Oleh:
Utami Panca Dewi
Suatu siang di sebuah sekolah alam. Seorang bapak guru yang relatif masih muda usia, tampak sedang mengajar di sebuah kelas. Ia mengajar mata pelajaran ketrampilan. Murid-muridnya tidak hanya diajar secara teoritis saja, tetapi langsung praktik. Anak-anak tampak antusias mengikuti petunjuk dari bapak gurunya. Memilih-milih pita berwarna-warni untuk disulamkan di atas kerudung berbentuk persegi. Warna pita mereka sesuaikan dengan warna kerudungnya.
Diam-diam ada rasa iri dalam
hatiku. Sebagai seorang wanita, aku seharusnya pandai membuat sendiri kerudung
bersulam pita ataupun ketrampilan jahit-menjahit lainnya. Tapi di jaman serba
instan ini, aku memilih membeli atau memesan kepada yang ahli. Selama ini aku
memang pemalas dan kurang telaten untuk
ketrampilan yang satu itu.
Dan yang membikin aku begitu
terpana kehilangan kata adalah, ketika mendapatkan kenyataan bahwa bapak guru
itu sepasang kakinya hanya sebatas lutut, dan sepasang tangannya hanya sebatas
siku. Namun sepasang tangan tanpa jemari itu dengan lincah memilih-milih pita,
memasukkan benang ke dalam jarum, membuat bentuk-bentuk bunga dan daun dari
pita itu, dan menyulamkannya di atas kerudung.
Tak seulaspun tampak rona
kesedihan di wajahnya. Dengan ceria dan raut penuh senyum, ia layani
pertanyaan-pertanyaan dari muridnya, bahkan ada beberapa anak yang meminta
tolong untuk memasukkan benang atau menentukan panjang pita yang digunakan.
Bel istirahat pun tiba.
Mengetahui kalau ada tamu yang ingin bertemu, bapak guru yang belakangan
kuketahui bernama Pak Yono itu segera beranjak menemuiku. Salam sapa hangat
diulas bibir penuh senyum segera menyambutku.
”Ada yang bisa saya bantu,
Ibu?” tanya Pak Yono santun.
“Begini Pak, saya mau memesan
kerudung sulam pita,” jawabku.
Lalu diajaknya aku ke
laboratorium ketrampilan di sekolah alam itu. Disuruhnya aku memilih kerudung,
model sulaman dan warna pita. Aku dibuatnya berdecak kagum, mengamati berbagai
model sulaman pita pada kerudung yang berjajar rapi di almari pajang. Untuk
satu kerudung dengan sulaman paling sederhana, ia hanya mematok harga dua puluh
ribu rupiah.
Sebelum berpamitan, sempat aku
tanyakan beberapa hal menyangkut ketrampilan yang dimilikinya. Ternyata ia
mengikuti kursus menyulam di suatu lembaga bimbingan untuk orang-orang dengan
kekurangan fisik. Namun lepas dari itu semua, Pak Yono memang terbiasa mandiri
sejak kecil, menyelesaikan semua pekerjaan rumah sendiri, bahkan sampai menyelesaikan
kuliah, meraih gelar sarjana kependidikan.
Ada satu ucapannya yang
menohok lubuk hatiku yang paling dalam.
”Setiap tarikan napas kita
adalah pemberian Tuhan yang wajib kita syukuri Ibu. Menurut saya, Allah tidak
memberikan kekurangan fisik, namun justru kelebihan fisik kepada saya. Dengan
keadaan seperti ini, yang kata orang penuh keterbatasan, saya masih bisa
berkarya dan berguna bagi orang lain.”
Mendadak aku menjadi teringat
betapa seringnya aku mengeluhkan banyak hal kepada Sang Pencipta. Padahal aku
dikaruniai fisik yang sempurna, pekerjaan yang mapan dan keluarga yang
harmonis. Pak Yono telah mengajariku, betapa indahnya bersyukur itu.
@ SELESAI @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar