Livi selalu
berharap, keajaiban akan datang tahun ini. Hampir setiap akhir tahun;
ketika malam pergantian tahun; saat keluarga besar papanya berkumpul dan
berdoa bersama, doanya tidak pernah berubah: keajaiban akan datang
untuk dia dan Papa. Dan doa Livi sendiri adalah: Mama akan berkumpul
kembali dengannya dan Papa. Mereka akan kembali menjadi keluarga kecil
yang utuh dan bahagia.
Sejak Mama memutuskan untuk berpisah dengan Papa dua tahun lalu, Livi merasa menjadi gadis tidak beruntung. Ia berubah jadi pendiam, tertutup dan membatasi diri. Ia cenderung tak percaya pada kebaikan dan perhatian orang lain padanya. Ia menjadi terbiasa untuk tidak percaya pada siapa pun. Keluarga yang tidak utuh serta kekecewaan pada orang terkasih yang merenggut kebahagiaan dan keceriaan masa remajanya, membuat Livi tidak percaya bahwa cinta itu menghangatkan seperti matahari setelah hujan; seperti yang sering Mama katakan padanya. Dulu. Tepatnya setelah sebuah keluarga yang harmonis, utuh dan penuh dengan cinta kasih terenggut dari kehidupannya. Saat gadis remaja seusianya perlu teman berbagi banyak hal dan sangat butuh perhatian serta kasih sayang dari seorang perempuan yang dipanggil mama.
Sejak Mama memutuskan untuk berpisah dengan Papa dua tahun lalu, Livi merasa menjadi gadis tidak beruntung. Ia berubah jadi pendiam, tertutup dan membatasi diri. Ia cenderung tak percaya pada kebaikan dan perhatian orang lain padanya. Ia menjadi terbiasa untuk tidak percaya pada siapa pun. Keluarga yang tidak utuh serta kekecewaan pada orang terkasih yang merenggut kebahagiaan dan keceriaan masa remajanya, membuat Livi tidak percaya bahwa cinta itu menghangatkan seperti matahari setelah hujan; seperti yang sering Mama katakan padanya. Dulu. Tepatnya setelah sebuah keluarga yang harmonis, utuh dan penuh dengan cinta kasih terenggut dari kehidupannya. Saat gadis remaja seusianya perlu teman berbagi banyak hal dan sangat butuh perhatian serta kasih sayang dari seorang perempuan yang dipanggil mama.
Sampai
sekarang Livi masih belum mengerti: mengapa orang dewasa begitu egois?
Baru setahun berpisah, Mama sudah menikah lagi dengan kekasih di masa
SMA-nya dulu. Apa pun alasan Mama-Papa menikah–kata Mama karena
dijodohkan orang tua– toh sudah ada dirinya sebagai buah cinta mereka.
Setidaknya lima belas tahun bersama tentunya banyak kenangan dan momen
manis yang terjadi. Tetapi, Mama lebih memilih meninggalkan dia dan
Papa. Hanya untuk mengejar cinta masa mudanya.
Cinta? Cih!
Livi tidak percaya seorang ibu yang mencintai anaknya memilih hidup
dengan pria lain. Malangnya, ia terlahir dari ibu seperti itu; yang
lebih mencintai pria lain dan mengorbankan kebahagiaan anaknya. Sampai
sekarang, Livi tidak pernah mengerti betapa rumitnya jalan pikiran Mama.
Setiap kali mengingatnya, ia merasa sedih, terluka dan juga benci.
Seharusnya, Tuhan tidak membiarkan keluarganya terpisah. Di dunia ini
Livi hanya punya papa dan mama. Livi bukan orang yang mudah bergaul.
Tidak heran bila selama dua tahun ini ia merasa sendiri dan kesepian.
Bukan karena Papa tidak punya waktu untuk berbincang dengannya, tapi
Livi tidak mau membebani pikiran Papa dengan keluhan dan rengekan yang
akan membuat Papa sedih. Livi tahu, Papa juga terluka, meski Papa tidak
memperlihatkannya.
"Apa Papa
nggak kangen Mama?" pertanyaan konyol itu sering Livi lontarkan di awal
perpisahan mereka. Biasanya, Papa membutuhkan jeda waktu untuk
menjawabnya. Dan selalu diawali dengan helaan napas panjang.
"Papa akan
merasa kangen dan kehilanganmu seandainya kamu tidak memilih tinggal
dengan Papa. Papa hanya ingin melihatmu tumbuh menjadi gadis dewasa dan
mandiri. Maafkan Papa karena Livi harus mengalami semua ini," suara Papa
dalam dan terlalu berhati-hati saat berujar.
Sejak itu
Livi tidak pernah tega melontarkan pertanyaan tentang mama lagi. Livi
ikut sedih dan tidak enak hati karena pertanyaannya mengusik kesedihan
Papa. Tidak seharusnya ia mengorek luka lama Papa. Karena ia yakin,
lukanya belum sembuh benar. Dulu, di awal perpisahan orang tuanya, Livi
masih berharap mereka akan bersama kembali. Tak pernah sekali
pun–menjelang tidur malamnya–Livi lupa berdoa dan memohon, Tuhan
memberinya sebuah mukjizat: Mama terketuk hatinya untuk kembali
berkumpul bersama sebagai keluarga lagi. Namun, setahun lebih Livi
menanti keajaiban itu datang, hanya kekecewaan yang ia dapat yang
memperparah kesedihannya. Bahkan, membuat luka hatinya semakin dalam.
Mama menikah lagi dengan Om Amos, pacar Mama saat kuliah yang harus Mama
putuskan karena dijodohkan dengan Papa!
Sekarang, Livi tidak percaya lagi bahwa mukjizat itu ada. Setidaknya untuk dirinya.
"Livi, Papa
akan merasa berterima kasih bila Livi mau meluangkan waktu Livi untuk
bersenang-senang dan bergaul dengan teman-teman Livi," ujar Papa setiap
kali memergoki putrinya melamun atau lebih suka menghabiskan waktunya di
kamar daripada berkumpul dengan teman-teman sebayanya.
"Apa pun
yang kita lakukan atas dasar cinta tidak ada yang salah. Demikian pula
dengan mamamu. Mama berhak mendapatkan kebahagiaannya walau menurut
pandangan Livi tindakan dan keputusan mama melukai hati Livi.
Mengecewakan dan merenggut kebahagiaan Livi. Sekarang, tergantung
bagaimana Livi akan menjalani hidup Livi agar bisa bahagia. Jangan
biarkan kesedihan dan kekecewaan merenggut semuanya dari hidup Livi,"
suara Papa begitu tenang dan lembut di telinga Livi. Tak lupa Papa
mengelus-elus rambutnya penuh kasih.
Sejenak, Livi menatap Papa dalam keburaman pandangannya yang mulai berkabut karena uap panas yang menerjang matanya.
"Ada
saatnya Livi harus melepaskan sesuatu yang melukai hati Livi. Bila kamu
tidak mau berdamai dengan hatimu, yang ada hanya kesepian panjang yang
akan kamu rasakan. Papa tidak mau putri Papa yang sangat Papa sayangi
ini mengalaminya. Papa akan merasa sangat sedih dan bersalah karena Papa
telah gagal menjadi ayah yang baik untuk Livi. Bagaimanapun, Livi
adalah sumber kebahagiaan Papa."
Livi tidak
kuasa untuk tidak memeluk Papa. Ia merasa terharu dan sedikit malu
karena tidak hanya dirinya yang sebenarnya terkena imbas dari perceraian
itu. Papa juga! Terlalu egois bila hanya perasaannya sendiri yang ia
pikirkan. Tidak seharusnya ia terpuruk menangisi dan meratapi
kehidupannya yang malang. Bila ia mau menghitung berkat yang telah ia
terima sepanjang umur hidupnya, mungkin ia akan takjub karena tak akan
sanggup menghitungnya. Jangan hanya fokus pada dua tahun terakhir yang
penuh kesedihan dan penderitaan. Bukankah selama dua tahun terakhir ini
Papa selalu ada untuknya? Dan selalu melakukan yang terbaik untuk
kebahagiaannya? Selama ini mata hatinya seolah dibutakan oleh
ketidakpuasannya saja dan selalu menyalahkan keadaan.
"Dalam
sebuah keluarga tidak ada yang sempurna. Tinggal bagaimana kita
menyikapinya. Usahakan untuk selalu bersyukur dalam segala hal dan
perkara. Jangan pernah merasa tidak puas sehingga menyalahkan keadaan.
Dengan begitu Livi akan semakin merasakan bahwa berkat Tuhan itu tak ada
batasnya buat hidup kita," lanjut Papa masih dengan suara yang lembut
dan tenang serta tangan kukuhnya yang membelai rambut Livi.
Semua
kata-kata Papa membekas dalam di hati Livi. Jika Livi tahu bagaimana
surga itu, mungkin semua kata-kata Papa seperti nyanyian dari surga.
Sangat merdu, syahdu dan menentramkan jiwanya.
Untuk memperbaiki sikapnya selama ini yang telah membuat papanya bersedih, Livi
tidak menolak ajakan Papa untuk pergi makan malam di rumah seorang
kenalan Papa. Sepanjang usianya, hingga saat ini, belum pernah Livi
bersedia diajak makan malam bersama relasi, kenalan, bahkan makan malam
keluarga sekalipun. Sepengetahuan Livi acara seperti itu sangat
membosankan dan hanya dilakukan oleh orang dewasa!
"Papa akan mengenalkan seseorang padamu. Kamu pasti terkejut," Papa tersenyum lebar dengan mata menggoda.
Alis mata Livi hampir bertaut saat menatap Papa dengan sinar penasaran sekaligus curiga.
"Papa nggak
bermaksud menjodohkan Livi, 'kan? Ingat, Pa, Livi masih kelas sebelas
dan Livi nggak tertarik dengan cinta-cintaan," papar Livi dengan mimik
cemberut.
"Tentu
saja, Sayang. Papa tidak akan mengulangi hal yang sama pada putri Papa
sendiri, kecuali... kalian memang ditakdirkan untuk bersama," Papa
berujar ringan sembari tertawa kecil.
Livi
membalas olokan Papa dengan cibiran. Wajah seseorang yang sudah setahun
ini lekat di ingatannya melintas di matanya. Seorang kakak kelas yang
selalu bersikap baik dan perhatiaan padanya. Yang selalu mencari-cari
alasan agar bisa menegur dan menemuinya di kelas, namun ia selalu
bersikap cuek dan dingin. Bukan karena Livi tidak menyukainya, tapi ia belum mau membuka hatinya untuk siapa pun.
Makan malam
di rumah Om Johan tidak seperti yang Livi bayangkan. Suasananya hangat
dan menyenangkan. Penuh kekeluargaan. Tidak kaku dan menjemukan. Pembicaraan dan celoteh ringan kerap terlontar selama makan malam.
Dan seperti janji Papa yang akan mengenalkannya dengan seseorang, ternyata benar-benar membuatnya surprise.
Bahkan mampu membuat Livi terpaku dan tak mampu berkata-kata manakala
sosok yang membukakan pintu adalah sosok yang setahun terakhir ini
berusaha menarik perhatiannya: Moses! Moses Tiberias. Bagaimana mungkin?
"Senang
bertemu denganmu, Livi. Selamat malam Om Thomas, Livi. Papa dan Mama
sudah menanti kedatangan kalian," sambut Moses dengan senyum lebar dan
hangat.
"Terima kasih sudah mengundang kami. Oya, Moses, ini Livi putri Om tersayang. Seperti katamu, kalian sudah kenal baik, 'kan?"
Seolah
tidak memberi kesempatan pada Livi untuk bertanya atau menduga-duga
sejauh mana kedekatan papa dengan Moses, ia sudah menarik halus tangan
Livi.
"Mereka
perlu waktu untuk mengobrol. Ayo, kita ke teras atas saja, di sana lebih
menyenangkan, kecuali kalau kamu lebih tertarik mendengar obrolan orang
tua kita," Moses berbisik tepat di telinga Livi, seakan sudah kenal
dekat.
Livi tidak
mampu berkata-kata. Masih terkejut sekaligus bingung dengan keramahan
dan kehangatan sikap Moses. Seingatnya, sikapnya terhadap Moses jauh
dari kesan ramah dan bersahabat. Ia selalu membalas teguran atau sapaan
Moses sekadarnya. Terkadang pura-pura tidak melihat bila berpapasan.
Apalagi sampai berbincang akrab! Tapi, kok...?
"Nggak nyangka kita akan bertemu di sini, 'kan?" celoteh Moses, memahami isi kepala Livi.
"Sebenarnya
aku sudah kenal papamu sebelum aku kenal kamu. Papamu selalu cerita
tentang kamu. Selalu tentang kamu dan keinginannya yang besar agar bisa
melihat kamu seperti dulu lagi. Ceria, selalu bersemangat dan mau
bergaul dengan teman-temanmu; tidak mengurung diri terus di kamarmu,"
Moses berhenti sejenak, melirik ke arah Livi sembari tersenyum hangat.
"Karena
itu, saat Om Thomas meminta aku untuk mendekatimu dan berusaha
mengajakmu berteman, aku setuju. Apalagi setelah aku tahu, ternyata kamu
terlalu manis untuk aku tolak," Moses mengerling nakal ke arah Livi dan
ia merasa lega saat melihat wajah Livi yang tersipu.
"Sayangnya,
usahaku selama setahun ini nggak berhasil membuat kamu kembali seperti
yang papamu harapkan. Jangankan untuk membuatmu berubah, untuk
mendekatimu saja rasanya sulit sekali. Kamu selalu cuek dan dingin;
membuat aku frustrasi. Mungkin karena aku memang tidak menarik di
matamu, 'kan?” tanya Moses tiba-tiba.
Livi tergagap. Tanpa sadar menggelengkan kepalanya. Ada senyum kecil di bibir Moses yang tidak tertangkap matanya.
"Bukan
begitu," Livi tak kuasa untuk tak berujar, tapi terlalu malu untuk
mengakui bahwa perasaannya terhadap Moses tidak sama dengan sikapnya
selama ini.
"Aku iri padamu, Livi. Kamu tahu, kamu memiliki ayah yang luar biasa."
Livi tak
mampu lagi menahan uap panas yang menerjang matanya. Kata-kata Moses
membekas dalam di sanubarinya. Kesadaran akan besarnya limpahan kasih
Papa selama
ini, membuat Livi tak mampu menahan butiran bening itu pecah dan jatuh
di pipinya dan membentuk parit kecil. Saat Livi masih sibuk menghapus
air matanya, Moses meletakkan tangannya di bahu gadis itu dan
menepuk-nepuknya halus. Dada Livi terasa berdesir halus.
"Ingat satu
hal: jangan pernah menyia-nyiakan orang yang sayang dan peduli padamu,"
ucap Moses kemudian penuh tekanan. Terdengar lembut dan menetramkan.
Livi pun menggeser posisi duduknya dan menghadap tepat di muka Moses.
"Terima kasih karena kamu mau berusaha untuk aku," ujarnya pelan dan bergetar.
Moses mengangguk, masih dengan senyumnya yang hangat.
"Aku senang melakukannya. Jika Papamu tidak memintaku, mana mungkin aku mengenalmu. Aku bersedia kok menjadi rumahmu."
"Rumah?" Livi menatap Moses, bingung.
"Iya. Kapan pun kamu mau datang, aku akan selalu ada. Apa pun suasana hatimu."
Livi
terpana, dengan mulut setengah terbuka. Ia bersyukur karena Papa telah
mengirimkan seorang yang baik seperti Moses. Kesempatan untuk mengenal
Moses lebih dekat masih terbentang di hadapannya. Mungkin ia harus
menata hati dan perasaannya dulu. Dimulai dengan memaafkan Mama dan mau
menerima serta menghargai keputusannya. Meski yang ia lakukan tak akan
mengubah masa lalu, namun Livi berharap akan mengubah masa depan jadi
lebih baik.
Sebuah
mukjizat? Ya, mungkin Moses adalah satu dari sekian mukjizat yang
telah Tuhan persiapkan untuknya. Untuk menemaninya menapaki masa remaja
yang seharusnya ceria.* (@analydiap07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar