Aku memanjat pohon itu seperti yang biasa aku lakukan, dengan penuh semangat, malam ini
entah kenapa aku begitu bertekad. Aku kangen sekali sama Upit dan senyumannya, aku kangen
ngobrol dengannya. Ketika sampai di depan jendela lantai dua, aku melompat sehingga mendarat
dengan sukses di lantai balkonnya, kulihat Upit sedang duduk di kursi belakangnya, kacamatanya
terpasang dan dia sedang serius menghadap komputernya.
Dengan lembut kuketuk jendela kamarnya, Sekali, dua kali ahkirnya aku berhasil membuyarkan
konsentrasi sahabatku itu, dia menoleh ke jendela, dan seperti biasanya reaksi pertamanya
adalah cemberut. Aku sengaja memasang ekspresi lucu di depan jendela, membuat Upit makin
cemberut. Tetapi walaupun begitu, sahabatku itu tetap berdiri dan membukakan jendela untukku,
“Lewat jalan yang normal-normal saja nggak bisa ya ?”, gerutu Upit ketika aku melompati
ambang jendelanya dan memasuki kamarnya.
Aku tergelak,
“Kalo lewat pintu depan yang ada aku harus ngobrol sama papamu di ruang tamu, dan ujungujungnya
bukannya
ketemu
sama
kamu,
aku
harus
meladeni
tantangannya
untuk
main
catur”
Upit
tersenyum
dan
menepuk
bahuku
dengan
sayang,
“Kamu
sih, sekali-kali ngalah dong sama papa, jadi dia nggak akan penasaran nantangin kamu
main catur terus”
Aku tergelak mendengarnya, lalu dengan santai kubantingkan tubuhku ke ranjang Upit yang
begitu feminim, bermotifkan strawberry warna pink.
Segera Upit menyusulku duduk di pinggir ranjang, sambil menggerutu bahwa spreinya baru
diganti, bahwa ranjangnya pasti kotor karena aku habis dari luar naik-naik pohon. Aku hanya
tersenyum dan menganggapnya sebagai angin lewat. Upit memang selalu begitu, cerewet,
cemberut, dan tukang ngomel, tetapi di balik itu, dia penuh kasih sayang luar biasa kepadaku.
Kami sudah berteman sejak lama, kalau boleh dibilang sejak lahir. Kami hanya selisih satu hari.
Upit yang lebih tua satu hari dariku dan mungkin itu juga yang membuatnya menobatkan diri
sebagai kakak angkat perempuanku. Mungkin juga karena aku sebagai laki-laki memang sejak
kecil selalu lemah dan sakit-sakitan. Aku tidak seberuntung Upit yang lahir sehat, aku terlahir
dengan katup jantung yang tidak normal, sehingga kerjaanku hanyalah keluar masuk rumah sakit.
Aku tidak bisa sekolah seperti anak-anak biasa, aku sekolah dirumah karena tubuhku sangat
lemah. Tetapi Upit tidak pernah meninggalkanku karenanya, sejak kecil, setiap pulang sekolah dia
selalu mengunjungiku ke rumah, berbagi cerita. Kami sudah seperti kakak adik yang sangat saling
menyayangi. Dan itu berlangsung bahkan sampai Upit sudah hampir lulus kuliah di jurusan
hukum yang sangat disukainya, sedangkan aku semakin sering menghabiskan waktuku di rumah
sakit. Dalam setahun mungkin 7 bulannya aku habiskan di rumah sakit, dan hebatnya Upit tetap
setia mengunjungiku, di sela-sela kesibukannya dia tetap selalu menyempatkan diri mampir di
rumah sakit ketika aku di rawat.
Aku sebenarnya punya seorang kakak laki-laki yang tiga tahun lebih tua dariku, dulu di masa kecil
kami lumayan akrab. Kak Bagas, aku dan Upit selalu bermain bersama-sama. Sebenarnya aku dan
Upit yang bermain bersama dan kak Bagas yang bertugas menjaga kami. Tetapi bagaimanapun
juga kami sangat akrab, Seperti tiga kakak beradik yang saling menyayangi.
“Kemarin kan kamu masih di Rumah Sakit toh Mario, kok tiba-tiba kamu nongol di sini, kapan
kamu diperbolehkan pulang dari Rumah sakit? Kok aku nggak liat mobil om Marlon ya?”, Upit
melongokkan wajahnya ke seberang jendela, ke arah rumahku berusaha mencari penampakan
mobil papaku, tapi ini kan sudah jam 11 malam, dan diluar sudah gelap jadi yang tampak diluar
hanya kegelapan pekat.
Aku mengangkat bahu,
“Kamu tidur kali pas aku pulang”,
Sambil terkekeh Upit melemparkan bantal ke mukaku,
“Sembarangan. Aku dari tadi siang berkutat di dapur sama mama, nyiapin makanan buat buka
puasa tau !”, Suara Upit tiba-tiba berubah lembut, “Gimana hasil diagnosa dokter, Mario?,
kemarin kak Bagas cerita kalau kamu harus operasi katup jantung yang ke dua kalinya... tapi
katanya kamu nolak”
Aku memalingkan muka, menghindari tatapan Upit,
“Bisa nggak kita nggak ngomongin itu ? Aku capek.”
“Tapi kamu harus berani Mario”, Upit tetap melanjutkan tidak peduli dengan tubuhku yang
menegang kaku, “Operasi itu kemungkinan suksesnya besar, kamu mungkin akan bisa sehat
seperti sedia kala”
“Kemungkinan kesuksesan operasi itu Cuma 50:50”, sambarku getir, kutatap Upit tajam,
berusaha menahan kegetiran, “Kamu nggak tahu betapa takutnya aku kalau harus mati di atas
meja operasi.... “, aku nggak mau mati sebelum aku mengungkapkan betapa aku mencintaimu
Pit, Desahku dalam hati. Tentu saja hanya dalam hati, aku sampai sekarang tidak punya
keberanian untuk mengungkapkan perasaan cintaku secara terang-terangan kepada sahabatku
ini. Ya. Sudah sejak lama, mungkin sejak dulu aku mencintai Upit. Perasaan itu semakin
berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan bertambah lamanya kebersamaanku dengan
Upit, dan kadang memendam cinta seperti ini terasa begitu menyakitkan.
Dan entah kenapa malam ini aku bersemangat. Bersemangat untuk menyatakan cintaku kepada
Upit. Entah nanti aku akan diterima atau tidak, aku ingin mengungkapkan perasaanku. Di dalam
kantongku ada sebentuk cincin mungil dengan ukiran bunga. Cincin yang indah, seindah
perempuan di depanku ini. Kalau Upit mau menerima cintaku, aku ingin memberikan cincin itu
kepadanya, dan mungkin aku berani untuk melakukan operasi katup jantung itu. Demi Upit.
“Tapi aku ingin kamu sehat Mario”, Mata Upit berkaca-kaca dan menatapku penuh perasaan,
membuat lidahku kelu.
“Pit....”, suaraku bergetar ragu, “ Pit... kamu sayang enggak sama aku?”
Upit mengernyitkan kening lalu tersenyum,
“Ya tentulah aku sayang sama kamu, kita ini udah lebih dari sodara, kamu itu sangat berarti
buatku Mario....”
“Bukan begitu.... maksudku....”
“Lagipula sebentar lagi kan kita akan menjadi saudara....”, gumam Upit penuh rahasia.
Pengakuan cinta yang tadi sudah di ujung lidahku terhenti seketika, aku menatap Upit bingung.
“Maksudnya...?”
Pipi Upit mulai bersemu merah ketika menatapku, lalu dia tersenyum malu-malu,
“Sebenarnya kami ingin merahasiakannya dulu Mario... tapi.. kamu kan bukan orang lain, jadi
menurutku dia juga nggak akan marah kalau aku memberitahumu lebih cepat”, Upit berdehem
pelan, membuatku merasa gugup.
“Maksudnya...?”, rasanya aku seperti kaset rusak yang mengulang-ulang kata yang sama.
Upit memegang pipinya yang memerah,
“Kak Bagas melamarku, Mario... rencananya begitu aku menyelesaikan skripsi, kak Bagas mau
melamarku ke Papa....”.
Senyum bahagia Upit bagaikan sembilu yang menusuk jantungku.
Sejenak aku terpana dan tidak bisa berkata-kata.
“Maksudmu.... kamu dan kak Bagas....?”, aku berusaha mencerna kenyataan ini, tetapi entah
kenapa batinku menolak tak mau menerima, “Kapan...? Bagaimana....?”, tanpa sengaja jemariku
meremas cincin mungil di sakuku, sampai tulang jemariku terasa sakit.
“Selama ini kami merahasiakannya ke kamu Mario, aku yang meminta kak Bagas melakukannya,
habis aku malu dan takut kamu nanti menertawakanku habis-habiskan karena ahkirnya pacaran
sama kak Bagas.... tapi Mario... sebenarnya sejak kecil aku sudah jatuh cinta kepada kak Bagas,
dan sangat mengidolakannya, tak disangka kak Bagas juga menyimpan perasaan yang sama”,
mata Upit bersinar, mata perempuan yang sedang dimabuk cinta.
Saat aku masih terpana membisu, Upit menyentuh lenganku dan meremasnya lembut,
“Aku senang Mario, kalau aku nanti menikah dengan kak Bagas, kita benar-benar bisa menjadi
satu keluarga, Kamu tahu aku itu senang sekali menjadi kakakmu, kamu pasti juga senang kan
kalau kita benar-benar menjadi kakak adik?
Lidahku kelu, dan hatiku hancur, tetapi tidak ada yang bisa aku katakan. Aku mematung membisu
dalam patah hati yang luar biasa dalam.
Upit mengernyitkan keningnya menatapku,
“Mario? Kok kamu jadi pucat sekali?” Jemarinya menyentuh lenganku lagi, “Astaga kamu dingin
banget !!! harusnya pulang dari rumah sakit kamu langsung istirahat bukannya kemari, pake
manjat-manjat pohon segala....!”, dengan panik Upit mengambil selimut dan menyelimutiku,
“Sebentar aku akan telephone kak Bagas untuk menjemputmu....”
Baru saja Upit hendak mengangkat ponsel, pintunya diketuk dengan keras. Lama-lama
ketukannya semakin keras dan mendesak,
“Siapa sih malam-malam begini ?”, Upit menggerutu dan melangkah ke pintu, lalu membukanya.
Kulihat kak Bagas berdiri di sana, wajahnya tampak pucat dan kuyu, rambutnya berantakan,
“Lho, kak Bagas? Kebetulan sekali, aku baru saja mau menelephone kak Bagas....”
“Pit, kita harus segera ke rumah sakit...”, Suara kak Bagas tampak serak penuh kepedihan.
Kudengar Upit tersentak kebingungan,
“Siapa yang sakit kak?”
Sedetik kulihat kak Bagas menatap Upit bingung, lalu menggelengkan kepalanya, air mata
menetes pelan dari matanya, mengaliri pipinya,
“Mario Pit, satu jam yang lalu dia mendapat serangan, dan jatuh koma, dokter berusaha
menyadarkannya. Tetapi dia tidak bangun lagi. Dia meninggal Pit....”
Kali ini aku dan Upit sama-sama tersentak. Upit menjerit kaget dan menatap kak Bagas tidak
percaya,
“Tidak mungkin kak !!! Barusan saja aku dengan Mario....”, kulihat Upit menoleh ke ranjang,
menatapku....
Tapi saat itulah kusadari bahwa yang dilihat Upit hanyalah ranjang kosong. Tak ada siapa- siapa di
situ.
Kulihat Upit semakin pucat. Dan kemudian dia jatuh pingsan di pelukan kak Bagas yang segera
menangkapnya. Suara-suara gaduh kemudian terdengar karena mama dan papa Upit menyusul
ke atas.
Sementara aku masih duduk di ranjang itu, menatap tanganku sendiri yang sekarang menjadi
tembus pandang. Dihantam kenyataan bahwa bahkan sampai ahkir hidupku, aku tidak pernah
bisa mengungkapkan perasaan yang telah kupendam sekian lama kepada perempuan yang
kucintai.
Anganku melayang ke kotak kecil berisi cincin di laci kamarku yang tersimpan dengan baik di sana.
Cincin itu tidak akan pernah di serahkan... tidak akan pernah tersampaikan. Aku memejamkan
mata dengan setetes air mata bergulir, sebelum semuanya menjadi kabur dan lenyap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar