Oleh:
Utami Panca Dewi
A Ma masih di kelenteng – melakukan
sembahyang untuk leluhur – ketika Lilian
sibuk mengelus-elus sepotong kue keranjang yang paling kecil pada tumpukan
paling atas. Lilian memutuskan untuk tinggal di rumah dan tidak mengikuti langkah A Ma. Bukan saja karena ia tak mau
repot menahan mulutnya dari keharusan bersin berulang-ulang setiap kali
menghirup aroma dupa yang terbakar. Bukan pula karena sengaja ingin menyakiti
hati A Ma. Ia ingin di rumah saja, meresapi setiap kesedihan yang terperangkap
dalam kue-kue keranjang berbentuk bundar dan berwarna cokelat itu.
Ini hari terakhir sebelum tahun baru
tiba. Dan hidangan Imlek telah disiapkan A Ma untuk menyambut datangnya sinchia. Sepiring siu mie (mie panjang umur), teh telur, jeruk mandarin, daging ikan,
ayam dan babi. Termasuk setumpuk kue keranjang tiga tingkat yang semakin ke
atas semakin mengecil dan mengerucut.
“Kau tahu, kue keranjang tidak
selamanya manis?”
Lilian meraba potongan kue keranjang
yang ada dalam genggamannya. Ia berusaha memercayai setiap ucapan yang keluar
dari bibir A Ma, meskipun terkadang sulit.
“Ada kesedihan yang terperangkap
dalam sepotong kue keranjang, sehingga rasanya jauh dari manis. Rasanya justru
seperti rasa air mata.”
Seperti apa rasanya air mata itu?
Harusnya Lilian tak perlu lagi bertanya. Lilian
kerap merasakannya ketika ia menangis. Butiran air mata itu akan
mengalir dalam mulutnya yang setengah terbuka. Mula-mula air mata itu rasanya
tawar. Namun semakin lama akan semakin terasa asin seiring dengan semakin
pekatnya kesedihan yang dirasakannya.
Lilian
selalu menghabiskan kue keranjang terkecil sampai potongan terakhir. Dan
rasanya tetap saja manis. Sangat berbeda
dengan air mata dan ingusnya yang terasa asin di lidah. Kata A Ma, Lilian hanya
bisa merasakan asinnya kesedihan di dalam kue keranjang, jika ia telah berhasil
membuang rasa sedih yang terperangkap dalam jiwanya. Bagaimana mungkin? Seperti rasa kesepian, kesedihan selalu
menguntitnya sepanjang tahun, sampai datangnya tahun yang baru.
“A
Ma bilang juga apa? Habiskan kesedihanmu sebelum tahun baru tiba! Karena jika
saat sinchia tiba kau masih bersedih,
kesedihanmu akan awet sepanjang tahun!” Begitu selalu pesan A Ma di hari
terakhir sebelum sinchia tiba.
Lilian mengangguk meskipun tahu ia
tak akan bisa. Perasaan kosong yang dialaminya tak pernah bisa dihilangkannya
semudah ia menyantap potongan-potongan kue keranjang. Perasaannya semakin
senyap setiap kali A Ma menjawab ketus pertanyaannya, tentang mamanya.
“Mama kau telah menjadi hantu. Dan
orang yang telah jadi hantu tak perlu disebut-sebut lagi namanya di rumah ini, apalagi
disembahyangkan! Mengerti tidak?”
Lilian mengkerut mendengar jawaban A
Ma yang selalu sama itu. Sudah lama sekali, Lilian belum pernah bertemu lagi
dengan mamanya. Mungkin sejak ia masih belum sekolah. Lilian samar-samar
teringat, hari terakhir ia bersama Mama. Waktu itu menjelang tahun Baru Imlek
seperti saat ini. Tangannya yang mungil digandeng Mama menuju Kelenteng.
Sepulang dari Kelenteng, Mama menangis dan masih saja menangis saat mengemasi
pakaian dalam sebuah koper. A Ma marah, namun Lilian kecil tidak tahu alasan
kemarahan A Ma. Yang ia tahu, sejak saat itu mamanya tidak pernah kembali ke
rumah.
A
Ma bilang, Mama sudah mati. Tapi di mana kuburnya? Tidak pernah ada penjelasan
pasti dari A Ma. Bahkan, secuil potretnya pun tak pernah dijumpai Lilian. Ia
telah mencarinya di setiap sudut rumah. Di bawah kasur, di bawah meja
sembahyang, di balik pigura-pigura foto yang terpasang di dinding, semuanya
nihil. Kata A Ma, mamanya telah menjadi hantu. Dan hantu, tak perlu dipasang
potretnya di dalam rumah. Bisa membawa sial. Begitu rapatnya A Ma menyimpan
rahasia tentang Mama, di sudut paling gelap dalam hatinya, sehingga Lilian tak
pernah bisa untuk menyentuhnya.
Seseorang pernah mengatakan bahwa
mamanya cantik seperti dirinya. Bermata sipit, rambut lurus dan kulit putih
serupa pualam. Seseorang yang mengatakan bahwa ia harus menjadi seorang ibu,
jika ingin mengenal sosok mamanya. Namun cerita itu tak sanggup menutupi
kekosongan dalam jiwanya.
“Bagaimana cara membuat kue
keranjang dengan rasa air mata?” tanya Lilian suatu ketika.
“Kau tuang cairan tepung beras ketan ke dalam
cairan santan dan gula yang telah
mendidih dalam wajan, sambil terus diaduk! Teteskan sedikit demi sedikit
kesedihanmu dalam adonan!”
Kalau semua kesedihan sudah tertuang
dalam kue keranjang, maka Lilian tidak akan merasa sedih lagi. Kebahagiaan akan
menyertainya sepanjang tahun hingga tiba waktunya menyambut tahun baru
berikutnya. Begitulah pendapat A Ma.
Lilian telah memutuskan untuk
mencoba membuat kue keranjang dengan rasa yang berbeda. Ia telah membeli dua
kilogram tepung beras ketan, satu setengah kilogram gula merah, satu setengah
kilogram gula pasir, santan, dan bahan-bahan yang lainnya.
Ia hanya tinggal mengumpulkan
kesedihan demi kesedihan yang puluhan tahun telah bersemayam dalam jiwanya.
Menuangkannya sedikit demi sedikit dalam adonan kue keranjang yang akan
dibuatnya. Lilian tak mau A Ma mendapat malu, karena air matanya yang terus
menetes saat hari sinchia tiba.
Acara ‘Gelar Tuk Panjang, Sedepa jadi Sehasta’ selalu bisa mengumpulkan
keluarga A Ma, baik kerabat dekat maupun kerabat jauh. Mereka akan makan
bersama di meja panjang dengan posisi saling berhadapan di tanggal satu bulan
satu. Acara yang melambangkan persaudaraan dan kebersamaan ini, bisa menyatukan
kerabat dekat maupun jauh. Tapi tak pernah ada Mama dalam acara itu. Itulah
yang membuat Lilian tak bisa menanggalkan kesedihannya.
Setelah bahan-bahan yang akan diolah
sudah siap semua di meja dapur, Lilian pun berdiam diri sambil memejamkan mata.
Ia berharap Thian Ti (Kaisar Langit)
akan mengirimkan Cuo Sen (Dewa Dapur)
untuk membantunya mengumpulkan kesedihan-kesedihan dalam jiwanya. Lilian
berharap agar semua kesedihan yang dirasakannya, akan terperangkap selamanya di
dalam kue keranjang yang akan dibuatnya.
Dinyalakannya api, sambil
mengingat-ingat wajah mamanya. Kegagalan membuat kesedihan itu datang dan mengeja wantah menjadi butiran-butiran
air mata. Diaduknya air santan dan gula di dalam wajan, dengan air mata yang
terus menderas dan jatuh satu demi satu ke dalam wajan.
