Oleh: Utami
Panca Dewi
Rumah sudah rapi. Tirai-tirai semua
telah berganti dengan yang baru. Pun taplak meja di ruang tamu. Ada vas bunga
berisi anyelir segar di atasnya. Aneka penganan berjajar-jajar di dalam stoples, menanti
uluran tangan untuk membuka tutupnya. Masing-masing menawarkan kenikmatan aneka
rasa yang menggugah selera. Semua menunggu kedatangan Ndaru.. Ibu, Mbak Nisa,
Mas Danang, juga Noi dan Kenken, dua keponakannya yang lucu.
Namun kembali Ibu
harus menelan kekecewaan yang sama, seperti lebaran tahun lalu. Ibu sudah
membayangkan bisa memeluk putra tercinta, menantu dan juga cucunya yang sama
sekali belum pernah dilihatnya. Namun sunyi tetap merajai ambang pintu rumah
joglo itu.
Dua tahun sudah, semenjak Ndaru
memutuskan untuk meninggalkan kota Yogyakarta.. Meninggalkan rumah joglo ini,
bersama dengan segala kenangan yang terukir di dalamnya.
Dua tahun yang lalu, suasana rumah
juga sama seperti ini. Rumah ditata Ibu dengan sangat rapi. Semua jendela rumah
bersolek dengan tirai-tirai yang baru. Vas bunga berisi anyelir segar di meja
ruang tamu. Juga aneka penganan yang berjajar-jajar di dalam stoples. Dua tahun
lalu ...
@@
Aku
sudah di Bandara Adisucipto Mbak, setengah jam lagi sampai di rumah.
Demikian bunyi pesan singkat yang dikirimkan
Ndaru kepada Mbak Nisa lewat ponsel. Ndaru pulang dari Batam membawa calon
istri. Aih...bahagianya. Itulah yang ditunggu-tunggu ibu dan seluruh keluarga.
Setelah beberapa kali menolak dijodohkan dengan beberapa perempuan pilihan ibu,
akhirnya Ndaru mau juga memenuhi permintaan ibu. Untuk segera menikah tahun
ini, di usianya yang ke dua puluh delapan.
Semua mata mengarahkan pandang ke
luar rumah, ketika taxi itu memasuki halaman. Semua terkesiap ketika pintu taxi
itu terbuka. Ndaru keluar bersama seorang perempuan muda berwajah oriental.
”Ini Ai Ling, Bu. Gan Ai
Ling,” ucap Ndaru memperkenalkan gadis bermata sipit itu kepada ibu. Wajah ibu
menyapu seluruh penampilan calon menantunya. Jeans ketat dengan atasan turtle neck tanpa lengan menutupi
lehernya yang jenjang. Kulit putihnya tak sempurna tertutupi. Mendung sore
membayang pada wajah ibu. Gelap kelabu. Semburat merah saga menyaputi kedua
matanya.
Ai Ling memang cantik. Ai Ling mudah
akrab dengan Mbak Nisa, Noi dan Kenken. Tetapi tidak dengan ibu. Apalagi ketika
ibu mengetahui bahwa Ai Ling masih bersembahyang bersama kelukan asap dupa. Di
kuil.
”Ibu tidak mempermasalahkan kamu mau
mengambil istri dari suku apa. Tapi mbok
ya jangan yang lain bangsa, apalagi lain agama to Ru! Itu hanya akan menorehkan luka di hati Ibu,” ucap Mbak Nisa
saat Ai Ling sedang di ajak jalan-jalan keliling kampung oleh Noi dan Kenken.
” Ai Ling sebangsa dengan kita kok
Mbak, ia juga Warga Negara Indonesia. Ai Ling gadis yang baik, dan yang lebih
penting dari itu, kami saling mencintai,” jawab Ndaru mencoba membela diri.
”Kamulah satu-satunya harapan Ibu,
untuk dapat meneruskan menjaga serta
merawat rumah joglo dan
Mushola ini, setelah Bapak tiada,” lanjut Mbak Nisa. Ndaru terdiam. Namun kelam
matanya menunjukkan kekerasan hatinya.
Ibu menyadari betul kalau Ndaru mewarisi sifat bapaknya. Teguh hati dalam
mempertahankan suatu pendirian yang dianggapnya benar. Atau mungkin lebih
tepatnya keras kepala? Oii...hati ibu teriris. Pilu sungguh, tatkala menyadari
bahwa justru putra tercintanya yang telah menorehkan sembilu. Dukanya terlukai.
Hati ibu begitu gamang. Membayangkan
masa tuanya, sendirian mengurus rumah joglo peninggalan almarhum suaminya dan
juga Mushola di sampingnya. Siapakah yang akan berdiri sebagai Imam, setelah anak
lelakinya sendiri menyiratkan penolakan? Ibu tak mungkin mengharapkan Danang
dan Nisa untuk menempati rumah joglo
itu bersamanya. Danang dan Nisa sudah memiliki rumah sendiri di Jalan
Parangtritis. Mereka membuka usaha pembuatan dan penjualan souvenir di sana.
Lalu angan ibu bermain di masa
berpuluh tahun lalu. Ketika Ndaru masih kanak-kanak lucu. Bertahun suaminya
menantikan kelahiran seorang anak lelaki sebagai penerus garis keturunan. Namun
kesabaran mereka harus diuji, ketika putra yang dirindukan tak kunjung datang. Kemudian
suaminya memutuskan untuk mengangkat seorang bayi perempuan dari Panti. Untuk pancingan supaya sang istri cepat hamil,
kata orang Jawa. Dialah Annisa, yang kemudian menjadi satu-satunya kakak
perempuan dan saudara bagi Ndaru.
Barulah lima tahun
kemudian, lahir anak laki-laki yang mereka tunggu-tunggu. Seperti ketiban Ndaru, demikian menurut pepatah
Jawa. Maka, bayi mungil nan tampan itu diberi nama Ndaru Priyo Atmojo. Yang
artinya anak lelaki yang menjadi anugerah terindah.. Ndaru adalah anugerah
terindah dari Gusti Allah, seperti rembulan nan terang yang jatuh dari langit.
Ndaru adalah jawaban dari doa-doa panjang yang mereka lantunkan setiap malam.
Ndaru lahir ketika kandungannya baru
menginjak bulan ke tujuh. Namun bayi 2 kg yang tergolek di inkubator itu telah
mencuri hati mereka. Tangisannya keras, tak kalah dengan tangisan bayi lain
yang lahir cukup bulan.
Lalu diajarinya buah hatinya itu
berjalan. Mula-mula berjalan di atas kue apem nan halus di atas nampan, ketika
acara tedhak siten. Lalu berjalan di
atas tanah, di atas pasir, di atas kerikil, bahkan di atas bebatuan yang siap
melukai. Suaminya acap memarahinya tatkala ia menjumpai lutut Ndaru yang
berdarah karena terjatuh. Dalam hal ini ia memiliki pandangan yang berbeda dengan
suaminya. Ia ingin anak lelakinya tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang
tangguh dan kuat.
Ketika malam menghadirkan selimut
gelapnya, ia akan memeluk Ndaru, mengelus keningnya yang lebar.
Disenandungkannya lagu yang dapat melelapkan buah hatinya itu. Mulai dari lagu
Nina Bobok sampai tembang Yen Ing Tawang
Ono Lintang.
Kemudian Ndaru mulai menuntutnya untuk mendongeng. Dan dongengnya tak akan pernah
habis untuk lelaki kecilnya itu. Mulai dari dongeng Kancil Mencuri Ketimun sampai Kisah
Para Nabi. Mulai cerita lucu Abu Nawas, sampai Kisah Seribu Satu
Malam. Mulut seorang ibu tak akan pernah berhenti bercerita, sebelum permata
hatinya terpejam.
Yang paling disukai
Ndaru adalah cerita tentang azab Allah yang menimpa suatu kaum, tatkala kaum itu
ingkar dan menyekutukan Allah.
”Bencana alam itu termasuk azab
Allah Ibu?” mulut kecilnya mulai bertanya.
”Iya, makanya kita
harus beriman kepada Allah, menjalankan perintahNya dan menjauhi segala
laranganNya.”
”Ndaru akan selalu
bersama Ibu. Kalau terjadi bencana alam, Ndaru akan melindungi Ibu,” janjinya
dua puluh tahun yang lalu. Janji seorang anak lelaki kecil berumur 8 tahun
kepada ibunya.
Dan sekarang Ndaru membawa seorang
perempuan, calon menantu baginya. Perempuan yang bahkan untuk mengucapkan
namanya saja lidahnya terlalu susah untuk digerakkan. Apakah Ndaru telah
mengkhianatinya? Tidak. Sebermula saat Ndaru mulai menghuni rahimnya pun, ia
sudah yakin bahwa suatu saat anaknya pasti akan meninggalkannya.
@@
Silir semilir angin
menyibak daun-daun rumpun melati
harum
mewangi bunganya
Rias-rias,
sunting di telinga
menyambut
sepasang pengantin
”Aku jatuh cinta padanya Ibu,” ucap
Ndaru memohon pengertian sang ibu. Merajuk. Persis seperti saat ia masih
berusia sepuluh tahun. Merengek, menangis menggelayuti lengan ibunya di
sepanjang trotoar Malioboro. Hanya karena sepasang sepatu bola. Yang sebentar
kemudian sudah dilupakannya karena ada mainan baru yang lebih menarik
perhatiannya.
”Cinta? Sekuat apakah cintamu,
sehingga kamu yakin biduk rumah tanggamu tidak akan karam, tatkala nahkoda dan
kelasinya punya keyakinan yang berbeda?” tanya ibunya dengan bibir gemetar. Tak
ada air mata membasahi pipinya yang keriput. Tapi gerimis itu telah jatuh
membasahi hatinya.
Dan Ndaru tetap pada keputusannya semula.
Ndaru begitu mencintai Ai Ling. Tak mungkin rasanya bagi Ndaru untuk
meninggalkan Batam dan juga perempuan yang telah menghadirkan wangi kebun mawar
dalam hatinya. Bagi Ndaru, Yogya hanyalah kota kenangan.
”Maafkan aku Ibu,
ini keputusanku,” kata Ndaru tanpa rasa sesal.
Lalu Ndaru pergi meninggalkan Yogya
dan segala kenangan masa kecilnya. Meninggalkan rumah joglo warisan bapak dan
sebuah Mushala di sampingnya. Meninggalkan
sekeping hati renta ibunya, yang tak bisa ikhlas memberikan restu.
Itulah keputusan
Ndaru. Keputusan yang melahirkan keputus asaan ibunya.
@@
Pulanglah
lebaran ini Ndaru, Ibu kangen ingin bertemu.
Nisa mengirimkan pesan singkat lewat e-mail, tepat setahun setelah Ndaru
mengambil keputusan. Tak ada jawaban. Ndaru seperti hilang ditelan bumi. Dan
ibu masih setia duduk di ruang tamu di rumah joglo. Mengharap ada taxi memasuki
halaman, membawa pulang anaknya. Semua sudah bersiap menunggu kedatangan Ndaru.
Tirai-tirai telah diganti dengan yang baru dan vas berisi anyelir di meja ruang
tamu. Juga stoples berisi penganan yang berjajar-jajar.
Rumah joglo itu peninggalan
mertuanya. Keempat tiangnya merupakan kayu jati yang berusia ratusan tahun,
diambil langsung dari alas roban. Ukiran dan pahatan pada kanopinya dibuat oleh
seorang yang ahli. Bapak mertuanya mendatangkannya langsung dari Jepara.
Rumah joglo itu kini berfungsi
sebagai ruang tamu. Di belakangnya ada rumah induk, di samping kanannya ada
Mushala. Penduduk kampung melakukan shalat jamaah di Mushala itu. Mushala akan semakin ramai saat
bulan Ramadhan tiba. Jamaahnya sampai meluber ke terasnya. Di samping kiri
rumah joglo, ada bangunan setengah terbuka. Orang Jawa menyebutnya gandhok. Dulu digunakan untuk tempat
menyimpan kayu bakar. Tetapi setelah adanya kompor minyak dan kemudian kompor
gas, gandhok itu tidak berfungsi
lagi. Dibiarkan kosong begitu saja. Seperti hatinya yang kosong sepeninggal
anak lelakinya.
Dulu ia akan duduk diam-diam di
ruang tamu. Menunggu suaminya pulang dari kantor. Memandangi anaknya yang
bermain sepeda. Ndaru tak suka bermain jauh-jauh. Ia akan bersepeda di halaman
rumahnya yang luas. Sampai kemudian ibunya atau kakaknya menyuruh membelikan
sesuatu di warung, Ndaru baru bersepeda ke luar meninggalkan halaman.
Joglo itu penuh kenangan. Kenangan
yang manis bersama suami dan kedua anaknya. Maka ia menolak mentah-mentah usul
dari menantunya untuk menjual joglo itu dan menggantinya dengan bangunan yang
lebih modern. Joglo itu akan diwariskannya kepada Ndaru, sesuai pesan mendiang
suaminya.
@@
Lebaran
hampir tiba. Kau pulang ke Yogya kan Ndaru? Jangan takut, Ibu sudah memaafkanmu.
Tulis Mbak Nisa dalam e-mail pada tahun ke dua Ndaru pergi.
Pesan terkirim, tetapi tak ada jawaban yang masuk. Dan ibu dengan setia terus
menunggu si anak hilang di ruang tamu. Duduk diam-diam, sambil mengurai
kenangan demi kenangan.
Ramadhan selalu menjadi bulan
istimewa dalam keluarganya. Mushala
selalu ramai sejak sebelum buka puasa sampai fajar setelah shalat subuh.
Ia akan mengajari anak lelakinya memakai sarung dan juga pecis. Menuntunnya
membaca kitab suci, dan mengajarinya untuk kuat menjalankan ibadah puasa.
Kemudian saat lebaran tiba, ia akan
memasak berbagai masakan yang menggugah selera. Ketupat, opor ayam dan sambal
goreng ampela ati. Menyajikan masakannya setelah mereka menunaikan shalat Iedul
fitri berjamaah di tanah lapang.
Kini tubuhnya semakin rapuh. Sejak
berbagai penyakit mulai menggerogoti raganya. Tubuhnya tidak lagi duduk di
kursi ruang tamu. Sebuah kursi roda tua setia menemaninya. Keretak-keretik suaranya
saat di dorong anak perempuannya keluar dari rumah joglo.
@@
Pulanglah
Ndaru, ibu sakit. Ibu kangen pengen ketemu sama kamu.
Nisa kembali mengirimkan e-mail pada lebaran
di tahun berikutnya. Kali ini ada jawaban, meskipun singkat.
Iya Mbak, aku akan pulang pada hari lebaran yang ke tiga.
Hati Nisa lega. Dibisikkannya sebuah
kalimat pada telinga ibunya, yang tergolek lemah.
”Ibu cepat sembuh
ya, Ndaru akan pulang.”
Tersungging senyuman pada wajah
renta itu.
”Ibu sudah memaafkan Ndaru kan? Tidak
marah lagi sama Ndaru ?”
Ibu kembali
tersenyum dan mengangguk. Tanpa kata-kata.
@@
Silir semilir angin
menyibak daun-daun rumpun melati
harum
mewangi bunganya
buat rangkaian indah
mengantar
ruh suci
kembali ke pangkuan Illahi
Tangis Ndaru pecah. Ia bisikkan
kata maaf di telinga ibunya. Ia tuntun ibunya melafazkan dua kalimah Syahadat,
sebelum malaikat maut menunaikan kewajibannya. Lalu dilihatnya bibir itu mengembang senyum. Senyum yang
dirindukannya sepanjang masa. Mata
ibunya berbinar sesaat, untuk kemudian
meredup dan terpejam.
Wanita renta itu tersenyum dalam keabadian. Hatinya bahagia
sungguh melihat anak dan menantunya. Begitu cantiknya Ai Ling dalam balutan
jilbab putih. Ai Ling... Ai Ling...Di panggilnya nama itu berulangkali. Tapi
tak satupun di antara mereka mendengarnya. Mereka semua larut dalam tangis.
Aiih.. siapa itu gadis kecil bermata
sipit. Ia merangkul kaki ayahnya dengan takut-takut. Ingin direngkuhnya cucunya
yang cantik itu dalam pelukannya. Namun tak bisa? Iya... karena Malaikat utusan
Tuhan telah memisahkannya dengan semua yang dicintainya. Mereka terpisah oleh
ruang dan waktu. Tetapi ia sungguh bahagia. Anak lelaki kesayangannya telah
kembali pulang. Ia pun juga telah kembali pulang, ke tempat asalnya yang azali.
@TAMAT@
Catatan:
- joglo: rumah adat di Jawa
2. pancingan:
mengangkat anak dengan tujuan agar cepat hamil.
- ketiban Ndaru: mendapatkan anugerah
- tedhak siten: upacara untuk memperingati bayi yang turun tanah untuk pertama kalinya
- Yen Ing Tawang ono Lintang: salah satu lagu Jawa untuk pengantar tidur.
- gandhok: rumah tambahan di samping rumah utama, biasanya untuk menyimpan kayu atau peralatan bercocok tanam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar