Oleh:
Utami Panca Dewi
BRIN
Pagi
datang, mengantarkanku pada sebuah bangunan asing. Aku memasuki gerbangnya dengan
langkah gamang. Sekolahku yang baru. Adakah keramahan di dalamnya, ataukah
cercaan dan hinaan seperti yang pernah kudapatkan di sekolahku yang lama?
Beberapa saat kemudian tatapan-tatapan mata penuh selidik menyergapku. Aku
berjalan dengan kepala tertunduk, sehingga tak kulihat seseorang yang berjalan
tergesa dari arah yang berlawanan. Tepat di koridor depan aula, aku bertabrakan
dengannya. Kutangkap kelam dalam bola mata itu sekejap, lalu kualihkan
pandanganku ke arah lantai, di mana buku-bukuku jatuh terserak.
“Aduh
maaf ya,” ucapnya sembari membantu memunguti dan menata buku-bukuku yang jatuh
berserakan.
Aku
sibuk menata hatiku sendiri. Seperti pesan oma, aku harus berhati-hati dengan
teman baru. Oma sudah berjanji kepada papa untuk menjagaku. Jika mungkin,
bahkan oma ingin mengantarkan aku sampai ke sekolah. Menungguiku seperti saat
aku masih duduk di taman kanak-kanak dulu. Ingatan tentang oma, membuatku
berusaha menjaga jarak darinya.
“Bara...”
panggil seseorang dari kejauhan sambil melambaikan tangan.
Oh,
jadi namanya Bara. Aku tak cukup punya waktu untuk memikirkan jawaban yang
pantas aku katakan untuk menanggapi permintaan maafnya. Dia menyerahkan
buku-bukuku, lalu menatapku dengan bola mata yang menyiratkan kata-kata minta
diri. Bibirnya tersenyum ramah. Tarikan bibirnya tak begitu sempurna, sehingga
menghasilkan senyum miring yang aneh. Aku menunduk lebih cepat dari kilat cahaya
yang keluar dari matanya.
“Namaku
Brin,” ucapku sesaat setelah tubuhnya beranjak menjauh. Hei, dia bahkan tidak
menanyakan namaku. Aku takjub sendiri dengan kata-kata yang baru saja kuucapkan.
Apakah kehilangan banyak sahabat membuatku ingin segera mendapatkan teman baru?
Aku menyangsikan hal itu. Selama ini aku merasa lebih nyaman saat sendiri.
Kulirik sebaris nama di dada kanan baju seragamku. Sabrina H. Prayudi. Nama
papa terikat erat dalam namaku. Dulu hal itu menimbulkan rasa bangga. Sekarang,
lesap ke manakah rasa bangga itu?
@@
BARA
Aku melihatnya lagi di perpustakaan
sekolah. Gadis yang tadi pagi bertabrakan denganku di koridor. Sepertinya aku
belum pernah melihat gadis itu di sekolahku. Apakah ia anak baru? Duuh... mata
itu. Kenapa seperti ada berjuta kesedihan mengendap di sana? Ia hanya dua kali
menatapku sekilas untuk kemudian menunduk. Seperti seekor siput yang ingin
menyembunyikan tubuh di dalam rumah cangkangnya. Sungguh aku ingin berkenalan
dengannya. Sayang sekali tadi Reya memanggilku. Kalau tidak, aku pasti sudah
mengulurkan tangan dan menyebutkan namaku.
Upss... ia berada di rak buku-buku
sastra. Selera yang berbeda. Di saat gadis-gadis lain sibuk memilih novel-novel
teenlit dan memilah-milah majalah, ia justru menyentuh buku-buku sastra.
Jemarinya mengelus lembut, seolah menyentuh benda-benda yang sangat berharga.
Bibirnya bergerak-gerak, seperti sedang berbicara dengan deretan buku-buku itu.
Tapi tunggu dulu. Jangan-jangan ia berlama-lama di balik rak buku sastra hanya
karena ingin menyendiri. Tak mau diserang penasaran lebih lama, aku memutuskan
untuk mendekatinya.
“Hai...” sapaku.
Mata beningnya kelihatan terkejut
saat menatapku. Seperti dugaanku, ia segera mengalihkan pandangannya kepada
buku-buku yang tertata rapi di rak.
“Aku ingin membaca...”
“Buku ini sudah lama aku cari...” Telapak
tangan kami menyentuh buku yang sama dalam waktu yang bersamaan. Bumi Manusia,
karya Pramoedya Ananta Toer.
“Baiklah, buku ini untukmu. Tapi berjanjilah,
setelah kamu selesai membacanya, tolong pinjamkan kepadaku ya!” ucapku mencoba
mengalah.
Ia kelihatan kikuk dan canggung.
Kueja secarik kain bertuliskan nama yang tertempel di baju seragamnya. Namun ia
berusaha menutupi dengan rambut ikalnya yang tergerai.
“Ehmmm.. boleh kita berkenalan? Aku
Bara.” Kuulurkan tanganku. Ia menyambut, namun mukanya masih menunduk.
“Brin,” bisiknya lirih.
“Okey Brin, kamu bisa langsung ke
petugas perpustakaan untuk mencatatkan bukumu.” Ia meninggalkanku dengan aura
kelegaan yang jelas terpancar dari bola matanya. Tuhan, kenapa ia begitu
berbeda? Mungkin aku harus menanyakan hal ini kepada mama.
@@
BRIN
Aku duduk sendirian di halte depan
sekolah, menunggu angkot yang akan mengantarku pulang. Kini aku harus
membiasakan diri, karena tak ada lagi mobil mewah dan sopir pribadi. Pasti di
rumah, oma sedang cemas memikirkan aku. Oma begitu takut saat aku melangkah
keluar rumah sendirian. Beberapa kali oma meminta ijin kepada papa agar aku
diikutkan program home schooling
saja. Tetapi papa bilang, lebih baik aku tetap belajar di sekolah umum, agar
tetap bisa bersosialisasi dan memiliki teman-teman sebaya. Oma sangat
berharap, kepindahanku ke sekolah baru
bisa mengembalikan aku menjadi Brin yang dulu. Brin yang ceria. Kapan senyum
dan tawa itu terakhir kali menghiasi bibirku? Bahkan aku sudah lupa.
Setelah
kehilangan mama, oma seolah tidak ingin kembali kehilangan untuk yang kedua
kalinya. Oma seolah tak bisa melepaskanku sedetik pun dari pandangannya. Hanya
alasan pergi ke sekolah yang bisa diterima oma. Selebihnya, aku harus selalu
bersama oma. Juga saat aku berkonsultasi dengan Dr Shinta M. Faraz, M. Psi.
Angkot
yang kutunggu sudah datang. Gegas aku naik, berbaur dengan penumpang lainnya.
“Aku
pulang....” teriakku sesampai di pintu rumah.
Oma
menengok. Kelegaan jelas terpancar di wajahnya saat melihatku.
“Kenapa
terlambat, Brin? Sore ini kamu ada jadwal dengan Bu Shinta. Lupa?”
“Brin
sudah tidak pernah nangis-nangis lagi Oma, untuk apa kita pergi konsultasi?”
“Sampai
kamu bisa menyesuaikan diri dan diterima di lingkungan sekolahmu, Brin.”
“Brin
mau istirahat dulu, Oma.”
Suaraku
seperti sebuah keluh. Kutinggalkan Oma, setelah mencium pipinya sekilas.
“Makanlah
dulu, Brin!”
“Masih
kenyang Oma...”
Oma
pasti kecewa karena aku tak memedulikan tawarannya untuk makan siang. Padahal
aku yakin, oma pasti sudah memasak udang saus tiram dan sup brokoli tofu
kegemaranku. Aku hanya ingin menyendiri. Hari pertama di sekolahku yang baru benar-benar
membuatku merasa begitu letih.
@@
BARA
Baru kali ini aku dibuat penasaran
oleh seorang gadis. Dan gadis itu selalu menghiasi lamunanku akhir-akhir ini.
Brin. Kesedihan seperti apa yang bersembunyi di sebalik mata bening itu? Aku
ingin bertanya kepada mama, tetapi mama akhir-akhir ini selalu sibuk. Aku memutuskan
untuk belajar. Tetapi yang kulakukan justru hanya mencorat-coret halaman
bukuku, menuliskan namanya.
“Bara belum tidur?” suara mama
mengagetkanku.
“Eh, Mama. Belum Ma...”
“Ada yang kamu pikirkan?”
“Boleh Bara bertanya Ma?
“Memangnya
Mama selama ini melarangmu untuk bertanya?”
Aku
tersenyum malu.
“Apa
yang terjadi bila seorang gadis terlihat gugup saat berkenalan? Kepalanya
selalu tertunduk dan menghindari kontak mata secara langsung...”
“Oh, jadi kamu sudah mulai menyukai
seorang gadis ya?”
“Bukan begitu Ma, tapi teman baruku
itu agak aneh. Ia suka ke perpustakaan sendiri dan seperti bergumam sendiri
saat berhadapan dengan buku-buku.”
“Dia masih malu barangkali dengan
lingkungannya yang baru?”
“Setiap istirahat dia selalu
berjalan cepat-cepat ke arah perpustakaan. Seolah berada di dalam kelas yang
ramai merupakan siksaan tersendiri.”
“Isolasi sosial.”
Lalu mama menjelaskan penyebab
terjadinya isolasi sosial. Rasa rendah diri karena sebuah trauma, penolakan
dari lingkungan, frustasi berulang. Mungkin juga karena adanya tekanan dari
kelompok teman sebaya.
“Ajak dia untuk terus berkomunikasi.
Libatkan dia dalam suatu kegiatan berkelompok!”
Aku mengangguk. Dalam hati aku
berjanji, suatu saat pasti aku akan bisa membuatnya tersenyum.
@@
BRIN
Aku sedang duduk sendirian di halte
bus, ketika cowok itu menghentikan motornya tepat di depanku. Aku sedikit
kikuk, namun sudah mulai berani menatap matanya agak lebih lama. Aku teringat
pesan Bu Shinta. Usahakan untuk
memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan
harianmu. Aku rasa Bara teman yang baik. Bahkan akhir-akhir ini aku selalu
mengingat namanya. Mungkin karena ia adalah orang pertama di sekolah baruku
yang mau menyapaku dengan ramah.
“Hei... masih ingat dengan janjimu?”
“Janji?”
“Bukankah kau berjanji akan
meminjamkan buku itu? Kamu sudah selesai membacanya kan?”
Aku mengangguk. Kubuka tasku dan
kuraih buku itu untuk kuserahkan kepadanya. Dia menimang-nimang buku itu,
mengucapkan terima kasih lalu menatapku sambil tersenyum. Tarikan bibir tak
sempurna, senyuman miring khas milik Bara. Ini kali yang kedua aku berani
menentang tatapan matanya. Entah kenapa kali ini aku mulai lebih berani.
“Karena kamu sudah berbaik hati,
bagaimana kalau aku mengantarmu pulang? Kamu tidak keberatan kan?”
Pipiku memerah dadu karena
tawarannya. Sepertinya aku tak punya pilihan lain. Langit digelayuti mendung
dan angkot tak juga datang. Aku beranjak untuk menuruti ajakannya. Langit
semakin gelap. Pasti di rumah, oma sedang menungguku dengan gelisah.
@@
BARA
Suatu hari dengan malu-malu, Brin
menunjukkan buku kumpulan puisinya kepadaku. Aku takjub, Ternyata ia suka
menulis puisi. Dan puisinya bagus-bagus. Itu cukup menjadi alasan bagiku untuk
mengajaknya bergabung dalam kepengurusan mading sekolah.
Brin
menggantikan posisi Dido yang pindah sekolah ke luar negeri. Mula-mula ia merasa
canggung saat berhadapan dengan Reya. Namun aku berhasil meyakinkan Brin, bahwa
ia mampu bekerja. Tapi aku justru tidak bisa meyakinkan Reya.
“Kenapa
kau ajak si Culun itu bergabung bersama kita?” tanya Reya dengan sengit.
“Ia
pandai menulis puisi, Re.”
“Itu
saja tak cukup Bara. Sebagai anggota tim, ia juga harus jeli dalam menilai
karya, mampu berkomunikasi dengan teman satu tim. Kita team work Bara, tidak bisa bekerja sendiri-sendiri!”
“Aku
rasa Brin bisa diajak bekerja sama, Re. Dia hanya perlu waktu.”
“Sampai
kapan? Sampai ia bisa mengatasi rasa rendah dirinya? Sampai ia bisa menerima
kenyataan bahwa papanya dipenjara karena kasus korupsi?”
“Maksudmu?”
“Jadi
kamu belum tahu ya? Brin itu putri tunggal Hendrawan Prayudi, Bara. Pejabat
yang sekarang harus menjalani hukuman karena kasus korupsi!”
“Reya!!”
Aku
baru menyadari, ternyata ada sepasang
mata bening yang mengawasi kami dari pintu. Mungkin sepasang telinganya juga
sudah terlanjur mendengarkan pembicaraan kami. Sehingga sepasang mata itu
segera menjadi berkabut dan siap menurunkan tetes hujan. Brin berlari menjauh
sambil membawa sekerat luka di hatinya.
“Brin,
tunggu!” teriakku sambil mencoba menyusulnya. Namun tangan Reya menahan
langkahku. Dan Brin tetap berlari
menembus gerimis yang semakin melebat.
@@
BRIN
Aku berlari menembus hujan. Tak
kupedulikan lagi panggilan Bara. Jelas sudah. Mereka sama saja dengan
teman-teman lamaku. Menghina dan menimpakan dosa papa kepundakku. Tidakkah
mereka tahu bahwa aku sudah sangat menderita, bahkan hanya oleh tatapan sinis
mereka? Tidakkah mereka tahu, bahwa aku harus mengobati luka hatiku, karena
harus kehilangan mama untuk selamanya? Mama yang terkena serangan jantung saat
mendengarkan vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada papa.
Untunglah angkot segera menelan
tubuh kuyupku, dan membawaku pergi. Aku tidak tahu apakah esok aku masih punya
kekuatan untuk menjejakkan kakiku di sekolah. Dosa papa rupanya terus
mengikutiku, walau aku sudah pindah ke sekolah yang baru.
“Brin, apa yang terjadi?” tanya oma
dengan cemas.
Aku hanya bisa menangis dalam
pelukan oma. Sore itu aku kembali harus datang berkonsultasi ke tempat praktik
bu Shinta. Seperti yang sudah-sudah, bu Shinta selalu menyambutku dengan
pelukan. Aku selalu memejamkan mata, setiap kali berada dalam pelukan bu Shinta.
Dalam bayanganku, mamalah yang sedang memelukku. Dan ingatan tentang mama
selalu membuat kedua mataku berembun.
“Jadi Brin besok pagi tidak mau
berangkat ke sekolah?”
Aku mengangguk ragu.
“Coba, sekarang kamu pikirkan
keuntungan dan kerugian saat kamu meninggalkan pelajaran di sekolah!”
Aku terdiam memikirkan jawaban atas
pertanyaan bu Shinta. Berbagai peristiwa berseliweran dalam benakku.
Teman-teman sekelas yang selalu menyapaku dengan ramah. Guru-guru yang
membuatku sedikit bisa melupakan kesedihanku. Dan Bara... Menurutku, ia cowok
paling tulus yang telah berhasil menanamkan kembali rasa percaya diriku.
Mungkin aku harus mulai berusaha
memampukan diriku sendiri untuk menghadapi sosok teman seperti Reya.
“Brin pernah mendengar teori 1/12?”
tanya bu Shinta membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng ragu.
“Setiap 1 kesalahan dalam hidup,
baru bisa dilupakan orang lain dengan minimal berbuat 12 kebaikan. Kalau hal
yang menimpa papamu kamu anggap sebagai satu kesalahan, maka kamu harus
melakukan 12 kebaikan agar orang bisa melupakan kesalahan papamu.”
“Maksud... Ibu?”
Bu Shinta menepuk bahuku sambil
berkata,”Berprestasilah, agar orang menghargai kamu karena prestasimu!”
@@
Pagi itu terasa ada yang berbeda.
Semua teman menyalamiku dan mengucapkan selamat, karena puisiku dimuat di
majalah SAHABAT. Bahkan Reno sang ketua kelas berteriak dengan girang, “Kita
sekarang punya seorang pujangga. Namanya Sabrina H. Prayudi!” Teman-teman
menyambut teriakan Reno dengan tepuk tangan riuh.
Aku
terbengong-bengong keheranan. Sepertinya aku belum pernah mengirimkan sepotong
puisi pun di majalah itu. Aku hanya mengirimkannya ke mading sekolah. Namun
jika memang benar puisiku dimuat di majalah SAHABAT, itu adalah prestasi yang
luar biasa. Aku jadi ingat teori 1/12 yang dikatakan Bu Shinta kemarin. Tetapi
siapa yang telah lancang mengirimkan puisi-puisiku tanpa seijinku? Selembar
kertas berwarna biru muda terjatuh, saat aku memasukkan tas sekolahku ke laci
meja. Seperti tersengat lebah rasanya ketika membaca larik tulisan di atas
kertas itu.
Bila kamu ingin tahu
siapa yang telah mengirimkan puisi-puisimu ke majalah SAHABAT, pergilah ke
perpus. Orangnya sedang menunggumu di depan rak buku sastra.
Terburu
kubawa langkahku ke perpustakaan. Sampai di depan pintu, langkahku terhenti.
Dari balik rak buku sastra, muncullah seraut wajah dengan senyum yang khas.
Senyum miring milik Bara Mahardika. Di tangannya tergenggam majalah SAHABAT
edisi terbaru yang diulurkannya untukku. @@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar