ada gejolak di selangkangan balik celanaku yang mulai mengembang. Tak tahu apa itu karena merasa belum akil baligh. Kucoba redakan meminum air sebanyak-banyaknya. Tak mengerti reaksi apa ini.
***
Bis ini terus melaju dengan beban berlebihan. Sebuah lubang menganga di depan tak sempat dihindari sang sopir karena gelap tanpa penerangan di sana. Badan bis sempat oleng ke kanan, hampir membentur pembatas jalan. Seluruh penumpang sempat terombang-ambing. Begitu juga kami di dalamnya. Gadis sebelahku juga ikut oleng ke tubuhku. Sengaja atau tidak sengaja, buah dadanya yang padat itu didaratkan ke mukaku hingga aku tersudut dekat jendela. Sebuah kejadian langka dan jarang-jarang. Ketidakstabilan bis itu membuat ia mencengkeram tangan dan pahaku untuk berpegangan.
Seperti waktu dihentikan sejenak, aku dalam posisi terhimpit enak ini terekam dalam hitungan detik. Bau gadis perawan ini semerbak, terhirup laksana buah ceri. Bis itu mulai stabil dan mencoba berjalan perlahan. Gadis meminta maaf atas peristiwa yang baru saja terjadi. Aku hanya tertawa kecil menandakan untuk melupakannya karena hanya masalah kecil.
Guncangan mini itu membuat bis berjalan tersendat. Sang sopir memerintahkan kondektur untuk cek ban di luar. Kondektur berteriak bahwa ada ban pecah dan harus diganti segera. Akhirnya sopir menepi bis ke jalan. Seluruh penumpang disuruh keluar dulu untuk memudahkan perbaikan dan penggantian ban tesebut. Di tepi jalan tersebut terlihat remang, pencahayaan minim hanya lampu rumah warga yang masih menyala.
Semua penumpang keluar dan sebagian turun duduk di trotoar jalan. Ada yang merokok, mengunyah permen karet, mengutak-atik pager atau tiduran sebentar melepas penat. Begitu juga aku. Kucoba merenggang kaki tangan yang sudah kaku terjepit di sana. Menarik napas serta menggerakkan tangan hingga gemerentak tulang otot beradu.
Kuheran dari kerumunan penumpang di sana tak kulihat gadis sexy dengan rok ketat itu. Ke mana makhluk indah ciptaan Tuhan tersebut? Apakah ia sudah turun dan berganti kendaraan lain atau sedang pergi mencari makan? Aduh…, kenapa aku harus aku pikirkan. Lebih baik aku istirahat lebih dulu sambil menunggu duet sopir dan kondektur itu selesai. Kurebahkan tubuhku di rerumputan dengan tas ransel sebagai bantal, lelap terisap malam.
***
Panggilan alam sedang memanggilku. Air akan meluap di ujung kemaluan yang tak mau dikendalikan. Aku berjingkat untuk segera melepaskan syahwat satu ini. Celingak-celinguk tak kulihat toilet umum atau tempat aman meloloskan kencing ini. Apalagi kondisi tepi jalan di sana gelap gulita. Lampu jalan tampak tak berfungsi.
Peduli setan kataku. Aku harus mengeluarkan air seni ini sebelum terkena kencing batu. Aku sampai mengaduh-aduh, berlari kecil mencari semak-semak atau pohon yang bisa dikencingi. Sayangnya pandangan gelap itu mengganggu di depanku hingga aku memincingkan mata ini layaknya mata kucing. Tangan meraba tapi sial, kaki kiriku terantuk bongkahan batu yang tak kusadari dari tadi. Hal ini membuatku terjerembab jatuh menelungkup.
Bersamaan aku terjerembab, samar-samar disamping ada sesosok yang berdiri. Tubuh lencir berambut panjang, bau ini kukenal dan tak salah lagi gadis ranum itu. Tapi, mengapa ia tampak berdiri, menyingsing rok di atas pinggang dan mengeluarkan sesuatu. Ilustrasi air mancur muncul di sana. Intuisiku tak bekerja. Sketsa batang zakar beserta dua buahnya tersaji di hadapanku. Kulihat itu nyata, bukan ilusi yang disajikan seorang pesulap. Kupelototi tanpa kedip hingga tak lama terasa ada yang bergejolak diperutku.
Mual…
Pening…
Berkunang-kunang…
Muak…
Pusing…
Jijik….
Momen ganjil akan sulit kulupakan atau kuingat-ingat kembali dalam waktu lama, dan mengapa terjadi pada anak sekecil aku. Tak seharusnya terjadi. (*)

Kisaran, Juli 2017
*Penulis adalah travel writer, fotografer, dan entrepreneur lulusan Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair).

Glodok, Perempuan Batang Air, Ampangan

Puisi-puisi Iyut Fitra (Koran Tempo, 16-17 Desember 2017)
Glodok, Perempuan Batang Air, Ampangan ilustrasi Google.jpeg
Glodok, Perempuan Batang Air, Ampangan ilustrasi Google

Glodok


matanya nganga. pintu besar itu berbau lampau
tapi ia terus masuk. membawa tahun-tahun yang bertanya
“di mana sumur dari setiap airmata yang dulu tumpah?”
dinding-dinding tersenyum
seolah tak ada yang menyimpan percik darah, orang hilang, dan mayat
gadis-gadis bercelana singkat lewat seraya tertawa
aromanya mengubur kenangan yang telah dilupakan
tempat orang-orang bersorak atas nama bendera. atau entah karena apa

“singgahlah. di sini kami masih menjual masa lalu
apakah kau seorang yang tengah mencari bocah tak tahu bapaknya?”
angin yang gelisah. suara itu serupa dari pecinan
dan ia melihat tumpukan kalender yang dibakar. angka-angka merintih
“mei. panggil aku mei
kendati asapnya tak begitu hitam. tapi nasib bagiku terasa lebih kelam
teruslah mengenangku!”

tiba-tiba kepalanya dipenuhi oleh teriakan. ia terus saja masuk
karena tahun-tahun. berpuluh tahun terus mengepung
“apakah kau seorang yang dulu membawa api, menyulut hasut,
dan meninggalkan isak iba perempuan?”

kemudian ia berlari
meninggalkan glodok. yang dilihatnya penuh lukisan orang mati

Payakumbuh, 2017

Perempuan Batang Air


ia terlupakan. terlupakan
arah lebih berkasih pada laut. mula kedatangan
tapi bukankah batang ini yang dulu dihiliri para raja. para dara
untuk menulis tambo orang berlayar, saudagar, dan kepung lanun
lalu budak-budak dijual. tak ada tanda ingatan
selain nama yang terpancang di kenang-kenang ingatan
“aku perempuan batang air. bila tenang arus di muara
mengapa mengeruh ke ujung hilir?”

bagaimana melupakannya. o, bagaimana
mata yang sehitam silam
biduk, rakit, perahu, dan segala telah lewat memuat sejarah
dari kayu ulin ke rangkai baja. ia merasa tiap saat tubuh diguguh
sedangkan iakah garis darah yang telah membangun candi-candi dan pagoda
iakah keturunan yang tersangkut setelah banjir besar itu

ia terlupakan. terlupakan
“aku perempuan batang air. tak akan pergi kendati masa lalu datang mengusir!”
lalu tak ia dengar lagi suara biduk, rakit, perahu, dan kapal yang melaju
lalu ia lihat sampah berhanyutan selalu saban waktu

Buluh Cina-Payakumbuh, 2017

Ampangan


ampang sampai ke seberang
dinding sampai ke langit

bukit yang menukik ke arah kota. jurai hutan pinus
siapa pertama yang menusukkan dendam
hingga tanah demikian gersang
orang-orang mendaki. ke seberang orang-orang bernyanyi
perselisihan yang abadi
“takkan dapat ditawar bila malu tertampar
jangan berharap luka hati sembuh dalam sehari!”
ia susuri lereng itu. akar-akar melilit kokoh
walau matahari tua. di ampangan segala pantang adalah jiwa

dusun bambu. di jalan itik-itik terbang berkejaran dengan petang
orang-orang memagar ranah dengan pepatah
menjahitkan ke tebing-tebing. menjadi pintu-pintu meragu
“terbelintang lalu. tertelungkup patah!”
serupa dendang tiada usai-usai musim
hati-hati ia memungutnya. helai-helai menuju bukit
karena ampangan adalah adat yang tak lekang
orang-orang senantiasa bersetia pada peribahasa

ampang sampai ke seberang
dinding sampai ke langit

2017


Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku puisi terbarunya adalah Lelaki dan Tangkai Sapu.

Kisah-kisah Miris di Jalan Raya

Cerpen Justang Zealotous (Banjarmasin Post, 31 Desember 2017)
Kisah-kisah Miris di Jalan Raya ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Kisah-kisah Miris di Jalan Raya ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Adakah yang lebih tabah dari aku? Aih, kalimat ini mengingatkanku pada Hujan Bulan Juni milik Sapardi. Seharian ini, aku memang dirundung hujan, dan aku tidak berlari. Aku mematung di tempatku berdiri.
Aku sudah terbiasa seperti ini. Ketika hujan datang, aku membasah. Ketika matahari bersinar, aku menggosong. Tapi seperti yang aku katakan, aku tetap bertahan pada tempatku berdiri.
Jika hujan, tidak ada yang lebih indah selain melihat orang-orang berpayung melompati genangan air hingga terciprat dan sesekali mengenai pakaian mereka, lalu tiba-tiba ada suara tawa di bawah payung-payung itu. Atau seorang lelaki berjaket jins yang memayungi seorang perempuan yang jelas-jelas memakai jas hujan. Polos sekali.
“Kamu tidak perlu melakukan itu.”
“Aku tidak ingin kamu sakit.”
“Aku sudah pakai jas hujan.”
“Itu tidak cukup.”
Lalu, sebuah mobil di seberang jalan membukakan pintu. Perempuan yang mengenakan jas hujan itu masuk, meninggalkan lelaki yang tadi. Dari balik kaca mobil, seorang lelaki melemparkan jari tengahnya ke arah lelaki berjaket jins.
Orang-orang di jalan raya memang selalu lucu. Oleh karenanya, aku betah berdiri berlama-lama di sini. Meskipun hujan membuatku gigil atau panas yang datang tak tanggung-tanggung. Tapi tidak semua orang di jalan raya itu lucu. Beberapa di antara mereka malah lebih menakutkan daripada hantu-hantu yang bergentayangan di rumah-rumah tua. Aku serius soal ini.
***
Pernah suatu malam, aku melihat kejadian paling miris yang membuat aku sempat berdoa agar segera dicabut Tuhan.
Seperti biasa, aku berdiri di tempat ini, di dekat tiang nama jalan yang bertuliskan Jalan Merdeka Raya. Malam itu tidak hujan tapi bau aspal basah karena hujan tadi sore masih menguar. Aku yang bisa dikatakan sedikit menggigil memperhatikan mobil, motor, becak, andong, bajaj hingga truk lalu lalang. Aku selalu senang memperhatikan mesin- mesin yang berjalan angkuh itu.
Di dekat tiang lampu merah, sekitar beberapa meter dari tempatku berdiri, ada seorang anak laki-laki berambut kusut berpakaian kusut menenteng kantong-kantong plastik hitam yang juga kusut. Dia menjajakan kantong-kantong plastik hitam itu ke setiap pengendara yang singgah karena lampu merah.
Ada sedikit rasa kagum melihat anak itu. Dia menjual, bukan mengemis. Dia punya usaha untuk hidup. Aku tidak menyalahkan pengemis-pengemis yang mencari rezeki dengan mengemis, tapi sekali lagi, aku lebih kagum pada anak itu.
“Beli ini, Pak. Beli ini, Bu,” ucap anak laki-laki itu. Tiap kali dia berkala begitu, dia selalu menyertakannya dengan merendahkan bahu. Aku tahu anak itu pasti bekerja di malam begini karena suatu keperluan yang mendesak, atau itu memang pekerjaannya demi membantu biaya sekolah. Itu cuma dugaanku.
Dua jam berlalu, baru satu pengendara yang berhasil membeli kantong plastiknya. Itu karena anak perempuan dalam mobil sedan itu terlihat ingin muntah, jadi dia membutuhkan kantong plastik hitam demi memuntahkan semua isi perutnya.
“Terima kasih banyak, Pak. Semoga berkah,” ucap anak laki-laki itu sambil menunduk-nundukkan badannya. Dia terlihat girang sekali memperoleh uang seribuan. Aku yakin sekali, orang tuanya sudah berhasil mendidiknya dengan ajaran agama.
Malam semakin larut. Dingin kota ini makin terasa. Aku tetap bertahan di tempatku berdiri, tetap menyaksikan anak laki-laki penjual kantong plastik di dekat tiang lampu merah yang juga masih berjualan. Dia benar-benar ulet.
Hingga beberapa gerombolan anak datang menghampiri anak laki-laki itu. Pikiranku mendadak kacau. Apa yang ingin mereka lakukan?
“Woi!” teriak salah satu anak dari gerombolan itu dengan kasar.
Anak laki-laki yang berjualan itu malah tersenyum. Tidak tampak rasa takut dalam dirinya. Aku kini mulai bingung.
“Sudah dapat banyak?”
“Belum. Baru satu orang yang beli.”
“Ya sudah. Kita ke sana!” Salah satu anak berambut keriting mengajak anak laki-laki itu ke suatu tempat. Anak laki-laki itu mengangguk saja. Mereka kemudian pergi ke tempat yang dituju. Di dekat semak-semak, tak terlalu jauh dari tepi jalan, di tempat yang agak gelap.
Di tengah keremangan, aku menyaksikan anak laki-laki itu bersama dengan gerombolan anak yang tadi. Gila. Mereka mengeluarkan beberapa barang berupa bubuk yang lumayan kecil, menghirupnya sedikit, lalu tertawa-lawa. Mereka juga mengeluarkan sebatang rokok. Astaga. Anak laki-laki itu juga ikutan merokok.
Aku langsung ingin mengutuk diri. Aku tidak tahu, tapi aku teramat jengkel dengan diriku sendiri.
Sehabis menikmati dunia, anak-anak itu berpencar lagi, termasuk anak laki-laki yang kembali ke dekat tiang lampu merah. Anak itu kembali menyodorkan jualannya, tapi kini cara berdirinya kurang stabil. Sedikit-sedikit oleng ke kiri, atau oleng ke kanan.
Akibatnya sebuah mobil berwarna putih yang hilang kendali menabrak anak laki- laki itu. Dia terpelanting. Kepalanya jatuh tepat di sisi trotoar. Darah seketika muncrat ke mana-mana. Tidak cukup lama, orang-orang sudah berkerumun ke arah anak itu. Beberapa orang lainnya menghakimi supir mobil, menghajarnya hingga biru-biru, termasuk mobilnya yang dibikin tambah penyok.
Kisah-kisah miris semacam itu sudah jadi makanan sehari-hari. Aku memang tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku tidak mempermasalahkan orang-orang yang sering berjalan dengan lagak, atau orang yang kadang singgah mengencingiku, atau ketika aku jadi bahan lelucon karena sebuah mobil milik pejabat menabrakku. Siapalah aku, aku hanyalah tiang listrik yang mengadu nasib di jalan raya. (*)

Justang Zealotous. Kelahiran Watampone, 17 Februari 1994. Seorang guru dan anggota FLP Bone. Pernah menjuarai Lomba Cerpen Pelajar dan Mahasiswa 2016. Domisili di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Bara Buku

Cerpen Muhammad Giffari Arief (Haluan, 31 Desember 2017)
Bara Buku ilustrasi Haluan
Bara Buku ilustrasi Haluan
Buku itu dibakar tanpa sebab. Padahal buku itu tidak pernah membuat pembacanya menghunuskan belati ke dada, tidak. Tetapi, api menjadi hakim. Memutuskan: Buku itu harus lenyap. Hilang dan mati untuk selama-lamanya. Tidak ada yang protes. Tidak ada pembelaan atau asas praduga tak bersalah yang ditegakkan. Semua diam. Hening. Buku itu terpaku dalam geliatnya kala diselimuti bara api yang menelan lembar demi lembar halaman. Asap keluar dari nyala api, membubung tinggi menyentuh langit-langit. Sayang, asap dari nyala api itu tidak membawa kata-kata yang termaktub di dalamnya. Isi lenyap dan tak mengalir ke telaga di Surga, meski masih menjadi pertanyaan meruncing; Apakah surga menerima buku?
“Entahlah,” jawab Alex Sudoyono.
Aroma kematian dari buku yang terbakar itu menyesaki ruang makan. Alex hanya menganga setengah bodoh, menatap mangkuk kosong di meja makan. Agaknya, asap memenuhi mangkuk itu, membuatnya tampak bias berwarna. Ngangaan Alex tidak menunjukan kebingungan atau kebodohan yang teramat sangat. Kadang bagai tanda bahwa ia bahagia dan senang, telah menuntaskan tugas keramat yang seolah telah ia emban selama beribu-ribu tahun lamanya.
Tetapi, jika membicarakan hal yang keramat, Alex hanya bisa bingung, karena hal-hal keramat yang notabene selalu dikaitkan dengan hal-hal sinting, tidak masuk akal, dan merupakan kemunduran peradaban. Syahdan, mendadak Alex mulai mengubah persepsinya mengenai keramat. Ia tak lagi memandang keramat sebagai sesuatu di luar nalar, agaknya.
“Bukan begitu!” Alex menghardik diri sendiri saat ia tiba-tiba saja mencoba menerima kehadiran hal-hal keramat dalam pikirannya. Meskipun begitu, betapa pun rasionalnya Alex, ruang makan itu tetap menjadi saksi bahwa Alex dengan beringas melakukan hal-hal di luar akal sehat. Ruang makan itu penuh asap dari buku Mein Kampf. Sebenarnya, ia tidak benar-benar sadar sedang membakar buku.
“Aku tidak sedang berhalusinasi. Panca inderaku membayangkan seekor ikan yang aku tidak tahu dari spesies apa. Meski aku tidak tahu itu ikan apa, pastinya perutku setuju jika ikan tersebut lezat rasanya. Ikan itu ada di perpustakaan kecil di kamar. Dengan sigap, aku mengambilnya dan membakarnya untuk kemudian aku makan. Setelah kumakan, memang lezat rasanya,” Alex bicara sendiri, “Apakah aku sedang berhalusinasi dan melihat Mein Kampf sebagai ikan yang lezat?”
Meski Mein Kampf sudah dibakar dan Fasisme yang dipropagandakan Adolf Hitler dan Benito Mussolini sudah tiada selama puluhan tahun, Alex mendapati bahwa Fasisme ada di masa kini. Kini Fasisme hadir, katanya, dalam wujud seorang wanita. Benar atau tidak kenyataan itu, hanya sebuah kebetulan yang konon kebetulan juga berada di sebuah masa, dan masa tersebut adalah masa kini. Dan lagi, Alex juga tidak tahu persis apa itu Fasis. “Bodoh amat….,” katanya.
Maka malam itu, ruang tamu tidak menjadi tempat untuk Alex bersantap malam. Malam itu telah bernyanyi dan menunjukkan sebuah pertunjukan sarat makna. Alex sedang membersihkan serakan kertas dari buku yang ia bakar. Serakan kertas itu menghampar di lantai ruang makan, akibat dari kibasan kipas angin yang menerb angkannya kian kemari. Serta asap yang juga ikut diterbangkan. Tapi perut Alex terasa kenyang. Ikan yang ia makan tampak nyata karena mampu mengenyangkan perut. Saat waktu berdenting pada dua belas malam lebih empat menit, kasur jadi persinggahan terakhirnya sebelum menutup mata. Kemungkinan besar, ia hanya sementara menutup mata.
Di hari-hari berikut, semakin banyak buku yang Alex bakar. Sebelumnya, untuk diketahui, perpustakaan di tempat tinggal Alex tidak sekecil yang ia basabasikan. Alex tinggal di Apartemen, di lantai dua puluh, tepatnya di kamar empat-kosongtujuh. Sementara, kamar empatkosong-delapan dan empat-kosong-sembilan yang juga milik Alex, adalah dua kamar yang dihuni oleh buku-bukunya. Jika dihitung, total bukunya sekitar dua puluh tiga ribu. Setelah melakukan hal gila dalam sebulan terakhit, jumlah bukunya bisa dihitung dengan terkaan yang benar-benar tepat tanpa harus mengatakan sekitar.
Setiap hari Alex membakar delapan ratus buku di sebuah pulau kecil dekat apartemennya—apartemennya dekat dari pantai dan pantai tersebut dekat dari pulau kecil tersebut. Sebagai penutup hari, ia membakar satu buku di ruang makan dalam tempat tinggalnya. Memang ada sebuah kesintingan terjadi. Sahabat sekaligus adik kandungnya sendiri, Alek, perlahan mulai khawatir atas tindakan Alex.
“Kau mulai sakit jiwa sejak…,” tiba-tiba ucapan Alek dipotong, “Aku tidak sakit jiwa! Aku sehat dan aku normal. Hanya karena melakukan kebiasaan yang tidak umum, kau dengan mudah menghakimiku sakit jiwa!” jawab Alex.
“Terserah,” jawab Alek, pasrah.
Tiga puluh tahun sudah Alex sendiri. Bukan ‘sendiri’ sebagaimana sendiri pada umumnya. Bukannya tidak ada siapa-siapa, bukannya kesepian, bukannya individualis, atau bukannya terasing. Alex malah dikenal sebagai orang supel dalam pergaulan. Banyak bicara dan kadang mengkhotbahi orang dengan banyak omong kosong. Sering kelayap ke ujung-ujung dunia. Tampak memiliki energi berlimpah.
Sendiri yang Alex maksud juga bukan sendiri pada jiwa. Karena ia berkali-kali merasa tercerahkan. Baik dari buku, film, animasi, pengalaman hidup, atau pun dari kekasih yang sudah ia gonta-ganti lebih dari empat puluh kali. Kini, bersama kekasih keempat puluh satu, ia mantap untuk maju ke pelaminan. Tanpa satu pun hambatan. Angan-angan untuk menjalin bahtera rumah tangga bagai semakin nyata.
Sendiri yang Alex maksudkan masih misterius.
“Kamu tidak terbebani, kan?” Tanya Karelia Anggita, kekasih yang keempat puluh satu Alex. Karelia merasa bersalah dan menyadari sesuatu. Seminggu sebelum Alex membakar buku-buku, Karelia mengajak Alex ke rumahnya, yang berada tak jauh dari apartemen Alex. Karelia tinggal seorang diri di sana. Alex datang membawa ribuan pertanyaan saat berkunjung.
Mereka adalah lawan jenis. Berduaan pula di tempat sepi. “Semoga tidak. Tapi kalau pun iya, mungkin tidak apa-apa,” Alex membatin.
Rumah Karelia kecil, tapi dikelilingi taman yang luas. Seperti stepa indah, yang akan emakin indah dengan pepohonan. Tapi di sana hanya ada rerumputan dan bunga-bunga. Rumah Karelia seperti istana, karena selain taman, juga dilingkari tembok besar layaknya benteng, melingkar, seperti coloseum.
Bisu dan kaku. Hanya itu yang ada saat Alex dan Karelia berduaan di sana. Tak ada hal aneh yang terjadi. Tidak ada penghasut ketiga di sana. Di beranda, mereka duduk. Tidak bersitatap, tapi sepakat menatap kupu-kupu yang sama yang sedang berkelana di sana. Alex lalu mendobrak keheningan.
“Mengenai permintaan orang tuamu,” baru empat kata Alex bicara, Karelia memotongnya, “Jangan dihiraukan! Kamu tidak perlu meladeninya. Kemarin bulan Oktober. Di bulan itu, ayahku biasa bertingkah sinting. Aku takut kamu jadi gila, atau mati!” Karelia berang dan sedikit cemas.
Kecemasan Karelia bukan tanpa alasan. Setiap bulan Oktober, tahun berapa pun itu, dan siapa pun diktaktor yang tengah berkuasa saat itu, ayahnya selalu bertindak sedikit sinting, bahkan cenderung sangat sinting pada tiga hari yang lalu, saat Karelia mempertemukan Alex dengan ayahnya. Dengan penuh bahagia.
“Tolong kau panggil semua orang yang umurnya tua darimu dengan sebutan layaknya kau memanggil yang lebih muda darimu! Sementara yang lebih muda darimu, kebalikannya!” pinta ayah Karelia pada Alex.
“Maaf, om. Maksudnya apa?” Alex kebingungan.
“Otakmu terlalu kecil! Jadi, biarkan aku jelaskan. Jika kau biasa memanggil kakekmu dengan menyematkan kata ‘Kek’ sebelum namanya atau kau hanya memanggilnya ‘Kek’ atau ‘Kakek’ atau apa pun itu yang sejenis, maka hentikanlah. Panggil saja namanya langsung, atau panggilan sebaya, atau bahkan panggilan yang kurang ajar sebagaimana kau bersama temanmu!”
“Lalu untuk yang lebih muda?”
“Kebalikannya!” jawab tegas Ayah Karelia.
Tiga hari setelahnya, saat mengundang Alex ke rumah yang ia tempati sendiri itu, Karelia mengutarakan keinginan agar Alex tidak melakukan perintah ayahnya. Tapi, Alex hanya bisu. Alex tidak bicara sekalimat pun. Karelia tahu, Alex begitu terbebani. Sayang, Karelia tidak benar-benar tahu isi hati Alex.
Maka setelah itu, entah mungkin karena beban dari permintaan Ayah Karelia, ia mulai sering membakar buku. Dua puluh tiga ribu koleksi bukunya langsung menyusut selama sebulan. Hingga akhir April, hanya lima belas buku yang tersisa. Semua orang bingung atas tindakan Alex membakar bukunya. Karelia, Alek, semuanya. Namun tidak ada yang berani bertanya mengapa ia membakar buku. Semua orang hanya melarang, mencegah, dan menghardik, tanpa mau tahu mengapa ia membakar buku.
Sebenarnya, memang, Alex pun tidak mengetahui sebab apa ia membakar buku itu. Tapi yang pasti, inspirasi membakar buku justru muncul saat Alex melihat Karelia menangis. Meneteskan air mata, terisak-isak, dan meraungraung sejadi-jadinya. Saat itu, ketika mereka saling diam di beranda rumah, Karelia mendapat telepo. “Karelia, ayah meninggal.”
Karelia ulung dalam menyembunyikan kesedihan. Hari pertama setelah ayahnya meninggal, kedua, ketiga, dan satu minggu. Alex menjadi aneh, menjadi sering membakar buku. Hingga akhirnya Karelia memberanikan diri bertanya.
“Apa alasanmu membakar semua buku ini?”
“Aku hanya merasa bersalah karena waktu itu aku membiarkanmu menagis. Padahal dalam hati, sejak pertama kali bertemu denganmu, aku bersumpah: Aku tidak akan membiarkanmu menangis, dan akan menjagamu. Kau membuktikan, bahwa Fasisme tidak hadir dalam wujud seorang wanita, tapi Fasisme hadir kala seorang pria kecolongan dan membuat kekasihnya menangis,” jawab Alex.
Karelia kembali menangis setelah mendengar penjelasan Alex. Ia roboh ke pelukan lelaki itu.

*MUHAMMAD GIFFARI ARIEF, lahir 10 Juli 1998 di Padang. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Aktif menulis cerpen dan puisi di komunitas-komunitas siber

Kisah Siti di Hari Natal

Cerpen Jones Gultom (Analisa, 31 Desember 2017)

Kisah Siti di Hari Natal ilustrasi Renjana Siahaan - Analisa.jpg
Kisah Siti di Hari Natal ilustrasi Renjana Siahaan/Analisa

ITULAH hidup. Tidak bisa diduga. Kalimat-kalimat dewasa itu tiba-tiba mengucur begitu saja. Meski sadar anakku sudah pasti tidak mampu memahaminya menasehatinya. Aku pun melanjutkan cerita yang masih setengah jalan itu. Sengaja aku memilih plot mundur dengan harapan, anakku bisa mengambil kesimpulan dari cerita itu. Juga agar kisahnya terasa semakin menarik. Meski sebenarnya cerita Siti ini bagiku adalah sebuah ironi.
Setelah kematian anaknya yang masih “merah”, Siti memutuskan mengikuti saran dari para tetangganya. Apalagi suaminya Yusuf juga sudah bisa menerima. Sebelumnya mereka sempat bersikeras. Jika disinggung-singgung, Yusuf bahkan tidak segan-segan mengancam akan membacok kepala siapa saja yang berani membicarakannya.
“Jangan kau pancing-pancing aku. Silap aku nanti, kubacok pulak kepalamu!” begitu dia sering mengancam. Biasanya kalau sudah begitu, tak ada lagi yang berani menyinggung. Orang-orang itu tahu, kalau tentang itu, Yusuf tidak mau main-main.
Meski sejak mereka tinggal di kebun itu, tak sekalipun mereka pernah melihat Yusuf berlaku kasar. Untuk urusan yang satu itu, agaknya Yusuf bisa berubah menjadi apa saja. Mereka memilih tidak melanjutkan pembicaraan. Lagipula mereka yakin, cepat atau lambat Yusuf akan berubah pikiran.
Tidak hanya mereka yang pernah menasehati Yusuf. Hal itu juga pernah disampaikan Siti di suatu malam selepas makan. Siti memberanikan diri membahas hal itu kepada Yusuf. Bukan main kemarahan Yusuf waktu itu. Berulang kali dia membentak Siti sambil mengepalkan tinju di lantai papan gubuknya. Jika bukan karena sorot mata kedua anaknya, mungkin Yusuf sudah menampar wajah perempuan yang telah 8 tahun menjadi istrinya itu.
Sejak itulah Siti tidak pernah lagi menyinggung hal itu kepada suaminya. Dia juga telah membiasakan menutup telinganya dari omongan-omongan tetangga. Dia sudah terbiasa mendengar gunjingan yang selalu dapati di warung tempat dia membeli kebutuhan dapur setiap hari.
Takdir pun berubah. Siti dan Yusuf seolah diseret ke arah itu. Menjelang akhir tahun 2000, malapetaka terjadi. Anak mereka yang masih “merah” meninggal dunia setelah menderita sakit berhari-hari. Entah mengapa Yusuf dan Siti nekad membawa serta anak mereka yang baru berbilang minggu itu, ke pesta pernikahan anak Pintauli, adik Siti, di Jambi.
Pintauli-lah yang mempekerjakan mereka di kebun sawit itu. Kebun sawit milik Pintauli sendiri. Luasnya kurang lebih 1000 hektar. Sesuai perjanjian, Siti dan Yusuf akan diberikan upah berupa 10 hektar. Termasuk kebutuhan bulanan selama mereka mengurus kebun sawit itu. Yusuf dan Siti menyambut baik tawaran itu. Mereka meninggalkan Samosir, kampung halamannya. Sebelum menuju Binjai tempat kebun itu berada, mereka menyempatkan singgah ke Medan.
“Ke rumah kita,” kataku. Anakku terlihat terpelongo. Entah mengerti atau tidak.
Yusuf lebih dulu pulang dari Jambi. Dia harus mengurus kebun sawit yang dipercayakan kepadanya itu. Apalagi tidak lama lagi panen akan tiba. Jangan sampai ninja-ninja sawit lebih dulu memanen sawitnya. Tiga hari berselang Siti menyusul. Dia menyempatkan diri ke Medan. Lebih tepatnya, terpaksa singgah ke rumah kita, karena selama dalam perjalanan, anaknya demam tinggi. Kata Siti kepada ibuku, selama dua hari di bus, dia merengek terus dan tak mau minum ASI.
Kurang lebih seminggu Siti tinggal di rumah kita. Sampai anaknya benar-benar pulih, barulah dia pamit mau pulang.
“Ompungmu, tidak bisa ngantar. Bapak yang disuruh. Waktu itu umur bapak sekitar 11 tahun,” kataku.
Memang sejak dulu, Siti seperti memberi perhatian berlebih kepadaku. Berselang beberapa tahun dinikahi Yusuf, mereka meminta agar aku dibawa mereka ke kampung. Mereka bermaksud mengadopsi aku. Niat itu ditolak ibuku. Pantang, katanya. Meski begitu, setiap libur sekolah aku selalu dijemput dari Medan. Tinggal bersama mereka selama berbulan-bulan. Tak heran bila rasa sayang terus mengakar dari hati kami masing-masing.
***
Kami pun berangkat dengan menumpang bus tua. Kukira perjalanan itu akan sangat mengasyikkan. Aku keliru. Sesampai di terminal, kami kehabisan angkot menuju desa itu. Aku tidak ingat apa nama desanya. Kata Siti dari terminal itu kurang lebih 1 jam perjalanan lagi. Mengingat waktu semakin sore, Siti pun menyuruhku untuk balik saja ke Medan. Dia akan menumpang ojek meski dengan harus membayar ongkos 3 kali lipat besarnya.
Hanya sampai di situlah yang aku tahu. Aku tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya kehidupan mereka di sana. Juga sama sekali tidak terbayang kalau kehidupan mereka begitu susah. Apalagi samar-samar kudengar, orang yang kerja di kebun sawit itu biasanya orang kaya. Pastinya, jika ibuku bertanya, aku mengaku mengantar mereka sampai ke rumah.
Berselang dua hari terdengar kabar bahwa anak yang masih “merah” itu meninggal dunia. Kabar itu tiba di malam hari. Pintauli yang memberitahukan.
“Bapak dan ompungmu malam itu juga berangkat ke sana,” lanjutku. Dengan bermodalkan keterangan lewat seluler, kami berangkat dengan debar-debar di dada.
Kami tiba di terminal, nyaris subuh. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kurang lebih dua jam untuk sampai di ujung desa itu. Setelah bertanya dengan seorang penduduk, kami diarahkan ke sebuah perkebunan sawit yang masih tanggung ukurannya.
Kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di sebuah gubuk kecil di tengah kebun sawit. Dari dalam gubuk yang remang-remang, terdengar suara isak perempuan. Tangis itu meledak ketika Siti melihat kedatangan kami. Begitu juga dengan Yusuf. Dia tak kuasa menahan sedih melihat mayat anaknya terbujur begitu saja di hadapan mereka. Ito, hanya itu kata yang keluar dari bibirnya. Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk itu. Hanya mereka sekeluarga. Yusuf, Siti dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil.
Gubuk itu berbentuk panggung. Ukurannya hanya muat untuk empat orang. Tidak bersekat. Tidak ada dapur dan kamar mandi. Listrik juga belum masuk. Hanya ada tivi kecil hitam putih yang sumber dayanya berasal dari baterai dengan kapasitas 3 jam. Setiap malam mereka tidur bersama dengan menggunakan kelambu lusuh. Sepanjang malam api di luar menyala agar tidak ada ular, serangga maupun binatang buas yang mendekat.
Bila malam harinya turun hujan, keesokannya tanah menjadi lumpur. Lintah, pacet dan keong berlomba-lomba memanjati dinding gubuk. Sering juga, dua tiga ekor ular air tercecer di bawah tangga. Sebaliknya bila kemarau tiba, mereka harus waspada dengan kedatangan ular-ular berbisa di sekitar gubuk mereka.
Keesokan harinya, orang-orang dari perbatasan kampung datang melayat. Jumlahnya tidak sampai sepuluh orang. Mereka membantu persiapan menguburkan mayat anak yang masih “merah” itu. Tidak ada acara khusus untuk penguburan. Peti mati juga dibuat seadanya dari bilah-bilah papan bekas.
Aku diminta Siti untuk membuat nisan berbentuk salib lengkap dengan tanggal lahir dan kematiannya.
“Butet Nainggolan” begitu tulisku dengan sisa-sisa arang kayu. Yah, anak yang masih “merah” itu belum punya nama resmi. Seperti kebiasaan orang Batak Toba, setiap anak perempuan yang belum punya nama dipanggil Butet. Untuk anak laki-laki disebut Ucok. Pemakaman berlangsung singkat dan sederhana. Tak ada tangis. Tak ada airmata. Juga tak ada pendeta.
Acara diteruskan dengan makan siang bersama. Ibuku sudah mempersiapkan makan siang yang juga tak kalah sederhananya. Saat acara makan itulah kulihat dua orang laki-laki mendekati Yusuf. Mereka tampak menasehati Yusuf dengan wajah yang serius.
***
Setahun setelah peristiwa itu. Tepat di akhir tahun menjelang Natal dan tahun baru, seperti sekarang ini, mereka datang ke Medan. Seperti biasa, kami menyambut momen Natal dan tahun baru dengan suka cita. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga kami, di momen itu setiap hari kami menggelar “makan besar”.
Ada yang aneh. Tidak seperti sebelumnya, saat jamuan makan berlangsung, Siti dan Yusuf kelihatan canggung. Mereka menolak sejumlah menu yang biasanya sangat mereka minati. Mereka hanya mencicipi sayur dan ikan asam manis sekenanya. Awalnya kami mengira mereka sedang tak selera makan.
Keheranan kami pun terjawab. Setelah selesai makan, mereka menjelaskan bahwa mereka telah menjadi muslim. Mereka juga telah berganti nama. Kristian menjadi Yusuf. Rosmauli menjadi Siti. Begitu juga dengan kedua anaknya. Tadinya Johannes, kini menjadi Muhammad Riduan dan Natalina berubah menjadi Nur Aminah.
Banyak alasan yang mereka ceritakan. Paling kuingat adalah ucapan Yusuf di akhir-akhir pembicaraan, “Kalau kita di ladang singa, kita harus siap jadi singa!” kataku meniru Yusuf.
Tentu saja, di awal-awal kami sempat kecewa. Lama-lama perasaan itu perlahan hilang. Apalagi ketika Yusuf menceritakan pengalaman pertamanya salat, kami jadi terpingkal-pingkal. Yusuf yang biasa kami panggil tulang itu, dulunya begitu garang. Kini kelihatan sangat alim. Yusuf yang tadinya tidak pernah gereja, kini telah menjadi ustaz di kampungnya.
Tahun-tahun kemudian kami tidak lagi menyediakan menu khas akhir tahun. Sebaliknya mereka juga tidak menunjukkan sikap fanatik. Mereka tetap menganggap kami saudaranya, sama seperti kami yang tidak pernah merasa kehilangan mereka.
“Ah, tidak terasa, sudah 20 tahun,” kataku kepada anakku. Tak kuduga anakku nyelutuk.
“Ompung itu nanti datang, aku mau minta sepeda,” lanjutnya.
Aku tidak menjawab. Mulai dari anakku yang pertama lahir, Yusuf, Siti dan Muhammad Riduan tidak pernah lagi datang. Terakhir mereka datang saat pembaptisan kembali Nur Aminah menjadi Natalina. Bahkan mereka juga tidak hadir di pesta pernikahan kami. Samar-samar kami dengar Yusuf telah menjadi pemuka agama. Sekaligus tokoh masyarakat yang begitu berpengaruh di kampung itu. Ya, cerita sedih telah lama berlalu. Tidak ada lagi gubuk kecil dua-tiga ular air di bawah tangga gubuknya.
***
Hari ini aku seharian menonton berita di televisi. Ribut-ribut soal Yerusalem. Di dapur, istriku sibuk menyiapkan makan malam. Lengkap dengan menu warisan nenek moyang.
Ketika baru akan meneguk kopiku, sontak jantungku berdegup kencang. Tak sengaja, aku mendapati sebuah nama di running teks tentang para peserta demo dari Indonesia yang menjadi korban di Palestina. Ada nama yang sangat kukenal. Satu marga dengan istriku.
“Ma… ma…. teriakku!” Natalina tergopoh-gopoh. Darah yang sudah mengering masih menempel di tangannya. Pohon Natal di sudut ruangan terus saja berkedip. Aku teringat Siti, ibu Natalina!

Juru Selamat dan Segerombolan Napi

Cerpen Yuditeha (Padang Ekspres, 03 Desember 2017)
Juru Selamat dan Segerombolan Napi ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Juru Selamat dan Segerombolan Napi ilustrasi Orta/Padang Ekspres
BAGI pengikutnya, lelaki itu dianggap juru selamat yang diyakini akan membawa mereka menuju kemerdekaan dari kesewenangan penguasa negeri ini. Bagi penguasa, lelaki itu ancaman terhadap kedudukan mereka. Oleh karenanya, para penguasa itu membentuk tim yang diberi tugas untuk mengawasi apa saja yang dilakukan lelaki itu.
Suatu kali, lelaki itu sedang memberi pidato di hadapan anggota sebuah organisasi pedesaan Sumberwaras. Dalam pidatonya, lelaki itu sempat mengatakan: “Seluruh niat baik bisa diwujudkan dengan jalan apa pun, tapi satu hal yang harus diingat, jalan yang dipakai untuk mewujudkan niat baik itu harus tidak merugikan orang lain.” Oleh tim bentukan penguasa, pidato tersebut direkayasa isinya hingga menjadi pidato yang isinya sebuah ajakan melakukan makar. Dalam waktu yang relatif singkat, tuduhan itu semakin menggema ke telinga seluruh warga.
Sebagian warga menjadi terusik. Karena hal itu juga, di hati sebagian warga muncul pikiran buruk terhadap lelaki itu dan mereka merasa berkewajiban untuk segera bertindak mengamankan negara dari segala bentuk bahaya. Satu-satunya jalan yang diyakini mampu menghentikan lelaki itu dengan cara mendakwanya sebagai pemberontak. Dari hari ke hari dakwaan dan tuntutan itu menjadi viral dan akhirnya menjadi besar. Pada akhirnya pemerintah merasa tertantang untuk terus menjaga kemurnian negara.
Lelaki itu diadili dengan dakwaan makar. Serangkaian sidang sudah dilaksanakan dan hari itu adalah sidang terakhir. Dalam sidang terakhir tersebut pihak pengadilan memutuskan hukuman penjara selama 15 tahun kepada terdakwa. Lelaki itu dianggap terbukti bersalah telah menyusun rencana kudeta.
Di dalam Lapas A
Siang ini, pada jam istirahat, para napi berkumpul. Mereka sedang asyik membicarakan kabar yang memberitahukan bahwa sebentar lagi mereka akan punya teman baru. Berikut adalah keriuhan obrolan mereka.
“Kabarnya dia juru selamat, lo.”
“Jika benar, berarti kita tak perlu ragu lagi tentang kebebasan.”
“Maksudmu?”
“Sudah ada jaminan.”
“Maksudmu?”
“Lelaki itu akan jadi penyelamat kita juga.”
“Maksudmu?”
“Dari tadi maksudmu, maksudmu terus. Aku jelaskan, begini: selama ini kita ragu apakah kita akan mengenyam kebebasan, karena pada saat kita keluar dari bui acapkali kita justru kesulitan untuk melanjutkan hidup. Yang biasa terjadi di masyarakat kita, kebanyakan orang-orang akan sulit menerima kehadiran kita yang mantan napi ini. Oleh karenanya banyak dari kita akhirnya tak mampu melanjutkan hidupnya dengan layak. Banyak hambatan akan mengepung kita. Ujung-ujungnya kita terpaksa melakukan kejahatan lagi sekedar untuk bisa melanjutkan hidup dan pada akhirnya kita akan tertangkap lagi dan masuk bui lagi.”
“Keteranganmu mutar-mutar gitu.”
“Bisakah disederhanakan?”
“Siapa tahu juru selamat itu bisa menjamin hidup kita saat kita keluar dari penjara nanti.”
“Kau kira dia akan bersedia melakukannya?”
“Entahlah, tapi aku punya keyakinan begitu.”
“Atas dasar apa kau begitu yakin?”
“Bukankah kalian melihat sendiri, tidak semua warga menghendaki dia dipenjara. Ada lumayan banyak warga yang menjadi pengikutnya, paling tidak menjadi pendukungnya. Para pengikut itu pasti merasa prihatin dan merasa kehilangan karena dia masuk penjara.”
“Lalu?”
“Aku yakin, pasti ada sisi baik dari diri lelaki itu.”
“Lalu?”
“Sepertinya dia tidak buruk-buruk amat, tentu sisi putihnya cukup besar.”
“Lalu?”
“Dia pasti punya tujuan.”
“Lalu?”
“Aku tidak tahu. Tepatnya kita akan mencari tahu.”
“Lalu?”
“Kupikir-pikir kamu enak ya, tinggal bilang lalu, lalu, lalu… Sekali-kali ajak otakmu untuk mikir! Jangan dipakai terus untuk mbayangke bawuk thok!”
Berita di televisi
Sanksi telah diputuskan, 15 tahun penjara bagi lelaki yang dianggap oleh sebagian orang sebagai juru selamat itu. Hari ini adalah hari dia masuk ke dalam penjara itu di Lapas A. Selamat menjalani hidup yang baru baginya. Semoga dia tetap bisa bahagia dan baikbaik saja di sana.
Berita di televisi
Telah terjadi kebakaran di lapas B. Api menjalar sangat cepat ke seluruh area lapas, bahkan termasuk merembet ke ruang-ruang penjaranya. Untuk menyelamatkan para napi, pihak petugas terpaksa harus mengeluarkan para napi. Hanya saja ketika para napi dikeluarkan tidak dibarengi dengan penjagaan yang baik hingga pada saat suasana kisruh rupanya para napi telah memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Kini sedang dilakukan penyelidikan lebih lanjut, apakah larinya para napi murni spontanitas karena adanya kesempatan itu atau memang mereka sudah merencanakan sebelumnya, termasuk juga diteliti sebab terjadinya kebakaran itu.
***
Peristiwa larinya para napi lapas B meresahkan pemerintah karena napi tersebut adalah para napi kelas kakap yang jika sbebas berkeliaran di luar sangat membahayakan keamanan negeri ini. Pemerintah segera memerintahkan seluruh pasukan keamanan untuk bertindak untuk mencari keberadaan para napi yang melarikan diri itu.
***
Berita di Televisi
Para napi ternyata tidak melarikan diri. Sekarang mereka telah ditemukan sedang berkumpul di depan pintu gerbang lapas A. Mereka ingin masuk ke dalam lapas tersebut. Karena alasan darurat dan petugas juga sudah melakukan pengecekan ke sumber peristiwa, akhirnya para petugas memberi izin, mereka diperbolehkan masuk ke dalam lapas A.
Berita susulan, baru saja pemerintah telah mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada pengurus lapas A untuk menerima para napi dari Lapas B tersebut selama pembenahan lapas B usai.
***
Penyelidikan tentang penyebab kebakaran lapas B belum menuai kejelasan. Sementara berita mengenai lelaki yang dianggap sebagian warga sebagai juru selamat itu seperti teralihkan oleh berita kebakaran dan permasalahannya. Tapi ada kasak kusuk di media yang lain bahwa semua peristiwa tersebut ternyata masih dalam satu lingkaran dengan peristiwa mengenai lelaki itu. Semua sudah direncanakan. Semua napi besar kini berkumpul dalam satu lapas, yaitu di lapas A. Lalu banyak spekulasi pemikiran yang muncul tentang bahayanya jika mereka berkumpul, dan salah satu pemikiran itu adalah: Di saat 15 tahun yang akan datang, atau mungkin juga sebelumnya aku itu keluar dari penjara, bukannya kekuatan dirinya akan pupus tapi justru semakin besar. Mungkin saja dia akan benar-benar melakukan makar dan tentunya dia bukan saja tetap punya pendukung tetapi juga mempunyai pasukan perangnya. Semua penghuni lapaslah kekuatannya nanti.
Isu itu seperti sebuah tamparan bagi penguasa negeri ini, lalu para penguasa itu membujuk kepala pemerintah untuk tidak tinggal diam, dengan segera pemerintah menindaklanjutinya. Pasukan pengaman diminta menjemput lelaki itu untuk dipindah di penjara isolasi: sebuah penjara yang hanya untuk seorang saja, agar lelaki itu tidak bisa menyebarkan misi-misinya lagi. Dan ketika para petugas pengaman sedang melakukan penjemputan, lelaki itu sedang bermain gobak sodor (permainan anak-anak yang bersifat mencari selamat dari garis penjagaan) bersama teman-teman napi. Sedangkan sebagian napi yang lainnya asyik menonton permainan itu. Tetapi petugas keamanan tidak peduli, mereka tetap menjemput lelaki itu untuk dipindah ke penjara isolasi. Penjemputan itu merusak kebersamaan mereka.***

YUDITEHA
Kumcernya Balada Bidadari diterbitkan Penerbit Buku Kompas, tahun 2016, dan Kumcer Seeekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya, Penerbit Basabasi, tahun 2017. Aktif di Sastra Alit Surakarta dan Kamar Kata Karanganyar. (*)

Tegar dari Kebun Limau

Cernak M Z Billal (Padang Ekspres, 03 Desember 2017)
Tegar dari Kebun Limau ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Tegar dari Kebun Limau ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Kebun Limau adalah nama desa kecil itu. Meski limau berarti jeruk, tapi desa itu hanya memiliki satu pohon jeruk yang tumbuh besar di jalan masuk kampung. Sisanya adalah pohon karet. Lebih cocok dinamakan Kebun Karet daripada Kebun Limau. Itu sebabnya sembilan puluh lima persen penduduk di Kebun Limau bekerja sebagai penyadap getah karet. Entah itu sebagai pemilik kebun atau pun orang yang bekerja di kebun milik orang lain. Bukan sebagai penjual jeruk.
Di desa itu jugalah hidup seorang anak laki-laki bernama Tegar yang selalu menjadi buah bibir penduduk desa karena kepintarannya. Tegar tidak seperti kedua kakaknya, Yamila dan Fauzan. Meski baru berusia sepuluh tahun, namun ia memiliki pemikiran yang terbilang bagus dalam membuat keputusan. Otaknya seperti cepat menyerap pelajaran yang ia terima, tidak seperti anak-anak di Kebun Limau pada umumnya. Itu membuatnya selalu berhasil meraih rangking pertama di kelasnya. Selain itu, Tegar juga pandai mengaji dengan irama yang merdu.
Namun tahukah, sebab utama yang membuat Tegar kerap menjadi bahan cerita yang manis di kalangan penduduk Kebun Limau? Tidak sepenuhnya tentang kepintaran dan keramahannya saja. Melainkan dari latar belakang kehidupannya.
Tegar tidak dilahirkan di keluarga yang berkecukupan. Ia hidup bersama ibu dan dua kakaknya yang bekerja sebagai penyadap getah di kebun milik orang kaya yang tinggal di kampung sebelah namun memiliki kebun karet luas di Kebun Limau. Ayahnya sudah tiada sejak ia masih berumur sebulan.
Kedua kakaknya seperti mengikuti jejak ibunya yang tidak mampu untuk bersekolah. Selain karena himpitan biaya, juga karena otak mereka yang kesulitan menerima pelajaran. Keduanya hanya berakhir di kelas dua sekolah dasar dan segera menjalani kehidupan bersama ibunya di kebun karet atau sesekali masuk ke hutan lepas mencari rotan.
Tetapi tidak untuk Tegar. Meski ia juga membantu ibunya di kebun, itu tak membuatnya mundur seperti anak-anak seusianya di Kebun Limau yang memilih untuk berhenti sekolah. Ia tetap berjalan melewati pohon-pohon karet untuk sampai ke sekolah di kampung sebelah, menyeberangi parit lebar berarus deras, dan menghindari kawanan anjing yang menggongong. Ia selalu bersemangat untuk itu. Baginya perjalanan menuju sekolah ditemani matahari yang bersinar terang menembus daun-daun pohon karet yang rimbun seperti kekuatan yang menentramkan hatinya. Ia membayangkan wajah ibu dan kedua kakaknya. Ia tak mau melewatkan sedikit saja pembelajaran. Ia tak mau sebodoh dan tidak peduli seperti kawan-kawannya di Kebun Limau. Karena ia ingin membahagiakan ibunya. Ia ingin membangunkan sebuah rumah yang hangat untuk ibunya suatu hari nanti.
Di sekolah pun Tegar memiliki banyak teman. Meski baju yang ia pakai tak seputih siswa lainnya. Itu tak membuatnya malu, bahkan untuk mengakui kehidupan sehari-harinya. Para guru bersimpati dengan sikap Tegar yang benar-benar setegar namanya.
Namun masalah yang kemudian ia hadapi membuatnya merasa berat untuk menjalani hidup. Kakak laki-lakinya, Fauzan, menghadap Tuhan lebih dahulu karena demam berdarah yang diderita selama seminggu. Tegar sampai tak bisa mengeluarkan air mata lagi karena musibah yang menimpa keluarganya itu. Ia terlalu sering menangis dalam dekapan ibunya. Karena bagaimana pun juga Tegar tetaplah anak-anak.
Ia mulai dilanda keraguan. Ia mulai kehilangan semangat. Ia tak mau melihat ibu dan kakak perempuannya bekerja dengan susah payah di kebun karet yang luas itu. Ia ingin membantu. Ia menjadi sangat khawatir jika keduanya dalam bahaya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sekolah, meski hatinya menolak untuk itu.
Dua minggu tak ada kabar yang ia kirimkan ke sekolah sejak kepergian kakaknya. Orang-orang di Kebun Limau menyesalkan keputusan Tegar, namun mereka tak bisa memaksanya untuk bertahan. Ia bangun pagi tidak untuk berangkat ke sekolah, melainkan ke kebun karet menemani ibu dan kakak perempuannya.
Sampai pada suatu siang yang cerah di hari Senin Tegar mendapatkan kunjungan dari wali kelas dan teman-temannya. Tegar malu ketika berhadapan dengan mereka. Sesaat terlintas di kepalanya untuk berlari menjauh. Namun, itu tak mungkin ia lakukan. Ia berusaha menjelaskan keadaan hidupnya yang sekarang. Ia bahkan sampai menitikkan air mata yang membuat teman-temannya juga tak kuat menahan linangan di pipi mereka.
“Saya hanya ingin bersekolah, bu. Tapi keadaan seperti ini sulit untuk dihadapi. Saya hanya seorang anak yang takut kehilangan ibu dan kakak perempuannya.” Tegar mengakhiri kata-katanya sambil duduk menunduk di hadapan ibu guru kelasnya.
Ibu Guru mengusap-usap rambut Tegar. Ia paham pada masalah yang dihadapi oleh Tegar. Siapa pun akan sangat menderita dengan situasi seperti itu.
“Nak, kami datang kemari itu karena kami semua merindukanmu. Kami rindu pada Sang Matahari yang menerangi kelas dengan kepintaran dan kebaikan hatinya,” kata Ibu Guru kepada Tegar sambil tersenyum. “Lihat baik-baik, teman-temanmu di sini memintamu kembali ke sekolah. Mereka tidak sabar untuk mendukungmu merebut juara di olimpiade,” ucap Bu Guru.
Tegar mengangkat kepalanya. Memandangi wajah teman-temannya yang datang ke rumahnya. Ia merasakan kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.
“Ayolah, Tegar! Kami berharap bisa bersamamu sampai tahun kelulusan nanti,” Dita, si juara kedua menyuarakan isi hatinya kepada Tegar. Diikuti oleh suara teman-temannya yang lain, yang juga memintanya untuk kembali bersemangat.
Teman-temannya duduk mengitari dan langsung merangkulnya dalam pelukan persahabatan. Tegar sangat terharu. Ia kembali menangis. Sampai akhirnya ia berjanji di hadapan ibu dan kakak perempuannya, serta ibu guru dan teman-temannya untuk kembali menjadi Tegar yang dahulu. Ia akan kembali masuk sekolah untuk meneruskan perjalanannya dalam meraih kehidupan yang lebih baik. (*)

Kutipan The Girl on The Train

Aku tidak pernah mengerti betapa orang dengan entengnya mengabaikan kerusakan yang mereka timbulkan gara-gara mengikuti kata hati mereka. (hlm. 40)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Tidak ada gunanya berbohong. (hlm. 99)
  2. Tidak ada orang yang sempurna. (hlm. 141)
  3. Janganlah kita melibatkan polisi, kecuali jika benar-benar perlu. (hlm. 186)

Buku Tak Biasa tentang Cina

Oleh Bambang Kencana (Koran Tempo, 07-08 Januari 2018)
Buku Tak Biasa tentang Cina ilustrasi Koran Tempo.jpg
Buku Tak Biasa tentang Cina ilustrasi Koran Tempo 
Tak sedikit orang yang paham akan rumitnya Revolusi Kebudayaan di Cina dan proses peralihan menuju ekonomi pasar sosialisme. Banyak pula akademikus maupun wartawan yang sudah menjelaskan apa yang terjadi sejak “Lompatan Besar ke Depan” Mao Zedong pada akhir 1950-an di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu.
Dengan demikian, ketika Michael Bristow, editor untuk urusan Asia BBC dengan pengalaman jurnalistik 20 tahun termasuk tujuh tahun di Cina—memilih judul China in Drag, Travels with a Cross-Dresser untuk bukunya, banyak alis mata yang terangkat. Perjalanan ke Cina? Dengan seorang pria yang suka berpakaian perempuan?
Buku ini tidak biasa. Dengan membaca pendahuluan yang cuma empat halaman, seluruh kontradiksi dalam kehidupan di Cina tecermin sudah. Bermula dari Michael yang terkejut melihat guru bahasa Mandarin-nya muncul dengan pakaian perempuan dan mengenakan lipstik. Bersama pria macam itu pula, Bristow berkeliling Kota Changsa untuk mencari rumah makan.
Bristow bukan bepergian ke tempat-tempat yang indah di Cina, melainkan menelusuri sejarah sosial-politik dari sebuah negara yang pernah amat miskin, dilanda kelaparan yang menewaskan 15 juta jiwa, tapi 70 tahun kemudian bangkit menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Melalui pria yang suka berpakaian ala perempuan tersebut, Michael mendengar kisah-kisah tentang Revolusi Kebudayaan 1969-1976, ketangguhan mesin propaganda Partai Komunis Cina, kemunculan kaum kapitalis (ekonomi pasar sosialis), kultus individu Mao Zedong, dan efektivitas sistem pengawasan di Cina.
Pada September 1969, sang guru meninggalkan keluarganya di Beijing dalam usia 18 tahun bersama ribuan remaja lain. Ia menumpang kereta api ke pertanian komunal di Qiqihar, Provinsi Heilongjiang, di ujung paling utara Cina, tempat salju dan es beku bertahan selama berbulan-bulan. “Saya gembira ketika pergi. Kami menjawab seruan Ketua Mao untuk belajar dari petani,” kata sang guru, yang tidak ingin jati dirinya diungkap agar tetap leluasa mengenakan pakaian perempuan.
Para remaja itu tiba-tiba harus melupakan sekolahnya, melupakan keluarganya, melupakan mimpinya demi menciptakan masyarakat tanpa kelas, seperti mimpi Ketua Mao. Sebuah komunisme tingkat tinggi yang hendak diwujudkan di Cina, dan bukan di tempat kelahirannya di Eropa.
Optimisme sang guru dan sekitar satu juta remaja Cina lain yang ikut dikirim ke kampung-kampung itu terbukti salah. Revolusi Kebudayaan bukan cuma membunuh jutaan orang, tapi juga mendorong reformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, yang membuat Cina kini menjadi salah satu negara dengan ketimpangan ekonomi terburuk di dunia.
Salah satu kota yang dikunjungi Bristow dan gurunya adalah Shaosan, kampung halaman Mao. Di sana pada 1962 dibangun sebuah vila bernama Dishuidong atau Gua Tetesan Air. Ironisnya, vila mewah yang bisa melindungi Mao dari bom, radiasi, dan gempa bumi itu dibangun pada masa bencana kelaparan melanda Cina.
Revolusi Kebudayaan memang tidak akan pernah bisa dijelaskan dengan akal sehat. Sama seperti komunisme Cina yang justru semakin memuja globalisasi perekonomian. Pada awal 2017, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Presiden Cina Xi Jinping membela globalisasi ekonomi, ketika Donald Trump—yang kemudian menang dalam pemilihan presiden—mengusung tema proteksionisme.
Kontradiksi mungkin menjadi kata kunci di Cina dalam menghadapi perubahan-perubahan besar sosial-politik-ekonomi, dengan tetap berpegang pada kepemimpinan tunggal Partai Komunis Cina.
Dalam perjalanannya, Bristow beruntung bisa menyaksikan pemilihan empat deputi kepala pemerintah di Yongning. Bristow kecewa karena menyaksikan hanya ada empat calon untuk empat posisi. Bahkan, ketika sang pejabat memperkenalkan empat calon itu, dia sudah menyebutnya sebagai deputi. Tapi tetap saja belasan delegasi memberikan suaranya dan hasil penghitungan suara mengukuhkan jabatan yang sebelumnya toh sudah diberikan kepada keempat calon.
Bristow merasakan pula efektivitas mesin pengawasan Cina. Dalam perjalanan ke Tibet, dia bersama dua rekannya dibawa ke pos polisi untuk diinterogasi selama sembilan jam sebelum akhirnya disuruh pulang. Kesalahan mereka? Tidak membawa Dokumen Penduduk Sementara. Kealpaan itu jelas tidak akan menjadi soal jika berkunjung ke tempat lain.
Begitu pula ketika ingin mewawancarai pengacara hak asasi manusia Chen Guangcheng di kampungnya di Provinsi Shandong, Bristow bersama rekannya dihentikan oleh sekelompok pria bercelana jins dan kaus oblong. Tidak ada identitas yang ditunjukkan para pria itu, juga tidak jelas wewenangnya, tapi perintah mereka sepertinya bukan untuk dibantah. Setelah berbicara dengan seseorang melalui walkie talkie, Bristow diperintahkan segera meninggalkan kampung tersebut.
Beberapa bulan kemudian, dia menanyakan insiden itu kepada seorang pejabat di Beijing. Menurut si pejabat, kelompok pria itu adalah warga kampung yang kesal melihat terlalu banyak orang datang untuk bertemu sang pengacara. “Dia dan aku sama-sama tahu bahwa itu omong kosong.”
Berakhirnya Revolusi Kebudayaan membuat pak guru bisa kembali meneruskan pendidikannya setelah bekerja di sebuah pabrik dan menjadi wartawan di sebuah majalah. Beberapa tahun kemudian, dia berkarier sebagai dosen bahasa di sebuah universitas bergengsi di Beijing serta memberi kursus privat bahasa.
Sekali waktu Bristow bersama gurunya makan di Yuebin, Beijing. Saat makan, dua pria berjas memesan makanan dalam porsi besar, yang pasti tidak bisa dihabiskan oleh keduanya. Perilaku pamer kekayaan semacam ini sudah biasa terjadi di Cina. Pak guru tampak terganggu dan bertanya keras untuk menyindir, “Berapa banyak makanan yang kalian pesan?”
Bristow juga mengangkat sosok-sosok yang tersingkir, seperti Gao Gisheng, pengacara yang pernah dipuja pemerintah. Nasibnya berubah ketika dia mulai membela orang-orang yang menentang pemerintah. Gao harus keluar-masuk penjara beberapa kali. Ada lagi Liu Xiaobo, peraih Nobel Perdamaian 2010, yang meninggal pada 13 Juli 2017 karena menderita kanker hati.

Judul : China in Drag, Travels with a Cross-Dresser
Penulis : Michael Bristow
Penerbit : Standstone Press, 2017
Tebal : 211 halaman


Bambang Kencana, penulis yang tinggal di London.

Laci Rahasia, Lima Lampiran, Kamal, dan Lainnya

Puisi-puisi Mardi Luhung (Koran Tempo, 07-08 Januari 2018)
Teras Mardi ilustrasi Google.jpg
Teras Mardi ilustrasi Google

Laci Rahasia

: dari saadi shakur chishti

Semestinya, langkah yang panjang, hanya layak untuk hati yang panjang. Sebab, tak ada kerangkeng bagi yang bergerak. Oleh karenanya, si tukang yang mahir membikin lemari, tak lupa menyediakan sebuah laci rahasia. Laci rahasia bagi penyimpanan sesuatu. Agar para penerus di kemudian hari bisa tahu, bahwa tak semua yang terlihat, pantas diperlihatkan. Dan tak semua yang dapat diomongkan, layak untuk diomongkan. Dan si tukang yang mahir membikin lemari itu, pun berpesan: “Jika mengulurkan tangan kanan, jadikan tangan kiri buta dan tuli.”

Lalu, lewat hikmah yang hampir terlalaikan, tersimaklah kisah seperti ini. Dulu, ada si tukang kebun yang bekerja dengan baik. Tapi apa yang ditanamnya selalu gagal. Hal ini ditanyakan pada si guru. Oleh si guru dijawab: “Ceritakan padaku, apa yang telah kau lakukan selama ini.” Si tukang kebun pun berkata: “Sehabis menanam benih aku risau. Takut jika benih yang aku tanam itu mati. Karenanya, setiap malam aku kembali ke kebun. Dan menggali benih itu. Hanya untuk membuktikan, apa benih itu masih baik atau tidak. Terus menguruknya ulang.”

Si guru pun tersenyum. “Betapa rumitnya memahami laci rahasia sebuah lemari.”

(Gresik, 2017)

Lima Lampiran

: belajar dari gus mus

Di pesisir, Wak Huda adalah pendekar pencak. Khususnya pencak macan. Wak Huda juga punya group. Namanya: Group Pencak Macan. Group yang sigap jika ditanggap. Ditanggap untuk mengarak mempelai lelaki ke rumah mempelai wanita. Atau untuk kemeriahan malam kenduri sunatan. Wak Huda orangnya pendek tapi gempal. Segempal petinju yang kau lihat di televisi. Petinju yang matanya dalam. Sedalam laut di sana.

Wak Huda bisa menulis. Tapi tulisannya kaku. Sekaku cagak. Cagak pengikat perahu. Cagak yang mesti rajin ditelisik. Biar tetap aman. Biar perahu tidak lepas. Dan biar hati tenteram. Ketika si pemilik perahu tidur di balai. Tidur berbantal potongan bambu. Bersebelahan dengan orang-orang main sekak. Baik main berdua. Atau keroyokan. Riuh. Seriuh pasar burung. Yang berseberangan dengan lapak tukang sulap dan jamu.

Wak Huda tak suka pamer. Selalu bertempat di belakang. Cuma bergerak, dan bergerak. Dan semuanya beres. Beres dalam ketenangan. Beres dalam kesendirian. Karenanya, banyak yang menyebut: Wak Huda sebagai dapur yang selalu mengepul. Yang siap untuk menghidangkan santapan bagi yang bekerja. Baik yang bekerja ogah-ogahan atau sebaliknya. Karenanya, oleh orang-orang awas, dapur dianggap kamar kebaikan tersembunyi.

Suatu hari, Wak Huda bertanya: “Kau lihat mendung tebal itu. Apa hujan akan turun atau tidak?” Tentu saja aku jawab: “Sepertinya akan turun.” Wak Huda mesem: “Kita tunggu nanti.” Dan ternyata hujan tak turun. Mendung tebalnya bergeser. Tambah Wak Huda lagi: “Kenapa hujan tak turun? Karena tak ada semut yang keluar dari sarangnya. Dan untuk merasakan turunnya hujan atau tidak, semut lebih peka ketimbang kita.”

Kini, setiap ketemu semut, setiap itu pula aku teringat Wak Huda. Pendekar pencak macan di pesisir. Pendekar pencak macan, yang sebelum berpisah denganku, berbisik: “Banyak sekali yang disebut pendekar. Tetapi pendekar yang sebenarnya, adalah yang mampu mengalahkan yang di sini,” sambil menunjuk dadaku. Dada yang mengeras. Setiap ada yang menantang. Dan dada yang melagak. Setiap ada yang memuji nama diri.

Wak Huda, pencak macan, semut, dada, dan nama diri, adalah lima lampiran di pesisir. Pesisirku. Terimalah.

(Gresik, 2017)

Kamal

: bersama set & aji

Dengan nama yang berlari di urat dagingku. Melompat ke penampang ususku. Dan berenang di kedalaman darahku.
Darah yang mengalir seperti aliran selat yang kau temui di dalam mimpi. Aliran selat yang kau angankan menjemputmu.
Terus mengajakmu meluncur ke tempat-tempat yang mempunyai matahari, bulan, awan, dan bintang yang berbeda.
Dan juga pagi, siang, sore, dan malam yang berbeda.
Sampai apa-apa yang kau temui selalu merucut ketika dipanggil.
Sebab selalu muncul dengan rupa yang membuatmu tercekat. Terus diam-diam merasa ada yang berubah di nalarmu.
Yang semula pendek jadi panjang. Yang semula miring jadi imbang. Dan yang semula semburat jadi melingkar. Semuanya bening sekaligus kenyal. Dan kenyal sekaligus berongga.
Lihat, siapa dan apa yang sesekali mengintip dari rongga itu?
Kau pun cuma bisa menggumam. Apalagi, dalam sepuluh detik ke depan, melintas sepasang lembu karapan. Sepasang lembu karapan yang mempunyai sayap di unggungnya. Terus disusul dengan sekian pasang lembu yang lain. Yang lain. Dan yang lain lagi. Apa kau ingin memegang mereka? Jangan. Apa kau ingin menangkap mereka? Juga jangan. Biarkan mereka melintas. Sebab setelah itu, seperti gerbang, kau pasti tahu, ada yang akan terbuka diam-diam. Dan ada juga yang akan tertutup diam-diam. Lumrah. Selumrah waktu-lain yang pernah kau sangka tak ada. Waktu-lain yang tak bisa ditimbang.

(Gresik, 2017)

Urai Mardi

: rawon bagi si penjenguk

Aku mencintaimu dengan cara tidak genap. Sebab cinta bagiku bukanlah kangen yang mesti ketemu. Tapi kerling mata yang mengambil jarak. Dan terus-terusan mengambil jarak. Sampai apa yang terlihat menjadi tipis. Dan lenyap. Untuk kemudian mencintai lagi. Tapi, apakah ini kewarasan?

Oh, siapa yang mampu menjawabnya. Sebab, bagi yang mencintai, kewarasan bukanlah yang bisa dihitung. Atau ditakar dengan garis lurus. Tapi, hal yang rumit dan berlompatan. Dicegat sini, melompat ke sana. Dicegat sana, melompat ke sini. Seperti kelinci yang muncul dari topi si tukang sulap.

Kelinci yang ketika purnama membundar, menangkup di tengahnya. Lalu, apakah ini kebahagiaan? Semestinya, ini tak perlu dilontarkan. Sebab, dengan melihat pipiku yang merona, siapa saja mafhum, bahwa bagi yang mencintai tentulah bahagia. Baik ketemu. Atau tidak. Baik mencintai dengan cinta.

Atau malah dengan sebaliknya. Baiklah, aku mencintaimu dengan cara tidak genap. Dan cara ini, akan membuat cintaku tumbuh, berkembang, gugur, dan kembali tumbuh. Tumbuh dalam rangkuman semesta. Semesta yang terlihat sederhana sekaligus rumit. Tergenggam sekaligus terurai.

(Gresik, 2017)


Mardi Luhung adalah nama pena dari Hendry. Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Buku puisinya Buwun mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) pada 2010. Buku puisinya Teras Mardi menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo pada 2016.

Menunggu Salju Turun di Jakarta

Cerpen Abdullah Salim Dalimunthe (Koran Tempo, 07-08 Januari 2018)
Menunggu Salju Turun di Jakarta ilustrasi Munzir Fadly.jpg
Menunggu Salju Turun di Jakarta ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Mereka tentu tidak mengerti tentang perasaan saya sekarang ini, Paul. Di mata mereka, barangkali, saya hanyalah seorang janda tua yang belum cukup menjadi dewasa. Seorang perempuan cengeng yang menolak kenyataan bahwa suaminya telah mati berbulan-bulan kemarin. Atau, mungkin saja, mereka sudah menganggap saya gila—sebab, tadi saya mengatakan pada mereka, saya akan menunggu salju turun di kursi bambu di pekarangan rumah. Dan saya yakin sekali, tadi itu, telinga mereka bagai tersengat tawon-tawon raksasa. Tapi, sudahlah, Paul, biarkan mereka menganggap saya demikian. Toh, mereka juga tidak salah sepenuhnya. Lagi pula, mana mungkin salju turun di kota ini. Di Jakarta? Rasa-rasanya itu mustahil, Paul Rainer. Kau jangan gila.
Meski saya berharap, salju akan turun di kota ini sekali saja, paling tidak untuk malam ini. Menemani saya mengenangmu kembali pada masa-masa itu. Masa-masa di mana saya baru saja mengenalmu di kota itu, empat puluh tahun yang lalu, kau ingat? Ketika itu, saya bersama kawan-kawan mahasiswa yang berkuliah di Wina—yang juga berasal dari Indonesia—datang menyaksikan pertunjukan opera di Wiener Staatsoper. Malam itu adalah malam yang paling menakjubkan dalam hidup saya. Menikmati keindahan penampilan para seniman panggung di Wiener Staatsoper? Oh, Paul, itu seperti mimpi. Mimpi yang sangat menyejukkan. Ya, walaupun itu semua saya nikmati dari sudut pandang yang terbatas. Seperti sama-sama kita ketahui, butuh keberuntungan lebih untuk mendapatkan kursi terbaik pada balkon yang tepat di Wiener Staatsoper, bukankah begitu, Paul? Atau, uang lebih tentunya, biar bisa merebutnya dari para calo tiket yang berjalan-jalan dengan jubah mereka di luar sana. Atau, bisa juga dengan tidak menggunakan kursi sama sekali; menyaksikan pertunjukan sambil berdiri agar lebih leluasa—ah, seandainya kami tahu di mana loket standing class itu dibuka pada waktu itu. Tapi, tidak mengapa, karena dengan begitu saya bisa berkenalan denganmu pada malam itu. Perkenalan yang mengesankan. Kau yang kerap melemparkan senyum kepada saya.
Empat puluh tahun sudah berlalu, Paul, dan saya masih mengingatnya. Dan, saya yakin, kau pun masih dapat mengingatnya: kencan pertama kita. Kau tentu ingat, seminggu setelah perkenalan kita di Wiener Staatsoper, kau memberanikan diri untuk datang ke kediaman Tuan dan Nyonya Ebner; tempat di mana saya menyewa sebuah kamar di rumah mereka. Kau berniat mengajak saya menemanimu menyaksikan kembali pertunjukan opera di gedung megah itu. Oh, Paul, betapa senangnya perasaan saya. Terlebih, demi mendapatkan izin dari Tuan dan Nyonya Ebner agar bisa membawa saya pergi, kau harus rela menerima tatapan garang dan penuh selidik dari pasangan suami-istri itu terlebih dahulu. Dan kau begitu gugup. Kau tampak manis sekali pada saat itu, Paul. Maaf, saya tidak bermaksud menertawakanmu. Hanya saja, kala itu, saya melihat Tuan dan Nyonya Ebner begitu mirip dengan kedua orangtua saya. Mereka begitu khawatir. Sebab mereka memang telah menganggap saya seperti putri mereka sendiri. Dan, kita mesti menghargai dan memaklumi hal itu, Paul. Karena mereka belum mendapatkan anugerah itu meski usia mereka hampir terbilang senja. Ya, saya tahu, kau sedikit kesal ketika Tuan Ebner memperingatkanmu tatkala kita hendak memasuki mobil—sesaat sebelum pergi—dia sempat berkata: “Jadi, Paul Rainer, jika memang benar itu namamu, perlu saya tegaskan sekali lagi di sini: saya kenal semua bajingan yang ada di setiap sudut kota ini, dan mereka bersedia melakukan apa saja untuk saya agar saya tersenyum. Kau mengerti, kan, maksud dari perkataan saya ini, anak muda?”
Beruntunglah kata-kata Tuan Ebner tidak membuatmu murung terlalu lama. Karena suasana kegembiraan yang tampak dari orang-orang yang akan menyaksikan pertunjukan opera di Wiener Staatsoper turut meluruhkan kekesalanmu pada Tuan dan Nyonya Ebner. Ya, segala aura negatif seharusnya memang tidak boleh ada, biar bagaimanapun, malam itu adalah kencan pertama kita. Ya, kencan pertama kita, yang tiba-tiba saja berubah dari rencana semula.
Mungkin karena tadi terlalu gugup, atau karena kecerobohan yang tidak perlu, kedua tiket itu hilang; terjatuh dari saku mantel, katamu. Kau buru-buru berlari ke sisi kanan, berharap masih ada tiket yang tersisa. Tapi, sia-sia. Kemudian, kau teringat, “Standing class!” Lalu kau bergegas ke loket standing class itu berada. Tapi, Paul, percuma saja, tiga puluh menit lagi pertunjukan ini akan segera dimulai, mustahil, kata saya tersengal-sengal—mencoba menyejajarkan langkah dengan langkah kakimu yang begitu cepat. Maaf, bahkan loket itu pun sudah ditutup, ucapmu dengan sangat menyesal. Oh, Paul, saya tidak menyalahkanmu. Kau tak usah sekecewa itu. “Pria berjubah!” pekikmu tiba-tiba. “Paul, hentikan!”
Tidak ada pertunjukan opera bagi kita pada malam itu. Tapi, bukankah kota itu adalah Wina, Paul? Ada banyak keajaiban yang disuguhkan di kotamu itu. Dan, lagi pula, malam itu adalah kencan pertama kita. Saya lega kau segera menyadarinya. Kau mengajak saya untuk menikmati suasana jalanan di kota itu. Menikmati suasana musim dingin di jalanan kota Wina. Menurut saya, itu suatu hal yang sangat menggembirakan. Seperti yang dulu pernah saya katakan padamu, saat malam itu: “Mari kita nikmati Wina malam ini! Fantastis!” Kau tahu kenapa saya begitu bersemangat, Paul? Oh, Paul, delapan bulan sudah saya berada di sana, tetapi, sekali pun belum pernah saya dengan sengaja meluangkan waktu untuk benar-benar menikmati suasana jalanan di kota Wina pada malam hari. Ya, me-nik-ma-ti Wina, Paul! Musim dingin! Desember! Apalagi cuaca cukup bersahabat ketika itu. “Siapa tahu, salju pertama akan turun malam ini!” betapa bahagianya saya membayangkannya kala itu, Paul.
Lantas kita menuju Jalan Operngasse dan menyusuri jalanan tersebut dengan berjalan kaki. Di sepanjang jalan itu pula kita melihat banyak orang mulai menghiasi tempat-tempat mereka: toko-toko, kantor-kantor, penginapan-penginapan, dan bahkan tiang-tiang penerang jalan juga turut bersiap-siap dengan kemeriahan. Ornamen-ornamen Natal mulai tampak jelas di sepanjang Jalan Operngasse. Dua minggu lagi hari istimewa itu akan datang, katamu bersemangat. Oh, Paul, sungguh kau keliru. Bagi saya, hari istimewa itu bahkan datang lebih cepat dari waktu yang semestinya. Dan kau adalah hadiahnya.
Dan kita menikmati suasana itu dengan saling bercerita. Saling mengutarakan. Saling menjajaki satu sama lain agar lebih saling mengenal. Dan, Paul, saya terkejut saat mendengar kau mengatakan ingin menjadi chef terbaik di Wina, bahkan di Austria. Oh, Paul, saya benar-benar tidak menyangka kau sangat mencintai dapur dan segala tetek-bengeknya. Jujur, tadinya saya mengira, kau bercita-cita menjadi seorang pemain opera di Wiener Staatsoper. Sebab, di mata saya, kau terlihat bagai seorang pangeran yang digandrungi oleh banyak putri dari berbagai kerajaan. Dan tentu saja itu bukan gombal, Paul. Saya berkata jujur. Apakah saya terlihat seperti sedang merayumu, Paul? Oh, Paul, kenapa pipimu tiba-tiba bersemu merah? Ya! Itu adalah balasan untukmu, Paul Rainer. Kau sempat membuat saya kesal waktu itu. Saat kau menanyakan makanan apa yang paling saya sukai di Indonesia. Dan saya menjawab, nasi goreng dan rendang. Lalu kau menanyakan kebisaan saya membuat kedua masakan tersebut. Tentu saja saya bisa membuat nasi goreng. “Bagaimana dengan rendang?”
Bersyukurlah Wina juga mempunyai para musisi jalanan. Berkat mereka, saya tidak perlu menjawab pertanyaanmu itu, Paul. Karena perhatian kita kala itu langsung tertuju pada tiga laki-laki dewasa yang sedang memainkan dua buah biola dan sebuah harmonika, serta sebuah drum bekas penyimpanan minyak yang telah dipotong setengahnya dan dijadikan sebagai perapian. Di situ-di dekat persimpangan jalan yang saya sudah agak lupa namanya—berkumpul orang-orang menyaksikan pertunjukan tiga musisi jalanan tersebut sambil bertepuk tangan dengan riangnya. Dan, di tengah-tengah mereka, tampak sepasang kekasih sedang berdansa penuh keceriaan. Kau pun meminta saya untuk menemanimu berdansa. Tapi, Paul, saya tidak bisa berdansa. Lagi pula, iramanya terlalu cepat—bisa-bisa saya mengacaukan semuanya. Kau bergegas membisiki salah seorang dari tiga musisi jalanan itu. Dan, kemudian, mereka memainkan musik dengan irama lambat. Oh, Paul, saya tidak memiliki alasan lain untuk menolaknya. “Viennese Waltz,” bisikmu lembut di telinga saya. Terbata-bata saya mengikuti gerak kakimu itu. Tapi saya senang, meski berulang-kali tanpa sengaja saya menginjak kakimu. Dan, terkadang, saya merasa malu bila mengingatnya lagi, Paul. Betapa konyolnya dansa saya waktu itu.
Lalu kita kembali ke Operngasse dan menyusuri jalan itu lagi. Kau membawa saya ke sebuah kafe: Café Museum. “Opera, musik, dansa, dan kopi. Itu artinya, kau benar-benar sedang berada di Wina,” ujarmu, lantas membantu melepaskan mantel saya dan menggantungkannya di sebuah kapstok yang terletak tidak jauh dari meja. Di tempat ini, rotinya enak-enak, katamu. Kemudian, kita duduk pada sebuah meja yang berada di dekat dinding kaca. Dari situ kita dapat melihat keadaan di luar sana. Dan, dari situ pula kita menyaksikan salju pertama itu akhirnya turun. Salju pertama yang tipis-tipis pada kencan pertama kita. Betapa indah.
Namun semua itu tidak lebih indah dari sebuah kebohongan yang telah kaulakukan, Paul. Saya tahu, sebenarnya kedua tiket pertunjukan opera itu tidak hilang. Kau sengaja berpura-pura menghilangkannya agar dapat mengajak saya berjalan kaki dari Wiener Staatsoper ke kafe itu, bukan? Kau sengaja melakukan itu supaya mempunyai banyak waktu untuk dapat mengenal saya, kan? Oh, Paul, kau sangat manis. Saya tahu tentang kebohongan yang romantis ini bahkan sejak malam itu. Kau ingat? Ketika hendak kembali ke area parkir di Wiener Staatsoper, kau mengenakan mantelmu pada saya. Dan, tanpa sengaja saya merogoh sakunya. Saya menemukan kedua tiket itu masih berada di sana. Kau ceroboh, Paul Rainer. Kau hampir saja membuat saya menangis haru pada malam itu. Bisa kaubayangkan apa yang akan terjadi bila Tuan Ebner melihat mata saya jadi sembap? Dia pasti mencarimu.
Oh, Paul, saya tak mampu menahannya lagi. Sekarang saya menangis. Saya merindukan kenangan kita pada malam itu. Dan, salju. Saya merindukan salju yang tipis-tipis itu. Seandainya saja perampok terkutuk itu tidak pernah beraksi di dekat rumahmu. Dan kau tak berlagak pahlawan yang ingin menyelamatkan nyonya kaya yang kesepian itu. Mungkin saat ini kau masih hidup. Dan, kita sama-sama bisa menunggu salju turun di Jakarta. Seperti janjimu dulu. Oh, Paul, sekarang saya benar-benar menangis. Mereka pasti tengah memperhatikan saya. Mereka jelas tidak mengerti tentang perasaan saya sekarang ini, Paul.
“Nyonya Herlambang, kemarilah. Kedua cucumu ini telah membuatkan ikan bakar yang lezat untukmu. Kemarilah, sebentar lagi kembang-kembang api itu akan dinyalakan. Kau tentu tidak ingin mengawali tahun dengan perut kosong, bukan? Lupakan saja tentang salju itu, dia tidak akan turun di sini. Di Jakarta? Tidak akan.”
Kau dengar, Paul? Tetangga saya itu begitu cerewet. Berani-beraninya dia bersekutu dengan cucu-cucu saya untuk memperolok-olok saya. Dasar, laki-laki peyot. Menyebalkan. Oh, Paul, sepertinya saya sudah harus menyudahinya sekarang. Saya tidak ingin mereka melaporkan saya pada kedua anak dan menantu-menantu saya. Mereka jauh lebih cerewet daripada laki-laki tua peyot itu. Terima kasih telah berbaik hati menemani saya, meski hanya dalam pikiran saya belaka. Dan, Paul, jika kau bertemu dengan suami saya di sana, tolong sampaikan padanya: “Terima kasih telah menjadi laki-laki dewasa untuk diri saya selama ini. Saya berutang banyak kebaikan kepadamu.” Sebagaimana kau, Paul, dia juga laki-laki yang sangat baik.

Abdullah Salim Dalimunthe lahir di Medan, November 1982. Alumnus Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Kini ia tinggal di Bandung.