Lalu dimasukkannya tepung beras
ketan yang sudah dicairkan, sedikit demi sedikit. Ia selalu cemburu kepada
Ling, Han Han atau saudara-saudaranya yang memiliki orang tua utuh. Kecemburuan
yang melahirkan kesedihan dan air mata. Adonan yang diaduknya semakin pekat.
Bayangan seorang lelaki
berkelebat dalam pikirannya. Lelaki penjaga kelenteng yang selalu menghiburnya
dan meyakinkan dirinya bahwa suatu saat ia pasti akan bertemu dengan mamanya.
Lelaki itu kini tak pernah menjumpainya lagi, setelah pertemuannya yang
terakhir tiga bulan lalu. Air matanya semakin membanjir dan adonan di depannya
semakin beraroma asin.
“Kamu harus percaya kepadaku,” ucap
lelaki itu. Lilian memutuskan untuk memercayai lelaki itu, seperti selama ini
ia telah menaruh kepercayaan terhadap A Ma. Pun saat ia meminta sesuatu yang
seharusnya dijaga oleh Lilian, dengan rela Lilian memberikannya. Lilian pasrah,
bagai rembulan yang tertusuk ilalang.
“Kau akan menjadi seorang ibu, dan
selanjutnya kau akan bertemu dengan sosok seorang ibu, yakni di dalam dirimu
sendiri,” hibur lelaki itu. Lilian mengangguk. Ia masih terus berharap bahwa
lelaki itu akan terus mendampinginya sampai saatnya ia menjadi seorang ibu.
Namun seperti juga mamanya, lelaki itu tiba-tiba menghilang. Lilian panik.
Apalagi melihat reaksi A Ma.
“Kau mengulang lagi kisah lama
Mamamu. Maaf jika A Ma harus mengatakan hal ini kepadamu! Karena mungkin
sebentar lagi, A Ma harus menganggapmu
sebagai hantu.”
Lilian terengah-engah, menuntaskan
kesedihan terakhir yang diperas dan ditumpahkannya ke dalam adonan. Tubuhnya
menjadi lunglai, bagai selembar kain lap pel yang terjelepak di sudut dapur.
Sementara jiwanya melayang-layang. Jiwa yang tak diberatkan oleh kesedihan
lagi. Kesedihan seluruhnya telah tertumpah di dalam kue keranjang yang baru
saja matang dan dicetaknya dalam tiga cetakan bundar berukuran tak sama.
Suara A Ma yang memasuki rumah
menyadarkan Lilian dari lamunan. Sepertinya A Ma pulang dari kelenteng bersama
dengan seorang wanita. Perempuan itu berjalan dengan muka tertunduk di belakang
A Ma. Lilian terkejut. Wajah itu mirip sekali dengan wajahnya, hanya saja lebih
tua beberapa belas tahun.
“Jadi Lilian sudah…”
“Dengan kerinduan ingin bertemu
denganmu yang dibawanya sampai mati,” ucap A Ma sambil mengangguk.
“Aku Ibu yang jahat Ma… Aku telah
menelantarkan anak itu!” tangis perempuan itu sambil menutup mukanya.
Jadi
ternyata Mama bukan hantu, dan justru sekarang akulah yang hantu. Pikir
Lilian sambil mengelus perutnya. Ia tersenyum dan bersyukur, karena tak harus
menyia-nyiakan calon anaknya, seperti yang telah dilakukan mamanya selama ini.
Jika nanti mamanya mencoba kue keranjang yang telah dibuatnya, Lilian tak tahu
pasti. Manis atau asinkah yang akan dirasakan oleh lidah perempuan itu?
@Tamat@
Senin, 23 Januari 2017
Cerma: SUATU HARI NANTI (dimuat di Surat Kabar Minggu Pagi, Jumat 20 Januari 2017)
SUATU
HARI NANTI
(dimuat di Surat Kabar Minggu Pagi, Jum'at 20 Januari 2017)
Oleh:
Utami Panca Dewi
Suatu hari nanti Za, kau akan tahu
bahwa kau seperti Oksigen. Aku membutuhkanmu, tapi kau berikan kebaikanmu untuk
semua orang. Dan saat kau tahu hal itu, kau justru akan menjauhiku. Aku terlalu
posesif? Tidak juga. Aku sahabatmu sejak kecil. Kata Mama, bahkan sejak kita
masih dalam kandungan. Mamaku dan Bundamu saling bersahabat, dan dua sahabat
itu mengandung dalam waktu yang hampir bersamaan. Kelahiran kita pun hanya
berselisih hari. Persahabatan kedua ibu kita ternyata diwariskan kepada kita.
Kau dan aku tumbuh dan melewati masa
kanak-kanak bersama. Kau pasti
mengingatku sebagai seorang anak yang cengeng. Aku juga mengingatmu sebagai
seseorang yang selalu ingin melindungiku.
Tapi yang paling aku ingat betul, justru
pertemuan terakhir kita sebelum aku pergi ke sebuah Rumah Sakit besar di
Semarang. Waktu itu kita sedang duduk-duduk di taman kompleks. Hari menjelang
sore. Cahaya matahari menerobos celah-celah daun flamboyant dan jatuh di
rambutmu. Efeknya, rambutmu jadi kelihatan memerah seperti rambut jagung.
Sungguh, aku menyukai warna rambutmu yang tersepuh oleh cahaya matahari.
Aku menawarimu bola-bola coklat yang
kubuat bersama Mama. Kau mengambil satu dan menggigitnya sedikit, sekedar untuk
menyenangkanku. Aku tidak pernah lupa, Za. Kau tidak menyukai coklat. Tapi demi
aku, kau bahkan mengulumnya, sampai lama. Kau biarkan coklatnya melumer di
mulutmu.
Kau tersenyum. Kau bilang tidak ada
makanan gratis yang tidak enak. Apalagi jika dibuat oleh sahabat sendiri. Aku
membalas senyummu sambil menatap binar matamu yang penuh kebohongan itu.
Mulutmu bisa membohongiku tapi matamu tidak. Kau kembali menekuri
halaman-halaman bukumu.
Kau tidak menyadari bahwa kau adalah
oksigen bagiku, Za. Kau yang bisa mengerti tentang kesukaanku, kebiasaanku,
perbedaanku dari anak-anak yang lain. Kau memahamiku. Maka aku juga berusaha
memahamimu. Kau masih ingat saat kau mengajakku berlari mengejar layang-layang
yang tersangkut di atap rumah Pak Kunto? Kau mengajakku untuk meminta ijin
kepada Pak Kunto, tapi aku menolaknya.
Aku terlalu penakut. Aku lebih rela untuk membuka tabunganku, membeli
seutas layang-layang lengkap dengan benangnya lalu menyerahkannya kepadamu.
Matamu berbinar kala itu.
“Kau bahkan membelikan yang lebih
besar Sal?” tanyamu yang tak membutuhkan jawaban dariku. Lalu kau mengajakku
menerbangkan layang-layang itu bersama. Aku mengikuti langkahmu menuju ke
lapangan kompleks. Aku tahu, kau ingin agar aku menyukai permainan itu. Dan aku
berusaha menyukainya karenamu.
Mama selalu menyuruhku untuk
meneladanimu, Za. Kepintaranmu, keberanianmu, kelincahanmu. Aku mengagumimu,
tapi aku tak bisa menjadi seperti dirimu. Aku tetap pemurung, pendiam dan lebih
suka menyendiri.
Waktu terus berjalan membawa kita
keluar dari dunia kanak-kanak yang damai dan berwarna. Kau tumbuh menjulang,
Za. Mama menjadi iri dengan pertumbuhan tubuhmu.
“Kau harus lebih banyak berolah
raga, Sal. Lihat itu si Reza, tubuhnya atletis kan? Mau Mama ikutkan les
karate?”
Aku hanya menggeleng.
Lain kali Mama akan bilang, “Kau
harus lebih berani, lebih banyak bergaul. Lihat tuh, Reza terpilih menjadi
ketua OSIS di sekolahnya.”
Aku kurang suka dibanding-bandingkan seperti
itu. Apakah seseorang yang memiliki rasi bintang sama harus memiliki sifat yang
sama pula? Tentu saja pertanyaan itu hanya kusimpan dalam hati, tanpa berani
mengungkapkannya kepada Mama. Bahkan perasaan asing dan aneh yang selama ini
menggangguku, tak berani kuungkapkan kepada Mama.
Ada yang berubah setelah kita
remaja, Za. Kau mulai jarang bermain ke rumah karena memiliki teman-teman yang
baru. Aku tahu, kau begitu cemerlang, sehingga mampu menembus sekolah favorit
seperti yang dikehendaki Bundamu. Sementara aku tidak bisa. Aku semakin
terpuruk dalam duniaku yang asing, yang sungguh berbeda dari duniamu.
Kau mulai mengajak teman-temanmu ke
rumah. Teman-temanmu yang juga sesempurna dirimu. Kau mulai sibuk dengan
teman-temanmu dan perlahan melupakanku. Waktumu mulai berkurang banyak untukku.
Kau oksigen Za, dan aku manusia biasa. Aku mulai belajar meredakan kesakitan
ini karena kehilanganmu.
Sebetulnya pertemuan terakhir itu
digagas oleh Mama. Mama ingin aku bahagia di saat terakhirku sebelum aku masuk
rumah sakit. Lalu Mamaku menemui Bundamu. Mengemis sedikit waktuku agar mau
menemuiku. Kau terkejut saat kuceritakan apa yang sedang aku alami. Namun kau
berusaha memasang wajah datar. Tapi matamu tak bisa membohongiku. Apakah kau
merasa kehilangan, Za? Tentu saja tidak. Kau oksigen dan kau memiliki banyak
teman. Justru aku yang akan kehilanganmu nantinya, setelah aku memutuskan untuk
menjauhimu. Setelah aku merelakan untuk meninggalkan dunia yang asing ini.
Dunia yang membuatku terombang-ambing dalam ketidak pastian rasa.
Kau menyerahkan buku yang tengah kau
baca di saat pertemuan terakhir kita. Buku psikologi tentang kiat-kiat menjadi
seorang remaja yang keren. Aku tersenyum. Mencoba mengungkapkan rasa terima
kasihku tanpa kata.
Kau bertanya kenapa aku harus melakukan
operasi itu Za? Aku tak bisa menjelaskannya secara gamblang. Kau seharusnya
tahu, sejak dulu aku kurang pandai merangkai kata-kata. Seandainya kau tahu,
betapa terpukulnya Mama saat menjumpaiku mencuri-curi baju miliknya untuk
kupakai. Lalu kujalani serangkaian konsultasi dengan konselor kesehatan mental
profesional untuk melakukan diagnosis dan psikoterapi. Diagnosis dari gangguan disforia gender dan surat rekomendasi
resmi dari terapis membolehkanku untuk melakukan terapi hormon di bawah
pengawasan dokter. Setelahnya, Mama memutuskan untuk menuruti anjuran dokter untuk
melakukan operasi.
Dan sekarang aku telah menjadi
seseorang yang berbeda. Suatu hari nanti Za, kalau kita sempat bertemu, semoga
kau tetap bisa memahamiku seperti dulu. Meski kau tak bisa lagi memanggilku
Salman Ferdian. Karena pengadilan telah memutuskan aku untuk berganti nama
menjadi Salma Ferdiana. @@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar