Oleh:
Utami Panca Dewi
Sabtu, 11 Januari 2014
Diary....
Aku
selalu percaya kata-kata Mama. Sepanjang ingatanku, Mama itu nggak
pernah bohong. Mama selalu berkata benar. Ini tentang tentang sepotong roti yang bisa menciptakan sebuah
persahabatan. Bahkan keajaiban dari sepotong roti itu sudah aku rasakan sejak
aku memasuki kelasku yang pertama.
Aku
ingat hari pertamaku masuk Taman Kanak-kanak. Hari itu langit berwarna biru
terang, dihiasi sebaris awan putih tipis yang berjalan perlahan. Aku bahkan
masih ingat hiasan jendela kelasku! Motif binatang berwarna-warni cerah. Namun
aku menangis sedih saat melihat lambaian tangan Mama di balik jendela itu.
Ruang
kelas terasa menakutkan tanpa kehangatan genggaman tangan Mama. Anak-anak kecil
sebayaku terasa asing di mataku. Lalu aku melihat badut itu mendekatiku dan
membujukku agar tidak menangis. Namun justru tangisanku bertambah nyaring.
Ternyata ia adalah Ibu guruku yang bertubuh subur. Pemerah bibirnya yang serupa
warna balon mengingatkanku pada badut ulang tahun di tempat Rara, sepupuku.
Pada
minggu kedua, aku mulai kerasan di kelas. Itu berawal dari dua potong roti yang
dibawakan Mama di dalam kotak bekalku.
“Nuna,
roti yang sepotong itu untuk kamu. Sedangkan yang sepotong lagi, coba kau
berikan kepada salah satu temanmu yang paling manis dan paling baik... Pasti
nanti kamu akan kerasan di sekolah,” pesan Mama kepadaku
Aku
percaya akan kata-kata Mama, maka aku pun mematuhi pesannya. Sepotong roti dari
kotak bekalku, segera berpindah tangan. Seorang gadis manis berponi melahapnya
dengan rakus.
“Enak?”
tanyaku.
“He
em....” jawab Aya dengan bibir yang bergerak-gerak lucu. Di pipinya masih ada
serpihan keju.
Aya,
segera menjadi sahabatku. Dan aku tidak menangis lagi karenanya. Sejak saat
itu, Mama selalu membekaliku dengan 2 potong roti. Sepotong untukku sendiri,
sepotong lagi untuk menciptakan sebuah keajaiban. Berupa hadirnya seorang
sahabat yang dapat memahamiku.
Namun
hari ini aku mulai meragukan kata-kata Mama, Diary... Saat aku menerima
kenyataan bahwa ada seseorang yang menolak sepotong roti pemberianku. Seseorang
yang - bahkan aku sangat yakin kalau ia - amat menggemari roti berisi keju dan
bertaburkan parutan keju seperti yang aku bawa.
@@
Kamis,
16 Januari 2014
Dear
Diary....
Ia
masih bersikap sama. Hanya melemparkan pandangan beberapa detik, untuk kemudian
berpaling ke arah lain. Mungkinkah ia benar-benar lupa kepadaku? Atau....
pura-pura lupa? Rams.... Kedatangannya langsung menyita perhatian seisi kelas. Yola
dan Mer malah dengan terang-terangan berebut simpati dengan menawarkan tempat
duduk.
Aku
seperti biasanya. Berharap roti yang kubawa bisa mengingatkannya akan
persahabatan kami yang manis, beberapa tahun yang lalu. Itu pun setelah aku
yakin betul bahwa ia adalah Rams-ku yang menghilang lima tahun lalu.
Tadi
pagi, Mama membekaliku dengan dua buah roti lagi. Roti berisi selapis keju, dengan
topping parutan keju pula. Namun hari ini taburan kejunya nampak terlalu
coklat. Seperti warna serutan kayu mahoni yang telah berumur. Ah, Mama pasti
terlalu lama memanggangnya. Tetapi roti buatan Mama tidak pernah mengecewakan
lidahku.
Beberapa
saat aku berdiri mematung di samping tempat duduknya. Roti itu masih ada di
tanganku, ketika aku melihat isyarat penolakan di matanya. Lalu tangannya
menepis tanganku. Tepisannya terlalu kuat, hingga rotiku terjatuh di lantai.
Kudengar suara tawa tertahan dari Yola dan Mer.
Mama
tersenyum samar mendengar pengaduanku.
“Rams
malu, kali... Papa saja dahulu bisa luluh karena roti buatan Mama,” ucap Mama
membesarkan hatiku.
Begitukah
Dy? Ah... sayang sekali aku tak pernah bisa bertanya kepada Papa. Bahkan aku
hanya mengenali Papa lewat foto-foto di dalam album kenangan Mama.
Diary
sayang...
Tapi
Rams sekarang beda. Ia tampak begitu tinggi, angkuh dan tak bersahabat, Mungkinkah
dia Rams Meutah sahabat kecilku, Dy?
@@
Sabtu, 18 Januari 2014
Dear diary...
Aku ingin keajaiban itu datang lagi. Seperti waktu aku
bertemu dengan Aya di taman kanak-kanak. Seperti saat aku berjumpa dengan Rams
di Sekolah Dasar. Aku masih ingat betul. Anak lelaki bertubuh tinggi kurus dan
berparas hitam manis itu adalah murid baru di kelasku. Namanya Rams Meutuah. Ia
baru saja pindah dari Aceh.
Wajahnya dihiasi senyum malu-malu saat menerima roti
pemberianku. Maka keajaiban persahabatan pun kembali tercipta. Sejak itu sepotong
roti buatan Mama selalu menjadi santapannya saat istirahat.
Sekarang aku bertemu lagi dengan Rams. Namun ia menjadi
Rams yang berbeda. Ia mendadak menjadi sangat alergi melihat roti, terlebih
roti pemberianku. Dan tadi siang adalah puncak dari kekesalannya kepadaku.
Aku sengaja pulang agak lambat. Masih dengan keyakinan
bahwa kata-kata Mama selalu benar, aku mencari-cari sosok Rams di tengah-tengah
lapangan basket. Aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Menyodorkan
sepotong roti keju bertopping serutan keju.
“Rams.... Ini roti dari Mama....” bisikku serak.
Sedetik....
Dua
detik...
Ia
hanya memandang roti yang ada di tanganku. Lalu ia pun merebut roti itu dengan
cepat. Digamitnya lenganku dengan kasar. Aku belum bisa mengerti, sampai saat
kami tiba di gerbang sekolah. Dilemparkannya roti buatan Mama itu ke jalanan.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu dalam menorehkan luka di hatiku.
“Jangan
pernah lagi kamu membawakan roti untukku, aku tidak suka!!! Memangnya kamu siapaku?”
Kutatap
roti itu dengan mata berkaca-kaca. Aku berjalan pelan untuk mengambil kepingan
harapanku yang tercecer di jalanan itu. Namun ternyata aku kalah cepat. Gadis
kecil berambut merah telah mengambil roti itu. Membuka plastik pembungkusnya
dan menggigitnya dengan rakus. Di sekanya dengan punggung tangan ingus yang
keluar dari hidungnya, di sela-sela ia menikmati roti. Ia tampak begitu lahap,
seolah sudah beberapa hari belum menikmati makanan apa-apa.
Diary....
Hari
ini aku belajar tentang sesuatu. Tentang sepotong roti yang kubawa. Ia telah
menemukan takdirnya sendiri. Bersama seorang anak perempuan kecil yang sedang
membutuhkan sesuatu untuk mengisi perutnya. Matanya yang bening mengisyaratkan
rasa syukur dan terima kasih.
@@
Minggu, 26 Januari 2014
Dear Diary....
Akhirnya Mama menceritakan segalanya. Peristiwa lima
tahun lalu, yang membuat Rams pergi dengan tiba-tiba dari kehidupanku. Tanpa
ada kata-kata perpisahan, maupun janji untuk bertemu kembali.
Rams
begitu menyukai roti buatan Mama. Ia ingin bundanya bisa membuat sendiri roti
keju berhias taburan parutan keju di atasnya. Lalu bundanya menelepon Mama,
meminta untuk diajari. Mama memberikan catatan bahan-bahan yang harus dibeli.
Sore itu, bundanya Rams membuat janji untuk bertemu dengan Mama di rumah.
Waktu mungkin berhenti berputar, ketika sebuah minibus
menyambar motor yang dikendarai oleh bundanya Rams. Bahan-bahan untuk membuat
roti jatuh berserakan di jalan raya. Bersama dengan percikan darah pada
kerudung putih yang dipakai sang bunda.
Aku tidak pernah tahu tentang rencana Tuhan, Dy....
Sebagaimana aku juga tidak pernah tahu tentang rencana bundanya untuk belajar
membuat roti bersama Mama. Rams tidak pernah bercerita sebelumnya. Demikian
pula dengan Mama.
Yang aku tahu, sejak peristiwa itu Rams menjadi pendiam.
Bahkan teramat pendiam. Ia tidak punya siapa-siapa lagi sepeninggal bundanya.
Ayah dan adik-adiknya telah dipanggil Tuhan pada saat terjadi peristiwa tsunami
di Aceh. Untuk itulah ia harus pindah sekolah mengikuti tantenya. Untuk pertama
kalinya aku belajar tentang makna dari sebuah kehilangan.
Diary....
Setelah
mendengar cerita Mama, aku mulai bisa memahami tentang kebenciannya kepadaku. Juga
kemuakannya terhadap roti yang aku bawa.
Namun besok pagi, lusa dan seterusnya aku
tetap akan membawa dua potong roti dalam kotak bekalku. Karena ada tangan lain
yang telah menunggu sepotong roti yang aku bawa.
@@
Rabu, 19 Februari 2014
Dear Diary...
Tadi siang keajaiban itu telah terjadi lagi. Keajaiban
dari sepotong roti yang aku bawa. Dan saat itu aku ingin berteriak sekeras-kerasnya
memanggil Mama. Walaupun pada
kenyataannya justru lidahku telah menjadi kelu.
Koridor
sekolah sudah mulai sepi saat aku melewatinya, Di lapangan, beberapa anak
basket sedang berlatih. Aku juga melihat Rams. Tampaknya ia melihat ke arahku.
Atau entahlah.... Mungkin aku cuma berhalusinasi saja.
Bergegas, aku menuju ke gerbang sekolah. Dari arah pos
jaga, suara radio Pak Satpam masih mengalunkan lagu Don’t You Remember dari Adele. Mataku mencari-cari sosok itu. Rambut
jagung yang kucel seperti tak pernah disisir. Dan ingus yang turun perlahan,
seperti menunggu satu sentakan kuat dari sang pemilik hidung agar bisa naik kembali. Dialah
sekarang yang setia menunggu sepotong roti pemberianku.
Tergesa
aku melangkah keluar gerbang. Melompati genangan air yang disisakan oleh hujan
yang turun sebentar tadi. Leganya hatiku saat melihat kelebatnya yang datang
menghampiriku. Matanya tersenyum saat menerima roti dari tanganku. Lalu ia
berlari menjauh. Kepalanya berkali-kali menoleh ke arahku sambil tersenyum.
Alunan
lagu dari radio Pak Satpam tak menyisakan ruang dalam telingaku untuk mendengar
kedatangannya. Tiba-tiba saja aku sudah mendengar namaku dipanggil. Suara bariton
itu... Mendadak membuat lidahku menjadi kelu, saat ia bergema persis di telinga
kiriku.
“Nuna,
aku kangen roti buatan Mamamu. Tetapi aku rasa.... aku masih lapar, kalau cuma
sepotong. Jadi....”
Jadi
sore ini aku harus mengajak Mama belanja, Diary.... Untuk membeli
bahan-bahan roti lebih banyak lagi. Juga
membeli kotak bekal yang lebih besar lagi. Agar bisa membawa banyak roti.
Karena Rams.... Juga karena gadis kecil berambut merah kucel itu, yang pasti
memiliki banyak teman-teman.
Diary
sayang....
Tentang
kisah sepotong roti ini, biarlah hanya
kamu dan aku yang memahaminya sebagai sebuah keajaiban. Yang pasti, aku semakin
sayang sama Mama. Aku semakin percaya bahwa kata-kata Mama selalu benar. Dulu,
sekarang, bahkan sampai kapanpun.
@SELESAI@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar