Daftar Blog Saya

Rabu, 23 Agustus 2017

Tak Perlu Pakai Nasi

Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 20 Agustus 2017)
Tak Perlu Pakai Nasi ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Tak Perlu Pakai Nasi ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Mendung menggantung. Serupa enggan, selayak segan. Seperti ia yang sialnya aku jadikan idaman. Di seberang sana membalas pesan setengah mati ogah-ogahan. Di biarkannya harapan ini tergantung, dipikirnya lucu aku terseok sendiri terkatung-katung.
Aku mendesah. Gelisah. Sekali saja aku ingin bercengkerama dengan Hera dan bertanya, apa pernah ia berputus asa menyaksikan Dewa Zeus berkelana dari satu wanita ke lain wanita? Sungguh, tak ada yang lebih perih dari patah hati oleh suami sendiri. Keluar dari istana mewah, berharap jadi ratu di negeri orang, berujung sekadar jadi kacung.
“Tak perlu pakai nasi,” ujarku pada pramusaji yang sedari tadi menanti. Dicatatnya dengan teliti, seolah aku penguasa yang minta dibukakan pintu langit, bukannya sekadar makan tanpa nasi.
“Oh, itu rahasianya langsing begini?” goda mereka yang duduk mengelilingiku.
“Ah, cuma sekadar yoga dan kurangi gula.”
Tak perlu kusebut tentang puluhan kilo lari di sela-sela pekerjaan dan mengasuh anak-anak. Tak perlu juga mereka tahu perih-pedih perut lapar ini setiap tiga jam sekali. Cukup tahu beratku yang dulu seratus kilo kini ciut diserbu olahraga tanpa jeda. Sebut semua yang kau tahu, tubuh ini pasti sudah jejaki. Lari, maraton, yoga, sepeda, body pump, semua.
“Ini kulitmu mulus begini sekarang karena perawatan atau karena makan sayur buah saja?”
“Rajin facial juga ya?”
“Ih, pasti bangga sekali Adnan, istrinya sudah melahirkan berkali-kali, singsetnya seperti perawan. Makin tua, makin cantik.”
Setengah menggoda, setengah iri, aku biarkan jemari mereka menjelajah. Usia mereka sama denganku, bedanya, mereka biarkan usia menjadi alasan, anak menjadi kambing hitam, kesibukan menjadi penghalang. Tak apa, biar mereka raba pinggang yang takkan mereka dapatkan lagi. Rambut yang hanya ada di sampul majalah langganan mereka.
Telepon bergetar. Kini, tak ada lagi yang penting, kuhiraukan kata-kata tembus begitu saja melewati telinga. Akhirnya, Hermes datang mengantarkan sebuah pesan yang kunanti sedari pagi. Hanya untuk lemparkan sepatah kata: Ok.
Padahal, panjang sudah pertanyaan aku rangkai hati-hati dengan cantik. Pa, sudah makan? Papa lagi apa? Kangen Mama kah? Tadi Zaydan tanya, Papa pulang jam berapa? Inap di kantor lagi kah? Mau Mama bawakan bekal? Kuselipkan pula puisi Neruda agar ia tahu rindu kali ini bersemu sendu.
Hatiku patah sekali lagi, meski ini bukan pertama kalinya, aku yakin bukan pula untuk terakhir kalinya. Lunglai, kucoba menjawab obrolan yang kian tak menarik ini. Aku hanya ingin bergelung di kasur, melilitkan diri dengan selimut yang jauh lebih hangat dari suamiku sendiri.
Sejak anak kami lahir, ia memang semakin asing. Kala malam, kami selayaknya dua orang karam yang terpaksa mengembara bersama. Lebih banyak tidur, jarang sekali ia ajak aku bercengkerama.
Padahal, ingin rasanya aku bicara tentang mimpi, buku-buku puisi, lukisan wajahnya. Atau, tak mengapa aku dengarkan ia cerita. Tentang dunia filosofi, kata-kata, kerumitan hidupnya yang entah semrawut seperti apa. Tapi, setiap pertanyaan diiringi jawaban singkat antara ya dan tidak. Sebagai dosen, seharusnya ia tahu jawaban atas pertanyaan esai yang kulontarkan tak layak mendapat nilai C sekali pun.
“Berhenti bertanya akan hal yang takkan kamu pahami. Sudah, lanjutkan saja memasak atau lari.” Pernah ia tutup pintu sekaligus mulutku dengan dua kalimat itu.
“Tak apa, Nduk. Kamu ini harus tahu di untung. Sing penting dia masih pulang ke rumah. Tugas kita wanita ini mengabdi tok.” Tanggapan Ibu sewaktu aku masih berkenan untuk mengeluh justru semakin membuatku patah hati.
“Lelaki itu pemimpin. Kita ini takdirnya di rumah. Sediakan semua yang ia perlukan, kita ini harus tahu diri. Biarkan ia berkelana, sepanjang masih memenuhi tanggung jawabnya.”
Maka, berjuanglah aku yang dulunya pendaki gunung menjadi anak rumah. Ralat, anak dapur. Kuantar jemput anak-anaknya. Kumasakkan penganan enak untuk orang tuanya. Kusetrika baju-bajunya. Malamnya, aku mengemis untuk sekadar cinta, tapi mungkin terlalu mahal harganya.
Semua orang yang aku tahu memiliki affair. Setengah mati aku berusaha tidak memikirkannya, tapi apa daya. Lagi dan lagi pertanyaan itu muncul di kepala: Apa Adnan memiliki simpanan? Sering kutanya, Adnan selalu menjawab, sumpah tak ada wanita lain! Sungguh sia-sia bertanya, mana ada maling mengaku?
Ibu benar, aku ini sungguh beruntung. Setelah bertahun-tahun bertanya, kini disodorkanlah jawabannya. Langsung ke depan hidung. Kudapati Adnan persis di depan mal. Di sisinya, bergelayut manja sesosok manusia. Kusebut ia manusia karena aku terlalu bermartabat untuk menyebutnya babi, meski sungguh serupa itu penampakannya. Meski berselimut minyak dan jerawat, wajahnya berkali-kali dikecupi Adnan. Kutahan sedemikian rupa agar tidak mati berdiri. Tak pernah ia menciumku sedemikian rupa di depan semua mata.
“Hei, sadar. Kenapa?” tanya temanku setelah cipika-cipiki berpisah dengan yang lain. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Kulirik sedikit di cermin toko, ah aku pucat pasi seperti orang lihat hantu. Aku menggeleng, beruntung sekali kalau saja yang aku lihat adalah hantu bukannya dua sosok tadi. Aku ucapkan selamat tinggal sekali lagi setengah tergesa. Kali ini, melangkahkan kaki mengikuti Adnan dan dia entah siapa namanya.
Film horor picisan. Itu yang mereka pilih. Sungguh, aku tak percaya. Puluhan tahun tak pernah sekali pun ia mau injakkan kaki ke bioskop, sekali-kalinya aku temui ia nonton film, justru film porno berbungkus horor. Berkali-kali kutegaskan mata, apa sungguh ia Adnan? Berkali-kali pula aku dibuat kecewa oleh fakta yang menampar-nampar tanpa ampun, iya, sudah terima saja.
Kuikuti mereka dengan hati-hati seharian. Mungkin aku sakit jiwa, wanita lain akan mengambil foto sekali, lalu pergi. Atau, dengan beringas mengamuk banting ini dan itu di depan publik. Tapi, aku setengah menikmati. Debaran jantung tak habis-habisnya berdetak menghantam tulang rusuk. Seolah berontak ingin meledak. Sudah lama Adnan tak membuatku merasakan apa-apa selain kecewa. Jadi, kali ini aku biarkan ia membuatku merasa, apa pun itu namanya.
Sehabis film yang setengahnya bahkan tak mereka tonton karena sibuk menjilati wajah satu sama lain, Adnan beranjak ke kafe. Kafe dengan minuman anggur terbaik se-Indonesia. Aku tahu jelas karena aku yang pernah memohon-mohon mengajaknya ke tempat ini. Ajakan yang lagi-lagi di jawab singkat dengan ucapan “terlalu sibuk”.
Lihat, seolah tadi kurang, mereka berciuman lagi di balik buku menu. Tak pedulikan orang lewat yang melongok penasaran. Tak pedulikan sang pelayan yang setengah mati gelisah entah mengapa. Kunikmati pemandangan mereka saling suap sambil sesekali kuambil foto. Setengah sinting aku berpikir, mungkin lebih seru kalau aku ini bukan istrinya melainkan fotografer prewedding mereka.
Aku tiba di rumah dengan mendung masih mengiring. Seolah ia terikat denganku. Atau, mungkin aku yang sebenarnya terikat dengan si mendung hingga hidupku harus sama-sama tanggung. Ingin menangis saja aku tak mampu teteskan air mata. Semacam beku. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang setelah melihat mereka berdua dan aku bukan lagi aku melainkan manusia berhati beku yang tak menangis kala menemukan suaminya berselingkuh.
Sesampai di rumah, aku siapkan makan terlebih dahulu. Masakan kesukaannya dan beberapa resep baru. Benar dugaanku, butuh dua jam kemudian untuk ia tiba di rumah. Baru selangkah ia masuk, kusodorkan foto mereka berdua saling bercumbu di mana-mana.
“Aku ingin bicara,” ujarku.
“Aku ingin bercerai,” jawab Adnan lebih cepat lagi.
“Agar kamu bisa menikahi selingkuhan gendutmu?”
Tangannya terangkat. Hendak menampar.
“Jangan sekali-kali kau sebut ia seperti itu.”
Ironis. Aku harus santun pada selingkuhan suamiku. Mungkin kelak aku bertemu, disuruhnya aku cium tangan manusia itu.
“Aku lega akhirnya kamu tahu setelah bertahun-tahun ini.” Ia terdiam sejenak. “Kau tahu kenapa aku selingkuh?” Adnan dengan santainya berjalan ke meja makan yang sudah terisi makanan hangat.
Karena kamu bajingan keparat? Tapi, kutelan jawabanku. Kuangkat bahu seakan tak tahu menahu.
“Ia mengingatkanku akan dirimu yang dulu. Yang galak, penuh cemburu, setengah mati mengesalkan. Sekarang, kau selalu manut, tak pernah cari ribut, takut aku tinggal. Ia membuatku merasa hidup. Kau kini terlalu… sempurna. Tanpa celah. Membosankan.”
Aku mengangguk, terlihat paham, padahal otakku lebih kusut dari sebelumnya. Untungnya, ia terus bicara sambil menyendokkan nasi.
“Baiknya kita berdamai saja. Kau masih muda, masih cantik. Carilah pria lain. Kita hidup masing-masing saja. Bawa anak-anak denganmu, beri aku kesempatan membuat hidup baru.”
Setelah mengambil nasi dan lauk untuknya sendiri, Adnan berhenti sesaat. Ia ambil piring lagi, ia sendokkan nasi, kali ini untukku. Mungkin manifestasi akan rasa bersalah atau caranya memanjakanku agar aku bilang iya. Entah. Kau takkan pernah tahu isi kepala kaum pria.
“Tak perlu pakai nasi,” gumamku. Ia terbahak lama sebelum meletakkan nasi itu kembali.
“Ya, ya, ya. Aku lupa kau takut gemuk,” setengah meledek, dipenuhinya piringku dengan lauk dan sayur.
Adnan sendokkan nasi ke mulutnya. Ditelannya beberapa sendok sebelum kemudian terbatuk. Lagi dan lagi. Ia pukul sekuat tenaga dadanya sendiri. Lalu melambaikan tangan semacam orang yang tenggelam. Aku duduk, dorong sedikit air meski tahu busa di mulutnya takkan hilang hanya oleh beberapa teguk air minum.
Aku sendokkan sayuran tanpa nasiku.
“Sudah kubilang, tak perlu pakai nasi.” Kuelus rambutnya yang kini kotor oleh nasi. Suara tercekik keluar lagi. Aku menghela napas menahan kesal. Sungguh, tidak sopan berisik kala makan. Contoh yang tidak baik untuk anak-anak.
Foto Adnan dan dewa bercumbu masih terpampang di layar ponselku. Pria tua berjambang yang bertubuh gemuk. Mana kutahu Adnan tak suka wanita muda yang langsing penurut. Adnan tak suka wanita muda. Ah, Adnan bahkan tak suka wanita sama sekali.
Mendung masih menggantung. Kini, aku berdiri di penghujung, tapi sungguh beruntung, tak perlu lagi bingung. Tak perlu pula merajuk meraung-raung. Kurapikan posisi duduk Adnan, kepalanya kini lunglai. Kulihat dahinya tengah sibuk bercengkrama dengan nasi. Tak apa, biar kuberi waktu agar ia merenung.
Kutatap langit kelabu dari sisi lain jendela. Hari ini tak perlu joging. Ada olahraga yang lebih melelahkan menanti. Tak perlu lagi berusaha kurus untuk mempertahankan orang yang sedari awal memang tak pernah tinggal. Kuletakkan hatiku di tepian waktu yang menggaung. Biar menggantung. Seperti mendung.
Satu tarikan napas terdengar sekali lagi. Kali ini, untuk terakhir kali. Ah. Akhirnya langit pecah. Hujan pun membucah.

Tina dan Perahu Tua Ege

Cerpen Sabda Langit (Media Indonesia, 20 Agustus 2017)
Tina dan Perahu Tua Ege ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Tina dan Perahu Tua Ege ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
ARUS sungai bergolak kencang, suaranya bergemuruh saat jembatan papan kayu rubuh. Berapa orang anak berseragam sekolah yang baru sampai di seberang sungai, menjerit panik. Tina langsung bangun dari mimpinya. Nafasnya terasa sesak, segera ke dapur mengambil air wudhu, untuk melaksanakan salat subuh.
***
Pagi pukul 06.30 wita. Di pinggiran kota kecil, Kendari, dalam gubuk menghadap sungai, Tina sedang merajut atap dari daun nipah. Anak laki-lakinya, Ege, sedang mengiris kulit rotan untuk dijadikan pengikat atap. Mata anak itu mengamati jembatan papan yang bergetar di dera arus sungai.
“Tina!” Terdengar suara dari samping rumah. “Saya mau beli atap!” Laki-laki paruh baya mengenakan kaos biru, muncul di muka pintu. “Rumahku bocor beh…!” keluhnya.
“Mungkin sudah lapuk atapnya, Somba,” kata Tina seadanya.
“Betul mi itu!” tukas Somba, naik di atas panggung rumah Tina.
“Somba, baru lima lembar yang selesai,” kata Tina, mengikat rambutnya yang panjang dengan karet, lalu menghampar atap di lantai rumahnya. “Berapa lembarkah yang ko perlukan?”
“Hanya tiga lembar ji!” jawab Somba singkat.
“O, pilih mi kalau begitu! Saya kira banyak yang kau butuh!”
Tina berdiri membiarkan Somba memilih tiga lembar atap yang kelihatan sudah kering.
“Lima belas ribu ji toh?” kata Somba.
“Iyo, soalnya itu atap lebar,” tukas Tina.
“Saya tau ji!” balas Somba, menyerahkan uang pada Tina, lalu meloncat turun dari tangga.
“Hati-hati, Somba! Ko sudah tua mi hae itu!” tegur Tina dengan aksen Tolakiya yang kental.
“Hehehe…” Terdengar tawa Somba yang berjalan di samping rumah, dan menghilang masuk ke dalam rumahnya.
Di atas, langit terlihat mendung. Sudah berapa hari ini hujan turun terus. Biasanya dimulai dari sore dan berhenti di waktu malam. Di jembatan, berapa anak berpakaian seragam sekolah SD, melintasi jembatan dengan hati-hati sekali.
“Ina (Ibu), kenapa mereka masih jalan di jembatan itu?”
Tina menoleh sesaat, berapa lembar papan sudah bergeser miring dari tempatnya. “Mungkin mereka belum tau, Ege,” jawab Tina kemudian.
“Bahaya, Ina! Jembatan itu sudah mau rubuh!” tukas Ege, was-was melihat mereka yang sedang menyeberangi jembatan itu. “Kasihan kalau terjadi apa-apa…,” gumamnya.
Ege, sekolahnya hanya sampai di SD. Lahir di pinggir sungai Wanggu, dua belas tahun yang lalu. Amanya (Ayah) seorang Papalimbang (tukang perahu), memperoleh uang dari penumpang perahunya, dan hasilnya pas-pasan untuk makan sehari.
Saat ini Amanya Ege sudah tak ada lagi. Ombu Taala (Tuhan) sudah memanggilnya untuk selamanya. Meninggalkan sebuah perahu kecil sebagai warisan, yang sekarang digunakan Ege mengambil daun nipah, dan menyeberangkan orang dari sungai bila diperlukan.
Tidak terasa waktu cepat berlalu, desah Tina. Mengenang kejadian dua tahun yang lalu. Ama Ege ditemukan tak jauh dari perahunya, mengambang di sungai, mati dalam keadaan mengenaskan.
Sejak itu pula, Tina belajar mencari nafkah sendiri. Menjual atap dari daun nipah. Bila Ege tidak pergi mappalimbang, anaknya itu yang pergi mengambil daun nipah, lalu dijemurnya sampai kering, untuk dibuat menjadi atap.
Pukul 10.30. Tina melihat Ege menyambar dayung dan meloncat di atas perahu kecilnya. Sementara itu, di permukaan sungai, air mengalir begitu deras. Tina menjadi khawatir…
“Mau kemana, Ege?” teriak Tina, di antara kerasnya suara gemuruh air di sungai.
“Pancing ikan, Ina!” balas Ege.
“Adakah ikan kalau arus kencang begini?!” Tukas Tina ketus.
Ege menggaruk-garuk kepalanya, sedang berpikir mencari alasan yang kuat. “Saya mau cari daun nipah juga, kemarin saya lihat sudah banyak yang lebar!” katanya kemudian, langsung mendayung perahunya mengikuti arus sungai.
Tina tak bisa membuka mulutnya lagi, Ege sudah jauh. Di lekukan sungai yang banyak ditumbuhi pohon nipah, perahu itu menghilang. Tina hanya bisa menggelengkan kepalanya, dan melanjutkan pekerjaannya merajut atap.
Pukul 11.30. Tina gelisah. Berapa kali kompor dinyalahkan, tapi hanya menyala sedikit lalu pelan-pelan mati. “Mungkin sumbunya basah,” gumamnya. Matanya menoleh sesaat di lekukan sungai, tempat sege menghilang tadi. Tapi belum ada tanda-tanda bila Ege akan muncul di situ.
Tina mengalihkan pandangannya ke jembatan, di bawah jembatan arus mengalir deras sekali. Berapa anak sekolah berseragam SD muncul dari balik pohon mangga, terlihat mereka jalan tergesa-gesa. Awan hitam yang tebal menebar di langit. Sebentar lagi hujan akan turun, keluh Tina.
Baru saja Tina berniat menyalahkan kompornya lagi, matanya melihat jembatan itu bergerak, dan mendengar suara papan yang patah. Hanya berapa detik saja jembatan itu sudah rubuh terbawah arus, dengan seorang anak perempuan yang baru saja akan menginjakkan kakinya di tanah, menghilang di telan sungai dalam sekejap.
“Tati…!!!” Terdengar suara ramai anak-anak sekolah menjerit panik di tepi sungai.
Tina tercekat, langsung meloncat turun dari rumahnya, berlari kencang ke tepi sungai. Matanya tajam mengawasi permukaan air, tapi tak terlihat jejak anak itu sama sekali. Tina langsung merinding. Mimpi buruknya kini menjadi kenyataan.
“Tati…!!!” Tanpa sadar Tina sudah berteriak pula menyebut nama anak itu, nama yang asing di telinganya, tapi begitu jelas dalam mimpinya.
Bersamaan dengan teriakan Tina, hujan turun seketika. Ada rasa putus asa merambat di hati Tina, pandangannya menjadi kabur oleh curah hujan yang menimpa wajahnya. Tina menjatuhkan dirinya duduk bersimpuh di tanah, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Dengan hati yang menjerit membayangkan anak itu, saat melayang jatuh ke sungai.
Samar-samar teringat perkataan Ege pagi tadi. “Ina, jembatan itu mau rubuh. Kasihan kalau terjadi apa-apa….”
Tina langsung menghapus air matanya yang bercampur hujan. Bangun dan berlari mengikuti arus sungai lagi. menerobos masuk ke semak yang tajam, menatap sungai yang mengalir kencang, lalu berhenti dengan putus asa. Di hadapannya ada sebuah pohon bakau besar, merintangi jalannya. Tina pun mengeluh putus asa. Pencariannya terbatas sampai disitu saja.
Sementara itu, di jembatan yang rubuh, semakin banyak orang berkumpul. Seorang perempuan yang dipeluk kuat-kuat oleh lelaki yang mungkin suaminya, berontak melepaskan pelukan lelaki itu, lalu berlari ke tepi sungai, berteriak histeris memanggil anaknya.
Pukul 12. 45. Hujan mulai redah. Di ujung lekukan sungai, sebuah perahu berjalan lamban, melawan arus sungai yang deras. Ege sudah pulang. Tina mengangkat kepalanya, melihat Ege yang kepayahan mendayung perahu tuanya. Ketika perahu itu sudah dekat, Tina terhenyak. Seorang anak perempuan berseragam sekolah dengan pakaian basah, duduk di perahu Ege.
“Tati!” teriak Tina tanpa sadar. “Allahu Akbar!” teriaknya lagi, sambil melambai tangannya pada orang yang berkerumun di jembatan yang tersisa.
Suara Tina keras menggema, membuat orang yang mendengarnya, langsung berlari menyusuri arus sungai dengan tergesa-tergesa. Saat mereka tiba di tempat Tina berdiri, Tina sedang tertawa menggendong anak itu, mereka pun langsung berteriak heboh.
“Tati sudah ditemukan!” Terdengar salah seorang berteriak keras, disambut dengan teriakan ramai di jembatan rubuh. “Allahu Akbar!”
Hanya dalam sekejap, tempat Tina berdiri sudah dipenuhi orang, dan seorang perempuan yang matanya sembab karena habis menangis, mengambil alih anak itu dari pelukan Tina, lalu menggendongnya erat-erat, sambil menangis terisak-isak.
Tati sudah selamat dari amukkan sungai yang mengalir deras. Semua orang yang ada di situ, terlihat senang. Mereka melupakan Tina sesaat. Tapi Tina sudah ada di atas perahu, membiarkan Ege mendayung perahunya melawan arus, sambil membersihkan bajunya yang kotor akibat percikkan tanah liat.
“Ina, saya lihat Ama di sana tadi,” kata Ege dingin, saat mereka sudah jauh, meninggalkan kerumunan orang yang memeluk Tati secara bergantian.
Tina terhenyak!
“Ama menarik krah bajuku sampai ke darat, saat meloncat turun ke air, menyeret anak itu yang terbawa arus sungai!” kata Ege lagi, sambil mengusap air matanya.
Tina tak bisa bicara. Matanya tajam menatap Ege. Wajah anaknya itu terlihat pucat tak bergairah. Ada rasa sedih yang muncul di hati Tina secara tiba-tiba. Rasa sedih yang hampir membuat kesadarannya hilang. Sebagai ibu yang membesarkan anaknya, dia merasa, bahwa bukan Ege yang mengajaknya bicara saat ini. Suara Ege yang di hadapannya kini, adalah suara yang pernah didengarnya dua tahun yang lalu. Tina pun menjadi geram, dengan sinar mata yang dingin, dia menoleh ke lekukan sungai yang dipenuhi pohon bakau. Di sana, dia melihat Ege dan Amanya, sedang memandangnya dengan tatapan dingin pula. ***

2017
Penulis lepas yang menetap di Sulawesi. Sejumlah karyanya telah diterbitkan di media massa.

Dinding Berdendang

Dongeng Bisri Nuryadi (Suara Merdeka, 20 Agustus 2017)
Dinding Berdendang ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Dinding Berdendang ilustrasi Suara Merdeka
Meski sudah berbulan-bulan berlatih pencak silat, Sena masih kurang percaya diri. Ia merasa kemampuannya memainkan jurus-jurus pencak belum sempurna. Apalagi Kakek yang sekaligus menjadi guru pencaknya tidak bisa mendampingi Sena di acara Festival Tari Pencak. Sena harus berangkat sendiri.
Sepanjang perjalanan, Sena selalu bersembunyi saat berpapasan dengan teman-temannya. Sena takut ditertawakan oleh mereka. Selama ini Sena sering diejek oleh teman-temannya.
“Ah, anak laki-laki kok menari, seperti anak perempuan saja. Ah anak desa tidak mungkin bisa menang!” kata mereka.
Sesampainya di arena festival, nyali Sena semakin kendur.
“Aku tidak mungkin menang,” ujarnya lirih sambil beranjak pergi.
Sena lalu melangkah gontai menuju dinding pagar belakang kerajaan. Sena menyandarkan tubuhnya pada dinding yang kusam. Kepalanya tertunduk meratapi nasibnya. Sena merasa tak setampan peserta lain yang memakai baju mewah. Pakaian Sena selusuh karung goni. Sena khawatir dirinya tak menarik perhatian penonton. Di tengah kegalauannya, tiba-tiba Sena mendengar suara orang berdendang.
“Hei…hei…hei! Lihat ke kanan, ada ksatria tampan! Lihat ke kiri, ada ksatria pemberani! Lihat ke sini ada ksatria bersembunyi!”
Sena terkejut. Suara itu hilang, tepat saat Sena menoleh ke kiri dan ke kanan. Kepalanya mendongak, menatap ke atas dinding pagar. Tidak ada siapa-siapa. Hmmm…mungkin ia bersembunyi di balik pagar. Sena pun memanjatnya. Matanya menyapu ke segala arah. Sepi!
Sena mengempaskan kembali tubuhnya di dinding. Hatinya dongkol. Suara dendang kembali terdengar berkumandang.
“Lihat, lihat anak yang bimbang! Lihat, lihat ia berwajah muram!”
Sena kembali memandang ke sekelilingnya. Tidak ada orang berdendang.
***
“Lihat, lihatlah si pecundang kebingungan. Lihat, lihat, ia takut masuk gelanggang.”
Seperti semula, suara itu menghilang saat Sena membalikkan badan hendak memanjat dinding. Suasana di balik dinding tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda pemilik suara.
Setelah menunggu cukup lama, Sena kembali turun. Berulang-ulang Sena naik dan turun dinding saat suara dendang terdengar lagi.
“Hei, hei, hei ada pendekar berwajah muram. Hei, hei, hei semangatnya pudar, hilang kepercayaan.”
“Tunjukkan wajahmu!” teriak Sena sambil berkacak pinggang.
Dendang terdiam. Sena kesal dan melangkah pergi. Sesampainya di depan pintu gerbang kerajaan, Sena melihat dua dinding di depannya bergetar. Terdengar suara dendang yang lantang.
Sena tidak percaya. Ia mengucek-ucek kedua matanya. Tapi dinding dan suara itu tak kunjung diam. Sena memberanikan diri menyentuh dinding. Aneh! Setiap tangan Sena mendekat, dinding itu diam dan suara dendang pun menghilang.
Tak lama kemudian, Sena mendengar namanya dipanggil untuk tampil di atas panggung. Sejenak Sena terdiam, ragu.
“Pulanglah, pulang! Jangan permalukan Kakekmu tersayang!”
“Kakek,” gumam Sena lirih.
***
Sena teringat Sang Kakek yang sedang sakit. Sebelum berangkat, Kakek berpesan agar Sena tetap menari, apa pun yang terjadi. Pesan Kakek membuat keberanian Sena tumbuh kembali. Ia segera menuju panggung.
Oouch…tapi apa yang terjadi… Tepat saat Sena mendekati arena, kakinya tersandung anak tangga. Ia terjatuh di atas panggung dan ditertawakan penonton. Sena tersipu malu. Ia nyaris kehilangan keberanian lagi. Panggung terasa bergoyang dan dinding kembali berdendang.
“Aku harus konsentrasi,” batin Sena sambil memperbaiki posisi kedua kakinya.
Sena pun memulai tariannya. Saat ia menggerakkan tubuhnya, terdengar dinding berdendang memberikan pujian. Semakin keras dinding berdendang, semakin larut Sena dalam tarian.
“Lihat ksatria pemberani, menari penuh percaya diri. Gerakannya lincah, tariannya indah. Dialah yang berhak mendapat plakat emas yang mewah.”
Dinding tak lagi berdendang saat Sang Raja memberikan plakat emas kepada Sena sebagai tanda kemenangan. Sorak sorai dan tepuk tangan penonton terus terdengar sampai Sena meninggalkan panggung.
Sena begitu girang dan bahagia. Apalagi Sang Raja juga memintanya untuk tampil di Pesta Panen Raya. Pada saat itu tari pencak tidak hanya ditampilkan, tapi juga kan dipertandingkan. Namun anak seusia Sena belum diperbolehkan mengikuti pencak silat karena berbahaya. Pesilat bisa terluka bahkan cedera karena pukulan atau tendangan lawan. Dalam pencak silat, seseorang harus mengalahkan lawannya untuk menjadi pemenang. Sementara dalam tari pencak, siapa yang paling baik dalam memainkan jurus-jurus maka merekalah yang menang. Dan Sena nantinya akan menari pencak silat, tanpa dipertandingkan.
Sebelum pulang Sena menghampiri dinding-dinding yang berdendang untuk mengucapkan terima kasih. Jika dinding tak berdendang, mungkin Sena tidak tampil sebagai pemenang.
Sesampainya di rumah, Sena menceritakan pengalamnnya kepada Sang Kakek.
“Mengapa dinding itu mengejek dan memujiku, Kek?” tanya Sena kepada Kakek.
“Ejekan dinding mencerminkan perasaanmu yang kurang percaya diri, sedangkan pujian itu menggambarkan kegembiraanmu saat menari. Itu adalah suara dinding hatimu, Sena,” ucap Kakek sambil memeluk Sena dengan penuh kasih sayang dan keharuan. (58)