Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Oleh Moh Romadlon (Kompas, 11 Februari 2018) Belajar Adil pada Bunda ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Tedi dan Doni adalah kakak beradik yang tinggal di Kebumen, Jawa
Tengah. Tedi sudah kelas 3 SMP, sementara Doni baru kelas 2 SD. Pagi ini
adalah awal tahun ajaran baru. Mereka berdua bersiap berangkat ke
sekolah.
“Bunda, Tedi mau berangkat,” ucap Tedi seraya mencium tangan Bunda. Doni juga ikut mencium tangan bundanya.
“Hati-hati yaa di jalan,” kata Bunda sambil memberikan selembar uang
sepuluh ribuan kepada Tedi dan selembar uang dua ribuan kepada Doni.
“Terima kasih, Bunda,” ucap Tedi. Ia segera berjalan menuju halte yang tak jauh dari rumah. Ia akan menunggu angkot di sana.
Sementara Doni malah terdiam dengan wajah kesal. “Bunda tidak adil!” Doni merajuk. “Masa Doni Cuma diberi Rp. 2.000.”
Bunda tersenyum. “Doni, Bunda memberi uang saku lebih banyak kepada
Kak Tedi, karena sekolah Kak Tedi jauh. Dia butuh ongkos untuk membayar
angkot. Sementara sekolah kamu kan dekat, jadi cukup berjalan kaki.”
“Tapi tetap saja Bunda tidak adil,” protes Doni.
“Kalau begitu, menurut Doni, biar adil bagaimana?”
“Ya harus sama. Kalau Kak Doni diberi sepuluh ribu, aku juga sepuluh ribu.”
Bunda kembali tersenyum. “Sekarang kamu berangkat saja dahulu, Doni. Nanti terlambat.”
Selepas Doni berangkat, Bunda menuju ke dapur. Bunda ingin
melanjutkan membuat kue bolu pesanan Bu Ratri, tetangganya. Kemarin Bu
Ratri memesan 220 potong kue bolu untuk acara malam nanti.
Sore hari kue-kue bolu itu pun jadi. Agar mudah dibawa, kue-kue itu
dikemas dalam dua kardus. Setiap kardus berisi 100 kue. Sisanya
dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam. Biasanya si pemesan yang
mengambil, tetapi kali ini Bunda punya rencana lain. Ia meminta Tedi dan
Doni membantu mengantarkan ke rumah Bu Ratri.
“Nah, biar adil, kalian masing-masing membawa satu kardus. Yang di tas plastik itu biar bagian Bunda,” lanjut Bunda.
“Apa tidak salah, Bunda?” protes Doni. “Masa bawaanku disamakan
dengan bawaan Kak Tedi. Kardus itu kan berat? Sementara Doni kan masih
kecil?”
“Loh, tadi pagi kan Doni minta selalu disamakan dengan Kakak? Katanya
biar adil. Sekarang giliran mau disamakan, Doni bilang tidak adil?”
jawab Bunda.
“Apa sih sebetulnya adil itu, Bunda?” tanya Tedi. “Aku juga masih bingung?”
“Yang dinamakan adil itu salah satunya adalah menempatkan sesuatu
sesuai porsinya. Adil juga bisa diartikan memberikan sesuatu sesuai
kebutuhan. Itulah kenapa Bunda membedakan uang saku kalian, karena
kebutuhan kalian berbeda.”
“Maafkan, Doni, ya Bunda,” ujar Doni yang sudah menyadari kekeliruannya.
“Iya, yang penting kalian sudah tahu kalau adil itu tidak harus sama.
Sekarang ayo kita antar kuenya. Doni bawa yang di tas. Biar Bunda dan
Ka Tedi bawa yang di kardus.” ujar Bunda. Doni pun sudah bisa tersenyum
ceria kembali.
Cerpen Budi Afandi (Koran Tempo, 10-11 Februari 2018) Dunia Nyonya Barbara ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Membiarkan Nyonya Barbara berkeliaran di rumah Steff seakan menjadi
satu-satunya cara agar Steff mau lebih mempedulikan dirinya sendiri.
Kehadiran Nyonya Barbara seolah sangat dibutuhkan agar Steff mau
melakukan hal-hal remeh seperti membereskan ranjang di pagi hari atau
sekadar membereskan meja sehabis makan.
Bagi mereka yang mengenal keduanya, mungkin sangat sulit membantah
hubungan saling menguntungkan yang dapat terjadi antara Steff dan Nyonya
Barbara. Steff yang dikenal paling tidak peduli pada semua hal di
sekitarnya, sedangkan Nyonya Barbara sangat peduli pada semua hal di
sekitarnya. Berada di sekitar Steff membuat Nyonya Barbara selalu
memiliki sesuatu untuk dilakukan, hal-hal yang bisa jadi sangat ia
butuhkan untuk tetap merasa hidup. Sementara keberadaan Nyonya Barbara
mungkin membuat Steff merasa ada yang selalu siap menghardik
kemalasannya.
Meski Steff kerap berperilaku semaunya, penduduk desa tak terlalu
peduli padanya sebab ia cenderung melakukan sesuatu yang merugikan
dirinya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan Nyonya Barbara,
orang-orang tidak dapat begitu saja mengabaikannya. Tindak-tanduk Nyonya
Barbara sudah menjadi satu di antara sedikit hal yang dapat seketika
mengusik ketenangan penduduk desa.
Karenanya hampir semua penghuni desa tidak menyukai Nyonya Barbara.
Tidak seorang pun mau duduk bersamanya untuk sekadar bercakap-cakap
sebagaimana orang-orang sepuh lain yang selalu punya kawan untuk
bercakap-cakap di taman di pusat desa ketika matahari menampakkan diri.
Ketidaksukaan orang-orang kepada Nyonya Barbara makin terlihat jelas
semenjak ia ditinggal mati Will, suaminya, tiga tahun lalu. Kematian
lelaki itu seperti membuka selubung yang telah lama memisahkan Nyonya
Barbara dengan semua orang yang tidak ia sukai dan tidak menyukainya.
Semasa Will masih hidup, orang-orang masih berusaha tersenyum jika
berpapasan dengan Nyonya Barbara, orang-orang masih mau menyapa meski
Nyonya Barbara tak sekali pun pernah membalas sapaan.
Tapi kini orang-orang sudah tidak ragu menunjukkan ketidaksukaannya.
Ada orang yang seketika membanting pintu saat Nyonya Barbara melintas;
ada yang melempar muka begitu melihatnya; ada juga yang terang-terangan
berkasak-kusuk di depannya. Tidak hanya orang dewasa, kanak-kanak juga
menunjukkan gejala serupa, tak peduli seasyik apa pun kanak-kanak dalam
permainan, mereka seketika terdiam jika Nyonya Barbara berada di sekitar
mereka.
Kematian suami Nyonya Barbara juga menjadi kematian pelindungnya.
Tidak ada lagi orang yang selalu siap melabrak siapa saja yang membuat
Nyonya Barbara bersedih; tidak ada lagi orang yang selalu siap menembaki
pot-pot di pekarangan rumah orang lain; tidak ada lagi orang yang
selalu siap berdiri di antara Nyonya Barbara dan seisi dunia yang tidak
ia sukai.
Karenanya, hanya dengan mendengar cerita tentang lelaki itu Collins
merasa beruntung tak bertemu dengannya. Terlebih setelah Collins merasa
menjadi bagian dari daftar orang-orang yang tidak menyukai Nyonya
Barbara sejak pertemuan pertama.
Pagi itu Collins melihat Nyonya Barbara sudah tak ubahnya kutu busuk
yang terselip di sela-sela ranjang. Collins marah dan jijik. Sebabnya
sederhana, Nyonya Barbara telah memaksanya bangun pagi, sesuatu yang
sangat penting bagi Collins.
“Seumur hidupku,” Collins memekik. “Tak ada yang berani memaksaku
bangun pagi. Dan kau bajingan. Kenapa kau tidak mengatakan apa pun?”
Collins begitu kesal sementara Steff tak dapat melakukan apa pun
selain berusaha tidak tertawa. Di saat yang sama Nyonya Barbara hanya
mematung di sisi ranjang, menatap Collins dan Steff seperti serigala tua
menatap mangsanya.
Setahun setelah pertemuan pertama Collins dan Nyonya Barbara, setelah
tidak ada lagi orang membicarakan keburukan-keburukan Nyonya Barbara,
Collins masih ingat kejadian pagi itu dan masih berharap Nyonya Barbara
segera kembali untuk meminta maaf.
NYONYA Barbara berusia sekitar 68 tahun ketika
suaminya meninggal, setahun setelah itu ia mendaftar masuk Panti Jompo,
hal yang sudah ditunggu-tunggu seluruh penghuni desa. Namun karena
antrean masuk Panti Jompo begitu panjang, ia harus menunggu sambil
selalu mengunjungi rumah Steff, tempatnya melakukan hal-hal yang sudah
tak bisa ia lakukan di rumahnya sendiri.
Rumah Nyonya Barbara berada tepat di seberang rumah Steff. Pekarangan
rumahnya dipenuhi rumput hijau yang selalu terpotong rapi, daun-daun
kering yang ditepikan, serta bunga-bunga yang terurus dengan baik.
Setiap pagi, selama setahun setengah, Nyonya Barbara menyambangi rumah
Steff untuk sekadar membangunkan Steff dan membantunya menyiapkan
sarapan. Setelah itu ia akan kembali ke rumahnya dan tidak akan tampak
lagi sampai menjelang tiba waktu makan malam.
Pertemanan Nyonya Barbara dengan keluarga Steff sudah terbangun sejak
lama, sedari orang tua Steff baru menikah dan pindah ke desa itu.
Sedari saat itu orang tua Steff menjadi satu-satunya teman bagi Nyonya
Barbara dan suaminya yang selalu menuduh penduduk desa membenci mereka.
“Karena kita orang Jerman,” begitu biasanya Nyonya Barbara menjawab saat Steff bertanya mengapa penduduk desa membenci mereka.
Hubungan kedua keluarga bertahan dengan baik, bahkan hingga setelah
kematian kedua orang tua Steff, lima tahun sebelum kematian Will.
“Barbara kerap membawa kue apel ke rumah,” Steff berucap sambil
menerawang ke langit-langit. “Dialah yang menjadi penyebab utama mengapa
aku begitu menyukai kue apel.”
JIKA orang-orang membicarakan Nyonya Barbara, maka
pastilah mereka membicarakan soal yang buruk-buruk saja. Misalnya
tentang Nyonya Barbara yang keras kepala dan selalu merasa paling benar,
Nyonya Barbara yang mencampuri urusan orang lain, Nyonya Barbara yang
memiliki mulut dipenuhi kata-kata kasar dan setumpuk keburukan lainnya.
“Pasti semua orang mengharapkannya lekas mati,” Steff berkata datar
sambil menuang anggur. “Seperti suaminya, lelaki gila yang akan
melakukan apa saja untuk menenangkan istrinya.”
Ketenangan Nyonya Barbara memang sangat mudah terusik. Ia dapat
tiba-tiba marah hanya karena melihat jendela rumah tetangganya belum
dibersihkan. Ia dapat tiba-tiba menangis saat melihat tanaman yang tidak
terurus. Bahkan ia pernah tiba-tiba pingsan karena melihat seekor
anjing berak di jalan dan membuat Will harus bersusah-payah membunuh
anjing itu.
“Aku ingat bagaimana Will berusaha mencari cara membunuh anjing itu.
Tentu kami tidak setuju. Tidak. Ayahku sudah berusaha menahan agar ia
tidak melakukan tindakan itu. Tapi hal itu hanya membuat Will makin
marah,” kata Steff.
KEMATIAN Will sendiri tidak mengubah apa pun, tidak
menghentikan Nyonya Barbara terlibat masalah dengan orang lain. Bahkan
hanya sehari setelah kematian Will, Nyonya Barbara terlibat perang mulut
dengan Nyonya Ariella, seorang perempuan sepuh yang tinggal tak jauh
dari rumah Steff.
Nyonya Barbara mengamuk setelah pagi-pagi mendapati kotoran anjing
bercokol di beranda rumahnya. Ia memekik seperti orang gila sebelum
Steff berhasil menenangkannya. Tapi entah bagaimana bermula, tiba-tiba
Nyonya Barbara seakan kerasukan arwah Will dan langsung berhamburan
menuju rumah Nyonya Ariella.
“Barbara merasa dugaan-dugaan dalam pikirannya sudah cukup menjadi
bukti,” tutur Steff, “Pertengkaran dengan Ariella tak dapat dihindari.”
“Kalau saja Barbara bisa menggunakan senjata, anjing milik Ariella
pasti mati hari itu juga,” Steff berkata sambil menatap Collins yang
tampak berusaha menahan kantuk.
“Tapi aku tahu Barbara punya alasan lain atas kemarahannya.”
“Ya. Aku yakin dia sepenuhnya tahu anjing milik Ariella bukan
satu-satunya tersangka. Tapi dia membutuhkan alasan untuk menyampaikan
kemarahannya. Sudah lama ia ingin mengamuk di depan Ariella. Karena
Barbara meyakini Ariella adalah seorang penyihir. Barbara selalu curiga
anjing milik Ariella adalah kaki tangan yang digunakan untuk
memata-matai dirinya.”
“Barbara mengaku anjing milik Ariella pernah hampir menggigitnya. Dan
menurut Barbara, anjing baik-baik tidak akan pernah punya keinginan
menyakiti manusia. Saat itu terjadi, Will sudah tidak ada.”
“TUHAN pasti menghukum kalian,” ucap Nyonya Barbara sebelum meninggalkan Collins dan Steff yang masih berusaha mengenakan pakaian.
“Dunia ini sendiri adalah hukuman bagi orang-orang keras kepala,” balas Steff.
Hari itu adalah hari pertama Collins bertemu dengan Nyonya Barbara.
Collins sangat kesal kepada perempuan itu, namun ia lebih kesal lagi
kepada Steff yang tidak mengatakan apa pun sebelumnya.
Hingga menjelang matahari terbenam, Collins masih saja mengutuki
Nyonya Barbara. Meski ia sudah mendengar semua cerita tentang perempuan
yang kini tak jelas rimbanya itu, tetap saja ia merasa Nyonya Barbara
berutang permintaan maaf kepadanya.
“Memukul bukanlah cara yang baik untuk membangunkan orang dari tidur,” gerutu Collins. “Orang mati pun harusnya memahami itu.”
Kopenhagen, Januari 2018
Budi Afandi, lahir di
Dusun Bilatepung, Desa Beleka, Lombok Barat, 20 Juni 1983. Menyelesaikan
studi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Menulis novel,
cerpen, dan puisi. Menerbitkan kumpulan cerpen Kebaikan Istri pada 2017.
Cerpen Arswendo Atmowiloto (Kompas, 11 Februari 2018) Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia ilustrasi Astuti Kusumo/Kompas
Lelaki muda, belum selesai dua tiga tahun, setelah bekerja serabutan
dan memperoleh penghasilan tidak tentu, menyatakan keinginannya memiliki
jas. Satu setel dengan celana—sewarna—yang kalau dipakai berpasangan
menambah gagah. Lelaki itu belum pernah memiliki jas dan setelannya
sebelum ini. Ketika keinginannya disampaikan kepada ibunya, perempuan
yang menjanda sejak bapak lelaki muda itu meninggal, tersenyum dan
maklum. “Kamu sudah besar. Ibarat burung kalau sudah mulai menghias
bulunya, dan memperhatikan sarang, itu tandanya siap bertelor.” Lelaki
muda belum menyadari artinya karena yang menyibuki sekarang ini adalah
bahwa dengan memiliki jas hitam, ia juga harus punya sepatu yang bersih,
kaus kaki, baju putih, dan dasi. Butuh waktu tertentu untuk menggenapi
itu semua. Dan ketika waktunya tiba, ia berkata kepada ibunya. “Bu, kita
potret bersama. Menandai zaman baru, karena sekarang ada foto
berwarna.” Lalu mereka ke studio foto, tapi harus menunggu semingguan
atau dua, karena katanya proses mencetak tergantung di laboratorium di
Jakarta.
Saat menunggu itulah ia bertemu perempuan yang seusia, yang
teman-temannya telah menikah dan beranak, dan tampak sensual kalau
hamil. Berkenalan dengan singkat, lalu keduanya sepakat untuk menikah.
“Saya sudah punya jas,” kata si lelaki.
“Urusannya bukan hanya jas atau celana. Tapi di mana nanti kita tinggal? Bagaimana kita makan setiap harinya.”
“Bukankah selama ini kita punya tempat tinggal dan makan?”
“Tapi saya tak yakin apakah kau mencintaku. Kamu tak pernah mengatakannya selama ini.”
“Ini yang saya katakan: lelaki yang mengajakmu menikah dan
benar-benar menikah adalah lelaki yang mencintaimu. Dibandingkan lelaki
yang mengatakan mencintai, mengajakmu tidur, tapi tak kunjung
menikahimu.”
Lalu mereka bertunangan, dan menikah. Dengan jas dan setelan, lelaki
itu berpotret bersama ibunya, bersama istrinya. Potret berwarna yang
belum banyak jumlahnya saat itu. Namun, kisah berikutnya tak ada
dokumentasinya. Anak lahir, kebutuhan menambah dan penghasilan paspasan.
Suami-istri itu bekerja dalam bidangnya sendiri. Dia sendiri masih
membuat apa saja: tulisan, gambar lucu, ikut sayembara, ikut teka teki
silang, ikut berbagai lomba. Dari sini, dia mendapat honor yang dikirim
melalui pos wesel, tanda pengiriman uang yang harus dicap di kelurahan
sebelum bisa dicairkan di kantor pos. Sementara istrinya, menjahit apa
saja yang dimaui pemberi jasa, yang bisa, menjadi pelanggan. Bisa baju,
bisa rok, bisa seprai, dengan imbalan yang beragam, dari berterima kasih
dan tanda persahabatan sampai yang benar-benar menggiurkan—kalau
memesan kebaya, tapi ini jarang.
“Istriku, kita jual saja jas kebanggaan itu.”
“Masih ada cara lain. Aku masih punya barang yang dijual.”
Barang lain itu bisa berupa piring, bisa berupa termos, bisa selimut
bayi, bisa gunting, bisa barang apa saja yang disimpan dari kado
pernikahan. Sebagian sudah dipakai, sebagian lebih banyak dipandang.
Selalu ada penadahnya, yang berjalan menelusuri kampung, siap menampung
barang apa saja, termasuk rontokan rambut. Rambut yang putus. Penjual
barang bekas ini bahkan akan datang, ikut memeriksa barang mana yang
kira-kira bisa dibeli. Itu yang terjadi, dan sementara jas serta celana
itu terselamatkan.
Sementara karena kemudian kebutuhan makin mendesak, bukan dari
kebutuhan mereka sendiri, melainkan karena kebutuhan keluarga besar,
kebutuhan sosial, kebutuhan berbasa basi. Dengan sikap pasrah, keduanya
menyetujui untuk melepas jas dengan celana. Untuk terakhir kalinya
lelaki itu mengenakan jas, becermin, tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Dan ajaiblah. Dan heranlah. Tangannya menyentuh ujung saku dan
menemukan selembar duit.
“Ya ampuuun, ini pasti malaikat yang meletakkan. Kita tak usah menjual Pak.”
“Ya, ini pasti malaikat lokal. Kalau malaikat asing, pasti isinya dollar.”
Untuk sementara waktu yang tak lama, jas itu selamat dari penjualan.
Namun, pemiliknya mempunyai alasan yang menguatkan selain faktor
kebutuhan. Praktis selama ini tak pernah memakai jas. Tak ada acara yang
mengharuskan memakai jas. Apalagi dasi. Juga sepatu hitam serta kaus
kaki. Akhirnya jas terjual—tanpa celana. Sebab, harga yang diberikan
tidak berkurang tanpa celana. Jadilah jas tersebut dilepas. Dan seperti
mudah diduga, begitu dilepas, kenangan pada jas tidak mengelupas. Malah
makin lengket, makin berseliweran. Apalagi jas itu dijajakan di pinggir
jalan—tempat deretan para penjual barang bekas. Seakan ujung lengan yang
ada kancing tiga biji melambai, menyapa, atau menyampaikan keluhan,
minta dikasihani. “Jas itu berkata, ketika diperlukan, dipakai dengan
bangga, dan kini dipermalukan.”
Dengan segala tekad dan kemampuannya, suami-istri mengumpulkan
sisa-sisa yang bisa disisakan dari pendapatannya untuk menebus kembali
jas itu. Dan ketika waktunya tiba, mereka berdua menuju pangkalan di
pinggir jalan, tempat jas itu digantungkan bersama jas yang lain. Untung
pedagang itu masih mengenali.
“Saya beli kembali.”
“O, tak bisa. Sudah laku.”
“Kok masih digantung di situ?”
“Karena belum lunas. Tunggu saja.”
Jas itu sudah dibeli oleh seorang lelaki yang kurus. Karena duitnya
masih kurang, ia memberikan uang muka. Begitu bisa melunasi, baru akan
dibawa.
Lelaki yang dulunya pemilik jas, akan membayar uang muka dari lelaki yang akan membeli. Dengan melebihkan jumlahnya.
“Ia bisa memilih jas yang lain.”
Lelaki yang kurus, yang sudah memberi uang muka pembelian jas itu
tidak memilih jas yang lain. Juga tidak menolak kalau tidak jadi dijual.
“Saya mau pakai jas itu untuk kawin Pak. Kalau tidak jadi, ya sudah.
Saya akan bilang calon istri saya.”
Luluhlah hati pemilik jas sebelumnya. Juga istrinya. Calon pengantin
itu berhak memilih jas yang akan dikenakan untuk perkawinan nanti. Dan
itu sudah ditentukan. “Sisanya, kita doakan saja mereka bahagia seperti
ketika kita mengenakan jas itu, dan tidak segera menjualnya.”
Yang tertinggal adalah soal celana yang menjadi setelan jas. Setiap
kali mencuci, atau menjemur, perempuan itu merasa kasihan. “Dia
ditinggal kawin lagi,” tuturnya sendu. Lalu berubah menjadi: “Lelaki
biasa begitu.”
Untuk menghindari kegelisahan setiap kali terkait dengan celana yang
setia, diusulkan membuat surat perjanjian antara suami-istri. Dengan
saksi Ibu. Yaitu bahwa mereka akan terus bersama-sama, tidak saling
meninggalkan, sampai salah satu meninggal dunia. Surat ini
ditandatangani, diberi meterai.
Untuk sementara aman. Sementara yang lama. Karena bahkan ketika
celana itu tak muat dipakai lagi—dan ditanggalkan, ditinggalkan, dan
ingatan tentang jas yang kawin lagi muncul, mereka masih berdua. Juga
ketika sang Ibu meninggal, dan surat bermeterai itu hilang atau
tersimpan di tempat yang terlalu rapat.
“Surat bermeterai sudah dibuat. Kenapa saya masih cemas, suamiku?”
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Kamu lebih takut Ibu daripada meterai…Ibu bisa meninggal, meterai …. ”
“Meterai bisa kedaluwarsa. Tapi tetap saja cemas masih ada.
Barangkali cemas itu menandai ada yang kita harapkan, ada yang kita
inginkan, ada yang masih menyatukan. Cemas hanya sekadar mengingatkan
itu.”
Mereka berdua juga mengingat bahwa mereka berjanji bersama, sampai
salah satu meninggal dunia. Dan membawa dalam doa. Doanya kebetulan sama
meskipun keduanya tidak saling mengetahui. Doa itu kurang lebihnya
adalah: mudah-mudahan pasangan saya meninggal duluan. Kalau saya yang
meninggal duluan, siapa yang akan mengurusnya?
Mungkin karena doa itu mempunyai makna, mungkin juga kecemasan yang
membuatnya terjaga dan saling memperhatikan, keduanya belum mati-mati
juga, setelah tiga kali melewati masa di mana lelaki itu memiliki jas
dan istri, sampai sekarang ini.
Arswendo Atmowiloto, lahir
di Solo tahun 1948. Nama aslinya Sarwendo, tetapi sejak menjadi penulis
namanya diubah menjadi Arswendo, lalu ditambahkan nama ayahnya
Atmowiloto. Ia penulis senior yang memiliki kecepatan menulis luar
biasa. Sangat produktif, sehingga puluhan novel, drama, skenario film,
dan kumpulan cerpen lahir dari tangannya. Mengikuti International
Writing Program di Universitas Iowa City, Amerika Serikat, tahun 1979.
Astuti Kusumo, lahir di
Yogyakarta tahun 1970. Ia pelukis otodidak yang menempuh pendidikan di
UPN Fakultas Ekonomi Yogyakarta. Meski otodidak, Astuti sudah berpameran
keliling dalam ASEAN Children Exhibition tahun 1985. Terakhir ia ikut
berpameran dalam Indonesian Art Exhibition 2018 di Jababeka Convention
Center Cikarang. Pernah memenangi penghargaan Silver Medal Shankar India
Art Exhibition tahun 1985.
Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 11 Februari 2018) Rendang Batak Umak ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Ibuku orang Sunda. Ayahku orang Batak. Meski demikian, aku terlahir
dengan wajah yang lebih mirip Ambon dilengkapi ikal-ikal yang nakal dan
tak mirip keduanya. Biarlah, yang penting wujudnya masih sama-sama
manusia. Entah bagaimana mereka bertemu di pulau Jawa dan saling
membutuhkan di saat yang tepat, karena itu mereka pun memutuskan
menikah.
Seumur-umur aku tahu Umak berlatih dan terus berlatih memasak
semata-mata demi menjaga Ayah agar hatinya tak tercuri wanita lain. Ia
taat sekali pada ajaran orang tuanya: cinta itu muncul dari perut ke
hati. Bahagiakan perutnya, maka hatinya takkan kemana-mana.
Selama tiga puluh dua tahun, bisa dibilang berhasil. Buktinya tak
pernah sekalipun seumur pernikahan mereka, Ayah makan di luar. Bahkan ia
pernah terengah-engah hampir terkapar di depan rumah karena perkara
sederhana: Ayah rapat seharian, karenanya pula ia tak makan seharian
karena tak sudi menyentuh makanan yang bukan dari tangan Umak. Kadang
kupikir masakan Umak adalah satu-satunya alasan mereka tetap menikah dan
tinggal di atap yang sama, meski kamar sudah berbeda dan jarang sekali
saling bercengkrama.
Kehebohan baru terasa setiap kali hari raya. Sebagai Batak Muslim,
penganan khas Batak untuk kami memang sedikit terbatas, tapi tak lantas
menghalangi Umak untuk berkreasi. Mulai dari arsik (ikan segar yang
dibumbui kunyit, cabai, asam, andamalin serta bumbu lain), dan na
tinombur (makanan khas Tapanuli berupa ikan lele atau ikan mas bakar
berbumbu kacang).
Lainnya adalah lapet (jajanan Batak yang berbentuk segitiga runcing
terbuat dari campuran tepung ketan dan beras yang ditambahkan gula
merah) dan naniuar (ikan mas atau mujaer berbumbu. Tidak dimasak
melainkan dibantu dengan air perasan asam selama 3-4 jam).
Satu hal yang tak pernah luput dari meja, bintang utama kebanggaan
Umak: rendang Batak. Aku sungguh tak tahu pada bedanya rendang Batak
dengan rendang Padang, tapi rasanya memang berbeda. Mungkin karena
menggunakan daging kerbau. Bisa pula dari kelapanya yang disangrai
terlebih dulu, atau prosesnya yang memakan waktu semalaman. Yang kutahu,
proses pembuatan rendang itu dimulai sejak berhari-hari sebelumnya.
Mulai dari memilih bumbu-bumbu berkualitas yang Umak pelototi dengan
seksama agar tak ada yang busuk atau terlalu muda. Dilanjutkan dengan
memarut kelapa dengan tangan, karena menurut Umak, santan instan rasanya
kalah gurih dibandingkan dengan santan yang diparut alami. Tak
terhitung berapa oleh-oleh goresan dari papan parutan yang tercetak di
jemariku. Hingga pemilihan daging kerbau yang terbaik di bagian yang
terbaik pula, hanya bisa tercapai setelah Umak berkeliling pasar dari
satu penjual ke penjual lainnya.
Tak selesai sampai di situ, ia sengaja mulai masak dari sore menembus
malam dan subuh hingga pagi. Harus di atas tungku, tak boleh di atas
kompor gas, yang entah bagaimana harus kucari-cari kayu bakarnya. Pada
jaman dimana handphone bisa di-charge tanpa kabel, Umak masih bersikeras ingin memasak dengan tungku semalaman! Demi apa?
Demi senyum lebar di wajah Ayah. Ya, kaum pria di keluarga Batak di
tengah perhelatan hari raya ini tugasnya cuma dua: berteriak, “Bikinkan
kopi.” Lalu sesekali masuk dapur untuk bertanya apakah makanan sudah
jadi. Biasanya setelah dijawab sudah, Ayah akan masuk, membuka tudung
saji dan melahap bagiannya sambil sesekali curi pandang, bagian siapa
yang belum habis.
Ayah yang pendiam sebenarnya tak pernah memuji masakan Umak enak. Ia
pun tak pernah mengeluh kalau terlalu asin atau kurang rasa. Tapi Umak
selalu menandai, kalau makanannya enak, Ayah akan menambah nasi. Sekali
tambah tandanya sungguh nikmat. Dua kali tandanya luar biasa. Tiga kali
tandanya Umak sudah jadi ciptaan Tuhan paling berbahagia: makanannya tak
beda dengan makanan surga yang dijanjikan di sana. Umak akan tidur
sambil tersenyum nanti malam.
Umak sering bercerita bahwa mencapai tujuan hidup itu selayaknya
proses membuat rendang. Harus dengan susah payah, teliti dan mencurahkan
niat sepenuh hati dari awal hingga akhir. Hasilnya pun akan luar biasa
gurih, mengenyangkan perut hingga seharian ke depan. Kalau ada yang
tanya siapa yang buat, kita akan menepuk dada bangga karena hasil jerih
payah.
Berbeda dengan membuat kerupuk yang tinggal goreng begitu saja. Serba
instan, mudah dan seadanya. Namun hasilnya tak beda dengan angin,
dikunyah setoples pun sejam kemudian akan lapar kembali. Terlebih lagi,
tak ada yang peduli siapa yang masak kerupuk, karena dibuat segudang
pun, rasanya akan sama saja dengan kerupuk lainnya.
Sebenarnya tak cuma urusan makanan. Umak berusaha menjadi orang Batak
sebaik-baiknya. Pernikahan selama tiga puluh dua tahun menjadikan Umak
mahir berbahasa Batak, mulai dari bahasa formal hingga bahasa gaul.
Mulai dari letak geografinya, hingga lagu-lagu daerahnya. Tak ada yang
Umak tak ketahui, meski Ayah sendiri sebenarnya sudah jarang memakai
bahasa Batak. Dinding kami dipenuhi jejeran koleksi ulos Umak meski Ayah
tak pernah sekalipun meliriknya. Bahkan panggilan Umak yang merupakan
panggilan Ibu khas Tapanuli sendiri digalakkan oleh dirinya sendiri,
bukan oleh Ayah.
Umak berjuang keras menghapus jurang perbedaan yang ada antara Sunda
dan Batak dengan menyebrangi jembatan itu tanpa ragu: ia menjadi Batak
yang sesungguhnya. Termasuk pula karakternya, yang sedemikian keras dan
tangguh, khas kaum wanita dari Batak. Tiga puluh dua tahun lamanya ibuku
setengah mati menghilangkan kesundaannya agar menjadi Batak sejati,
bahkan melebihi Bataknya Ayah.
Bagiku, tak ada yang lebih mengerikan dari cinta Umak pada Ayah. Demi
mempertahankan pria yang ia cintai, Umak rela menghapus dirinya
sendiri. Meski Ayah tak pernah meminta Umak untuk berubah menjadi apapun
yang bukan dirinya.
Namun untuk mempertahankan sebuah perkawinan, sekadar rendang Batak
takkan cukup. Meski itu rendang Batak legendaris buatan Umak sekalipun.
Puluhan tahun hidup layaknya dua orang asing yang kebetulan makan dari
dapur yang sama, akhirnya mereka berdua sepakat untuk bercerai saja.
Mungkin Umak sudah lelah memasak hanya untuk berdua. Mungkin Ayah punya
mimpi lain dalam hidupnya yang tak melibatkan Umak di dalamnya. Mungkin
pula ada hal lain. Yang pasti anak-anak Batak tak pernah tahu apa yang
ada di kepala orangtua mereka, karena bagi Ayah dan Umak, orangtua ada
untuk dihormati bukan untuk ditanya-tanyai.
Umak memutuskan tinggal denganku. Ayah pindah ke kota lain untuk
hidup sendiri saja. Terakhir aku bertemu adalah enam tahun lalu. Aku
nyaris tak mengenalinya. Pipi-pipinya tirus, dadanya yang tegap kini
menyusut seiring dengan punggungnya yang merunduk bungkuk.Ayah, pahlawan Batak pujaan Umak, membiarkan dirinya tergerogoti waktu. Umak hanya mengalihkan pandangan seakan tak kenal.
***
Beberapa tahun kemudian, aku menikah dengan orang Jawa. Umak tak
berkata apa-apa, tapi tak juga sembunyikan kecewanya karena aku tak
memilih sesama Batak. Baginya pria Jawa sungguh tidak jantan. Begitu
pula kesimpulanku setelah beberapa tahun kemudian pernikahan kami resmi
dinyatakan kandas di Pengadilan Agama. Seolah untuk tahu kandas
tidaknya, dua sejoli harus bertanya ke institusi pemerintah yang peduli
nama kita pun mereka tidak. Terbukti dari salah ketiknya kedua nama kami
oleh sang juru tulis di akta cerai.
“Pasti karena kamu tak pernah belajar Bahasa Jawa.”
Bisa jadi. Aku mengangguk-angguk biar Umak senang.
“Kamu sih, tidak belajar masak makanan Jawa dulu!”
Aku mendengus. Tak perlu kuceritakan kalau mantan suamiku lebih suka
sushi Jepang ketimbang pecel, jadi cukup kujawab dengan senyuman.
Cecaran Umak yang tidak sensitif akan fakta kami baru pulang dari
Pengadilan Agama untungnya terhenti. Kami akhirnya tiba di pasar. Ia
segera sibuk sendiri mengumpulkan bahan untuk lebaran besok lusa.
Aku tersenyum menyaksikan ekspresi Umak yang sungguh menikmati proses
pembuatan makanan yang sebenarnya toh hanya akan dinikmati berdua
dengan anaknya yang kerempeng ini. Rendang Batak bukan lagi ia gunakan
sebagai senjata untuk mempertahankan Ayah, kini ia hanyalah masakan
terbaik yang bisa Umak sajikan dan banggakan. Bagian dari dirinya.
Bagian dari masa lalu yang ia terima dengan lapang dada. Sesederhana
itu.
Teleponku berdering. Senyumku raib, surut bersama darah di kepalaku.
Ayah meninggal.
***
Setelah beberapa tahun hidup sendiri meratapi meja makan di rumahnya
yang kosong melompong, ternyata Ayah memutuskan menikah kembali.
Lagi-lagi dengan wanita Sunda.
Aku melangkahkan kaki ragu-ragu ke rumah luas yang berada di
Sukabumi. Seorang wanita bersahaja berparas cantik bergegas menghampiri.
“Neng Butet?” sapanya dengan logat Sunda yang kental dan asing di
telinga. Aku berkesimpulan ia adalah istri Ayah. Aku mengangguk meski
masih luar biasa bingung. Umak mengikuti di belakangku, menjaga jarak
dan tetap waspada.
Aku memutuskan memanggil wanita itu dengan Teteh, karena usianya yang
hanya berselang sepuluh tahun denganku. Teteh bercerita tentang Ayah
yang kolesterolnya memang sudah tinggi sejak mereka bertemu. Berpenyakit
jantung dan darah tinggi, Teteh menyebutkan penyakit-penyakit yang
setahuku yang ilmu kesehatannya dangkal ini bisa jadi berasal dari
konsumsi daging dan makanan bersantan berlebihan.
Seperti rendang Batak, misalnya. Aku menggigit bibir sambil sesekali
melirik Umak yang mulai memucat. Keringat dingin menetes dari dahinya.
Teteh ini sedemikian santunnya, menunduk-nunduk sambil menabur
senyum. Suatu sikap khas Sunda yang paling Umak tak suka. Ia kerap
menyebutnya klemar klemer. Terlalu lembut, tak ada tangguh-tangguhnya.
Sungguh tak adil membandingkan mereka, tapi sulit untuk tak menyadari
perbedaannya: mereka selayaknya bumi dan langit. Namun kuamati dari
foto-foto di dinding, senyum Ayah tak pernah selebar itu kala bersama
Umak.
Tak hanya senyum, beberapa di antaranya bahkan menunjukkan tawa.
Foto-foto itu bercerita betapa beberapa tahun terakhir ia berkeliling
menjelajah tempat-tempat yang Umak tak pernah suka. Siapa pernah duga
Ayah ternyata suka sekali dengan Bali yang menurut Umak disesaki terlalu
banyak turis. Aku mengangkat alis ketika pandanganku menyapu sebuah
lukisan megah beraliran post-impresionisme dengan inisial Ayah
di bawahnya. Mana pernah aku tahu bahwa Ayah bisa melukis, seindah ini
pula. Ia manusia yang sama sekali berbeda setelah keluar dari kepompong
bernama pernikahan.
“Mangga, Neng, Teh,” Teteh mempersilakan aku dan Umak masuk ke ruang makan.
“Dicicipi, makanan kesukaan Aa,” Teteh kemudian menyusut airmatanya.
Kubuka tudung saji hanya demi mendapat senyum ramahku seketika hilang.
Pepes ikan nila ala Cianjur. Ternyata Ayah tak pernah cerita selama ini ia suka makanan Sunda.
Kurasakan tubuh Umak ambruk di sebelahku. ■
Oleh Kinanti Gurit Wening (Suara Merdeka, 11 Februari 2018) Rossea dan Impiannya ilustrasi Suara MerdekaSuatu hari, seorang anak perempuan keluar dari gubuk
tempat tinggalnya. Ia membawa kue-kue yang akan dijual kepada
tetangga-tetangga dekat. Anak itu bernama Rossea, nama lengkapnya Alicia
Rossea Monkreat.
“Kue, kue! Ayo beli kue buatanku sendiri! Ini masih hangat lo!” seru Rossea.
“Rosse! Kemarilah!” panggil Nyonya Chintya.
“Ada apa, Nyonya? Kenapa Nyonya memanggil saya?” tanya Rossea.
“Tentu saja aku ingin membeli kuemu, Rosse. Apakah aku mau membeli sepatu?” canda Nyonya Chintya.
Itulah yang Rossea sukai. Dia selalu mendapat kebahagiaan dari orang-orang yang dekat dengannya.
“Berapa semua?”
“Lima keping koin emas, Nyonya Chintya,” kata Rossea.
“Ini,” Nyonya Chintya menyerahkan uang.
“Terlalu banyak, Nyonya.”
“Sudah, kamu tabung saja.”
***
Keesokan hari, Rossea duduk di depan rumah, tempat dia dan sang Ibu tinggal.
“Rosse, sedang apa kau di sini?” tanya Ibu.
“Ah, tidak apa-apa, Bu. Hanya melihat anak-anak itu,” jawab Rossea.
“Coba katakan saja kepada Ibu kenapa?” kata Ibu mengulang pertanyaannya.
“Mereka bisa sekolah, kenapa aku tidak?” kata Rossea sedih.
“Suatu hari nanti kau akan seperti anak-anak itu, Nak,” ucap Ibu sambil mengelus kepala Rossea.
“Semoga saja, Bu.”
***
Sejak saat itu, Rossea selalu bersemangat menjual kue-kue buatan Ibu. Dia berharap Ibu akan menyekolahkannya.
“Kue, kue! Kue sehat dan hangat!” kata Rossea seperti biasa.
“Rosse, kenapa kamu tidak bersekolah?” tanya Pak Robert, penjahit baju.
“Tidak, Pak Robert. Ibu tak punya biaya untuk membayar uang sekolah,” ujar Rossea.
Pak Robert merasa iba mendengar penjelasan Rossea.
“Kurasa kau pantas sekolah, Nak. Aku akan mengurus biayanya,” kata Pak Robert.
“Benarkah, Pak?” Rossea memastikan ucapan Pak Robert.
Pak Robert mengangguk. Rossea berlari menuju gubuknya dan memberi tahu Ibu berita membahagiakan itu.
“Ibu! Ibu!” panggil Rossea.
“Ada apa?” tanya Ibu sambil memberikan segelas air.
“Besok Pak Robert akan membawaku ke sekolah, Bu!”
Wajah Ibu terlihat sedih.
“Ibu tidak suka aku pergi ke sekolah?” tanya Rossea.
“Bukan begitu. Ibu takut Pak Robert akan meminta uang atas bantuannya,” kata Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu Aisye. Saya tidak mengharapkan imbalan apa pun
dari Ibu,” kata Pak Robert yang tiba-tiba saja sudah berada di depan
pintu.
“Terima kasih,” ujar Ibu sambil menangis.
“Sudahlah Ibu, jangan menangis,” hibur Rossea.
Ibu mengangguk dan menyeka air matanya.
***
Keesokan hari, Rossea berangkat sekolah diantar Pak Robert. Rossea sangat bersemangat karena hari pertama dia bersekolah.
“Rosse, Bapak hanya bisa mengantar kamu sampai di sini. Nanti siang Bapak akan menjemputmu. Semoga harimu menyenangkan!”
Pak Robert meninggalkan Rossea di depan ruang kelas.
“Permisi,” ujar Rossea sambil mengetuk pintu ruang kelas.
“Miss Selly, ada anak baru!” seru seorang anak perempuan berambut keriting memakai pita.
“Ayo masuk,” ajak Miss Selly. “Silakan perkenalkan dirimu pada teman-teman.”
“Perkenalkan, namaku Alicia Rossea Monkreat. Kalian semua bisa
memanggilku Rosse. Aku bersekolah karena bantuan Pak Robert. Kuharap ada
yang mau menjadi sahabatku,” kata Rossea.
“Baiklah Rosse, kamu bisa duduk di sebelah Rachel,” kata Miss Selly.
“Anak-anak, sekarang saya akan memberi waktu setengah jam untuk
menulis impian atau cita-cita kalian. Setelah bel pertama berbunyi
kalian harus maju ke depan kelas,” kata Miss Selly.
Saat giliran Rossea maju ke depan kelas.
“Hai! Aku Alicia Rossea Monkreat. Aku anak tunggal dari pasangan Ibu
Aisye Sarah dan Bapak Louis Monkreat. Ayahku meninggal karena
kecelakaan. Impian terbesarku bisa menjadi seseorang sesuai dengan
harapan Ibu dan mendiang ayahku. Cita-citaku menjadi orang yang
bermanfaat bagi semua orang,” kata Rossea lantang.
Semua anak bertepuk tangan.
Saat istirahat, ada seorang anak menghampiri Rossea.
“Kamu tidak ke kantin?” tanya anak yang bernama Nicole.
“Tidak, aku tidak bawa uang, Nicole. Aku akan makan di rumah,” ujar Rossea.
“Ini, ambillah bekalku,” kata Nicole.
“Terima kasih,” Rossea memeluk Nicole.
Kini, Rossea sudah dewasa. Ia selalu berdoa dan berusaha sampai
sukses menjadi guru. Dia mengajar sampai ke pelosok-pelosok Indonesia.
(58)
Cerpen Alif Bareizy (Suara Merdeka, 11 Februari 2018) Suatu Malam di Rumah Sakit ilustrasi Suara Merdeka
Kalau tidak terlalu lelah, seseorang tak akan tidur di bangku panjang
kayu jati tua itu. Tidur dalam posisi terduduk pula. Tak menghabiskan
ruang karena kursi itu bisa diduduki empat orang dewasa.
Orang tak akan betah berlama-lama duduk di kursi model balok tipis
panjang membujur itu. Kelewat lama duduk membuat pantat seseorang
tercetak bergaris-garis, meski dia sudah lima langkah berlalu.
Namun bagi Uky, cukuplah tidur sejenak. Meski cuma tidur-tidur ayam, sambil doyong kekanan-kiri seperti cemara tertiup angin.
Jadwal hari ini padat. Selalu padat di stase bedah untuk dokter muda. Setiap hari adalah Senin dan tiap waktu adalah pagi. Begitulah kata kepala bagian bedah.
Subuh bersiap untuk visite dokter spesialis bedah, pagi
periksa pasien, siang sampai sore kuliah, malam jaga. Itulah jadwalnya,
sehingga dalam tidur pun dia tetap bermimpi mengenai tugas ilmiah.
Mimpi dikejar-kejar tugas. Apes, tugas itu berwujud makhluk hidup.
Sang kakak yang menjadi akuntan bilang kadang bermimpi dikejar-kejar
tagihan cicilan rumah. Lalu mimpi Uky berganti; melihat suami-istri
menangis ditinggal sang anak yang baru berumur empat belas.
Dia terbangun karena mimpi itu. Potongan mimpi itu benar-benar
terjadi minggu lalu. Seorang anak tanggung lunas nyawa. Meninggal,
menabrak tiang listrik dalam keadaan mabuk oplosan. Kepalanya benjol
sebesar bakpao. Namun dia meninggal karena luka di dalam tengkorak.
Meninggal di depan mata Uky, setelah diberi resusitasi jantung paru,
seperti dalam film dengan menekan dada secara berirama dan sambil
memberi napas buatan sampai setengah jam.
Itu kematian pertama sejak dia menjadi dokter muda. Dia pula yang,
bertopeng wajah datar, dengan hati kacau mesti menjelaskan pada orang
tua bahwa si bocah mabuk itu sudah mati.
Malam ini sepi. Tak ada pasien masuk instalasi gawat darurat (IGD).
Sebenarnya tidak aneh. Ini kan rumah sakit di kota kecil. Meski rumah
sakit utama daerah tetap saja sepi. Televisi mati. Namun perawat yang
lebih muda sedang menonton drama Korea di hape dari balik meja jaga.
Takzim dia. Teman dokter mudanya yang jaga bersama dia juga menonton.
Namun menonton perawat muda itu sambil cengar-cengir. Gemas melihat anak
muda itu berbinar melihat cowok Korea yang tidak maskulin buat ukuran
umum.
Reni, itulah dokter mitra jaga Uky malam ini. Yang lebih sering pada
malam-malam lain. Tentu Uky senang. Reni berwajah luhur dengan senyum
yang, kalau mau percaya, membuat dengkul lelaki yang baru puber melemas.
Perempuan itu berambut lurus hitam kelam. Karena dokter muda, dia harus
menguncir rambut.
Uky beranjak dari bangku jati menuju pintu utama IGD sambil memeriksa
apa masih ada sekotak rokok di saku. Pikirannya masih berkabut. Nyawa
belum sepenuhnya berkumpul.
Reni melihat Uky keluar, lalu menyusul.
“Mau ke mana, Ky?”
“Merokok sebentar. Mau ikut?”
Reni menaikkan alis, tetapi terus mengekor. Malam ini sepi.
Benar-benar sepi, sehingga suara katak dari got depan pun terdengar. Tak
ada suara ambulans. Mobil juga tidak ada. Hanya sesekali motor dengan
knalpot memekakkan lewat. Dasar ABG labil.
Uky tercekat, ingat anak muda yang melepas nyawa karena
kebut-kebutan. Mungkin mereka yang lewat itu kumpulannya juga. Jelas
kematian teman tak cukup menjadi pengingat bagi mereka. Dasar ABG labil!
Mereka beralih ke samping IGD. Tidak elok jika terlihat orang
berpakaian jaga malah merokok. Ada bangku jati panjang di selasar
samping IGD. Entah mengapa banyak betul bangku jati panjang tua di rumah
sakit ini. Agak remang di situ. Kelipan api korek menyala sebentar,
digantikan bara rokok kretek. Kepala Uky jadi agak enteng sedikit demi
sedikit.
“Masih kepikiran Rusdi, Ky?” tanya Reni.
Rusdi adalah anak tanggung yang meninggal karena balap liar itu.
“Iya. Sedikit.”
Reni terdiam. Dia tidak menjadi saksi kematian Rusdi. Namun dia yang
sang ayah saat sakaratul maut, tanpa sang ibu di sisinya. Diam sejenak,
sambil memikirkan hendak membahas topik apa. Sebelumnya mereka tidak
begitu saling kenal. Setelah menjadi satu kelompok kerja, mau tak mau
akhirnya mereka akrab. Karena itulah dia kadang bingung menghadapi Uky.
Hening. Suara kodok terdengar lagi sesaat, ditingkahi suara keretek dari rokok Uky.
“Ky,” Reni memanggil. “Aku kira kamu batal lanjut dokter muda.
Teman-teman mengira setelah sarjana kamu bakal melanjutkan usaha
ayahmu.”
“Mauku sih begitu, Ren.”
Dia mengisap rokoknya kembali.
“Tapi sebelum meninggal Bapak memintaku melanjutkan. Kalau kuat, lanjut spesialis. Kalau kuat ya.”
Kali ini dia mengisap lebih lama, lalu menahan asapnya, baru
mengembuskan. Wajahnya khas. Satu per satu beban seperti lepas dari
kepala. “Usaha Bapak akhirnya diurus kakak perempuanku. Aku terima
bagian saja. Kalau mau egois, sejak dulu aku tak mau kuliah berat
begini, Ren. Tapi rasanya aku ingin menebus dosaku pada Bapak. Zaman
beliau hidup, aku cuma bikin susah beliau. Disuruh ke pesantren tak mau,
sekolah biasa malah nakal. Untung, agak pintar,” ujar Uky seraya
terkekeh pelan. Tawa satire, sedih.
Hening lagi. Reni merasa salah pilih topik pembicaraan. Sejenak Uky menyesap rokok.
“Waktu bapak kakak sepupuku meninggal, dia berpesan, ‘Dik, kamu masih
punya bapak. Mesti kamu sayang.’ Ibuku juga begitu, setiap kali ada
saudara meninggal, waktu mau uruk liang kubur, beliau menghampiri aku.
‘Lik, sekarang saudaramu sudah nggak punya bapak, sayangi bapakmu ya.’
Kalau sudah begitu, ya tak mungkinlah aku memungkiri pesan Bapak.”
Reni tersenyum. “Anak ini ternyata sudah dewasa,” batin dia. “Bapakmu pasti senang ya lihat kamu sekarang.”
“Sayang, Bapak tak melihat. Aku menjadi seperti sekarang juga harus melewati proses Bapak meninggal dulu.”
Orang lain mungkin canggung menghadapi pembicaraan macam itu. Namun mereka tidak. Mereka sama-sama anak yatim.
“Untung, warisan dari Ayah lumayan, Ky. Kalau tidak, mungkin kuliahku bukan di kedokteran.”
“Ibumu?”
“Mama? Tidak tahu. Aku wisuda sarjana, batang hidungnya tidak kelihatan.”
Hening sebentar. Baru suara keretek terdengar lagi, lalu menguar bau wangi tembakau.
“Mungkin sudah senang dengan kehidupan barunya. Sama laki-laki baru.
Aku merasa cukup kok. Warisan Ayah aku bawa. Lebih dari cukup, asal aku
tidak jalan-jalan ke luar negeri, terus beli tas Hermes.”
Reni tertawa kecil. Manis sekali.
Dia melepas kuncir rambut, lalu menguncir kembali. Uky melihat adegan itu dalam sorot lampu remang dari belakang Reni.
“Sori, Ren. Aku tak tahu.”
“Tak apa. Aku juga jarang cerita ini pada teman-teman. Karena itulah, Ky, bersyukur. Setidaknya kau masih punya mama kan?”
“Oh iya, aku belum cerita ya?” Uky menatap wajah bingung Reni yang
selalu manis itu. “Ibu menyusul Bapak tak sampai setahun setelah Bapak
pergi. Kuburan mereka bersebelahan. Gundukan tanah Bapak juga masih
tinggi. Lebaran kemarin aku memimpin tahlilan keluarga besar di depan
kuburan mereka. Aku dulu nakal, tetapi masih fasih baca Yasin tahlil
kok.”
Mereka berdua tertawa. Setelah lebih dari enam bulan mereka satu
kelompok, baru ini mereka bisa bicara secara lancar. Mereka jadi tahu,
sama-sama tak punya orang tua. Bedanya, Uky tahu kedua orang tuanya
meninggal, sedangkan Reni tak tahu apa kabar sang ibu.
Malam masih panjang. Masih hening pula. Reni hampir bilang hari raya
nanti tak punya rumah untuk pulang. Namun belum sempat karena Uky
berkata, “Aku berniat ke pedalaman Kalimantan sehabis lulus, Ren. Kalau
bisa.”
“Kok?”
“Seperti katamu, biar orang tuaku bangga melihat anaknya berbakti.” Mereka berdua tertawa.
“Biasanya ya, ini biasanya, anak baru masuk kedokteran saat ditanya
alasan kenapa masuk kedokteran, menjawab mau bantu orang, termasuk aku.
Tapi saat kuliah susah, mahal pula, alasan itu menguap. Kamu
berkebalikan. Dulu bilang supaya bisa mapan, sekarang lain.”
Uky mengangkat bahu sambil menyedot rokok. “Takdir, tak ada yang
tahu. Sekarang terpikir, besok-besok bisa saja niat itu meluntur.”
Reni hendak menyahut omongan Uky, tetapi tiba-tiba terdengar suara
motor memasuki pelataran IGD. Lagi-lagi korban kecelakaan balap liar.
Lagi-lagi remaja tanggung. Berboncengan tiga, bocah yang tak sadarkan
diri berada di tengah. Ketika dipindah ke ranjang IGD, tercium sengak
minuman keras dari mulutnya.
Tak tertolong lagi. Uky lagi yang harus menyampaikan kabar kematian
itu pada orang tua si bocah. Namun kali ini dia merasa lebih siap. (44)
– Alif Bareizy, alumnus SMA Negeri 1 Blora, kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.