Daftar Blog Saya

Senin, 17 April 2017

KISAH SEPOTONG ROTI ( cerpen majalah kawanku )

Oleh: Utami Panca Dewi
           

            Sabtu, 11 Januari 2014
            Diary....
Aku selalu percaya kata-kata Mama. Sepanjang ingatanku, Mama itu  nggak pernah bohong. Mama selalu berkata benar. Ini tentang tentang sepotong  roti yang bisa menciptakan sebuah persahabatan. Bahkan keajaiban dari sepotong roti itu sudah aku rasakan sejak aku memasuki kelasku yang pertama.
Aku ingat hari pertamaku masuk Taman Kanak-kanak. Hari itu langit berwarna biru terang, dihiasi sebaris awan putih tipis yang berjalan perlahan. Aku bahkan masih ingat hiasan jendela kelasku! Motif binatang berwarna-warni cerah. Namun aku menangis sedih saat melihat lambaian tangan Mama di balik jendela itu.
Ruang kelas terasa menakutkan tanpa kehangatan genggaman tangan Mama. Anak-anak kecil sebayaku terasa asing di mataku. Lalu aku melihat badut itu mendekatiku dan membujukku agar tidak menangis. Namun justru tangisanku bertambah nyaring. Ternyata ia adalah Ibu guruku yang bertubuh subur. Pemerah bibirnya yang serupa warna balon mengingatkanku pada badut ulang tahun di tempat Rara, sepupuku.
Pada minggu kedua, aku mulai kerasan di kelas. Itu berawal dari dua potong roti yang dibawakan Mama di dalam kotak bekalku.
“Nuna, roti yang sepotong itu untuk kamu. Sedangkan yang sepotong lagi, coba kau berikan kepada salah satu temanmu yang paling manis dan paling baik... Pasti nanti kamu akan kerasan di sekolah,” pesan Mama kepadaku
Aku percaya akan kata-kata Mama, maka aku pun mematuhi pesannya. Sepotong roti dari kotak bekalku, segera berpindah tangan. Seorang gadis manis berponi melahapnya dengan rakus.
“Enak?” tanyaku.
“He em....” jawab Aya dengan bibir yang bergerak-gerak lucu. Di pipinya masih ada serpihan keju.
Aya, segera menjadi sahabatku. Dan aku tidak menangis lagi karenanya. Sejak saat itu, Mama selalu membekaliku dengan 2 potong roti. Sepotong untukku sendiri, sepotong lagi untuk menciptakan sebuah keajaiban. Berupa hadirnya seorang sahabat yang dapat memahamiku.
Namun hari ini aku mulai meragukan kata-kata Mama, Diary... Saat aku menerima kenyataan bahwa ada seseorang yang menolak sepotong roti pemberianku. Seseorang yang - bahkan aku sangat yakin kalau ia - amat menggemari roti berisi keju dan bertaburkan parutan keju seperti yang aku bawa.
@@
Kamis, 16 Januari 2014
Dear Diary....
Ia masih bersikap sama. Hanya melemparkan pandangan beberapa detik, untuk kemudian berpaling ke arah lain. Mungkinkah ia benar-benar lupa kepadaku? Atau.... pura-pura lupa? Rams.... Kedatangannya langsung menyita perhatian seisi kelas. Yola dan Mer malah dengan terang-terangan berebut simpati dengan menawarkan tempat duduk.
Aku seperti biasanya. Berharap roti yang kubawa bisa mengingatkannya akan persahabatan kami yang manis, beberapa tahun yang lalu. Itu pun setelah aku yakin betul bahwa ia adalah Rams-ku yang menghilang lima tahun lalu.
Tadi pagi, Mama membekaliku dengan dua buah roti lagi. Roti berisi selapis keju, dengan topping parutan keju pula. Namun hari ini taburan kejunya nampak terlalu coklat. Seperti warna serutan kayu mahoni yang telah berumur. Ah, Mama pasti terlalu lama memanggangnya. Tetapi roti buatan Mama tidak pernah mengecewakan lidahku.
Beberapa saat aku berdiri mematung di samping tempat duduknya. Roti itu masih ada di tanganku, ketika aku melihat isyarat penolakan di matanya. Lalu tangannya menepis tanganku. Tepisannya terlalu kuat, hingga rotiku terjatuh di lantai. Kudengar suara tawa tertahan dari Yola dan Mer.
Mama tersenyum samar mendengar pengaduanku.
“Rams malu, kali... Papa saja dahulu bisa luluh karena roti buatan Mama,” ucap Mama membesarkan hatiku.
Begitukah Dy? Ah... sayang sekali aku tak pernah bisa bertanya kepada Papa. Bahkan aku hanya mengenali Papa lewat foto-foto di dalam album kenangan Mama.
Diary sayang...
Tapi Rams sekarang beda. Ia tampak begitu tinggi, angkuh dan tak bersahabat, Mungkinkah dia Rams Meutah sahabat kecilku, Dy?
@@
            Sabtu, 18 Januari 2014
            Dear diary...
            Aku ingin keajaiban itu datang lagi. Seperti waktu aku bertemu dengan Aya di taman kanak-kanak. Seperti saat aku berjumpa dengan Rams di Sekolah Dasar. Aku masih ingat betul. Anak lelaki bertubuh tinggi kurus dan berparas hitam manis itu adalah murid baru di kelasku. Namanya Rams Meutuah. Ia baru saja pindah dari Aceh.
            Wajahnya dihiasi senyum malu-malu saat menerima roti pemberianku. Maka keajaiban persahabatan pun kembali tercipta. Sejak itu sepotong roti buatan Mama selalu menjadi santapannya saat istirahat.
            Sekarang aku bertemu lagi dengan Rams. Namun ia menjadi Rams yang berbeda. Ia mendadak menjadi sangat alergi melihat roti, terlebih roti pemberianku. Dan tadi siang adalah puncak dari kekesalannya kepadaku.
            Aku sengaja pulang agak lambat. Masih dengan keyakinan bahwa kata-kata Mama selalu benar, aku mencari-cari sosok Rams di tengah-tengah lapangan basket. Aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Menyodorkan sepotong roti keju bertopping serutan keju.
            “Rams.... Ini roti dari Mama....” bisikku serak.
Sedetik....
Dua detik...
Ia hanya memandang roti yang ada di tanganku. Lalu ia pun merebut roti itu dengan cepat. Digamitnya lenganku dengan kasar. Aku belum bisa mengerti, sampai saat kami tiba di gerbang sekolah. Dilemparkannya roti buatan Mama itu ke jalanan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu dalam menorehkan luka di hatiku.
“Jangan pernah lagi kamu membawakan roti untukku, aku tidak suka!!!  Memangnya kamu siapaku?”
Kutatap roti itu dengan mata berkaca-kaca. Aku berjalan pelan untuk mengambil kepingan harapanku yang tercecer di jalanan itu. Namun ternyata aku kalah cepat. Gadis kecil berambut merah telah mengambil roti itu. Membuka plastik pembungkusnya dan menggigitnya dengan rakus. Di sekanya dengan punggung tangan ingus yang keluar dari hidungnya, di sela-sela ia menikmati roti. Ia tampak begitu lahap, seolah sudah beberapa hari belum menikmati makanan apa-apa.
Diary....  
Hari ini aku belajar tentang sesuatu. Tentang sepotong roti yang kubawa. Ia telah menemukan takdirnya sendiri. Bersama seorang anak perempuan kecil yang sedang membutuhkan sesuatu untuk mengisi perutnya. Matanya yang bening mengisyaratkan rasa syukur dan terima kasih.
@@
            Minggu, 26 Januari 2014
            Dear Diary....
            Akhirnya Mama menceritakan segalanya. Peristiwa lima tahun lalu, yang membuat Rams pergi dengan tiba-tiba dari kehidupanku. Tanpa ada kata-kata perpisahan, maupun janji untuk bertemu kembali.
Rams begitu menyukai roti buatan Mama. Ia ingin bundanya bisa membuat sendiri roti keju berhias taburan parutan keju di atasnya. Lalu bundanya menelepon Mama, meminta untuk diajari. Mama memberikan catatan bahan-bahan yang harus dibeli. Sore itu, bundanya Rams membuat janji untuk bertemu dengan Mama di rumah.  
            Waktu mungkin berhenti berputar, ketika sebuah minibus menyambar motor yang dikendarai oleh bundanya Rams. Bahan-bahan untuk membuat roti jatuh berserakan di jalan raya. Bersama dengan percikan darah pada kerudung putih yang dipakai sang bunda.
            Aku tidak pernah tahu tentang rencana Tuhan, Dy.... Sebagaimana aku juga tidak pernah tahu tentang rencana bundanya untuk belajar membuat roti bersama Mama. Rams tidak pernah bercerita sebelumnya. Demikian pula dengan Mama.
            Yang aku tahu, sejak peristiwa itu Rams menjadi pendiam. Bahkan teramat pendiam. Ia tidak punya siapa-siapa lagi sepeninggal bundanya. Ayah dan adik-adiknya telah dipanggil Tuhan pada saat terjadi peristiwa tsunami di Aceh. Untuk itulah ia harus pindah sekolah mengikuti tantenya. Untuk pertama kalinya aku belajar tentang makna dari sebuah kehilangan.
            Diary....
Setelah mendengar cerita Mama, aku mulai bisa memahami tentang kebenciannya kepadaku. Juga kemuakannya terhadap roti  yang aku bawa. Namun besok pagi, lusa dan seterusnya  aku tetap akan membawa dua potong roti dalam kotak bekalku. Karena ada tangan lain yang telah menunggu sepotong roti yang aku bawa.
@@
            Rabu, 19 Februari 2014
            Dear Diary...
            Tadi siang keajaiban itu telah terjadi lagi. Keajaiban dari sepotong roti yang aku bawa. Dan saat itu aku ingin berteriak sekeras-kerasnya memanggil  Mama. Walaupun pada kenyataannya justru lidahku telah menjadi kelu.
Koridor sekolah sudah mulai sepi saat aku melewatinya, Di lapangan, beberapa anak basket sedang berlatih. Aku juga melihat Rams. Tampaknya ia melihat ke arahku. Atau entahlah.... Mungkin aku cuma berhalusinasi saja.
            Bergegas, aku menuju ke gerbang sekolah. Dari arah pos jaga, suara radio Pak Satpam masih mengalunkan lagu Don’t You Remember dari Adele. Mataku mencari-cari sosok itu. Rambut jagung yang kucel seperti tak pernah disisir. Dan ingus yang turun perlahan, seperti menunggu satu sentakan kuat dari  sang pemilik hidung agar bisa naik kembali. Dialah sekarang yang setia menunggu sepotong roti pemberianku.
Tergesa aku melangkah keluar gerbang. Melompati genangan air yang disisakan oleh hujan yang turun sebentar tadi. Leganya hatiku saat melihat kelebatnya yang datang menghampiriku. Matanya tersenyum saat menerima roti dari tanganku. Lalu ia berlari menjauh. Kepalanya berkali-kali menoleh ke arahku sambil tersenyum.
Alunan lagu dari radio Pak Satpam tak menyisakan ruang dalam telingaku untuk mendengar kedatangannya. Tiba-tiba saja aku sudah mendengar namaku dipanggil. Suara bariton itu... Mendadak membuat lidahku menjadi kelu, saat ia bergema persis di telinga kiriku.
“Nuna, aku kangen roti buatan Mamamu. Tetapi aku rasa.... aku masih lapar, kalau cuma sepotong. Jadi....”
Jadi sore ini aku harus mengajak Mama belanja, Diary.... Untuk membeli bahan-bahan  roti lebih banyak lagi. Juga membeli kotak bekal yang lebih besar lagi. Agar bisa membawa banyak roti. Karena Rams.... Juga karena gadis kecil berambut merah kucel itu, yang pasti memiliki banyak teman-teman.
Diary sayang....
Tentang  kisah sepotong roti ini, biarlah hanya kamu dan aku yang memahaminya sebagai sebuah keajaiban. Yang pasti, aku semakin sayang sama Mama. Aku semakin percaya bahwa kata-kata Mama selalu benar. Dulu, sekarang, bahkan sampai kapanpun.
@SELESAI@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar