Kamu menatap
pohon yang tumbuh di atas tanah makam, di lereng bukit tepat di belakang
rumahmu. Akar-akarnya bertonjolan keluar, seperti otot-otot seorang tua yang
menghabiskan waktunya untuk bekerja di bawah terik matahari. Kulit batangnya
pecah-pecah digerus musim dan waktu. Daunnya merah kehitaman, sewarna dengan
darah yang mulai mengering. Saat kemarau, daun-daun itu akan berguguran terbawa
angin ke segala penjuru. Dulu, kamu sangat ingin menebang pohon itu, tapi
bapakmu melarangnya.
Pada setiap batang pohon itu ada sebuah
kehidupan. Entah pohon itu menghasilkan buah atau tidak, tetapi biarkanlah ia
tetap tumbuh. Biar Tuhan sendiri yang memutuskan kalau memang umur pohon itu
sudah sampai pada waktunya. Demikian selalu yang diucapkan bapakmu yang
lantas diaminkan oleh ibumu.
Menurut
ibumu, pohon itu bisa tumbuh subur karena pupuk alami dari daging dan tulang
yang tertimbun di bawahnya. Daging dan tulang yang diisap oleh akar-akarnya,
lalu dibawa naik sampai ke pucuk daun. Tak heran kalau kamu sering mencium bau langu yang aneh, menguar dari pohon
itu. Bau layon (jenazah) manusia yang
pasti berbeda dengan bau bangkai binatang yang membusuk.
Kamu sering
mengirup bau langu itu terbawa angin,
lalu tercium lamat-lamat oleh hidungmu. Kamu mulai niteni (menangkap pertanda), bahwa kalau tercium bau seperti itu,
berarti sebentar lagi akan ada jasad yang harus dikebumikan. Waktu kamu masih
kecil, kamu akan tersenyum gembira saat mencium bau itu. Bau langu itu berarti rejeki bagi bapakmu.
Karena tak berapa lama kemudian, pasti akan ada orang yang menyuruhnya menggali
kubur.
Itu berarti
rejeki juga bagimu, karena kamu akan mendapat uang recehan yang ditebarkan ahli
waris di sepanjang jalan menuju makam. Uang recehan yang jatuh bersama kembang telon dan irisan daun pandan,
pengantar jasad orang mati menuju alam kelanggengan.
Tak banyak anak kecil yang berani mengiringkan jenazah sampai ke pemakaman. Dan
kamu adalah salah satu dari pemberani itu.
Ibumu juga
turut merasa senang, karena untuk beberapa hari, ia tak perlu memasak. Beras di tandon akan utuh. Keluarga si mayat
akan mengadakan selamatan 7 hari 7 malam. Setiap kali bapakmu pulang dari acara
selamatan, pasti dibawanya dua besekan berisi
nasi lengkap dengan lauk pauknya. Satu besek
merupakan jatah bapakmu sebagai tetangga yang turut mendoakan sang arwah.
Sedangkan satu besek lagi merupakan
jatah bapakmu sebagai penggali kubur bagi si jenazah.
Semakin kamu
dewasa, kemampuanmu mencium aroma kematian - lewat bau langu pohon di atas makam - itu, kamu rasakan semakin mengganggumu.
Kamu seolah menjadi pembawa kabar kematian, sebelum malaikat maut melaksanakan
tugasnya. Setiap kali kamu menceritakan bau langu
itu, maka penduduk desamu mulai kasak kusuk, mengira-ira, ruh siapakah yang
bakal dijemput selanjutnya.
Pernah suatu
ketika, kamu mencium bau langu pohon
itu sampai berminggu-minggu, tetapi tak juga ada kabar seseorang meninggal.
Penduduk desa mulai menyangsikan kemampuanmu dan keajaiban pohon itu. Namun
bulan berikutnya, sebuah peti mati datang dari timur tengah. Sutini yang lama
pergi bekerja di Arab, pulang-pulang sudah dalam keadaan terbaring di dalam
peti mati. Kamu mulai resah. Bau langu
itu lama-lama menerormu dengan bayangan-bayangan buruk tentang kematian.
Mak Hindun -
orang tua yang sudah lama terserang lumpuh - sering memanggilmu hanya untuk
menanyakan kepadamu, apakah kamu sudah mencium bau itu. Rupanya mak Hindun
ingin segera dijemput ajal. Rasa bosan hidup mulai melandanya, karena terus
menerus menjadi beban bagi keluarganya. Namun keinginannya belum juga terkabul.
Setiap kali, kamu melaporkan bau langu itu
kepadanya, justru anak-anak atau bayi yang baru berumur beberapa hari,
dipanggil terlebih dahulu. Umur bukan menjadi penentu datangnya ajal bukan? Dan
saat kamu menatap raut kecewa di wajah mak Hindun, kamu semakin menyesali
kemampuan yang kamu miliki.
Sudah
beberapa bulan, pohon itu tidak menguarkan bau langu lagi. Hal itu cukup melegakanmu. Dan semakin memperkuat
keinginan dalam benakmu untuk menebang pohon itu. Agar bau langu layon itu tidak lagi menerormu, dan kamu bisa hidup
sebagai manusia biasa. Tetapi
keinginanmu tak pernah mendapat persetujuan, baik oleh ibumu sendiri,
lebih-lebih bapakmu.
Kalau pohon
di atas makam itu tidak boleh untuk dienyahkan, maka kamu sendirilah yang harus
pergi dari kampung halamanmu. Itu sudah menjadi keputusanmu. Bapakmu tak bisa
mencegah kepergianmu dan ibumu mengurai kesedihan atas kepergian anak semata
wayangnya.
Berbilang
tahun kamu meninggalkan kampung halamanmu dan menjadi perantau yang sukses.
Kamu mulai melupakan langu yang
menguar dari pohon di atas makam itu. Meskipun sesekali kerimbunan pohon di
atas makam itu hadir dalam mimpi-mimpimu, namun bau langu itu tak pernah kau rasakan lagi. Ia hanya tinggal menetap,
mengendap dalam dasar palung ingatanmu.
Kamu sangat
rindu kepada orang tuamu, tapi tidak pernah terbersit keinginan untuk pulang.
Kamu sangat takut bau langu itu akan
kembali menyerangmu. Kamu mulai membujuk orang tuamu untuk mau tinggal
bersamamu. Namun bapakmu punya pendapat yang berbeda. Baginya, bekerja adalah
sebuah bakti. Dan pohon itu sudah seperti sahabat bagi bapakmu. Ia telah
berjanji tak akan meninggalkan pohon itu, sampai jasadnya sendiri yang
diundang, untuk memeluk akar-akar pohon. Merelakan sari pati tubuhnya diisap
oleh pohon.
Biarlah, kalau hidup dan matiku memang harus
bersama pohon itu. Mungkin sudah suratan takdirku harus menjadi seorang
penggali kubur seumur hidupku. Demikian kepasrahan bapakmu, yang
menghadirkan ngilu dalam hatimu.
Suatu hari,
setelah bertahun-tahun kamu melupakan bau langu
pohon itu, tiba-tiba hidungmu menangkap bau itu lagi. Bau yang mulai
mengganggumu. Itu terjadi sore hari, sepulang kamu dari bekerja, saat kamu
sedang duduk-duduk di teras rumahmu. Cuping hidungmu sampai bergerak-gerak
beberapa saat, macam tak percaya. Bagaimana mungkin, jarak ribuan kilo meter
bisa dilampaui oleh sebuah bau?
Kamu mulai
gelisah. Apalagi setelah berhari-hari, dan bau itu tak juga hilang dari indra
penciumanmu. Istrimu juga ikut resah. Ia mengajakmu untuk membersihkan seluruh
ruangan dalam rumahmu. Kolong-kolong tempat tidur kamu bersihkan. Loteng dan
ruangan di atas langit-langit kamu tengok. Barangkali ada bangkai tikus atau
bangkai binatang yang lainnya, ada di sana tanpa sepengetahuanmu. Kamu
menyadari bahwa tindakanmu itu sia-sia belaka. Karena kamu tahu, bau langu dari layon manusia itu jelas berbeda dengan bau bangkai binatang yang
membusuk.
Kamu mulai
dilanda rasa ketakutan luar biasa saat mengingat usia bapakmu yang mulai renta.
Mungkinkan bau langu itu pertanda
bahwa sang pohon telah menginginkan jasad bapakmu? Di saat kamu merasa belum
berbuat apa-apa untuk bapakmu, dan pohon itu justru menginginkan jasad bapakmu.
Lantas siapa yang akan menggali kubur bagi bapakmu, sedangkan bapakmu adalah
satu-satunya penggali kubur di desamu? Berbagai pertanyaan berdentam-dentam
memenuhi kepalamu. Membawamu kepada sebuah keputusan. Pulang.
Pagi itu,
dengan kereta yang pertama kamu gegas pulang ke desamu. Peluit kereta, bagai
peluit kematian yang menyentakkan kesadaranmu akan bau langu yang telah memanggilmu untuk pulang. Bahkan bapakmu sendiri
tak bisa memaksamu untuk pulang, tetapi bau yang diuarkan pohon itu mampu
membawamu kembali ke desamu.
Turun dari
kereta, kau sambung perjalananmu dengan naik bus antar kabupaten. Turun di
sebuah pertigaan, kamu lalu mencari tukang ojek yang biasa mangkal untuk
mencari penumpang. Angin pegunungan membelai wajahmu, menghapuskan
bintik-bintik keringat kecemasan yang memenuhi wajahmu. Dan bau langu layon itu terus menemanimu
sepanjang perjalanan pulang. Semakin lama semakin menyengat dan menusuk.
Lalu kamu
mulai bertanya-tanya dengan penuh cemas tentang kabar bapakmu. Jawaban dari
tukang ojek, cukup melegakanmu, karena ternyata bapakmu baik-baik saja. Hanya
saja, tanah makam di belakang rumahmu di mana di atasnya tumbuh sebatang pohon
itu, sebentar lagi akan digusur. Seorang pengusaha di bidang properti telah
berhasil mendapatkan ijin dari pemerintah daerah. Ia akan membangun sebuah
resort di atas makam itu. Desamu ternyata sudah menjadi desa wisata.
Rumah-rumah menjelma home stay, kebun
dan sawah menjadi sarana field trip
bagi para pelajar, sungai yang membelah desa telah menjadi wahana arung jeram.
Tanah makam
itu memang berada di tempat yang agak tinggi, tepatnya di lereng bukit.
Orang-orang akan bisa menyaksikan view kota yang bagus, bila saja makam itu
dipugar untuk dibangun menjadi sebuah resort. Tapi bapakmu tidak rela jika
makam itu dipugar dan pohon itu harus ditebang. Kamu mulai menyadari ‘pesan’
dari bau langu yang telah
mendatangimu beberapa hari yang lalu.
Kamu
memutuskan untuk pergi ke kantor kecamatan, kantor kabupaten, bahkan mungkin
sampai ke dinas pariwisata. Kamu yang dulunya sangat ingin menebang pohon itu,
kini berkeinginan sebaliknya. Kamu ingin pohon dan makam itu dipertahankan,
karena pohon dan makam itulah sumber kebahagiaan bagi bapakmu.
Malam gelap
pekat diguyur hujan yang sangat deras. Pagi itu kamu harus pulang membawa
kekalahan. Segala usahamu ternyata mengalami kegagalan. Namun berita di
televisi telah menyentakkanmu. Membawamu kepada sebuah kesedihan dan makna baru
dari bau langu yang telah membawamu
pulang ke desamu. Bukit di belakang makam itu telah runtuh, menimbun pohon,
makam dan seluruh penduduk desa. Maka tak diperlukan lagi seorang penggali
kubur. Janji telah dibayarkan. Bapakmu kini telah berbaring bersama pohon itu.
Dan bau langu itu kini semakin menusuk indra
penciumanmu. Mungkin bibit pohon yang sama kini telah tumbuh di hatimu.
@selesai@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar