Nayna jatuh cinta. Meski ia tak pernah tahu wajahnya, ia jatuh cinta pada celananya.
HARI ITU ADALAH awal April di Kota Dhaka.
Suhu
paling tinggi mulai menyebar ke seantero kota. Apalagi di distrik
Savra, tempat Nayna bekerja. Peluh membasahi keningnya, namun Nayna
terus berjalan. Sebentar lagi shift ketiga akan berakhir pukul 7.55 di
Rana Plaza, dan Nayna akan masuk shift pertama tepat jam 8 pagi.
Nayna
merasa beruntung ia tak perlu kerja malam. Meskipun upahnya menjadi
3000 Taka, namun meninggalkan ayah dan adiknya pada malam hari di rumah,
sungguh membuatnya cemas. Lebih cemas daripada menyusuri jalanan Dhaka
yang tidak aman.
Nayna bergegas melintasi jalan Imandipur, melewati
bangunan pabrik yang berjajar tak beraturan. Banyak gadis seperti
dirinya yang juga melintas di jalan tersebut, beberapa di antaranya
Nayna kenali sebagai pekerja di Rana Plaza.
Rana Plaza memang maju
pesat. Pemiliknya, Tuan Rana berhasil menjual produk garmen yang Nayna
dan ribuan lainnya buat ke banyak toko di luar negeri. Nayna tak pernah
tahu tokonya seperti apa, ia hanya mengetahuinya dari label yang harus
ia jahit di setiap baju di hadapannya.
Nayna tahu, ia hanyalah satu
dari tiga ribu pekerja yang dipekerjakan Tuan Rana. Hampir semuanya
wanita. Hampir semuanya muda. Anak-anak muda yang harus bekerja keras
dan mengorbankan sekolahnya, karena kesulitan hidup yang melanda.
Nayna
membetulkan selendangnya. Selendang satu-satunya yang ditinggalkan Ibu,
sebelum TBC merenggut nyawa Ibu. Kulitnya hitam, tatapannya tajam.
Sepasang alis yang tebal menghiasi matanya. Tapi Nayna tahu, ia tidak
istimewa, terutama dibanding ribuan lainnya.
Nayna menuruni tangga ke
lantai bawah tanah. Pekerja shift tiga melewati pintu lainnya, itu
aturan Pak Mandor. Saat shift satu datang, mereka tak perlu bersua di
pintu yang sama dan memacetkan jalan. Bagaimanapun produksi harus
terhenti hanya sebentar.
Nayna menempati tempat yang sama, seperti
tiga tahun lalu saat ia mulai bekerja di ruangan itu. Nayna merasa
beruntung, karena tempat itu memiliki satu dari enam kotak lubang angin
yang menghadap jalan. Posisinya tepat di telinga. Nayna tak suka berada
di tengah ruangan, karena cahaya lampunya kurang, sulit untuk melihat
jahitan. Sedangkan di sini, di tepi tembok ini, ia bisa mendapatkan
cahaya matahari (ya kini kau tahu kenapa ia tak suka shift ketiga),
sekaligus mengintip siapa yang melewati jalan masuk pabrik, meski yang
ia lihat hanya bagian bawah kain sari, sandal yang mereka pakai,
atau...celana.
Nayna mengerjapkan matanya. Benarkah yang ia lihat?
Celana? Berarti sekarang yang ada di samping lubangnya adalah seorang
pria. Dalam waktu tiga tahun, mungkin penampakan celana di lubang ini
bisa dihitung dengan sebelah tangan. Jumlah pria di Rana Plaza memang
hanya sedikit. Dan lebih sedikit pula yang meluangkan waktunya untuk
bersantai seperti ini. Syukurlah, kali ini Nayna bisa menggunakan tangan
lainnya.
Sambil tersenyum Nayna melanjutkan jahitannya, agar merek
toko itu dapat melekat rapi. Nayna sekali-kali melirik, si pemilik
celana yang hanya dapat ia lihat sebagian. Celananya warna krem, dengan
kantung di lutut dan paha (Nayna berhasil melihatnya saat ia memiringkan
kepalanya dan menengadahkan wajahnya ke tepi lubang). Tampaknya
kepanjangan, karena ada sisa yang tertekuk di ujungnya. Sepatunya dari
kulit, warna cokelat tua, dengan tali yang terikat rapi dan sol tiga
senti.
Nayna membayangkan postur tubuh si pemilik celana pastilah
tegap. Tidak gemuk (terlihat dari kakinya), tidak terlalu rapi
(celananya kusut), dan penyendiri. Selama Nayna memperhatikannya, tak
sekali pun terlihat ada orang lain yang menemani. Apakah ia hanya
bersandar di dinding saja, berusaha menghilangkan lelah yang ada? Atau
ia sedang merokok, meski tak tampak abu yang jatuh karena lubang ini
membatasi pandangan Nayna. Sampai akhirnya pria itu melangkah pergi.
Namun Nayna senang, ia punya harapan, untuk melihat pemiliknya pada
hari-hari mendatang.
KINI TANGGAL 20 APRIL.
Sejak
melihatnya setiap hari, Nayna hapal warna celana-celana kargo yang
dipakai si pria, hapal bagian mana yang kusut, dan ia hapal pula posisi
berdiri sang pria. Kalau posisi begini, ia sedang bersandar. Kalau
kakinya menghadap samping, artinya ia sedang bertumpu pada dinding,
dengan satu tangan lain memegang sesuatu, rokok mungkin. Kalau hanya
kelihatan satu kakinya di tanah, artinya ia sedang santai.
Akhirnya
memang Nayna tak bisa melepas pandangannya dari celana itu, meski
mungkin hanya sekejap saja di pagi hari, karena si celana kargo rupanya
hanya beristirahat sementara di sana. Saat pekerjaan menumpuk dari shift
tiga, ia akan mengalihkan pandangannya pada si celana, dan bahagia
merasa ada yang menemani.
Saat ia sedih karena lagi-lagi ayahnya
batuk darah, ia tahu, kalau ia mau, ia bisa menggapai kaki itu dengan
satu tangannya, dan merasakan kekuatan mengalirinya. Namun tidak, itu
tindakan yang terlalu berani, selain itu hanya dengan membayangkan ia
melakukan itu, sudah cukup baginya.
Saat sedang senang, ia sengaja
menghilangkan sisa-sisa benangnya, ia bentuk gumpalan kecil, dan
mengembuskannya lewat lubang saat si celana kargo itu muncul. Iseng
saja, dan itu adalah cara yang percuma. Karena jangankan melihat,
merasakan pun pasti tak bisa. Maka bulatan-bulatan itu hilang tertiup
angin, saat Nayna datang keesokan paginya.
Namun Tuhan memang baik.
Hari itu, saat gumpalan ketiga menggelinding keluar, Nayna dikagetkan
dengan mata yang mengintip dari lubang. Wuah, si celana kargo!
“Apakah
kamu,” katanya dengan terbata, karena wajahnya menempel di pasir, “yang
menggelindingkan benang-benang ini? Tiap hari?” Nayna menjauhi lubang
itu. Ia tak punya nyali saat si celana kargo memergoki.
“Apa
maksudmu?” si celana kargo bertanya lagi. Sepertinya ia berusaha
mengintip apa yang Nayna lakukan. Nayna selintas melihat matanya yang
besar, hidungnya yang mancung dan rambutnya yang pendek dan acak-acakan.
Nayna
melanjutkan kembali pekerjaannya, namun ia tak bisa konsentrasi.
Terutama ketika penyesalan melandanya, karena si celana kargo kemudian
pergi.
Tanggal 21 April.
Si celana kargo tidak datang. Atau, ia memilih lubang lain untuk bersandar?
Tanggal 22 April.
Si
celana kargo tetap tidak datang. Namun saat ia menoleh untuk kesekian
kali, berharap celana warna krem itu muncul, Nayna mendapatkan banyak
gumpalan benang kecil di lubang bagian luar. Dengan bingung ia
menghampiri lubang itu, diambilnya benang-benang tersebut, ternyata sama
dengan yang dimilikinya. Lalu saat ia menjulurkan tangan hendak
mengambil yang paling jauh, sebuah sapaan lembut ia dengar.
“Halo,”
kata suara itu. Si celana kargo! “Aku kembalikan benang-benangmu,”
katanya. Nayna tercekat. “Dari mana...k au dapatkan ini?” Karena Nayna
tahu pasti, angin telah menerbangkan benang-benangnya.
“Dari tempat
kerjaku,” kata si celana kargo ramah. Orang yang melihatnya di luar
pabrik, mungkin akan heran melihat ia menungging di tanah seperti itu.
“Aku Salim,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke dalam lubang,
“lantai tiga.”
Barulah Nayna mengerti. Salim, pekerja lantai tiga,
yang masuk di shift tiga. Sejak tujuh tahun yang lalu, Rana Plaza memang
menjadi bangunan empat lantai. Bisa menampung ribuan pekerja dalam satu
waktu, memenuhi pesanan yang makin laku.
“Nayna,” balasnya, sambil
menyambut uluran tangan Salim. “Salam kenal, Nayna,” sahut Salim. Ia
tersenyum lebar, meski hanya nampak sebagian. Saat itu juga Nayna ingin
keluar, memandang Salim dari bawah hingga atas, dari ujung celana kargo
ke pemilik senyumnya, berusaha menata penampilan Salim dalam ingatannya.
Namun, hardikan keras dari pak mandor menghentikan mimpinya. Nayna kembali sibuk bekerja.
Tanggal 23 April.
Mungkin
Salim sengaja, berlama-lama berada di dekat lubang. Berbagai posisi
kaki Nayna lihat, dari balik lubang, menandakan pemiliknya sedang
gelisah. Gerakannya kadang mengundang debu masuk, dan Nayna terbatuk.
Lalu seolah sadar Nayna kemasukan debu, kaki itu diam mematung. Nayna
tertawa dalam hati melihat tingkah Salim. Lalu kaki itu menghilang.
Nayna merasa kehilangan.
Tidak lama, Salim menyodorkan setangkai
bunga lewat lubang. Hanya tangannya yang mengangsurkan ke dekat kepala
Nayna. Untung tidak kena mata. Bunga yang biasa. Namun sungguh membuat
Nayna terharu karenanya. Salim, bahkan wajah Naynapun ia tak jelas
melihat. Hanya sepasang mata yang saling bertatapan, separuh senyum, dan
tentu... celana kargo yang membuat Nayna jatuh cinta.
“Besok, jangan
masuk duIu,” bisik Salim. “Temui aku di sini. Lebih mudah menunda masuk
daripada mempercepat keluar,” bisiknya lagi. Jantung Nayna berdebar
keras. Bagaimana kalau pak mandor marah. Bagaimana kalau ia dipecat?
Siapa yang membiayai pengobatan ayahnya, sekolah adiknya... Maka Nayna
menggeleng, meski sadar Salim tak akan melihatnya.
“Salim, di sini saja,” balasnya. “Aku takut,” bisiknya. Hening sejenak. Mungkin Salim kecewa.
“Kamu...
tak mau melihat aku?” tanya Salim tertahan. Nayna ingin menangis. Tentu
Salim, tentu, aku ingin melihatmu. Tapi lubang ini terlalu kecil untuk
memandangmu utuh.
Nayna terdiam. Ia tak mau menjawab tanya Salim. Terdengar suara desahan Salim. Mungkin ia juga sedang berpikir.
“Nayna,
besok seusai kerja, aku akan menjemputmu di sini. Tentu, aku akan
berpura-pura masuk shift kedua. Tunggu aku ya,” kata Salim, terdengar
ceria.
Nayna tersenyum. Salim sungguh bisa diandalkan, ia berani memutuskan.
Tanggal 24 April, pukul 8.05.
Lagi-
lagi Salim menemuinya di lubang. Menemui mungkin bukan kata yang
terlalu tepat, toh yang terlihat hanya celananya. Celana yang berkantung
banyak. Salim berkata, ia akan menunggu di sana sepulang Nayna bekerja.
Nayna tak menjawabnya. Sebagai gantinya, ia hanya mengembuskan
gumpalan-gumpalan benangnya ke lubang. Salim mengumpulkan, mengambilnya
satu-satu, dan memasukkan ke kantung celananya. Saat Nayna melihat Salim
pergi dengan membawa gumpalan benangnya, ia merasa separuh hatinya juga
terbawa.
Pukul 8.45.
Suara guruh terdengar dari kejauhan.
Salim menengadahkan wajahnya ke langit. Hari cerah, tak akan hujan. Lalu
dari mana suara guruh terdengar? Ia kembali melanjutkan menjemur
pakaiannya, di rumah kontrakan yang ia tempati bersama teman-teman.
Tak
lama keributan datang. Orang berteriak-teriak, klakson sepeda motor
terdengar bersahutan. Salim bergegas keluar, ingin tahu ada apa
gerangan. Ia bertelanjang dada, hanya celana kargo yang dipakainya.
“Rana Plaza runtuh!”
Salim tercekat. Nayna!
Ia
segera berlari menyusuri Jalan Imandipur. Tak dipedulikannya kakinya
yang telanjang menginjak batu trotoar yang tajam. Mungkin kini telapak
kakinya berdarah. Namun hatinya yang lebih terluka.
Ia menyibak
kerumunan. Terseret bersama puluhan orang lainnya yang menghambur ke
area Rana Plaza. Mereka yang mencemaskan orang-orang tersayang yang
bekerja di sana.
Salim lemas menatap bangunan yang ambruk separuh
itu. Jerit tangis terdengar di mana-mana, rasa takut dan bingung
menerpa. Salim berlari ke tempat pertemuan mereka. Lubangnya sudah tidak
ada. Lebih tepatnya, dinding itu sudah hilang tertimpa dinding-dinding
yang ada di atasnya. Mungkin Tuan Rana terlalu tamak, ia membangun
tinggi-tinggi tanpa memperhatikan keselamatan pegawainya.
“Nayna!
NAYNA!” Salim panik memanggil kekasihnya, namun tak ada suara. Ia masih
saja berteriak, berharap Nayna sempat lari menyelamatkan diri, lalu ia
hanya akan terlambat muncul saja.
Namun Nayna tak pernah kelihatan.
Salim menunggui proses evakuasi yang berlangsung lambat. Selain
banyaknya korban, kondisi reruntuhan juga menyulitkan proses evakuasi.
Akhirnya
tibalah gilirah lantai bawah. Salim ikut membantu menyingkirkan
bebatuan. Ia menahan rasa kaget atas bentuk tubuh yang tertimpa
reruntuhan. Mereka yang berada di tengah ruangan langsung tertimpa
lantai atasnya. Lalu tibalah mereka ke tangga yang menghubungkan lantai
bawah tanah dengan lantai satu. Dengan bantuan beberapa orang Salim
menyingkirkan tangga itu. Tampak lebih banyak korban, mungkin mereka
mengira kalau sembunyi di bawah tangga akan lebih aman.
Nayna yang mana?
Salim
hanya selintas mengenali selendang Nayna. Ia tak tahu benar wajah Nayna
seperti apa. Ia tak tahu bagaimana caranya menemukan Nayna. Lalu tak
sengaja ia menyentuh kantong celana kargonya. Gumpalan benang itu masih
di sana. Apakah mungkin… Nayna juga memilikinya? Mengenggamnya sampai
ajal menjemputnya?
Dengan ragu Salim membuka satu persatu tangan
para korban. Di satu sisi ia ingin mengetahui yang mana Nayna, namun di
sisi lain ia berharap tak pernah menemukannya, yang berarti Nayna
mungkin selamat.
Dan ia lemas mengetahui gumpalan benang itu ada di
korban yang ketigabelas. Nayna… Nayna… akhirnya kau bertemu dengan sang
pemilik celana kargo tanpa sempat bisa memandang wajah sedihnya.
Tentang Penulis:
Dewan juri sepakat memilih cerpen ini sebagai pemenang pertama karena
mampu menceritakan secara detail perasaan para tokoh yang merupakan
penduduk urban dan menunjukkan sisi-sisi emosi seorang pekerja pabrik.
“Ada sisi charming dan intim di dunia buruh yang digambarkan secara
detail dan menyeluruh di cerpen ini dan ‘dijahit’ dengan latar belakang
peristiwa besar,” ujar Leila S. Chudlori, Ketua Dewan Juri Sayembara
Cerpen femina 2015.
Menurut Indri Hapsari (38), ide awal
komunikasi Nayna dan Salim muncul saat menonton berita tentang tragedi
Rana Plaza di Dhaka (2014) di televisi. “Saya sempat lihat di pabrik itu
ada basement. Para pekerjanya hanya bisa melihat secercah cahaya dari
sana,” kisah Indri yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Teknik,
Jurusan Teknik Industri, Universitas Surabaya.
Tragedi Rana
Plaza sempat ia jadikan studi kasus di mata kuliah Tata Letak Pabrik
yang diasuhnya. Diperkuat dengan riset tentang kehidupan wanita di
Bangladesh yang masih dianggap sebagai warga kelas dua, Indri mengemas
permainan emosi antara dua penduduk urban menjadi cerita memikat.
Selain
mengajar, ia rajin menulis cerpen dan novel, salah satunya, Deep Web
yang mengangkat soal narkotika. Kini ia tinggal di Surabaya bersama
suami dan dua anaknya. (f)
***
Indri Hapsari
Pemenang I Sayembara Cerpen Femina 2015
Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar