Oleh:
Utami Panca Dewi
Ada yang berubah dengan Mama. Pulang
kerja, Mama jadi sering mampir ke kafe. Secangkir white coffe selalu menjadi alasan keterlambatan Mama pulang ke
rumah. Sebetulnya Mbok Mi juga bisa kalau cuma membikin secangkir white cofffe. Tetapi Mama selalu
memberikan alasan sambil tersenyum.
“Memang
Mbok Mi bisa Ra. Tapi minum segelas kopi di sebuah kafe itu sensasinya lain. Ntar deh, kapan-kapan Mama ajak kamu
ya!” Begitu selalu kata Mama.
Tetapi
kapan-kapan itu tak pernah diwujudkan Mama. Zura tidak pernah ditawari Mama
untuk ngopi bareng di kafe. Bagaimana Mama mau menawari? Sepulang dari kantor,
Mama selalu langsung mampir ke kafe. Biasanya bersama teman-temannya. Dan Zura
harus rela menunggu kepulangan Mama yang sekarang sering terlambat.
Yang
lebih mencolok lagi adalah penampilan Mama. Dandanan Mama jadi berubah. Blazer
Mama yang biasanya berwarna hitam dan abu-abu, kini sedikit menjadi lebih
berwarna. Zura sampai terbengong-bengong menyaksikan perubahan Mama itu.
Sementara Mama hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Zura.
“Memangnya
kenapa dengan penampilan Mamamu?” tanya Inge. Tangan Inge mempermainkan bola
bakso yang masih tersisa satu di mangkuknya.
“Lebih
ngejreng, gitu lho Nge,” keluh Zura
kepada Inge.
“Mungkin
Mamamu pindah divisi kali, sehingga beliau harus tampil lebih fresh,” hibur Inge.
Zura
menggeleng pelan. Seingatnya, Mama selalu mengadakan syukuran kecil-kecilan dan
memberitahunya, kalau akan promosi jabatan atau pindah divisi.
Mbok
Mi yang biasanya menjadi tempat Mama untuk bercerita, kali ini ternyata tak
tahu apa-apa. Mbok Mi hanya menggeleng pelan saat dicecar pertanyaan oleh Zura.
“Ndak Non, Ibu ndak pernah cerita apa-apa soal pekerjaannya kepada Mbok,” ucap
Mbok Mi dengan logat Jawa-nya yang medok.
Sampai
suatu ketika, ada seorang tante-tante seumuran Mama yang dibawa Mama ke rumah.
Namanya Tante Mer. Zura tidak suka dengan lipstik Tante Mer yang terlalu tebal
dan merah. Juga pakaian Tante Mer yang... Ih, seperti anak ABG saja. Tank top merah muda dengan bawahan rok
berpotongan asimetris. Dilengkapi dengan sepatu bot yang sering Zura lihat
dipakai oleh kakak-kakak mahasiswi yang sedang window shoping di mall.
“Tante
mau ajak Mamamu ke karaoke. Zura nggak apa-apa
kan?” tanya Tante Mer sambil tersenyum.
Hello... Ini malam
Minggu, Tante. Seharusnya Mama itu bersama aku. Dimana-mana juga akhir pekan
itu family time!! Jerit Zura dalam hati. Namun tidak ada
sepatah kata pun keluar dari mulut Zura. Ia bergeming sambil menatap Tante Mer,
seperti tatapan seorang kasir kepada pembeli yang lupa membawa dompet.
“Mama
tidak lama kok Sayang. Lagi pula katanya kamu mau pergi bersama Inge?” Mama
keluar sambil pamitan kepada Zura. Tapi, ya ampun Si Mama. Kenapa ikut-ikutan
memakai sepatu bot seperti Tante Mer? Mana rambutnya diurai lagi. Bajunya lebih
tertutup sih, jadi Zura bisa sedikit bernapas lega.
Zura
mengantar kepergian Mama dan Tante Mer sampai ke pintu. Setelah mobil sedan
hitam itu benar-benar hilang dari pandangan, Zura segera memencet ponsel yang
dari tadi sudah ada dalam genggamannya.
“Hallo
Nge... Cepetan ke sini ya. Mama sudah berangkat!”
Kepada
Mbok Mi, Zura berpamitan hendak mengerjakan tugas ke rumah Inge. Mengerjakan
tugas di malam Minggu? Zura tersenyum kecil. Mbok Mi tidak pernah mempersoalkan
alasan kepergiannya sampai sedetail itu.
Malam
itu Inge melajukan motornya lebih cepat dari biasanya. Zura yang ada di
boncengan belakang kadang-kadang berteriak, campuran antara ngeri dan khawatir.
Namun Inge berlagak seperti pembalap formula
one yang sangat mahir. Selip kiri, selip kanan, lalu kaki kanannya
menginjak rem dengan tiba-tiba. Ciiiit... Seorang anak kecil yang menyeberang
mukanya pucat pasi, karena hampir saja tersenggol bagian depan motor.
“Oww...
hati-hati Nge,” jerit Zura. Inge membuka kaca helm-nya, tersenyum manis sambil
mengacungkan jempolnya. Zura sebal. Kalau bukan karena ingin mengikuti Mama dan
Tante Mer, ia akan menolak membonceng Inge yang suka geradak-geruduk kalau naik
motor.
Rumah
karaoke itu bernuansa etnik romantic.Ada
lampu-lampu hias di sepanjang selasar dan terasnya. Batang pohon di depan kafe
diselubungi dengan kain kotak-kotak hitam putih. Ada dua payung besar di kanan
kiri pintu masuk. Juga patung-patung khas Bali. Namun semua itu tak terlalu
menarik perhatian Inge. Dari gerbang kafe, dilihatnya sosok Mama dan Tante Mer
keluar dari pintu mobil. Beramah tamah sebentar dengan seorang laki-laki yang
memakai stelan jas hitam, kemudian mereka bertiga masuk.
“Pulang,
Nge!” perintah Zura.
“Ha?
Apa Ra, pulang? Katanya mau menunggu sampai Mamamu selesai?”
“Iya,
kita pulang sekarang!”Ada nada getir dalam suara Zura.
Matanya
memanas saat menahan bulir air yang mulai menggelayut di kantung matanya.
Bibirnya terkatup rapat-rapat.
Inge
yang tidak mengerti terhadap perubahan sikap sahabatnya itu, hanya bisa
menurut. Juga ketika Zura meminta berhenti di atas jembatan fly over. Inge masih juga
terbengong-bengong saat Zura menangis di atas pundaknya.
“Ra,
sudahlah. Mamamu masih muda, beliau juga membutuhkan hiburan seperti kita!”
“Tapi
tidak juga harus seperti itu kan Nge? Berdandan seperti Embak-embak, masuk ke karaoke pula?” Zura menyeka ingusnya dengan
tisu yang diberikan oleh Inge.
“Nah,
yang ingin aku tahu. Tante Mer itu sebetulnya siapa sih?” Inge memasang muka
bodoh.
“Tante
Mer itu, sahabatnya Mama waktu kuliah. Sejak Tante Mer pindah ke apartemen
Grand Resident, Mama jadi akrab lagi, dan sering hang out bareng.” Zura sudah bisa menguasai emosinya. Apartemen itu
memang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya butuh 20 menit perjalanan.
“Lalu
apa salahnya Ra, kalau sahabat semasa kuliah menjalin persahabatannya kembali?”
Inge semakin tak mengerti.
“Tante
Mer itu janda Nge, janda cerai!” Zura
memberi tekanan pada kata-kata “janda cerai” itu. Mamanya juga janda, tetapi
kan Mama menjadi janda karena Papa meninggal dunia. Jadi...
“Nah,
Mamamu juga janda kan? Jadi jangan salahkan kalau mereka cocok. Ups... sorry,
bukan maksudku,” Inge menutup mulutnya, seolah menyesali kata-kata yang barusan
keluar dari mulutnya.
“Justru
itu Nge. Apa yang dilakukan dua orang janda, masuk ke karaoke di malam Minggu
seperti ini coba?” Zura mulai emosi lagi. Suasana menjadi hening. Yang bisa
dilakukan Inge hanyalah memeluk tubuh sahabatnya itu sambil memberikan
kata-kata pamungkas untuk orang yang sedang ditimpa masalah.
“Yang
sabar ya Ra.”
Zura
kembali duduk di belakang Inge, ketika gadis itu mulai menyalakan mesin
motornya. Terlalu lama di atas jembatan fly
over juga sangat berbahaya. Apalagi untuk dua gadis seusia mereka.
@@
“Zura
nggak mau tahu. Pokoknya Mama harus
menjauhi Tante Mer!” pekik Zura penuh emosi.
“Kamu
ini kenapa sih Ra? Memangnya hanya anak seusiamu yang butuh seorang sahabat?
Kamu mau Mama suruh menjauhi Inge?” tanya Mama. Mama masih sibuk mengoleskan
lipstik di bibirnya yang tipis.
“Tapi
Tante Mer beda, Ma!”
“Bedanya
apa?” Mama mulai menengok ke arah anak gadisnya.
“Terus
terang Zura nggak suka dandanan Tante
Mer.”
“Ya
haknya Tante Mer dong Nak, mau berdandan seperti apa.”
“Tapi
Tante Mer janda Ma, janda cerai! Ngapain coba Mama dan Tante Mer ke kafe, ke
karaoke, pulang malam, kalau tidak...”
“Zura!!!”
Tangan Mama yang terangkat terlihat gemetar. Hening beberapa detik itu telah
memaksa mata Zura kembali memanas. Mama sudah tidak menyayanginya lagi. Oh... God.
“Tahu
apa kamu tentang dunia orang dewasa, gadis kecil?” tanya Mama setelah berhasil
menguasai emosinya. Kini tangannya yang tadi terangkat telah diturunkannya
untuk memegang pundak Zura.
“Zura
tahu banyak Ma. Tante Zura dan Mama ke karaoke tidak sendirian. Ada seseorang
yang menunggu.”
“Mama
pergi dulu,” pamit Mama tanpa sedikit pun peduli dengan kata-kata Zura.
“Dengan
Tante Mer lagi kan? Zura benci Tante Mer Ma. Zura benci!”
@@
Rumah
sepi. Tadi Mama menelepon, bahwa mendadak ada rapat dewan direksi di kantor.
Tiba-tiba ada yang memencet bel rumah. Zura mengintip dari balik gorden. Tante
Mer. Suatu kebetulan yang sudah lama diharapkan oleh Zura. Tante Mer datang ke
rumah saat mamanya masih di kantor.
“Mama
ada Cantik?” sapa Tante Mer sok manis.
“Mama
masih di kantor Tante.”
“Oh
ya? Boleh aku menunggu di sini?”
“Maaf
Tante, sebaiknya Tante pulang dan jangan datang-datang lagi ke rumah ini.”
“Maksudmu?”
Dahi Tante Mer berkerut.
“Mama
jadi berubah semenjak dekat dengan Tante.”
“Jadi?”
“Please Tante, Mamaku perempuan
baik-baik.”
Kata-kata
yang pendek itu mampu membuat wajah Tante Mer berubah. Ada kilat kesedihan
ketika kemudian ia berpamitan. Zura sempat melihat Tante Mer membuka tas kecil
yang terselempang di pundaknya. Oi... rupanya Tante Mer mengambil tisu untuk
menghapus air matanya. Penuh sandiwara
seperti sinetron, pikir Zura.
@@
“Jadi...”
“Aku mengusirnya.”
Inge menatap sahabatnya seolah tak
percaya. Zura yang selama ini dikenalnya sebagai gadis yang santun.
“Mamamu tahu?”
Zura menggeleng. Mama tak perlu
tahu. Yang jelas, Zura sudah merasa melakukan hal yang benar. Meski Zura
merasakan seperti ada duri di sudut hatinya.Duri yang sesekali menggores pelan,
menimbulkan sedikit ngilu. Terutama saat ia mengingat perubahan wajah Tante Mer
sore itu. Bagaimanapun juga Tante Mer adalah sahabat Mama. Kalau misalnya ia
sendiri disuruh Mama untuk menjauhi Inge, pasti ia akan melakukan protes keras.
Sekarang Zura sedikit lebih lega.
Belakangan Mama lebih sering di rumah. Tak terdengar lagi suara Mama menjawab
telepon dari Tante Mer. Atau tersenyum-senyum sendiri sambil memencet-mencet
ponsel, saat menjawab pesan pendek dari Tante Mer.
“Pulang Ra?” ajak Inge.
Zura mengangguk. Matahari sudah
semakin merapat ke arah barat. Semburat keemasannya berusaha menyusup di
sela-sela pohon flamboyan, menimbulkan garis-garis cahaya yang memukau. Zura
harus segera pulang, karena sekarang Mama pasti sudah menunggunya di rumah.
@@
Mama kembali lagi bertingkah normal.
Memakai kembali blazer-blazser lamanya yang bernuansa hitam dan abu-abu. Tidak
lagi nongkrong di kafe atau karaokean sepanjang malam sambil memakai sepatu
bot. Namun sekarang Zura melihat, seolah ada yang hilang dari Mama. Mama jadi
kelihatan lebih tua. Mama jadi lebih pemurung dari biasanya. Sebetulnya kalau
mau jujur, Zura lebih suka Mama yang kemarin. Tampil muda dan fresh dengan blazer warna-warni.
Memakai cardigan orange dan sepatu bot.
Malam itu Zura mencari-cari Mama.
Rupanya Mama sedang duduk sendirian di balkon lantai atas. Seperti sedang menghitung
bintang di langit.
“Mama, Tante Mer...”
“Tante Mer pergiberobat ke
Singapura, Sayang,” ucap Mama lembut.
“Berobat? Jadi bukannya menikah
dengan om-om yang suka ketemu dengan Mama dan Tante di karaokean itu?”
“Tante Mer dibujuk saudaranya agar
mau dioperasi.Om-om itu adalah Koh Lian, sepupunya Tante Mer. Oh iya, Tante Mer
menitipkan buku ini untukmu.” Mama menyerahkan buku kecil berwarna ungu fuschia. Buku Harian milik Tante Mer.
Zura membuka dan mulai membaca buku
itu, halaman demi halaman. Kadang-kadang bibirnya mengulas senyum. Namun
semakin halamannya mendekati habis, mata Zura tiba-tiba berkaca-kaca.
“Jadi, Tante Mer terkena kanker
payudara ya Ma?” bisik Zura lirih.
“Stadium empat.”
“Tapi kenapa tubuh Tante Mer tetap
berisi dan ...”
“Tidak semua kasus cancer berimbas pada berat badan, Ra.
Kalau Tante Mer, rambutnya yang rontok dan habis. Selama ini Tante Mer memakai
rambut palsu.”
“Dan Mama berusaha menghibur Tante
dengan mendatangi tempat-tempat yang membawa kenangan saat kuliah ya?” Zura
tersenyum haru.
“Iya. Mama bela-belain memakai
pakaian seperti yang dikehendaki Tante Mer, agar ia bahagia. Tante Mer orang
yang hebat. Ia tak ingin terlihat sakit. Ia tak ingin dikasihani.”
“Mama dulu sangat dekat ya dengan
Tante Mer?”
“Sahabat sejati. Tante Mer bahkan
rela terbang dari Australia untuk menghibur Mama saat Papamu tiada.”
Lalu Mama bercerita banyak. Tentang
Tante Mer yang kesepian, karena anak satu-satunya memilih ikut papanya dan
kuliah di Aussie. Tentang penyakitnya yang tiba-tiba sudah sampai ke stadium
empat. Tante Mer sudah tahu bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Maka ia
memutuskan untuk menghabiskan waktunya di Indonesia, tempat ia merajut kenangan
demi kenangan semasa sekolah dan kuliah. Tante Mer mengabaikan permintaan saudara-saudaranya
untuk menjalani operasi di Singapura. Menurut Tante Mer, operasi hanya
mempercepat proses dirinya menghadap Yang Maha Kuasa.
Sebagai seorang sahabat, Tentunya
Mama ingin memberikan dukungan kepada Tante Mer. Apalagi di saat-saat sulit
seperti itu. Mama dan Koh Lian berusaha membujuk Tante Mer agar mau mencoba
menjalani operasi.
Tiba-tiba ulu hati Zura terasa
sakit. Zura ingin menangis, menyesali tingkahnya yang kekanak-kanakan. Ada yang
salah dalam pandangannya selama ini.Tante Mer ternyata tidak seperti yang ia
bayangkan semula. Ia menyesali sikapnya yang telah salah sangka.
“Ma, Zura ada tabungan. Zura ingin
pesan tiket pesawat secara online ke Singapura. Zura ingin minta maaf sama
Tante Mer. Mama mau mengantar Zura kan?” Mata Zura tiba-tiba memanas. Ia
teringat peristiwa sore itu. Saat ia mengusir Tante Mer.
“Sudah terlambat Sayang. Besok
pesawat akan membawa Tante Mer kembali ke tanah air.”
“Jadi operasinya berhasil? Kita ikut
jemput di bandara ya Ma?” Zura memekik penuh harap.
Mama menggeleng sedih, saat
berkata,” Tante Mer sudah kembali dalam damai bersama Tuhan, Zura. Tapi beliau
sudah memaafkanmu. Buka halaman terakhir buku hariannya!”
Zura membaca tulisan Tante Mer.
Tulisan kecil-kecil dan sangat rapi itu menyiratkan bahwa Tante Mer sudah
memaafkannnya. Tante Mer memaklumi tindakannya yang ingin menjaga Mama. Tante
Mer juga berpesan agar Zura selalu menjaga dan menyayangi Mama. Karena hanya
Tuhan yang tahu, sampai seberapa lama jatah umur seseorang di dunia ini.
Tubuhnya
Zura bergetar lembut menahan kesedihan yang membadai di dadanya. Tinta biru
dalam buku itu beberapa mulai pudar. Air matanya menderas membasahi halaman
terakhir buku kecil berwarna ungu fuschia
itu. Ketika kemudian buku itu ditutup, Zura hanya bisa menangis tanpa suara di
pelukan Mamanya.
@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar