Daftar Blog Saya

Senin, 17 April 2017

PULANG ( antologi wanita kedua )

Oleh: Utami Panca Dewi
            Rumah sudah rapi. Tirai-tirai semua telah berganti dengan yang baru. Pun taplak meja di ruang tamu. Ada vas bunga berisi anyelir segar di atasnya. Aneka penganan berjajar-jajar di dalam stoples, menanti uluran tangan untuk membuka tutupnya. Masing-masing menawarkan kenikmatan aneka rasa yang menggugah selera. Semua menunggu kedatangan Ndaru.. Ibu, Mbak Nisa, Mas Danang, juga Noi dan Kenken, dua keponakannya yang lucu.
            Namun kembali Ibu harus menelan kekecewaan yang sama, seperti lebaran tahun lalu. Ibu sudah membayangkan bisa memeluk putra tercinta, menantu dan juga cucunya yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Namun sunyi tetap merajai ambang pintu rumah joglo itu.
            Dua tahun sudah, semenjak Ndaru memutuskan untuk meninggalkan kota Yogyakarta.. Meninggalkan rumah joglo ini, bersama dengan segala kenangan yang terukir di dalamnya.
            Dua tahun yang lalu, suasana rumah juga sama seperti ini. Rumah ditata Ibu dengan sangat rapi. Semua jendela rumah bersolek dengan tirai-tirai yang baru. Vas bunga berisi anyelir segar di meja ruang tamu. Juga aneka penganan yang berjajar-jajar di dalam stoples. Dua tahun lalu ...
@@
            Aku sudah di Bandara Adisucipto Mbak, setengah jam lagi sampai di rumah.
            Demikian bunyi pesan singkat yang dikirimkan Ndaru kepada Mbak Nisa lewat ponsel. Ndaru pulang dari Batam membawa calon istri. Aih...bahagianya. Itulah yang ditunggu-tunggu ibu dan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali menolak dijodohkan dengan beberapa perempuan pilihan ibu, akhirnya Ndaru mau juga memenuhi permintaan ibu. Untuk segera menikah tahun ini, di usianya yang ke dua puluh delapan.
            Semua mata mengarahkan pandang ke luar rumah, ketika taxi itu memasuki halaman. Semua terkesiap ketika pintu taxi itu terbuka. Ndaru keluar bersama seorang perempuan muda berwajah oriental.
            ”Ini Ai Ling, Bu. Gan Ai Ling,” ucap Ndaru memperkenalkan gadis bermata sipit itu kepada ibu. Wajah ibu menyapu seluruh penampilan calon menantunya. Jeans ketat dengan atasan turtle neck tanpa lengan menutupi lehernya yang jenjang. Kulit putihnya tak sempurna tertutupi. Mendung sore membayang pada wajah ibu. Gelap kelabu. Semburat merah saga menyaputi kedua matanya.
            Ai Ling memang cantik. Ai Ling mudah akrab dengan Mbak Nisa, Noi dan Kenken. Tetapi tidak dengan ibu. Apalagi ketika ibu mengetahui bahwa Ai Ling masih bersembahyang bersama kelukan asap dupa. Di kuil.
            ”Ibu tidak mempermasalahkan kamu mau mengambil istri dari suku apa. Tapi mbok ya jangan yang lain bangsa, apalagi lain agama to Ru! Itu hanya akan menorehkan luka di hati Ibu,” ucap Mbak Nisa saat Ai Ling sedang di ajak jalan-jalan keliling kampung oleh Noi dan Kenken.
            ” Ai Ling sebangsa dengan kita kok Mbak, ia juga Warga Negara Indonesia. Ai Ling gadis yang baik, dan yang lebih penting dari itu, kami saling mencintai,” jawab Ndaru mencoba membela diri.
            ”Kamulah satu-satunya harapan Ibu, untuk dapat meneruskan menjaga serta  merawat rumah joglo dan Mushola ini, setelah Bapak tiada,” lanjut Mbak Nisa. Ndaru terdiam. Namun kelam matanya menunjukkan kekerasan hatinya.
Ibu menyadari betul kalau Ndaru mewarisi sifat bapaknya. Teguh hati dalam mempertahankan suatu pendirian yang dianggapnya benar. Atau mungkin lebih tepatnya keras kepala? Oii...hati ibu teriris. Pilu sungguh, tatkala menyadari bahwa justru putra tercintanya yang telah menorehkan sembilu. Dukanya terlukai.
            Hati ibu begitu gamang. Membayangkan masa tuanya, sendirian mengurus rumah joglo peninggalan almarhum suaminya dan juga Mushola di sampingnya. Siapakah yang akan berdiri sebagai Imam, setelah anak lelakinya sendiri menyiratkan penolakan? Ibu tak mungkin mengharapkan Danang dan Nisa untuk menempati rumah joglo itu bersamanya. Danang dan Nisa sudah memiliki rumah sendiri di Jalan Parangtritis. Mereka membuka usaha pembuatan dan penjualan souvenir di sana.
            Lalu angan ibu bermain di masa berpuluh tahun lalu. Ketika Ndaru masih kanak-kanak lucu. Bertahun suaminya menantikan kelahiran seorang anak lelaki sebagai penerus garis keturunan. Namun kesabaran mereka harus diuji, ketika putra yang dirindukan tak kunjung datang. Kemudian suaminya memutuskan untuk mengangkat seorang bayi perempuan dari Panti. Untuk pancingan supaya sang istri cepat hamil, kata orang Jawa. Dialah Annisa, yang kemudian menjadi satu-satunya kakak perempuan dan saudara bagi  Ndaru.
            Barulah lima tahun kemudian, lahir anak laki-laki yang mereka tunggu-tunggu. Seperti ketiban Ndaru, demikian menurut pepatah Jawa. Maka, bayi mungil nan tampan itu diberi nama Ndaru Priyo Atmojo. Yang artinya anak lelaki yang menjadi anugerah terindah.. Ndaru adalah anugerah terindah dari Gusti Allah, seperti rembulan nan terang yang jatuh dari langit. Ndaru adalah jawaban dari doa-doa panjang yang mereka lantunkan setiap malam.
            Ndaru lahir ketika kandungannya baru menginjak bulan ke tujuh. Namun bayi 2 kg yang tergolek di inkubator itu telah mencuri hati mereka. Tangisannya keras, tak kalah dengan tangisan bayi lain yang lahir cukup bulan.
            Lalu diajarinya buah hatinya itu berjalan. Mula-mula berjalan di atas kue apem nan halus di atas nampan, ketika acara tedhak siten. Lalu berjalan di atas tanah, di atas pasir, di atas kerikil, bahkan di atas bebatuan yang siap melukai. Suaminya acap memarahinya tatkala ia menjumpai lutut Ndaru yang berdarah karena terjatuh. Dalam hal ini ia memiliki pandangan yang berbeda dengan suaminya. Ia ingin anak lelakinya tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang tangguh dan kuat.
            Ketika malam menghadirkan selimut gelapnya, ia akan memeluk Ndaru, mengelus keningnya yang lebar. Disenandungkannya lagu yang dapat melelapkan buah hatinya itu. Mulai dari lagu Nina Bobok sampai tembang Yen Ing Tawang Ono Lintang.
Kemudian Ndaru mulai menuntutnya untuk mendongeng. Dan dongengnya tak akan pernah habis untuk lelaki kecilnya itu. Mulai dari dongeng Kancil Mencuri Ketimun sampai Kisah Para Nabi. Mulai cerita lucu Abu Nawas, sampai Kisah Seribu Satu Malam. Mulut seorang ibu tak akan pernah berhenti bercerita, sebelum permata hatinya terpejam.
            Yang paling disukai Ndaru adalah cerita tentang azab Allah yang menimpa suatu kaum, tatkala kaum itu ingkar dan menyekutukan Allah.
            ”Bencana alam itu termasuk azab Allah Ibu?” mulut kecilnya mulai bertanya.
            ”Iya, makanya kita harus beriman kepada Allah, menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.”
            ”Ndaru akan selalu bersama Ibu. Kalau terjadi bencana alam, Ndaru akan melindungi Ibu,” janjinya dua puluh tahun yang lalu. Janji seorang anak lelaki kecil berumur 8 tahun kepada ibunya.
            Dan sekarang Ndaru membawa seorang perempuan, calon menantu baginya. Perempuan yang bahkan untuk mengucapkan namanya saja lidahnya terlalu susah untuk digerakkan. Apakah Ndaru telah mengkhianatinya? Tidak. Sebermula saat Ndaru mulai menghuni rahimnya pun, ia sudah yakin bahwa suatu saat anaknya pasti akan meninggalkannya.
@@
            Silir semilir angin
            menyibak daun-daun rumpun melati
            harum mewangi bunganya
            Rias-rias, sunting di telinga
            menyambut sepasang pengantin
            ”Aku jatuh cinta padanya Ibu,” ucap Ndaru memohon pengertian sang ibu. Merajuk. Persis seperti saat ia masih berusia sepuluh tahun. Merengek, menangis menggelayuti lengan ibunya di sepanjang trotoar Malioboro. Hanya karena sepasang sepatu bola. Yang sebentar kemudian sudah dilupakannya karena ada mainan baru yang lebih menarik perhatiannya.
            ”Cinta? Sekuat apakah cintamu, sehingga kamu yakin biduk rumah tanggamu tidak akan karam, tatkala nahkoda dan kelasinya punya keyakinan yang berbeda?” tanya ibunya dengan bibir gemetar. Tak ada air mata membasahi pipinya yang keriput. Tapi gerimis itu telah jatuh membasahi hatinya.
            Dan Ndaru tetap pada keputusannya semula. Ndaru begitu mencintai Ai Ling. Tak mungkin rasanya bagi Ndaru untuk meninggalkan Batam dan juga perempuan yang telah menghadirkan wangi kebun mawar dalam hatinya. Bagi Ndaru, Yogya hanyalah kota kenangan.
            ”Maafkan aku Ibu, ini keputusanku,” kata Ndaru tanpa rasa sesal.
            Lalu Ndaru pergi meninggalkan Yogya dan segala kenangan masa kecilnya. Meninggalkan rumah joglo warisan bapak dan sebuah Mushala  di sampingnya. Meninggalkan sekeping hati renta ibunya, yang tak bisa ikhlas memberikan restu.
Itulah keputusan Ndaru. Keputusan yang melahirkan keputus asaan ibunya.
@@
            Pulanglah lebaran ini Ndaru, Ibu kangen ingin bertemu.
             Nisa mengirimkan pesan singkat lewat e-mail, tepat setahun setelah Ndaru mengambil keputusan. Tak ada jawaban. Ndaru seperti hilang ditelan bumi. Dan ibu masih setia duduk di ruang tamu di rumah joglo. Mengharap ada taxi memasuki halaman, membawa pulang anaknya. Semua sudah bersiap menunggu kedatangan Ndaru. Tirai-tirai telah diganti dengan yang baru dan vas berisi anyelir di meja ruang tamu. Juga stoples berisi penganan yang berjajar-jajar.
            Rumah joglo itu peninggalan mertuanya. Keempat tiangnya merupakan kayu jati yang berusia ratusan tahun, diambil langsung dari alas roban. Ukiran dan pahatan pada kanopinya dibuat oleh seorang yang ahli. Bapak mertuanya mendatangkannya langsung dari Jepara.
            Rumah joglo itu kini berfungsi sebagai ruang tamu. Di belakangnya ada rumah induk, di samping kanannya ada Mushala. Penduduk kampung melakukan shalat jamaah di  Mushala itu. Mushala akan semakin ramai saat bulan Ramadhan tiba. Jamaahnya sampai meluber ke terasnya. Di samping kiri rumah joglo, ada bangunan setengah terbuka. Orang Jawa menyebutnya gandhok. Dulu digunakan untuk tempat menyimpan kayu bakar. Tetapi setelah adanya kompor minyak dan kemudian kompor gas, gandhok itu tidak berfungsi lagi. Dibiarkan kosong begitu saja. Seperti hatinya yang kosong sepeninggal anak lelakinya.
            Dulu ia akan duduk diam-diam di ruang tamu. Menunggu suaminya pulang dari kantor. Memandangi anaknya yang bermain sepeda. Ndaru tak suka bermain jauh-jauh. Ia akan bersepeda di halaman rumahnya yang luas. Sampai kemudian ibunya atau kakaknya menyuruh membelikan sesuatu di warung, Ndaru baru bersepeda ke luar meninggalkan halaman.
            Joglo itu penuh kenangan. Kenangan yang manis bersama suami dan kedua anaknya. Maka ia menolak mentah-mentah usul dari menantunya untuk menjual joglo itu dan menggantinya dengan bangunan yang lebih modern. Joglo itu akan diwariskannya kepada Ndaru, sesuai pesan mendiang suaminya.
@@
            Lebaran hampir tiba. Kau pulang ke Yogya kan Ndaru? Jangan takut, Ibu sudah memaafkanmu.
            Tulis Mbak Nisa dalam e-mail pada tahun ke dua Ndaru pergi. Pesan terkirim, tetapi tak ada jawaban yang masuk. Dan ibu dengan setia terus menunggu si anak hilang di ruang tamu. Duduk diam-diam, sambil mengurai kenangan demi kenangan.
            Ramadhan selalu menjadi bulan istimewa dalam keluarganya. Mushala  selalu ramai sejak sebelum buka puasa sampai fajar setelah shalat subuh. Ia akan mengajari anak lelakinya memakai sarung dan juga pecis. Menuntunnya membaca kitab suci, dan mengajarinya untuk kuat menjalankan ibadah puasa.
            Kemudian saat lebaran tiba, ia akan memasak berbagai masakan yang menggugah selera. Ketupat, opor ayam dan sambal goreng ampela ati. Menyajikan masakannya setelah mereka menunaikan shalat Iedul fitri berjamaah di tanah lapang.
            Kini tubuhnya semakin rapuh. Sejak berbagai penyakit mulai menggerogoti raganya. Tubuhnya tidak lagi duduk di kursi ruang tamu. Sebuah kursi roda tua setia menemaninya. Keretak-keretik suaranya saat di dorong anak perempuannya keluar dari rumah joglo.
@@
            Pulanglah Ndaru, ibu sakit. Ibu kangen pengen ketemu sama kamu.
             Nisa kembali mengirimkan e-mail pada lebaran di tahun berikutnya. Kali ini ada jawaban, meskipun singkat.
            Iya Mbak, aku akan pulang pada hari lebaran yang ke tiga.
            Hati Nisa lega. Dibisikkannya sebuah kalimat pada telinga ibunya, yang tergolek lemah.
            ”Ibu cepat sembuh ya, Ndaru akan pulang.”
            Tersungging senyuman pada wajah renta itu.
            ”Ibu sudah memaafkan Ndaru kan? Tidak marah lagi sama Ndaru ?”
            Ibu kembali tersenyum dan mengangguk. Tanpa kata-kata.
@@
            Silir semilir angin
            menyibak daun-daun rumpun melati
            harum mewangi bunganya
            buat rangkaian indah
            mengantar ruh  suci
            kembali ke pangkuan Illahi
           
            Tangis Ndaru pecah. Ia bisikkan kata maaf di telinga ibunya. Ia tuntun ibunya melafazkan dua kalimah Syahadat, sebelum malaikat maut menunaikan kewajibannya. Lalu dilihatnya  bibir itu mengembang senyum. Senyum yang dirindukannya sepanjang masa.  Mata ibunya  berbinar sesaat, untuk kemudian meredup dan terpejam.
            Wanita renta itu  tersenyum dalam keabadian. Hatinya bahagia sungguh melihat anak dan menantunya. Begitu cantiknya Ai Ling dalam balutan jilbab putih. Ai Ling... Ai Ling...Di panggilnya nama itu berulangkali. Tapi tak satupun di antara mereka mendengarnya. Mereka semua larut dalam tangis.
            Aiih.. siapa itu gadis kecil bermata sipit. Ia merangkul kaki ayahnya dengan takut-takut. Ingin direngkuhnya cucunya yang cantik itu dalam pelukannya. Namun tak bisa? Iya... karena Malaikat utusan Tuhan telah memisahkannya dengan semua yang dicintainya. Mereka terpisah oleh ruang dan waktu. Tetapi ia sungguh bahagia. Anak lelaki kesayangannya telah kembali pulang. Ia pun juga telah kembali pulang, ke tempat asalnya yang azali.
                                                           @TAMAT@
Catatan:
  1. joglo: rumah adat di Jawa
2.      pancingan: mengangkat anak dengan tujuan agar cepat hamil.
  1. ketiban Ndaru: mendapatkan anugerah
  2. tedhak siten: upacara untuk memperingati bayi yang turun tanah untuk pertama kalinya
  3. Yen Ing Tawang ono Lintang: salah satu lagu Jawa untuk pengantar tidur.
  4. gandhok: rumah tambahan di samping rumah utama, biasanya untuk menyimpan kayu atau peralatan bercocok tanam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar