Daftar Blog Saya

Rabu, 10 Januari 2018

Bus Tua Misterius


Cerpen Lastry Monika (Padang Ekspres, 07 Januari 2018)
Bus Tua Misterius ilustrasi Padang Ekspres
Bus Tua Misterius ilustrasi Padang Ekspres
HARI ini aku memilih ikut kakak berbelanja keperluan sekolahnya. Libur akhir pekan tanpa bepergian itu sedikit membosankan. Ayah sedang di luar kota dan ibu harus menjaga adikku yang masih balita.
Juga ada beberapa orang teman kakak ternyata. Mereka ramah-ramah. Tidak ada yang mengabaikanku di tengah kesibukan mereka berbelanja. Mereka selalu menawariku untuk membeli sesuatu yang aku suka. Tetapi dari rumah aku telah berjanji pada kakak untuk tak membeli apa-apa.
“Kamu nggak mau beli buku atau kotak pensil baru?” tawar kakak. Aku menggeleng.
“Yang lama masih bisa dipakai Kak,” sahutku.
“Adik yang baik,” ujar salah seorang teman kakak sambil mencubit pipiku. Aku memang tak menginginkan apa-apa. Bagiku, pergi dengan kakak hanya untuk menghilangkan kebosanan terus-terusan berada di rumah.
Hari telah sore, kakak belanjanya belum juga kelar. Memilih buku tulis saja memakan waktu hingga belasan menit. Itu masih belum memilih alat-alat tulis lain. Aku sudah mulai lelah dan bosan berkeliling-keliling. Kakak menyuruhku istirahat saja. Tetapi aku memilih pulang lebih dulu. Sambil berjalan gontai aku menuju halte terdekat. Teman-teman kakak memuji keberanianku untuk pulang sendiri. Hehe, katanya aku adik yang mandiri.
Sore itu halte lumayan lengang. Hanya ada aku dan seorang anak laki-laki yang duduknya berjauhan dariku. Ia terlihat berpakaian sedikit kumal dan memiliki wajah yang kusam. Ia menatapku dingin dan aku berusaha menghindari tatapan itu. Aku merasa sedikit gelisah, namun berusaha tenang. Bus akhirnya datang. Tetapi ada yang aneh dengan bus itu. Busnya mengeluarkan bunyi yang sangat bising, sedikit reot, dan mengeluarkan kepulan asap hitam. Dari pada menunggu bus lain, aku memilih naik saja, toh sudah sangat lelah. Aku duduk di bangku belakang pak supir. Anak laki-laki kumal itu juga menaiki bus yang sama denganku. Syukurlah ia duduk di bangku paling belakang.
Di dalam bus begitu sunyi. Tidak ada obrolan sama sekali. Bagaimana tidak, hanya beberapa orang yang tak saling kenal berada dalam bus itu. Ada aku, sopir bus, kondektur bus, dan seorang anak laki-laki kumal. Pandangan matanya masih tertuju padaku. Dan untunglah dudukku berjauhan dengannya.
Di perjalanan tidak ada penumpang lain yang naik. Meski di beberapa halte kulihat beberapa orang duduk-duduk. Tapi mereka tak menyetop bus dan malah lengah mengobrol dengan teman-teman di sebelahnya.
Bus sampai juga di halte dekat rumahku. Aku mengucapkan terima kasih pada kondektur bus yang hanya membalasnya dengan anggukan. Tanpa senyum bahkan tidak melihatku. Tatapannya lurus saja. Kulihat bangku belakang sudah kosong. Tak ada anak laki-laki berpakaian kumal itu. Secepat itukah dia turun? Padahal pintu tempat penumpang turun hanya satu. Aku bergidik, ngeri.
“Atikah,” ujar seseorang menegur dan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, ternyata Kak Santi, teman sekolah kakakku. Bertemu kak Santi aku menjadi lumayan lega.
“Kamu sedang apa dan hendak ke mana?” ia bertanya.
“Aku dari toko alat tulis dekat supermarket Kak. Tadi aku ikut kak Fini. Kakak sendiri sedang apa di sini?” tanyaku kembali.
“Kakak lagi nunggu bus, mau ke tempat nenek,” ucapnya.
Loh, kenapa kakak nggak naik bus tadi?”
“Bus yang mana Atikah?”
“Bus barusan yang aku tumpangi Kak.”
“Kamu bercanda? Sudah setengah jam kakak menunggu, tidak ada bus yang lewat,” jelas Kak Santi membuat bulu kudukku berdiri. Lalu apa yang barusan kutumpangi? Dan ke mana perginya anak laki-laki kumal tadi? Itukah bus tua misterius yang pernah diceritakan kak Fini? Aku mendadak ngeri setengah mati.
Setibanya kakak di rumah, aku menceritakan hal ngeri yang kujumpai sore tadi. Aku berkata tak berani pulang sendiri lagi.
“Makanya jangan sok berani,” imbuhnya.
“Jadi, apa benar bus tua misterius itu ada kak?” tanyaku penasaran.
Tiba-tiba, kriiinggg kriiinggg. Bunyi telepon mengagetkan kami berdua. Kak Fini segera mengangkatnya dan meninggalkanku begitu saja. Aku mengikutinya karena masih merasa takut.
“Adikmu tadi kelihatan ketakutan sekali,” ujar suara di telepon.
“Iya, katanya dia naik bus tua misterius,” jawab Kak Fini.
“Hahaha, mana ada bus tua misterius. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ia menaiki bus tua reot, bukan bus tua misterius. Apa dia sampai di rumah dengan selamat?” ucap suara di telepon.
“Kenapa memangnya?” tanya Kak Fini.
“Sampaikan maafku padanya, ya? Aku membual dan membuatnya tambah takut.”
Aku dan kakak saling tatap. Ngeriku berubah geram melihat kakak menahan tawa. (*)

(Belum) Jodoh

Cerpen Rio Rinaldi (Padang Ekspres, 07 Januari 2018)
(Belum) Jodoh ilustrasi Orta - Padang Ekspres
(Belum) Jodoh ilustrasi Orta/Padang Ekspres
SEPERTI kata Navis, bila anak gadis yang telah patut umurnya, tapi belum bersuami juga, maka masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga.
“Kalau tidak sekarang kapan lagi. Apa juga yang ditunggu lagi,” kira-kira demikianlah kalimat yang diujarkan orangtua kepada anak gadisnya masing-masing.
Maka demikian pula agaknya bagi Rosni. Kau tentu masih ingat dengan orang ini. Dan kini, ia dianggap sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga. Tak hanya keluarga, bahkan juga bagi orang sekitarnya. Bukan karena ia belum menikah. Bukan. Tapi karena soal lain, yang mungkin di antara kalian juga pernah mengalaminya.
***
Masuk tahun ketiga di usia pernikahannya dengan lelaki pilihan orangtuanya, Rosni belum juga dikaruniai seorang anak. Sudah dicoba pergi berobat kemana-kemana. Mulai dari obat kampung sampai ke dokter. Hasilnya masih saja belum.
“Mungkin Tuhan masih ingin melihat sejauh mana kesabaran kita,” kata suami Rosni memahami istrinya.
***
Sejak menjadi penyebab keretakan hubungan antara Lena dengan Badri waktu lalu, ia habis disumpahi Lena, supaya tidak bersuami sampai mati. Atau kalaupun dia bersuami, tidak beranak, dan perempuan itu diceraikan. Dan ia akan disebut sebagai janda gata karena perangainya itu. Begitu benar sakit hati Lena pada Rosni, perempuan yang dulu sempat tersangkut di hati Badri.
Dan kini, kau tahu, Rosni tengah menanggungkan segala sumpah itu. Ia diceraikan lelaki pilihan orangtuanya. Lantaran Rosni juga sebabnya. Bagaimana tidak, ke mana hinggap selalu berbuat tidak wajar. Sikapnya berlebihan. Menjangak. Di kantor, sering dikatakan bertingkah kurang sopan dengan suami orang. Dasar lelaki, tentu, kucing mana yang menolak bila diberi ikan asin.
Atas dasar laporan dari orang kantor yang tak senang dengannya, Rosni jadi bulan-bulanan istri pejabat di kantornya itu. Ia dicaci. Dan sampai suatu kali, habis Rosni disemprot oleh serangan istri pejabat di kantornya itu. Tak sedikit kata istri pejabat itu kepadanya. Sampai membuatnya tak bisa tidur.
“Perempuan sundal kamu! Perebut suami orang. Lonte! Kubakar kau hidup-hidup, ya!” bentak Istri Seorang Kasubag di kantor itu, yang akhir-akhir ini sering melihat tingkah aneh pada suaminya (sering pulang malam, selalu bilang rapat, bahkan sering tak makan malam di rumah, dan seterusnya).
Rosni takut sekali. Ia berlari menyelamatkan diri sambil menutup telinganya.
Untung Rosni tak sempat ditangani Istri Seorang Kasubag itu. Kalau sempat Rosni ditanganinya, bagawa. Rumit urusan. Dan untung keributan cepat dilerai orang kantor yang kebetulan sedang ramai-ramainya. Sementara, Seorang Kasubag yang terlanjur malu itu menyeret istrinya pulang.
“Kau membuat malu aku,” kata Seorang Kasubag itu sambil menyeret istrinya ke luar ruangan.
“Biar. Biar orang sekantor tahu, bahwa dia biang kerok di kantor ini,” kata istrinya meronta-ronta.
Esoknya, kabar itu tersiar sampai ke telinga Da Men, suami Rosni. Karena tak terbilang lagi sakit hati Da Men, Rosni diceraikannya.
“Mungkin dengan begini kau akan betul-betul bebas, Ros. Biarlah. Segala yang sudah kita bangun, kita habiskan saja sampai di sini. Aku ceraikan engkau dengan keikhlasan hatiku,” kata Da Men dengan mata berkaca-kaca.
Bukannya galau, Rosni justru lega. Setidaknya, beban yang bertengger di hatinya akhirnya terlepas juga. Dia menikah dengan Da Men bukan karena kehendak hatinya sendiri. Melainkan karena orangtuanya. Dulu, orangtuanya banyak berhutang budi kepada orangtua Da Men. Kalau tidak karena orangtua Da Men, mungkin hidup Rosni sekeluarga sudah tinggal di kolong jembatan Minang Plaza. Persislah seperti kisah cinta Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih.
Itulah bodohnya Da Men. Lelaki yang berkedai bangunan di Jakarta Selatan itu bukanlah lelaki idaman di hati Rosni. Tapi Da Men tak sadar-sadar juga. Jelas-jelas Rosni orangnya begitu, dia mau juga.
Rosni maunya dengan lelaki kantoran, seperti Badri. Dan itulah sayangnya. Badri dan Rosni beda keyakinan. Rosni yakin ke “ya”. Badri yakin ke “tidak”. Badri lebih yakin ke Lena. Bukan ke dirinya.
Badri. Ya, sampai hari ini, diam-diam pikiran Rosni masih terpaut pada lelaki itu. Lelaki yang sebentar lagi akan beranak tiga itu.
Lena kini tengah mengandung anak ketiga mereka. Sebuah berita bahagia. Bahwa menurut hasil USG, bayi yang sekarang bersarang di rahim Lena berjenis kelamin laki-laki. Sampai juga cita-cita mereka ingin anak laki-laki. Penantian ini cukup lama, setelah cukup lama Lena dan Badri menunggu kehadiran anak laki-laki di tengah-tengah kakak-kakak perempuannya.
Maka melalui saran seorang kawan, Badri dan Lena mengikuti strategi untuk mendapatkan anak laki-laki dari kawannya yang bekerja sebagai bidan desa.
***
Sejak tahu Badri menikah dengan Lena, Rosni kecewa. Jika dipatut-patut rumah tangganya dengan rumah tangga Badri, Lena jauh lebih beruntung. Perempuan itu dapat menikah dengan orang yang berkenan di hatinya. Sementara ia sendiri, tidak. Ia dapat lelaki pilihan orangtuanya. Dan sama sekali tak dicintainya.
Dan sejak bercerai dengan lelaki pilihan orangtuanya itu, Rosni ingin kembali ke Padang untuk sementara waktu. Di tempatnya bekerja, ia minta cuti. Untuk menenang-nenangkan pikiran yang sedang suntuk. Kalau harus berhenti, rasanya tidak mungkin. Sebab di perusahaan itu, ia punya kedudukan yang bagus. Ia “dipertahankan” oleh bos.
Dan kini, Lena telah di Padang. Kakinya mencecah di Bandara Internasional Minangkabau. Ia mengucap “Wahai”. Entah kepada siapa.
Suatu kali, pada saat yang sama sekali tak direncanakan, Badri dan Rosni bertemu muka di Sari Anggrek. Terpana Badri melihatnya. Rosni pun demikian. Dan pertemuan itu selanjutnya berpindah ke sebuah café kopi di dekat Junggurun.
Dari pertemuan itu, Badri berkesimpulan: Rosni kini tampak ideal baginya. Wajahnya cantik dengan kulitnya yang makin mulus seperti umbut karena usianya yang masih terlihat muda. Rosni tak lagi lebih pendek dari persyaratan idealnya. Lagi pula, sekarang ia tak terlalu berisi. Antara tinggi dan berat badan seimbang. Dan yang makin membuat Badri terperangah, Rosni punya pekerjaan yang menghasilkan nafkah lebih banyak. Benar juga kata orang, mantan pacar akan terlihat makin cantik kalau kita sudah tidak miliknya lagi. Ahai!
Dan ini pula masalahnya sekarang. Di “zaman now”, orang tak bisa berkata tidak untuk bekerja. Segala serba mahal. Biaya hidup makin menjepit. Tensi ekonomi makin tinggi. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan dulu, ternyata kini menjadi duri dalam daging.
Maka, jika suatu kali dulu Badri pernah menyuruh istrinya untuk berhenti bekerja sebagai guru, kini ia menyesal. Hanya suami-suami yang tak ingin cokinya terbuka karena perangainya di luar sana begitu liar, atau suami yang tak ingin disaingi oleh penghasilan istrinyalah, yang menyuruh istrinya berhenti bekerja.
Di saat mereka sedang puas-puasnya saling berpandangan, diiringi musik Margie Segers, Rosni membuka pembicaraan.
“Kau sudah senang sekarang,” kata Rosni memandangi Badri disepuh cahaya lampu ruangan berkaca itu.
Badri tersenyum getir. “Ah tidak juga,” katanya.
“Berapa anakmu sekarang?” tanya Rosni.
“Alhamdulillah, akan tiga. Kau sendiri bagaimana, Ros? Sejak kau menikah, aku sempat berpikir kau tidak akan kembali lagi ke Padang.”
Rosni tersenyum. “Mengapa kau sempat berpikir demikian?”
Badri terperanjat. Diminumnya air sereguk. Merasa belum cukup, air itu direguknya lagi.
“Tak apa. Bukankah kau juga bahagia dengan pernikahanmu, tentu?”
Rosni merunduk. Dan menitikkan air mata.
“Rupaya aku salah bertanya,” kata Badri dengan nada amat menyesal.
“Tidak. Kau tidak salah. Aku yang salah. Selalu salah.”
“Ceritakan kepadaku. Apa sebenarnya masalahmu?”
Rosni memandangi Badri dalam sekali. Ada segumpal harapan yang ingin dititipkannya pada Badri. Tapi tentu itu tak mungkin.
“Aku telah bercerai dengan suamiku.”
Badri terperanjat. Terbulalak matanya mendengar kata-kata yang termuntah dari mulut Rosni sebentar ini.
Rosni menangis deras sekali.
Jantung Badri bertambah kencang detaknya manakala Rosni merebahkan kepala ke bahu kanannya. Badri mengusap kepala yang beraroma vanilla itu. Ondeh Mak oi, matilah den! Umpatnya dalam hati.
Setelah ditenang-tenangkannya, akhirnya Rosni mau juga mendengarkan ucapannya. Perempuan itu berhenti menangis. Sementara, orang-orang di sekitar melihat-lihat saja ke mereka. Tapi Badri tak peduli. Baginya, menenangkan hati perempuan yang sedang tergoncang adalah tugas mulia.
***
Diperjalanan, sambil menyetir, terbayang-bayang olehnya ketika Rosni menempelkan kepalanya ke bahunya tadi. Dan dapat dipastikan juga, sebagian tubuh Rosni juga menempel ke tubuhnya. O, betapa nikmatnya malam ini, katanya dalam hati. Ingin diulangnya sekali lagi, setelah sekian tahun tak bersua. Tapi tentu tak mungkin.
Sesampainya di rumah, dilihatnya Lena menunggu sambil terkantuk-kantuk di ruang tengah. Begitu Badri masuk, Lena pergi ke belakang, lantas kembali menyuguhkan secangkir teh hangat di meja. “Air hangat sudah kusiapkan, Mas,” kata Lena sambil menguap berkali-kali.
“Ya, Sayang. Kamu tidur sajalah dulu. Nanti aku menyusul.”
Badri melarikan dirinya cepat-cepat ke kamar mandi. Bukan karena terdesak menahan buang air kecil atau air besar atau gerah. Tapi karena ia baru menyadari, ada bekas lipstick tertempel di bahu kanan bajunya. Cepat-cepat baju itu dibenamkannya ke ember yang sudah berisi air dan deterjen.

Padang, 11 Desember 2017

Pakhuis, Waterleidingduinen, Hoi, dan Lainnya

Puisi-puisi Kurnia Effendi (Padang Ekspres, 07 Januari 2018)
Bahnhof Brackwede ilustrasi Google.jpg
Bahnhof Brackwede ilustrasi Google

Pakhuis


1
Sejak 2013, gudang itu menjelma restoran
Ruang dengan lampu temaram
atau teras belakang dengan flora rambatan

Sebagian ilmuwan mampir untuk makan
Sepiring salad dengan ayam bakar
atau burger tebal berlapis keju kambing
Bir dingin dalam botol langsing
menggusah angin yang meragi matahari

Di depanku: Joss dan Frieda berbaku cakap
perihal pahlawan, dengan tafsir beragam
Aku tetap bersiteguh mencari Raden Saleh
dengan cara yang kutempuh

2
Pakhuis tentu berbeda dengan Pak Kumis
Ia tidak membakar sate atau meracik bakso

3
Kukunyah tebaran kacang: mete dan almond
Dari piring tembikar yang kini kosong

Leiden, 13 Juli 2017

Waterleidingduinen


Kepadamu, Amsterdam
Kusiapkan berjuta liter air minum
Sepanjang hari, bertahun-tahun

Bukit pasir ini telah rimbun menghijau
Ratusan kijang tamasya dan bebas bercanda
Beranak cucu tanpa ancaman

Kepadamu, Amsterdam
Kukirimkan berjuta liter air minum
Aman sungguh, tidak beracun

Membiarkan pohon tumbang di hutan
Agar kelak tumbuh banyak cendawan
Tapi belum saatnya menaruh induk macan
Agar seimbang mata rantai kehidupan

Zandvoort, 26 Juli 2017

Hoi


Para petani tak perlu menghitung hari
Zomer sudah berangkat setengah musim
Saatnya menggulung rumput kering
Untuk kudapan ternak kesayangan
Sepanjang winter nanti

Kini kuda lepas dari istal
Menikmati surya dan air tepi perigi
Sapi mewarnai kulit mereka
dengan khayalan pulau di seberang negeri

Tubuh sungai yang tenang
Telentang telanjang bagai siap bercinta
Lekas menumbuhkan aneka flora
Bagi peternak desa yang merindu kota

Hoi sudah disusun dan ditimbun
Serupa harta karun
Domba yang berbulu tebal
Tak hanya memerlukan bantal

Para petani menabung jalinan jerami
Di bawah cuaca dan tangkas jemari

Bergen op Zoom, 10 Agustus 2017

Sepanjang Witte de Withestraat


Akhirnya tiba di sini: sebuah jalan
yang tak kenal sunyi. Malam berdiang
pada api yang memenuhi mata.
Menari-nari

Sepasang kaki perlu diluruskan
dalam restoran yang sibuk
Menyeduh teh Cina di poci porselen
Warna kuning tak kunjung jadi cokelat

Setelah memesan menu nomor lima belas,
pembicaraan semakin berkelas
Tentang sejarah dua bangsa dan
kenangan yang tersisa

Empat mangkuk bakmi bebek terhidang
Kami seperti petani menghadapi ladang
Penat itu perlahan terlucut dari badan
Kesumat itu membuat mangkuk kembali perawan

Akan kuingat namamu, Hung Kee
Sebab serat lidahku menyimpan bumbu
Masakan yang mengobati rindu
pada tanah airku

Rotterdam, 22 Agustus 2017

Stasiun Brakwede


Kumasuki Jerman: kusentuh
dingin logam. Centrum menjadi
Zentrum sejak di perbatasan

Bis yang melata dari jauh
tak berkeringat setetes pun
Tiba tepat waktu: pukul 18.45
Dan udara sepakat menurunkan suhu

Disambut dua kafetaria: di halte
dan stasiun. Masing-masing memiliki
kopi di bawah citarasa sejati

Masih lima jam tempat yang kutuju
Setelah seluruh kilau langit redup
Ditukar sejumlah lampu
Roda besi kereta sesekali menderu
Bielefeld, 23 Agustus 2017

VOC – 1


Lambung kapal ini terbagi dua kasta
Para juragan dan bangsawan penggemar
kalkun panggang dan pekerja kasar dengan
keringat berikut debu yang melekat

Haluan membelah samudra berhari-hari
Nyanyian ombak membersitkan nada tualang,
Memperbesar nyala lampu yang ditangkap
puncak mercu suar

Roti terus dibikin, perapian selalu membara
Di gudang bertumpuk peti-peti lada, cengkih,
kayu manis, pala, dan kopi. Tong-tong bir
berlimpah untuk pelayaran yang panjang

Para mualim hanya tahu kapan layar digulung
atau dikembangkan. Mereka tuli terhadap
pembicaraan calon pengantin di kabin buritan
Sementara bulan cemerlang dan laut pasang

Dasar lambung kapal itu menghimpun hasil
jarahan. Berlayar dalam pesta pemburu harta
Suatu saat, bendera dagang itu berganti warna
Mereka datang angkat senjata
Den Haag, 27 Agustus 2017

Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis cerpen dan puisi di media massa sejak 1978. Telah menerbitkan 21 buku (puisi, cerpen, esai, novel, memoar). Kumpulan puisi tunggalnya: Kartunama Putih (1997), Mendaras Cahaya (2012), Senarai Persinggahan (2016), Hujan Kopi dan Ciuman (2017). Pada bulan Juli-Agustus 2017 mengikuti program residensi penulis dari Kemendikbud RI, memilih negeri Belanda untuk riset penggarapan novel tentang Raden Saleh.

Ombak Bercerita di Pesisir Pantai

Cerpen Feby Syafitri (Analisa, 07 Januari 2018)
Ombak Bercerita di Pesisir Pantai ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa
Ombak Bercerita di Pesisir Pantai ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
KERINDUAN yang hanya tersambung dengan harapan dan kenangan saja, meletakkan segala hal yang begitu kusuka. Tiga sahabat di pesisir pantai, dulu, bersamamu aku menyukai pantai. Kamu dan pantai adalah dunia kita saat ini. Kini semua berbeda. Pantai tak lagi kita. Pantai tak lagi cinta menggabungkan persaudaraan. Meski di kepalaku ombak tetap saja mengingatkan tentangmu.
Bersamanya ombak yang melambai dengan indah, aku terlahir dari anak nelayan. Vidia adalah namaku. Keluargaku mencari mata pencariannya dengan mencari ikan di pantai.
Terbitnya sinar surya membawa para nelayan untuk mencari nafkah. Sejak kecil aku memiliki sahabat bernama Nur Fiya. Dia sangat sayang padaku. Dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya memiliki usaha perkebunan teh di puncak Bogor. Dia selalu mengajakku untuk tetap kuat dengan anak yang hidup di pesisir pantai. Karena di sana ombak selalu mengajak kami dengan kebahagiaan sederhana.
Fiya sangat berkecukupan hidupnya. Di usia kami yang sudah menginjak usia 17 tahun, Fiya selalu memiliki kemewahan. Jika dia bermain ke rumahku, dia begitu senang bahkan bahagia sekali pada keluargaku.
Menjemput bintang bersama malam, aku yang hidup sangat sederhana. Bahkan aku sering main di pantai sambil mencari ikan, kerang atau apa pun itu yang bisa buat keluarga kumakan.
Setiap hari setelah pulang sekolah aku selalu ke pantai mencari ikan dengan perahu kecil. Hadiah dari Fiya dan Alex sahabat baikku. Semua yang kucari di pantai pasti untuk mendapatkan uang sebagai peganganku menabung.
“Ayah… Ibu ini Vidi dapat hasil tangkapan ikan dan udang. Ini bisa buat kita makan malam hari ini.” Ucapku main nyelonong masuk rumah dengan senangnya.
“Kamu ini kebiasaannya Nak, malu ada tamu di sini,” sahut ibuku sambil menepuk pundakku.
“Eh… ada Fiya, jadi malu ni.” Ujarku dengan malu.
“Ada perlu apa Fi? Kok datangnya enggak bilang-bilang ke aku.”
“Kedatanganku di sini adalah ingin merayakan hari ulang tahunku di rumah kamu, bersama keluargamu. Karena bundaku sibuk banget. Dia ada tugasnya di Jakarta. Lagi buka cabang resto baru. Maaf ya, aku enggak bilang terlebih dahulu sama kamu.” Ucap Fiya dengan senyum.
“Oh… gitu. Ya sudah enggak jadi masalah. Maafkan aku juga ya Fiya, aku enggak bisa kasih kamu hadiah yang mahal,aku cuman bisa kasih ini,hiasan dinding dengan kerangkerang cantik terukir namamu,” kataku dengan cepat memeluk sahabatnya itu.
Tiba-tiba, setelah Fiya meniup lilin, dia dikejutkan kehadiran Alex. Datang sengaja jauh-jauh memberikan kejutan indah buat sahabatnya. Memberikan sebuah selendang putih yang dia pakaikan di atas kepalanya Fiya.
Thank you so much Alex. Kalian sahabat terbaikku.” Ucap Fiya dengan meneteskan air mata dari kedua kelopak matanya.
“Cie…so sweet banget sih…!” sahutku sambil tersenyum.
***
Weekend ini aku sengaja bangun pagi seperti biasanya. Ibu menyiapkan ubi goreng sebagai menu sarapan favoritku. Tak lupa setampan kue yang harus aku dagangkan keliling kampung. Ibuku sangat pandai membuat kue. Apalagi makanan yang dia olah pasti hasilnya enak dan lezat. Selain ibu membuat kue untuk dijual. Ibuku juga menawarkan jasa laundry di rumah. Hitung-hitung menambah perekonomian di keluargaku.
“Ya sudah. Vidi berangkat dulu ya buk, takut kesiangan nih.” Ucapku sebelum pergi dagang dan mengucap salam berkah dari ibu.
“Kue… kue… rasa enak sangat lezat… mari dibeli…!” ucapku berulang-ulang sambil berjalan.
Mobil melewatiku dan berhenti. Keluarlah seseorang dari mobil mewah ini. Aku pun terkejut. Dia menghampiriku untuk memborong semua kue-kueku. Wah, ini sungguh berkat doa ibu, daganganku habis terjual.
“Mbak saya beli kuenya semuanya, bolehkan?” ucap pria itu dengan senyum manis.
“Hah… aa.. apa di borong kue dagangan saya? Oh, iya sebentar ya saya bungkus dulu.” Ucapku dengan girang.
“Eh…e… enggak usa Mbak. Mbak langsung ikut dengan saya naik mobil dan ikut saya ke rumah. Nenek saya lagi buat cara arisan di rumah.saya di suruh membeli kue-kue tradisional. Jadi saya ingin membeli semua kuekue ini, jika kamu mau ikut denganku.
“Iya… iya saya mau ikut ke rumah nenek kamu.” Sahutku dengan muka lesu.
Sesampai di rumah neneknya yang dekat kebun teh.
Assalamualaikum Nek!” ucap sang cucu yang bernama Yuga Anggara.
Masuklah aku ke dalam rumah pria misterius ini.
Waalaikumsalam Yuga, kamu sudah ketemu sama penjual kue tradisional keliling yang terkenal itu?”
Aku heran dengan kehadiranku diterima baik dengan kali-laki yang belum pernah ku kenal sebelumnya. Di sana aku disuruh bantu-bantu neneknya yang punya acara arisan di rumah. Neneknya ingin sekali menikmati hasil masakanku tadi. Ternyata neneknya sangat menyukai masakanku. Hati senang sekali dapat pujian seperti itu.
“Oh ya Nak,kamu tinggal dimana?” tanya nenek yang mengejutkan hatiku.
“Saya Vidi ,dan saya tinggal di pesisir pantai bersama keluarga kecil saya. Kedua orang tua saya bekerja sebagai nelayan kampung. Keluarga kami sangat sederhana dan kami juga berasal dari keluarga perekonomian ke bawah.” Jawabku sambil tersenyum.
“Oh iya. Ini bayaran kamu karena sudah membantu nenekku dan ini bayar kue-kue yang sudah kami beli.” Kata pria yang telah menenangkan hatiku.
Terima kasih aku ucapkan dan aku pun permisi pulang. Hasil yang sangat cukup banyak buat hari ini, setidaknya aku bisa menabung untuk membuka usaha setelah aku lulus sekolah.
“Alhamdulillah ya Allah, sungguh ini berkah sangat luar biasa.” Ucap ibuku setelah aku menceritakan kejadian dari pagi hingga senja.
***
Kelulusanku, Fiya dan Alex dibangku SMA membuat perpisahan teramat menyakitkan hatiku. Fiya dan Alex mengajakku ke pesisir pantai dan dia berkata padaku: “Vidi, sungguh aku bahagia telah mengenal kalian sejak lama. Bahkan aku tak ingin mengatakan hal ini kepada kamu Vi. Vidi, sebenarnya hati telah membawaku bersama ombak di pantai ini hingga sampai di pelabuhan.
Pasti kamu tidak mengerti apa yang aku ucapkan padamu. Aku telah mendapatkan kabar, mama dan papaku mengambil keputusan agar aku tinggal di Bogor bersama mama dan papaku. Bisnis orang tuaku ada masalah naik-turunnya dan tidak stabil hasil keuangannya. Dari itu, mereka menyuruhku untuk menyelidikinya. Tak ada pilihan lain, selain membahagiakan kedua orang tuaku. Kkeputusan yang sudah kuambil, aku harus berangkat ke Bogor membantu mereka.” kata Fiya sahabatku.
“Apa? Kenapa secepat ini Fiya?” sahutku dan Alex yang kaget mendengarnya.
“Maafkan aku Vidi, Alex. Aku sayang kalian. Aku harap kalian bisa menerima keputusanku. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita, sahabatku. Ombak akan kembali bersama kita, hingga terlempar ke pesisir pantai terdekap di genggaman. Waktu membawakan senja, hingga datanglah pertemukan antara kita.” Sahut Fiya menangis teramat dalam dan memegang erat tangannya.
“Jika itu keputusanmu, aku dan Alex sudah siap menerima keputusanmu. Aku harap kamu tidak melupakan kami dan sering-sering main ke marinya Fi.” Ucap Alex yang sambil menuliskan nama di atas pasir putih,.
“Aku juga berharap masalah perekomonian kami dan Alex menjadi lebih baik lagi, setelah usaha papaku sudah stabil. Aku pasti akan sering main ke tempat ini. Aku pasti akau membantu kamu Vidi. Kita samasama bergenggaman tangan membuka usaha cake dan bakery di dekat pesisir pantai ini. Aku tak akan pernah melupakan sahabat terbaikku.” Sahut Fiya memeluk erat dan meninggalkan aku dan Alex.
***
Semenjak kepergian Fiya ke Bogor, Alex pun dapat panggilan kerja di kantor milik sahabat ayahnya di Yogyakarta. Sungguh beruntung sekali kedua sahabatku itu.
Aku harus berjuang dengan usaha laundry dan kue-kue yang aku jual di pesisir pantai. Alhamdulillah, aku bertemu dengan Yuga, pria yang kuanggap misterius telah mengajakku kerja sama membuka sebuah toko cemilan. Yuga benar-benar baik terhadapku dan keluargaku.
Ibuku yang telah mengajari masak, kini aku ada modal sangat cukup untuk membuka warung makan di dekat pesisir pantai. Tak berasa waktu telah berputar. Sampai kini aku masih sering berhadapan dengan pantai yang selalu membawakan cerita.
Kenangan tak dapat aku pungkiri. Sahabat-sabahatku sudah lama tidak datang ke tempat ini. Setiap senja,aku selalu menunggu di pesisir pantai kehadiran sahabatku. Kuharap suatu hati nanti mereka datang dengan membawa kebahagian di pesisir pantai ini yang mempunyai kenangan.
***
Di malam penuh berkah, aku berdiri menunggu senja. Menyambut hari kemenangan umat islam untuk merayakan hari idul fitri.
“Hm… sudah berujung waktu mereka tak datang menemuiku. Aku sangat merindukan kalian sahabatku.” Ucapku dengn teriak keras.
“Vidi… kami datang bersama senja yang membawakan kebahagiaan,” sahut mereka dengan jelas dari arah belakang tubuhku.
Sungguh pertemuan itu datang yang membawa ombak sampai ke pesisir pantai. Fiya dan Alex datang menemuiku. Kami merayakan malam kemenangan bersama.
“Aku sayang kalian sahabat terbaikku.” Kataku dalam hati

Angsa-angsa Kertas

Cerpen Risda Nur Widia (Haluan, 07 Januari 2018)
Angsa-angsa Kertas ilustrasi Haluan
Angsa-angsa Kertas ilustrasi Haluan
Setiap malam ketika orang-orang terlelap dalam mimpi manisnya di kamp-kamp pengungsian, aku selalu melabuhkan sebuah lipatan angsa kertas berisi harapan. Aku melarutkannya di sebuah parit-parit kecil dengan genangan air berwarna coklat. Kemudian aku berharap angsa-angsa kertas itu akan tiba di rumah Tuhan yang terletak jauh di ujung sana. Aku selalu percaya kalau angsa-angsa kertas yang telah kuguratkan dengan bisikan doa-doa dan harapan-harapan di dalamnya akan menyampaikan salam rindu kepada orang-orang tercinta di dalam hidupku.
Begitulah kebisaan aneh ini sering aku lakukan selama beberapa waktu terakhir—setelah sebuah bencana besar melanda kotaku di pesisir pulau Jawa ini. Aku melakukan hal ini hanya ingin menyapa dan mengirimkan salam rindu pada ayah dan ibu yang kini entah berada di mana. Gempa bumi disusul banjir besar telah membawanya ke suatu tempat yang tak aku ketahui. Memisahkan kami. Bencana alam itu sudah menggulung setiap pintal kenangan di kampung halamanku. Tidak ada lagi yang aku miliki saat ini. Bahkan hangatnya tempat untuk berteduh. Semuanya raib dihancurkan nasib.
Akhirnya aku hidup sebatangkara: sebagai anak-anak korban bencana yang entah memiliki masa depan atau tidak. Maka ketika rasa rindu dan sedih itu datang bersamaan, aku selalu membuat angsa-angsa kertas yang di dalamnya telah kuguratkan harapan dan doa-doaku kepada setiap orang yang aku cintai. Malam ini pun aku kembali menghanyutkan sebuah angsa kertas di sebuah parit kecil di dekat kamp pengungsian. Hati-hati aku menyelinap keluar; membawa angsa-angsa kertas yang di dalamnya sudah aku tulis doa-doa dan harapaku. Aku menghanyutkannya dan memandang angsa-angsa kertasku terseok-seok diseret arus. Sesekali aku memejam mata; berharap angsa kertas itu sampai ke rumah Tuhan.
***
Kamp-kamp pengungsian tampak murung. Banyak orang yang kehilangan akibat banjir. Pekik tangis seakan menjadi pemanis kamp pengusian itu. Mungkin juga teriakan tangis itu sudah menggumpal dan memenuhi setiap sudut tempat ini. Aku hanya termenung menyaksikan kepiluan demi kepiluan yang datang silih berganti. Bahkan setiap hari selalu bermunculan wajah-wajah pucat tanpa nyawa, yang menjadi korban bencana. Tubuh-tubuh yang telah koyak atau setengah busuk terlihat sangat mengerikan. Tubuh-tubuh itu mungkin sudah tertimbun lumpur beberapa hari dan pasrah menunggu untuk lekas diselamatkan.
Namun hingga kini aku belum juga bertemu dengan sosok ayah dan ibu. Aku tak tahu apakah mereka masih hidup atau telah membusuk di dalam tumpukan lumpur seperti tubuh-tubuh lainnya. Memang, betapa berat hidup dengan terus memanggul kegelisahaan seperti ini. Setiap hari aku seakan hanya menunggu sebuah kabar murung yang mungkin saja datang terlambat. Maka, hanya dengan angsa-angsa kertas itu aku menyampaikan doa-doa dan harapan. Aku menyampaikan semua angan semoga mereka semua masih hidup dan kini sedang memikirkanku.
Siang ini pun—setelah lama menunggu—hal yang aku harapankan tak juga datang. Malah yang datang padaku hari ini adalah kesedihan berupa kenangan atas ayah dan ibu. Mereka seakan hadir waktu aku melihat setumpuk mayat yang bergelimpangan di kamp. Aku seperti melihat sosok ayah dan ibu yang menggelapar tiada daya di sana. Namun ketika aku pastikan lebih lanjut, sosok itu bukan mereka. Tubuhku menjadi lemas. Lamatlamat air mataku menetes. Aku pun lari ke dalam barak pengungsian; duduk seorang diri; memintal angsa-angsa kertas dan menuliskan doa di dalamnya.
Setelah tujuh angsa kertas itu selesai aku buat. Aku pun bergegas menuju sebuah parit kecil yang setiap waktu tak jemu melabuhkan doa-doaku. Sebelum aku melarutkan angsa-angsa kertas itu, aku memeluknya beberapa menit. Aku kemudian melepaskannya seraya arus air membawanya. Air mataku pun kembali jatuh ketika melihat angsa-angsa kertas itu menjauh membawa doa-doaku.
“Tolong sampaikan pada Tuhan kalau aku begitu sedih dan ingin dipeluknya!”
Aku termenung beberapa saat seraya mengutuk nasib burukku. Mengapa aku tak direnggut serta dalam bencana itu? Tiba-tiba dadaku terasa begitu sakit, air mataku semakin deras mengalir.
“Mengapa kau ciptakan kesedihaan ini, Tuhan?”
Angsa-angsa kertasku sudah jauh pergi. Namun kesedihan di dalam hatiku tidak mau berlalu. Kesedihan itu bahkan terasa mengental dan memberatkan dada.
***
Tujuh hari telah berlalu, tetapi keajaiban yang aku tunggu belum juga datang. Di barak pengungsian, kini semakin banyak kesedihan. Wajah-wajah pengungsi tampak lelah dan putus asa. Barangkali mereka juga memiliki nasib yang sama sepertiku—menenunggu sesuatu yang tak pasti. Setiap hari semakin banyak wajah-wajah pucat tanpa nyawa yang bergelimpangan. Pekik tangis tak pernah surut mendengung. Bahkan beberapa hari yang lalu ada seorang wanita yang nekat mengakhiri hidup karena tahu seluruh keluarganya telah mati terenggut bencana. Aku pun tak lelah mengirim doa-doa dan harapan dengan angsa-angsa kertas itu.
“Tolong antarkan mereka kembali kepadaku, Tuhan,” kataku sebelum menenggelamkan angsa-angsa kertas itu. “Tolong berikan kedamaian pada setiap orang di sini.”
Angsa-angsa kertas itu aku labuhkan; membiarkannya tersuruk-suruk dibawa air kali. Namun, tanpa sengaja melintas di benakku: Apakah angsa-angsa kertas itu akan sampai ke rumah Tuhan? Apakah angsa-angsa kertas yang membawa doa-doa itu tersesat di jalan? Aku tak tahu. Aku hanya berharap angsa-angsa kertas itu menyampaikan salam rindu dan doa-doaku kepada Tuhan.
***
Hari terus berganti dan semakin menumpuk kesedihan di barak-barak pengungsian. Sudah tidak terhitung wajah-wajah tanpa nyawa setiap hari ditemukan. Namun aku belum juga menemukan sosok ayah dan ibuku. Apakah mereka masih hidup atau telah membusuk di kubangan lumpur? Air mataku kembali mangalir. Aku kembali membuat angsa-angsa kertas kemudian melabuhkanya di sebuah parit kecil dengan arus yang cukup deras. Namun tiba-tiba, sekali lagi melesat di pikiran kalau angsaangsa kertas yang aku kirim itu tak ada gunanya. Angsa-angsa kertas itu tak akan pernah sampai ke rumah Tuhan. Aku kembali menangis meratapi kebodohan.
“Mungkin, Tuhan tak pernah mendengarkan doa-doaku,” pekikku sesenggukan. “Angsa-angsa kertas itu tak akan pernah sampai ke mana pun.”
Begitulah. Sepanjang hari yang murung itu aku termenung di sebuah pohon yang tak jauh dari kamp pengungsian. Aku meratapi segala kemalangan yang menimpa serta doa-doa yang tanggal entah ke mana. Hujan pun turun perlahan. Aku menatap ke tenda-tenda pengungsian yang telihat suram. Tak putus terdengar dengung sirine ambulan yang membawa mayat-mayat dan korban yang berhasil diselamatkan. Namun, mendadak di balik sebuah gerimis yang turun pelan, aku melihat sepasang sosok yang berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka melangkah ke arahku. Sepasang senyum itu merekah indah—menyambutku.
“Kau pasti sudah lama menunggu?” Sahut sepasang sosok itu. “Maafkan kami sudah membuatmu gelisah karena harus menunggu.
Tubuhku bergetar melihat sepasang sosok yang tampak mesra dan hangat itu berdiri di depanku. Aku setengah tak percaya ketika sepasang tangan merangkul dan memelukku. Akhirnya setelah berhari-hari aku menunggu, mereka datang juga.
“Ayah dan ibu memang ke mana saja?” Sahutku berlinang air mata. “Aku merindukan ayah dan ibu.”
“Ayah dan ibu hanya pergi sebentar,” sahut mereka kompak.
Aku menatap wajah mereka yang pucat. Mereka seakan tampak lelah. Sepasang mata mereka tampak putus asa. Namun, aku masih merasakan kehangatan yang sama ketika berada di dalam pelukkan mereka. Aku kembali menangis.
“Kau tidak perlu menangis?” Sahut ibu tersenyum riang. “Kau hanya perlu belajar mengikhlaskan?”
“Maksudnya?” Aku menatap wajah ayah dan ibu. Mereka sama sekali tak menjawab.
Mereka mengajakku ke sebuah tempat yang cukup jauh. Namun, aku tahu ke mana mereka membawaku. Mereka membawaku kembali pulang ke sebuah tempat di mana kami dahulu tinggal.
“Tuhan tak pernah meninggalkanmu,” sahut ayah ketika kami sampai di sebuah puing-puing rumah yang terendam lumpur. “Tuhan selalu mendengar doadoamu.”
Hujan mendadak menjadi deras ketika sepasang sosok itu tanpa aku duga menghilang. Aku pun tergeregap. Kini di hadapanku malah ada ratusan angsa kertas yang terbangan penuh cahaya. Angsa-angsa dengan cahaya keperakan itu melayang dan hinggap pada puing-puing kayu yang roboh. Angsa-angsa kertas itu juga membawa seonggok tubuh tanpa nyawa yang tampak pucat dan koyak berlumuran lumpur. Aku mengenal wajah-wajah itu. Wajah itu adalah milik ayah dan ibu yang aku rindukan. Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun entah mengapa air mataku tak dapat keluar. (*)

RISDA NUR WIDIA. Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda Yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Kepergian Hujan

Cerpen Adi Zamzam (Banjarmasin Post, 07 Januari 2018)
Kepergian Hujan ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Kepergian Hujan ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Pagi itu hujan datang lagi. Langit mengantarkannya dengan keredupan yang merata. Suasana sempurna untuk membangunkan kesedihan-kesedihan yang hampir terlupa.
Dingin membuatnya terpaku sejenak. Kedua matanya menemukan tumpukan buku yang semalaman telah membuatnya terjaga. Ia atur pernapasan, hingga hangat mulai menjalar dari dada. Kedua matanya memejam saat ia merasa ada yang memeluknya dari belakang. Menebarkan hangat yang lebih ke sekujur tubuh. Namun ia harus lekas-lekas mengusir bayangan itu. Ia tak mau harinya dimulai dengan rasa sakit dipermainkan kenangan.
Ketukan pintu terdengar lagi. Seorang hujan ia dapatl telah menggigil di sana.
“Kau, dari mana saja?” tanyanya ketika melihat hujan yang mulai bisa mengalahkan gigil. Suasana ruang tamu terlihat remang.
“Dari keliling kota.”
“Oya?”
“Seperti permintaanmu kemarin. Aku bawakan banyak catatan untukmu. Dari jalan-jalan beceknya, perumahan kumuhnya, tempat-tempat hiburannya, anak-anak jalanannya, dari orang-orang yang kesepian, dari orang-orang pentingnya…”
Hujan terus saja riuh bercerita di sela-sela ia mencuci baju, menanak nasi, dan lalu membereskan dapur. Sampai cerita-cerita itu penuh menggenangi kepala, membuatnya tak betah lagi menyelesaikan pekerjaan. Ingin segera mengurung diri dalam kamar. Hingga ia bisa dengan khusyuk membaui semua yang telah dibawakan hujan ke dalam kamar.
Dulu, ia takkan rela kesenangan yang seperti ini diganggu.
“Kenapa? Bukankah sekarang aku telah memiliki hak atas sebagian waktumu?” ujar perempuan itu, dengan nada manja.
Ia pun menjelaskan bahwa dia boleh saja menculiknya, pada saat makan bersama, cuci baju, mendengarkan radio (ia tak punya televisi lantaran tak suka), atau terutama saat di atas pembaringan. Tapi perempuan itu justru semakin tak paham dan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan lelaki lain.
Padahal sudah sejak awal perkenalan ia pernah bilang, bahwa dirinya tidaklah seperti kebanyakan orang. Bahkan lantaran sifat itulah ia lebih senang memilih tinggal di rumah ini, rumah paklik yang ditinggal merantau ke Kalimantan, yang letaknya jauh dari keluarga besar. Jauh dari jangkauan mulut orang-orang.
“Mengapa kau memilih sesuatu yang hasilnya bahkan tak cukup untuk membuatmu hidup layak?” perempuan itu mendadak ingin masuk ke dalam dadanya. Melihat apa yang tersimpan di sana.
“Mengapa pula kau memilihku?” ia membalik pertanyaan itu.
“Karena aku mencintamu.” Sebuah jawaban yang sempat membuatnya melambung sejenak.
“Begitu pula aku. Aku mencintai apa-apa yang telah aku kerjakan, meskipun hasilnya tak berujung kekayaan. Aku menyukai bau kertas, aku menyukai kesunyian yang selama ini memberiku kesenangan tersendiri, aku menyukai petualanganku dalam alam imajinasi.”
“Kau mencintai sesuatu yang membuatmu terpuruk dalam kemiskinan. Dapat apa kau selama ini?”
Ia tersenyum mendengar pertanyaan itu. Merasa iba.
Perempuan itu mulai tak betah berlama-lama menemui mata yang hanya menyimpan sepi. Memang tak ada yang mampu membuat mata itu memancarkan gairah selain hanya buku-buku. Kadang ada terselip belas kasihan saat memikirkan mengapa perempuan itu dulu mau saja menerima pernyataan cintanya. Mereka berdua memaklumkan itu sebagai jodoh yang sudah diatur Tuhan. Sebuah dogma yang ia pergunakan untuk menyelamatkan perkawinan yang mulai terasa hambar. Pikiran semacam inilah yang kadang kemudian menyeretnya pada pikiran, mengapa ia tak mengasihani dirinya sendiri saja? Berapa lama ia sanggup bertahan?
***
Hujan masih berada di dalam kamarnya yang sepi. Menatap kosong lelangit kamar.
“Bagaimana kabarnya?” hujan menoleh, memulai percakapan.
Ia memijit-mijit pelipis. Merasai kesepian yang juga dirasai hujan.
“Bukankah seharusnya ia sudah pulang?” tanya hujan lagi.
Tak ada jawab. Ia malas menjawab pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Ia tahu, bahwa ada yang sedang menertawakan nasibnya. Sejak kepergian perempuan itu, kedatangan hujan selalu berakhir dengan nyeri yang memusar dada.
“Jadi, kedatanganmu hanya ingin bilang, bahwa aku telah salah pilih jalan?” tanyanya, setelah jeda sepi yang lumayan panjang.
Sementara hujan beranjak pelan menyentuh semua penghuni kamar; beberapa kliping koran berpigura yang memenuhi dinding kamar, kalender, jam dinding, lemari kusam, beberapa pakaian yang tergantung pasrah di sisi lemari, tumpukan koran, meja yang serupa altar persembahan kepada sepi, dan terakhir jendela.
“Sesekali kau juga harus berpikir tentang dirimu sendiri. Dapat apa kau selama ini?” serang hujan lagi.
Ia merasa hujan tengah melemparkan jarum-jarum kecil ke dadanya. Nyeri. Meski kemudian ia bisa menyembuhkannya sendiri.
“Aku selalu merasa bahwa ide-ide dan gagasanku telah dibaca banyak orang dan sedikit banyak telah memengaruhi cara pikir mereka, memberikan banyak alternatif pandangan baru atas kehidupan. Aku ingin menjadi mulut kompleksitas kebenaran.”
“Meskipun kau masih saja teronggok sendirian di dalam kamar seperti ini?” Hujan tersenyum mendengar pengakuan itu. Sebelum kemudian ia membalikkan tubuh berjalan ke arah jendela, menembus kacanya, dan mengucapkan; “Selamat berjuang melawan sepi.”
Lelaki itu kemudian mendapati tubuh hujan yang terserak di jendela. Meleleh. Membentuk peta absurd. Meninggalkan jejak dalam kamar dan hati. Gigil dan sepi. Seperti sudah mati. (*)

Adi Zamzam alias Nur Hadi, kelahiran Jepara, 1 Januaii 1982. Publikasi cerpen, cerbung, puisi, dan resensi. Kumpulan cerpennya Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya (2016), antologi bersama dari banyak media, a.l. Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, Femina, dan Nova. Pernah menjuarai berbagai lomba penulisan fiksi. Aktif di sekolah penulisan Akademi Menulis Jepara. Domisili di Jepara.