Daftar Blog Saya

Selasa, 28 November 2017

Matinya Sang Penulis

Cerpen Anggi Nugraha (Media Indonesia, 26 November 2017)
Matinya Sang Penulis ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Matinya Sang Penulis ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Kisah ini bermula di penghujung musim dingin. Saat bunga-bunga violet mulai kembali bermekaran di kota Tavuliaprovinsi Presaro, Italia. Di satu hari yang cerah di dermaga Venesia, Armanno Arrigo kehilangan cintanya.
“Berjanjilah untuk kembali!” teriaknya pada sang kekasih, tak lama setelah perempuannya itu menginjakkan kakinya di sebuah kapal yang hendak berlayar menuju Cina.
Dari ratusan orang yang melambai-lambaikan tangan, kekasihnya itu menjadi satu daripadanya. Semakin lama, lambaian itu terlihat semakin mengecil. Dan akhirnya benar-benar menghilang. Sedangkan Armanno masih saja mematung. Seketika saja ia merasa, seperti ada yang mengalir deras melewati pipinya.
Namun itu semua dulu. Jauh sebelum kedatanganku ke rumah Armanno untuk bekerja sebagai pembantu. Demikianlah yang ia kisahkan padaku di waktu-waktu terakhirnya. Mungkin, karena tak lagi ia punya sanak saudara di Tavulia. Atau sebagaimana banyak para penulis yang bercumbu dengan kesunyian, Armanno, seperti menyadari, bahwa denganku, ia memiliki sahabat untuk berbagi.
Armanno memang seorang penulis. Meski pada saat itu, tak satu pun karya tulisnya dimuat di koran. Tak juga ada penerbitan yang berminat akan karya-karyanya. Bila malam, ia selalu membaca buku hingga larut. Saat pagi menjelang, adalah waktu terbaiknya untuk menulis. Tak lupa, sebuah Flat Cap usang berwarna abu-abu selalu saja ia kenakan manakala ia hendak menulis. Aku sempat bertanya padanya dulu ihwal ritual unik itu.
“Kenapa kau selalu mengenakannya, Tuan?”
Ia pun tersenyum. Seraya membuka topi pet itu, ia mencoba untuk tak hanya menjawab pertanyaanku. Lebih jauh, ia menunjukkan betapa berharganya sebuah kenangan.
“Topi ini pemberian darinya, Yoana. Entahlah, dengannya aku merasa dekat dengan kekasihku itu. Terlebih bila aku mengenakannya di saat menulis. Bukankah menulis adalah proses mengukir kenangan, Yoana?”
“Itulah sebabnya, kau senantiasa menulis, Tuan? Karena kau ingin memetik kenangan itu kelak?”
“Hmm..hmm. Di dunia ini, hanya kenangan yang mampu abadi. Dan karenanyalah kita hidup. Namun, teramat banyak kini orang memberi kenangan berupa benda. Bagiku, kenangan adalah sebuah cara, Yoana.”
Demikianlah mungkin yang ia maksud sebuah ”cara” itu, adalah usahanya dalam belajar menulis. Kekasihnya dulu memang seorang pecinta sastra. Oleh sebab itu, ia sangat ingin agar Armanno bisa menjadi seorang penulis.
“Menulislah! Karenanya, kelak kau akan menjadi seorang yang bijaksana.” Ucap Armanno padaku, kala ia mencoba menirukan apa yang perempuannya dulu katakan padanya.
Akan tetapi, selain menyukai sastra, kekasihnya itu adalah sosok yang juga menyukai berbagai macam pengobatan tradisional. Itu semua berawal dari pertemuannya dengan seekor kucing yang nyaris buta di suatu hari. Ia pun segera membawa pulang kucing itu dan merawatnya. Satu minggu berselang, kucing itu pun akhirnya bisa melihat kembali. Sejak saat itulah, perempuan cantik itu bertekad untuk mendalami pengobatan tradisional. Karenanya, ia pun memutuskan untuk pergi ke negeri Cina guna mendalami ilmunya. Tentu dengan konsekuensi, bahwa ia harus berpisah dengan pujaan hatinya untuk beberapa lama. Tapi sayang, tahun berganti tahun, tak lagi ada berita dari perempuan itu. Yang hadir hanyalah berita ketidakpastian tentang kapal yang juga tak pernah benar-benar kembali.
Masih sangat kuingat dulu, pada saat aku datang tuk melamar pekerjaan padanya, Armanno, adalah seorang pria ringkih. Tubuhnya bungkuk. Air mukanya menyiratkan kerinduan yang teramat dalam. Namun yang mengerikan adalah, TBC akut menjelma monster pembunuh di dalam tubuhnya.
Ia teramat lama menanti. Menghabiskan waktunya dengan membaca, menulis, mengisap tembakau yang teramat pekat, juga meminum anggur kesukaannya itu. Karenanya, penyakitnya itu semakin hari semakin menyiksa. Pernah di suatu pagi, ia memanggilku dengan teramat lemahnya.
“Yoana!” rintihnya. Suara batuknya berulang tak henti. Aku pun bergegas menemuinya dan mendapati lelaki itu dalam kondisi yang memilukan. Darah segar mengalir dari mulutnya.
“Tampaknya… tak lama lag…i… aku akan ma…ti!” ucapnya, dengan nada yang terputus-putus.
“Tenanglah, Tuan! Aku akan meracik obat untukmu.” Aku pun segera menuju dapur guna memeras satu buah mengkudu matang. Setelahnya kucampur sedikit dengan parutan kunyit putih dan madu. Dan kuberikan ramuan itu perlahan pada Armanno.
Seperti itulah akhirnya keadaan laki-laki itu membaik. Namun, bila ia merasa sehat, ia akan kembali menulis. Mengisap tembakau pekatnya. Menenggak anggur kesukaannya. Melupakan obat-obatan yang semestinya ia minum.
Karenanya, waktu itu pun akhirnya datang juga dalam hidupnya.
Di satu pagi berkabut, sekembalinya aku dari berbelanja, kudapati Armanno tertidur dengan wajah dan kedua tangannya terjatuh ke meja. Flat Cap miliknya telah terhempas ke lantai. Begitupun dengan sebuah pena kesayangannya. Semakin dekat, semakin tercium pula bau darah segar itu, yang ternyata telah membasahi beberapa bagian dari kertas tulisnya. Namun, semua sudah terlambat. Lelaki itu telah pergi tuk selamanya.
Sungguh itulah hari yang memilukan. Aku kehilangan lelaki yang begitu berarti dalam hidupku. Dia, Armanno, tak hanya menjadi satu-satunya orang di Tavulia yang mau menerimaku untuk bekerja. Namun, dialah juga sosok yang tak pernah menghiraukan segala kekurangan yang selama ini aku miliki. Aku, seorang wanita dengan wajah yang teramat buruk ini.
Dan hari pun terus berganti. Dua bulan berlalu sepeninggal Armanno pergi. Tak lagi ada senyumnya. Hanyalah sehelai kertas bernodakan darah, dengan tulisan yang juga tak tuntas yang jadi peninggalannya. Aku telah menyimpannya terlebih dahulu, untuk akhirnya membaca tulisan terakhir darinya itu. Tulisan itu adalah sebuah cerita pendek. Sebuah kisah tentang penantian seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya pergi. Sang lelaki terus menanti meski sang kekasih tak jua datang. Namun, hanya sampai bagian itu sajalah cerita pendek itu sanggup ia tulis. Tentu, TBC akut telah merenggut nyawanya, sebelum ia menuntaskan cerita tersebut.
Lama aku menanti sebelum akhirnya, seperti ada yang mendorong tanganku untuk melanjutkan kisah tersebut. Maka, segera kuraih sebuah pena dan mencoba melanjutkan kisah tersebut, yang kurang lebih seperti inilah kisahnya:
Sungguh, lelaki itu tak pernah tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah amukan badai telah memaksa kapal yang ditumpangi kekasihnya itu menepi ke sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang tiran.
Alih-alih mendapat pertolongan, para penumpang di kapal itu dipaksa bekerja pada penguasa negeri itu. Para lelaki harus bekerja membangun benteng-benteng yang tinggi. Namun yang lebih memilukan, tatkala perempuan muda dipekerjakan di sebuah tempat pelacuran. Termasuk perempuan itu. Perempuan yang hadirnya selalu dinanti-nanti.
Dan dua dekade pun berlalu. Namun kecantikan sang perempuan tak juga sirna. Setua itu ia masih menjadi primadona. Karenanya, ia harus pasrah dengan kenyataan, bahwa ia tak mampu keluar dari tempat itu. Sedangkan, ia teramat rindu pada kekasihnya. Ia ingin sekali bisa kembali ke negeri asalnya. Maka, tiada henti ia berpikir dan selalu berusaha.
Sampai akhirnya, ilham itu pun datang juga.
Satu-satunya cara agar bisa keluar dari negeri itu adalah dengan mengubah wajahnya yang cantik itu menjadi buruk. Seburuk-buruknya. Karenanya, di sebuah malam yang kelam, ia memberanikan diri meracik pelbagai rempah-rempah yang berkhasiat merusak wajahnya. Keesokan, tak lagi ada yang tahu, bahwa ia adalah perempuan cantik tersebut.
Syahdan, ia pun berhasil keluar dari tempat pelacuran, bahkan beruntung berhasil kembali ke negerinya setelah menumpang kapal yang hendak menuju ke sana. Namun sesampainya ia di negerinya itu, tak lagi ia diakui oleh keluarganya sebagai perempuan yang dua dekade lalu menghilang. Satu-satunya harapan, adalah mendatangi kembali kekasihnya yang pada saat itu tampak mulai menua dan juga sakit-sakitan.
Akan tetapi, ia tak kuasa bila harus jujur. Perempuan itu tak tega bila harus menyakiti kekasihnya dengan kenyataan, bahwa ia kini tak lagi cantik. Terlebih, ia dapati lelaki itu masih selalu setia menantinya. Lalu, perempuan itu pun memohon untuk bisa bekerja padanya. Tentu, ia pun telah mengubah namanya, gaya bicaranya, dan menghilangkan semua hal yang tampaknya bisa mengingatkan lelaki itu pada kekasihnya yang telah pergi dulu. Dan singkat cerita, perempuan malang itu diterima bekerja sebagai pembantu.
Hingga, sampailah nanti di suatu pagi, di mana penyakit paru-paru telah menghentikan napas sang lelaki malang, sungguh, lelaki itu tak pernah tahu tentang siapa gerangan perempuan buruk rupa yang jadi pembantunya selama itu.
Setelah selesai menuliskan lanjutan cerita itu, aku pun lekas mengirimkannya pada redaktur di kota. Selang dua minggu, cerita pendek itu pun dimuat di koran. Kisah itu disukai oleh banyak orang di Tavulia. Dan hingga kini, saat limabelas tahun berlalu sepeninggal kekasihku itu pergi tuk selamanya, aku tengah memandangi wajahku yang begitu buruk itu lewat cermin dengan perasaan bahagia. Bahagia, karena kini orang-orang mengenalnya. Mengenal seorang penulis yang meninggalkan tulisannya.

Anggi Nugraha lahir di Batumarta 2, Kab OKU, Sumsel. Kini ia menetap di Bandung. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Sumsel, Lampung Post, Malang Post, Padang Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Koran Singgalang, dan Majalah SUAKA. Buku yang akan terbit Kekasihku ‘Hujan’ ialah kumpulan cerita pendek.

Kutipan All the Missing Girls

Tidak ada yang lebih membahayakan, tidak ada yang lebih dahsyat, tidak ada yang lebih penting dan diperlukan untuk kelangsungan hidup, daripada kebohongan yang kita ceritakan pada diri sendiri. (hlm. 454)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Manusia tidak bisa belajar melupakan, tetapi menggayuti masa lalu; seberap jauh atau cepatnya dia berlari, belenggu itu berlari bersamanya. (hlm. 1)
  2. Waktu tidak habis. Waktu bahkan tidak nyata. Waktu hanyalah ukuran jarak yang kita ciptakan untuk memahami segala sesuatu. Seperti inci atau mili. (hlm. 41)
  3. Masa lalu ada di sana. Satu-satunya yang bergerak hanyalah dirimu. (hlm. 41)
  4. Benarlah apa yang dikatakan filsafat, bahwa kehidupan harus dipahami dengan menengok ke belakang. (hlm. 47)
  5. Waktu sedang menjelaskan untuk segalanya. (hlm. 288)
  6. Lakukan apa yang harus kau lakukan. (hlm. 439)
  7. Kehidupan harus dijalani dengan memandang ke depan. (hlm. 443)
  8. Jarak, seperti waktu, hanyalah sesuatu yang bisa kita ciptakan. (hlm. 474)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kejujuran atau tantangan. Tantangan. Tantangan. Selalu tantangan. (hlm. 107)
  2. Tahun-tahun yang kita jalani di dunia ini hanyalah sebuah permainan. Risiko untuk mendapatkan hasil, ujian untuk mendapatkan jawaban, penghitungan jumlah sekutu dan musuh, dan nilai akhir. (hlm. 207)
  3. Tidak berlebihan jika kau kurang tidur, jika kau baru saja diancam, jika orang yang kau cintai hilang. Di sini, tidak begitu sulit untuk memercayai adanya monster. (hlm. 279)
  4. Kedukaan mencekam entah dari mana. Kedukaan itu licik dan licin, dan kau tidak bisa melihat kedatangannya hingga dirimu dikuasai olehnya. (hlm. 321)
  5. Kaum perempuan lebih cermat. Mengisi daftar helaan napas secara diam-diam, menghitung jumlah penghinaan, membangun kasus, surut dalam batin. (hlm. 329)
  6. Kau ingin percaya bahwa dirimu bukanlah orang paling sedih di dunia. Bahwa ada orang lain yang lebih parah, orang lain yang ada di sana bersamamu. Seseorang yang menderita di sampingmu dalam kegelapan tak terperikan. (hlm. 331)
  7. Dunia masih dipenuhi orang yang ingin memberikan informasi, yang terkadang mengarang informasi dengan harapan bisa member petunjuk ke suatu tempat. Namun, dunia ini juga dipenuhi orang yang tidak ingin berada di dekat polisi. (hlm. 353)
  8. Pacarmu yang hilang bukanlah semacam bahan gurauan. (hlm. 385)
  9. Kematian itu menular. Seakan-akan kematian mengalir dari bagian tengah, lalu menyebar keluar. (hlm. 407)
  10. Semua orang dua punya wajah. (hlm. 418)
  11. Bayar utang-utangmu, sama seperti semua orang lainnya. (hlm. 456)
  12. Dunia dipenuhi orang yang kacau. (hlm. 464)

Apa pun Selain Tentara dan Kehilangan

Cerpen Dwi Rezki Fauziah (Koran Tempo, 25-26 November 2017)
Apa pun Selain Tentara dan Kehilangan ilustrasi Indra Fauzi - Koran Tempo.jpg
Apa pun Selain Tentara dan Kehilangan ilustrasi Indra Fauzi/Koran Tempo
“Ibu, aku ingin menjadi tentara.”
Oh, Syahdan… kau tidak tahu sudah berapa kali aku bermimpi buruk selepas Digta mengatakan itu padaku. Kurasa setiap malam, satu-satunya hal yang dapat kudengar adalah bunyi meriam dan tembakan peluru yang menembus daun, dinding, kayu dan hati-hati manusia. Setiap aku memejamkan mata, bayangan akan darah, memar dan tanganmu gemetar saat menyentuhku membuat aku tak pernah sekali pun tidur nyenyak. Lebih parah lagi, kadang aku merasa darah itu mengalir di sela-sela jariku, merembes ke bagian leher dan kuisapi baunya, sementara kau benar-benar pucat—kehilangan darah. Lalu Digta juga akan terbangun, bertanya mengapa aku gelisah, dan ujung-ujungnya berkata dengan “sok dewasa”-nya: Tak perlu takut ibu, itu hanya mimpi buruk. Sekali pun tak pernah berpikir bahwa dialah penyebab mimpi burukku.
Seandainya kau ada di sini, akan kupukul kau habis-habisan. Sebab kisah peperangan yang saban hari kau ceritakan pada Digta membuat anak kita itu tumbuh dengan terobsesi menjadi tentara. Katanya pejuanglah, patriotlah, pahlawanlah, Hah! Pahlawan apa? Kau dan orang-orang berbaju loreng itu hanya dijadikan tumbal saja, Bodoh! Mereka menempatkanmu di barisan depan, agar mereka bisa bersembunyi di barisan ke seratus sambil duduk-duduk. Kau tidak tahukah? Dan sekarang bertanggungjawablah, karena Digta sudah sangat ingin menjadi tentara. Bahkan dia lebih ingin itu ketimbang melihat jasadmu, yang kini tak tahu rimbanya.
Beberapa kali sudah kukatakan padanya, menjadi guru atau dokter jauh lebih baik dan mulia ketimbang tentara. Sudah kuiming-imingi dengan status sosial, gaji tinggi, para gadis bahkan pahala dan ridaku sendiri, tetapi dia tetap tak bergeming. Selalu saja, kehormatan yang dia junjung tinggi. Dia berkata padaku dengan wajah dibuat semeyakinkan mungkin: Ibu, kalau aku jadi tentara, ibu akan dihormati karena telah melahirkan seorang prajurit. Kata ayah, itulah keinginan setiap ibu di dunia ini. Kau yang mengajarinya, kan? Menentang keinginanku demi mengatasnamakan namamu. Oh, Syahdan.. harus bagaimana lagi aku mengatakannya? Aku benci tentara.
***
“Ibu, tentara itu hebat, yah? Pandai menembak dan memanah.”
Begitulah dia katakan setiap kali melihat berita perang saudara di kampung kita. Lalu dia akan menjulurkan tangannya ke depan, mengepal jari- seolah-olah itu pistol, dia arahkan ke sana-kemari sembari berkata: “Door!” “Door!”
Aku kesulitan sekali menangkapnya yang berlarian di halaman. Kau tahu, perang masih belum reda. Meski sudah tak pakai senjata, masih banyak penduduk desa kita yang tiba-tiba terkapar bercucuran darah, sebab peluru yang entah siapa empunya. Keluarga kita termasuk orang paling diincar. Terlebih mereka tahu bahwa Digta ini satu-satunya lelaki setelahmu. Orang-orang mengira Digta pasti memiliki jiwa-jiwa pejuang sepertimu. Dan sayangnya, perkiraan itu memang benar.
Saban hari, Digta menyisihkan satu jam sepulang sekolah untuk belajar bela diri di kampung sekolah. Anak kita sudah menginjak usia sepuluh dan sudah hafal jalan pulang. Sebagai anak lelaki, adalah hal wajar ketika dia suka bepergian. Selain itu, dia bilang dia suka petualangan, silat, naik sepeda menuruni bukit, dan ah, dia juga sangat suka sepak bola. Tetapi yang sering dia katakan malah, Aku ingin jadi tentara. Bukan jadi karateka, pesilat, atau pemain sepak bola. Mengapa tidak jadi pemain bola saja? Tanyaku padanya suatu ketika. Tidak usah, Bu. Pemain bola tidak akan bisa bermain jika keamanan saja masih terganggu. Begitulah jawabnya yang membuat aku semakin mengutuk dirimu, Oh Syahdan.
Kau pernah bilang bahwa jika itu laki-laki, kau ingin anakmu menjadi tentara. Dan aku bersikukuh mau punya anak mahaguru. Kita sempat tak bicara tiga hari tiga malam karena itu. Padahal, kau sangat jarang berada di rumah. Dirga—anak perempuan kita-juga tidak suka dengan pekerjaanmu. Seperti halnya aku, dia pun paling benci kehilangan. Dan tampaknya dia mulai terbiasa merasakan hilangmu, sehingga ada-tidaknya kau dianggap angin lalu saja. Malangnya anak kita, Syahdan, dia pun mulai menyatu dengan kehilangan itu.
Beberapa bulan setelah kematianmu, dan kepergian tawaku, dia keracunan akibat memakan daun aglaonema di depan rumah. Kurangnya persediaan beras waktu itu membuatku terpaksa hanya memasak sekali sehari saja. Uang pun aku tak punya. Ibu dan bapak yang sakit bahkan tak kuobati. Inilah yang mengherankan. Kau bilang, uang pensiunmu akan membantu kami, selalu kau embel-embeli dengan uang tunjangan, asuransi, jaminan, atau apalah, tapi semuanya hampa. Kau itu cuma orang desa, Syahdan. Mereka mungkin sudah lupa alamatmu. Omong kosong dengan uang-uang itu. Anak kita—Dirga—akhirnya meninggal, di rumah sakit yang tak memberi pelayanan baik karena hanya kubayar dengan janji.
Ibu dan bapak pun menyusul tak lama kemudian. Namun, kematian mereka masih kuwajari dan tak terlalu menyayat hati. Mereka memang sudah tua sekali, dan beberapa kali telah kita prediksikan mati. Sebab asap-asap peluru yang mengganggu pernapasan mereka kian menerobos celah-celah rumah kita. Kini kami tinggal berdua. Aku dan Digta. Kuhidupi dia dengan menjual segala berharga yang masih melekat di badan. Anting-anting, kalung, baju pengantin, dan cincin kita. Lalu kugunakan uang itu sebijak mungkin. Ada pula beberapa juta kusisipkan untuk pengobatan. Kalau saja Digta kenapa-kenapa, maka aku tidak pontang-panting lagi untuk berhutang.
***
“Ibu, apa tentara punya banyak uang?”
Aku masih memikirkan kau dan uangmu ketika Digta menanyakan itu padaku. Aku muak, Syahdan. Aku lelah diingatkan tentang kau oleh pertanyaan-pertanyaan Digta. Kubanting meja keras-keras di depannya. Sebuah vas bunga kaca terjatuh namun tak sampai pecah. Dia bertanya kenapa. Aku balas dengan teriakan murka.
“Berhentilah berbicara tentang tentara!”
“Memangnya salah, Bu? Digta ingin jadi tentara, untuk melindungi ibu.”
“Omong kosong! Kau hanya akan pergi dari ibu, meninggalkan ibu sendiri. Seperti yang dilakukan ayahmu itu.”
“Tidak. Meskipun mati, Digta mati terhormat sebagai prajurit. Lagipula semua orang bukannya akan mati, Bu? Mengapa ibu begitu takut?”
“Digta, pokoknya ibu tidak mau kau jadi tentara!”
“Ibuuu!” lalu aku mendengar teriakan Digta. Entahlah, ada kaget, marah dan perih tersirat dari suaranya. Namun, aku tidak bisa memastikan. Yang kuingat setelah teriakan itu, hanya tangis, darah, peluru dan salak anjing menyahut-nyahut, kalau aku tidak keliru.
***
“Jadi kakek dulu juga seorang tentara, Yah?”
“Iya. Kakek ayah- bapak dari nenek- juga tentara.”
“Wah, betapa beruntungnya nenek, dikelilingi oleh banyak tentara. Sudah semestinya dia tidak merasa takut selama perang berlangsung.”
“Seharusnya begitu.”
Seorang tentara dan anak perempuannya itu masih bersimpuh di kuburan menjelang sore hari ini. Sesekali mereka tertawa, dan menunduk khidmat—menatap nisan di hadapannya. Hingga telepon genggam tentara itu berdering. Maka segerahlah dia mengajak anaknya kembali.
“Shayla, ayo pulang. Ayah ada kerjaan.”
“Apa ayah tidak kembali lagi malam ini?” Anak itu menatap ayahnya dengan mata berbinar gelisah.
“Ya, seharusnya begitu.”

Dwi Rezki Fauziah. Berusia 18 tahun. Masih pelajar di sekolah menengah. Suka menulis. Cerpennya beberapa kali diterbitkan dalam buku antologi.

Jonker Walk

Puisi-puisi Mutia Sukma (Koran Tempo, 25-26 November 2017)
Jonker Walk ilustrasi Indra Fauzi - Koran Tempo.png
Jonker Walk ilustrasi Indra Fauzi/Koran Tempo

Payudara Ibu

: Shangguan Lu

Sebelum menetes susu pada mulut yang
selalu menganga minta dijejali
Langit mula-mula begitu biru
Matahari memantul pada kilauan keringat
Di payudaramu yang selalu kau puja
Dan amini sendiri
Sebagai lembah bergulma yang minta disiangi

Kini kamu tutup seluruh jendela
Kamu tutup dari seluruh udara dan gerakan angin
Kamu tutup hingga membentuk ruang baru yang pengap
Yang bebas dimasuki dan dipuja,
Dikulum hisapi anak-anakmu
Selalu siap seperti guci yang menuang air ke dalam kendi-kendi

Setelah menetes susu pada mulut yang selalu minta dijejali
Aroma sate di panggangan atau sup lobak yang baru matang
Tak memanggil-manggil perut anakmu untuk diisi
Tapi memandang dadamu,
Manis kurma merekah
Lebih dari candu

2017

Jonker Walk


Seorang pemuda menutup pintu toko sebagian
Para wisatawan genit berjalan mengalungkan kamera di lehernya
Di foto,
Abadikan kesedihan si pemuda
Merenungi nasib yang entah apa namanya
Memandangi tembok yang tergantung jalinan bilahan bambu
Bergambar ornamen cina tua
Yang letaknya masih sama
Sejak ingatan pertama masih menempel di kepalanya

Kesedihan bangkit padanya bagai hantu dan dewa-dewa
Di luar jendela,
Toko dan motel melata bagai ekor si naga
Tak ditemukan lagi jejak kaki kecilnya
Atau gantungan karakter fu yang ditulis pada
kertas merah masa kanak
dan remang cahaya lampion
bagai ngilu masa lalu yang begitu samar

maka,
di setiap hari yang selalu ribut di luaran
dunia begitu sunyi baginya

2017

Mutia Sukma lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Buku puisinya, Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia, masuk lima besar penghargaan Kusala Sastra Kathulistiwa 2017 kategori Buku Pertama dan Kedua.

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung

Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 26 November 2017)
Ida Waluh di Lereng Gunung Agung ilustrasi Yusuf Susilo Hartono - Kompas.jpg
Ida Waluh di Lereng Gunung Agung ilustrasi Yusuf Susilo Hartono/Kompas
Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus.
“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku.
Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor.
“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek.
“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut kunjungan pejabat dan menemani para pembawa sumbangan untuk selfi. Tak ada yang bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu, pacar, saya tak punya. Saya cuma titip bibi.”
Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem, mendulang banyak suara berkat bantuan para bebotoh judi sabung ayam. Berulang Losen menyampaikan, ia bercita-cita jadi bupati bahkan gubernur, karena dengan menjadi kepala daerah ia yakin bisa mensejahterakan Desa Kesimpar.
Menjelang subuh Ananta berangkat ke Kesimpar naik motor. Para pengungsi melepasnya dengan pelukan dan tepukan bahu. Ibu-ibu terisak seperti melepas putra mereka ke medan perang dan tak akan kembali. Kakek-nenek mengusap-usap kepalanya, komat-kamit mengucap doa semoga ia kembali selamat utuh bersama Ida Waluh.
Bibinya justru tegar, memberi semangat. “Kamu penyelamat dusun kita, An.”
“Kasi hadiah nanti ya, kalau saya berhasil.”
Si bibi tersenyum, menyodok lembut dada keponakannya dengan bangga.
Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai merasakan getaran gempa. Selepas Desa Datah, gempa itu kian keras dan semakin kerap. Memasuki Desa Kesimpar, gempa semakin kuat, tanah tak cuma bergoyang, juga terguncang, dan bumi bagai hendak terbelah. Pohon terhuyung-huyung, gesekan semak-semak menimbulkan suara berderak- derak, seakan sebentar lagi Gunung Agung meletus. Tak ada burung melintas, juga tidak unggas dan anjing. Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar menjadi dusun mati seperti disambar naga.
Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok pura retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan kali gempa sepanjang hari sejak dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di depan sebuah meru tumpang tiga beratap ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan ia membuka pintu dengan dada berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang mengguncang setiap dua menit.
Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang mencakupkan tangan di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke balai piasan, tempat yang dipenuhi sesaji jika upacara piodalan digelar.
Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke belakang, ujungnya melingkar. Dari kemaluannya menyembul bunga waluh menutup pusar dan sebagian kedua pahanya. Tubuhnya condong ke belakang, kedua tangan bertumpu menyangga bunga waluh yang besar.
Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah lingga, alat kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah yoni, kelamin perempuan. Ida Waluh diyakini sebagai perujudan lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi kesejahteraan dan kedamaian. Warga menjaganya dengan tidur makemit saban malam di Pura Desa, sejak beberapa tahun lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desa-desa kaki Gunung Agung disatroni maling.
Ida Waluh memang rawan diculik, karena persis di belahan dadanya terbenam permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan. Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota, permata itu sangat bertuah dan murah hati. Banyak tokoh yang turut pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD mohon restu di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan restu memenangkan pertarungan politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut itu menyiramkan wibawa dan pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh, yang diyakini percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.
Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika Ida Waluh selalu bersama GPS tracker untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau dipindahkan. GPS dipasang di atas lempengan baja yang menyatu dengan kayu, yang menjadi alas duduk Ida Waluh.
Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun tidak semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui perasaan was-was dan bersalah jika Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu meragukan teknologi, karena teknologi hebat bisa dilawan dengan yang lebih canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan dikibuli. Beberapa hari setelah pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta warga makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan: digital dan manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa memantau Ida Waluh karena GPS tracker tetap terpasang.
Kesurupan kini berulang di pengungsian, dialami enam perempuan. Selepas petang anak-anak menangis menjerit-jerit tanpa sebab. Para orang tua bingung, inguh, gelisah. Orang-orang dewasa cuma tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan. Mereka merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke Kesimpar, namun takut disergap lahar dan terjebak awan panas. Ketika itulah mereka sadar, Ida Waluh semestinya hadir untuk menjaga ketenangan dan kenyamanan. Mereka sepakat menjemput Ida Waluh untuk bersama tinggal di barak.
Hari menjelang sore tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong Ida Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia dapatkan di sudut balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin sering dan kian kuat. Kadang Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung meledak. Waktu terasa berjalan sangat lamban ketika ia bergegas jalan kaki melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi batu muntahan letusan Gunung Agung tahun 1963.
Ananta bergegas menghidupkan motor yang ia parkir di bawah mohon jambu mete. Ida Waluh ia tempatkan di depan dada, tidak di boncengan, karena kuwalat memunggungi sosok suci. Apalagi tanpa disadari kadang ia kentut kalau naik motor. Dengan menempatkannya di depan, ia merasa seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi sangat tenang, tidak gentar akan bunyi-bunyi aneh alam sekitar karena gempa yang berulang.
Para pengungsi baru menyelesaikan makan malam ketika Ananta tiba di pengungsian Swecapura. Ia disambut seperti pahlawan, dielu-elukan, dipeluk penuh haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis mencium pipinya dengan bangga dan penuh suka cita. Tempat pengungsian itu menjadi riuh ketika Ida Waluh diarak ke ujung barak, ditempatkan dengan khidmat di atas tumpukan kardus-kardus bekas mi dan biskuit sumbangan. Sesaji dihaturkan, mereka menembangkan kidung wargasari, tirta dipercikkan.
Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang kesurupan. Anak-anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk para kakek dan nenek, mereka membaca buku Mendongeng Lima Menit yang dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang mendongeng untuk orang tua. Meski Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak tidur nyenyak. Anak-anak makan banyak, bayi menetek susu ibunya dengan lahap.
Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-tet-tet…
Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak harus menunggu dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia kaget ketika menatap layar, ikon Ida Waluh bergerak ke luar barak. Ananta membangunkan orang-orang, mengajak mereka menatap layar selebar telapak tangan itu.
Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang bergerak semakin cepat di layar. Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka meloncati selokan tempat mereka mandi dan buang air di tengah sawah. Layar di ikon semakin jauh dan kian bergegas menerobos sawah. Mereka mengikuti Ananta, yang bagai menjadi komando dari sebuah pasukan tempur. Ponsel di genggamannya seperti sebuah senjata otomatis siap menyalak. Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti arah pematang di depan agar ia tidak terperosok.
Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti ketika ikon di layar diam, cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma diterangi cahaya bintang. Mereka mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh berhenti.
Ananta memandang lurus ke arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak lepas-lepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari tanaman jagung yang baru berbunga. Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan mereka serentak bergerak.
“Serbuuuuu…..!”
Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang duduk di atas tumpukan jerami. Gelap sekali dalam gubuk ketika orang itu dihujani pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Erangan dan jeritan kesakitan kalah oleh deru hantaman dan bising gerakan lengan.
Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan belasan orang. Atapnya beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika itulah mereka menemukan Ida Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera mengambil pretima, patung suci dari kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan menjunjungnya ramai-ramai ke barak. Kecuali Ananta, tak seorang pun peduli sama pencuri itu yang tertelungkup.
Dada Ananta berdegup kencang ketika ia membalik tubuh orang itu, dan menatap wajahnya yang dikenal semua orang Kesimpar.
“Pak Losen. Pak…. Pak Losen.” Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.
Losen perlahan membuka mata yang digenangi darah. “Sejak lama saya ingin memiliki permata ini, An,” ujarnya sembari merogoh saku celana dan mengeluarkan permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida Waluh, yang bercahaya lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.
Ananta tak percaya, ketika orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih melihat jelas permata itu berada di tempatnya.
“Yang itu palsu, An, saya mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya cuma ingin permata ini, tidak patungnya. Akan saya kembalikan patung itu setelah berhasil menguasai permata lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur.”
“Bapak yakin?”
“Kamu kenal almarhum Pan Buyar?”
“Semua orang Kesimpar mengenalnya.”
“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia kerap menerima berkah batu bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk penolak bala, tak ada buat membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini bisa membuat pemiliknya jadi pemimpin nomor satu.”
Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba memindahkan permata hijau lumut itu ke genggamannya. Ananta terperanjat, menggeleng, menarik tangannya. Tubuhnya merinding, sesuatu berdesing dalam dadanya. Ia menggigil.
“Takdir benda ini milikmu, An, ambillah,” suara Losen melemah. “Rawatlah dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau gubernur.”
Losen terengah-engah, tangannya berayun lemah memasukkan permata hijau lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia tak bergerak. Wajahnya bengkak tengadah menatap langit, sekujur badannya berdarah. Orang-orang itu meremukkan tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya. Beberapa kali bunyi krok-krok-krok meluncur dari tenggorokannya, kemudian diam, benar-benar diam.
Di barak orang-orang mengumandangkan kidung wargasari, menyambut kembali Ida Waluh yang sempat menerebos tanaman kedele dan jagung. Kidung itu terdengar sayup ke gubuk, seakan sekalian menjadi nyanyian mengantar keberangkatan Losen.
Sebentar lagi pagi tiba.

Gde Aryantha Soethama, meraih Anugerah Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas pada 2016. Buku kumpulan cerpennya Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary Award. Hampir setiap tahun cerpennya lolos dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia juga menulis buku-buku jurnalistik seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).

Semesta Karatsu, Pintu, Orang-orang Bukit Tui, dan Lainnya

Puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin dan Iyut Fitra (Kompas, 25 November 2017)
”Les Oignons” ilustrasi Isabelle Fournier Perdrix - Kompas
”Les Oignons” ilustrasi Isabelle Fournier Perdrix/Kompas

Semesta Karatsu


1/
Tak ada kilat atau tanda api
Kecuali hangus pasir
Atau cemas yang lingsir

Saat kutatap prana berayun di dinding
Cawan itu, sebelum percik dingin
Bermain dalam mataku, menduga-duga

Taksa pada rumpun bambu
Atau padang yang jauh, tentu,
Kau tahu, waktu bisa setipis embun

Atau haru yang rimbun, tetapi kita
Tak mampu menolaknya, semesta hadir
Bahkan dalam sebulir pasir, dan semua

Akan berakhir tepat ketika kita membuka mata

2/
Penafsir Tua, dulu kau pernah berkata
Dunia adalah mimpi di kala jaga, dan kami
Hanyalah bagian dari mimpi lainnya

Namun di sini, kami percaya, dunia tak lain fakta
Atau semacam permainan tanda, atau sekadar
Temaram cahaya, jadi siapa sebenarnya

Kami ini, Penafsir Tua? Apa sebenarnya mimpi ini?

3/
Sayang, apa benar kita masih terjaga?

4/
Misalnya cawan ini adalah mimpimu
Misalnya cawan ini adalah hatimu
Siapa yang akan diam-diam menyentuhmu?

Kami akan pergi malam ini, dan kau akan
Kembali ke lubuk mimpimu, gemetar
Menatap serbuk matcha di dasar cawan itu

Misalnya puisi ini tak lain cawanmu
Misalnya puisi ini tak lain hatimu
Siapa yang akan diam-diam menafsirmu?

5/
Sekarang kita tak perlu lagi bermain jigsaw
Atau menduga siklus cemas itu lahir dari
Jejak lampau, meski di bawah kilau parafin

Maut bisa tiba-tiba hadir dan menyentuh
Sepasang ruas bambu pada dinding cawan itu
Hingga kita mendadak yakin di luar sisa haru

Tinggal kirab angin, atau mungkin takdir
Yang lain, tepat saat murai kuning itu hinggap
Di ranting kaliandra, sebelum kita tertawa

Dan mendadak terjaga dalam mimpi lainnya

Pintu


Ada
satu
pintu,
bila dibuka, diriku
akan ikut terbuka.

Ada
satu
pintu,
bila ditutup, diriku
akan tetap terbuka.

Ada
satu
pintu
dalam diriku.

Jalan Lain Musashi


1
Berkerut kening Daruma
Menatap sepasang angsa
Termenung di sisi telaga

2
Patung dewa pedang
Memandang angkasa –
Tersenyum pada musuhnya

3
Buddha tertawa
Menatap pralaya
Dua ayam jantan

4
Burung pingai tertancap pedang
– Sebuah lukisan tinta, tertanda
Fudo Myo-o (dewa pedang) –

5
Ia letakkan pedangnya
Ia raih kertas, kuas, dan tinta –
Pelikan menatap angkasa

Kecambah

Kau
telah tumbuh
di lembah tertinggi,
kau telah luruh
ke puncak terdalam,
kecambah! kecambah!
tumbuhlah, tumbuhlah,
biarkan daunmu
menyentuh tungku matahari,
biarkan kau terbakar,
biarkan kau tinggal abu,
dan dari abumu
tumbuh kembali
kecambah baru,
biarkan
kini
akarmu
menjulur                     menggali
tanah gembur waktu
l
a
l
u
dari tangkai mungilmu
menyulurlah semesta baru:
sehelai bulu lenganku.

Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi Perawi Tanpa Rumah (2013) dan Sabda Ruang (2015).

Orang-orang Bukit Tui


dalam lingkup kabut. ia bukan orang selatan
yang memecah dan membakar batu kapur
antara rao-rao hingga tanahhitam. udara bercampur sengat asap
“inikah bukit tui?”
ia lihat wanita-wanita perkasa menantang peluh
barisan laki-laki penambang tak akan pulang sebelum petang
berjuang di antara lapar dan sesak napas
lembab gerimis tak reda-reda

ketika hujan tumpah ruah. ia tak sedang di telaga
tapi tahun 1987. bulan ramadhan yang menggamit lebaran
tanah bergulingan dari puncak bukit
pohon-pohon menghalau rumah-rumah dan sawah
lalu orang-orang bercerita di lepau-lepau
di lapangan bahkan surau
tentang seorang kakek tua yang berkunjung sebelum senja
tentang para pejudi yang tiada peduli tinggi hari
tapi ia hanya melihat bayangan cukong-cukong kayu yang bergegas
juga para penebang yang tertawa

ia bukan pencari pakis dan rotan
tapi ia melihat di utara tambang tak lagi ada
orang-orang bukit tui meninggalkan kampung entah ke mana
meninggalkan bukit cinta

Payakumbuh, 2017

Alor dan Gadis-gadis Takpala


matahari bersengat gagah. kemarau memang selalu panjang
sungai-sungai kering dan sempit. melagukan musim berbeda rupa
seolah kisah dua raja yang tercebur ke dalam perang magi
di mana angin topan bergulung-gulung dari pedalaman pegunungan alor
lebah berdengung-dengung dari ujung timur pulau pantar
mengitari sudut-sudut abui dan munaseli. hingga ada pedang yang tercampak
“selalu ada yang kalah! selalu ada yang disimbah darah!”
orang-orang bersorak meratapi kehilangan
orang-orang menekuri kemalangan

tapi di takpala. gadis-gadis terus menari
sebelum masuk ke hutan-hutan
menyerahkan hidup pada pencarian
lihat. rentak kaki dan riuh tetabuhan menyambut kedatangan
moko bertingkahan mengiring kaki-kaki mungil berlingkaran
“ayo menari. marilah menari
lego-lego kita mainkan sebelum hari dijemput malam!”
sejenak mereka lupa cerita-cerita hasil hutan
mereka lupakan pula jalan-jalan tanah serta pendakian

lalu segala susut. waktu setia beringsut
alor pun berjalan menuju masa depan

2017

Anak-anak Pukat


apa daya si tukang pukat
biduk tersorong air laut kering

lagu orang pantai. gemanya pecah di bibir buih
sepanjang pesisir
anak-anak berkulit kelat melawan matahari. anak-anak pukat
yang tak letih menjala-jala hari
sekian depa jaring terkembang. sebegitu pula kadang nasib terjerat
tebuslah peluh demi pembayar utang
lepau nasi. juga teh kopi barang segelas
tapi rantau pariaman adalah cinta pada laut
seasin-asin garam. sekuat terjang pasang
orang-orang tak mengaku kalah pada ombak ataupun gelombang

anak-anak yang bermimpi jadi nakhoda
turun ke bandar-bandar
air bangis, sibolga, bahkan ke ujung singkil
perahu dan pincalang penuh barang
menyinggahi pekan dan harapan
sementara di pantai panas sengat tak redup-redup
entah bila rasian itu akan tiba

anak-anak yang besar dari kaba
dari teluk singalai tabang papan
bidurai putih menghela empat putri
jelita yang lahir dari kebun dan tambang
tapi laut segera beriak. “nan tongga, nan tongga…!”
suara angin berkeriuhan. semisal riuh tabut diarak-arak
“mana kapalmu? usirlah panglima yang datang!”

pantai sepi. pantai tak mati
anak-anak pukat
tak pernah takut pada siang terpanggang
bahu yang melepuh
juga pada topan malam datang

2017

Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Lelaki dan Tangkai Sapu (2017) adalah buku puisi mutakhirnya.

Menanam Pohon Puspa

Oleh Tyas KW (Kompas, 26 November 2017)
Menanam Pohon Puspa ilustrasi Regina Primalita - Kompas
Menanam Pohon Puspa ilustrasi Regina Primalita/Kompas
“Banyak sekali, Kak, semuanya ada sepuluh? Bibit tanaman ini mau ditanam di mana?” ujar Dayat pada Kak Wira. Bibit tanaman itu ada di dalam polybag. Dayat bingung, halaman rumahnya di Jalan Pajajaran, Branangsiang, Bogor, tidak terlalu luas dan sudah dipenuhi pot-pot bunga kesayangan ibu.
“Ini bibit tanaman puspa, bukan untuk ditanam di halaman. Dayat ikut Kakak saja ke hutan besok pagi? Seru, lho,” jawab Kak Wira penuh rahasia. Setiap akhir bulan, kakaknya yang sudah kuliah itu selalu pergi ke hutan di sekitar Bogor.
“Memang di hutan ada apa, kok seru, Kak?” tanya Dayat agak enggan.
“Itu karena Dayat belum tahu saja. Nanti Kak Wira tunjukkan, pasti Dayat suka!” ujar Kak Wira. Dayat pun mengangguk.
Esok harinya, Dayat mengikuti Kak Wira ke Telaga Saat, Kabupaten Bogor, yang lokasinya sekitar 1 jam berkendara mobil dari rumah mereka. Kak Wira mengajak Dayat menuju hutan di sekitar Telaga Saat sambil membawa bibit tanaman puspa.
Kak Wira menggali lubang. Dayat membantu memasukkan bibit pohon puspa ke dalam lubang itu. Bibit pohon itu dipegangi Dayat sampai Kak Wira selesai menimbun lubang tanam, agar pohon puspa itu nanti tumbuh lurus. Setelah selesai, Dayat yang kecapaian lalu berteduh di bawah pohon puspa yang belum terlalu tinggi.
“Kalau duduk di bawah pohon begini, memang sejuk ya, Kak,” ucap Dayat.
“Dayat tahu sebabnya?” uji Kak Wira tersenyum.
“Iya, Kak, karena pohon ini menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen. Tapi, kenapa menanam pohon puspa, Kak? Dan, serunya di mana?” ujar Dayat.
“Pohon puspa cocok ditanam di tepian sungai. Akarnya akan membantu penyerapan air sehingga bisa menjadi cadangan air saat musim kemarau. Pohon puspa bisa tumbuh sampai 45 meter atau lebih, lho,” Kak Wira menjelaskan.
“Wah, tinggi sekali ya, Kak?” Dayat tercengang.
Tiba-tiba Dayat melihat burung besar berwarna kuning kecoklatan sedang terbang melayang di atas mereka.
“Kak, lihat! Burung itu besar dan gagah ya?” Dayat yang suka dengan burung langsung bersemangat. “Bentuknya seperti burung garuda, lambang negara kita.”
“Itu burung elang jawa yang langka. Burung itu senang bersarang di pohon puspa karena tingginya,” Kak Wira lalu menjelaskan.
Dayat pun terkagum-kagum menyaksikan burung elang jawa itu. Ia kini paham, mungkin inilah yang dimaksud kegiatan mengasyikkan oleh kakaknya.
“Dengan menanam pohon puspa, selain kita mendapat cadangan air saat kemarau, kita juga bisa membantu melestarikan elang jawa yang merupakan satwa langka di negara kita,” ujar Kak Wira kemudian.
Dayat mengangguk. “Bulan depan, Dayat ikut menanam pohon lagi, ya, Kak? Seru sekali, bisa menanam pohon sambil menonton burung elang jawa terbang.”
Kak Wira mengangguk sambil tersenyum. *

Impianku

Cerpen Etik Nurhalimah  (Republika, 26 November 2017)
Impianku-2 ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Impianku ilustrasi Rendra Purnama/Republika
(HABIS)
“Tuan, kalau ada kiriman barang atas namaku tolong terima dan simpan dahulu ya. Nanti jam istirahat, aku akan turun untuk mengambilnya,” ucapku pada satpam apartemen.
“Oh iya, Nona. Kalau boleh tahu, bentuk paketan apa itu?” tanya lelaki paruh baya itu.
“Hanya berupa buku kok. Dan tidak perlu membayar.”
“Oke, kalau begitu.”
“Terima kasih, Tuan. Ini ada sedikit camilan untuk nanti sore,” seraya kusodorkan bungkusan kecil berisi biskuit dan kopi.
“Wah, terima kasih, Nona.”
“Sama-sama, Tuan,” balasku, sambil berlalu untuk naik ke apartemen.
Ini bukan sogokan, hanya tanda terima kasih. Satpam itu kerap membantuku menyelamatkan buku-buku dan modul sekolah, yang dikirim pihak pengajar untukku.
Ujian di ambang mata. Lagi-lagi aku masih bingung, bagaimana harus mendapatkan izin agar bisa libur dua kali di bulan ini. Karena, sebenarnya tuan hanya memberikan jatah satu kali libur dalam sebulan.
Terpaksa kali ini aku harus meminta bantuan agensi. Beliau baik sekali, memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Bahkan, di tengah penentangan yang dilakukan oleh Tuan atas niatku bersekolah, beliau memberi dukungan seratus persen.
“Kuliahlah! Karena hanya dengan ilmu dan pendidikan engkau mampu mengubah dunia. Maka ubahlah duniamu menjadi indah dan penuh warna,” tutur petugas agensi memberi semangat.
Sebenarnya bukan tanpa alasan dia baik padaku. Dahulu, saat kali pertama aku menginjakkan kaki di Formosa, nasibku kurang beruntung. Di dalam job kerja yang kutanda tangani ketika di PJTKI, tugasku menjaga nenek. Ternyata, aku dipekerjakan di pabrik. Harus membersihkan area pabrik yang luasnya seperti lapangan bola, serta berketinggian tingkat lima.
Belum lagi harus memasak untuk tujuh belas orang setiap hari. Tidak ada seorang TKW pun yang betah bekerja di sana terlalu lama. Satu sampai dua bulan pasti mereka kabur. Tetapi aku mampu bertahan hampir dua tahunan.
Oleh sebab itulah agensi mengagumi kesabaranku. Hingga akhirnya ketika aku sudah tidak kuat lagi, ia menjemput dan mempekerjakanku di sini. Bagiku, mimpi buruk itu telah terlewati. Di mana aku terpasung dalam kesunyian, tertekan dalam tahanan, serta tertindas dalam penjajahan.
Pagi cerah, matahari menyapa ramah. Sisa-sisa embun masih menempel di keindahan daun-daun dan kelopak bunga. Hari ini adalah hari liburku, sekaligus pelaksanaan ujian semester akhir. Seperti biasa, sebelum berangkat, terlebih dahulu kubersihkan rumah, membeli koran pagi untuk nenek, sekaligus mengajaknya berolahraga sebentar di lantai bawah. Setelah itu, menyiapkan sarapan untuk nenek.
“Kamu nanti berangkat jam berapa, Ami?” tanya nenek.
“Jam delapan, Nek. Setelah beres semuanya, aku mau bersiap-siap,” jawabku yang tengah menyiapkan obat pagi untuk nenek.
“Kalau libur hati-hati ya. Apalagi di tengah kerumunan orang banyak, kamu harus selalu jeli dan teliti. Jangan hanya bermain HP! Hingga tidak tahu apa yang terjadi.”
“Iya, Nek. Aku pasti berhati-hati. Terima kasih atas peringatannya.”
Akhir-akhir ini memang marak terjadi tindak kriminalitas justru di tempat-tempat umum. Mulai dari pembunuhan terhadap anak balita, penyerangan membabi buta terhadap petugas stasiun, hingga banyak tertangkapnya orang yang membawa senjata tajam saat bepergian. Sehingga membuat pemerintah Taiwan semakin ketat melakukan pemeriksaan.
***
Suasana tegang dan mendebarkan. Lembaran soal ujian ada di depan mata. Berbekal niat dan mengucap bismilah, satu per satu soal kukerjakan. Harapanku satu, mendapat nilai memuaskan yang akan kupersembahkan pada bapak-emak.
“Ami, selesai kuliah mau ke mana?” seloroh Dewi di tengah obrolan bersama kami.
“Kita makan ke toko Indo saja ya. Soalnya kalau di rumah aku tidak pernah makan menu itu,” jawabku penuh semangat.
“Oke. Si nona ternyata kalau di rumah kelaparan ya, he … he … he …,” ejek Dewi menggoda.
Kami pun pergi ke area toko Indo untuk mencicipi masakan nusantara. Kebetulan matahari mulai condong meninggi serta perut kecilku sudah kelaparan. Pada saat inilah aku bisa merasakan menu makanan.
Kembali aku sendiri bersama malam, langit jernih yang mengumbar bintang-bintang. Remang-remang lampu menghiasi pinggir-pinggir jalan. Kusandarkan tubuh lelahku di kursi bus bernomor 215 yang akan membawaku pulang ke tempat kerja.
Sesegera mungkin inginku menuju kantung tidur dengan membawa enaknya cita rasa nasi Padang yang kunikmati di toko Indo tadi ke alam mimpi. Agar besok pagi aku tidak perlu kelaparan. Karena hanya disiapkan selembar roti tawar tipis dan segelas air putih, menu sarapan pagi setiap hari.
Kutekan bel pintu rumah karena nenek tak pernah membiarkanku membawa kunci jika bepergian. Aku bercedak kaget. Saat mengetahui anak bungsu neneklah yang membukakan pintu untukku.
“Cece, apa kabar?” sapaku, dengan menyuguhkan senyum ramah terbalut letih.
“Kabar baik, Ami. Sudah pulang liburannya?” tanyanya berbasa-basi.
Perasaanku tidak nyaman. Kenapa semua anak nenek berkumpul di rumah? Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkinkah ada hubungannya dengan uang nenek yang ia bilang hilang tempo hari lalu? Belum sempat kuletakkan tas punggung berisis buku dan alat lainnya.
Tiba-tiba Cece memanggilku untuk duduk di ruang tamu. Seketika itu juga perasaan was-was menyelimuti. Jangan-jangan mereka akan memulangkanku ke Indonesia sekarang juga? Belum sirna rasa penasaranku, Cece dengan cepat membuka percakapan.
“Ami, atas nama nenek saya minta maaf, karena telah berburuk sangka padamu. Sebenarnya kalau saya pribadi yakin benar, kamu tidak mencuri uang itu,” terangnya, “karena kamu sudah lama bekerja di sini, serta merawat nenek dengan baik-baik.”
Aku terdiam, bingung. Kenapa Cece berkata seperti itu? Ia tahu dari mana jika bukan aku yang mengambil uang itu. Belum hilang sejuta tanya dalam hati, Cece langsung menjelaskan; jika tadi nenek sempat tidak enak badan. Tensi darahnya mencapai 185.
Dengan cepat Tuan Shu menelepon anak-anak nenek yang lain agar turut serta mengantar ke rumah sakit. Setelah mium obat dari dokter, tensinya kembali normal. Hingga tidak perlu menjalani rawat inap dan diperbolehkan pulang.
Berhubung kamar nenek sempit, sedangkan anaknya berjumlah empat orang datang semua, terpaksa bantal-bantal yang berada di samping kanan-kiri nenek tidur, ditumpuk menjadi satu. Ketika itulah tumpukan uang itu ditemukan di bawah bantal oleh anak kedua nenek yang kupanggil Er Keke.
Aku pun terharu mendengar cerita itu, tak sadar telaga ini berkaca-kaca. Kemudian buliran bening itu jatuh. Bahagia. Kebenaran akan tetap tampak, meskipun harus mengalah beberapa saat. Serta sebuah usaha dan kesabaran pasti akan berbuah manis. Terima kasih, Tuhan, akhirnya Kau jawab semua doaku.
Dengan langkah gontai aku menuju kamar nenek. Ia tengah tergolek lemah di tempat tidur. Matanya yang sayu mengingatkanku pada sosok emak. Wanita yang selama ini sangat kurindukan.

Taiwan, 27 Mei, 2017
ETTY DIALLOVA (NAMA ASLI ETIK NURHALIMAH) adalah seorang buruh migran Indonesia (BMI) yang tinggal di Taiwan. Di tengah kesibukannya sebagai BMI, Etty juga aktif sebagai jurnalis untuk media BMI di Taiwan dan rajin menulis cerpen. Hidup dan bekerja di negeri orang, justru mendorong Etty untuk meningkatkan ilmunya. Ia kuliah di Universitas Terbuka. Cerpen “Impianku” berhasil menjadi pemenang ketiga Bilik Sastra VOI Award 2017 yang diadakan oleh RRI Siaran Luar Negeri.