Oleh:
Utami Panca Dewi
(dimuat di majalah Gadis
edisi no. 14, 01-15 Juli 2016)
Bunda adalah kenangan yang tak
pernah surut. Seperti lautan saat purnama. Cintanya selalu memenuhi pantai
hatimu. Kebersamaan dengan Bunda masih bisa kamu rasakan setiap kali kamu
memasuki ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, bahkan dapur dan kamar
tidurmu. Seandainya kursi rotan di teras bisa bercerita, ia akan bercakap
tentang kamu yang sering menggelendot manja di bahu Bunda. Sambil menunggu Ayah
mengambil buah mangga gedong yang pohonnya tepat tumbuh di depan teras.
Setelah Bunda tiada, kamu ingin
segala yang ada dalam rumahmu tak berubah. Cangkir-cangkir porselen dalam kitcen set di dapur. Foto-foto keluarga
yang berderet di sepanjang dinding dekat tangga menuju lantai dua. Piano Stuttgart tua di sudut ruang keluarga.
Pun sebatang pohon mangga gedong di depan teras, yang rimbun daunnya menaungi
kursi rotan tua dari sengatan matahari sore.
Kata Bunda, piano dan kursi rotan itu adalah
peninggalan Eyang Kakung. Usianya
lebih tua dari usia Bunda. Kamu sering tersenyum sendiri saat membayangkan Eyang Kakung sedang duduk-duduk di kursi
rotan sambil berbincang dengan Bunda. Atau jemari Eyang yang sedang memainkan tuts-tuts piano, mengiringi suara
merdu bundamu yang menyenandungkan lagu Edelweiss.
Dari Eyang, kamu mulai belajar main
piano.
Namun
segalanya berubah ketika tante Mona datang. Gerhana bulan seperti sedang
menyelimuti hatimu. Sebetulnya kamu sudah menolak mentah-mentah, keinginan Ayah
untuk menikah lagi. Punya ibu tiri? Bermimpi pun kamu tidak.
“Tante
Mona itu baik loh Dis,” ucap Ayah sesaat setelah kamu diperkenalkan dengan
perempuan yang penampilannya fashionable
itu.
Kamu
hanya mengangkat bahu sambil mengangkat alis. Baik untuk Ayah, memang iya. Komentar yang hanya berani kamu
ucapkan dalam hati.
”Menurut
Ayah, gadis seusiamu itu butuh sosok seorang ibu, Dis,” kembali Ayah berusaha
mengemukakan alasan yang rasional, agar kamu menyetujui rencananya untuk
menikah dengan tante Mona.
“Sepertinya
Ayah, yang butuh seorang isteri!” jawabmu ketus.
“Gladis!”
Kamu
tidak memedulikan panggilan ayahmu. Kamu justru lari ke pohon mangga di depan
teras. Pohon yang ditanam oleh Ayah atas permintaan Bunda, untuk menandai
kelahiranmu. Bunda sangat menyukai mangga gedong. Bahkan menurut cerita Ayah, bundamu
hanya mau makan mangga gedong, pada awal-awal kehamilannya. Tak heran, jika
saat kamu bersandar di batangnya, kamu seolah sedang bersandar di bahu bundamu.
Pohon mangga gedong bisa menawarkan rindumu pada Bunda. Pohon mangga adalah
pengganti Bunda. Lantas kenapa harus ada tante Mona?
Rupanya,
dengan atau tanpa persetujuan darimu, Ayah tetap menikahi tante Mona. Hari yang
membahagiakan – tentu saja tidak berlaku untukmu. Ayah tersenyum lebar.
Tubuhnya sangat gagah dibalut dengan jas hitam dan hiasan dasi kupu-kupu. Tante
Mona bak puteri dalam dongeng, dengan gaun pengantin putihnya. Kamu merasa seperti
Alice yang sedang tersesat di negeri asing, di tengah pesta pernikahan ayahmu.
Tante
Mona meminta sesuatu yang tak bisa kau kabulkan di hari pertama ia masuk dalam
keluargamu.
“Aku
sekarang Mamamu, Dis. Please, panggil aku Mama, Okey?” Bibir yang dipoles lipstik merah
itu berusaha merayumu.
“Maafkan
saya Tante,” ucapmu kering. Bagimu hanya ada seorang ibu. Ada maupun tidak ada
di sisimu, hanya ada seorang ibu di hatimu.
“Gladis,
ayolah! Mama Mona sekarang mamamu!” Ayah ikut-ikutan mengingatkan kenyataan
yang sekarang sedang kau alami.
“Dis...
Dis tidak bisa, Ayah!” kembali kamu berurai air mata saat kamu berlari keluar,
menjumpai pohon mangga gedongmu. Di sana kamu akan tersedu dan mengadu.
@@
“Jadi,
sekarang kamu nggak mau potong rambut
nih?” tanya Noe sahabatmu.
Kamu
hanya menggeleng.
“Tapi
kenapa? Sudah bosan dengan gaya rambut cepakmu?”
“Kata
Tante Mona, gadis sepertiku akan tampak lebih cantik dan feminim dengan rambut
panjang,” jawabmu sedih.
Noe
tertawa tergelak.
“Itu
hanya awal Dis... Pertama-tama, ia akan mengatur penampilanmu. Lalu kamarmu,
rumahmu, bahkan mungkin ia akan mengatur apa-apa yang boleh dan tidak boleh
kamu makan, dengan siapa kamu boleh bergaul...”
“Noe!”
Kamu mulai marah.
“Kamu
tidak percaya? Terserah, tapi seperti itulah ibu tiri.”
Ibu
tiri... ibu tiri...
Setiap
kali kata-kata itu terdengar oleh telingamu, seperti ada duri yang menusuk
dalam hatimu. Dan kamu harus menelan ludahmu yang terasa pahit saat mengetahui
kebenaran kata-kata Noe. Kamu tercengang saat pulang dari sekolah.
“Tante,
kenapa kursi rotannya diganti?”
“Eh,
Gladis sudah pulang? Iya Dis, kursi rotan itu sudah terlalu tua. Bagaimana furniture pilihan Mama? Cantik kan?”
“Tapi
kursi rotan itu menyimpan banyak kenangan, Tante. Dengan Bunda, dengan
Eyang...”
“Gladis,
Yesterday is a history, tomorrow is a mystery, to day is a gift.
Mama hanya ingin, kamu tidak terbelenggu oleh masa lalu, karena hidup adalah
hari ini.”
“Terserah
Tante deh...”
Kamu
naik tangga, menuju kamarmu. Mengacuhkan ajakan makan siang darinya. Dan... what? Perutmu yang tadinya lapar serasa
menjadi penuh ketika melihat dinding sebelah tangga yang semakin penuh. Ada
foto-foto pernikahan ayahmu terpasang di sana. Foto yang mengabadikan senyum
manis tante Mona.
@@
Matamu
tertuju pada jus mangga yang isinya terus kau aduk-aduk dengan sedotan. Kali
ini kamu memutuskan untuk mampir ke kantor ayahmu sepulang sekolah.
“Ingat
Dis, Mama Mona itu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Jadi kalau
hanya masalah foto-foto pengantin yang dipasang di dinding dekat tangga...”
“Okey, fine Ayah. Tapi dia juga mengganti
kursi rotan di teras. Cangkir-cangkir porselen milik Bunda...”
“Kursi
rotan itu sudah terlalu tua. Dan cangkir-cangkir itu masih ada kok. Semuanya disimpan
dengan rapi oleh Mama.”
“Tapi
Yah, Tante Mona tidak pernah minta persetujuan dariku!”
“Karena
kamu selalu menghindar dan menjauh saat dia mengajakmu bicara. Cukup ya Dis,
sekarang pulanglah! Ayah masih banyak pekerjaan. Dan Mama pasti sudah meunggumu
di rumah.”
Mama...
mama...
Siapa
juga yang minta seorang mama? Hidupnya sudah cukup bahagia bersama Ayah dan
sejuta kenangan tentang Bunda.
Kamu
melangkah dengan gontai. Melewati paving
block yang mulai membasah. Tubuhmu juga sedikit membasah, ketika motor Noe
mendekatimu. Jarum-jarum langit mulai turun, seiring mendung yang semakin
menebal. Mendung juga masih menyelimuti hatimu.
“Bagaimana?”
“Tanggapan
Ayah?”
Noe
mengangguk.
“Aku
yang harus mengerti, Noe. Tante Mona itu sekarang bagian dari keluarga kita, Tante Mona
sekarang mamamu, bla... bla... bla...”
“Sekarang
mau pulang atau ngumpul bareng sama
teman-temanku. Kamu pasti happy deh
di sana.”
“Pulang,
Noe. Kata Ayah, Tante Mona pasti sudah menunggu di rumah.”
“Ciyeee....
yang sekarang sudah jadi anak mama....”
“Noe!!”
Kamu memukul punggung sahabatmu keras-keras, menyisakan suara mengaduh dari
mulut Noe.
Sekejap
kemudian motor yang membawamu sudah melaju dengan cepat. Meninggalkan kepulan
asap dan suara berisik, menyebabkan beberapa orang yang sedang duduk di halte
mendadak terserang batuk.
Kamu
rapatkan jaket kulitmu, ketika hujan semakin menderas. Sampai di Jalan Elang
Nomer 10, Noe menghentikan motornya. Kamu turun sambil mengucapkan terima
kasih.
Kedatanganmu
disambut oleh tante Mona yang segera mengambilkan handuk, penuh rasa khawatir. Sok baik. Pikirmu sambil menepiskan
tangan mama tirimu.
“Tapi
kamu kehujanan, Dis. Dari mana saja kamu sore begini baru pulang? Pasti bareng anak itu lagi. Mama punya firasat
kurang baik melihat penampilan temanmu itu Dis, siapa namanya?”
“Noe?”
“Jadi
namanya Noe?”
“Sudahlah
Tante, Dis lelah. Dis mau istirahat.”
Kamu
melirik sekilas ke arah tante Mona. Kamu lihat, ia sedang menghela napas
panjang.
@@
Minggu
sore yang cerah. Kamu sedang duduk di teras sambil mengunyah kuaci. Tentu saja
bukan di kursi rotan tua peninggalan Eyang
Kakung-mu, karena tante Mona sudah menggantinya dengan kursi yang cantik
dari bahan anyaman enceng gondok kering. Matahari sore menerobos dahan-dahan
pohon mangga gedong, menyapamu dengan sinar kuning lembutnya.
“Sedang
apa Dis?” tanya ayahmu yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahmu.
“Sedang
mengamati pohon mangga, Ayah. Lihat deh Yah, mangga mudanya mulai bermunculan.
Sebentar lagi kita akan panen mangga gedong.”
“Iya,
pohon mangga itu sudah cukup tua. Ayah khawatir dengan cabang yang mengarah ke
teras ini.”
Tiba-tiba
tante Mona datang sambil membawakan ayahmu segelas kopi. Hatimu langsung
mendung.
“Menurut
Mama pohon itu harus ditebang, Yah. Kalau ada angin, cabang itu bisa membahayakan
genteng teras rumah kita.”
“Dis
tidak setuju. Tidak ada seorangpun yang boleh menebang pohon itu,” ucapmu
ketus.
“Tapi
pohon itu sudah tua Dis. Kita bisa menggantikannya dengan tanaman yang baru.
Nanti kamu deh, yang nentuin mau
menanam pohon apa, ya kan Yah?” Tante Mona menengok ke arah Ayah, seolah meminta
persetujuan.
“Usul
Mamamu cukup masuk akal, Dis.” Ayahmu mulai berpihak kepada tante Mona. Dan itu
membuatmu merasa semakin sebal.
“Dis
cuma mau pohon mangga gedong itu, titik.” Kamu menjawab ketus, melahirkan
gelengan kepala dari kedua orang tuamu.
Lalu
kamu masuk ke dalam rumah, menuju ruang keluarga. Duduk di depan si Stuttgart tua, membuka penutupnya, lalu
mulai memencet tuts-tutsnya. Nada-nada dari lagu Ode to my family mulai mengalun lembut seiring dengan kakimu yang
menginjak celeste pedal. Lama-lama
gerakan jemarimu mulai menekan tuts kuat-kuat, dengan tempo yang semakin cepat.
Permainan pianomu berakhir saat kakimu menginjak una corda pedal dan damper
pedal secara bersamaan dengan tekanan penuh. Bersamaan dengan jemarimu yang
menekan tuts-tuts dengan sangat kuat. Braaanggg!!! Terdengar gaung yang khas
dan tak juga hilang. Mungkin seperti itulah gaung yang sedang bergema di
hatimu.
@@
Jadi
Ayah dan tante Mona sudah memutuskan bahwa pohon mangga itu harus ditebang.
Terlebih ketika tante Mona mengusulkan untuk merenovasi teras. Semakin bulatlah
keputusan ayahmu.
Noe
ikut prihatin saat kamu menceritakan kesedihanmu. Meskipun Noe tak bisa memahami
kebiasaanmu mencurahkan kesedihanmu kepada sebatang pohon mangga.
“Yang
bener aja Dis, masa aku harus cemburu
kepada sebatang pohon mangga?” tanya Noe sambil tersenyum.
“Kenapa
Noe?” tanyamu sambil menatap mata Noe, menyelami kesungguhan kata-kata yang
keluar dari bibir cowok yang ada di depanmu.
“Ah,
nggak. Maksudku, harusnya sejak dulu
kamu curhatnya ke aku saja, jangan kepada sebatang pohon. Minimal aku bisa
memberimu solusi.”
“Terus
apa solusimu?” tanyamu dengan mata berbinar.
“Ikutlah
denganku. Akan kuajari kamu, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan.”
Dengan
sigap, kamu naik di boncengan sepeda motor Noe. Lalu motor itu meraung,
meninggalkan halaman sekolah yang mulai sepi.
Kamu
tak ingin pulang ke rumah. Kamu tak ingin melihat pohon kesayanganmu tumbang.
Maka kamu memutuskan untuk mengikuti Noe. Kamu nyaman bersama Noe. Jika memang
pohon itu harus tumbang, sekarang kamu telah menemukan tempat curhat yang
nyaman. Dialah Noe, sahabat yang siap mengantarkanmu ke mana saja. Bahkan untuk
mencari kebahagiaan yang sekarang ini sulit kau temui di rumah.
Noe
melajukan motornya sangat kencang. Kamu merentangkan kedua tanganmu lebar-lebar,
seperti merpati yang sedang mengepakkan sayapnya. Dan kamu merasa seperti
sedang terbang. Kamu meminta Noe, menarik gas lebih dalam lagi. Noe tertawa.
Kamu tertawa. Hingga Noe tak menyadari kedatangan sebuah mobil yang melaju
kencang dari arah yang berlawanan. Kamu hanya sempat mendengar suara ban mobil
berdecit dan suara tumbukan yang sangat keras, lalu segalanya menjadi gelap.
Dari kegelapan itu, tiba-tiba muncul sosok bundamu yang sedang tersenyum.
”Bunda...”
teriakmu gembira.
Namun
Bundamu pergi menjauh sambil melambaikan tangannya. Kamu terduduk sambil
menangis tersedu.
@@
Matamu
yang terpejam perlahan mulai membuka sekejap, lalu menutup lagi karena merasa
silau. Saat kamu membuka mata untuk kedua kalinya, kamu merasakan kedua pipimu
membasah. Dan kamu mulai menyadari bahwa kamu tengah berada dalam ruangan yang
serba hijau. Jelas, bukan kamarmu. Inikah
surga itu? Tanyamu dalam hati. Namun telingamu mendengar suara mesin ECG
yang menampilkan grafik turun naik secara teratur. Ada selang kecil di lengan
dan juga lubang hidungmu.
”Syukurlah
kamu sudah siuman, sayang,” bisik seorang perempuan yang semula kamu kira sebagai
bundamu.
”Apa...
yang terjadi?” tanyamu gemetar
”Kamu
koma selama seminggu. Kamu kehilangan banyak darah setelah kecelakaan itu.
Untung Mama memiliki golongan darah yang sama denganmu,” ucap ayahmu.
”Jangan
bergerak dulu!” bisik Tante Mona khawatir, ketika melihat gelagatmu yang ingin
mengangkat kepala.
”Noe?”
tanyamu sedih.
”Noe
sudah tiada, Nak. Dari pemeriksaan yang dilakukan dokter, darah Noe mengandung
zat adiktif,” ucap ayahmu hati-hati.
Kamu
merasa sedih. Bukan saja karena kehilangan seorang sahabat. Tetapi juga
menyadari kenyataan bahwa Noe seorang pecandu narkoba.
“Oh
iya, Ayah membawa satu berita gembira. Akhirnya kami memutuskan untuk
membatalkan menebang pohon manggamu.”
“Kenapa
Yah?” tanyamu heran. Tapi Ayahmu justru menengok ke arah tante Mona.
“Karena
Mama sekarang suka makan mangga gedong yang masih muda. Mama hamil Dis,
sebentar lagi kamu akan punya adik,” ucap tante Mona sambil tersenyum.
“Selamat....
Ma...”
Tante
Mona memandangmu seolah tak percaya. Namun hanya sesaat, karena kamu segera
merasakan pelukan hangatnya. Sekarang kamu mulai mengerti. Mama memang bukan
Bunda dan tak bisa seperti Bunda. Karena tak ada yang bisa menggantikan Bunda
di hatimu. Namun setidaknya, Mama Mona bisa menjadi sahabatmu. @selesai@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar