Daftar Blog Saya

Minggu, 11 Februari 2018

Belajar Adil pada Bunda


Oleh Moh Romadlon (Kompas, 11 Februari 2018)
Belajar Adil pada Bunda ilustrasi Regina Primalita - Kompas
Belajar Adil pada Bunda ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Tedi dan Doni adalah kakak beradik yang tinggal di Kebumen, Jawa Tengah. Tedi sudah kelas 3 SMP, sementara Doni baru kelas 2 SD. Pagi ini adalah awal tahun ajaran baru. Mereka berdua bersiap berangkat ke sekolah.
“Bunda, Tedi mau berangkat,” ucap Tedi seraya mencium tangan Bunda. Doni juga ikut mencium tangan bundanya.
“Hati-hati yaa di jalan,” kata Bunda sambil memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada Tedi dan selembar uang dua ribuan kepada Doni.
“Terima kasih, Bunda,” ucap Tedi. Ia segera berjalan menuju halte yang tak jauh dari rumah. Ia akan menunggu angkot di sana.
Sementara Doni malah terdiam dengan wajah kesal. “Bunda tidak adil!” Doni merajuk. “Masa Doni Cuma diberi Rp. 2.000.”
Bunda tersenyum. “Doni, Bunda memberi uang saku lebih banyak kepada Kak Tedi, karena sekolah Kak Tedi jauh. Dia butuh ongkos untuk membayar angkot. Sementara sekolah kamu kan dekat, jadi cukup berjalan kaki.”
“Tapi tetap saja Bunda tidak adil,” protes Doni.
“Kalau begitu, menurut Doni, biar adil bagaimana?”
“Ya harus sama. Kalau Kak Doni diberi sepuluh ribu, aku juga sepuluh ribu.”
Bunda kembali tersenyum. “Sekarang kamu berangkat saja dahulu, Doni. Nanti terlambat.”
Selepas Doni berangkat, Bunda menuju ke dapur. Bunda ingin melanjutkan membuat kue bolu pesanan Bu Ratri, tetangganya. Kemarin Bu Ratri memesan 220 potong kue bolu untuk acara malam nanti.
Sore hari kue-kue bolu itu pun jadi. Agar mudah dibawa, kue-kue itu dikemas dalam dua kardus. Setiap kardus berisi 100 kue. Sisanya dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam. Biasanya si pemesan yang mengambil, tetapi kali ini Bunda punya rencana lain. Ia meminta Tedi dan Doni membantu mengantarkan ke rumah Bu Ratri.
“Nah, biar adil, kalian masing-masing membawa satu kardus. Yang di tas plastik itu biar bagian Bunda,” lanjut Bunda.
“Apa tidak salah, Bunda?” protes Doni. “Masa bawaanku disamakan dengan bawaan Kak Tedi. Kardus itu kan berat? Sementara Doni kan masih kecil?”
“Loh, tadi pagi kan Doni minta selalu disamakan dengan Kakak? Katanya biar adil. Sekarang giliran mau disamakan, Doni bilang tidak adil?” jawab Bunda.
“Apa sih sebetulnya adil itu, Bunda?” tanya Tedi. “Aku juga masih bingung?”
“Yang dinamakan adil itu salah satunya adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Adil juga bisa diartikan memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Itulah kenapa Bunda membedakan uang saku kalian, karena kebutuhan kalian berbeda.”
“Maafkan, Doni, ya Bunda,” ujar Doni yang sudah menyadari kekeliruannya.
“Iya, yang penting kalian sudah tahu kalau adil itu tidak harus sama. Sekarang ayo kita antar kuenya. Doni bawa yang di tas. Biar Bunda dan Ka Tedi bawa yang di kardus.” ujar Bunda. Doni pun sudah bisa tersenyum ceria kembali.

Dunia Nyonya Barbara


Cerpen Budi Afandi (Koran Tempo, 10-11 Februari 2018)
Dunia Nyonya Barbara ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.png
Dunia Nyonya Barbara ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Membiarkan Nyonya Barbara berkeliaran di rumah Steff seakan menjadi satu-satunya cara agar Steff mau lebih mempedulikan dirinya sendiri. Kehadiran Nyonya Barbara seolah sangat dibutuhkan agar Steff mau melakukan hal-hal remeh seperti membereskan ranjang di pagi hari atau sekadar membereskan meja sehabis makan.
Bagi mereka yang mengenal keduanya, mungkin sangat sulit membantah hubungan saling menguntungkan yang dapat terjadi antara Steff dan Nyonya Barbara. Steff yang dikenal paling tidak peduli pada semua hal di sekitarnya, sedangkan Nyonya Barbara sangat peduli pada semua hal di sekitarnya. Berada di sekitar Steff membuat Nyonya Barbara selalu memiliki sesuatu untuk dilakukan, hal-hal yang bisa jadi sangat ia butuhkan untuk tetap merasa hidup. Sementara keberadaan Nyonya Barbara mungkin membuat Steff merasa ada yang selalu siap menghardik kemalasannya.
Meski Steff kerap berperilaku semaunya, penduduk desa tak terlalu peduli padanya sebab ia cenderung melakukan sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan Nyonya Barbara, orang-orang tidak dapat begitu saja mengabaikannya. Tindak-tanduk Nyonya Barbara sudah menjadi satu di antara sedikit hal yang dapat seketika mengusik ketenangan penduduk desa.
Karenanya hampir semua penghuni desa tidak menyukai Nyonya Barbara. Tidak seorang pun mau duduk bersamanya untuk sekadar bercakap-cakap sebagaimana orang-orang sepuh lain yang selalu punya kawan untuk bercakap-cakap di taman di pusat desa ketika matahari menampakkan diri.
Ketidaksukaan orang-orang kepada Nyonya Barbara makin terlihat jelas semenjak ia ditinggal mati Will, suaminya, tiga tahun lalu. Kematian lelaki itu seperti membuka selubung yang telah lama memisahkan Nyonya Barbara dengan semua orang yang tidak ia sukai dan tidak menyukainya.
Semasa Will masih hidup, orang-orang masih berusaha tersenyum jika berpapasan dengan Nyonya Barbara, orang-orang masih mau menyapa meski Nyonya Barbara tak sekali pun pernah membalas sapaan.
Tapi kini orang-orang sudah tidak ragu menunjukkan ketidaksukaannya. Ada orang yang seketika membanting pintu saat Nyonya Barbara melintas; ada yang melempar muka begitu melihatnya; ada juga yang terang-terangan berkasak-kusuk di depannya. Tidak hanya orang dewasa, kanak-kanak juga menunjukkan gejala serupa, tak peduli seasyik apa pun kanak-kanak dalam permainan, mereka seketika terdiam jika Nyonya Barbara berada di sekitar mereka.
Kematian suami Nyonya Barbara juga menjadi kematian pelindungnya. Tidak ada lagi orang yang selalu siap melabrak siapa saja yang membuat Nyonya Barbara bersedih; tidak ada lagi orang yang selalu siap menembaki pot-pot di pekarangan rumah orang lain; tidak ada lagi orang yang selalu siap berdiri di antara Nyonya Barbara dan seisi dunia yang tidak ia sukai.
Karenanya, hanya dengan mendengar cerita tentang lelaki itu Collins merasa beruntung tak bertemu dengannya. Terlebih setelah Collins merasa menjadi bagian dari daftar orang-orang yang tidak menyukai Nyonya Barbara sejak pertemuan pertama.
Pagi itu Collins melihat Nyonya Barbara sudah tak ubahnya kutu busuk yang terselip di sela-sela ranjang. Collins marah dan jijik. Sebabnya sederhana, Nyonya Barbara telah memaksanya bangun pagi, sesuatu yang sangat penting bagi Collins.
“Seumur hidupku,” Collins memekik. “Tak ada yang berani memaksaku bangun pagi. Dan kau bajingan. Kenapa kau tidak mengatakan apa pun?”
Collins begitu kesal sementara Steff tak dapat melakukan apa pun selain berusaha tidak tertawa. Di saat yang sama Nyonya Barbara hanya mematung di sisi ranjang, menatap Collins dan Steff seperti serigala tua menatap mangsanya.
Setahun setelah pertemuan pertama Collins dan Nyonya Barbara, setelah tidak ada lagi orang membicarakan keburukan-keburukan Nyonya Barbara, Collins masih ingat kejadian pagi itu dan masih berharap Nyonya Barbara segera kembali untuk meminta maaf.

NYONYA Barbara berusia sekitar 68 tahun ketika suaminya meninggal, setahun setelah itu ia mendaftar masuk Panti Jompo, hal yang sudah ditunggu-tunggu seluruh penghuni desa. Namun karena antrean masuk Panti Jompo begitu panjang, ia harus menunggu sambil selalu mengunjungi rumah Steff, tempatnya melakukan hal-hal yang sudah tak bisa ia lakukan di rumahnya sendiri.
Rumah Nyonya Barbara berada tepat di seberang rumah Steff. Pekarangan rumahnya dipenuhi rumput hijau yang selalu terpotong rapi, daun-daun kering yang ditepikan, serta bunga-bunga yang terurus dengan baik. Setiap pagi, selama setahun setengah, Nyonya Barbara menyambangi rumah Steff untuk sekadar membangunkan Steff dan membantunya menyiapkan sarapan. Setelah itu ia akan kembali ke rumahnya dan tidak akan tampak lagi sampai menjelang tiba waktu makan malam.
Pertemanan Nyonya Barbara dengan keluarga Steff sudah terbangun sejak lama, sedari orang tua Steff baru menikah dan pindah ke desa itu. Sedari saat itu orang tua Steff menjadi satu-satunya teman bagi Nyonya Barbara dan suaminya yang selalu menuduh penduduk desa membenci mereka.
“Karena kita orang Jerman,” begitu biasanya Nyonya Barbara menjawab saat Steff bertanya mengapa penduduk desa membenci mereka.
Hubungan kedua keluarga bertahan dengan baik, bahkan hingga setelah kematian kedua orang tua Steff, lima tahun sebelum kematian Will.
“Barbara kerap membawa kue apel ke rumah,” Steff berucap sambil menerawang ke langit-langit. “Dialah yang menjadi penyebab utama mengapa aku begitu menyukai kue apel.”

JIKA orang-orang membicarakan Nyonya Barbara, maka pastilah mereka membicarakan soal yang buruk-buruk saja. Misalnya tentang Nyonya Barbara yang keras kepala dan selalu merasa paling benar, Nyonya Barbara yang mencampuri urusan orang lain, Nyonya Barbara yang memiliki mulut dipenuhi kata-kata kasar dan setumpuk keburukan lainnya.
“Pasti semua orang mengharapkannya lekas mati,” Steff berkata datar sambil menuang anggur. “Seperti suaminya, lelaki gila yang akan melakukan apa saja untuk menenangkan istrinya.”
Ketenangan Nyonya Barbara memang sangat mudah terusik. Ia dapat tiba-tiba marah hanya karena melihat jendela rumah tetangganya belum dibersihkan. Ia dapat tiba-tiba menangis saat melihat tanaman yang tidak terurus. Bahkan ia pernah tiba-tiba pingsan karena melihat seekor anjing berak di jalan dan membuat Will harus bersusah-payah membunuh anjing itu.
“Aku ingat bagaimana Will berusaha mencari cara membunuh anjing itu. Tentu kami tidak setuju. Tidak. Ayahku sudah berusaha menahan agar ia tidak melakukan tindakan itu. Tapi hal itu hanya membuat Will makin marah,” kata Steff.

KEMATIAN Will sendiri tidak mengubah apa pun, tidak menghentikan Nyonya Barbara terlibat masalah dengan orang lain. Bahkan hanya sehari setelah kematian Will, Nyonya Barbara terlibat perang mulut dengan Nyonya Ariella, seorang perempuan sepuh yang tinggal tak jauh dari rumah Steff.
Nyonya Barbara mengamuk setelah pagi-pagi mendapati kotoran anjing bercokol di beranda rumahnya. Ia memekik seperti orang gila sebelum Steff berhasil menenangkannya. Tapi entah bagaimana bermula, tiba-tiba Nyonya Barbara seakan kerasukan arwah Will dan langsung berhamburan menuju rumah Nyonya Ariella.
“Barbara merasa dugaan-dugaan dalam pikirannya sudah cukup menjadi bukti,” tutur Steff, “Pertengkaran dengan Ariella tak dapat dihindari.”
“Kalau saja Barbara bisa menggunakan senjata, anjing milik Ariella pasti mati hari itu juga,” Steff berkata sambil menatap Collins yang tampak berusaha menahan kantuk.
“Tapi aku tahu Barbara punya alasan lain atas kemarahannya.”
“Ya. Aku yakin dia sepenuhnya tahu anjing milik Ariella bukan satu-satunya tersangka. Tapi dia membutuhkan alasan untuk menyampaikan kemarahannya. Sudah lama ia ingin mengamuk di depan Ariella. Karena Barbara meyakini Ariella adalah seorang penyihir. Barbara selalu curiga anjing milik Ariella adalah kaki tangan yang digunakan untuk memata-matai dirinya.”
“Barbara mengaku anjing milik Ariella pernah hampir menggigitnya. Dan menurut Barbara, anjing baik-baik tidak akan pernah punya keinginan menyakiti manusia. Saat itu terjadi, Will sudah tidak ada.”

“TUHAN pasti menghukum kalian,” ucap Nyonya Barbara sebelum meninggalkan Collins dan Steff yang masih berusaha mengenakan pakaian.
“Dunia ini sendiri adalah hukuman bagi orang-orang keras kepala,” balas Steff.
Hari itu adalah hari pertama Collins bertemu dengan Nyonya Barbara. Collins sangat kesal kepada perempuan itu, namun ia lebih kesal lagi kepada Steff yang tidak mengatakan apa pun sebelumnya.
Hingga menjelang matahari terbenam, Collins masih saja mengutuki Nyonya Barbara. Meski ia sudah mendengar semua cerita tentang perempuan yang kini tak jelas rimbanya itu, tetap saja ia merasa Nyonya Barbara berutang permintaan maaf kepadanya.
“Memukul bukanlah cara yang baik untuk membangunkan orang dari tidur,” gerutu Collins. “Orang mati pun harusnya memahami itu.”

Kopenhagen, Januari 2018
Budi Afandi, lahir di Dusun Bilatepung, Desa Beleka, Lombok Barat, 20 Juni 1983. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Menulis novel, cerpen, dan puisi. Menerbitkan kumpulan cerpen Kebaikan Istri pada 2017.

Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia


Cerpen Arswendo Atmowiloto (Kompas, 11 Februari 2018)
Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia ilustrasi Astuti Kusumo - Kompas.jpg
Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia ilustrasi Astuti Kusumo/Kompas
Lelaki muda, belum selesai dua tiga tahun, setelah bekerja serabutan dan memperoleh penghasilan tidak tentu, menyatakan keinginannya memiliki jas. Satu setel dengan celana—sewarna—yang kalau dipakai berpasangan menambah gagah. Lelaki itu belum pernah memiliki jas dan setelannya sebelum ini. Ketika keinginannya disampaikan kepada ibunya, perempuan yang menjanda sejak bapak lelaki muda itu meninggal, tersenyum dan maklum. “Kamu sudah besar. Ibarat burung kalau sudah mulai menghias bulunya, dan memperhatikan sarang, itu tandanya siap bertelor.” Lelaki muda belum menyadari artinya karena yang menyibuki sekarang ini adalah bahwa dengan memiliki jas hitam, ia juga harus punya sepatu yang bersih, kaus kaki, baju putih, dan dasi. Butuh waktu tertentu untuk menggenapi itu semua. Dan ketika waktunya tiba, ia berkata kepada ibunya. “Bu, kita potret bersama. Menandai zaman baru, karena sekarang ada foto berwarna.” Lalu mereka ke studio foto, tapi harus menunggu semingguan atau dua, karena katanya proses mencetak tergantung di laboratorium di Jakarta.
Saat menunggu itulah ia bertemu perempuan yang seusia, yang teman-temannya telah menikah dan beranak, dan tampak sensual kalau hamil. Berkenalan dengan singkat, lalu keduanya sepakat untuk menikah.
“Saya sudah punya jas,” kata si lelaki.
“Urusannya bukan hanya jas atau celana. Tapi di mana nanti kita tinggal? Bagaimana kita makan setiap harinya.”
“Bukankah selama ini kita punya tempat tinggal dan makan?”
“Tapi saya tak yakin apakah kau mencintaku. Kamu tak pernah mengatakannya selama ini.”
“Ini yang saya katakan: lelaki yang mengajakmu menikah dan benar-benar menikah adalah lelaki yang mencintaimu. Dibandingkan lelaki yang mengatakan mencintai, mengajakmu tidur, tapi tak kunjung menikahimu.”
Lalu mereka bertunangan, dan menikah. Dengan jas dan setelan, lelaki itu berpotret bersama ibunya, bersama istrinya. Potret berwarna yang belum banyak jumlahnya saat itu. Namun, kisah berikutnya tak ada dokumentasinya. Anak lahir, kebutuhan menambah dan penghasilan paspasan. Suami-istri itu bekerja dalam bidangnya sendiri. Dia sendiri masih membuat apa saja: tulisan, gambar lucu, ikut sayembara, ikut teka teki silang, ikut berbagai lomba. Dari sini, dia mendapat honor yang dikirim melalui pos wesel, tanda pengiriman uang yang harus dicap di kelurahan sebelum bisa dicairkan di kantor pos. Sementara istrinya, menjahit apa saja yang dimaui pemberi jasa, yang bisa, menjadi pelanggan. Bisa baju, bisa rok, bisa seprai, dengan imbalan yang beragam, dari berterima kasih dan tanda persahabatan sampai yang benar-benar menggiurkan—kalau memesan kebaya, tapi ini jarang.
“Istriku, kita jual saja jas kebanggaan itu.”
“Masih ada cara lain. Aku masih punya barang yang dijual.”
Barang lain itu bisa berupa piring, bisa berupa termos, bisa selimut bayi, bisa gunting, bisa barang apa saja yang disimpan dari kado pernikahan. Sebagian sudah dipakai, sebagian lebih banyak dipandang. Selalu ada penadahnya, yang berjalan menelusuri kampung, siap menampung barang apa saja, termasuk rontokan rambut. Rambut yang putus. Penjual barang bekas ini bahkan akan datang, ikut memeriksa barang mana yang kira-kira bisa dibeli. Itu yang terjadi, dan sementara jas serta celana itu terselamatkan.
Sementara karena kemudian kebutuhan makin mendesak, bukan dari kebutuhan mereka sendiri, melainkan karena kebutuhan keluarga besar, kebutuhan sosial, kebutuhan berbasa basi. Dengan sikap pasrah, keduanya menyetujui untuk melepas jas dengan celana. Untuk terakhir kalinya lelaki itu mengenakan jas, becermin, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Dan ajaiblah. Dan heranlah. Tangannya menyentuh ujung saku dan menemukan selembar duit.
“Ya ampuuun, ini pasti malaikat yang meletakkan. Kita tak usah menjual Pak.”
“Ya, ini pasti malaikat lokal. Kalau malaikat asing, pasti isinya dollar.”
Untuk sementara waktu yang tak lama, jas itu selamat dari penjualan. Namun, pemiliknya mempunyai alasan yang menguatkan selain faktor kebutuhan. Praktis selama ini tak pernah memakai jas. Tak ada acara yang mengharuskan memakai jas. Apalagi dasi. Juga sepatu hitam serta kaus kaki. Akhirnya jas terjual—tanpa celana. Sebab, harga yang diberikan tidak berkurang tanpa celana. Jadilah jas tersebut dilepas. Dan seperti mudah diduga, begitu dilepas, kenangan pada jas tidak mengelupas. Malah makin lengket, makin berseliweran. Apalagi jas itu dijajakan di pinggir jalan—tempat deretan para penjual barang bekas. Seakan ujung lengan yang ada kancing tiga biji melambai, menyapa, atau menyampaikan keluhan, minta dikasihani. “Jas itu berkata, ketika diperlukan, dipakai dengan bangga, dan kini dipermalukan.”
Dengan segala tekad dan kemampuannya, suami-istri mengumpulkan sisa-sisa yang bisa disisakan dari pendapatannya untuk menebus kembali jas itu. Dan ketika waktunya tiba, mereka berdua menuju pangkalan di pinggir jalan, tempat jas itu digantungkan bersama jas yang lain. Untung pedagang itu masih mengenali.
“Saya beli kembali.”
“O, tak bisa. Sudah laku.”
“Kok masih digantung di situ?”
“Karena belum lunas. Tunggu saja.”
Jas itu sudah dibeli oleh seorang lelaki yang kurus. Karena duitnya masih kurang, ia memberikan uang muka. Begitu bisa melunasi, baru akan dibawa.
Lelaki yang dulunya pemilik jas, akan membayar uang muka dari lelaki yang akan membeli. Dengan melebihkan jumlahnya.
“Ia bisa memilih jas yang lain.”
Lelaki yang kurus, yang sudah memberi uang muka pembelian jas itu tidak memilih jas yang lain. Juga tidak menolak kalau tidak jadi dijual. “Saya mau pakai jas itu untuk kawin Pak. Kalau tidak jadi, ya sudah. Saya akan bilang calon istri saya.”
Luluhlah hati pemilik jas sebelumnya. Juga istrinya. Calon pengantin itu berhak memilih jas yang akan dikenakan untuk perkawinan nanti. Dan itu sudah ditentukan. “Sisanya, kita doakan saja mereka bahagia seperti ketika kita mengenakan jas itu, dan tidak segera menjualnya.”
Yang tertinggal adalah soal celana yang menjadi setelan jas. Setiap kali mencuci, atau menjemur, perempuan itu merasa kasihan. “Dia ditinggal kawin lagi,” tuturnya sendu. Lalu berubah menjadi: “Lelaki biasa begitu.”
Untuk menghindari kegelisahan setiap kali terkait dengan celana yang setia, diusulkan membuat surat perjanjian antara suami-istri. Dengan saksi Ibu. Yaitu bahwa mereka akan terus bersama-sama, tidak saling meninggalkan, sampai salah satu meninggal dunia. Surat ini ditandatangani, diberi meterai.
Untuk sementara aman. Sementara yang lama. Karena bahkan ketika celana itu tak muat dipakai lagi—dan ditanggalkan, ditinggalkan, dan ingatan tentang jas yang kawin lagi muncul, mereka masih berdua. Juga ketika sang Ibu meninggal, dan surat bermeterai itu hilang atau tersimpan di tempat yang terlalu rapat.
“Surat bermeterai sudah dibuat. Kenapa saya masih cemas, suamiku?”
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Kamu lebih takut Ibu daripada meterai…Ibu bisa meninggal, meterai …. ”
“Meterai bisa kedaluwarsa. Tapi tetap saja cemas masih ada. Barangkali cemas itu menandai ada yang kita harapkan, ada yang kita inginkan, ada yang masih menyatukan. Cemas hanya sekadar mengingatkan itu.”
Mereka berdua juga mengingat bahwa mereka berjanji bersama, sampai salah satu meninggal dunia. Dan membawa dalam doa. Doanya kebetulan sama meskipun keduanya tidak saling mengetahui. Doa itu kurang lebihnya adalah: mudah-mudahan pasangan saya meninggal duluan. Kalau saya yang meninggal duluan, siapa yang akan mengurusnya?
Mungkin karena doa itu mempunyai makna, mungkin juga kecemasan yang membuatnya terjaga dan saling memperhatikan, keduanya belum mati-mati juga, setelah tiga kali melewati masa di mana lelaki itu memiliki jas dan istri, sampai sekarang ini.

Arswendo Atmowiloto, lahir di Solo tahun 1948. Nama aslinya Sarwendo, tetapi sejak menjadi penulis namanya diubah menjadi Arswendo, lalu ditambahkan nama ayahnya Atmowiloto. Ia penulis senior yang memiliki kecepatan menulis luar biasa. Sangat produktif, sehingga puluhan novel, drama, skenario film, dan kumpulan cerpen lahir dari tangannya. Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa City, Amerika Serikat, tahun 1979.
Astuti Kusumo, lahir di Yogyakarta tahun 1970. Ia pelukis otodidak yang menempuh pendidikan di UPN Fakultas Ekonomi Yogyakarta. Meski otodidak, Astuti sudah berpameran keliling dalam ASEAN Children Exhibition tahun 1985. Terakhir ia ikut berpameran dalam Indonesian Art Exhibition 2018 di Jababeka Convention Center Cikarang. Pernah memenangi penghargaan Silver Medal Shankar India Art Exhibition tahun 1985.

Tiada Tuhan selain Keinginan


Cerpen Ranang Aji SP (Media Indonesia, 11 Februari 2018)
Tiada Tuhan selain Keinginan ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Tiada Tuhan selain Keinginan ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
AKU mengenalnya sebagai Rose. Orang-orang memanggilnya si periang. Ketika bertemu di antara bebatuan yang tumbuh bunga-bunga, semacam lily kecil berwarna kuning, aku sudah merasa takjub. Bukan pada bunga-bunga yang tumbuh di antara batu, tapi tubuhnya yang menyerupai kisah-kisah dalam angan-angan para penyair yang jatuh cinta. Setiap membayangkan tubuhnya aku seperti diteror oleh perasaan yang hanya bisa digambarkan oleh para pengutuk yang gemar mabuk dan lupa ingatan. Setelah perjumpaan yang menurutku mengesankan, aku juga berharap dia bisa merasakan hal yang sama, aku mulai suka bermimpi.
Di suatu senja yang setengah mendung dan berpelangi, aku mencoba memberanikan diri menemuinya yang tengah tertawa senang pada sesuatu yang tak terlihat. Tapi tawanya menghalangiku dan membuatku terhenti di persimpangan jalan, antara gelak tawanya dan keseriusanku untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah disampaikan oleh angin pada rerumputan dan ranting-ranting pada dahan. Sebagai orang yang tertahan dalam penjara hasrat yang membawa beban berat di antara tulang sulbi dan dada, aku tiba-tiba tidak bisa beranjak karena serangan demam di tubuhku. Lalu, Rose kulihat pergi dengan segala keriangannya yang tak pernah kering, meninggalkanku tanpa melihatku.
Sadar melihat kepergiannya, aku mencoba bangkit dan mengejarnya, tapi seorang pria tua yang wajahnya dipenuhi tahi lalat tiba-tiba muncul secara misterius menghadangku dan membawaku pada ruang pengap di dalam sebuah rumah yang sunyi dan berbau rempah-rempah dan juga bangkai tikus yang kulihat sudah setengah mengering tergantung di atas pintu kamar. Aku tiba-tiba merasa takut dan tubuhku bergetar. Sepertinya ia melihatku ketakutan dan lantas mengatakan sesuatu yang tak jelas, tapi terdengar seperti tak peduli. Mungkin seperti itu, tapi aku rasa ia tengah menertawaiku. Aku mulai berpikir dan berontak. Orang tua ini benar-benar sialan tiada tara dan tak tahu diri mencegat dan menculikku yang tengah mengejar Rose si periang, dan membawaku pada kegelapan yang murung. Tak berapa lama kemudian, kulihat orang tua itu mengambil banyak peralatan yang biasa digunakan para tukang sihir. Alat-alat yang tampak menakutkan itu semakin membuatku kuatir dan ketakutan bukan kepalang. Ia menatapku dan menyeringai mengerikan. Ketika aku dalam puncak ketakutan, tiba-tiba orang tua itu berubah menjadi sosok Rose si periang, tapi aku telah keburu pingsan sebelum menyadari sesuatunya dengan lebih jelas.
Dalam kegelapan yang begitu pekat, tubuhku seperti mengayun ke atas dan ke bawah seperti halnya dalam ruang tanpa gravitasi. Hingga pada saat kesadaranku kembali waras secara samar-samar, segaris cahaya terlihat seolah membelah secara vertikal yang semakin lama semakin melebar. Tepat di tengahnya aku lihat sosok pria berkulit putih dan anehnya  ia mengenakan sorban hitam duduk hampa di sebuah kursi tanpa meja dan mengaku bernama Johan Huzinga. Di depannya menumpuk kitab-kitab yang berisi seluruh sejarah di dunia. Di antaranya adalah kitab yang ia tulis homo ludens dari pelbagai tahun dan versi cetak yang ia keluhkan sebagai banyak kesalahan seperti maksud sebenarnya dari versi pertama tahun 1938. Ia berdiri menatapku sembari tersenyum dan memberi salam secara Islam, “assalamualaikum, wahai ahli kubur,” katanya penuh takzim. Ia kemudian menunjukiku sebuah kitab Alquran yang ia buka tepat pada ayat Al-Hadid: 20, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan,….” Dan demi Rose yang menguasai jiwaku, sungguh aku tak memahaminya. Ia tertawa parau dan menjelaskan bahwa Tuhan yang memiliki alam semesta sudah memperingatkan dengan ayat itu batas waktu manusia yang tak akan melebihi waktu itu sendiri. Semua hanya permainan. Katanya, orang-orang suka bermain dan mengklaim semua hal sesuai batas-batas keinginannya. Tapi, sekali lagi, aku benar-benar tetap tak mengerti ia bicara soal apa. Mungkin agama, mungkin filsafat mungkin juga bukan apa-apa. Bagiku toh, juga apa pentingnya memahami yang tak bersangkut-paut dengan urusan Rose. Tampaknya ia mengerti apa yang aku pikirkan, itu terlihat ketika tangannya turun lemas ke bawah dan memandangku dengan mata kosong serta kecewa. Setelah itu tak terjadi apa-apa –dan aku menemukan diriku meringkuk di antara pohon beringin di alun-alun kota dalam keadaan basah diguyur hujan. Linglung dengan semua yang telah terjadi, aku mencoba menyandarkan punggungku di badan pohon dan merasakan setiap tetesan air sebagai pemulihan kesadaranku.
Hari berikutnya menjadi waktu yang terasa panjang, aku mulai mencari Rose kembali. Tapi aku tak menemukannya di antara bebatuan yang tumbuh bunga-bunga. Karena mengingat Rose si periang menyukai tawatawa, maka kuputuskan mencari di setiap sudut kota yang dipenuhi gelak tawa. Tempat dimana orang-orang berkumpul makan dan berbahagia, mabuk dan bercinta –tak peduli yang sebenarnya atau pura-pura. Namun, aneh, setiap kali aku sampai pada suatu tempat yang kujumpai, hanya jejak tubuh, bau badan serta tawanya yang melebur dengan tawa-tawa lain. Nyaris putus asa, jiwaku pun menjadi  kosong hingga melemahkan seluruh sendi tulang-tulangku. Ketika waktu menunjukkan kekalahan, seorang pria tua Latin bernama Florentino Ariza memandangku iba. Ia mendekatiku dan mengajakku berjalan menyusuri kota, hingga akhirnya sampai di sebuah tempat dimana gadis-gadis cantik tersenyum ramah dan menyambut kami bagaikan pria sejati. Florentino tertawa, meskipun aku merasakan ada nada kepiluan di balik tawanya. Ia memanggil seorang gadis yang tiba-tiba semirip Rose dan memintanya mengajakku memasuki salah satu kamar yang dipenuhi aroma semacam Rose tapi dengan warna yang berbeda. Aku tak ingin masuk, tapi Florentino yang belum aku kenal benar siapa dirinya, memaksaku dengan mendorong-dorong punggungku ditingkapi tawa manja gadis yang juga menarik tanganku. Sebelum akhirnya gadis itu menutup pintu, suara Florentino berteriak parau ke arahku.
“Seks akan menghiburmu selama kamu tak mendapatkan cinta.”
Aku mungkin abai dengan apa yang dikatakannya, tapi aku merasakan kebenarannya setelah aku bersama gadis itu dalam ayunan langit-langit yang mendesir dalam beberapa saat. Saat itu aku merasakan pesona Rose si periang seolah ada dalam diri gadis itu. Dalam beberapa waktu yang abai, aku seperti tak berjarak dengan jasad Rose. Usai dan sadar telah menipu diri sendiri secara menyenangkan, aku bersama Florentino Ariza kembali bertemu –yang kulihat secara samar menanggung seribu penderitaan di dalam lipat kulit wajahnya yang justru membuatnya tampak bijaksana dan kokoh. Ketika kami duduk di sebuah café untuk secangkir kopi dan rokok, ia mulai bercerita tentang perjalanan panjang mendapatkan cintanya yang berlari sejauh 51 tahun perjalanan waktu. Mendengar kisahnya, aku menjadi merasa malu dan tampak rapuh di hadapannya. Meskipun begitu, Florentino tertawa getir dan mengangkat cangkir kopi tanpa gulanya. Terlanjur terpesona dengan kisahnya, aku bertanya padanya perihal cinta yang tak sepadan dengan kehidupannya yang fana, persis firman Allah yang disampaikan Johan Huzinga. Kudengar ia tertawa dan mengatakan mungkin benar, tapi tidak di sisi yang lain.
“Umur tidak memiliki realitas kecuali di dunia fisik. Inti dari manusia adalah tahan terhadap berlalunya waktu. Hidup batiniah kita abadi, artinya roh kita tetap awet muda dan kuat seperti saat kita berbunga penuh. Pikirkanlah cinta sebagai keadaan rahmat, bukan sarana untuk apa pun, tapi sebagai alfa dan omega. Sebuah akhir dengan sendirinya.” Kata Florintino Ariza dalam remang kabut asap rokok.
Untuk beberapa detik aku tertegun dan mencoba mencerna semua kalimatnya yang rasanya tak asing bagiku. Aku mencoba mengamati wajahnya secara seksama dan mengingat sebuah nama dan sebuah buku yang pernah dikirimkan seseorang padaku di masa lalu. Love in the Time of Cholera. Gabriel Gracia Marquez. Iya, aku seolah tak percaya dan mencoba mengamatinya sekali lagi lebih seksama. Florintino, wajah tua yang teguh itu mengangguk dan tertawa.
“Iya, aku anaknya Marquez,” akunya kemudian. Dalam beberapa detik kemudian ia sirna, meninggalkanku sendiri dalam keadaan resah, dan aku pun meneruskan perjalanan.
Pada saat itu, hitungan waktu telah sirna dalam diriku, sehingga aku tak mampu menandai setiap persinggahan. Tapi aku mulai menjelajahi teks-teks tanpa rasa sayah untuk menemukan keberadaan Rose si periang. Suatu ketika aku memutuskan kembali pada tempat semula aku mengenal Rose di antara bebatuan yang tumbuh bunga-bunga dan berharap mendapatinya bersama tawa riangnya. Namun, harapanku nihil. Di sana, hanya kutemukan sebaris tulisan yang terukir di salah satu permukaan batu. Begini bunyinya: “Sudahkah kau melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah kau akan menjadi pelindungnya? (Qs: 25:43).
Aku berpikir keras dengan maknanya, dan merasakan ada korelasi yang kuat di antara kalimat yang tertulis itu dengan semua peristiwaku. Sejenak kemudian, aku memandang burung-burung camar di atas langit yang luas. Di cakrawala, aku juga melihat batas kecemasan dari keinginan yang tak berbatas. Aku merenung sejenak dan kemudian memutuskan berhenti mengejar dan hanya menunggu Rose si periang datang di antara bebatuan yang tumbuh bunga-bunga.
Esok harinya, ketika matahari pecah pertama kalinya, aku terbangun dengan tubuh pegal.

Rendang Batak Umak


Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 11 Februari 2018)
Rendang Batak Umak ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Rendang Batak Umak ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Ibuku orang Sunda. Ayahku orang Batak. Meski demikian, aku terlahir dengan wajah yang lebih mirip Ambon dilengkapi ikal-ikal yang nakal dan tak mirip keduanya. Biarlah, yang penting wujudnya masih sama-sama manusia. Entah bagaimana mereka bertemu di pulau Jawa dan saling membutuhkan di saat yang tepat, karena itu mereka pun memutuskan menikah.
Seumur-umur aku tahu Umak berlatih dan terus berlatih memasak semata-mata demi menjaga Ayah agar hatinya tak tercuri wanita lain. Ia taat sekali pada ajaran orang tuanya: cinta itu muncul dari perut ke hati. Bahagiakan perutnya, maka hatinya takkan kemana-mana.
Selama tiga puluh dua tahun, bisa dibilang berhasil. Buktinya tak pernah sekalipun seumur pernikahan mereka, Ayah makan di luar. Bahkan ia pernah terengah-engah hampir terkapar di depan rumah karena perkara sederhana: Ayah rapat seharian, karenanya pula ia tak makan seharian karena tak sudi menyentuh makanan yang bukan dari tangan Umak. Kadang kupikir masakan Umak adalah satu-satunya alasan mereka tetap menikah dan tinggal di atap yang sama, meski kamar sudah berbeda dan jarang sekali saling bercengkrama.
Kehebohan baru terasa setiap kali hari raya. Sebagai Batak Muslim, penganan khas Batak untuk kami memang sedikit terbatas, tapi tak lantas menghalangi Umak untuk berkreasi. Mulai dari arsik (ikan segar yang dibumbui kunyit, cabai, asam, andamalin serta bumbu lain), dan na tinombur (makanan khas Tapanuli berupa ikan lele atau ikan mas bakar berbumbu kacang).
Lainnya adalah lapet (jajanan Batak yang berbentuk segitiga runcing terbuat dari campuran tepung ketan dan beras yang ditambahkan gula merah) dan naniuar (ikan mas atau mujaer berbumbu. Tidak dimasak melainkan dibantu dengan air perasan asam selama 3-4 jam).
Satu hal yang tak pernah luput dari meja, bintang utama kebanggaan Umak: rendang Batak. Aku sungguh tak tahu pada bedanya rendang Batak dengan rendang Padang, tapi rasanya memang berbeda. Mungkin karena menggunakan daging kerbau. Bisa pula dari kelapanya yang disangrai terlebih dulu, atau prosesnya yang memakan waktu semalaman. Yang kutahu, proses pembuatan rendang itu dimulai sejak berhari-hari sebelumnya.
Mulai dari memilih bumbu-bumbu berkualitas yang Umak pelototi dengan seksama agar tak ada yang busuk atau terlalu muda. Dilanjutkan dengan memarut kelapa dengan tangan, karena menurut Umak, santan instan rasanya kalah gurih dibandingkan dengan santan yang diparut alami. Tak terhitung berapa oleh-oleh goresan dari papan parutan yang tercetak di jemariku. Hingga pemilihan daging kerbau yang terbaik di bagian yang terbaik pula, hanya bisa tercapai setelah Umak berkeliling pasar dari satu penjual ke penjual lainnya.
Tak selesai sampai di situ, ia sengaja mulai masak dari sore menembus malam dan subuh hingga pagi. Harus di atas tungku, tak boleh di atas kompor gas, yang entah bagaimana harus kucari-cari kayu bakarnya. Pada jaman dimana handphone bisa di-charge tanpa kabel, Umak masih bersikeras ingin memasak dengan tungku semalaman! Demi apa?
Demi senyum lebar di wajah Ayah. Ya, kaum pria di keluarga Batak di tengah perhelatan hari raya ini tugasnya cuma dua: berteriak, “Bikinkan kopi.” Lalu sesekali masuk dapur untuk bertanya apakah makanan sudah jadi. Biasanya setelah dijawab sudah, Ayah akan masuk, membuka tudung saji dan melahap bagiannya sambil sesekali curi pandang, bagian siapa yang belum habis.
Ayah yang pendiam sebenarnya tak pernah memuji masakan Umak enak. Ia pun tak pernah mengeluh kalau terlalu asin atau kurang rasa. Tapi Umak selalu menandai, kalau makanannya enak, Ayah akan menambah nasi. Sekali tambah tandanya sungguh nikmat. Dua kali tandanya luar biasa. Tiga kali tandanya Umak sudah jadi ciptaan Tuhan paling berbahagia: makanannya tak beda dengan makanan surga yang dijanjikan di sana. Umak akan tidur sambil tersenyum nanti malam.
Umak sering bercerita bahwa mencapai tujuan hidup itu selayaknya proses membuat rendang. Harus dengan susah payah, teliti dan mencurahkan niat sepenuh hati dari awal hingga akhir. Hasilnya pun akan luar biasa gurih, mengenyangkan perut hingga seharian ke depan. Kalau ada yang tanya siapa yang buat, kita akan menepuk dada bangga karena hasil jerih payah.
Berbeda dengan membuat kerupuk yang tinggal goreng begitu saja. Serba instan, mudah dan seadanya. Namun hasilnya tak beda dengan angin, dikunyah setoples pun sejam kemudian akan lapar kembali. Terlebih lagi, tak ada yang peduli siapa yang masak kerupuk, karena dibuat segudang pun, rasanya akan sama saja dengan kerupuk lainnya.
Sebenarnya tak cuma urusan makanan. Umak berusaha menjadi orang Batak sebaik-baiknya. Pernikahan selama tiga puluh dua tahun menjadikan Umak mahir berbahasa Batak, mulai dari bahasa formal hingga bahasa gaul. Mulai dari letak geografinya, hingga lagu-lagu daerahnya. Tak ada yang Umak tak ketahui, meski Ayah sendiri sebenarnya sudah jarang memakai bahasa Batak. Dinding kami dipenuhi jejeran koleksi ulos Umak meski Ayah tak pernah sekalipun meliriknya. Bahkan panggilan Umak yang merupakan panggilan Ibu khas Tapanuli sendiri digalakkan oleh dirinya sendiri, bukan oleh Ayah.
Umak berjuang keras menghapus jurang perbedaan yang ada antara Sunda dan Batak dengan menyebrangi jembatan itu tanpa ragu: ia menjadi Batak yang sesungguhnya. Termasuk pula karakternya, yang sedemikian keras dan tangguh, khas kaum wanita dari Batak. Tiga puluh dua tahun lamanya ibuku setengah mati menghilangkan kesundaannya agar menjadi Batak sejati, bahkan melebihi Bataknya Ayah.
Bagiku, tak ada yang lebih mengerikan dari cinta Umak pada Ayah. Demi mempertahankan pria yang ia cintai, Umak rela menghapus dirinya sendiri. Meski Ayah tak pernah meminta Umak untuk berubah menjadi apapun yang bukan dirinya.
Namun untuk mempertahankan sebuah perkawinan, sekadar rendang Batak takkan cukup. Meski itu rendang Batak legendaris buatan Umak sekalipun. Puluhan tahun hidup layaknya dua orang asing yang kebetulan makan dari dapur yang sama, akhirnya mereka berdua sepakat untuk bercerai saja. Mungkin Umak sudah lelah memasak hanya untuk berdua. Mungkin Ayah punya mimpi lain dalam hidupnya yang tak melibatkan Umak di dalamnya. Mungkin pula ada hal lain. Yang pasti anak-anak Batak tak pernah tahu apa yang ada di kepala orangtua mereka, karena bagi Ayah dan Umak, orangtua ada untuk dihormati bukan untuk ditanya-tanyai.
Umak memutuskan tinggal denganku. Ayah pindah ke kota lain untuk hidup sendiri saja. Terakhir aku bertemu adalah enam tahun lalu. Aku nyaris tak mengenalinya. Pipi-pipinya tirus, dadanya yang tegap kini menyusut seiring dengan punggungnya yang merunduk bungkuk.Ayah, pahlawan Batak pujaan Umak, membiarkan dirinya tergerogoti waktu. Umak hanya mengalihkan pandangan seakan tak kenal.
***
Beberapa tahun kemudian, aku menikah dengan orang Jawa. Umak tak berkata apa-apa, tapi tak juga sembunyikan kecewanya karena aku tak memilih sesama Batak. Baginya pria Jawa sungguh tidak jantan. Begitu pula kesimpulanku setelah beberapa tahun kemudian pernikahan kami resmi dinyatakan kandas di Pengadilan Agama. Seolah untuk tahu kandas tidaknya, dua sejoli harus bertanya ke institusi pemerintah yang peduli nama kita pun mereka tidak. Terbukti dari salah ketiknya kedua nama kami oleh sang juru tulis di akta cerai.
“Pasti karena kamu tak pernah belajar Bahasa Jawa.”
Bisa jadi. Aku mengangguk-angguk biar Umak senang.
“Kamu sih, tidak belajar masak makanan Jawa dulu!”
Aku mendengus. Tak perlu kuceritakan kalau mantan suamiku lebih suka sushi Jepang ketimbang pecel, jadi cukup kujawab dengan senyuman.
Cecaran Umak yang tidak sensitif akan fakta kami baru pulang dari Pengadilan Agama untungnya terhenti. Kami akhirnya tiba di pasar. Ia segera sibuk sendiri mengumpulkan bahan untuk lebaran besok lusa.
Aku tersenyum menyaksikan ekspresi Umak yang sungguh menikmati proses pembuatan makanan yang sebenarnya toh hanya akan dinikmati berdua dengan anaknya yang kerempeng ini. Rendang Batak bukan lagi ia gunakan sebagai senjata untuk mempertahankan Ayah, kini ia hanyalah masakan terbaik yang bisa Umak sajikan dan banggakan. Bagian dari dirinya. Bagian dari masa lalu yang ia terima dengan lapang dada. Sesederhana itu.
Teleponku berdering. Senyumku raib, surut bersama darah di kepalaku.
Ayah meninggal.
***
Setelah beberapa tahun hidup sendiri meratapi meja makan di rumahnya yang kosong melompong, ternyata Ayah memutuskan menikah kembali. Lagi-lagi dengan wanita Sunda.
Aku melangkahkan kaki ragu-ragu ke rumah luas yang berada di Sukabumi. Seorang wanita bersahaja berparas cantik bergegas menghampiri.
“Neng Butet?” sapanya dengan logat Sunda yang kental dan asing di telinga. Aku berkesimpulan ia adalah istri Ayah. Aku mengangguk meski masih luar biasa bingung. Umak mengikuti di belakangku, menjaga jarak dan tetap waspada.
Aku memutuskan memanggil wanita itu dengan Teteh, karena usianya yang hanya berselang sepuluh tahun denganku. Teteh bercerita tentang Ayah yang kolesterolnya memang sudah tinggi sejak mereka bertemu. Berpenyakit jantung dan darah tinggi, Teteh menyebutkan penyakit-penyakit yang setahuku yang ilmu kesehatannya dangkal ini bisa jadi berasal dari konsumsi daging dan makanan bersantan berlebihan.
Seperti rendang Batak, misalnya. Aku menggigit bibir sambil sesekali melirik Umak yang mulai memucat. Keringat dingin menetes dari dahinya.
Teteh ini sedemikian santunnya, menunduk-nunduk sambil menabur senyum. Suatu sikap khas Sunda yang paling Umak tak suka. Ia kerap menyebutnya klemar klemer. Terlalu lembut, tak ada tangguh-tangguhnya. Sungguh tak adil membandingkan mereka, tapi sulit untuk tak menyadari perbedaannya: mereka selayaknya bumi dan langit. Namun kuamati dari foto-foto di dinding, senyum Ayah tak pernah selebar itu kala bersama Umak.
Tak hanya senyum, beberapa di antaranya bahkan menunjukkan tawa. Foto-foto itu bercerita betapa beberapa tahun terakhir ia berkeliling menjelajah tempat-tempat yang Umak tak pernah suka. Siapa pernah duga Ayah ternyata suka sekali dengan Bali yang menurut Umak disesaki terlalu banyak turis. Aku mengangkat alis ketika pandanganku menyapu sebuah lukisan megah beraliran post-impresionisme dengan inisial Ayah di bawahnya. Mana pernah aku tahu bahwa Ayah bisa melukis, seindah ini pula. Ia manusia yang sama sekali berbeda setelah keluar dari kepompong bernama pernikahan.
“Mangga, Neng, Teh,” Teteh mempersilakan aku dan Umak masuk ke ruang makan.
“Dicicipi, makanan kesukaan Aa,” Teteh kemudian menyusut airmatanya.
Kubuka tudung saji hanya demi mendapat senyum ramahku seketika hilang.
Pepes ikan nila ala Cianjur. Ternyata Ayah tak pernah cerita selama ini ia suka makanan Sunda.
Kurasakan tubuh Umak ambruk di sebelahku. ■

Rossea dan Impiannya


Oleh Kinanti Gurit Wening (Suara Merdeka, 11 Februari 2018)
Rossea dan Impiannya ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Rossea dan Impiannya ilustrasi Suara Merdeka
Suatu hari, seorang anak perempuan keluar dari gubuk tempat tinggalnya. Ia membawa kue-kue yang akan dijual kepada tetangga-tetangga dekat. Anak itu bernama Rossea, nama lengkapnya Alicia Rossea Monkreat.
“Kue, kue! Ayo beli kue buatanku sendiri! Ini masih hangat lo!” seru Rossea.
“Rosse! Kemarilah!” panggil Nyonya Chintya.
“Ada apa, Nyonya? Kenapa Nyonya memanggil saya?” tanya Rossea.
“Tentu saja aku ingin membeli kuemu, Rosse. Apakah aku mau membeli sepatu?” canda Nyonya Chintya.
Itulah yang Rossea sukai. Dia selalu mendapat kebahagiaan dari orang-orang yang dekat dengannya.
“Berapa semua?”
“Lima keping koin emas, Nyonya Chintya,” kata Rossea.
“Ini,” Nyonya Chintya menyerahkan uang.
“Terlalu banyak, Nyonya.”
“Sudah, kamu tabung saja.”
***
Keesokan hari, Rossea duduk di depan rumah, tempat dia dan sang Ibu tinggal.
“Rosse, sedang apa kau di sini?” tanya Ibu.
“Ah, tidak apa-apa, Bu. Hanya melihat anak-anak itu,” jawab Rossea.
“Coba katakan saja kepada Ibu kenapa?” kata Ibu mengulang pertanyaannya.
“Mereka bisa sekolah, kenapa aku tidak?” kata Rossea sedih.
“Suatu hari nanti kau akan seperti anak-anak itu, Nak,” ucap Ibu sambil mengelus kepala Rossea.
“Semoga saja, Bu.”
***
Sejak saat itu, Rossea selalu bersemangat menjual kue-kue buatan Ibu. Dia berharap Ibu akan menyekolahkannya.
“Kue, kue! Kue sehat dan hangat!” kata Rossea seperti biasa.
“Rosse, kenapa kamu tidak bersekolah?” tanya Pak Robert, penjahit baju.
“Tidak, Pak Robert. Ibu tak punya biaya untuk membayar uang sekolah,” ujar Rossea.
Pak Robert merasa iba mendengar penjelasan Rossea.
“Kurasa kau pantas sekolah, Nak. Aku akan mengurus biayanya,” kata Pak Robert.
“Benarkah, Pak?” Rossea memastikan ucapan Pak Robert.
Pak Robert mengangguk. Rossea berlari menuju gubuknya dan memberi tahu Ibu berita membahagiakan itu.
“Ibu! Ibu!” panggil Rossea.
“Ada apa?” tanya Ibu sambil memberikan segelas air.
“Besok Pak Robert akan membawaku ke sekolah, Bu!”
Wajah Ibu terlihat sedih.
“Ibu tidak suka aku pergi ke sekolah?” tanya Rossea.
“Bukan begitu. Ibu takut Pak Robert akan meminta uang atas bantuannya,” kata Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu Aisye. Saya tidak mengharapkan imbalan apa pun dari Ibu,” kata Pak Robert yang tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu.
“Terima kasih,” ujar Ibu sambil menangis.
“Sudahlah Ibu, jangan menangis,” hibur Rossea.
Ibu mengangguk dan menyeka air matanya.
***
Keesokan hari, Rossea berangkat sekolah diantar Pak Robert. Rossea sangat bersemangat karena hari pertama dia bersekolah.
“Rosse, Bapak hanya bisa mengantar kamu sampai di sini. Nanti siang Bapak akan menjemputmu. Semoga harimu menyenangkan!”
Pak Robert meninggalkan Rossea di depan ruang kelas.
“Permisi,” ujar Rossea sambil mengetuk pintu ruang kelas.
“Miss Selly, ada anak baru!” seru seorang anak perempuan berambut keriting memakai pita.
“Ayo masuk,” ajak Miss Selly. “Silakan perkenalkan dirimu pada teman-teman.”
“Perkenalkan, namaku Alicia Rossea Monkreat. Kalian semua bisa memanggilku Rosse. Aku bersekolah karena bantuan Pak Robert. Kuharap ada yang mau menjadi sahabatku,” kata Rossea.
“Baiklah Rosse, kamu bisa duduk di sebelah Rachel,” kata Miss Selly.
“Anak-anak, sekarang saya akan memberi waktu setengah jam untuk menulis impian atau cita-cita kalian. Setelah bel pertama berbunyi kalian harus maju ke depan kelas,” kata Miss Selly.
Saat giliran Rossea maju ke depan kelas.
“Hai! Aku Alicia Rossea Monkreat. Aku anak tunggal dari pasangan Ibu Aisye Sarah dan Bapak Louis Monkreat. Ayahku meninggal karena kecelakaan. Impian terbesarku bisa menjadi seseorang sesuai dengan harapan Ibu dan mendiang ayahku. Cita-citaku menjadi orang yang bermanfaat bagi semua orang,” kata Rossea lantang.
Semua anak bertepuk tangan.
Saat istirahat, ada seorang anak menghampiri Rossea.
“Kamu tidak ke kantin?” tanya anak yang bernama Nicole.
“Tidak, aku tidak bawa uang, Nicole. Aku akan makan di rumah,” ujar Rossea.
“Ini, ambillah bekalku,” kata Nicole.
“Terima kasih,” Rossea memeluk Nicole.
Kini, Rossea sudah dewasa. Ia selalu berdoa dan berusaha sampai sukses menjadi guru. Dia mengajar sampai ke pelosok-pelosok Indonesia. (58)

Kutipan Under the Blue Moon

Tanpa keberanian, tidak ada kemenangan. (hlm. 9)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kau berkencan denganku, padahal punya pacar? (hlm. 33)
  2. Romansa benar-benar perlu dibangkitkan kembali. (hlm. 37)
  3. Kau tidak akan menghabiskan malam dengan mencari jati diri. (hlm. 63)
  4. Tidak ada nyali, tidak ada kemenangan. (hlm. 71)
  5. Semua orang berharap berhenti bertingkah aneh. (hlm. 84)
  6. Jika kau masih tidak bahagia, kita membicarakan alternatif lain. (hlm. 91)
  7. Jangan merasa terlalu nyaman. Kau harus turun dan berjalan kaki jika ada bukit. (hlm. 133)
  8. Cowok tidak begitu memperhatikan seperti apa cowok lain. (hlm. 167)
  9. Sebagian cewek membiarkan cowok mereka kelihatan keren. (hlm. 233)

Suatu Malam di Rumah Sakit


Cerpen Alif Bareizy (Suara Merdeka, 11 Februari 2018)
Suatu Malam di Rumah Sakit ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Suatu Malam di Rumah Sakit ilustrasi Suara Merdeka
Kalau tidak terlalu lelah, seseorang tak akan tidur di bangku panjang kayu jati tua itu. Tidur dalam posisi terduduk pula. Tak menghabiskan ruang karena kursi itu bisa diduduki empat orang dewasa.
Orang tak akan betah berlama-lama duduk di kursi model balok tipis panjang membujur itu. Kelewat lama duduk membuat pantat seseorang tercetak bergaris-garis, meski dia sudah lima langkah berlalu.
Namun bagi Uky, cukuplah tidur sejenak. Meski cuma tidur-tidur ayam, sambil doyong kekanan-kiri seperti cemara tertiup angin.
Jadwal hari ini padat. Selalu padat di stase bedah untuk dokter muda. Setiap hari adalah Senin dan tiap waktu adalah pagi. Begitulah kata kepala bagian bedah.
Subuh bersiap untuk visite dokter spesialis bedah, pagi periksa pasien, siang sampai sore kuliah, malam jaga. Itulah jadwalnya, sehingga dalam tidur pun dia tetap bermimpi mengenai tugas ilmiah.
Mimpi dikejar-kejar tugas. Apes, tugas itu berwujud makhluk hidup. Sang kakak yang menjadi akuntan bilang kadang bermimpi dikejar-kejar tagihan cicilan rumah. Lalu mimpi Uky berganti; melihat suami-istri menangis ditinggal sang anak yang baru berumur empat belas.
Dia terbangun karena mimpi itu. Potongan mimpi itu benar-benar terjadi minggu lalu. Seorang anak tanggung lunas nyawa. Meninggal, menabrak tiang listrik dalam keadaan mabuk oplosan. Kepalanya benjol sebesar bakpao. Namun dia meninggal karena luka di dalam tengkorak.
Meninggal di depan mata Uky, setelah diberi resusitasi jantung paru, seperti dalam film dengan menekan dada secara berirama dan sambil memberi napas buatan sampai setengah jam.
Itu kematian pertama sejak dia menjadi dokter muda. Dia pula yang, bertopeng wajah datar, dengan hati kacau mesti menjelaskan pada orang tua bahwa si bocah mabuk itu sudah mati.
Malam ini sepi. Tak ada pasien masuk instalasi gawat darurat (IGD). Sebenarnya tidak aneh. Ini kan rumah sakit di kota kecil. Meski rumah sakit utama daerah tetap saja sepi. Televisi mati. Namun perawat yang lebih muda sedang menonton drama Korea di hape dari balik meja jaga. Takzim dia. Teman dokter mudanya yang jaga bersama dia juga menonton. Namun menonton perawat muda itu sambil cengar-cengir. Gemas melihat anak muda itu berbinar melihat cowok Korea yang tidak maskulin buat ukuran umum.
Reni, itulah dokter mitra jaga Uky malam ini. Yang lebih sering pada malam-malam lain. Tentu Uky senang. Reni berwajah luhur dengan senyum yang, kalau mau percaya, membuat dengkul lelaki yang baru puber melemas. Perempuan itu berambut lurus hitam kelam. Karena dokter muda, dia harus menguncir rambut.
Uky beranjak dari bangku jati menuju pintu utama IGD sambil memeriksa apa masih ada sekotak rokok di saku. Pikirannya masih berkabut. Nyawa belum sepenuhnya berkumpul.
Reni melihat Uky keluar, lalu menyusul.
“Mau ke mana, Ky?”
“Merokok sebentar. Mau ikut?”
Reni menaikkan alis, tetapi terus mengekor. Malam ini sepi. Benar-benar sepi, sehingga suara katak dari got depan pun terdengar. Tak ada suara ambulans. Mobil juga tidak ada. Hanya sesekali motor dengan knalpot memekakkan lewat. Dasar ABG labil.
Uky tercekat, ingat anak muda yang melepas nyawa karena kebut-kebutan. Mungkin mereka yang lewat itu kumpulannya juga. Jelas kematian teman tak cukup menjadi pengingat bagi mereka. Dasar ABG labil!
Mereka beralih ke samping IGD. Tidak elok jika terlihat orang berpakaian jaga malah merokok. Ada bangku jati panjang di selasar samping IGD. Entah mengapa banyak betul bangku jati panjang tua di rumah sakit ini. Agak remang di situ. Kelipan api korek menyala sebentar, digantikan bara rokok kretek. Kepala Uky jadi agak enteng sedikit demi sedikit.
“Masih kepikiran Rusdi, Ky?” tanya Reni.
Rusdi adalah anak tanggung yang meninggal karena balap liar itu.
“Iya. Sedikit.”
Reni terdiam. Dia tidak menjadi saksi kematian Rusdi. Namun dia yang sang ayah saat sakaratul maut, tanpa sang ibu di sisinya. Diam sejenak, sambil memikirkan hendak membahas topik apa. Sebelumnya mereka tidak begitu saling kenal. Setelah menjadi satu kelompok kerja, mau tak mau akhirnya mereka akrab. Karena itulah dia kadang bingung menghadapi Uky.
Hening. Suara kodok terdengar lagi sesaat, ditingkahi suara keretek dari rokok Uky.
“Ky,” Reni memanggil. “Aku kira kamu batal lanjut dokter muda. Teman-teman mengira setelah sarjana kamu bakal melanjutkan usaha ayahmu.”
“Mauku sih begitu, Ren.”
Dia mengisap rokoknya kembali.
“Tapi sebelum meninggal Bapak memintaku melanjutkan. Kalau kuat, lanjut spesialis. Kalau kuat ya.”
Kali ini dia mengisap lebih lama, lalu menahan asapnya, baru mengembuskan. Wajahnya khas. Satu per satu beban seperti lepas dari kepala. “Usaha Bapak akhirnya diurus kakak perempuanku. Aku terima bagian saja. Kalau mau egois, sejak dulu aku tak mau kuliah berat begini, Ren. Tapi rasanya aku ingin menebus dosaku pada Bapak. Zaman beliau hidup, aku cuma bikin susah beliau. Disuruh ke pesantren tak mau, sekolah biasa malah nakal. Untung, agak pintar,” ujar Uky seraya terkekeh pelan. Tawa satire, sedih.
Hening lagi. Reni merasa salah pilih topik pembicaraan. Sejenak Uky menyesap rokok.
“Waktu bapak kakak sepupuku meninggal, dia berpesan, ‘Dik, kamu masih punya bapak. Mesti kamu sayang.’ Ibuku juga begitu, setiap kali ada saudara meninggal, waktu mau uruk liang kubur, beliau menghampiri aku. ‘Lik, sekarang saudaramu sudah nggak punya bapak, sayangi bapakmu ya.’ Kalau sudah begitu, ya tak mungkinlah aku memungkiri pesan Bapak.”
Reni tersenyum. “Anak ini ternyata sudah dewasa,” batin dia. “Bapakmu pasti senang ya lihat kamu sekarang.”
“Sayang, Bapak tak melihat. Aku menjadi seperti sekarang juga harus melewati proses Bapak meninggal dulu.”
Orang lain mungkin canggung menghadapi pembicaraan macam itu. Namun mereka tidak. Mereka sama-sama anak yatim.
“Untung, warisan dari Ayah lumayan, Ky. Kalau tidak, mungkin kuliahku bukan di kedokteran.”
“Ibumu?”
“Mama? Tidak tahu. Aku wisuda sarjana, batang hidungnya tidak kelihatan.”
Hening sebentar. Baru suara keretek terdengar lagi, lalu menguar bau wangi tembakau.
“Mungkin sudah senang dengan kehidupan barunya. Sama laki-laki baru. Aku merasa cukup kok. Warisan Ayah aku bawa. Lebih dari cukup, asal aku tidak jalan-jalan ke luar negeri, terus beli tas Hermes.”
Reni tertawa kecil. Manis sekali.
Dia melepas kuncir rambut, lalu menguncir kembali. Uky melihat adegan itu dalam sorot lampu remang dari belakang Reni.
“Sori, Ren. Aku tak tahu.”
“Tak apa. Aku juga jarang cerita ini pada teman-teman. Karena itulah, Ky, bersyukur. Setidaknya kau masih punya mama kan?”
“Oh iya, aku belum cerita ya?” Uky menatap wajah bingung Reni yang selalu manis itu. “Ibu menyusul Bapak tak sampai setahun setelah Bapak pergi. Kuburan mereka bersebelahan. Gundukan tanah Bapak juga masih tinggi. Lebaran kemarin aku memimpin tahlilan keluarga besar di depan kuburan mereka. Aku dulu nakal, tetapi masih fasih baca Yasin tahlil kok.”
Mereka berdua tertawa. Setelah lebih dari enam bulan mereka satu kelompok, baru ini mereka bisa bicara secara lancar. Mereka jadi tahu, sama-sama tak punya orang tua. Bedanya, Uky tahu kedua orang tuanya meninggal, sedangkan Reni tak tahu apa kabar sang ibu.
Malam masih panjang. Masih hening pula. Reni hampir bilang hari raya nanti tak punya rumah untuk pulang. Namun belum sempat karena Uky berkata, “Aku berniat ke pedalaman Kalimantan sehabis lulus, Ren. Kalau bisa.”
“Kok?”
“Seperti katamu, biar orang tuaku bangga melihat anaknya berbakti.” Mereka berdua tertawa.
“Biasanya ya, ini biasanya, anak baru masuk kedokteran saat ditanya alasan kenapa masuk kedokteran, menjawab mau bantu orang, termasuk aku. Tapi saat kuliah susah, mahal pula, alasan itu menguap. Kamu berkebalikan. Dulu bilang supaya bisa mapan, sekarang lain.”
Uky mengangkat bahu sambil menyedot rokok. “Takdir, tak ada yang tahu. Sekarang terpikir, besok-besok bisa saja niat itu meluntur.”
Reni hendak menyahut omongan Uky, tetapi tiba-tiba terdengar suara motor memasuki pelataran IGD. Lagi-lagi korban kecelakaan balap liar. Lagi-lagi remaja tanggung. Berboncengan tiga, bocah yang tak sadarkan diri berada di tengah. Ketika dipindah ke ranjang IGD, tercium sengak minuman keras dari mulutnya.
Tak tertolong lagi. Uky lagi yang harus menyampaikan kabar kematian itu pada orang tua si bocah. Namun kali ini dia merasa lebih siap. (44)

Alif Bareizy, alumnus SMA Negeri 1 Blora, kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.