Rumah di depan rumahku itu kini telah berpenghuni. Rumah yang telah
direnovasi total, sehingga tampak berbeda dengan rumah-rumah di
sebelahnya. Ada taman mungil berbentuk asimetris dengan sebuah kolam
yang dikelilingi batu-batu. Tanaman-tanaman bonsai yang dipotong rapi,
serta jembatan mungil yang menghubungkan kolam dengan teras. Di teras,
ada sebuah meja pendek yang dialasi tatami dengan dua buah bantal tipis
sebagai pengganti kursi. Pintu utama menggunakan model pintu geser. Di
langit-langit teras, tergantung sebuah lampu dengan kap berbentuk
lampion yang bertuliskan huruf kanji. Benar-benar Japanese style house.
Sebetulnya tak terlalu menyita perhatianku, kalau saja penghuninya
adalah pasangan muda seperti aku, yang baru memiliki satu atau dua anak.
Tetapi kenyataan bahwa penghuninya adalah sepasang kakek nenek yang
sudah berusia sekitar 70 tahun, benar-benar menimbulkan berbagai
pertanyaan dalam hatiku. Tak lazim saja menurutku. Biasanya orang-orang
tua akan bertahan untuk tinggal dalam rumah lama mereka yang penuh
kenangan. Atau justru ikut menumpang di rumah anak-anaknya. Tinggal di
sebuah Panti Jompo adalah pilihan berikutnya, meski pun menurutku, itu
adalah pilihan yang kurang manusiawi.
Ada 14 kepala keluarga yang
tinggal saling berhadapan di blok kami, di kompleks perumahan Graha
Padma Sentosa. Sebuah kawasan perumahan yang boleh dibilang sebagai
cluster, karena dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti kolam
renang, futsal, tennis, dan keamanan selama 24 jam. Sebagai perumahan
yang baru tumbuh, kebanyakan penghuninya adalah keluarga muda yang masih
dalam usia produktif. Mengamati tetangga baru yang agak “berbeda”
adalah kebiasaan yang khas ibu-ibu banget. Wajarlah kalau aku tidak bisa
secuek suamiku.
Setiap hari Minggu sebelum matahari terbit, aku
dan suamiku berolah raga pagi keliling kompleks. Lalu sekalian pergi ke
pasar bersih untuk berbelanja. Aku sepakat dengan suamiku untuk
mengurangi penggunaan motor dan mobil, apabila jarak bepergian kami
kurang dari 2 km. Sebagai warga negara yang baik, kami berusaha memberi
contoh untuk mengurangi emisi gas karbon. Dua anakku yang masih berusia 6
tahun dan 2 tahun biasanya masih tertidur pulas, sehingga aku tinggal
di rumah bersama pengasuhnya.
Di pertigaan kompleks dekat taman,
yang salah satu jalurnya akan menuju ke area sport, kami bertemu dengan
mereka berdua. Maksudku, sepasang Opa dan Oma yang tinggal di depan
rumahku. Kami pun saling bertegur sapa. Opa Martin terlihat sangat
menyayangi Oma Hana. Terbukti dari genggaman tangannya yang erat di
tangan perempuan yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu.
Rasa hatiku yang penasaran menyebabkan sebuah tanya keluar dari mulutku begitu keduanya berlalu dari hadapan kami.
“Sudah tua kok masih seperti pengantin baru saja ya Pa?”
“Ya seharusnya memang seperti itu, apanya yang aneh?”
“Tetapi kenapa mereka harus pindah ke tempat yang baru?” tanyaku lagi.
Suamiku rupanya mulai agak terganggu dengan kecerewetanku.
“Lah mungkin mereka tidak mau merepotkan anak-anaknya to Ma.... Sudahlah, kamu itu sukanya kok mengurusi urusan orang lain?”
Dan seperti biasanya, aku memilih untuk diam, tak lagi berusaha
menuruti rasa penasaranku. Kami adalah dua pribadi yang mudah tersulut.
Doni, Tuan Keras Kepala dan Susah Diatur. Aku, Si Nyonya Pengatur dan
Penuntut. Namun rupanya takdir Tuhan telah mempersatukan kami dalam
sebuah mahligai rumah tangga. Nothing Impossible. Kami pun ternyata bisa
menjembatani perbedaan di antara kami. Tentu saja tetap ada riak-riak
kecil seperti perbedaan pendapat atau pun masalah sehari-hari yang lain.
Tetapi semua masalah langsung selesai begitu kami masuk ke tempat
tidur.
“Well.... hari ini mau dimasakin apa Pa?”
“Tengiri masak asam manis....”
“OK....”
Doni menggandeng tanganku. Aku tersenyum kecil, teringat kemesraan Opa
Martin dan Oma Hana yang baru saja kami lihat. Rupanya Doni terpengaruh
juga.
@@
Hari Sabtu dan Minggu aku selalu menyempatkan diri
untuk memasak makanan kegemaran suamiku. Hari Senin sampai Jum’at kami
selalu lunch di kantor masing-masing. Bertemu lagi sudah malam, karena
selalu terkena macet di perjalanan. Sehingga pada hari-hari biasa aku
selalu mengandalkan untuk membeli makanan di luar.
Doni tampak puas
dengan makanan yang aku buat. Tengiri masak asam manis, sayur bayem
bening, perkedel daging, ditutup dengan dessert berupa puding buah
mangga yang sudah aku dinginkan di kulkas. Kami sudah selesai menyantap
makan siang hari itu, ketika suara bel rumah menggema. Aku melangkah ke
luar untuk membukakan pintu.
“Ini syukurannya Opa Martin, Bu....” tutur seorang perempuan muda berkaus biru.
“Terima kasih Mbak, aduh repot sekali. Dalam rangka apa ya?”
“Pemberkahan ikrar perkawinan...”
“Perkawinannya...siapa?”
“Opa Martin dan Oma Hana...”
Aku menyembunyikan keterkejutanku dengan mengarahkan pandangan ke arah
tutup kotak kardus makanan. Di atasnya bersematkan nama sebuah restoran
terkenal. Aku menitipkan ucapan terima kasih, sebelum perempuan muda
itu berlalu.
Terjawab sudah rasa penasaranku tentang beberapa mobil
yang terparkir di depan rumah, tamu-tamu yang berdatangan dan beberapa
bhikkhu dengan jubah kuningnya yang khas. Namun timbul pertanyaan yang
baru dalam benakku. Pemberkahan perkawinan?
@@
Sebelum
kehadiran Opa Martin dan Oma Hana, rumah itu sudah lama kosong, sehingga
catnya sudah banyak yang mengelupas. Hanya sesekali pemiliknya, seorang
wanita paruh baya bertubuh agak gemuk, datang menengok. Namun kata
satpam kompleks, tahun lalu, rumah itu telah dijual kepada seorang
pensiunan perwira angkatan laut. Dan rupanya oleh pemilik yang baru,
rumah itu telah dibongkar dan diubah menjadi sebuah rumah unik bergaya
Jepang. Mungkin Opa Martinlah pensiunan perwira angkatan laut itu.
Sebulan pertama dia tinggal, aku sudah mulai hafal kebiasan-kebiasaan
yang dilakukan oleh sepasang Opa dan Oma itu. Terutama di hari Sabtu dan
Minggu saat aku libur dari rutinitas kantor. Pagi-pagi, mereka akan
berjalan-jalan keliling kompleks. Siang sedikit mereka akan minum teh
berdua di teras. Lalu mereka akan tenggelam di rumah sampai sore. Malam
hari, mereka akan keluar rumah dengan mobil. Mungkin untuk makan malam
di luar. Namun untuk urusan jalan-jalan keliling kompleks, itu selalu
rutin mereka lakukan setiap pagi. Sekitar pukul lima pagi, saat aku
mengintip dari tirai jendela kamar, kulihat mereka sudah keluar rumah.
Dengan mesra, Opa Martin akan menggamit lengan istrinya.
Kata Muna,
pengasuh anakku, Seminggu dua kali mereka akan keluar diantar oleh
perempuan muda yang belakangan kuketahui bernama Santi. Opa Martin dan
Oma Hana akan duduk di jok belakang, dan Santi yang memegang kemudi.
Sebetulnya Santi itu pembantunya atau sopirnya? Atau pembantu yang
merangkap sopir? Ah... aku juga kurang mengerti.
Suamiku hanya
sesekali membunyikan klakson sebagai pengganti sapaan, saat kami mau
berangkat ke kantor dan kebetulan mereka berdua sedang berjalan-jalan ke
luar rumah. Dan Opa Martin akan mengacungkan jempol sambil tersenyum.
Namun kata Muna, Opa Martin sangat peduli pada anak-anak. Saat mendengar
Si Kecil menangis, Opa Martin akan berkunjung ke rumah sambil membawa
beberapa lembar kertas. Dibuatnya kertas itu menjadi beberapa bentuk
seperti katak, burung, atau kelinci. Diberikannya origami itu kepada
anakku yang sedang menangis. Setelah tangisnya mereda, barulah Opa
Martin beranjak pulang.
”Mungkin Opa Martin kangen sama cucunya, Bu...” kata Muna suatu hari.
“Memangnya cucunya tinggal di mana?”
“Jauh....Kata Mbak Santi, anaknya Opa Martin cuma dua. Yang satu di Singapura, satunya lagi di Australia.”
“Kalau berkunjung ke sini tidak pernah mengajak Si Oma?” tanyaku ingin tahu.
“Kata Opa, Oma Hana sedang sakit.”
Pada awal bulan kedua dan ketiga, aku dikejutkan lagi oleh mobil-mobil
yang diparkir di jalanan depan rumah. Tamu-tamu yang berdatangan ke
rumah Opa Martin, dan beberapa bhikkhu. Lalu Mbak Santi kembali datang
ke rumah untuk mengantarkan sekotak nasi. Pemberkahan perkawinan lagi?
Opa Martin masih sering berjalan-jalan keliling kompleks bersama
istrinya, Tetapi sekarang Oma Hana tidak digandengnya, melainkan
didorongnya menggunakan sebuah kursi roda. Rupanya Oma Hana sakitnya
bertambah parah.
Memandang kedua orang tua itu seakan telah
mengingatkanku kembali kepada kedua orang tuaku yang telah tiada. Juga
kepada mertuaku yang jauh di Medan sana. Kadang aku ingin mengundang Opa
Martin dan Oma Hana secara khusus ke rumah. Atau aku sendiri yang
beranjang sana ke rumahnya. Tapi kapan? Aku selalu sibuk di kantor.
Sementara hari Sabtu dan Minggu seringnya aku punya acara sendiri
bersama Doni dan anak-anak. Tetangga yang lain juga kelihatannya kurang
peduli kepada mereka. Hidup di kompleks perumahan bertipe cluster memang
tak menyisakan banyak waktu untuk saling bertegur sapa.
Kalau pun
ada yang peduli, paling hanya karena terdorong oleh rasa penasaran
belaka. Seperti yang dilakukan oleh tetangga yang rumahnya paling ujung.
Ia pernah bertanya kepadaku saat bertemu denganku di hari Sabtu, “Eh
Mbak Rena.... Itu tetangga depan rumahmu siapa namanya?”
“Opa Martin sama Oma Hana....” jawabku singkat.
“Itu perempuan muda yang tinggal bersamanya itu anaknya atau cucunya ya? Kok masih muda sekali?”
@@
Suatu hari, tetangga samping rumah tiba-tiba datang berkunjung ke
rumah. Rupanya ia hanya ingin bertanya-tanya tentang Opa Martin.
“Jeng Rena, tetangga depan rumah itu kok sering mengadakan pesta perkawinan, yang kawin siapa sih?”
“Katanya sih, Opa Martin sama Oma Hana,” jawabku sambil tersenyum.
“Orang tua kalau sudah pikun memang suka aneh-aneh ya? Masa pernikahan setiap bulan sekali, jangan-jangan....”
“Jangan-jangan apa Bu Yana?”
“Jangan-jangan perempuan muda yang tinggal bersama mereka itu....siapa namanya?”
“Mbak Santi? Sepertinya ia pembantu di rumah itu?”
“Pembantu kok penampilannya bersih seperti itu? Jangan-jangan dia itu
istri mudanya Si Opa, lalu ia merasa bersalah sehingga setiap bulan
mengulangi kembali ikrar perkawinannya dengan si istri tua?”
“Ah masa, setua itu.....”
“Eh jangan salah... sekarang banyak obat herbal lo Jeng....” Tetanggaku terkikih.
Aku hanya tersenyum sambil berkata,”Sepengetahuan saya, Opa Martin sayang sekali kok sama Oma Hana....”
@@
Awal bulan keempat, tetangga depan rumah masih menyelenggarakan
upacara pemberkahan perkawinan lagi. Tapi sehari sesudahnya, tampak
sebuah mobil ambulance meraung-raung meninggalkan rumah unik bergaya
Jepang itu.
Aku yang baru saja pulang dari pasar bersih sangat
terkejut. Bu Yana tetangga sebelah rumahku menjawab rasa penasaranku
dengan ceritanya yang berbusa-busa.
“Oma Hana sakitnya bertambah parah, makanya dibawa ke rumah sakit...”
“Oh ya? Kasihan sekali ya Bu...”
“Mbak Yanti itu ternyata perawat pribadinya Oma Hana, Jeng. Tapi tidak
boleh memakai seragam perawat oleh Opa Martin. Istrinya selalu sedih
jika diperlakukan sebagai orang yang sakit.”
“Mbak Santi, Bu. Dari mana Bu Yana tahu?”
“Mas Heri, satpam kompleks. Dia kan sering mengobrol dengan Mbak
Santi. Mas Heri naksir dia kali....” Berita apapun kalau melewati
telinga Bu Yana, jatuh-jatuhnya pasti menjadi gossip. Aku sangat maklum
itu.
Namun ketika beberapa hari kemudian rumah itu tetap sepi, aku
jadi merasa kehilangan beberapa hal. Senyum tulus dari Opa Martin. Juga
suara kursi roda yang didorongnya keluar dari gerbang rumah, saat embun
belum lagi menguap ke udara.
Lagi-lagi aku harus mencari tahu ke
rumah Bu Yana, tetanggaku Si Pencari Berita itu. Rupanya ada cerita baru
tentang keluarga Opa Martin.
“Bu Yana tahu, Oma Hana dirawat di rumah sakit mana? Saya kok kepengin menengok ya Bu...”
“Wah.... kalau sekarang ya sudah terlambat Jeng...”
“Loh.... kok?”
“Kata Mas Satpam yang pernah diajak bezuk oleh Mbak Wanti....”
“Mbak Santi, Bu....”
“Iya, pokoknya perawatnya Oma Hana itu. Oma Hana sudah meninggal Jeng...”
“Meninggal?”
“Iya, tetapi jasadnya langsung di bawa ke Singapura. Katanya mau diperabukan di rumah anaknya yang pertama.”
“Lalu Opa Martin?”
“Wah.... Jeng Rena ketinggalan berita lagi. tiap hari ngantor sih,
jadi tidak tahu kalau Opa Martin sudah ikutan pindah ke Singapura. Hari
Jumat kemarin ia berkemas.”
Aku tertegun. Rupanya cerita dari Muna benar adanya, waktu ia berkata, “Opa Martin sudah pindah Bu....”
“Pindah ke mana? Ke rumah sakit menunggui istrinya?”
“Kurang tahu Bu, yang jelas tidak akan tinggal di rumah itu lagi ....”
@@
Setelah kepergian mereka, hari Minggu terasa berbeda. Tidak ada lagi
suara kursi roda yang didorong oleh Opa Martin keluar dari rumah. Aku
tidak lagi bisa berharap untuk bertemu dengan mereka di pertigaan
kompleks dekat taman. Tiba-tiba aku jadi menyesal, kenapa kok dulu tidak
berusaha untuk mengobrol dengan mereka. Sebetulnya hari Sabtu dan
Minggu aku punya kesempatan untuk mengobrol dengan mereka, tetapi aku
memilih cuek Aku selalu berlindung di balik alasan bahwa akhir pekan
adalah hari untuk keluarga. Family time. Sekarang baru aku menyesal.
Setelah niat untuk mengakrabkan diri itu muncul, semuanya sudah
terlambat. Oma Hana sudah meninggal dan Opa Martin sudah pergi.
Namun siang harinya aku dikejutkan oleh kedatangan Mbak Santi ke rumah.
Waktu itu aku sedang duduk-duduk di teras rumah. Kulihat Mbak Santi
mengeluarkan sesuatu dari mobil. Sebuah kardus besar.
“Permisi Bu Rena, ini ada titipan dari Opa Martin...”
“Oh iya, terima kasih. Duduk dulu di dalam yuk, Mbak Santi....”
Mbak Santi tidak menolak tawaranku. Dia juga mau menjawab semua tanya
yang selama ini mengusikku. Rupanya Oma Hana menderita penyakit stroke,
yang menyebabkan ia menjadi amnesia. Oma Hana tidak pernah ingat bahwa
ia sudah menikah dengan Opa Martin. Untuk menyenangkan hati istrinya,
setiap sebulan sekali Opa Martin mengundang bhikkhu untuk memperbaharui
ikrar perkawinan mereka. Satu-satunya yang diingat oleh Oma Hana
hanyalah kampung halamannya di Osaka, Jepang. Raganya yang sakit-sakitan
tidak memungkinkan lagi bagi Oma Hana menengok kembali kampung
halamannya. Untuk itulah Opa Martin membangun sebuah rumah bergaya
Jepang untuk istrinya.
Aku membuka kardus yang dibawa oleh Mbak Santi.
“Origami burung bangau?”
“Jumlahnya 674 Bu Rena, jadi kurang 326 lagi supaya genap menjadi seribu.”
“Kenapa harus seribu?” tanyaku tak mengerti.
“Kalau ada seribu bangau, maka akan terkabul keinginan Si Pembuat
Origami. Meski Opa Martin tahu bahwa umur istrinya tidak akan lama lagi,
tapi Opa Martin tetap menginginkan sebuah keajaiban.”
@@
Aku
tidak mengerti maksud Opa Martin memberikan origami bangau itu. Mungkin
agar bisa dibuat mainan oleh anakku. Mungkin pula Opa Martin ingin agar
aku menggenapkannya menjadi seribu. Apapun maksud Opa Martin, yang jelas
diam-diam aku merasa kehilangan juga. Kehilangan figur teladan yang
telah memberikan aku sebuah pengertian baru tentang pentingnya
memperbaharui sebuah ikrar perkawinan. Betapa setelah menikah, kita
memang harus berkali-kali jatuh cinta, tetapi pada orang yang sama.
Genap 2 bulan sudah rumah bergaya Jepang itu tidak berpenghuni. Kata
Satpam kompleks, Opa Martin telah meninggal saat membawa abu istrinya ke
kampung halamannya di Osaka. Benar-benar cinta yang sulit dicari
tandingannya.
Namun di suatu Minggu pagi yang dingin berkabut, aku
terbangun oleh suara-suara gerit roda dari logam yang beradu dengan
jalanan di depan rumah. Penasaran, aku sibak tirai jendela. Dan
rambut-rambut di kulitku tiba-tiba meremang. Kulihat sosok lelaki tua
yang sedang mendorong sebuah kursi roda. Di atasnya duduk seorang
perempuan tua bermata sipit. Tirai segera kututup dan refleks, aku
membalikkan tubuhku. Jantungku berdebar-debar.
Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar